Anda di halaman 1dari 38

Peran Dokter Gigi dalam Bidang Forensik

drg. Mia Ayustina Prasetya, Sp. KGA

198007162010122002

Program Studi Pendidikan Dokter Gigi

Universitas Udayana

2018
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat-Nya sehingga literature
review ini dapat kami selesaikan dengan baik.

Kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah
membantu dalam penyusunan literature review ini. Harapan kami semoga literature reviw ini
dapat memberikan banyak manfaat baik kepada pembaca maupun kepada penulis.

Kami menyadari kami masih memiliki keterbatasan dalam pengetahuan dan pengalaman
dalam penyusunan, maka dari itu kami yakin masih banyak kekurangan dalam ini, oleh karena
itu kami sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari para pembaca untuk
kesempurnaan literature review kami.

Denpasar, 30 Januari 2018

Penulis
Daftar Isi

Bab 1. Pendahuluan ……………………………………………………………………….……………………… 1

1.1 Latar Belakang……………………………………………………………….……………………. 2

Bab 2. Laporan Kasus dan Diskusi …………………………………………………….……………………. 3

2.1 Laporan Kasus ……………………………………………………………..……….…………….. 3

2.2 Diskusi …………………………………………………………………………………..……………..12

Bab 3. Kaitan dengan Teori ………………….………………………………………………….……………..23

3.1 Bite Mark ……………………………………………………….…………………….……………….23

3.1.1 Definisi Bite Mark…………………………….…………………….……………. 23

3.2 Karakteristik Bite Mark …………………………………………..……………………………. 24

3.3 Klasifikasi Bite Mark …………………………………………..………………………………….25

3. 4 Metode Analisi Bite Mark ……………………….……….…………………………………..28

Bab 4. Kesimpulan ……………………………………………………….…….…………………….………………35

Daftar Pustaka ………………………………………………………………………………………………………….36


BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kemajuan ilmu pengetahuan serta teknologi tidak hanya membawa dampak positif bagi

kesejahteraan umat manusia di segala bidang kehidupan, namun juga menimbulkan dampak

negatif seperti meningkatnya kuantitas maupun kualitas tindak kejahatan khususnya yang

berkaitan dengan upaya pelaku tindak pidana dalam usaha menghilangkan barang bukti,

sehingga petugas kesulitan untuk mengetahui identitas pelaku dengan cepat (Raid dan Kaur,

2013). Bidang kedokteran gigi forensik merupakan cabang dari ilmu kedokteran gigi yang dapat

membantu penegakan hukum serta keadilan. Kedokteran gigi forensik adalah bidang kedokteran

gigi yang melibatkan pengumpulan, dan interpretasi bukti dental yang berhubungan dengan

bidang kriminalitas. Sesuai dengan bidangnya, dokter gigi dapat mengidentifikasi pelaku dengan

melihat gigi geligi. Gigi merupakan salah satu sarana identifikasi yang dapat dipercaya karena

karakteristik gigi geligi yang sangat individualis sehingga dapat membantu mengidentifikasi

pelaku dengan baik (Eriko dan Algozi, 2009). Salah satu cara yang umum dilakukan untuk

mengidentifikasi pelaku adalah dengan membuat cetakan dari bekas gigitan (bite mark) yang

ditemukan sehingga dapat dilakukan analisis bentuk dan lengkung serta relasi rahang yang dapat

dicocokkan pada tersangka yang mungkin meninggalkan bekas gigitan tersebut (Costa dkk,

2016).

Pola bekas gigitan ( bite mark ) pada kulit terutama dipengaruhi oleh tekanan dan lamanya

waktu gigitan. Selain itu, faktor-faktor lain seperti faktor mekanis dan fisiologis berperan dalam

munculnya bite mark. Bite mark pada manusia yang paling sering terdiri atas abrasi dangkal
dengan atau tanpa perdarahan dan muncul lengkungan. Kehadiran bukti fisik seperti bite mark

dalam kasus pemerkosaan, pembunuhan dan kekerasan dianggap sangat berharga. Bite mark

adalah bukti paling umum dalam kasus pemerkosaan. Tanda ini juga berperan dalam

menentukan jenis kekerasan fisik dan usia pelaku kriminal (Padmakumar dkk, 2014; Prasad,

2013). Memar pethecial merupakan salah satu contoh memar yang sering terjadi karena hisapan.

Memar tersebut dapat terjadi karena kulit kendur yang terhisap dan ditekan kearah langit-langit

di dalam rongga mulut. Pada kasus hisapan yang lebih keras atau agresif, dokter gigi dapat

menemukan tanda gigi individual yang tercetak pada memar tersebut seperti gigi insisivus sentral

dan lateral memiliki penampang gigitan yang cenderung berbentuk persegi panjang, sedangkan

pada gigi kaninus cenderung berbentuk melingar atau berbentuk segitiga / diamond (Costa dkk,

2016).
BAB II

LAPORAN KASUS DAN DISKUSI

2.1 Laporan Kasus

Kasus 1

Seorang korban wanita berusia 55 tahun yang mengalami kejahatan seksual, dibawa bersama

dengan seorang pria berusia 22 tahun (tersangka) oleh polisi ke departemen patologi dan

mikrobiologi oral, Government Dental College, Thiruvananthapuram pada tanggal 13 Agustus

2012. Korban tidak dapat mengingat kembali rincian mengenai tersangka dan tidak ada saksi

mata atas kejadian tersebut. Penyidik menemukan satu bukti penting yaitu bite mark di tubuh

korban. Pada pemeriksaan korban, pola memar setengah lingkaran yang diduga sebagai bite

mark terdapat pada pipi kiri dan telinga kiri. Bite mark difoto menggunakan Canon Powershot

SX 120 dan cetakan dibuat menggunakan addition silicon light body impression material dengan

bantuan plaster of paris untuk mendapatkan cetakan yang sesuai. Cetakan kemudian dicuci,

dikeringkan dan dicor menggunakan dental stone untuk mendapatkan model kerja. Model kerja

kemudian dibandingkan dengan gigi tersangka menggunakan program software Adobe

Photoshop 7.0.1 oleh odontologi forensik.

Gambar 1. Bite mark pada telinga kiri korban


Kasus 2

Seorang janda berusia 46 tahun yang berprofesi sebagai penari bar ditemukan tergantung

pada kipas angin langit-langit oleh putrinya di rumah. Dengan bantuan anggota keluarga lainnya,

tubuh wanita tersebut dibawa turun dengan cara memotong ikatannya. Ibu mertua dan anggota

keluarga lainnya mencoba menyadarkan kembali dengan menampar, memberi nafas buatan dan

menggigit. Setelah usaha yang tidak berhasil ini, polisi diberitahu tentang kejadian tersebut.

Setelah diminta oleh penyidik agensi penulis melakukan kunjungan ke TKP.

