Anda di halaman 1dari 15

KONTRAK SYARIAH (AKAD)

A. Pengertian Kontrak Syariah


Pengertian kontrak adalah perjanjian yang dibuat secara tertulis. Kontrak
merupakan suatu perjanjian / perikatan yang sengaja dibuat secara tertulis sebagai
alat bukti bagi para pihak yang berkepentingan. Pengertian kontrak(akad) umumnya
diartikan sebagai penawaran dan penerimaan yang berakibat pada konsekuensi
hukum tertentu. Kontrak berarti suatu kesepakatan yang besandar pada penawaran
dan penerimaan (ijab-qabul) antara pihak yang terlibat dalam kontrak dengan prinsip
hukum dalam suatu urusan (objek).
Pengertian akad secara terminologis, antara lain berarti ikatan antara dua
perkara, baik ikatan secara nyata maupun ikatan secara maknawi, dari satu segi
maupun dua segi. Akad juga berarti sambungan (al-uqdah) dan janji (al-‘ahd).

B. Dasar Hukum Kontrak Syariah


Dasar hukum kontrak syariah adalah Al-Qur’an. Hal ini terdapat dalam beberapa
ayat yaitu QS. Al-Isra’ (17) : 34, QS. Al-Maidah (5) : 1, dan QS. Al-Baqarah (2) :
282.

C. Rukun dan Syarat Kontrak Syariah


Suatu akad baru terbentuk bila terpenuhi rukun (unsur) nya, yaitu:
1. Para pihak yang membuat akad (‘aqidain)/subjek akad(subjek hukum).
Subjek akad dapat berbentuk orang perotang dan dapat juga dalam bentuk badan
hukum. Syarat subjek akad tersebut, yaitu: Seseorang yang mukallaf (telah
mempunyai kedudukan tertentu sehingga dia dibebani kewajiban tertentu) dan
badan hukum suatu persekutan (syirkah) yang dibentuk berdasarkan hukum dan
memiliki tanggung jawab kehartaan yang terpisah dari pendirinya.
2. Pernyataan kehendak para pihak (shighat ‘aqd)
Shighat akad atau ijab qabul (serah terima), yaitu perkataan yang
menunjukkan kepada kedua belah pihak. Syarat shighat ‘aqd di
antaranya, yaitu:

1
 Jala’ul ma’na (dinyatakan dengan ungkapan yang jelas dan pasti
maknanya), sehingga dapat dipahami jenis akad yang dikehendaki.
 Tawafuq/tathabuq bainal ijabwal Kabul (persesuaian antara ijab dan
qabul).
 Jazmul iradataini (ijab dan Kabul mencerminkan kehendak masing-
masing pihak secara pasti, mantap) tidak menunjukkan adanya unsur
keraguan dan paksaan.
 Ittishad al-Kabul bil-hijab, di mana kedua pihak dapat hadur dalam
suatu majlis.
3. Objek akad (mahallul ‘aqd)
Objek akad haruslah halal menurut syara’, bermanfaat (bukan
merusak atau digunakan untuk merusak), dimiliki sendiri atau atas kuasa
pemilik, dapat diserahterimakan, dan dengan harga jelas.
4. Tujuan akad (maudhu ‘aqd)
Syarat akad atau maudhu ‘aqd atau dalam istilah hokum
perjanjian disebut “prestasi”. Syarat-syarat dari tujuan akad atau prestasi
ini,yaitu: baru ada pada saat dilaksanakan akad, berlangsung adanya
hingga berakhirnya akad, dan harus dibenarkan syara’
Sedangkan syarat akad,yaitu:
 Pihak-pihak yang berakad, adalah orang, persekutuan, atau badan usaha
yang memiliki kecakapan dalam melakukan perbuatan hukum.
 Objek akad, adalah amwal atau jasa yang dihalalkan yang dibutuhkan
oleh masing-masing pihak.
 Tujuan pokok akad, akad bertujuan untuk memenuhi kebutuhan hdiup
dan pengembangan usaha masing-masing pihak yang mengadakan akad.
 Kesepakatan, menurut pasal 29 Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah,
akad yang sah adalah akad yang disepakati dalam perjanjian, tidak
mengandung unsur ghalath atau khilaf, dilakukan di bawah ikrah atau
paksaan, taghir atau tipuan, dan ghulan atau penyamaran.

2
D. Asas- asas Kontrak Syariah (Akad)

Menurut Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah , asas-asas akad (kontrak) Syariah),


yaitu sebagai berikut :
1. ikhtiyari/ sukarela; setiap akad dilakukan atas kehendak para pihak, terhindar
dari keterpaksaan/ tekanan.
2. amanah/ menepati janji; setiap akad wajib dilaksanakan oleh para pihak sesuai
dengan kesepakatan yang ditetapkan oleh yang bersangkutan dan pada saat yang
sama terhindar dari cidera janji.
3. ikhtiyati/ kehati-hatian; setiap akad dilakukan dengan pertimbangan yang
matang dan dilaksanakan secara tepat dan cermat.
4. luzum/ tidak berobah; setiap akad dilakukan dengan tujuanyang jelas dan
perhitungan yang cermat, sehingga terhindar dari praktik spekulasi atau maisir.
5. saling menguntungkan; setiap akad dilakukan untukmemenuhi kepentingan para
pihak sehingga tercegah daripraktik manipulasi dan merugikan salah satu pihak.
6. taswiyah/ kesetaraan; para pihak dalam setiap akad memiliki kedudukan yang
setara, dan mempunyai hak dan kewajiban yang seimbang.
7. transparansi; setiap akad dilakukan dengan pertanggungjawaban para pihak
secara terbuka.
8. kemampuan; setiap akad dilakukan sesuai dengankemampuan para pihak,
sehingga tidak menjadi beban yangberlebihan bagi yang bersangkutan.
9. Taisir/ kemudahan; setiap akad dilakukan dengan cara saling memberi
kemudahan kepada masing-masing pihak untuk dapat melaksanakannya sesuai
dengan kesepakatan.
10. itikad baik; akad dilakukan dalam rangka menegakan kemaslahatan, tidak
mengandung unsur perbuatan buruk lainnya.
11. sebab yang halal; tidak haram serta bertentangan dan dilarang oleh hukum.

E. Ingkar Janji dalam Akad dan Sanksinya

Pihak dapat dianggap melakukan ingkar janji, apabila karena kesalahannya:


 tidak melakukan apa yang dijanjikan untuk melakukannya;
 melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan;

3
 melakukan apa yang dijanjikannya, tetapi terlambat; atau
 melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan
Sanksi bagi pelaku ingkar janji, yaitu sebagai berikut :

 Pembayaran gantu rugi, yang dapat dijatuhkan apabila:


o pihak yang melakukan ingkar janji setelah dinyatakan ingkarjanji, tetap
melakukan ingkar janji;
o sesuatu yang harus diberikan atau dibuatnya, hanya dapat diberikan atau
dibuat dalam tenggang waktu yang telahdilampaukannya;
o pihak yang melakukan ingkar janji tidak dapat membuktikanbahwa
perbuatan ingkar janji yang dilakukannya tidak dibawah paksaan.
 Pembatalan akad;
 Peralihan risiko
 Denda;dan/atau
 Pembayaran biaya perkara

F. Akibat Akad (Kontrak)


Ada beberapa akibat yang ditimbulkan dari akad (akad) yang telah
dibuat/dilaksanakan, yaitu:
1. Semua akad yang dibentuk secara sah berlaku sebagai nash syari’ah bagi mereka
yang mengadakan akad.
2. Suatu akad tidak hanya mengikat untuk hal yang dinyatakan secara tegas
didalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu menurut sifat akad yang diharuskan
oleh kepatutan, kebiasaan, dan nash-nash syari’ah.
3. Suatu akad hanya berlaku antara pihak-pihak yang mengadaakan akad.
4. Suatu akad dapat dibatalkan oleh pihak yang berpiutang jika pihak yang
berutang terbukti melakukan perbuatan yang merugikan pihak yang berpiutang.

G. Batalnya Kontrak (Akad)


Dalam praktiknya, kontrak bisa terjadi pembatalan sebelum dilaksanakan. Ada
beberapa sebab pembatalan penawaran (ijab), yaitu sebagai berikut :

4
1. Pembatalan oleh pembuat penawaran. Menurut para ulama, Penawaran bisa
dibatalkan sebelum terjadinya penerimaan (qabul) oleh pihak kedua. Kebolehan
pembatalan ini karena pihak yang akan menerima belum terjadi.
2. Kematian salah satu pihak atau hilangnya kemampuan yang menyebabkan
hilangnya penawaran.
3. Penolakan penawaran yang dilakukan dengan ucapan atau tindakan.
4. Berakhirnya tempat perjanjian. Penawaran dapat dibatalkan dengan berakhirnya
tempat perjanjian sebelum penerimaan (qabul) dari pihak lain (kedua)
5. Kerusakkan objek yang akan ditransaksikan baik sebagian atau seluruhnya.

H. Berakhirnya Akad (Kontrak) dan Pembatalan Kontrak (Akad)


Menurut hukum Islam, akad berakhir karena sebab-sebab terpenuhinya tujuan akad
(tahkiq gharadh al-‘aqd), pemutusan akad (fasakh), putus dengan sendirinya
(infisakh), kematian, dan tidak memperoleh izin dari pihak yang memiliki
kewenangan dalam akad mauqup. Berikut penjelasan dari masing-masing dimaksud.
1. Terpenuhinya tujuan akad
Suatu akad di pandang berakhir apabila telah tercapai tujuannya. Dalam akad
jual beli, akad dipandang telah berakhir apabila barang telah berpindah milik
kepada pembeli dan harganya telah menjadi milik penjual. Dalam akad salam
dan istishna akan berakhir jika pembayaran sudah lunas dan barangnya keterima.
2. Terjadinya pembatalan akad (fasakh)
 Adanya hal-hal yang tidak dibenarkan syara; seperti terdapat kerusakan
dalam akad (fasad al-‘aqdi). Misalnya, jual beli barang yang tidak
memenuhi kejelasan (jahala) dan tertentu waktunya (mu’aqqat).
 Adanya khiyar, khiyar rukyat, khiyair ‘aib, khiyar syarat atau khiyar
majelis.
 Adanya penyesalan dari salah satu pihak (iqalah). Salah satu pihak yang
berakad dengan persetujuan pihak lain membatalkan karena merasa
menyesal atas akad yang baru saja dilakukan. Hal ini didasarkan pada
hadis Nabi riwayat Baihaqi dari Abu Hurairah yang mengajarkan bahwa

5
barang siapa mengabulkan permintaan pembatalan orang yang menyesal
akad jual beli yang dilakukan, Allah akan menghilangkan kesukarannya
pada hari kiamat kelak (man aqala naadiman bai’atahu aqallahu’atsratuhu
yaumal qiyamah).
 Adanya kewajiban dalam akad yang tidak dipenuhi oleh pihak-pihak yang
berakad (li’adami tanfidz).
 Berakhirnya waktu akad karena habis waktunya, seperti dalam akad
sewamenyewa yang berjangka waktu tertentu dan tidak dapat
diperpanjang.
3. Salah satu Pihak yang berakad meninggal dunia Kematian salah satu pihak yang
mengadakan akad mengakibatkan berakhirnya akad. Hal ini terutama yang
menyangkut hak-hak perorangan dan bukan hak kebendaan. Kematian salah satu
pihak menyangkut hak perorangan mengakibatkan berakhirnya akad perwalian,
perwakilan dan sebagainya.
4. Tidak ada izin dari yang berhak. Dalam hal akad maukuf (akad yang
keabsahanya bergantung pada pihak lain), seperti akad bai’ fudhuli dan akad
anak yang belum dewasa, akad berakhir apabila tidak mendapat persetujuan dari
yang berhak.

I. Kontrak Perwakilan
Kontrak yang dilakukan oleh orang lain atas nama pemberi kontrak adalah
model perwakilan kontrak. Tindakan kontrak seperti ini merupakan hubungan
jaminan antara dua orang yang memberi kepercayaan untuk mewakili tindakan
sesuai dengan niat dan keinginan pemberi.
Untuk mencapai legalitas dan tercapainya pelaksanaan perwakilan, wakil
pelaksana kontrak perlu memberi persyaratan sebagai berikut:
1. Wakil yang ditunjuk dapat memenuhi keinginan pemberian tugas yang harus
mampu melaksanakan hal-hal yang diamanatkan.
2. Pemberi amanat (wakalah) adalah orang yang kompeten untuk memberikan
kepercayaan. Karena itu, ia juga harus memiliki otoritas penuh terhadap apa yang
akan diserahkan perwakilannya terhadap orang lain.

6
3. Tindakan atau barang yang menjadi kesepakatan perwakilan adalah sah menurut
syara’. Karena itu barang atau objek yang akan diwakilkan harus memenuhi
persyaratan, antara lain:
 Kriteria dan segala ketentuan mengenai objek , bentuk, macam, jumlah dan
kualitas barangnya jelas;
 Barang yang menjadi objek halal dan mungkin diperoleh;
 Tindakan yang diwakilkan adalah sesuatu yang boleh dan bisa diwakilkan
secara syara’. Shalat, puasa adalah sesuatu yang tidak bisa diwakilkan.

Berikut adalah objek yang bisa dilakukan dengan perwakilan jual beli,
persewaan, pinjam-meminjam, memberi hadiah, jaminan, bersumpah, berutang,
investasi, penyelesaian perkara di pengadilan, kontrak perkawinan, perceraian,
pelepasan hak, dan penerimaan dan pengakuan hak.

Kontrak yang diberikan kepada orang berakhir dengan alasan berikut:

 Kesepakatan bersama untuk mengakhirinya.


 Pemutusan sepihak, baik oleh penerima atau pemberi otoritas
perwakilan. Sesuai dengan syarat dan kesepakatan yang telah dibuat,
kontrak akan secara otomatis berakhir.
 Selesai pelaksanaan kontrak perwakilan.
 Rusaknya objek yang menjadi kesepakatan kontrak untuk diwakilkan.
Misalnya objek hilang atau tidak ada.
 Meninggal atau hilangnya kemampuan secara hukum. Misalnya wakil
mengalami gila.

J. Macam-macam Akad
1. Dilihat dari keabsahannya
Akad dibagi menjadi tiga:
a. Akad yang Sah
Akad yang sah adalah akad yang terpenuhi rukun dan syarat- syaratnya lalu
disepakati dalam perjanjian dan tidak mengandung unsur ghalat atau khilaf,
dilakukan di bawah ikrah atau paksaan, taghir atau tipuan atau penyamaran.

7
b. Akad yang Fasad
Akad yang fasad adalah akad yang terpenuhi rukun dan syarat-
syaratnya, tetapi terdapat hal lain yang merusak akad tersebut karena
pertimbangan maslahat.
c. Akad yang Batal
Akad yang batal adalah akad yang kurang rukun dan atau syarat-
syaratnya.
2. Dilihat dari penamaannya
Akad dibagi menjadi dua:
a. Akad Bernama (Al-‘Uqud Al-Musamma)
Berupa akad yang penamaannya telah disebutkan dan diterangkan
ketentuannya oleh syara’. Contohnya, Ba’i (jual beli), Ijarah (sewa
menyewa), Kafalah (penanggungan), hibah, dll.
b. Akad Tidak Bernama (Al-‘Uqud Ghair Al-Musamma)
Berupa akad yang belum dinamai syara’, tetapi muncul dalam perjalanan
sejarah umat Islam yang disesuaikan dengan kebutuhan dan perkembangan
zaman. Contohnya, Ba’i al-wafa (jual beli harta tetap), Ba’i istijrar (penjual
memberikan manfaat kepada orang lain), dan Ba’i al- tahkir( persetujuan
untuk mengambil manfaat dari tanah wakaf).
3. Dilihat dari zatnya
Akad dibagi menjadi dua:
a. Akad terhadap benda yang berwujud (‘Ainiyyah)
Sesuatu akad dianggap sah apabila benda atau objek akad telah
diserahterimakan. Apabila objek akad ini tidak atau belum diserahterimakan,
maka akad ini dianggap keabsahannya belum sempurna. Contohnya, hibah,
‘ariyah, wadi’ah, qiradh, dan rahn.
b. Akad terhadap benda yang tidak berwujud ( Ghair al- ‘Ainiyyah)
Sesuatu akad dianggap sah setelah terjadinya shighat (ijab qabul)
sekalipun objek akadnya belum diserahterimakan.

8
4. Dilihat dari kedudukannya
Akad dibagi menjadi dua, yaitu:
a. Akad pokok (al-‘aqd al-ashli)
Akad pokok yaitu akad yang berdiri sendiri yang keberadaannya tidak
tergantung kepada suatu hal lain. Contohnya, akad jual beli, penitipan, sewa
menyewa, dll.
b. Akad asesoir (al-‘aqd at-taba’i)
Akad asesoir adalah akad yang keberadaannya tidak berdiri sendiri,
melainkan tergantung kepada suatu hak yang menjadi dasar ada dan tidaknya
atau sah dan tidaknya akad tersebut. Contohnya, akad penanggungan (al-
kafalah) dan akad gadai (al-rahn).
5. Dilihat dari tujuannya
Akad dibagi menjadi lima, yaitu:
a. Bertujuan tamlik, seperti jual beli.
b. Bertujuan untuk mengadakan usaha bersama (perkongsian), seperti syirkah
dan mudharabah.
c. Bertujuan tautsiq (memperkokoh kepercayaan), seperti rahn dan kafalah.
d. Bertujuan menyerahkan kekuasaan, seperti wakalah dan washiyah.
e. Bertujuan mengadakan pemeliharaan, seperti ida’ atau titipan.
6. Dilihat dari segi unsur tempo dalam akad
Akad dibagi menjadi dua, yaitu:
a. Akad bertempo (al-‘aqd al- zamani)
Akad bertempo adalah akad yang di dalamnya unsur waktu merupakan
unsur asasi, dalam arti unsur- unsur waktu merupakan bagian dari isi
perjanjian. Contohnya, sewa menyewa (ijarah), penitipan (wadiah), pinjam
pakai (‘ariyah), pemberian kuasa (wakalah).
b. Akad tidak bertempo (al-‘aqd al-fauri)
Akad tidak bertempo adalah akad di mana unsur waktu tidak merupakan
bagian dari isi perjanjian. Contohnya, akad jual beli.
7. Dilihat dari segi terjadinya/ keberlakuannya
Akad dibagi menjadi tiga, yaitu:
a. Akad Konsensual (al-‘aqd al-radha’i)

9
Perjanjian yang bersifat konsensual adalah perjanjian yang terjadi hanya
karena adanya pertemuan kehendak atau kesepakatan para pihak.
b. Akad Formalistik (al-‘aqd al-syakli)
Akad yang tunduk kepada syarat-syarat formalitas yang ditentukan oleh
pembuat hukum, di mana apabila syarat- syarat itu tidak terpenuhi akad
tidak sah.
c. Akad rill (al-‘aqd al-‘aini)
Akad yang untuk terjadinya diharuskan adanya penyerahan objek.
Apabila tidak dilakukan penyerahan, akad dianggap belum terjadi dan
belum menimbulkan akibat hukum. Contohnya, hibah, pinjaman pakai,
penitipan, pembiayaan kredit, dan gadai.
8. Dilihat dari segi sifat mengikatnya
Akad dibagi menjadi dua, yaitu:
a. Akad yang mengikat secara pasti (akad lazim)
Akad ini tidak boleh di fasakh (dibatalkan secara sepihak). Akad ini dapat
dibedakan menjadi dua. Pertama, akad mengikat kedua belah pihak.
Contohnya, akad jual beli, sewa menyewa, perdamaian. Kedua, akad
mengikat satu pihak, di mana salah satu pihak tidak dapat membatalkan
perjanjian tanpa persetujuan pihak lain, akan tetapi pihak lain dapat
membatalkannya tanpa persetujuan pihak pertama. Contohnya, akad kafalah
(penanggungan), dan gadai (rahn)
b. Akad yang mengikat secara tidak pasti ( akad tidak mengikat)
Akad ini dapat di fasakh oleh dua pihak atau oleh satu pihak. Akad jenis
ini dibedakan menjadi dua macam. Pertama, akad yang memang sifatnya
tidak mengikat (terbuka untuk di fasakh). Contohnya, akad wakalah
(pemberian kuasa), syirkah (persekutuan), hibah, wadi’ah (penitipan), dan
‘ariyah (pinjam pakai). Kedua, akad yang tidak mengikat karena di dalamnya
terdapat khiyar bagi para pihak.

9. Dilihat dari bentuknya


Akad dibagi menjadi dua, yaitu:
a. Akad tidak tertulis

10
Akad tidak tertulis adalah akad yang dibuat secara lisan saja dan
biasanya terjadi pada akad yang sederhana. Contohnya, jual beli kebutuhan
konsumsi sehari-hari.
b. Akad tertulis
Akad tertulis adalah akad yang dituangkan dalam bentuk tulisan/akta
baik akta autentik maupun akta dibawah tangan. Contohnya, akad wakaf,
akad jual beli ekspor-impor,dan sebagainya.
10. Dilihat dari motif yang mendasarinya
Akad dibagi menjadi dua macam:
a. Akad Tabarru’ (gratuitos contract)
Akad Tabarru’ adalah segala macam perjanjian yang menyangkut non
profit transaction (transaksi nirlaba). Transaksi ini pada hakikatnya bukan
transaksi bisnis untuk mencari keuntungan komersil. Akad tabarru’
dilakukan dengan tujuan tolong menolong dalam rangka berbuat kebaikan
(tabarru’ berasal dari kata birr dalam bahasa arab, yang artinya kebaikan.
Contohnya, al-qardh, al-rahn, hiwalah, wakalah, kafalah, wadi’ah, hibah,
hadiah, wakaf, dan shadaqah.
b. Akad Mu’awadah atau akad tijarah
Akad Tijarah adalah akad yang berorientasi pada keuntungan komersial (
for propfit oriented) atau segala macam perjanjian yang menyangkut
transaksi yang mengejar keuntungan. Dalam akad ini masing-masing pihak
yang melakukan akad berhak untuk mencari keuntungan. Contohnya, akad-
akad investasi, jual-beli, sewa-menyewa dan lain– lain. Pembagian
berdasarkan tingkat kepastian dari hasil yang diperoleh akad tijarah dibagi
menjadi dua yaitu Natural Uncertainty Contract (NUC) dan Natural Certainty
Contrats (NCC).

11. Dilihat dari segi hukum taklifi


Akad dibagi menjadi lima, yaitu:
a. Akad Wajib

11
Contoh akad wajib, yaitu akad nikah bagi orang yang sudah mampu
menikah, memiliki bekal untuk menikah, dan khawatir dirinya akan berbuat
maksiat kalau segera tidak menikah.
b. Akad Sunah
Contoh akad sunah, yaitu meminjamkan uang, membeli wakaf, dan
sejenisnya. Inilah dasar dari segala bentuk akad yang disunahkan.
c. Akad Mubah
Contoh akad mubah, yaitu akad jualbeli, penyewaan, dan sejenisnya.
Inilah akad dari segala bentuk akad kepemindahan kepemilikan baik itu
bersifat barang atau jasa.
d. Akad Makruh
Contoh akad makruh, yaitu menjual anggur kepada orang yang masih
diragukan, apakah ia akan membuat menjadi minuman keras atau tidak. Dan
inilah dasar hukum dari setiap bentuk akad yang diragukan akan bisa
menyebabkan maksiat.
e. Akad Haram
Contoh akad haram, yaitu perdagangan riba, menjual barang haram.
Seperti bangkai, darah, daging babi,dan sebagainya.
12. Dilihat dari segi dilarang atau tidak oleh syara’
Akad dibagi menjadi dua, yaitu:
a. Akad masyru’
Akad masyru’ adalah akad yang dibenarkan oleh syara’ untuk dibuat dan
tidak ada larangan untuk menutupnya. Contohnya, akad jual beli, sewa
menyewa, mudharabah dan sebagainya.
b. Akad terlarang (mamnu’ah)
Akad terlarang adalah akad yang dilarang oleh syara’. Contohnya, akad
jual beli janin, akad donasi harta anak dibawah umur, akad yang bertentangan
dengan akhlak Islam dan ketertiban umum seperti sewa-menyewa untuk
melakukan kejahatan.
13. Dilihat dari segi waktunya
Akad dibagi menjadi tiga, yaitu:
a. Akad munjaz

