Anda di halaman 1dari 15

“CNS LUPUS”

Jurnal ini dibuat untuk Melengkapi Persyaratan Kepaniteraan Klinik Senior


di SMF Ilmu Penyakit Saraf RSUD Dr. Pirngadi Medan

Disusun Oleh :
RANDY MEIRIANO ARDINAL
1410070100023

Pembimbing:
Dr. Goldfried P. Sianturi, Sp.S

SMF NEUROLOGI
RSUD Dr. PIRNGADI MEDAN
2018
LEMBAR PENGESAHAN

Telah dibacakan tanggal :

Nilai :

Dokter Pembimbing

dr. Goldfried P. Sianturi, Sp. S


KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, atas segala rahmat dan rahmat-
Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan jurnal ini untuk memenuhi persyaratan
mengikuti kepanitraan klinik senior di SMF NEUROLOGI RSUD Dr.
Pirngadi Medan berjudul "CNS Lupus".
Tugas ini ditujukan untuk saya karena penulis dapat lebih memahami teori-
teori yang diberikan Klinik Senior di SMF NEUROLOGI di Dr. Pirngadi Medan dan
melihat implementasinya langsung di lapangan. Pada kesempatan ini saya ucapkan
banyak terima kasih kepada dr. Goldfried P. Sianturi, Sp.S khususnya sebagai mentor
saya dan semua staf pengajar di SMF Neurologi RSUD Dr. Pirngadi Medan, serta
teman-teman di kepanitraan klinik senior,
Penulis menyadari bahwa jurnal ini masih banyak kekurangan, baik tentang isi
struktur bahasa, maupun konten ilmiah. Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik
dan saran yang membangun dari semua pihak yang membaca jurnal ini. Semoga jurnal
ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak yang membutuhkan.

Medan, 2 Oktober 2018

Randy Meiriano Ardinal

i
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN
KATA PENGANTAR .................................................................................................. i
DAFTAR ISI ................................................................................................................ ii
BAB I ........................................................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ................................................................................................... 1
BAB II .......................................................................................................................... 2
2.1 Definisi ............................................................................................................... 2
2.2 Epidemiologi ...................................................................................................... 2
2.3 Etiologi ............................................................................................................... 2
2.4 Patofisiologi ....................................................................................................... 2
2.5 Gambaran Klinis ................................................................................................ 4
2.6 Prosedur Diagnostik ........................................................................................... 5
2.6.1 Diagnosis berdasarjan kriteria ARA ........................................................... 5
2.6.2 Pemeriksaan penunjang ............................................................................... 6
2.7 Penatalaksanaan ................................................................................................. 7
2.8 Prognosis ............................................................................................................ 9
BAB III ...................................................................................................................... 10
3.1 Kesimpulan ...................................................................................................... 10
DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penyakit Tidak Menular (PTM) diketahui sebagai faktor utama penyebab


kematian tahun 2012. Secara global, diperkirakan 56 juta orang meninggal karena
PTM. Saat ini angka kejadian penyakit PTM terus meningkat, diantaranya yaitu
penyakit Lupus.
Systemic Lupus Eritematosus (SLE) merupakan penyakit autoimun kronik,
heterogen, dengan berbagai manifestasi klinis yang dapat melibatkan organ akhir. Sel
B memainkan peranan penting pada patofisiologi lupus dengan memproduksi
autoantibodi dan melalui mekanisme autoantibodi-independen, seperti adanya
autoantigen, aktivasi sel T dan produksi sitokin.
SLE dikenal sebagai the great imitator oleh karena gejalanya sangan beragam
dumana sering disalahartikam sebagai penyakit lain dan dikarenakan gejalanya dating
tidak dapat diperkirakan.
SLE dapat menyebabkan gangguan pada berbagai system didalam tubuh, dimana
salah satunya yaitu sistem saraf pusat, meskipun masih tidak jelas dan bersifat
kontroversi. Gejala gangguan system saraf pusat akibat SLE ditandai dengan nyeri
kepala, confution, kesulitan konsentrasi, fatigue, seizures, atau kadang dengan stroke.
Beberapa studi penelitian menyatakan bahwa SLE dengan keterlibatan system
sarah pusat memiliki prognosis yang buruk dan meningkatkan resiko kerusakan
system saraf atau kematian lebih awal.