Pemeriksaan Eksternal:

Pakaian yang digunakan masih utuh dan tidak ada bukti tanda perlawanan atau kekerasan.

Rigor mortis (kaku mayat) telah terjadi di sekujur tubuh. Postmortem lividity (lebam mayat)

ditemukan di punggung dan bagian tubuh tertentu pada posisi terlentang. Mata dan mulut

tertutup sebagian. Tidak ada tanda-tanda dekomposisi. Beberapa perdarahan petechial ditemukan

pada konjungtiva palpebral bawah dari kedua mata. Kuku dan telapak tangan berwarna kebiruan.

Cedera berikut terjadi pada tubuh.

1. Tanda ligatur kulit coklat berbentuk V terbalik yang terbalik ditemukan pada aspek anterior,

lateral kiri dan posterior dari leher. Lebarnya 1,5-2 cm dan lingkar 32 cm. Pada dasar

pembedahan bersifat avaskular, pucat dan berkilau. Marginnya jelas dan tidak ada

ekstravasasi darah ke jaringan sekitarnya. Thyrohyoid kompleks utuh (Gambar 2).


Gambar 2. Tanda ligatur pada leher

2. Dua abrasi tekanan mengelilingi leher (tekanan dari simpul) dengan ukuran 2 x 1 cm dan 1

x1 cm dengan sebuah bekas pemisahan dari simpul 1 cm terdapat pada aspek anterior dari

leher 2 cm di bawah dagu.

3. Warna kebiru-biruan dengan ukuran 3 x 1 cm ditemukan di sepanjang tepi sisi kiri rahang

bawah 5 cm ke arah midline.

4. Tanda gigitan gigi manusia dengan kedua gigi bagian atas dan bawah ditemukan di pipi

kanan. Lengkung gigi rahang bawah tercetak dengan baik dengan lengkungan bagian atas

terpisah. Lebar maksimum masing-masing lengkungan adalah 3,5 cm (Gambar 3).

Gambar 3. Bite mark pada pipi kanan

5. Gigitan gigi manusia biru keabu-abuan rahang atas dan bawah tercetak dengan baik pada

aspek dorsal lengan bawah kanan. Kedua lengkungan itu didefinisikan dengan baik. Lebar

maksimum masing-masing lengkungan adalah 3,5 cm (Gambar 4).


Gambar 4. Bite mark pada lengan bawah kanan

6. Lesi eritematosa kemerahan superfisial dengan Ukuran 4 x 1,5 cm ditemukan tepat di bawah

kanan mata. Pada pembedahan tidak ada ekstravasasi terlihat di jaringan sekitarnya.

7. Lesi erythematous kemerahan superfisial dengan Ukuran 5 x 1,5 cm ditemukan di pipi kiri

bawah mata kiri Tidak ada ekstravasasi di jaringan sekitarnya

8. Lecet kemerahan kecil dan banyak berkumpul pada sisi kanan leher.

9. Sebuah abrasi kemerahan kecil ditemukan di sebelah kiri aspek lateral leher anterior. Memar

ukuran 0,8 x 0,6 cm ditemukan di bagian dalam aspek bibir bawah di sisi kiri.

Tidak ada luka pada payudara, paha, pantat dan daerah genital.

Pemeriksaan Internal:

Perdarahan petechial kecil terlihat di bawah kulit kepala di daerah depan. Pendarahan sub

pleural terlihat di permukaan kedua paru-paru. Semua organ berdesakan. Perut berisi makanan

yang dicerna sebagian sekitar 500 ml. Mukosa perut itu sehat. Analisis toksikologi tidak

mendeteksi adanya obat atau alkohol. Kematian disebabkan oleh asphyxia sebagai hasil ante

mortem gantung diri. Bite mark terlihat di tubuh korban bisa saja ditimbulkan selama periode

post mortem.

Kasus 3
Pada tahun 2001, seorang wanita ditemukan meninggal dengan beberspa luka memar.

Pengaduannya, bahwa terduga pelaku dengan sengaja melakukan pembunuhan, serangan dengan

pukulan, tendangan, menggigit, dan senjata tumpul, sehingga menyebabkan banyak luka-luka.

Tersangka ditangkap namun membantah pembunuhan tersebut. Akhirnya, pembunuhan tidak

terbukti karena ketika tersangka pergi dari tempat kejadian, korban masih hidup. Dengan

demikian, tersangka dihadapkan dengan tuduhan yang dipaksakan oleh pembela sehingga

diperlukan pembuktian lebih lanjut mengenai siapa pelaku penyerangan tersebut. Salah satu lesi

menjadi perhatian, karena lesi tersebut terlihat seperti bite mark (Gambar 5). Di bagian kiri

depan regio perut ada bekas yang sangat jelas seperti bekas dari gigitan manusia, dengan tidak

ada dilaserasi. Dengan demikian, bekas gigitan ini merupakan kesempatan untuk menentukan

tersangka sebagai penyebab dari luka tersebut.

Gambar 5. Tanda gigitan secara umum

Deskripsi dari hasil observasi luka korban

Tanda gigi individual dapat dikenali dari tanda yang ditinggalkan oleh cusp dari gigi rahang

atas dan rahang bawah. Bite mark memperlihatkan seluruh gigi anterior rahang atas dan rahang

bawah, yaitu gigi 23, 22, 21, 11, 12, 13, 43, 42, 41, 31, 31 dan 33. Selain itu, terdapat gigi

premolar pertama kiri atas (24), premolar kedua kanan atas (15), dan premolar pertama kanan

bawah (44).
Beberapa ciri khas ditemukan seperti: cusp palatal dari gigi 24 lebih jelas dibanding

vestibular cusp; pada gigi 15 hanya cusp palatal saja yang tercetak dan cetakan gigi 44 lebih

halus dari pada gigi lainnya. Berbeda dengan bite mark pada biasanya, gigi 23 tercetak seperti

insisivus karena menunjukkan bentuk persegi panjang. Terdapat diastema diantara gigi 22 dan

23, gigi 12 dan 13 dan gigi 43 dan 42, dengan ukuran berturut-turut 1,94 mm, 2,93 mm dan 2

mm. Insisivus lateral atas terlihat inklinasi lebih ke labial dan permukaan mesial lebih ke

vestibular.

Jarak antara gigi rahang atas dan rahanga bawah terbentuk dengan jelas dan midline juga

terlihat jelas. Akan tetapi, terdapat deviasi pada midline rahang bawah bila dibandingkan dengan

midline rahang atas. Lebar lengkung rahang dari kaninus ke kaninus yaitu 36.7 mm (Gambar 6).

