Anda di halaman 1dari 17

1.

Nomer 1
A. Rukun
Para ulama berrbeda pendapat ketika menyebutkan rukun wudhu. Ada yang
menyebutkan 4 saja sebagaimana yang tercantum dalam ayat Quran, namun ada juga yang
menambahinya dengan berdasarkan dalil dari Sunnah.
 4 (empat) rukun menurut Al-Hanafiyah mengatakan bahwa rukun wudhu itu hanya ada
4 sebagaimana yang disebutkan dalam nash Quran
 7 (tujuh) rukun menurut Al-Malikiyah menambahkan dengan keharusan niat, ad-dalk
yaitu menggosok anggota wudhu`. Sebab menurut beliau sekedar mengguyur anggota
wudhu` dengan air masih belum bermakna mencuci atau membasuh. Juga beliau
menambahkan kewajiban muwalat.
 6 (enam) rukun menurut As-Syafi`iyah menambahinya dengan niat dan tertib yaitu
kewajiban untuk melakukannya pembasuhan dan usapan dengan urut, tidak boleh
terbolak balik. Istilah yang beliau gunakan adalah harus tertib
 7 (tujuh) rukun menurut Al-Hanabilah mengatakan bahwa harus niat, tertib dan
muwalat, yaitu berkesinambungan. Maka tidak boleh terjadi jeda antara satu anggota
dengan anggota yang lain yang sampai membuatnya kering dari basahnya air bekas
wudhu`.

MEMBAS MEMBAS MENGUS


RUK NIA MEMBAS TERT MUWAL ADDA Ju
UH UH AP
UN T UH KAKI IB AT LK m
WAJAH TANGAN KEPALA

Hanafi – Rukun Rukun Rukun Rukun – – – 4

Ruk
Maliki Rukun Rukun Rukun Rukun – Rukun Rukun 7
un

Ruk
Syafi`i Rukun Rukun Rukun Rukun Rukun – – 6
un

Hanba Ruk
Rukun Rukun Rukun Rukun Rukun Rukun – 7
li un
1) Niat
Niat wudhu` adalah ketetapan di dalam hati seseorang untuk melakukan
serangkaian ritual yang bernama wudhu
2) Membasuh Wajah
Para ulama menetapkan bahwa batasan wajah seseorang itu adalah tempat
tumbuhnya rambut (manabit asy-sya`ri) hingga ke dagu dan dari batas telinga kanan
hingga batas telinga kiri.
3) Membasuh kedua tangan hingga siku
Secara jelas disebutkan tentang keharusan membasuh tangan hingga ke siku.
Dan para ulama mengatakan bahwa yang dimaksud adalah bahwa siku harus ikut
dibasahi
4) Mengusap kepala
Yang dimaksud dengan mengusap adalah meraba atau menjalankan tangan
ke bagian yang diusap dengan membasahi tangan sebelumnya dengan air.
 Al-Hanafiyah mengatakan bahwa yang wajib untuk diusap tidak semua bagian
kepala, melainkan sekadar dari kepala. Yaitu mulai ubun-ubun dan di atas telinga.
 Al-Malikiyah dan Al-Hanabilah mengatakan bahwa yang diwajib diusap pada
bagian kepala adalah seluruh bagian kepala. Bahkan Al-Hanabilah mewajibkan
untuk membasuh juga kedua telinga baik belakang maupun depannya.
 Asy-syafi`iyyah mengatakan bahwa yang wajib diusap dengan air hanyalah
sebagian dari kepala, meskipun hanya satu rambut saja. Dalil yang digunakan beliau
adalah hadits Al-Mughirah : Bahwa Rasulullah SAW ketika berwudhu` mengusap
ubun-ubunnya dan imamahnya (sorban yang melingkari kepala).
5) Mencuci kaki hingga mata kaki.
Menurut jumhur ulama, yang dimaksud dengan hingga mata kaki adalah
membasahi mata kakinya itu juga.
6) Tartib
Yang dimaksud dengan tartib adalah mensucikan anggota wudhu secara
berurutan dari yang awal hingga yang akhir.
 Al-Hanafiyah dan Al-Malikiyah tidak merupakan bagian dari fardhu wudhu`,
melainkan hanya sunnah muakkadah. Akan halnya urutan yang disebutan di dalam
Al-Quran, bagi mereka tidaklah mengisyaratkan kewajiban urut-urutan.
 bersikeras mengatakan bahwa tertib urutan anggota yang dibasuh merupakan bagian
dari fardhu dalamwudhu`. Sebab demikianlah selalu datangnya perintah dan contoh
praktek wudhu`nya Rasulullah SAW. Tidak pernah diriwayatkan bahwa beliau
berwudhu` dengan terbalik-balik urutannya. Dan membasuh anggota dengan cara
sekaligus semua dibasahi tidak dianggap syah.
7) Al-Muwalat / Tidak Terputus
Maksudnya adalah tidak adanya jeda yang lama ketika berpindah dari
membasuh satu anggota wudhu` ke anggota wudhu` yang lainnya. Ukurannya menurut
para ulama adalah selama belum sampai mengering air wudhu`nya itu.
8) Ad-Dalk
Yang dimaksud dengan ad-dalk adalah mengosokkan tangan ke atas anggota
wudhu setelah dibasahi dengan air dan sebelum sempat kering. Hal ini tidak menjadi
kewajiban menurut jumhur ulama, namun khusus Al-Malikiyah mewajibkannya. Sebab
sekedar menguyurkan air ke atas anggota tubuh tidak bisa dikatakan membasuh seperti
yang dimaksud dalam Al-Quran.
HAL-HAL YANG MEMBATALKAN WUDHU`
Ada 6 perkara.

