Anda di halaman 1dari 11

SISTEM PEMERINTAHAN DI NEGARA REPUBLIK INDONESIA

DALAM BERBAGAI KURUN WAKTU

DISUSUN OLEH :
1. AHMAD SHOFA NURHASAN
2. ASEP SURYA LESMANA
3. MEIGY FERDIANSYAH
4. M. YUDHA PERMANA
5. RAMDANI
6. RIZALDY FATURACHMAN ELFENDI
7. ZANI SAMRIZAL
KELAS XII TITL 4

SMK NEGERI 6 BANDUNG


Jalan Soekarno-Hatta (Riung Bandung) Telp. 7563293
Tahun Pelajaran 2014 – 2015
SISTEM PEMERINTAHAN DI NEGARA REPUBLIK INDONESIA DALAM
BERBAGAI KURUN WAKTU

Setiap_negara_memiliki sebuah_sistem untuk mengatur seluruh urusan


pemerintahan. Sistem pemerintahan adalah cara pemerintah dalam_mengatur
semua yang berkaitan dengan pemerintahan. Sistem ini berfungsi untuk menjaga
kestabilan_pemerintahan, politik, pertahanan, ekonomi, dll. Sistem pemerintahan
yang dijalankan secara benar dan_menyeluruh, maka semua negara tersebut akan
berada dalam keadaan stabil.
Ada 2 jenis sistem pemerintahan yang ada di dunia, yakni sistem
pemerintahan Presidensial dan Parlementer. Pada saat ini, Negara Republik
Indonesia menganut sistem pemerintahan Presidensial. Sistem pemerintahan
Presidensial, adalah keseluruhan hubungan kerja antar lembaga negara melalui
pemisahan kekuasan negara, disini presiden adalah kunci dalam pengelolaan
kekuasaan menjalankan pemerintahan negara.

Berikut ini adalah Sistem Pemerintahan Negara Republik Indonesia dalam


berbagai kurun waktu :

A. Kurun waktu Pertama: 17 agustus 1945 - 28 desember 1949, Sistem


Pemerintahan Presidensial (menurut ketentuan berlakunya UUD Negara RI
Tahun 1945).

Dalam kurun waktu 18 Agustus 1945 sampai dengan 27 Desember 1949,


sistem pemerintahan Indonesia berdasarkan UUD 1945 adalah presidensial.
Dalam sistem pemerintahan presidensial, presiden mempertanggung jawabkan
pelaksanaan tugas eksekutifnya kepada parlemen. Presiden berkedudukan
sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan. Presiden dan pariemen tidak
dapat saling menjatuhkan.
Pada masa UUD 1945 menganut sistem pemerintahan presidensial, hal
ini dapat dilihat dalam beberapa pasal UUD 1945, di antaranya:

a. Pasal 4 ayat 1 UUD 1945 "Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan


pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar"
b. Pasal 17 ayat 1 UUD 1945 "Presiden dibantu oleh menteri-menteri negara"
c. Pasal 17 ayat 2 UUD 1945 "Menteri-menteri negara diangkat dan dihentikan
oleh presiden"
d. Pasal 17 ayat 3 UUD 1945 "Menteri-menteri itu memimpin departemen
pemerintahan"

Namun pada masa awal kemerdekaan, ketentuan dalam pasal-pasal


tersebut belum dapat diterapkan karena sistem pemerintahan Indonesia pada
waktu itu memiliki ciri tersendiri yaitu adanya pemberian kekuasaan yang sangat
besar kepada presiden.

Berdasarkan penjelasan Pasal IV Aturan Peralihan, bahwa sebelum


Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan
Pertimbangan Agung dibentuk menurut Undang-Undang Dasar ini segala
kekuasaan dijalankan oleh presiden dengan bantuan Komite Nasional. Sehingga
pada waktu itu kekuasaan presiden sebagai berikut.

a. Presiden adalah pelaksana kedaulatan rakyat.


b. Presiden berwenang menetapkan dan mengubah Undang-Undang Dasar.
c. Presiden melaksanakan kekuasaan pemerintahan.
d. Presiden berwenang menetapkan garis-garis besar haluan negara.
e. Presiden berwenang membuat segala bentuk peraturan perundangan.

Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia, pada tanggal 18 Agustus 1945


memilih Soekarno dan Mohammad Hatta sebagai presiden dan wakil presiden
RI. Selanjutnya tanggal 22 Agustus 1945 sidang PPKI menetapkan beberapa
penyelenggaraan negara dalam rangka melaksanakan aturan peralihan UUD
1945, di antaranya:

a. Membentuk partai politik sebagai alat perjuangan yaitu Partai Nasional


Indonesia.
b. Membentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR).
c. Membentuk Komite Nasional Indonesia (KNI) sebagai pembantu presiden
sebelum DPR dan MPR dapat didirikan.

Pada masa ini terdapat juga jabatan lain selain jabatan presiden yaitu
wakil presiden, menteri-menteri dan Komite Nasional Indonesia (KNI) yang
semuanya berfungsi sebagai pembantu presiden. Dengan keadaan seperti
tersebut, maka presiden dapat melaksanakan kekuasaan yang besar, tanpa ada
pengawasan dari badan Iainnya. Namun setelah dikeluarkan Maklumat Wakil
Presiden No. X tanggal 16 Oktober 1945 yang berisi bahwa selama belum
dibentuknya MPR dan DPR, KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat ) diberi
kekuasaan Iegislatif dan ikut menetapkan garis-garis besar haluan negara
(GBHN). Maka sejak saat itu kekuasaan presiden makin berkurang. Kekuasaan
presiden sebagian beralih kepada KNIP. Hal ini menyebabkan berubahnya
kedudukan presiden yaitu yang semula hanya sebagai badan pembantu presiden
menjadi parlemen (Badan Perwakilan Rakyat).

Komite Nasional Indonesia diberi kekuasaan legislatif akan tetapi


menteri-menteri kedudukannya sebagai pembantu presiden, dan sebelum
maupun sesudah keluarnya Maklumat Wakil Presiden No. X, menteri-menteri
tetap bertanggungjawab kepada presiden, bahkan kepada KNIP. Selanjutnya atas
usul Badan Pekerja KNIP, pada tanggai 11 November 1945 kepada presiden,
Presiden Soekarno mengeluarkan Maklumat Pemerintah 14 November 1945
yang berisi bahwa para menteri bertanggung jawab pada parlemen (KNIP).
Dengan demikian sejak saat itu para menteri bertanggung jawab kepada Badan
Perwakilan Rakyat yaitu Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) dan tidak
bertanggungjawab Iagi kepada presiden. Sejak tanggal 14 November 1945 pula
sistem pemerintahan Indonesia berubah yaitu dari sistem pemerintahan
presidensial menjadi parlementer, akibat perubahan tersebut maka Soekarno
sebagai presiden berkedudukan sebagai kepala negara dan kepala
pemerintahan dipimpin oleh Sutan Syahrir.

Dalam pelaksanaan sistem pemerintahan pada masa tersebut ternyata


terdapat penyimpangan dari ketentuan UUD 1945, terutama karena faktor
politik, di antaranya adalah sebagai berikut:

a. Berubahnya fungsi Komite Nasional Pusat (dibentuk PPKI, tanggai 22 agustus


1945) yaitu dari pembantu presiden menjadi badan yang diserahi kekuasaan
Iegislatif (seharusnya DPR), dan ikut menetapkan Garis-Garis Besar Haluan
Negara (sesungguhnya wewenang MPR). Keputusan ini berdasarkan
Maklumat Wakil Presiden No. X tanggai 16 Oktober 1945.
b. Terjadinya perubahan sistem Kabinet Presidensial menjadi Kabinet
Parlementer berdasarkan usul badan pekeda Komite Nasional Indonesia
Pusat (KNIP) pada tanggai 11 November 1945, yang kemudian disetujui oleh
presiden dan di umumkan dengan Maklumat Pemerintah tanggai 14
November 1945

B. Kurun waktu Kedua: 29 desember 1949 - 16 agustus 1950, Sistem


Pemerintahan Federalis(menurut ketentuan berlakunya Konstitusi Republik
Indonesia Serikat).