Gambar 6. Deskripsi karakteristik dari tanda gigitan

Pemeriksaan lengkung gigi tersangka

Lengkung gigi tersangka mempunyai bentuk elips, dengan luas yang cukup besar. Elemen

gigi diperbaiki dengan aspek periodontal higid, menunjukkan pengurangan servikal pada gigi

posterior rahang atas (Gambar 7). Lebar dari gigi 13 sampai 23 adalah 40.1 mm. Gigi 16, 26, 27,

37, 36, 35, 46 dan 47 tidak ada penyembuhan jaringan gingiva tanpa surgery baru-baru ini.

Tersangka dilaporkan tidak menggunakan protesa. Elemen gigi atas dan bawah yang berdekatan
dengan ruang protetik tidak menunjukkan adanya dentritions yang konsisten dengan perawatan

protesa.

Gambar 7. Lengkung rahang atas tersangka

Gigi anterior rahang atas dan rahang bawah menunjukkan kehilangan substansi gigi dengan

dentritions pada bagian insisal mencapai dentin. Gigi 13 menunjukkan dentritions pada sepertiga

mesial, tetapi tidak fisiologi dan tidak terlihat dentritions pada gigi rahang atas lainnya. Terdapat

diastema diantara gigi 42 dan 43 (Gambar 8).

Gambar 8. Lengkung rahang bawah tersangka

Bidang oklusal rahang atas kanan hemi-arch menunjukkan depresi pada gigi 14, ditemukan

adanya substansi gigi yang hilang diseluruh permukaan oklusal. Terdapat pula kehilangan tinggi

cusp vestibular dan palatal ketika dibandingkan dengan gigi 15 dan tidak adanya titik kontak

fisiologis pada sisi mesial dan distal. Gigi 12 memakai restorasi mahkota dan iklinasi kearah
labial jika dibandingkan dengan gigi yang berdekatan. Terdapat deviasi pada midline rahang atas

jika dibandingkan dengan midline rahang bawah. Keadaan oklusi menunjukkan overbite pada

sisi kanan lebih dalam (Gambar 9).

Gambar 9. Lengkung rahang tersangka dalam kondisi oklusi tampak frontal

Bahan cetakan dengan wax, cetakan gigi dan fotografi gigi dari tersangka

Cetakan gigi dari terduga pelaku dibuat dengan die stone (Herodent, Vigodent, Rio de

Janeiro, Brazil). Tersangka membuat contoh gigitan dari bite registration wax (ukuran 10 x 6 x

0.5 cm). Gigitan dibuat dengan tekanan yang kuat untuk mendapatkan cetakan bagian tepi insisal

dan sebagian dari permukaan labial dan lingual gigi atas dan bawah.

Hasil cetakan menunjukkan elemen gigi 28, 25, 24, 23, 22, 21, 11, 12, 13, 14, 15, 17, 18 dari

rahang atas, dan 48, 45, 44, 43, 42, 41, 31, 32, 33, 34, 38 dari rahang bawah. Gigi 25, 14, 17 dan

45 hasil cetakannya kurang dalam. Hasil cetakan menunjukkan adanya celah sebesar 2.80 mm

antara gigi 23 dan 22 serta celah 3.90 mm diantara gigi 12 dan 13. Terdapat diastema 3 mm

antara elemen gigi 43 dan 42. Hasil cetakan rahang atas menunjukkan gigi 22 dan 12 lebih ke

labial dari gigi-gigi yang berdekatan dan sisi mesial berpindah kearah labial (Gambar 10).
Gambar 10. (A) Cetakan gigi. Lingkaran kuning yang mewakili gigi insisivus lateral yang

cenderung ke bukal. Substansi gigi ditandai dengan lingkaran

merah muda. Tidak adanya gigi cetakan gigi inferior ditandai dengan

lingkaran ungu. (B) Cetakan wax.

Bite mark yang ditemukan pada korban karena penyerangan telah dianalisis dan dilakukan

pengambilan foto korban yang terkena serangan tersebut. Foto intraoral termasuk dari frontal,

two lateral, sisi kanan dan kiri dan tampak oklusal dari setiap lengkung rahang. Hasil cetakan

juga telah difoto. Identifikasi kasus berdasarkan bite mark dilakukan dengan membandingkan

pola dan ciri khusus pada cetakan wax tersangka, foto dan cetakan gigi yang karakteristiknya

mirip dengan luka pada korban.

2.2 Diskusi

Kasus 1

Bite mark pada foto menunjukan pola yang sesuai dengan pola gigitan gigi anterior rahang

atas. Identifikasi bite mark ditentukan berdasarkan ukuran relatif gigi, terutama gigi insisivus

sentral yang memiliki permukaan lebar dan gigi insisivus lateral dengan permukaannya yang
lebih sempit. Warna bite mark biasanya berwarna merah tua atau coklat tua, sedangkan pada

beberapa hasil fotonya, warna bite mark lebih terang seperti coklat dan abu kecoklatan yang

mungkin disebabkan oleh penyembuhan luka. Bite mark pada kasus berukuran 3 x 1 cm.

Berdasarkan hasil analisis bite mark menunjukan bahwa permukaan insisal gigi insisivus

sentral kanan atas berada pada sudut yang mengarah ke gigi insisivus lateral kanan atas dan

kondisi ini berbeda dengan kondisi normal (Gambar 11 A dan B). Bite mark pada gigi insisivus

lateral kanan atas juga menunjukan bentuk rhomboidal atau diamond. Hal ini mengindikasikan

bahwa gigi yang membentuk bite mark memiliki karakterisitik tertentu dan dapat dibandingkan

satu sama lain.

Gambar 11. Angulasi relatif pada bitemark yang disebabkan oleh gigi insisivus sentral dan gigi

insisivus lateral

Foto dari model gigi terduga pelaku menunjukan lengkung gigi berbentuk U-shaped

(Gambar 12A). Semua gigi telah erupsi, kecuali gigi molar tiga atas kiri. Gigi mengalami atrisi

secara general dengan gigi premolar dan molar yang mengalami derajat atrisi lebih besar.

Angulasi permukaan insisal gigi insisivus sentral atas kanan hingga gigi insisivus lateral juga

terlihat.

Hasil foto menunjukan terdapat atrisi, stains, tanda – tanda inflamasi gingiva dan resesi gingiva.

Foto juga menunjukan terdapat fraktur pada permukaan insisal gigi insisivus sentral baik rahang
atas maupun rahang bawah. Gigi insisivus sentral rahang atas memiliki fraktur pada bagian

distoinsisal (Gambar 12B). Gigi insisivus lateral juga memiliki permukaan insisal yang

berbentuk triangular.