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Systemic Lupus Eritematous (SLE) adalah penyakit autoimmune yang
melibatkan system-sistem organ multiple yang ditegakkan secara klinis dan
berhubungan dengan antibody terhadap nucleus sel.
Neuropsikiatric Systemic Lupus Eritematosus (NP-SLE) didefinisikan
sebagai kelainan pada SSP, perifer dan autonomy dan adanya sindroma
psikiatrik pada penderita dengan SLE dimana penyebab lain telah disingkirkan.
2.2 Epidemiologi
Diseluruh dunia diperkirakan terdapat lebih dari 5 juta orang yang
menderita SLE. Di Amerika, prevalensi SLE diperkirakan ada sebanyak 14-50
kasus per 100.000 orang, dengan insidens yang bervariasi dari 1,8 – 7,6 kasus
per 100.000 orang per tahun.
Di Indonesia, jumlah penderita SLE diperkirakan mencapai 1,5 juta
orang dimana 90% penderitanya adalah wanita.
Menurut The American College of Rheumatology (ACR), prevalensi
penderita SLE dengan gangguan system saraf pusat berkisar 37 hingga 95%
dimana, sindroma yang paling sering yaitu disfungsi kognitif, nyeri kepala,
gangguan mood, penyakit serebrovaskular, seizures, polineuropati, anxietas
dan psikosis.

2.3 Etiologi
Penyebab pasti dari SLE masih tidak diketahui, namun dalam beberapa
studi SLE dikaitkan dengan faktor autoimun dari tubuh seseorang.
Terdapat tiga mekanisme yang dipercayai menimbulkan SLE, yaitu
faktor genetika, penyebab lingkungan dan reaksi obat (drug induced Lupus).

2.4 Patofisiologi
Dengan adanya kumpulan manifestasi klinis yang diamati pada
penderita SLE, maka mekanisme patogenik yang mendasarinya berasal dari

2
3

reaksi auto antibody, abnormalitas vaskuler, dan produksi local mediator


inflamasi.
1. Autoantibodi

Autoantibodi telah diduga memiliki peranan utama dalam pathogenesis


SLE dengan gangguan system saraf pusat. Khususnya auto antibody terhadap
protein otak tertentu, seperti limfosit, protein P ribosom, protein phospholipid
complexes, dan acidic glycolipids pada neuronal dan membrane myelin yang
dikaitkan dengan gangguan system saraf pusat pada SLE, seperti pada table
dibawah ini.
(Tabel 1) Target antigen dan deficit neurologic yang berkaitan dengan autoantibodi pada
SLE
Autoantibodi Antigen utama Defisit Neurologik

Antbodi antineural Tidak teridentifikasi Kerusakan difuse

Antibody limfositotoksik Tidak teridentifikasi Gangguan kognitif

Cross – reactive otak Visuospatial

Antibody antiribosomal P 60s eukaryotic ribosomal Psikosis lupus, depresi

subunit proteins

P0, P1, P2

Antibody antifosfolipid Glikoprotein,cardiolipin, Stroke, seizure, myelitis

prothrombin, Protein C & S transversalis, TIA,

epilepsy, disfungsi

kognitf

Antibody antigangliosida Acid glycolipid pada Migren, stroke, depresi,

neuronal dan membrane seizure, psikosis

myelin

Dikutip dari : Lupus Outlook


4

Autoantibodi ini berikatan dengan permukaan membrane neuron


seperti antibody antineuronal, antiribosomal P, dan antiganglisida yang dapat
menyebabkan cedera neuronal sitotoksik langsung atau mempengaruhi fungsi
neuronal.
Antibodi antifosfolipid berhubungan dengan thrombosis arteri dan
vena, dimana hal ini akan menyebabkan gangguan sirkulasi serebral yang dapat
menyebabkan iskemik atau infark otak. Sel B peripheral sendiri pada penderita
SLE akan memperlihatkan kelainan.
2. Abnormalitas vascular

Studi neuropatologik telat memperlihatkan suatu vaskulopati pada SLE


dengan gangguan system saraf pusat yang melibatkan pembuluh darah kecil
yang berkaitan dengan mikroinfark otak yang disebabkan karena reaksi
autoimun.
3. Mediator inflamasi

Beberapa studi telat melibatkam sejumlah cytokine proinflammatory


pada SLE dengan gangguan system saraf pusat, mencakup IL-2, IL-6, IL-10,
interferon, dan tumor necrosis factor (TNF). Beberapa peningkatan sitokin
terjadi sebagai akibat aktivasi sel sel yang dimediasi oleh autoantibodi.
2.5 Gambaran Klinis
Manifestasi klinis dari SLE dengan gangguan system saraf pusat dapat
dikelompokkan berdasarkan sifat seperti; fokal, difus, sentral, perifer,
psikiatrik, isolated, kompleks, simultan dan sekuensial. Berbagai daerah pada
system saraf yang diakibatkan oleh SLE dapat terjadi di otak, meningen, spinal
cord, saraf kranial, dan saraf perifer.