Sistem pemerintahan Indonesia menurut Konstitusi RIS, dalam kurun


waktu 27 Desember 1949 sampai dengan 17 agustus 1950 adalah parlementer.
Penerapan sistem pemerintahan parlementer oleh Konstitusi RIS ini didasarkan
pada :
a. Pasal 691 ayat 1 KRIS “Presiden ialah kepala Negara”
b. Pasal 118 ayat 1 KRIS “Presiden tidak dapat diganggu gugat”
c. Pasal 118 ayat 2 KRIS “Menteri menteri bertanggungjawab atas seluruh
kebijaksanaan pemerintah baik bersama sama untuk seluruhnya maupun
masing-masing untuk bagiannya sendiri-sendiri dalam hal itu”

Sistem pemerintahan yang dianut pada masa Konstitusi RIS bukan


kabinet parlementer murni melainkan Sistem Pariementer Kabinet semu (Quasi
Parlementer). Karena dalam sistem parlementer murni, parlemen (legislatif)
mempunyai kedudukan yang sangat menentukan terhadap kekuasaan
pemerintah (eksekutif), tapi kenyataan parlemen kedudukannya hanya terbatas
pada hal-hal tertentu saja. Sistem pemerintahan parlementer, kabinet semu
(Quasi Parlementer) yang dianut oleh Konstitusi RIS, dapat dijelaskan sebagai
berikut:

a. Pengangkatan perdana menteri dilakukan oleh presiden, bukan oleh


parlemen sebagaimana Iazimnya (Pasal 74 ayat 2).
b. Kekuasaan perdana menteri masih dicampur tangani oleh presiden. Hal itu
dapat dilihat pada ketentuan bahwa presiden dan menteri-menteri
bersama-sama merupakan pemerintah. Seharusnya presiden hanya sebagai
kepala negara, sedangkan kepala pemerintahannya dipegang oleh perdana
menteri (Pasal 68 ayat 1).
c. Kabinet dibentuk oleh presiden, bukan oleh parlemen (Pasal 74).
d. Pertanggungjawaban menteri baik secara perorangan maupun bersama-
sama adalah kepada DPR, namun harus melalui keputusan pemerintah
(Pasal 74 ayat 5).
e. Parlemen tidak mempunyai hubungan erat dengan pemerintah sehingga
DPR tidak punya pengaruh besar terhadap pemerintah. DPR juga tidak dapat
menggunakan mosi tidak percaya terhadap Kabinet (Pasal 118 dan 122).
f. Presiden RIS mempunyai kedudukan rangkap, yaitu sebagai kepala negara
dan kepala pemerintahan (Pasal 68 dan 69).

C. Kurun waktu Ketiga: 17 agustus 1950 - 4 juli 1959, Sistem Pemerintahan


Parlementer ( menurut ketentuan berlakunya UUDS Tahun 1950).

