Anda di halaman 1dari 7

PERAN PERAWAT KOMUNITAS DALAM PENANGGULANGAN DM

Perawat komunitas sejak awal dapat berperan dalam meminimalisi perubahan


potensial pada sistem tubuh pasien. Beberapa penelitian eksperimental memperlihatkan
bahwa perawat mempunyai peran yang cukup berpengaruh terhadap perilaku pasien
(Tagliacozzo D.M. et.al., 1974). Salah satu peran yang penting guna mendorong masyarakat
terutama lansia adalah agar lansia dan keluarga mampu memahami kondisi diabetisi sehingga
dapat melakukan perawatan diri secara mandiri (self-care).

Perawat memiliki peran kunci sebagai edukator dalam model PKPDM bagi lansia
diabetisi (Diabetes Control and Complications Trial Research Group, 1993, 1995; Franz,
Callahan, & Castle, 1994; Levetan, Salas, Wilets, & Zurnoff, 1995). Perawat edukator
diabetes merupakan salah satu bidang spesialisasi keperawatan komunitas yang memiliki
peran sebagai instruktur PKPDM. Tugas perawat edukator diabetes adalah (1) memberikan
pendidikan kesehatan mengenai pengelolaan diabetes secara mandiri secara berkala, (2)
intervensi perilaku, dan (3) konseling dan coaching pengelolaan diabetes secara mandiri
(Mensing et al., 2007). Berdasarkan hal tersebut penulis memberikan batasan pengertian
perawat komunitas sebagai perawat edukator diabetes, yaitu praktik profesi sebagai sintesis
dari ilmu keperawatan, kesehatan masyarakat (Hitchcock, Schubert & Thomas, 1999), dan
sosial (Helvie, 1998; Ervin, 2002) yang diterapkan untuk meningkatkan dan memelihara
kesehatan diabetisi secara menyeluruh (Helvie, 1998; Ervin, 2002).

Perawat komunitas sebagai edukator diabetes memiliki dua tingkat, yaitu perawat
generalis dan perawat spesialis. Helvie (1998) berpendapat bahwa perawat generalis memiliki
latar belakang pendidikan S1 dengan batasan kompetensi pada asuhan keperawatan diabetisi
di tingkat individu dan keluarga. Sedangkan menurut Ervin (2002), batasan kompetensi
perawat generalis pada asuhan keperawatan diabetisi di tingkat individu, keluarga, kelompok
dan ketrampilan dasar menangani agregat diabetisi. Helvie dan Ervin sepakat bahwa perawat
spesialis dengan latar belakang pendidikan master (S2) dan doktoral (S3) harus memiliki
kompetensi klinis dan mengelola agregat diabetisi dari tingkat individu sampai dengan
populasi. Seorang spesialis keperawatan komunitas harus mampu melakukan perencanaan,
pelaksanaan, dan evaluasi program serta pelayanan kesehatan bagi agregat diabetisi di tingkat
populasi.
Karakteristik keperawatan komunitas sebagai perawat edukator diabetes

Keperawatan komunitas dalam konteks asuhan keperawatan pada agregat lansia


diabetisi memiliki beberapa karakteristik, yaitu: (1) berfokus pada populasi lansia baik yang
sehat maupun yang berisiko menderita DM; (2) berorientasi pada peningkatan peran serta
aktif lansia dalam pengelolaan DM secara mandiri; (3) berfokus pada upaya promotif dan
preventif baik pencegahan primer, sekunder dan tersier; (4) intervensi pendidikan kesehatan
dalam pengelolaan diabetes secara mandiri (PKPDM) di tingkat komunitas atau populasi; dan
(5) memiliki perhatian terhadap peningkatan derajat kesehatan pada semua kelompok umur
terutama kelompok berisiko DM (Stanhope & Lancaster, 2004). Selanjutnya spesialis
keperawatan komunitas memiliki enam area pokok praktik keperawatan dalam pendekatan
PKPDM, yaitu: (1) upaya promosi kesehatan melalui gaya hidup sehat; (2) upaya pencegahan
primer, sekunder dan tersier pada agregat diabetisi; (3) intervensi keperawatan lansia
diabetisi; (4) rehabilitasi lansia diabetisi dengan permasalahan khusus, misalnya pasca
hospitalisasi atau penurunan kapasitas fungsional; (5) evaluasi program PKPDM di tingkat
populasi; dan (6) riset keperawatan tentang lansia diabetisi (Allender & Spradley, 2005).