(Tabel 2) Sindroma Neuropsikiatrik pada SLE oleh The American College of


Rheumatology (ACR)
Pusat Perifer

Meningitis aseptic Sinroma Guillain-Barre

Penyakit serebrovaskuler Neuropati autonomy

Sindroma demyelinating Mononeuropati


5

Nyeri kepala Myasthenia gravis

Gangguan gerak Neuropati kranialis

Myelopati Plexopati

Gangguan seizure Polineuropati

Acute confusional state

Gangguan ansietas

Disfungsi kognitif

Ganggguan mood

Psikosis

Dikutip dari : ACR Classification criteria for SLE.


Manifestasi klinis yang diklasifikasikan menurut ACR selanjutnya
dibedakan menjadi gejala berat dan ringan. Yang termasuk kedalam gejala
berat yaitu meningitis aseptic, deficit neurologi fokal, gangguan gerak,
myelopati, seizures, acute confusional state, gangguan mood dan psikosis.
Sedangkan gejala ringan yaitu nyeri kepala, disfungsi kognitif dan gangguan
anxietas.
2.6 Prosedur Diagnostik
2.6.1 Diagnosis berdasarjan kriteria ARA
Diagnostik SLE berdasarkan The American College of Rheumatology
(ACR), dengan penilaian dijumpainya 4 dari 11 kriteria akan memberikan
sensitivitas 85% dan spesifitas 95%.
1. Ruam malar
2. Ruam diskoid
3. Fotosensitivitas
4. Oral ulcers
5. Arthritis
6. Serositis (pleuritis, effuse pleura, pericarditis,dll)
7. Gangguan ginjal
8. Gangguan neurologis (seizures, psikosis,uremia, dll)
9. Gangguan hematologi (anemia hemolitik, leukopeni, dll)
6

10. Gangguan imunologi (anti-dsDNA abnormal, anti SM positif,


Ig G dan Ig M abnormal, dll)
11. Antinuclear antibody (ANA)

2.6.2 Pemeriksaan penunjang


1. ANA

Peningkatan titer antinuclear (ANA) sampai 1 : 40 atau lebih


merupakan kriteria diagnostic menurut ACR yang paling sensitif. Tetapi, pada
penderita dengan hasil tes ANA positif diperlukan pemeriksaan tambahan
seperti anti-dsDNA atau anti-Sm untuk menghilangkan dugaan positif palsu
pada hasil ANA.
2. Computed Tomography (CT) Scan dan Magnetic Resonance
Imaging (MRI)

CT Scan dapat mendeteksi lesi fokal (seperti perdarahan akut dan infark
cerebral) dan tetap bermanfaat dalam situasi keadaan darurat, namun sebagian
besar sudah tergantikan oleh pemeriksaan MRI yang dapat mendeteksi infark
lobaris, perdarahan SSP, myelitis transversalis dan beberapa penyakit lain yang
dapat membaurkan seperti abses otak dan tumor metastase.
Frekuensi kelainan yang terlihat dari MRI pada SLE yaitu sekitar 25-
50%, semakin meningkat sesuai dengan pertambahan usia, keparahan penyakit
dan adanya riwayat SLE dengan gangguan system saraf pusat.
Gambaran paling umum yang sering dijumpai yaitu lesi fokal punctat
(berupa titik-titik) kecil di subcortical white matter (15-60%). Selain itu,
gambaran seperti infark, lesi white matter, dan kortikal atrofi dijumpai pada
75% pasien SLE yang memiliki sindroma antifosfolipid, dimana keparahan
penyakit ini lebih tinggi dibandingkan dengan penderita SLE tanpa sindroma
antifosfolipid.
3. Electroencephalography (EEG)

EEG dapat menilai aktivitas listrik otak regional dan hasil pemeriksaan
EEG seringkali abnormal pada penderita SLE dengan gangguan system saraf
pusat.
7

Suatu studi melaporkan bahwa kelainan EEG berhubungan dengan


adanya antibody antifosfolipid meskipun terkadang tidak dijumpai kelainan
otak pada pemeriksaan MRI.
4. Lumbal Punksi

Hal ini dilakukan untuk menyingkirkan proses infeksi dengan gejala


demam atau gejala neurologic lainnya. Peningkatan jumlah sel dan kadar
protein yang tidak spesifik dan penurunan kadar glukosa dapat dijumpai pada
cairan cerebrospinalis pada penderita SLE dengan gangguan system saraf
pusat.
2.7 Penatalaksanaan
Sebelum memutuskan pengobatan atau bagaimana cara mengobati, hal
utama yang harus diperhatikan adalah :
 Penegakan diagnose yang akurat
 Identifikasi dan pengobatan terhadap faktor
pengganggu yang menimbulkan penyakit SSP
 Penilaian keparahan
 Identifikasi permasalahan yang mendasari mekanisme
patogenik