Sistem pemerintahan yang dianut oleh Undang-Undang Sementara 1950


yang berlaku antara 17 Agustus 1950 sampai dengan 5 Juli 1959 adalah
parlementer. Hai ini dijelaskan dalam pasal-pasal berikut.

a. Pasal 45 ayat1 UUDS 1950 "Presiden adalah kepala negara"


b. Pasal 83 ayat1 UUDS 1950 "Presiden dan Wakil Presiden tidak dapat
diganggu gugat"
c. Pasal 83 ayat 2 UUDS 1950 "Menteri-menteri beitanggungjawab atas
keseluruhan kebijaksanaan pemerintah baik bersama-sama untuk
seluruhnya, maupun masing-masing untuk bagiannya sendiri-sendiri"
d. Pasal 84 UUDS 1950 "Presiden berhak membubarkan DPR, keputusan
presiden yang menyatakan pembubaran itu, memerintahkan pula untuk
mengadakan pemilihan DPR dalam 30 hari"

Namun sistem pemerintahan yang dianut UUDS 1950, tidak jauh


berbeda dengan yang dianut oleh Konstitusi RIS 1949 yaitu sistem parlementer
semu (Quasi parlementer). Ketidakmurnian (semu) parlementer pada masa
UUDS 1950 ditandai dengan ciri-ciri sebagai berikut:

1) Perdana menteri diangkat oleh presiden (seharusnya oleh parlemen) (Pasal


51 ayat 2).
2) Kekuasaan perdana menteri sebagai ketua dewan menteri masih
dicampurtangani oleh presiden (seharusnya presiden hanya sebagai kepala
negara dan kepala pemerintahannya adalah perdana menteri) (Pasal 46 ayat
1).
3) Pembentukan kabinet dilakukan oleh presiden dengan menunjuk seseorang
atau beberapa orang pembentuk kabinet (lazimnya oleh parlemen) (Pasal 50
- 51 ayat 1).
4) Pengangkatan atau penghentian menteri-menteri dan kabinet dilakukan
dengan keputusan presiden (lazimnya oleh parlemen) (Pasal 51 ayat 5).
5) Presiden dan wakil presiden berkedudukan selain sebagai kepala negara
juga sebagai kepala pemerintahan (seharusnya terpisah) (Pasal 45 - 46 ayat
1) .

Berdasarkan penjelasan di atas, ditunjukkan bahwa sistem


pemerintahan dalam UUDS 1950, adalah sistem parlementer yang masih
terdapat pula ciri-ciri Kabinet presidensil. Dan juga sistem pemerintahan yang
dianut dalam konstitusi RIS, masih dapat ditemukan dalam UUDS 1950.

Pada tanggal 1 April 1953, Undang-Undang tentang Pemilihan Umum


yaitu UU No. 7 tahun 1953 diumumkan selanjutnya tanggal 29 September 1955
diadakan pemilihan umum (pemilu) yang pertama kali di Indonesia, pemilu ini
diselenggarakan untuk memilih anggota DPR. Pada tanggal 10 November 1956
Konstituante hasil pemilu 1955 mulai menggelar sidangnya di Bandung. Dalam
sidang ini agenda utama adalah menetapkan _UUDS 1950. Namun seteiah
bersidang selama tiga tahun, badan yang bertugas membuat konstitusi tersebut
gagal membuat UUD baru. Kegagalan ini disebabkan karena adanya perdebatan
panjang diseputar persoalan dasar negara. Pada tanggal 25 April 1950, presiden
Soekarno memberikan amanatnya dalam sidang Konstituante agar menetapkan
UUD 1945 sebagai pengganti UUDS 1950. Seianjutnya tanggal 29 Mei 1950
konstituante kembali bersidang, namun perdebatan tentang dasar negara
Republik Indonesia masih saja terjadi. Karena konstituante telah dianggap gagal
menetapkan UUD 1945, akhirnya tanggal 5 Juli 1959 presiden Soekamo
mengeluarkan Dekrit yang berisi:

1) Pembubaran Konstituante.
2) Beriakunya kembali Undang-Undang Dasar1945.
3) Pembentukan MPRS dan DPRS.