Strategi Intervensi dan Pengorganisasian Masyarakat

Strategi intervensi keperawatan komunitas dalam pendekatan PKPDM adalah (1)


kemitraan (partnership), (2) pemberdayaan (empowerment), (3) pendidikan kesehatan, dan
(4) proses kelompok (Hitchcock, Schubert, & Thomas 1999; Helvie, 1998). Strategi
intervensi pendidikan kesehatan dalam pengelolaan diabetes secara mandiri juga diuraikan
pada bagian berikut:

Pertama, kemitraan memiliki definisi hubungan atau kerja sama antara dua pihak atau
lebih, berdasarkan kesetaraan, keterbukaan dan saling menguntungkan atau memberikan
manfaat (Depkes RI, 2005). Perawat spesialis komunitas perlu membangun dukungan,
kolaborasi, dan koalisi sebagai suatu mekanisme peningkatan peran serta aktif masyarakat
dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi implementasi PKPDM.
Anderson dan McFarlane (2000) dalam hal ini mengembangkan model keperawatan
komunitas yang memandang masyarakat sebagai mitra (community as partner model). Fokus
dalam model tersebut menggambarkan dua prinsip pendekatan utama keperawatan
komunitas, yaitu (1) lingkaran pengkajian masyarakat pada puncak model yang menekankan
anggota masyarakat sebagai pelaku utama pembangunan kesehatan, dan (2) proses
keperawatan.
Asumsi dasar mekanisme kolaborasi perawat spesialis komunitas dengan masyarakat
tersebut adalah hubungan kemitraan yang dibangun memiliki dua manfaat sekaligus yaitu
meningkatnya partisipasi aktif masyarakat dan keberhasilan program kesehatan masyarakat
(Kreuter, Lezin, & Young, 2000). Mengikutsertakan masyarakat dan partisipasi aktif mereka
dalam pembangunan kesehatan dapat meningkatkan dukungan dan penerimaan terhadap
kolaborasi profesi kesehatan dengan masyarakat (Schlaff, 1991; Sienkiewicz, 2004).
Dukungan dan penerimaan tersebut dapat diwujudkan dengan meningkatnya sumber daya
masyarakat yang dapat dimanfaatkan, meningkatnya kredibilitas program kesehatan, serta
keberlanjutan kemitraan perawat spesialis komunitas dengan masyarakat (Bracht, 1990).

Kemitraan dalam PKPDM dapat dilakukan perawat komunitas melalui upaya


membangun dan membina jejaring kemitraan dengan pihak-pihak yang terkait (Robinson,
2005) dalam upaya penanganan DM pada lansia diabetisi baik di level keluarga, kelompok,
maupun komunitas. Pihak-pihak tersebut adalah profesi kesehatan lainnya, stakes holder
(Puskesmas, Dinas Kesehatan Kota, Departemen Kesehatan, Departemen Sosial, Pemerintah
Kota), donatur/sponsor, sektor terkait, organisasi masyarakat (TP-PKK, Lembaga Lansia
Indonesia/LLI, Perkumpulan Diabetisi, atau Klub Jantung Sehat Yayasan Jantung Indonesia),
dan tokoh masyarakat setempat.