HAL-HAL YANG
Al-
NO MEMBATALKAN Al-Malikiyah As-Syafi`i Al-hanabalah
Hanafiyah
WUDHU`

Batal jika kelua


Keluarnya sesuatu lewat
sesuatu yang
1 dua lubang qubul atau Batal Batal Batal
lazim juga dari
dubur
lubang yang lazim

Batal walaupun
Tidur yang bukan dalam
2 Batal Batal jika pulas Batal dalam posisi
posisi tamakkun
tamakkun
Hilang Akal Karena
3 Mabuk, Tidur Atau Batal Batal Batal Batal
Sakit

Menyentuh Kemaluan
4 Tidak batal Batal Batal Batal
dengan telalapak tangan

Menyentuh kulit lawan


Batal jika merasa Batal dengan
5 jenis yang bukan Tidak Batal Batal
lezat syahwat
mahram

Keluarnya Sesuatu dari Tidak


6 Batal Tidak Batal Tidak Batal
badan Batal

2. Nomer 2
Perbedaan Pandangan Ulama Fiqih tentang Qunut Subuh
Keragaman Muslim Indonesia meniscayakan ragam pelaksanaan ibadah di
masyarakat. Tak terkecuali dalam shalat. Dahulu, atau barangkali hingga saat ini, yang masih
menjadi “pembeda” antargolongan Muslim adalah perkara doa qunut saat shalat Subuh.
Tentu bagi kebanyakan kalangan Nahdliyin perbedaan qunut Subuh ini sudah familiar.
“Masjid yang di sana Subuhnya tidak pakai qunut. Kayaknya imam masjidnya dari
kalangan anu.” Demikian kurang lebih ‘rasan-rasan’ yang biasa kita dengar.
Penyebab perbedaan qunut yang paling mencolok adalah beda pemahaman hadits
dan cara qiyas, sebagaimana disebutkan Imam Ibnu Rusyd dalam Bidâyatul Mujtahid wa
Nihâyatul Muqtashid. Bagi kalangan mazhab Abu Hanifah, qunut hanya dilakukan kala
shalat witir.
Mazhab Ahmad bin Hanbal menyebutkan kesunnahan qunut Subuh ini hanya pada
momen nazilah, yaitu ketika umat muslim dilanda musibah. Sedangkan bagi kalangan
bermazhab Syafi’i, seperti kebanyakan diamalkan di Indonesia, membaca doa qunut Subuh
termasuk sunnah ab’adl, yang jika ditinggalkan maka dianjurkan melakukan sujud sahwi.
Para ulama kalangan mazhab Syafi’i menyandarkan pendapat perkara qunut ini
salah satunya pada hadits yang diriwayatkan dari Anas bin Malik sebagai berikut:
‫سو ُل زَ ا َل َما‬ َ - ‫صلَى‬
ُ ‫ّللاه َر‬ َ ُ‫ّللا‬ َ ‫ َو‬- ُ‫ارقَ َحتَى ْالفَجْ هر فهي َي ْقنُت‬
َ ‫سلَ َم َعلَ ْي هه‬ َ َ‫الدُّ ْن َيا ف‬

Artinya: “Rasulullah SAW senantiasa berqunut di shalat fajar (shalat Subuh)


sampai beliau meninggal dunia.” (HR. Ahmad)
Selain itu, pengamalan qunut Subuh ini juga dilakukan para sahabat, seperti Umar
bin Khattab. Namun bagi sebagian ulama, hadits yang digunakan di atas masih perlu
dipahami latar belakangnya serta perlu dibandingkan dengan hadits lain. Sebagaimana
dikutip Ibnu Qudamah dalam al-Mughni, berikut hadits perihal qunutnya Nabi di waktu
Subuh yang diriwayatkan dari Abu Hurairah:
َ ‫سو َل‬
‫إن‬ َ - ‫صلَى‬
ُ ‫ّللاه َر‬ َ ‫سلَ َم َعلَ ْي هه‬
َ ُ‫ّللا‬ َ ‫ َو‬- َ‫ص ََلةه فهي يَ ْقنُتُ َل َكان‬ ْ ‫ هلقَ ْوم د َ َعا إذَا َإل‬، ‫قَ ْوم َعلَى د َ َعا أ َ ْو‬
َ ‫الفَجْ هر‬،
Artinya: “Sesungguhnya Rasulullah SAW tidak berqunut ketika shalat fajar (shalat
Subuh), kecuali ketika mendoakan kebaikan atau keburukan untuk suatu kaum.” (HR.
Muslim)
Hadits Anas bin Malik yang menjadi hujjah untuk berqunut Subuh di atas dipahami
ulama bukan sebagai doa, melainkan maksud qunut di sana adalah berdiri lebih lama dan
membaca doa yang lebih umum. Kemudian terkait Umar bin Khattab yang berqunut saat
shalat Subuh, dipahami sebagian ulama bahwa beliau melakukannya pada momen musibah
dan perang (nazilah) kala itu. Demikian kurang lebih yang dicatat Ibnu Qudamah.
Imam Malik bin Anas dalam istilah fiqihnya membedakan perkara yang dianjurkan
antara sunnah dan mustahab. Qunut menurut Imam Malik tergolong amalan yang mustahab,
yaitu hal yang dianjurkan namun Nabi tidak mengamalkannya secara terus-menerus semasa
hidup. Berdasarkan beberapa riwayat hadits, disebutkan bahwa Nabi pernah berqunut selama
sekian hari, lantas beliau meninggalkannya.
Menurut Imam Malik pula, doa qunut hendaknya dilakukan sebelum ruku’ secara
pelan (sirr), berbeda dengan mazhab Syafi’i dan Ahmad bin Hanbal yang berpendapat bahwa
qunut dibaca setelah ruku’.
‘Ala kulli hal, demikian beberapa hujjah yang menyebabkan beda pengamalan
qunut Subuh di masyarakat. Kini perdebatan yang dulu memicu polemik di masyarakat ini
tampak kian lunak, utamanya di masyarakat kota. Kalangan Nahdliyin yang biasa berqunut,
biasa saja mengikuti jamaah Subuh yang tanpa qunut. Begitu pula kalangan yang tidak biasa
berqunut, tidak keberatan membaca qunut dalam shalat mengikuti lumrahnya masyarakat.
Mengutip pendapat Imam Sufyan ats Tsauri, sebagaimana dikutip oleh Imam at
Tirmidzi dalam Sunan at Tirmidzi terkait qunut:
‫سن الفَجْ هر فهي قَنَتَ إه ْن‬ ْ ُ‫سن يَ ْقن‬
َ ‫فَ َح‬، ‫ت لَ ْم َوإه ْن‬ َ ‫فَ َح‬
“Jika seseorang ingin melakukan qunut di waktu Subuh, maka itu ‘hasan’ (baik, dan
termasuk sunnah). Dan jika tidak berqunut, itu juga ‘hasan’.”
Keragaman Muslim Indonesia meniscayakan ragam pelaksanaan ibadah di
masyarakat. Tak terkecuali dalam shalat. Dahulu, atau barangkali hingga saat ini, yang masih
menjadi “pembeda” antargolongan Muslim adalah perkara doa qunut saat shalat Subuh.
Tentu bagi kebanyakan kalangan Nahdliyin perbedaan qunut Subuh ini sudah familiar.
“Masjid yang di sana Subuhnya tidak pakai qunut. Kayaknya imam masjidnya dari
kalangan anu.” Demikian kurang lebih ‘rasan-rasan’ yang biasa kita dengar.