D. Kurun waktu Keempat: 5 juli 1959 - sekarang, Sistem Pemerintahan


Presidensial (menurut ketentuan berlakunya UUD Negara RI Tahun 1945),
dengan mengalami beberapa variasi akibat Perubahan UUD Negara RI pada
tahun 1999, 2000, 2001, dan 2002.
1. Orde lama (1959 – 1966)
Pada masa ini, sistem pemerintahan yang dianut Negara Republik
Indonesia adalah presidensial. Karena situasi politik pada Sidang
Konstituante 1959 dimana banyak saling tarik ulur kepentingan partai politik
sehingga gagal menghasilkan UUD baru, maka pada tanggal 5 Juli 1959,
Presiden Sukarno mengeluarkan Dekrit Presiden yang salah satu isinya
memberlakukan kembali UUD 1945 sebagai undang-undang dasar,
menggantikan Undang-Undang Dasar Sementara 1950 yang berlaku pada
waktu itu. Pada masa ini pula, terdapat berbagai penyimpangan UUD 1945,
diantaranya:
 Presiden mengangkat Ketua dan Wakil Ketua MPR/DPR dan MA serta
Wakil Ketua DPA menjadi Menteri Negara
 MPRS menetapkan Soekarno sebagai presiden seumur hidup
 Pemberontakan Partai Komunis Indonesia melalui Gerakan 30
September Partai Komunis Indonesia
2. Orde Baru (1996 – 1998)
Pada masa Orde Baru, sistem pemerintahan yang dianut Negara
Republik Indonesia adalah presidensial. Pemerintah menyatakan akan
menjalankan UUD 1945 dan Pancasila secara murni dan konsekuen. Namun
pelaksanaannya ternyata menyimpang dari Pancasila dan UUD 1945 yang
murni, terutama pelanggaran pasal 23 (hutang Konglomerat/private debt
dijadikan beban rakyat Indonesia/public debt) dan 33 UUD 1945 yang
memberi kekuasaan pada fihak swasta untuk menghancur hutan dan
sumberalam kita.
Pada masa Orde Baru, UUD 1945 juga menjadi konstitusi yang sangat
sakral, diantara melalui sejumlah peraturan:
 Ketetapan MPR Nomor I/MPR/1983 yang menyatakan bahwa MPR
berketetapan untuk mempertahankan UUD 1945, tidak berkehendak
akan melakukan perubahan terhadapnya
 Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1983 tentang Referendum yang antara
lain menyatakan bahwa bila MPR berkehendak mengubah UUD 1945,
terlebih dahulu harus minta pendapat rakyat melalui referendum.
 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1985 tentang Referendum, yang
merupakan pelaksanaan TAP MPR Nomor IV/MPR/1983.
3. Era Reformasi (1998 – sekarang)
Pada era reformasi, sistem pemerintahan yang dianut Negara
Republik Indonesia adalah presidensial. Salah satu tuntutan Reformasi 1998
adalah dilakukannya perubahan (amandemen) terhadap UUD 1945. Latar
belakang tuntutan perubahan UUD 1945 antara lain karena pada masa Orde
Baru, kekuasaan tertinggi di tangan MPR (dan pada kenyataannya bukan di
tangan rakyat), kekuasaan yang sangat besar pada Presiden, adanya pasal-
pasal yang terlalu luwes (sehingga dapat menimbulkan multitafsir), serta
kenyataan rumusan UUD 1945 tentang semangat penyelenggara negara
yang belum cukup didukung ketentuan konstitusi.
Tujuan perubahan UUD 1945 waktu itu adalah menyempurnakan aturan
dasar seperti tatanan negara, kedaulatan rakyat, HAM, pembagian
kekuasaan, eksistensi negara demokrasi dan negara hukum, serta hal-hal
lain yang sesuai dengan perkembangan aspirasi dan kebutuhan bangsa.
Perubahan UUD 1945 dengan kesepakatan diantaranya tidak mengubah
Pembukaan UUD 1945, tetap mempertahankan susunan kenegaraan (staat
structure) kesatuan atau selanjutnya lebih dikenal sebagai Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI), serta mempertegas sistem pemerintahan
presidensial.

Anda mungkin juga menyukai