Kedua, konsep pemberdayaan dapat dimaknai secara sederhana sebagai proses


pemberian kekuatan atau dorongan sehingga membentuk interaksi transformatif kepada
masyarakat, antara lain: adanya dukungan, pemberdayaan, kekuatan ide baru, dan kekuatan
mandiri untuk membentuk pengetahuan baru (Hitchcock, Scubert, & Thomas, 1999).
Pemberdayaan, kemitraan dan partisipasi memiliki inter-relasi yang kuat dan mendasar.
Perawat spesialis komunitas ketika menjalin suatu kemitraan dengan masyarakat maka
dirinya juga harus memberikan dorongan kepada masyarakat. Kemitraan yang dijalin
memiliki prinsip “bekerja bersama” dengan masyarakat bukan “bekerja untuk” masyarakat,
oleh karena itu perawat spesialis komunitas perlu memberikan dorongan atau pemberdayaan
kepada masyarakat agar muncul partisipasi aktif masyarakat (Yoo et. al, 2004). Membangun
kesehatan masyarakat tidak terlepas dari upaya-upaya untuk meningkatkan kapasitas,
kepemimpinan dan partisipasi masyarakat (Nies & McEwan, 2001).
Kemandirian agregat lansia diabetisi dalam PKPDM berkembang melalui proses
pemberdayaan. Tahapan pemberdayaan yang dapat dilalui oleh agregat lansia diabetisi
(Sulistiyani, 2004), yaitu:

Tahap penyadaran dan pembentukan perilaku menuju perilaku sadar dan peduli
sehingga merasa membutuhkan kemampuan dalam mengelola DM secara mandiri. Dalam
tahap ini, perawat komunitas berusaha mengkondisikan lingkungan yang kondusif bagi
efektifitas proses pemberdayaan agregat lansia diabetisi.

Tahap transformasi kemampuan berupa pengetahuan dan ketrampilan dalam


pengelolaan DM secara mandiri agar dapat mengambil peran aktif dalam lingkungannya.
Pada tahap ini agregat lansia diabetisi memerlukan pendampingan perawat komunitas.

Tahap peningkatan pengetahuan dan ketrampilan sehingga terbentuk inisiatif dan


kemampuan inovatif untuk mengantarkan pada kemandirian mengelola DM. Pada tahap ini
lansia diabetisi dapat melakukan apa yang diajarkan secara mandiri.

Ketiga, strategi utama upaya prevensi terhadap kejadian DM adalah dilakukannya


kegiatan pendidikan kesehatan. Pendidikan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan derajat
kesehatan dan mengurangi disabilitas serta mengaktualisasikan potensi kesehatan yang
dimiliki oleh individu, keluarga, kelompok, dan masyarakat (Swanson & Nies, 1997).
Pendidikan kesehatan dapat dikatakan efektif apabila dapat menghasilkan perubahan
pengetahuan, menyempurnakan sikap, meningkatkan ketrampilan, dan bahkan mempengaruhi
perubahan di dalam perilaku atau gaya hidup individu, keluarga, dan kelompok lansia
diabetisi (Pender, Murdaugh, & Parsons, 2002). Pendidikan kesehatan diharapkan dapat
mengubah perilaku lansia diabetisi untuk patuh terhadap saran pengelolaan DM secara
mandiri.

Pendidikan kesehatan dapat dilakukan secara individu, kelompok, maupun komunitas.