Pendekatan manajemen terhadap SLE dengan gangguan system saraf pusat


dapat tercapai dengan cara :
1. Pengenalan sindroma antifosfolipid dan pengobatannya
dengan antikoagulan
2. Pemakaian steroid jangka panjang
3. Pemakaian siklofosfamid pada SLE dengan gangguan
system saraf pusat. (Tabel 4)

Mild CNS disease Severe CNS disease

Symptomatic therapy Diffuse/nonthrombotic Focal/thrombotic disease –

disease aPL associated

 Analgesic/NSAIDs/Cal Acute treaments Prophylaxis


cium antagonists
 Ergotamine - High dose - Low dose aspirin
 Anxiolytics corticosteroids
8

 Antidepressants - IV pulse Thrombosis


-Tricyclics- methylprednisolone
- IV pulse - Long term warfarin
amitriptyline-fluoxetine cyclophosphamide - Arterial: INR=>3.0
- Plasmapheresis - Venous: INR=2.5-
 Anticonvulsant – - IV 3.0
carbamazepine – immunoglobulins Recurrent thrombosis
phenytoin – valproate – - Methotrexate
lamotrigine - Azathioprine - Warfarin INR _>3.0
 Antipsychotics – - Mycophenolate +low-dose aspirin
haloperidol – mofetil Difficult case with recurrent
chlorpromazine – Chronic treatments
risperidone thrombosis
 Low dose - Taper
corticosteroids corticosteroids - Warfarin _>3.0
- IV pulse +
cyclophosphamide
- Metho trexate - Corticosteroids
- Azathioprine - Immunosuppressants
- Mycophenolate - IV immunoglobulins
mofetil - Plasmapheresis

Penderita dengan manifestasi ringan seperti nyeri kepala atau depresi


hanya memerlukan pengobatan simtomatik saja dengan analgetik,
antidepressant, dan pendukung psikologis.
Pada manifestasi yang lebih berat, sangat penting membedakan antara
mekanisme thrombotic (fokal) dengan nonthrombotic (difus).
Manifestasi SSP fokal, secara umum diakibatkan oleh karena
mekanisme thrombotic yang mendasari, paling sering berkaitan dengan
keberadaan antibody antifosfolipid, dan antikoagulan jangka panjang
merupakan pilihan pengobatannya.
Heparin diindikasikan selama fase akut, diikuti dengan warfarin jangka
panjang dalam rangka pencegahan rekurrens. Manifestasi SSP fokal lainnya,
seperti migraine, seizures, dll yang berkaitan dengan antibody antifosfolipid
juga memberikan perbaikan dengan antikoagulan.
Manifestasi SSP difus yang berat, seperti generalized seizures, ansietas,
gangguan mood, dll secara umum memerlukan kortikosteroid dalam
pengobatan awalnya. Kortikosteroid dosis tinggi hanya diberikan pada kasus
berat dan sebaiknya dalam periode singkat.
Terapi siklofosfamid dapat membantu apabila pada kasus difus yang
berat selama 3-5 hari tidak respon dengan kortikosteroid.
9

Phlasmapheresis, methothrexat, azathioprine dan mycophenole


mofetil, masil harus memerlukan studi lanjut untuk mengkonfirmasi
kegunaannya dalam pengobatan SLE dengan gangguan system saraf pusat,
2.8 Prognosis
Beberapa studi menyatakan bahwa SLE dengan gangguan system saraf
pusat menunjukkan prognosis yang buruk dan meningkatkan resiko kerusakan
system saraf atau kematiam lebih awal. Disamping itu, frekuensi disabilitas
pada penderita SLE dengan gangguan system saraf pusat lebih tinggi
dibandingkan dengan tanpa gangguan system saraf pusat.
10

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Systemic Lupus Erithematosus dengan kelainan system saraf pusat
didefinisikan sebagai kelainan pada SSP, Perifer dan Autonom dan adanya sindrom
psikiatrik pada penderita SLE dimana penyebab lain telah disingkirkan.
Mekanisme patogenik yang mendasari munculnya manifestasi primer
neuropsikiatrik pada SLE dengan gangguan SSP, mencakup autoantibodi,
abnormalitas vaskuler, dan produksi mediator inflamasi.
Pendekatan manajemen terhadap SLE dengan gangguan system saraf pusat
dapat tercapai dengan cara : pengenalan sindroma antifosfolipid dan pengobatannya
dengan antikoagulan, pemakaian steroid jangka panjang, dan pemakaian siklofosfamid
pada SLE dengan gangguan system saraf pusat.
Beberapa studi menyatakan bahwa SLE dengan keterlibatan SSP menunjukkan
prognosis yang buruk dan meningkatkan resiko kerusakan system saraf atau kematian
lebih awal.
DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai