198007162010122002
Universitas Udayana
2018
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat-Nya sehingga literature
review ini dapat kami selesaikan dengan baik.
Kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah
membantu dalam penyusunan literature review ini. Harapan kami semoga literature reviw ini
dapat memberikan banyak manfaat baik kepada pembaca maupun kepada penulis.
Kami menyadari kami masih memiliki keterbatasan dalam pengetahuan dan pengalaman
dalam penyusunan, maka dari itu kami yakin masih banyak kekurangan dalam ini, oleh karena
itu kami sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari para pembaca untuk
kesempurnaan literature review kami.
Penulis
Daftar Isi
PENDAHULUAN
Kemajuan ilmu pengetahuan serta teknologi tidak hanya membawa dampak positif bagi
kesejahteraan umat manusia di segala bidang kehidupan, namun juga menimbulkan dampak
negatif seperti meningkatnya kuantitas maupun kualitas tindak kejahatan khususnya yang
berkaitan dengan upaya pelaku tindak pidana dalam usaha menghilangkan barang bukti,
sehingga petugas kesulitan untuk mengetahui identitas pelaku dengan cepat (Raid dan Kaur,
2013). Bidang kedokteran gigi forensik merupakan cabang dari ilmu kedokteran gigi yang dapat
membantu penegakan hukum serta keadilan. Kedokteran gigi forensik adalah bidang kedokteran
gigi yang melibatkan pengumpulan, dan interpretasi bukti dental yang berhubungan dengan
bidang kriminalitas. Sesuai dengan bidangnya, dokter gigi dapat mengidentifikasi pelaku dengan
melihat gigi geligi. Gigi merupakan salah satu sarana identifikasi yang dapat dipercaya karena
karakteristik gigi geligi yang sangat individualis sehingga dapat membantu mengidentifikasi
pelaku dengan baik (Eriko dan Algozi, 2009). Salah satu cara yang umum dilakukan untuk
mengidentifikasi pelaku adalah dengan membuat cetakan dari bekas gigitan (bite mark) yang
ditemukan sehingga dapat dilakukan analisis bentuk dan lengkung serta relasi rahang yang dapat
dicocokkan pada tersangka yang mungkin meninggalkan bekas gigitan tersebut (Costa dkk,
2016).
Pola bekas gigitan ( bite mark ) pada kulit terutama dipengaruhi oleh tekanan dan lamanya
waktu gigitan. Selain itu, faktor-faktor lain seperti faktor mekanis dan fisiologis berperan dalam
munculnya bite mark. Bite mark pada manusia yang paling sering terdiri atas abrasi dangkal
dengan atau tanpa perdarahan dan muncul lengkungan. Kehadiran bukti fisik seperti bite mark
dalam kasus pemerkosaan, pembunuhan dan kekerasan dianggap sangat berharga. Bite mark
adalah bukti paling umum dalam kasus pemerkosaan. Tanda ini juga berperan dalam
menentukan jenis kekerasan fisik dan usia pelaku kriminal (Padmakumar dkk, 2014; Prasad,
2013). Memar pethecial merupakan salah satu contoh memar yang sering terjadi karena hisapan.
Memar tersebut dapat terjadi karena kulit kendur yang terhisap dan ditekan kearah langit-langit
di dalam rongga mulut. Pada kasus hisapan yang lebih keras atau agresif, dokter gigi dapat
menemukan tanda gigi individual yang tercetak pada memar tersebut seperti gigi insisivus sentral
dan lateral memiliki penampang gigitan yang cenderung berbentuk persegi panjang, sedangkan
pada gigi kaninus cenderung berbentuk melingar atau berbentuk segitiga / diamond (Costa dkk,
2016).
BAB II
Kasus 1
Seorang korban wanita berusia 55 tahun yang mengalami kejahatan seksual, dibawa bersama
dengan seorang pria berusia 22 tahun (tersangka) oleh polisi ke departemen patologi dan
2012. Korban tidak dapat mengingat kembali rincian mengenai tersangka dan tidak ada saksi
mata atas kejadian tersebut. Penyidik menemukan satu bukti penting yaitu bite mark di tubuh
korban. Pada pemeriksaan korban, pola memar setengah lingkaran yang diduga sebagai bite
mark terdapat pada pipi kiri dan telinga kiri. Bite mark difoto menggunakan Canon Powershot
SX 120 dan cetakan dibuat menggunakan addition silicon light body impression material dengan
bantuan plaster of paris untuk mendapatkan cetakan yang sesuai. Cetakan kemudian dicuci,
dikeringkan dan dicor menggunakan dental stone untuk mendapatkan model kerja. Model kerja
Seorang janda berusia 46 tahun yang berprofesi sebagai penari bar ditemukan tergantung
pada kipas angin langit-langit oleh putrinya di rumah. Dengan bantuan anggota keluarga lainnya,
tubuh wanita tersebut dibawa turun dengan cara memotong ikatannya. Ibu mertua dan anggota
keluarga lainnya mencoba menyadarkan kembali dengan menampar, memberi nafas buatan dan
menggigit. Setelah usaha yang tidak berhasil ini, polisi diberitahu tentang kejadian tersebut.
Pemeriksaan Eksternal:
Pakaian yang digunakan masih utuh dan tidak ada bukti tanda perlawanan atau kekerasan.
Rigor mortis (kaku mayat) telah terjadi di sekujur tubuh. Postmortem lividity (lebam mayat)
ditemukan di punggung dan bagian tubuh tertentu pada posisi terlentang. Mata dan mulut
tertutup sebagian. Tidak ada tanda-tanda dekomposisi. Beberapa perdarahan petechial ditemukan
pada konjungtiva palpebral bawah dari kedua mata. Kuku dan telapak tangan berwarna kebiruan.