Penyebab perbedaan qunut yang paling mencolok adalah beda pemahaman hadits
dan cara qiyas, sebagaimana disebutkan Imam Ibnu Rusyd dalam Bidâyatul Mujtahid wa
Nihâyatul Muqtashid. Bagi kalangan mazhab Abu Hanifah, qunut hanya dilakukan kala
shalat witir.
Mazhab Ahmad bin Hanbal menyebutkan kesunnahan qunut Subuh ini hanya pada
momen nazilah, yaitu ketika umat muslim dilanda musibah. Sedangkan bagi kalangan
bermazhab Syafi’i, seperti kebanyakan diamalkan di Indonesia, membaca doa qunut Subuh
termasuk sunnah ab’adl, yang jika ditinggalkan maka dianjurkan melakukan sujud sahwi.
Para ulama kalangan mazhab Syafi’i menyandarkan pendapat perkara qunut ini
salah satunya pada hadits yang diriwayatkan dari Anas bin Malik sebagai berikut:
‫سو ُل زَ ا َل َما‬ َ - ‫صلَى‬
ُ ‫ّللاه َر‬ َ ُ‫ّللا‬ َ ‫ َو‬- ُ‫ارقَ َحتَى ْالفَجْ هر فهي يَ ْقنُت‬
َ ‫سلَ َم َعلَ ْي هه‬ َ َ‫الدُّ ْنيَا ف‬
Artinya: “Rasulullah SAW senantiasa berqunut di shalat fajar (shalat Subuh)
sampai beliau meninggal dunia.” (HR. Ahmad)
Selain itu, pengamalan qunut Subuh ini juga dilakukan para sahabat, seperti Umar
bin Khattab. Namun bagi sebagian ulama, hadits yang digunakan di atas masih perlu
dipahami latar belakangnya serta perlu dibandingkan dengan hadits lain. Sebagaimana
dikutip Ibnu Qudamah dalam al-Mughni, berikut hadits perihal qunutnya Nabi di waktu
Subuh yang diriwayatkan dari Abu Hurairah:
َ ‫سو َل‬
‫إن‬ َ - ‫صلَى‬
ُ ‫ّللاه َر‬ َ ‫سلَ َم َعلَ ْي هه‬
َ ُ‫ّللا‬ َ ‫ َو‬- َ‫ص ََل هة فهي َي ْقنُتُ َل َكان‬ ْ ‫ هلقَ ْوم د َ َعا إذَا َإل‬، ‫قَ ْوم َعلَى د َ َعا أ َ ْو‬
َ ‫الفَجْ هر‬،
Artinya: “Sesungguhnya Rasulullah SAW tidak berqunut ketika shalat fajar (shalat
Subuh), kecuali ketika mendoakan kebaikan atau keburukan untuk suatu kaum.” (HR.
Muslim)
Hadits Anas bin Malik yang menjadi hujjah untuk berqunut Subuh di atas dipahami
ulama bukan sebagai doa, melainkan maksud qunut di sana adalah berdiri lebih lama dan
membaca doa yang lebih umum. Kemudian terkait Umar bin Khattab yang berqunut saat
shalat Subuh, dipahami sebagian ulama bahwa beliau melakukannya pada momen musibah
dan perang (nazilah) kala itu. Demikian kurang lebih yang dicatat Ibnu Qudamah.
Imam Malik bin Anas dalam istilah fiqihnya membedakan perkara yang dianjurkan
antara sunnah dan mustahab. Qunut menurut Imam Malik tergolong amalan yang mustahab,
yaitu hal yang dianjurkan namun Nabi tidak mengamalkannya secara terus-menerus semasa
hidup. Berdasarkan beberapa riwayat hadits, disebutkan bahwa Nabi pernah berqunut selama
sekian hari, lantas beliau meninggalkannya.
Menurut Imam Malik pula, doa qunut hendaknya dilakukan sebelum ruku’ secara
pelan (sirr), berbeda dengan mazhab Syafi’i dan Ahmad bin Hanbal yang berpendapat bahwa
qunut dibaca setelah ruku’.
‘Ala kulli hal, demikian beberapa hujjah yang menyebabkan beda pengamalan
qunut Subuh di masyarakat. Kini perdebatan yang dulu memicu polemik di masyarakat ini
tampak kian lunak, utamanya di masyarakat kota. Kalangan Nahdliyin yang biasa berqunut,
biasa saja mengikuti jamaah Subuh yang tanpa qunut. Begitu pula kalangan yang tidak biasa
berqunut, tidak keberatan membaca qunut dalam shalat mengikuti lumrahnya masyarakat.