Upaya pendidikan kesehatan di tingkat komunitas penting dilakukan dengan beberapa alasan,
yaitu: individu akan mudah mengadopsi perilaku sehat apabila mendapatkan dukungan sosial
dari lingkungannya terutama dukungan keluarga, intervensi di tingkat komunitas dapat
mengubah struktur sosial yang kondusif terhadap program promosi kesehatan, unsur-unsur di
dalam komunitas dapat membentuk sinergi dalam upaya promosi kesehatan (Meillier, Lund,
& Kok, 1996).
Intervensi keperawatan melalui pendidikan kesehatan untuk menurunkan risiko DM
dan komplikasinya dapat dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu: (1) pencegahan primer, (2)
pencegahan sekunder, dan (3) pencegahan tersier. Pendidikan kesehatan dalam tahap
pencegahan primer bertujuan untuk menurunkan risiko yang dapat mengakibatkan DM.
Pendidikan kesehatan dalam tahap pencegahan sekunder bertujuan untuk memotivasi
kelompok berisiko melakukan uji skrining dan penatalaksanaan gejala DM yang muncul,
sedangkan pada tahap pencegahan tersier, perawat dapat memberikan pendidikan kesehatan
yang bersifat readaptasi, pendidikan kesehatan untuk mencegah komplikasi DM terulang dan
memelihara stabilitas kesehatan lansia.

Keempat, proses kelompok merupakan salah satu strategi intervensi keperawatan


yang dilakukan bersama-sama dengan masyarakat melalui pembentukan sebuah kelompok
atau kelompok swabantu (self-help group). Intervensi keperawatan di dalam tatanan
komunitas menjadi lebih efektif dan mempunyai kekuatan untuk melaksanakan perubahan
pada individu, keluarga dan komunitas apabila perawat komunitas bekerja bersama dengan
masyarakat. Berbagai kelompok di masyarakat dapat dikembangkan sesuai dengan inisiatif
dan kebutuhan masyarakat setempat, misalnya Posbindu, Bina Keluarga Lansia, atau Karang
Lansia. Kegiatan pada kelompok ini disesuaikan dengan kebutuhan dan tujuan yang ingin
dicapai oleh lansia agar lansia dapat mencapai masa tua yang sehat, bahagia, berdaya guna,
dan produktif selama mungkin (Depkes RI, 1992).

Menurut penelitian, lansia yang mengikuti secara aktif sebuah kelompok sosial dan
menerima dukungan dari kelompok tersebut akan memperlihatkan kondisi kesehatan fisik
dan mental yang lebih baik daripada lansia yang lebih sedikit mendapatkan dukungan
kelompok (Krause, 1997). Bentuk dukungan kelompok ini juga terkait dengan rendahnya
risiko morbiditas dan mortalitas lansia (Berkman, Leo-Summers, & Horwitz, 1992).
Meskipun penjelasan risiko morbiditas dan mortalitas tersebut tidak lengkap dikemukakan,
beberapa laporan menekankan bahwa dukungan yang diterima lansia dapat meningkatkan
pemanfaatan dan kepatuhan individu terhadap pelayanan yang diinginkan dengan mengikuti
informasi yang diberikan, ikut serta dalam kelompok dan meningkatkan perilaku mencari
bantuan kesehatan (Cohen, 1988).

Berdasarkan strategi intervensi yang telah ditentukan oleh perawat komunitas seperti
tersebut di atas, selanjutnya dilakukan pengorganisasian masyarakat. Pengorganisasian
masyarakat sebagai suatu proses merupakan sebuah perangkat perubahan komunitas yang
memberdayakan individu dan kelompok berisiko (agregat) dalam menyelesaikan masalah
komunitas dan mencapai tujuan yang diinginkan bersama. Menurut Helvie (1998), terdapat
tiga model pengorganisasian masyarakat yaitu (1) model pengembangan masyarakat (locality
development), (2) model perencanaan sosial (social planning), dan (3) model aksi sosial
(social action).
DAFTAR PUSTAKA

Tagaliacozzo D.M., Luskin D.B., Lashof J.C. & Ima K., Nurse Intervention and Patient
Behavior, Am. Jou. Public Health 1974, vol 64 No. 6.
Ambar Teguh Sulistyani. 2004. Kemitraan dan Model-model Pemberdayaan. Yogyakarta :
Graha Ilmu
Depkes RI. 1992. Undang-Undang Kesehatan No 23 Tahun 1992. Tentang Kesehatan.
Jakarta : Depkes RI

Anda mungkin juga menyukai