1. Tanda ligatur kulit coklat berbentuk V terbalik yang terbalik ditemukan pada aspek anterior,
lateral kiri dan posterior dari leher. Lebarnya 1,5-2 cm dan lingkar 32 cm. Pada dasar
pembedahan bersifat avaskular, pucat dan berkilau. Marginnya jelas dan tidak ada
2. Dua abrasi tekanan mengelilingi leher (tekanan dari simpul) dengan ukuran 2 x 1 cm dan 1
x1 cm dengan sebuah bekas pemisahan dari simpul 1 cm terdapat pada aspek anterior dari
3. Warna kebiru-biruan dengan ukuran 3 x 1 cm ditemukan di sepanjang tepi sisi kiri rahang
4. Tanda gigitan gigi manusia dengan kedua gigi bagian atas dan bawah ditemukan di pipi
kanan. Lengkung gigi rahang bawah tercetak dengan baik dengan lengkungan bagian atas
5. Gigitan gigi manusia biru keabu-abuan rahang atas dan bawah tercetak dengan baik pada
aspek dorsal lengan bawah kanan. Kedua lengkungan itu didefinisikan dengan baik. Lebar
6. Lesi eritematosa kemerahan superfisial dengan Ukuran 4 x 1,5 cm ditemukan tepat di bawah
kanan mata. Pada pembedahan tidak ada ekstravasasi terlihat di jaringan sekitarnya.
7. Lesi erythematous kemerahan superfisial dengan Ukuran 5 x 1,5 cm ditemukan di pipi kiri
8. Lecet kemerahan kecil dan banyak berkumpul pada sisi kanan leher.
9. Sebuah abrasi kemerahan kecil ditemukan di sebelah kiri aspek lateral leher anterior. Memar
ukuran 0,8 x 0,6 cm ditemukan di bagian dalam aspek bibir bawah di sisi kiri.
Tidak ada luka pada payudara, paha, pantat dan daerah genital.
Pemeriksaan Internal:
Perdarahan petechial kecil terlihat di bawah kulit kepala di daerah depan. Pendarahan sub
pleural terlihat di permukaan kedua paru-paru. Semua organ berdesakan. Perut berisi makanan
yang dicerna sebagian sekitar 500 ml. Mukosa perut itu sehat. Analisis toksikologi tidak
mendeteksi adanya obat atau alkohol. Kematian disebabkan oleh asphyxia sebagai hasil ante
mortem gantung diri. Bite mark terlihat di tubuh korban bisa saja ditimbulkan selama periode
post mortem.
Kasus 3
Pada tahun 2001, seorang wanita ditemukan meninggal dengan beberspa luka memar.
Pengaduannya, bahwa terduga pelaku dengan sengaja melakukan pembunuhan, serangan dengan
pukulan, tendangan, menggigit, dan senjata tumpul, sehingga menyebabkan banyak luka-luka.
terbukti karena ketika tersangka pergi dari tempat kejadian, korban masih hidup. Dengan
demikian, tersangka dihadapkan dengan tuduhan yang dipaksakan oleh pembela sehingga
diperlukan pembuktian lebih lanjut mengenai siapa pelaku penyerangan tersebut. Salah satu lesi
menjadi perhatian, karena lesi tersebut terlihat seperti bite mark (Gambar 5). Di bagian kiri
depan regio perut ada bekas yang sangat jelas seperti bekas dari gigitan manusia, dengan tidak
ada dilaserasi. Dengan demikian, bekas gigitan ini merupakan kesempatan untuk menentukan
Tanda gigi individual dapat dikenali dari tanda yang ditinggalkan oleh cusp dari gigi rahang
atas dan rahang bawah. Bite mark memperlihatkan seluruh gigi anterior rahang atas dan rahang
bawah, yaitu gigi 23, 22, 21, 11, 12, 13, 43, 42, 41, 31, 31 dan 33. Selain itu, terdapat gigi
premolar pertama kiri atas (24), premolar kedua kanan atas (15), dan premolar pertama kanan
bawah (44).
Beberapa ciri khas ditemukan seperti: cusp palatal dari gigi 24 lebih jelas dibanding
vestibular cusp; pada gigi 15 hanya cusp palatal saja yang tercetak dan cetakan gigi 44 lebih
halus dari pada gigi lainnya. Berbeda dengan bite mark pada biasanya, gigi 23 tercetak seperti
insisivus karena menunjukkan bentuk persegi panjang. Terdapat diastema diantara gigi 22 dan
23, gigi 12 dan 13 dan gigi 43 dan 42, dengan ukuran berturut-turut 1,94 mm, 2,93 mm dan 2
mm. Insisivus lateral atas terlihat inklinasi lebih ke labial dan permukaan mesial lebih ke
vestibular.
Jarak antara gigi rahang atas dan rahanga bawah terbentuk dengan jelas dan midline juga
terlihat jelas. Akan tetapi, terdapat deviasi pada midline rahang bawah bila dibandingkan dengan
midline rahang atas. Lebar lengkung rahang dari kaninus ke kaninus yaitu 36.7 mm (Gambar 6).
Lengkung gigi tersangka mempunyai bentuk elips, dengan luas yang cukup besar. Elemen
gigi diperbaiki dengan aspek periodontal higid, menunjukkan pengurangan servikal pada gigi
posterior rahang atas (Gambar 7). Lebar dari gigi 13 sampai 23 adalah 40.1 mm. Gigi 16, 26, 27,
37, 36, 35, 46 dan 47 tidak ada penyembuhan jaringan gingiva tanpa surgery baru-baru ini.
Tersangka dilaporkan tidak menggunakan protesa. Elemen gigi atas dan bawah yang berdekatan
dengan ruang protetik tidak menunjukkan adanya dentritions yang konsisten dengan perawatan
protesa.
Gigi anterior rahang atas dan rahang bawah menunjukkan kehilangan substansi gigi dengan
dentritions pada bagian insisal mencapai dentin. Gigi 13 menunjukkan dentritions pada sepertiga
mesial, tetapi tidak fisiologi dan tidak terlihat dentritions pada gigi rahang atas lainnya. Terdapat
Bidang oklusal rahang atas kanan hemi-arch menunjukkan depresi pada gigi 14, ditemukan
adanya substansi gigi yang hilang diseluruh permukaan oklusal. Terdapat pula kehilangan tinggi
cusp vestibular dan palatal ketika dibandingkan dengan gigi 15 dan tidak adanya titik kontak
fisiologis pada sisi mesial dan distal. Gigi 12 memakai restorasi mahkota dan iklinasi kearah
labial jika dibandingkan dengan gigi yang berdekatan. Terdapat deviasi pada midline rahang atas
jika dibandingkan dengan midline rahang bawah. Keadaan oklusi menunjukkan overbite pada
Bahan cetakan dengan wax, cetakan gigi dan fotografi gigi dari tersangka
Cetakan gigi dari terduga pelaku dibuat dengan die stone (Herodent, Vigodent, Rio de
Janeiro, Brazil). Tersangka membuat contoh gigitan dari bite registration wax (ukuran 10 x 6 x
0.5 cm). Gigitan dibuat dengan tekanan yang kuat untuk mendapatkan cetakan bagian tepi insisal
dan sebagian dari permukaan labial dan lingual gigi atas dan bawah.
Hasil cetakan menunjukkan elemen gigi 28, 25, 24, 23, 22, 21, 11, 12, 13, 14, 15, 17, 18 dari
rahang atas, dan 48, 45, 44, 43, 42, 41, 31, 32, 33, 34, 38 dari rahang bawah. Gigi 25, 14, 17 dan
45 hasil cetakannya kurang dalam. Hasil cetakan menunjukkan adanya celah sebesar 2.80 mm
antara gigi 23 dan 22 serta celah 3.90 mm diantara gigi 12 dan 13. Terdapat diastema 3 mm
antara elemen gigi 43 dan 42. Hasil cetakan rahang atas menunjukkan gigi 22 dan 12 lebih ke
labial dari gigi-gigi yang berdekatan dan sisi mesial berpindah kearah labial (Gambar 10).
Gambar 10. (A) Cetakan gigi. Lingkaran kuning yang mewakili gigi insisivus lateral yang
merah muda. Tidak adanya gigi cetakan gigi inferior ditandai dengan
Bite mark yang ditemukan pada korban karena penyerangan telah dianalisis dan dilakukan
pengambilan foto korban yang terkena serangan tersebut. Foto intraoral termasuk dari frontal,
two lateral, sisi kanan dan kiri dan tampak oklusal dari setiap lengkung rahang. Hasil cetakan
juga telah difoto. Identifikasi kasus berdasarkan bite mark dilakukan dengan membandingkan
pola dan ciri khusus pada cetakan wax tersangka, foto dan cetakan gigi yang karakteristiknya
2.2 Diskusi
Kasus 1
Bite mark pada foto menunjukan pola yang sesuai dengan pola gigitan gigi anterior rahang
atas. Identifikasi bite mark ditentukan berdasarkan ukuran relatif gigi, terutama gigi insisivus
sentral yang memiliki permukaan lebar dan gigi insisivus lateral dengan permukaannya yang
lebih sempit. Warna bite mark biasanya berwarna merah tua atau coklat tua, sedangkan pada
beberapa hasil fotonya, warna bite mark lebih terang seperti coklat dan abu kecoklatan yang
mungkin disebabkan oleh penyembuhan luka. Bite mark pada kasus berukuran 3 x 1 cm.
Berdasarkan hasil analisis bite mark menunjukan bahwa permukaan insisal gigi insisivus
sentral kanan atas berada pada sudut yang mengarah ke gigi insisivus lateral kanan atas dan
kondisi ini berbeda dengan kondisi normal (Gambar 11 A dan B). Bite mark pada gigi insisivus
lateral kanan atas juga menunjukan bentuk rhomboidal atau diamond. Hal ini mengindikasikan
bahwa gigi yang membentuk bite mark memiliki karakterisitik tertentu dan dapat dibandingkan
Gambar 11. Angulasi relatif pada bitemark yang disebabkan oleh gigi insisivus sentral dan gigi
insisivus lateral
Foto dari model gigi terduga pelaku menunjukan lengkung gigi berbentuk U-shaped
(Gambar 12A). Semua gigi telah erupsi, kecuali gigi molar tiga atas kiri. Gigi mengalami atrisi
secara general dengan gigi premolar dan molar yang mengalami derajat atrisi lebih besar.
Angulasi permukaan insisal gigi insisivus sentral atas kanan hingga gigi insisivus lateral juga
terlihat.
Hasil foto menunjukan terdapat atrisi, stains, tanda – tanda inflamasi gingiva dan resesi gingiva.
Foto juga menunjukan terdapat fraktur pada permukaan insisal gigi insisivus sentral baik rahang
atas maupun rahang bawah. Gigi insisivus sentral rahang atas memiliki fraktur pada bagian
distoinsisal (Gambar 12B). Gigi insisivus lateral juga memiliki permukaan insisal yang
berbentuk triangular.
Kasus 2
Pada literature sering dilaporkan berbagai jenis artefak post-mortem beserta maknanya. Salah
satunya adalah artefak resusitatif. Secara umum, artefak resusitasi yang dilaporkan adalah bekas
suntikan, memar karena penerapan defibrillator, memar karena pijatan eksternal, kontraksi
jaringan lunak pada leher, dan memar pada bibir karena pernapasan dari mulut ke mulut. Gray
melaporkan sebuah kasus mengenai cedera artifak dari penggunaan defibrillator yang
menyerupai bite mark manusia. Kemudian, Harm dan Rajs melaporkan bahwa tanda kuku pada
leher, dagu dan lubang hidung pada korban yang meninggal selain diakibatkan oleh asfiksia
mekanis (sesak nafas) dapat dengan mudah dibedakan dengan korban yang meninggal akibat
tercekik. Memar di jaringan lunak dan otot leher juga dapat terjadi pada pernafasan dari mulut ke
mulut.
Pada literatur juga telah didokumentasikan artefak tanda gigitan hewan seperti anjing,
kucing, hewan pengerat, dan lain-lain. serta, gigitan semut yang biasa ditemukan pada mayat
teratur dan biasanya terlihat di bagian tubuh yang lembab. Bekas tersebut seperti lecet pada
mayat dan saat sudah mengering akan menyerupai luka bakar yang tersikat. Lesi anterior linier
yang luas di sekitar leher menyerupai abrasi ligature/ikatan tali. Tanda gigitan manusia sebagai
artefak resusitasi sejauh ini belum didokumentasikan dalam literatur. Kasus yang disajikan di
Pada kasus ini, ditemukan jenazah dalam keadaan terdapat tanda gigitan/ bite mark. Bite
mark manusia pada jenazah wanita biasanya menimbulkan kecurigaan terhadap serangan seksual
atau foul play. Ditemukannya beberapa luka abrasi/lecet kecil di leher, memar di bibir dan abrasi
eritematosa seperti lesi pada pipi hampir mengarah ke diagnosis yang disebabkan oleh beberapa
jenis foul play/pelecehan seksual. Namun diskusi rinci dengan keluarga dan investigasi TKP
mengungkapkan bahwa bite mark , lecet dan memar yang ditemukan pada tubuh disebabkan oleh
ibu mertua almarhum yang memiliki tujuan untuk membuat almarhum menjadi sadar kembali,
bite mark tersebut kemudian dikonfirmasi dengan membandingkan bekas gigitan yang ada pada
jenazah tersebut dengan gigi ibu mertua. Tidak adanya bekas gigitan pada payudara, leher, dan
paha pada tubuh korban, maka menurunkan kemungkinan adanya serangan seksual. Selanjutnya
tidak adanya cedera perlawanan dan tanda-tanda perjuangan, memperkuat teori bunuh diri. Pola
tanda ligature (ikatan tali) khas seperti gantungan bunuh diri. Lecet kecil di leher jenazah bisa
saja dihasilkan saat mengeluarkan ikatan tali dari leher. Kemudian adanya memar di bibir dapat
disebabkan karena mencoba memberikan bantuan pernafasan dari mulut ke mulut jenazah. Jadi,
bite mark manusia, lecet kecil pada leher dan memar di bibir adalah artefak resusitasi post-
mortem. Lesi eritematosa pada kedua pipi bersifat dangkal, dan tidak ada ekstravasasi ke
jaringan subkutan sekitarnya. Hal ini mungkin terjadi karena reaksi dermatologis sebagai akibat
penggunaan kosmetik yang berlebihan. Terkadang lesi kulit akibat penyakit dermatologis seperti
dermatitis artefak, eritema infectiosum, eritema multiforme, phytodermatitis atau ruam septik
keliru dengan memar. Lesi artefak seperti ini disebut sebagai artefak "pseudo-rodent".
Kasus yang disajikan di sini membahas kemungkinan gigitan gigi manusia jarang sebagai
artefak post-mortem. Interpretasi yang salah terhadap artefak di tubuh jenazah dapat
menyesatkan keseluruhan proses penyelidikan dan membuat beberapa orang / orang yang tidak
bersalah menjadi salah atau terkena masalah yang tidak dapat dibenarkan. Laporan tersebut juga
menekankan pentingnya investigasi TKP dan sejarah terperinci dalam kasus medis yang rumit
Kasus 3
Beberapa laporan kasus memperlihatkan hasil bite mark yang sangat signifikan dalam
investigasi forensik. Nilai bite mark dalam kedokteran gigi forensik bergantung pada keunikan
gigi manusia dan setiap kelainannya dicatat (Pretty & Sweet, 2001). Tahap yang sangat penting
saat menganalisis bite mark adalah membandingkan antara gigi subjek dan bekas luka gigitan
Bite mark tidak mudah untuk diakui dan memiliki kemungkinan dapat muncul pada setiap
bagian tubuh, terutama pada daerah yang menonjol (Sperber, 1986). Selain pada area yang
menonjol, secara anatomi lokasi bite mark tergantung pada tipe kriminal, usia dan jenis kelamin
(Afsin dkk, 2002; Lessig dkk, 2006; Page dkk, 2012). Beberapa literatur mengungkapkan bahwa
terdapat hubungan antara satu bite mark dengan gigitan lain pada badan, tetapi pada kasus hanya
Hilangnya gigi dianggap sebagai salah satu ciri khusus pada bite mark yang dapat
memberikan nilai diskriminatif yang baik dalam eksklusi atau menyimpulkan apakah orang
tersebut memiliki kemungkinan sebagai pelaku atau tidak. Ada atau tidaknya gigi posterior tidak
relevan jika digunakan pada luka bite mark tetapi gigi posterior dapat di ekstraksi untuk data
forensik lainnya (Kouble & Craig, 2007). Pada kasus ini, gigi premolar merupakan gigi paling
posterior yang ditemukan pada bite mark dan berharga untuk konfirmasi peneliti. Konfrontasi
antara korban dan cetakan gigi terduga pelaku menunjukkan bahwa pada bite mark terdapat gigi
24, 23, 22, 21, 11, 12, 13, 15, 44, 43, 42, 41, 31, 32, dan 33 yang juga terdapat pada cetakan gigi
terduga pelaku. Gigi premolar terlihat pada bite mark dapat disebabkan oleh tekanan saat
dilakukan pengigitan, dimana setelah mandibula ditutup, kulit ikut terhisap dan mengalami
distorsi karena elastisitas dan penyusutan. Namun pada cetakan gigi tidak terdapat gigi 14, 25, 45
dan 34.
Gigi 28, 16, 18, 48, dan 38 yang didapat oleh peneliti, tidak terdapat pada cetakan gigi
sehingga tidak diikutsertakan dan digantikan dengan gigi anterior. Gigi tersebut merupakan gigi
molar tiga dan satu gigi molar satu yang jarang ditemukan pada bite mark sehingga tidak
Selain gigi yang hilang, parameter yang penting yaitu permukaan oklusal gigi. Gigi yang
tidak terdapat pada bite mark belum tentu merupakan gigi hilang, melainkan dapat berupa
fraktur, disposisi atau infraoklusi. Pada laporan kasus, gigi 25 dan 14 menunjukkan pola yang
berbeda. Gigi 14 tidak memilik kontak efektif dengan antagonisnya dan terdapat diluar dari
occlusal plane karena hilangnya substansi gigi pada permukaan oklusal dan tinggi cusp yang
rendah (Gambar 13). Gigi 25 tidak memiliki gigi antagonis sebagai kontak oklusal. Ciri khas
Gigi hilang apabila dianggap sebagai kombinasi dengan karakteristik gigi seperti gigi rotasi
gigi atau pola crowding yang khas potensial dapat digunakan sebagai diskriminator pada analisis
Gambar 14. Diastema antara gigi 42 dan 43 (persegi panjang oranye), hilangnya gigi
posterior bagian inferior (lingkaran ungu) dan premolar satu kanan (lingkaran kuning) (Costa
dkk, 2016)
Tanda bukti bite mark dalam presentasi pengadilan memiliki rintangan yaitu deformasi gigi
pelaku. Terlepas dari teknik yang digunakan untuk menganalisa bekas gigitan, akan selalu ada
warping, shrinkage, dan distorsi. Deformasi terjadi tergantung dari variasi struktur jaringan,
dehidrasi, dan teknik fotografi. Meskipun pengukuran pada bite mark akan menghasilkan variasi,
hubungan antar gigi yang berdekatan tetap sama. Apabila posisi gigi tetap konstan, identifikasi
dapat dilakukan. Konsep ini bisa diaplikasikan pada diastema, gigi rotasi, gigi yang hilang, gigi
keluar dari lengkung, lebar intercanine, incisal groove, atau karakteristik gigi lainnya (Stols &
Bernitz, 2010). Pada laporan kasus ini, dilakukan pengukuran lebar pada cetakan gigi dan model
plaster dari terduga pelaku yang kemudian dibandingkan dan ditemukan perbedaan 3,4 mm pada
percobaan terakhir, hal ini dapat disebabkan oleh distorsi kulit manusia dan penyusutan dari
elastisitas jaringan. Oleh karena itu ditemukan lebar kaninus rahang atas pada cetakan bite mark
badan korban dengan model plaster menunjukkan hasil yang sesuai. Celah sebesar 2,0 mm pada
cetakan di gigi 43 dan 42 ditemukan pula pada cetakan wax, sebesar 3,0 mm. Diastema juga
diobservasi keberadaanya pada model plaster, serta foto lengkung gigi pelaku. Jadi, meskipun
Gigi 22 dan 12 mengalami inklinasi bukal saat dicocokkan dengan gigi sebelahnya, dengan
disposisi permukaan mesiobukal pada cetakan gigi, cetakan wax dan model plaster. Oleh karena
itu harus ditemukan karakteristik lain yang sesuai. Deviasi midline rahang bawah lebih tinggi
yang ditemukan pada cetakan gigi, dapat dilihat pula pada model plaster dan foto lengkung gigi.
Terlihat deviasi yang besar pada bite mark yang dapat disebabkan oleh elastisitas dan shrinkage
jaringan dan gaya dinamis saat menggigit (Sheasby & MacDonald, 2001) (Gambar 15).
Gambar 15. Overbite pada bagian kanan, ditandai dengan persegi panjang hijau. Inklinasi
perbedaan anatomi kaninus dengan bentuk blade, berbeda dengan anatomi gigi insisivus yang
memiliki bentuk trapezoid, sehingga tercipta gap antara distal edge di gigi insisivus lateral atas
dan cusp gigi kaninus. Namun, terdapat perbedaan 0,99 mm dan 1,10 mm antara gigi 12 dan 13
pada cetakan gigi dan wax yang kemungkinan berasal dari detrisi nonfisiologis pada sepertiga
Gambar 16. Deskripsi model kerja terduga pelaku (Costa dkk, 2016)
Perbandingan bite mark dan model gigi dapat dilakukan dengan dua metode, yaitu: metode
segitiga odontometrik (objektif) dan metode superimposisi (subjektif). Pada metode objektif
dibuat sebuah segitiga pada tracing bite mark dan model gigi dengan cara membuat tiga poin-A,
B, C. Poin A dan B diletakkan di titik cembung terluar pada gigi kaninus. Titik tengah pada
kedua gigi insisivus sentral rahang atas diberi titik C. Ketiga titik tersebut digabungkan untuk
membentuk segitiga ABC. Garis AB, BC, CA diukur dan sudut a, b, c dihitung. Hal ini
dilakukan pada rahang atas dan rahang bawah (Verma dkk, 2013). Analisis morfometrik
geometrik diterapkan pada bite mark. Bentuknya kemudian dianalisis secara kuantitatif dengan
menangkap morfologi struktur yang dicurigai secara geometri (Heras dkk, 2014). Teknik
pencitraan 3D juga dapat digunakan untuk investigasi bite mark (Sainte dkk, 2016). Pada
penelitian ini, peneliti memilih untuk menganalisis bite mark dengan membandingkan foto
korban dan pelaku karena merupakan metode yang murah, cepat dan dapat dipercaya. Gigi
hilang, gigi dengan malformasi, fraktur, gigi crowding, diastema dan karakteristik gigi lainnya
sangat membantu dalam proses pembandingan karena memiliki karakter yang berbeda tiap
Terduga pelaku terbukti melakukan pembunuhan. Model plaster gigi dan cetakan wax gigi
sepenuhnya memenuhi pernyataan tersebut (Tabel 1). Karena itu, dia dihukum karena melakukan
pembunuhan yang memenuhi syarat, dimana menurut hukum Brasil, hal tersebut dilakukan
dengan kekejaman dengan maksud menghambat atau membuat pertahanan pelaku tidak mungkin
tersinggung. Pelaku dijatuhi hukuman sembilan belas tahun penjara dalam rezim tertutup
sepenuhnya.
Tabel 1. Overlapping poin antara cetakan gigi dan lengkung gigi terduga pelaku (Costa dkk,
2016)
BAB III
Menurut William Eckert (1992), bite mark adalah bekas gigitan dari pelaku yang tertera pada
kulit korban dalam bentuk luka, jaringan kulit maupun jaringan ikat di bawah kulit sebagai pola
akibat dari pola permukaan gigitan dari gigi-gigi pelaku melalui kulit korban.
Menurut Bowers dan Bell (1995) mengatakan bahwa bite mark merupakan suatu perubahan
fisik pada bagian tubuh yang disebabkan oleh kontak atau interdigitasi antara gigiatas dengan
gigi bawah sehingga struktur jaringan terluka baik oleh gigi manusia maupun hewan.
Menurut Sopher (1976) mengatakan bahwa bite mark yang ditimbulkan oleh
hewan berbeda dengan manusia oleh karena perbedaan morfologi dan anatomi gigi geligi beserta
bentuk rahangnya
Menurut Levine (1977) mengatakan bahwa bite mark baik pola permukaan kunyah maupun
permukaan hasil gigitan yang mengakibatkan putusnya jaringan kulit dandibawahnya baik pada
jaringan tubuh manusia maupun pada buah-buahan tertentu misalnya buah apel dapat ditemukan
Sedangkan menurut Soderman dan O’Connel pada tahun 1952 mengatakan bahwa yang
paling sering terdapat bite mark pada buah-buahan yaitu buah apel, pear dan bengkuang
a. Karakteristik Kelas
Berdasarkan Manual of American Board of Forensic Odontology (ABFO), karakteristik
kelas adalah fitur atau pola yang membedakan bite mark dengan cedera berpola lainnya. Hal
ini bertujuan untuk membantu mengindentifikasi darimana bite mark tersebut berasal.
Langkah pertama saat melakukan evalusi bite mark adalah menentukan karakteristik kelas
dari bite mark tersebut. Karakteristik kelas terdiri dari 2 tipe, yaitu karakteristik kelas gigi
dan karakteristik bite mark. Dalam bite mark, gigi anterior yang terdiri dari gigi insisivus
central, insisivus lateral, dan caninus merupakan penggigit utama sesuai dengan karakteristik
kelas gigi. Setiap jenis gigi pada gigi-geligi manusia memiliki karakteristik kelas
(karakteristik kelas gigi) yang membedakan satu jenis gigi dengan gigi yang lainnya (Kaur
dkk, 2013).
Karakteristik bite mark membantu menentukan apakah bite mark tersebut berasal dari
gigi rahang atas atau gigi rahang bawah. Berdasarkan karakteristik bite mark, insisivus
central dan insisivus lateral rahang atas membentuk tanda persegi panjang dengan tanda pada
insisivus central lebih lebar dibandingkan dengan insisivus lateral, serta pada gigi caninus
rahang atas membentuk tanda yang membulat atau oval. Sedangkan pada gigi insisivus
central dan insisivus lateral rahang bawah menghasilkan tanda persegi panjang yang hampir
sama lebarnya, dan pada gigi caninus rahang bawah menghasilkan tanda yang membulat dan
b. Karakteristik Individu
Karakteristik individu adalah deviasi dari karakteristik kelas, yang merupakan pola
spesifik dari pola yang ditemukan dalam karakteristik kelas, dapat berupa fitur, sifat, atau
pola yang menunjukkan variasi individual dari tanda yang ditemukan. Pola, ciri-ciri, atau
sifat gigi yang mungkin ditemukan pada beberapa individu dan tidak pada individu lainnya
dapat berupa rotasi, bukoversi, linguoversi, perpindahan gigi ke mesial atau distal, dll.
Perbedaan gigi pada individu dapat terbentuk oleh berbagai luka fisik dan kimia seperti atrisi,
abrasi, esrosi, gigi yang mengalami karies karena oral hygiene yang buruk, dan adanya
retorasi pada gigi. Selain itu, gigi juga dapat mengalami kerusakan yang disebabkan karena
kecelakaan saat berolahraga, kekerasan, kecelakaan lalu lintas, kecelakaan kerja, dan karies.
Setelah kerusakan seperti itu terjadi, gigi seringkali membutuhkan restorasi. Restorasi atau
kerusakan pada gigi dapat menghasilkan ciri khas pada gigi (Kaur dkk, 2013; Lessig dkk,
2006)
Karakteristik individu dari bite mark dapat dipengaruhi oleh jenis, jumlah, kekhasan gigi,
oklusi, fungsi otot, pergerakkan gigi individu dan disfungsi temporomandibular joint (TMJ)
Pola gigitan mempunyai derajat perlakuan permukaan sesuai dengan kerasnya gigitan, pada
a. Kelas I : pola gigitan terdapat jarak dari gigi incisivus dan kaninus.
Gambar 17. Bite mark kelas I
b. Kelas II : menyerupai pola gigitan kelas I tetapi terlihat pola gigitan cusp bukal dan palatal
maupun cusp bukal dan cusp lingual gigi P1, tetapi derajat pola gigitannya masih sedikit.
c. Kelas III :derajat luka lebih parah dari kelas II, yaitu permukaan gigit incisivus telah menyatu
akan tetapi dalamnya luka gigitan mempunyai derajat lebih parah dari pola gigitan kelas II.
Pada kasus 3, pola gigitan yang terdapat pada perut korban termasuk pola gigitan Kelas III.
Gambar 19. Bite mark kelas III
d. Kelas IV : terdapat luka pada kulit dan otot di bawah kulit yang sedikit terlepas atau rupture
e. Kelas V : terlihat luka yang menyatu pola gigitan incisivus, kaninus, dan premolar baik pada
rahang atas maupun rahang bawah. Pada kasus 2, pola gigitan yang terdapat pada pipi kanan
f. Kelas VI : memperlihatkan luka dari seluruh gigitan dari gigi rahang atas dan bawah, serta
jaringan kulit dan otot terlepas sesuai dengan kekerasan oklusi dan pembukaan mulut
Analisis komparatif bite mark melibatkan pemeriksaan bite mark dan kemudian
dibandingkan dengan bukti tersangka untuk menentukan hasil identifikasi. Pertama dan yang
paling penting adalah tahap menentukan apakah pola luka tersebut merupakan gigitan manusia,
gigitan binatang atau luka yang mirip dengan gigitan manusia atau bukan. Bekas gigitan manusia
sangat bermacam-macam tergantung dari peristiwa (Dolinak dkk, 2005). Terdapat beberapa
metode perbandingan yang digunakan oleh dokter gigi forensik untuk analisis bukti bite mark,
yaitu perbandingan visual, life size overlays, test bites, digital bite mark overlays, scanning
electron microscopy dan analisis metrik. Analisis yang sering digunakan yaitu teknik overlay dan
tahun 1986 menyatakan panduan standar untuk analisis bite mark, yaitu:
a. Dental history
Dental history terdiri dari perawatan gigi yang pernah dilakukan oleh terduga tersangka
sebelum bukti bitemark didapatkan. Data dental history dicatat pada formulir ante mortem
b. Foto
Foto ekstraoral terdiri dari foto seluruh muka dan profil wajah. Foto intraoral terdiri dari
foto frontal, dua foto lateral dan foto oklusal pada setiap rahang. Foto dilakukan dengan
menggunakan film hitam, putih dan warna. Hasil foto berwarna memberikan hasil yang
realistis tetapi tidak diakui sebagai bukti di pengadilan karena terdapat inflamasi, sedangkan
hitam dan putih membuat bite mark terlihat lebih jelas dan umumnya diakui sebagai bukti di
pengadilan. Luka bite mark dapat berubah seiring berjalannya waktu, oleh karena itu penting
untuk dilakukan foto pada bite mark setiap 24 jam pada beberapa hari. Foto harus dibuat
menggunakan lensa plane yang paralel dengan plane pada bite mark untuk mengurangi
terjadinya distorsi. Hal ini menjadi suatu tantangan karena hampir seluruh permukaan badan
manusia berbentuk lengkung. Oleh karena harus digunakan skala untuk estimasi jumlah
distorsi foto. Skala yang digunakan yaitu 1:1 (Fonseca dkk, 2013).
Pada pemeriksaan intra oral dilakukan swab saliva, ukuran dan fungsi lidah, keadaan
periodontal pada mobilitas gigi. Swab pada bite mark dilakukan karena hampir 85% populasi
tambahan bukti DNA juga bisa didapatkan dengan swab saliva pada bite mark. Bukti
gigitan dengan kapas steril dan air suling steril kemudian daerah bite mark di keringkan
e. Pencetakan
Setelah dilakukan foto dan swabbing, dilakukan pencetakan permukaan bite mark dan
pencetakan rahang tersangka. Pada pencetakan permukaan bite mark, seluruh rambut di
lokasi bite mark harus dihilangkan kemudian daerah tersebut dicuci dan dikeringkan. Bahan
cetak dengan viskositas rendah diletakkan pada area tersebut sampai setting. Bahan cetak
tersebut harus diperkuat dengan bahan penduung yang bersifat rigid untuk menghasilkan
kontur anatomi yang akurat. Bahan pendukung yang dapat digunakan yaitu dental stone,
resin akrilik, thermoplastic dan orthopedic mesh. Setelah bahan pendukung dipasangkan,
hasil cetakan dicetak kembali menggunakan dental stone tipe IV. Pencetakan juga dilakukan
pada rahang terduga tersangka Hasil cetakan tersebut / master cast digunakan untuk
demonstrasi pengadilan dan untuk evaluasi serta analisis (Fonseca dkk, 2013).
f. Gigitan sampel
Sampel gigitan dari terduga pelaku dapat dilakukan untuk menentukan tipe gigitan saat
Analisis dapat dilakukan dengan teknik bite mark overlays, yaitu cetakan rahang gigi
tersangka diduplikat, kemudian pada cetakan duplikat bagian insisal edge dan ujung cusp
ditandai dengan tinta dan difoto. Hal serupa juga dilakukan diatas kertas asetat dengan hasil
foto. Kemudian kertas asetat yang telah ditandai dengan tinta dicocokkan dengan pola bite
mark pada korban dan akan ditemukan apakah ditemukan superimposisi yang tepat atau tidak
Analisis lain yaitu menggunakan analisis metrik. Cetakan rahang tersangka dan
duplikatnya diukur karakteristiknya menggunakan kaliper. Pada analisis ini dicatat ukuran
setiap gigi, jarak intercanine, ukuran diastema, derajat dan arah rotasi gigi, serta ada atau
tidak gigi yang hilang. Setiap karakteristik gigi tersangka yang sesuai dengan bite mark dapat
menghasilkan analisis yang sama. Oleh karena itu perlu dilakukan analisis komparatif dari
bite mark dan gigi tersangka untuk menentukan derajat perbandingan (Fonseca dkk, 2013)
Perbandingan juga bisa dilakukan dengan media transfer, seperti mesin fotokopi atau
asetat yang dihasilkan menggunakan komputer dari gigi tersangka. Kemudian ditransfer ke
foto seukuran gigitan. Model tersangka dapat ditempatkan secara langsung di atas foto
gigitan satu per satu gigitan dan perbandingan yang dibuat (Dolinak dkk, 2005).
h. Hasil analisis
Setelah dilakukan anaisis bite mark, dokter gigi forensik dapat mencatat pada lampiran
post mortem untuk mendapatkan kesimpulan dari analisis yang dilakukan (Fonseca dkk,
2013).