12
Akad Munjaz yaitu akad yang dilaksanakan langsung pada waktu selesai
nya akad. Pernyataan akad yang diikuti dengan pelaksanaan akad ialah
penyataan yang tidak disertai dengan syarat-syarat dan tidak pula ditentukan
waktu pelaksanaan setelah diadakannya akad.
b. Akad mudhaf’ilaal mustaqbal
Akad Mudhaf ‘ilaal mustaqbal ialah akad yang dalam pelaksanaannya
terdapat syarat-syarat mengenai penanggulangan pelaksanaan akad,
pernyataan yang pelaksanaannya ditangguhkan hingga waktu yang ditentuka.
Perkataan ini sah dilakukan pada waktu akad, tetapi belum mempunyai akibat
hukum sebelum tibanya waktu yang telah ditentukan.
c. Akad mu’allaq
Akad Mu’allaq ialah aqad yang didalam pelaksanaannya terdapat syarat-
syarat yang telah ditentkan didalam akad, misalnya penentuan penyerahan
barang-barang yang diakadkan setelah adanya pembayaran.
14. Dilihat dari segi dapat dilaksanakan atau tidak
Akad dibagi menjadi dua, yaitu:
a. Akad nafidz
Akad nafiz (sempurna untuk dilaksanakan), yaitu akad yang
dilangsungkan dengan memenuhi rukun dan syaratnya dan tidak ada
penghalang untuk melaksanakannnya. Misalnya, para pihak yang berakad
memenuhi syarat kecakapan untuk melakukan akad jual beli terhadap objek
tertentu hukumnya sah, setelah terjadi kesepakatan.

b. Akad mauquf
Akad mauquf, yaitu akad yang dilakukan seseorang yang cakap
bertindak hukum, tetapi ia tidak memiliki kekuasaan untuk melangsungkan
dan melaksanakan akad itu. Misalnya, Ahmad memberi uang sebesar Rp
1.000.000 kepada Mahmud untuk membeli seekor kambing. Ternyata di
tempat penjual kambing, jumlah uang tersebut dapat membeli dua ekor
kambing, sehingga Mahmud membeli dua ekor kambing. Keabsahan akad

13
jual beli dua ekor kambing ini amat bergantung kepada persetujuan karena
Mahmud diperintahkan hanya membeli seekor kambing. Apabila Ahmad
menyetujui akad yang telah dilakukan Mahmud, maka jual beli itu menjadi
sah. Jika tidak disetujui Ahmad, maka jual beli tersebut tidak sah. Akan
tetapi, ulama Syafi’i dan Hambali menganggap jual beli mauquf ini sebagai
jual beli yang batil.
15. Dilihat dari segi keharusan membayar ganti atau tidak
Akad dibagi menjadi tiga, yaitu:
a. Akad tanggungan (‘Aqd adh-dhaman)
Akad tanggungan adalah akad tanggung jawab pihak kedua sesudah
barang-barang itu diterimamya. Contohnya, jual-beli, qardh, menjadi
dhaman pihak kedua sesudah barang itu diterimanya.
b. Akad kepercayaan (‘Aqd al-amanah)
Akad kepercayaan adalah tanggungjawab dipikul oleh yang empunya,
bukan oleh yang memegang barang. Contohnya, syirkah, wakalah.
c. Akad yang dipengaruhi oleh beberapa unsur
Dari segi yang mengharuskan dhamanah, dan dari segi lain merupakan
amanah, yaitu ijarah, rahn, dan mudharabah.
16. Dilihat dari cara melakukannya
Akad dibagi menjadi dua, yaitu:
a. Akad-akad yang harus dilaksanakan dengan tata cara tertentu. Misalnya,
pernikahan yang harus dilaksanakan dihadapan para saksi, akad yang
menimbulkan hak bagi seseorang untuk mendapatkan tanah, yang oleh
undang-undang mengharuskan hak itu dicatat di kantor agrarian.
b. Akad-akad yang tidak memerlukan tata cara. Contohnya, jual beli akad tidak
perlu ditempat yang ditentukan dan tidak perlu di hadapan pejabat.
17. Dilihat dari segi tukar menukar
Akad dibagi menjadi tiga, yaitu:
a. Akad mu’awadhah
Akad mu’awadhah, yaitu akad-akad yang berlaku atas dasar timbal balik.
Contohnya, jual beli, sewa-menyewa, shuhl dengan harta, atau shuhl terhadap
harta dengan harta.

14
b. Akad tabarru’at
Akad tabarru’at, yaitu akad-akad yang berdasarkan pemberian dan
pertolongan. Contohnya, hibah dan ‘ariyah.
c. Akad yang awalnya mengandung tabarru’ lalu menjadi mu’awadhah
Akad yang mengandung tabarru’ pada permulaannya tetapi menjadi
mu’awadhah pada akhirnya. Contohnya, qardl, dan kafalah. Qardl dan
kafalah ini permulaannya adalah tabarru’, tetapi pada akhirnya menjadi
mu’awadhah ketika si Kafil meminta kembali untungnya kepada si Madin.

15

Anda mungkin juga menyukai