Gambar 12. Model gigi terduga pelaku

Kasus 2

Pada literature sering dilaporkan berbagai jenis artefak post-mortem beserta maknanya. Salah

satunya adalah artefak resusitatif. Secara umum, artefak resusitasi yang dilaporkan adalah bekas

suntikan, memar karena penerapan defibrillator, memar karena pijatan eksternal, kontraksi

jaringan lunak pada leher, dan memar pada bibir karena pernapasan dari mulut ke mulut. Gray

melaporkan sebuah kasus mengenai cedera artifak dari penggunaan defibrillator yang

menyerupai bite mark manusia. Kemudian, Harm dan Rajs melaporkan bahwa tanda kuku pada

leher, dagu dan lubang hidung pada korban yang meninggal selain diakibatkan oleh asfiksia

mekanis (sesak nafas) dapat dengan mudah dibedakan dengan korban yang meninggal akibat

tercekik. Memar di jaringan lunak dan otot leher juga dapat terjadi pada pernafasan dari mulut ke

mulut.

Pada literatur juga telah didokumentasikan artefak tanda gigitan hewan seperti anjing,

kucing, hewan pengerat, dan lain-lain. serta, gigitan semut yang biasa ditemukan pada mayat

yang dibiarkan terbuka untuk beberapa lama.


Tanda yang dihasilkan oleh serangga terlihat kering, berwarna coklat dengan tepi tidak

teratur dan biasanya terlihat di bagian tubuh yang lembab. Bekas tersebut seperti lecet pada

mayat dan saat sudah mengering akan menyerupai luka bakar yang tersikat. Lesi anterior linier

yang luas di sekitar leher menyerupai abrasi ligature/ikatan tali. Tanda gigitan manusia sebagai

artefak resusitasi sejauh ini belum didokumentasikan dalam literatur. Kasus yang disajikan di

sini agak rumit dari segi medico-legal.

Pada kasus ini, ditemukan jenazah dalam keadaan terdapat tanda gigitan/ bite mark. Bite

mark manusia pada jenazah wanita biasanya menimbulkan kecurigaan terhadap serangan seksual

atau foul play. Ditemukannya beberapa luka abrasi/lecet kecil di leher, memar di bibir dan abrasi

eritematosa seperti lesi pada pipi hampir mengarah ke diagnosis yang disebabkan oleh beberapa

jenis foul play/pelecehan seksual. Namun diskusi rinci dengan keluarga dan investigasi TKP

mengungkapkan bahwa bite mark , lecet dan memar yang ditemukan pada tubuh disebabkan oleh

ibu mertua almarhum yang memiliki tujuan untuk membuat almarhum menjadi sadar kembali,

bite mark tersebut kemudian dikonfirmasi dengan membandingkan bekas gigitan yang ada pada

jenazah tersebut dengan gigi ibu mertua. Tidak adanya bekas gigitan pada payudara, leher, dan

paha pada tubuh korban, maka menurunkan kemungkinan adanya serangan seksual. Selanjutnya

tidak adanya cedera perlawanan dan tanda-tanda perjuangan, memperkuat teori bunuh diri. Pola

tanda ligature (ikatan tali) khas seperti gantungan bunuh diri. Lecet kecil di leher jenazah bisa

saja dihasilkan saat mengeluarkan ikatan tali dari leher. Kemudian adanya memar di bibir dapat

disebabkan karena mencoba memberikan bantuan pernafasan dari mulut ke mulut jenazah. Jadi,

bite mark manusia, lecet kecil pada leher dan memar di bibir adalah artefak resusitasi post-

mortem. Lesi eritematosa pada kedua pipi bersifat dangkal, dan tidak ada ekstravasasi ke

jaringan subkutan sekitarnya. Hal ini mungkin terjadi karena reaksi dermatologis sebagai akibat
penggunaan kosmetik yang berlebihan. Terkadang lesi kulit akibat penyakit dermatologis seperti

dermatitis artefak, eritema infectiosum, eritema multiforme, phytodermatitis atau ruam septik

keliru dengan memar. Lesi artefak seperti ini disebut sebagai artefak "pseudo-rodent".

Kasus yang disajikan di sini membahas kemungkinan gigitan gigi manusia jarang sebagai

artefak post-mortem. Interpretasi yang salah terhadap artefak di tubuh jenazah dapat

menyesatkan keseluruhan proses penyelidikan dan membuat beberapa orang / orang yang tidak

bersalah menjadi salah atau terkena masalah yang tidak dapat dibenarkan. Laporan tersebut juga

menekankan pentingnya investigasi TKP dan sejarah terperinci dalam kasus medis yang rumit

seperti pada kasus tersebut.

Kasus 3

Beberapa laporan kasus memperlihatkan hasil bite mark yang sangat signifikan dalam

investigasi forensik. Nilai bite mark dalam kedokteran gigi forensik bergantung pada keunikan

gigi manusia dan setiap kelainannya dicatat (Pretty & Sweet, 2001). Tahap yang sangat penting

saat menganalisis bite mark adalah membandingkan antara gigi subjek dan bekas luka gigitan

(Kouble & Craig, 2007).

Bite mark tidak mudah untuk diakui dan memiliki kemungkinan dapat muncul pada setiap

bagian tubuh, terutama pada daerah yang menonjol (Sperber, 1986). Selain pada area yang

menonjol, secara anatomi lokasi bite mark tergantung pada tipe kriminal, usia dan jenis kelamin

(Afsin dkk, 2002; Lessig dkk, 2006; Page dkk, 2012). Beberapa literatur mengungkapkan bahwa

terdapat hubungan antara satu bite mark dengan gigitan lain pada badan, tetapi pada kasus hanya

terdapat satu bite mark.

Hilangnya gigi dianggap sebagai salah satu ciri khusus pada bite mark yang dapat

memberikan nilai diskriminatif yang baik dalam eksklusi atau menyimpulkan apakah orang
tersebut memiliki kemungkinan sebagai pelaku atau tidak. Ada atau tidaknya gigi posterior tidak

relevan jika digunakan pada luka bite mark tetapi gigi posterior dapat di ekstraksi untuk data

forensik lainnya (Kouble & Craig, 2007). Pada kasus ini, gigi premolar merupakan gigi paling

posterior yang ditemukan pada bite mark dan berharga untuk konfirmasi peneliti. Konfrontasi

antara korban dan cetakan gigi terduga pelaku menunjukkan bahwa pada bite mark terdapat gigi

24, 23, 22, 21, 11, 12, 13, 15, 44, 43, 42, 41, 31, 32, dan 33 yang juga terdapat pada cetakan gigi

terduga pelaku. Gigi premolar terlihat pada bite mark dapat disebabkan oleh tekanan saat

dilakukan pengigitan, dimana setelah mandibula ditutup, kulit ikut terhisap dan mengalami

distorsi karena elastisitas dan penyusutan. Namun pada cetakan gigi tidak terdapat gigi 14, 25, 45

dan 34.

Gigi 28, 16, 18, 48, dan 38 yang didapat oleh peneliti, tidak terdapat pada cetakan gigi

sehingga tidak diikutsertakan dan digantikan dengan gigi anterior. Gigi tersebut merupakan gigi

molar tiga dan satu gigi molar satu yang jarang ditemukan pada bite mark sehingga tidak

digunakan sebagai faktor eksklusi.

Selain gigi yang hilang, parameter yang penting yaitu permukaan oklusal gigi. Gigi yang

tidak terdapat pada bite mark belum tentu merupakan gigi hilang, melainkan dapat berupa

fraktur, disposisi atau infraoklusi. Pada laporan kasus, gigi 25 dan 14 menunjukkan pola yang

berbeda. Gigi 14 tidak memilik kontak efektif dengan antagonisnya dan terdapat diluar dari

occlusal plane karena hilangnya substansi gigi pada permukaan oklusal dan tinggi cusp yang

rendah (Gambar 13). Gigi 25 tidak memiliki gigi antagonis sebagai kontak oklusal. Ciri khas

tersebut sangat membantu peneliti dalam mengidentifikasi pelaku.


Gambar 13. Dental cast menunjukkan gigi 14 infraoklusi (Costa dkk, 2016)

Gigi hilang apabila dianggap sebagai kombinasi dengan karakteristik gigi seperti gigi rotasi

gigi atau pola crowding yang khas potensial dapat digunakan sebagai diskriminator pada analisis

bite mark (Kouble & Craig, 2007) (Gambar 14).

Gambar 14. Diastema antara gigi 42 dan 43 (persegi panjang oranye), hilangnya gigi

posterior bagian inferior (lingkaran ungu) dan premolar satu kanan (lingkaran kuning) (Costa

dkk, 2016)

Tanda bukti bite mark dalam presentasi pengadilan memiliki rintangan yaitu deformasi gigi

pelaku. Terlepas dari teknik yang digunakan untuk menganalisa bekas gigitan, akan selalu ada

warping, shrinkage, dan distorsi. Deformasi terjadi tergantung dari variasi struktur jaringan,

dehidrasi, dan teknik fotografi. Meskipun pengukuran pada bite mark akan menghasilkan variasi,

hubungan antar gigi yang berdekatan tetap sama. Apabila posisi gigi tetap konstan, identifikasi

dapat dilakukan. Konsep ini bisa diaplikasikan pada diastema, gigi rotasi, gigi yang hilang, gigi

keluar dari lengkung, lebar intercanine, incisal groove, atau karakteristik gigi lainnya (Stols &
Bernitz, 2010). Pada laporan kasus ini, dilakukan pengukuran lebar pada cetakan gigi dan model

plaster dari terduga pelaku yang kemudian dibandingkan dan ditemukan perbedaan 3,4 mm pada

percobaan terakhir, hal ini dapat disebabkan oleh distorsi kulit manusia dan penyusutan dari

elastisitas jaringan. Oleh karena itu ditemukan lebar kaninus rahang atas pada cetakan bite mark

badan korban dengan model plaster menunjukkan hasil yang sesuai. Celah sebesar 2,0 mm pada

cetakan di gigi 43 dan 42 ditemukan pula pada cetakan wax, sebesar 3,0 mm. Diastema juga

diobservasi keberadaanya pada model plaster, serta foto lengkung gigi pelaku. Jadi, meskipun

terdapat perbedaan, akan ditemukan hal kebetulan lainnya.

Gigi 22 dan 12 mengalami inklinasi bukal saat dicocokkan dengan gigi sebelahnya, dengan

disposisi permukaan mesiobukal pada cetakan gigi, cetakan wax dan model plaster. Oleh karena

itu harus ditemukan karakteristik lain yang sesuai. Deviasi midline rahang bawah lebih tinggi

yang ditemukan pada cetakan gigi, dapat dilihat pula pada model plaster dan foto lengkung gigi.

Terlihat deviasi yang besar pada bite mark yang dapat disebabkan oleh elastisitas dan shrinkage

jaringan dan gaya dinamis saat menggigit (Sheasby & MacDonald, 2001) (Gambar 15).

Gambar 15. Overbite pada bagian kanan, ditandai dengan persegi panjang hijau. Inklinasi

bukal pada gigi insisivus lateral rahang atas ditandai

dengan panah kuning. Deviasi midline ditandai dengan garis

kuning dan biru (Costa dkk, 2016)


Jarak yang terdapat pada gigi kaninus dan insisivus lateral atas pada cetakan gigi berasal dari

perbedaan anatomi kaninus dengan bentuk blade, berbeda dengan anatomi gigi insisivus yang

memiliki bentuk trapezoid, sehingga tercipta gap antara distal edge di gigi insisivus lateral atas

dan cusp gigi kaninus. Namun, terdapat perbedaan 0,99 mm dan 1,10 mm antara gigi 12 dan 13

pada cetakan gigi dan wax yang kemungkinan berasal dari detrisi nonfisiologis pada sepertiga

insisal bagian mesial gigi 13 seperti pada Gambar 16.

Gambar 16. Deskripsi model kerja terduga pelaku (Costa dkk, 2016)

Perbandingan bite mark dan model gigi dapat dilakukan dengan dua metode, yaitu: metode

segitiga odontometrik (objektif) dan metode superimposisi (subjektif). Pada metode objektif

dibuat sebuah segitiga pada tracing bite mark dan model gigi dengan cara membuat tiga poin-A,

B, C. Poin A dan B diletakkan di titik cembung terluar pada gigi kaninus. Titik tengah pada

kedua gigi insisivus sentral rahang atas diberi titik C. Ketiga titik tersebut digabungkan untuk

membentuk segitiga ABC. Garis AB, BC, CA diukur dan sudut a, b, c dihitung. Hal ini

dilakukan pada rahang atas dan rahang bawah (Verma dkk, 2013). Analisis morfometrik

geometrik diterapkan pada bite mark. Bentuknya kemudian dianalisis secara kuantitatif dengan

menangkap morfologi struktur yang dicurigai secara geometri (Heras dkk, 2014). Teknik

pencitraan 3D juga dapat digunakan untuk investigasi bite mark (Sainte dkk, 2016). Pada
penelitian ini, peneliti memilih untuk menganalisis bite mark dengan membandingkan foto

korban dan pelaku karena merupakan metode yang murah, cepat dan dapat dipercaya. Gigi

hilang, gigi dengan malformasi, fraktur, gigi crowding, diastema dan karakteristik gigi lainnya

sangat membantu dalam proses pembandingan karena memiliki karakter yang berbeda tiap

individu (Krishan dkk, 2015).

Terduga pelaku terbukti melakukan pembunuhan. Model plaster gigi dan cetakan wax gigi

sepenuhnya memenuhi pernyataan tersebut (Tabel 1). Karena itu, dia dihukum karena melakukan

pembunuhan yang memenuhi syarat, dimana menurut hukum Brasil, hal tersebut dilakukan

dengan kekejaman dengan maksud menghambat atau membuat pertahanan pelaku tidak mungkin

tersinggung. Pelaku dijatuhi hukuman sembilan belas tahun penjara dalam rezim tertutup

sepenuhnya.