Forensik odontologi (kedokteran gigi) adalah bagian baru dari bidang forensik. Perjalanan
kedokteran gigi forensik dimulai dari Agrippina, ibu Kaisar Romawi Nero, pada usia 49 tahun
ketika dia mengenali gigi depan Lollia-Paulina yang mengalami diskolorisasi setelah
Forensik odontologi atau kedokteran gigi forensik didefinisikan oleh Keizer-Nielson pada
tahun 1970 sebagai "cabang kedokteran forensik untuk kepentingan keadilan melalui
pemeriksaan bukti gigi geligi yang tepat dan evaluasi serta presentasi temuan gigi yang tepat."
Forensik sains mengacu pada proses pembuktian yang dapat digunakan dalam lingkungan
peradilan dan diterima oleh pengadilan serta bidang keilmiahan untuk menentukan kebenaran
dari ketidakbenaran. Berikut adalah beberapa peran dokter gigi dalam kedokteran gigi forensik
a. Identifikasi dari mayat yang tidak dikenal melalui gigi, rahang, dan kraniofasial
b. Penentuan umur dari gigi
g. Berperan dalma pemeriksaan dna dari bahan gigi dalam identifikasi personal
Pemeriksaan bitemark adalah salah satu aspek odontologi forensik yang memerlukan
tanggapan segera oleh dokter gigi forensik. Mendokumentasikan bitemark dapat dilakukan
dengan dokumentasi fotografi yang tepat dan transfer ke kertas transparan atau lembaran asetat.
Melakukan swabbing luka gigitan juga dapat dilakukan untuk memulihkan bukti jejak. Noda air
liur atau sel manusia untuk analisis DNA harus dikumpulkan bila memungkinkan (Wright dan
Studi tentang investigasi bekas gigitan yang didapatkan pada kekerasan seksual maupun
non-seksual, pembunuhan, dan juga bahan non-biologis dan benda-benda yang ditinggalkan di
TKP, memerlukan penggunaan teknik fotografi khusus, pengambilan cetakan, dan mikroskop
penanganan material yang tepat untuk memastikan keamanan bukti agar sesuai dengan
persyaratan hukum sehingga dapat diterima sebagai bukti di pengadilan, sehingga memerlukan
Jika dikaitkan pada kasus-kasus tersebut, peran dokter gigi disini yaitu dalam identifikasi
bitemark tersangka pelaku yang merupakan salah satu bukti apakah benar terdakwa adalah
pelaku yang menyebabkan kematian korban. Serta pada kasus 3, sesuai peran analisis trauma
KESIMPULAN
Kedokteran gigi forensik adalah bidang kedokteran gigi yang melibatkan pengumpulan, dan
interpretasi bukti dental yang berhubungan dengan bidang kriminalitas. Sesuai dengan
bidangnya, dokter gigi dapat mengidentifikasi pelaku atau korban dengan melihat gigi geligi.
Salah satu cara yang umum dilakukan untuk mengidentifikasi pelaku adalah dengan membuat
cetakan dari bekas gigitan (bite mark) yang ditemukan. Tanda gigitan yang ditimbulkan pada
korban dapat digunakan sebagai bantuan efektif untuk memberikan petunjuk mengeni tersangka
pada beberapa kasus. Keunikan dari bekas gigitan adalah terdapat ciri spesifik dari susunan gigi
seperti fraktur, rotasi, attritional wear, dan, malformasi kongenital yang akan sangat membantu
Bowes & Bell. 1995. Manual of Forensic Odontology 3rd Edition. America. A publication of the
American Society of Forensic Odontology.
Chairani S. Auerkari E. 2008. Pemanfaatan rugae palatal untuk identifikasi forensik. indonesian
journal of dentistry. 15 (3):261-269.
Costa ST1, Carvalho GP1, Matoso RI1, Freire AR1, Junior ED2, Prado FB1, Rossi AC. 2016.
Identification of Suspect by Bite Mark Analysis in a Dead Woman: A Case Report. Austin
Journal of Forensic Science and Criminology. 3(1) : 1-5
Dolinak, D., Matshes, E., Lew, E., 2005, Forensic Pathology: Principles and Practice, Elsevier
Academic Press, USA, p.618
Fonseca, R.J., Walker, R.V., Barber, H.D., Powers, M.P., Frost, D.E., 2013, Oral and
Maxillofacial Trauma, Elsevier Academic Press, USA, p. 628-630
Kaur S, Krishan K, Chatterjee PM, Kanchan T. 2013. Analysis and identification of bite mark in
forensic casework. OHDM J. 12 (3): 127-8
Lessig R, Wenzel V, Weber M. 2006. Bite mark analysis in forensic routine case work. EXCLI J.
5 : 93-102
Levine L. J. 1977. Bite Mark Evidence, Dental Clinics of North America 21: 145-158
Lukman J, 2006, Buku Ajar Ilmu Kedokteran Gigi Forensik Jilid 2, CV. Sagung Seto, Jakarta,
115-134.
Padmakumar, S.K., Beena, V.T., Salmanulfaris, N., Acharya, A.B., Indu, G., Kumar, S.J. 2014.
Case Report Bite Mark Analysis. Oral and Maxillofacial Pathology. 5(2):488-490
Prasad, Y.S., Lalwani, S., Rautji, R., Dogra, T.D. 2013. Case Report Perimortem Human Teeth
Bite Mark: A Resuscitative Artefact. J Indian Acad Forensic Med. 35(2) : 184-186
Soderman & O’Connel. 1952. Bite Marks Analysis. In: Forensic Dentistry. Springfield, IL:
Charles C. Thomas, pp. 125-152
William Eckert. 1992. Interpretation of Bloodstain Evidence at Crime Scene (Practical Aspect of
Criminals & Forensic Investigation). Vol:1. United Kingdom . September 8
Wright FD, Dailey JC,2001 Human bite marks in forensic dentistry.Dent Clin North Am.
45(2):365-97.