Peran Perawat Komunitas Dalam Penanggulangan DM
Peran Perawat Komunitas Dalam Penanggulangan DM
Perawat memiliki peran kunci sebagai edukator dalam model PKPDM bagi lansia
diabetisi (Diabetes Control and Complications Trial Research Group, 1993, 1995; Franz,
Callahan, & Castle, 1994; Levetan, Salas, Wilets, & Zurnoff, 1995). Perawat edukator
diabetes merupakan salah satu bidang spesialisasi keperawatan komunitas yang memiliki
peran sebagai instruktur PKPDM. Tugas perawat edukator diabetes adalah (1) memberikan
pendidikan kesehatan mengenai pengelolaan diabetes secara mandiri secara berkala, (2)
intervensi perilaku, dan (3) konseling dan coaching pengelolaan diabetes secara mandiri
(Mensing et al., 2007). Berdasarkan hal tersebut penulis memberikan batasan pengertian
perawat komunitas sebagai perawat edukator diabetes, yaitu praktik profesi sebagai sintesis
dari ilmu keperawatan, kesehatan masyarakat (Hitchcock, Schubert & Thomas, 1999), dan
sosial (Helvie, 1998; Ervin, 2002) yang diterapkan untuk meningkatkan dan memelihara
kesehatan diabetisi secara menyeluruh (Helvie, 1998; Ervin, 2002).
Perawat komunitas sebagai edukator diabetes memiliki dua tingkat, yaitu perawat
generalis dan perawat spesialis. Helvie (1998) berpendapat bahwa perawat generalis memiliki
latar belakang pendidikan S1 dengan batasan kompetensi pada asuhan keperawatan diabetisi
di tingkat individu dan keluarga. Sedangkan menurut Ervin (2002), batasan kompetensi
perawat generalis pada asuhan keperawatan diabetisi di tingkat individu, keluarga, kelompok
dan ketrampilan dasar menangani agregat diabetisi. Helvie dan Ervin sepakat bahwa perawat
spesialis dengan latar belakang pendidikan master (S2) dan doktoral (S3) harus memiliki
kompetensi klinis dan mengelola agregat diabetisi dari tingkat individu sampai dengan
populasi. Seorang spesialis keperawatan komunitas harus mampu melakukan perencanaan,
pelaksanaan, dan evaluasi program serta pelayanan kesehatan bagi agregat diabetisi di tingkat
populasi.
Karakteristik keperawatan komunitas sebagai perawat edukator diabetes
Pertama, kemitraan memiliki definisi hubungan atau kerja sama antara dua pihak atau
lebih, berdasarkan kesetaraan, keterbukaan dan saling menguntungkan atau memberikan
manfaat (Depkes RI, 2005). Perawat spesialis komunitas perlu membangun dukungan,
kolaborasi, dan koalisi sebagai suatu mekanisme peningkatan peran serta aktif masyarakat
dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi implementasi PKPDM.
Anderson dan McFarlane (2000) dalam hal ini mengembangkan model keperawatan
komunitas yang memandang masyarakat sebagai mitra (community as partner model). Fokus
dalam model tersebut menggambarkan dua prinsip pendekatan utama keperawatan
komunitas, yaitu (1) lingkaran pengkajian masyarakat pada puncak model yang menekankan
anggota masyarakat sebagai pelaku utama pembangunan kesehatan, dan (2) proses
keperawatan.
Asumsi dasar mekanisme kolaborasi perawat spesialis komunitas dengan masyarakat
tersebut adalah hubungan kemitraan yang dibangun memiliki dua manfaat sekaligus yaitu
meningkatnya partisipasi aktif masyarakat dan keberhasilan program kesehatan masyarakat
(Kreuter, Lezin, & Young, 2000). Mengikutsertakan masyarakat dan partisipasi aktif mereka
dalam pembangunan kesehatan dapat meningkatkan dukungan dan penerimaan terhadap
kolaborasi profesi kesehatan dengan masyarakat (Schlaff, 1991; Sienkiewicz, 2004).
Dukungan dan penerimaan tersebut dapat diwujudkan dengan meningkatnya sumber daya
masyarakat yang dapat dimanfaatkan, meningkatnya kredibilitas program kesehatan, serta
keberlanjutan kemitraan perawat spesialis komunitas dengan masyarakat (Bracht, 1990).
Tahap penyadaran dan pembentukan perilaku menuju perilaku sadar dan peduli
sehingga merasa membutuhkan kemampuan dalam mengelola DM secara mandiri. Dalam
tahap ini, perawat komunitas berusaha mengkondisikan lingkungan yang kondusif bagi
efektifitas proses pemberdayaan agregat lansia diabetisi.
Menurut penelitian, lansia yang mengikuti secara aktif sebuah kelompok sosial dan
menerima dukungan dari kelompok tersebut akan memperlihatkan kondisi kesehatan fisik
dan mental yang lebih baik daripada lansia yang lebih sedikit mendapatkan dukungan
kelompok (Krause, 1997). Bentuk dukungan kelompok ini juga terkait dengan rendahnya
risiko morbiditas dan mortalitas lansia (Berkman, Leo-Summers, & Horwitz, 1992).
Meskipun penjelasan risiko morbiditas dan mortalitas tersebut tidak lengkap dikemukakan,
beberapa laporan menekankan bahwa dukungan yang diterima lansia dapat meningkatkan
pemanfaatan dan kepatuhan individu terhadap pelayanan yang diinginkan dengan mengikuti
informasi yang diberikan, ikut serta dalam kelompok dan meningkatkan perilaku mencari
bantuan kesehatan (Cohen, 1988).
Berdasarkan strategi intervensi yang telah ditentukan oleh perawat komunitas seperti
tersebut di atas, selanjutnya dilakukan pengorganisasian masyarakat. Pengorganisasian
masyarakat sebagai suatu proses merupakan sebuah perangkat perubahan komunitas yang
memberdayakan individu dan kelompok berisiko (agregat) dalam menyelesaikan masalah
komunitas dan mencapai tujuan yang diinginkan bersama. Menurut Helvie (1998), terdapat
tiga model pengorganisasian masyarakat yaitu (1) model pengembangan masyarakat (locality
development), (2) model perencanaan sosial (social planning), dan (3) model aksi sosial
(social action).
DAFTAR PUSTAKA
Tagaliacozzo D.M., Luskin D.B., Lashof J.C. & Ima K., Nurse Intervention and Patient
Behavior, Am. Jou. Public Health 1974, vol 64 No. 6.
Ambar Teguh Sulistyani. 2004. Kemitraan dan Model-model Pemberdayaan. Yogyakarta :
Graha Ilmu
Depkes RI. 1992. Undang-Undang Kesehatan No 23 Tahun 1992. Tentang Kesehatan.
Jakarta : Depkes RI