Tabel 1. Overlapping poin antara cetakan gigi dan lengkung gigi terduga pelaku (Costa dkk,

2016)
BAB III

KAITAN DENGAN TEORI

3.1 Bite Mark

3.1.1 Definisi Bite Mark

Menurut William Eckert (1992), bite mark adalah bekas gigitan dari pelaku yang tertera pada

kulit korban dalam bentuk luka, jaringan kulit maupun jaringan ikat di bawah kulit sebagai pola

akibat dari pola permukaan gigitan dari gigi-gigi pelaku melalui kulit korban.

Menurut Bowers dan Bell (1995) mengatakan bahwa bite mark merupakan suatu perubahan

fisik pada bagian tubuh yang disebabkan oleh kontak atau interdigitasi antara gigiatas dengan

gigi bawah sehingga struktur jaringan terluka baik oleh gigi manusia maupun hewan.

Menurut Sopher (1976) mengatakan bahwa bite mark yang ditimbulkan oleh

hewan berbeda dengan manusia oleh karena perbedaan morfologi dan anatomi gigi geligi beserta

bentuk rahangnya

Menurut Levine (1977) mengatakan bahwa bite mark baik pola permukaan kunyah maupun

permukaan hasil gigitan yang mengakibatkan putusnya jaringan kulit dandibawahnya baik pada

jaringan tubuh manusia maupun pada buah-buahan tertentu misalnya buah apel dapat ditemukan

baik korban hidup maupun yang sudah meninggal.

Sedangkan menurut Soderman dan O’Connel pada tahun 1952 mengatakan bahwa yang

paling sering terdapat bite mark pada buah-buahan yaitu buah apel, pear dan bengkuang

yang sangat terkenal dengan istilah Apple Bite Mark

3.1.2 Karakteristik Bite Mark

a. Karakteristik Kelas
Berdasarkan Manual of American Board of Forensic Odontology (ABFO), karakteristik

kelas adalah fitur atau pola yang membedakan bite mark dengan cedera berpola lainnya. Hal

ini bertujuan untuk membantu mengindentifikasi darimana bite mark tersebut berasal.

Langkah pertama saat melakukan evalusi bite mark adalah menentukan karakteristik kelas

dari bite mark tersebut. Karakteristik kelas terdiri dari 2 tipe, yaitu karakteristik kelas gigi

dan karakteristik bite mark. Dalam bite mark, gigi anterior yang terdiri dari gigi insisivus

central, insisivus lateral, dan caninus merupakan penggigit utama sesuai dengan karakteristik

kelas gigi. Setiap jenis gigi pada gigi-geligi manusia memiliki karakteristik kelas

(karakteristik kelas gigi) yang membedakan satu jenis gigi dengan gigi yang lainnya (Kaur

dkk, 2013).

Karakteristik bite mark membantu menentukan apakah bite mark tersebut berasal dari

gigi rahang atas atau gigi rahang bawah. Berdasarkan karakteristik bite mark, insisivus

central dan insisivus lateral rahang atas membentuk tanda persegi panjang dengan tanda pada

insisivus central lebih lebar dibandingkan dengan insisivus lateral, serta pada gigi caninus

rahang atas membentuk tanda yang membulat atau oval. Sedangkan pada gigi insisivus

central dan insisivus lateral rahang bawah menghasilkan tanda persegi panjang yang hampir

sama lebarnya, dan pada gigi caninus rahang bawah menghasilkan tanda yang membulat dan

oval (Kaur dkk, 2013; Chairani dkk, 2008).

b. Karakteristik Individu

Karakteristik individu adalah deviasi dari karakteristik kelas, yang merupakan pola

spesifik dari pola yang ditemukan dalam karakteristik kelas, dapat berupa fitur, sifat, atau
pola yang menunjukkan variasi individual dari tanda yang ditemukan. Pola, ciri-ciri, atau

sifat gigi yang mungkin ditemukan pada beberapa individu dan tidak pada individu lainnya

dapat berupa rotasi, bukoversi, linguoversi, perpindahan gigi ke mesial atau distal, dll.

Perbedaan gigi pada individu dapat terbentuk oleh berbagai luka fisik dan kimia seperti atrisi,

abrasi, esrosi, gigi yang mengalami karies karena oral hygiene yang buruk, dan adanya

retorasi pada gigi. Selain itu, gigi juga dapat mengalami kerusakan yang disebabkan karena

kecelakaan saat berolahraga, kekerasan, kecelakaan lalu lintas, kecelakaan kerja, dan karies.

Setelah kerusakan seperti itu terjadi, gigi seringkali membutuhkan restorasi. Restorasi atau

kerusakan pada gigi dapat menghasilkan ciri khas pada gigi (Kaur dkk, 2013; Lessig dkk,

2006)

Karakteristik individu dari bite mark dapat dipengaruhi oleh jenis, jumlah, kekhasan gigi,

oklusi, fungsi otot, pergerakkan gigi individu dan disfungsi temporomandibular joint (TMJ)

dari individu tersebut (Kaur dkk, 2013; Lessig dkk, 2006).

3.1.3 Klasifikasi Bite Mark

Pola gigitan mempunyai derajat perlakuan permukaan sesuai dengan kerasnya gigitan, pada

pola gigitan manusia terdapat 6 kelas (Lukman, 2006), yaitu:

a. Kelas I : pola gigitan terdapat jarak dari gigi incisivus dan kaninus.
Gambar 17. Bite mark kelas I

b. Kelas II : menyerupai pola gigitan kelas I tetapi terlihat pola gigitan cusp bukal dan palatal

maupun cusp bukal dan cusp lingual gigi P1, tetapi derajat pola gigitannya masih sedikit.

Gambar 18. Bite mark kelas II

c. Kelas III :derajat luka lebih parah dari kelas II, yaitu permukaan gigit incisivus telah menyatu

akan tetapi dalamnya luka gigitan mempunyai derajat lebih parah dari pola gigitan kelas II.

Pada kasus 3, pola gigitan yang terdapat pada perut korban termasuk pola gigitan Kelas III.
Gambar 19. Bite mark kelas III

d. Kelas IV : terdapat luka pada kulit dan otot di bawah kulit yang sedikit terlepas atau rupture

sehingga terlihat pola gigitannya irreguler.

Gambar 20. Bite mark kelas IV

e. Kelas V : terlihat luka yang menyatu pola gigitan incisivus, kaninus, dan premolar baik pada

rahang atas maupun rahang bawah. Pada kasus 2, pola gigitan yang terdapat pada pipi kanan

serta lengan kanan termasuk dalam klasifikasi pola gigitan Kelas V


Gambar 21. Bite mark kelas V

f. Kelas VI : memperlihatkan luka dari seluruh gigitan dari gigi rahang atas dan bawah, serta

jaringan kulit dan otot terlepas sesuai dengan kekerasan oklusi dan pembukaan mulut

Gambar 22. Bite mark kelas VI

3.1.4 Metode Analisis Bite Mark

Analisis komparatif bite mark melibatkan pemeriksaan bite mark dan kemudian

dibandingkan dengan bukti tersangka untuk menentukan hasil identifikasi. Pertama dan yang

paling penting adalah tahap menentukan apakah pola luka tersebut merupakan gigitan manusia,

gigitan binatang atau luka yang mirip dengan gigitan manusia atau bukan. Bekas gigitan manusia

sangat bermacam-macam tergantung dari peristiwa (Dolinak dkk, 2005). Terdapat beberapa
metode perbandingan yang digunakan oleh dokter gigi forensik untuk analisis bukti bite mark,

yaitu perbandingan visual, life size overlays, test bites, digital bite mark overlays, scanning

electron microscopy dan analisis metrik. Analisis yang sering digunakan yaitu teknik overlay dan

analisis metrik. Berdasarkan American Board of Forensic Odontostomatology (ABFO) pada

tahun 1986 menyatakan panduan standar untuk analisis bite mark, yaitu:

a. Dental history

Dental history terdiri dari perawatan gigi yang pernah dilakukan oleh terduga tersangka

sebelum bukti bitemark didapatkan. Data dental history dicatat pada formulir ante mortem

(Fonseca dkk, 2013).

b. Foto

Foto ekstraoral terdiri dari foto seluruh muka dan profil wajah. Foto intraoral terdiri dari

foto frontal, dua foto lateral dan foto oklusal pada setiap rahang. Foto dilakukan dengan

menggunakan film hitam, putih dan warna. Hasil foto berwarna memberikan hasil yang

realistis tetapi tidak diakui sebagai bukti di pengadilan karena terdapat inflamasi, sedangkan

hitam dan putih membuat bite mark terlihat lebih jelas dan umumnya diakui sebagai bukti di

pengadilan. Luka bite mark dapat berubah seiring berjalannya waktu, oleh karena itu penting

untuk dilakukan foto pada bite mark setiap 24 jam pada beberapa hari. Foto harus dibuat

menggunakan lensa plane yang paralel dengan plane pada bite mark untuk mengurangi

terjadinya distorsi. Hal ini menjadi suatu tantangan karena hampir seluruh permukaan badan

manusia berbentuk lengkung. Oleh karena harus digunakan skala untuk estimasi jumlah

distorsi foto. Skala yang digunakan yaitu 1:1 (Fonseca dkk, 2013).

c. Pemeriksaan ekstra oral


Pemeriksaan yang dilakukan yaitu observasi jaringan keras dan jaringan lunak yang

dipengaruhi oleh akibat dinamis gigitan.

d. Pemeriksaan intra oral

Pada pemeriksaan intra oral dilakukan swab saliva, ukuran dan fungsi lidah, keadaan

periodontal pada mobilitas gigi. Swab pada bite mark dilakukan karena hampir 85% populasi

manusia dapat diidentifikasi golongan darahnya melalui saliva. Sebagai pemeriksaan

tambahan bukti DNA juga bisa didapatkan dengan swab saliva pada bite mark. Bukti

dikumpulkan dengan menggunakan teknik double-swab, yaitu dengan melembabkan luka

gigitan dengan kapas steril dan air suling steril kemudian daerah bite mark di keringkan

dengan kapas kering (Fonseca dkk, 2013).

e. Pencetakan

Setelah dilakukan foto dan swabbing, dilakukan pencetakan permukaan bite mark dan

pencetakan rahang tersangka. Pada pencetakan permukaan bite mark, seluruh rambut di

lokasi bite mark harus dihilangkan kemudian daerah tersebut dicuci dan dikeringkan. Bahan

cetak dengan viskositas rendah diletakkan pada area tersebut sampai setting. Bahan cetak

tersebut harus diperkuat dengan bahan penduung yang bersifat rigid untuk menghasilkan

kontur anatomi yang akurat. Bahan pendukung yang dapat digunakan yaitu dental stone,

resin akrilik, thermoplastic dan orthopedic mesh. Setelah bahan pendukung dipasangkan,

hasil cetakan dicetak kembali menggunakan dental stone tipe IV. Pencetakan juga dilakukan

pada rahang terduga tersangka Hasil cetakan tersebut / master cast digunakan untuk

demonstrasi pengadilan dan untuk evaluasi serta analisis (Fonseca dkk, 2013).

f. Gigitan sampel
Sampel gigitan dari terduga pelaku dapat dilakukan untuk menentukan tipe gigitan saat

dilakukan analisis (Fonseca dkk, 2013).

g. Analisis dental cast

Analisis dapat dilakukan dengan teknik bite mark overlays, yaitu cetakan rahang gigi

tersangka diduplikat, kemudian pada cetakan duplikat bagian insisal edge dan ujung cusp

ditandai dengan tinta dan difoto. Hal serupa juga dilakukan diatas kertas asetat dengan hasil

foto. Kemudian kertas asetat yang telah ditandai dengan tinta dicocokkan dengan pola bite

mark pada korban dan akan ditemukan apakah ditemukan superimposisi yang tepat atau tidak

(Fonseca dkk, 2013).

Gambar 23. Analisis dengan bite mark overlays

(Fonseca dkk, 2013)

Analisis lain yaitu menggunakan analisis metrik. Cetakan rahang tersangka dan

duplikatnya diukur karakteristiknya menggunakan kaliper. Pada analisis ini dicatat ukuran

setiap gigi, jarak intercanine, ukuran diastema, derajat dan arah rotasi gigi, serta ada atau

tidak gigi yang hilang. Setiap karakteristik gigi tersangka yang sesuai dengan bite mark dapat
menghasilkan analisis yang sama. Oleh karena itu perlu dilakukan analisis komparatif dari

bite mark dan gigi tersangka untuk menentukan derajat perbandingan (Fonseca dkk, 2013)

Perbandingan juga bisa dilakukan dengan media transfer, seperti mesin fotokopi atau

asetat yang dihasilkan menggunakan komputer dari gigi tersangka. Kemudian ditransfer ke

foto seukuran gigitan. Model tersangka dapat ditempatkan secara langsung di atas foto

gigitan satu per satu gigitan dan perbandingan yang dibuat (Dolinak dkk, 2005).

h. Hasil analisis

Setelah dilakukan anaisis bite mark, dokter gigi forensik dapat mencatat pada lampiran

post mortem untuk mendapatkan kesimpulan dari analisis yang dilakukan (Fonseca dkk,

2013).

3.2 Peran Dokter Gigi dalam Bidang Forensik

Forensik odontologi (kedokteran gigi) adalah bagian baru dari bidang forensik. Perjalanan

kedokteran gigi forensik dimulai dari Agrippina, ibu Kaisar Romawi Nero, pada usia 49 tahun

ketika dia mengenali gigi depan Lollia-Paulina yang mengalami diskolorisasi setelah

pembunuhannya (Verma dkk, 2014)

Forensik odontologi atau kedokteran gigi forensik didefinisikan oleh Keizer-Nielson pada

tahun 1970 sebagai "cabang kedokteran forensik untuk kepentingan keadilan melalui

pemeriksaan bukti gigi geligi yang tepat dan evaluasi serta presentasi temuan gigi yang tepat."

Forensik sains mengacu pada proses pembuktian yang dapat digunakan dalam lingkungan

peradilan dan diterima oleh pengadilan serta bidang keilmiahan untuk menentukan kebenaran

dari ketidakbenaran. Berikut adalah beberapa peran dokter gigi dalam kedokteran gigi forensik

(Verma dkk, 2014).

a. Identifikasi dari mayat yang tidak dikenal melalui gigi, rahang, dan kraniofasial
b. Penentuan umur dari gigi

c. Pemeriksaan jejas gigi (bite mark)

d. Penentuan ras dari gigi

e. Analisis dari trauma orofasial yang berkaitan dengan tindakan kekerasan

f. Dental jurisprudence berupa keterangan saksi ahli

g. Berperan dalma pemeriksaan dna dari bahan gigi dalam identifikasi personal

Pemeriksaan bitemark adalah salah satu aspek odontologi forensik yang memerlukan

tanggapan segera oleh dokter gigi forensik. Mendokumentasikan bitemark dapat dilakukan

dengan dokumentasi fotografi yang tepat dan transfer ke kertas transparan atau lembaran asetat.

Melakukan swabbing luka gigitan juga dapat dilakukan untuk memulihkan bukti jejak. Noda air

liur atau sel manusia untuk analisis DNA harus dikumpulkan bila memungkinkan (Wright dan

Dailey 2001; Lessig dan Benthaus 2003).

Studi tentang investigasi bekas gigitan yang didapatkan pada kekerasan seksual maupun

non-seksual, pembunuhan, dan juga bahan non-biologis dan benda-benda yang ditinggalkan di

TKP, memerlukan penggunaan teknik fotografi khusus, pengambilan cetakan, dan mikroskop

elektrik. Prosedur – prosedur pengambilan tersebut membutuhkan pengumpulan dan

penanganan material yang tepat untuk memastikan keamanan bukti agar sesuai dengan

persyaratan hukum sehingga dapat diterima sebagai bukti di pengadilan, sehingga memerlukan

dokter gigi yang ahli dalam bidang ini (Verma dkk,2014).

Jika dikaitkan pada kasus-kasus tersebut, peran dokter gigi disini yaitu dalam identifikasi

bitemark tersangka pelaku yang merupakan salah satu bukti apakah benar terdakwa adalah

pelaku yang menyebabkan kematian korban. Serta pada kasus 3, sesuai peran analisis trauma

orofasial pada kasus yang berkaitan dengan tindakan kekerasan


BAB IV

KESIMPULAN

Kedokteran gigi forensik adalah bidang kedokteran gigi yang melibatkan pengumpulan, dan

interpretasi bukti dental yang berhubungan dengan bidang kriminalitas. Sesuai dengan

bidangnya, dokter gigi dapat mengidentifikasi pelaku atau korban dengan melihat gigi geligi.

Salah satu cara yang umum dilakukan untuk mengidentifikasi pelaku adalah dengan membuat

cetakan dari bekas gigitan (bite mark) yang ditemukan. Tanda gigitan yang ditimbulkan pada

korban dapat digunakan sebagai bantuan efektif untuk memberikan petunjuk mengeni tersangka

pada beberapa kasus. Keunikan dari bekas gigitan adalah terdapat ciri spesifik dari susunan gigi

seperti fraktur, rotasi, attritional wear, dan, malformasi kongenital yang akan sangat membantu

dalam mengidentifikasi penyebabnya.


DAFTAR PUSTAKA

Bowes & Bell. 1995. Manual of Forensic Odontology 3rd Edition. America. A publication of the
American Society of Forensic Odontology.

Chairani S. Auerkari E. 2008. Pemanfaatan rugae palatal untuk identifikasi forensik. indonesian
journal of dentistry. 15 (3):261-269.

Costa ST1, Carvalho GP1, Matoso RI1, Freire AR1, Junior ED2, Prado FB1, Rossi AC. 2016.
Identification of Suspect by Bite Mark Analysis in a Dead Woman: A Case Report. Austin
Journal of Forensic Science and Criminology. 3(1) : 1-5

Dolinak, D., Matshes, E., Lew, E., 2005, Forensic Pathology: Principles and Practice, Elsevier
Academic Press, USA, p.618

Fonseca, R.J., Walker, R.V., Barber, H.D., Powers, M.P., Frost, D.E., 2013, Oral and
Maxillofacial Trauma, Elsevier Academic Press, USA, p. 628-630

Kaur S, Krishan K, Chatterjee PM, Kanchan T. 2013. Analysis and identification of bite mark in
forensic casework. OHDM J. 12 (3): 127-8

Lessig R, Wenzel V, Weber M. 2006. Bite mark analysis in forensic routine case work. EXCLI J.
5 : 93-102

Lessig R, Benthaus S. Forensische Odonto Stomatologie. Rechtsmedizin. 2003;13:161–8

Levine L. J. 1977. Bite Mark Evidence, Dental Clinics of North America 21: 145-158

Lukman J, 2006, Buku Ajar Ilmu Kedokteran Gigi Forensik Jilid 2, CV. Sagung Seto, Jakarta,
115-134.

Padmakumar, S.K., Beena, V.T., Salmanulfaris, N., Acharya, A.B., Indu, G., Kumar, S.J. 2014.
Case Report Bite Mark Analysis. Oral and Maxillofacial Pathology. 5(2):488-490

Prasad, Y.S., Lalwani, S., Rautji, R., Dogra, T.D. 2013. Case Report Perimortem Human Teeth
Bite Mark: A Resuscitative Artefact. J Indian Acad Forensic Med. 35(2) : 184-186

Soderman & O’Connel. 1952. Bite Marks Analysis. In: Forensic Dentistry. Springfield, IL:
Charles C. Thomas, pp. 125-152

Sopher. 1976. Forensic Dentistry. America. American Lectures series. January 1


Verma, A. K., Kumar, S., Rathore, S., & Pandey, A. (2014). Role of dental expert in forensic
odontology. National Journal of Maxillofacial Surgery, 5(1), 2–5.
http://doi.org/10.4103/0975-5950.140147

William Eckert. 1992. Interpretation of Bloodstain Evidence at Crime Scene (Practical Aspect of
Criminals & Forensic Investigation). Vol:1. United Kingdom . September 8

Wright FD, Dailey JC,2001 Human bite marks in forensic dentistry.Dent Clin North Am.
45(2):365-97.

Anda mungkin juga menyukai