Mengutip pendapat Imam Sufyan ats Tsauri, sebagaimana dikutip oleh Imam at
Tirmidzi dalam Sunan at Tirmidzi terkait qunut:
‫سن الفَجْ هر فهي قَنَتَ هإ ْن‬ ْ ُ‫سن َي ْقن‬
َ ‫فَ َح‬، ‫ت لَ ْم َو هإ ْن‬ َ ‫فَ َح‬
“Jika seseorang ingin melakukan qunut di waktu Subuh, maka itu ‘hasan’ (baik, dan
termasuk sunnah). Dan jika tidak berqunut, itu juga ‘hasan’.”
3. Nomer 3
Cara menentukan awal Ramadhan ini bisa dilakukan dengan 3 cara, seperti dibawah ini:
A. Rukyatul hilal (melihat bulan sabit)
Yaitu melihat hilal (bulan baru/sabit) setelah ijtima’ (konjungsi) dan setelah
wujud/muncul di atas ufuk pada akhir bulan dengan mata telanjang atau melalui alat.
Cara ini berdasarkan sabda Rasulullah SAW:
(ُ‫ َولَ ت ُ ْف هط ُروا حتى ت ََر ْوه‬،َ‫ص ْو ُموا حتَى ت ََروا ْال ههَلَل‬
ُ َ ‫)لَ ت‬.
“Janganlah berpuasa (Ramadhan) sehingga kalian melihat hilal dan janganlah
berhari raya sehingga kalian melihat hilal.” (HR Bukhari dan Muslim)
Hadits lain menegaskan bahwa cara menentukan awal Ramadan adalah dengan
melihat bulan sabit.
(‫ص ْو ُموا هل ُرؤْ َيته هه َوأَ ْف هط ُروا هل ُرؤْ َيته هه‬
ُ ).
”berpuasalah jika telah melihat hilal dan berharirayalah bila telah melihat hilal”.
(HR Bukhari dan Muslim).
Jumhur ulama mencukupkan bahwa hasil rukyat yang dilakukan seorang
muslim yang dapat dipercaya dan tidak cacat dalam agamanya (adil) dapat dijadikan
sebagai landasan untuk memutuskan tentang awal bulan Ramadan.
Hal itu berdasarkan hadits Ibnu Umar dia berkata bahwa ketika semua orang
sedang memantau awal bulan maka sayalah yang melihatnya, lalu saya laporkan kepada
Nabi kemudian Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa dan menyuruh seluruh
kaum muslimin untuk berpuasa”. (HR Abu Dawud, al-Baihaqi dan ad-Daruquthni).
B. Menyempurnakan bulan Sya’ban menjadi 30 hari
Ketika para perukyat tidak berhasil melihat hilal pada tanggal 29 bulan Sya'ban
baik keadaan langit berawan, mendung atau cerah, maka cara menentukan awal bulan
Ramadhan dalam keadaan seperti ini adalah menjadikan bilangan bulan Sya'ban menjadi
30.
Pandangan ini didasarkan kepada Sabda Nabi:
(‫ فإن غبي عليكم فأآملوا عدة شعبان ثَلثين‬،‫)صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته‬.
Dari Abu Hurairah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:”
berpuasalah jika telah melihat hilal dan berharirayalah bila telah melihat hilal, apabila
terhalang oleh mendung maka sempurnakanlah bulan Sya’ban menjadi tiga puluh hari”.
(HR Bukhari dan Muslim).
‫ فإن غم عليكم فأآملوا العدة ثَلثين‬،‫ فَل تصوموا حتى تروه‬،‫الشهر تسع وعشرون ليلة‬
”Bulan (Sya’ban) itu dua puluh sembilan malam, maka janganlah puasa hingga
kalian melihatnya (hilal) apabila terhalang olehmu mendung maka sempurnakan menjadi
tiga puluh malam.” (HR Bukhari)
C. Memperkirakan bulan sabit
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam, bersabda:
(‫ فإن غم عليكم فاقدروا له‬،‫ ول تفطروا حتى تروه‬،‫)ل تصوموا حتى تروا الهَلل‬.
“Janganlah berpuasa (Ramadan) sehingga kalian melihat hilal dan janganlah
berhari raya sehingga kalian melihat hilal, apabila terhalang olehmu mendung maka
perkirakanlah” ( HR Bukhari dan Muslim).
Sebagian ulama, seperti; Muthrif bin Abdullah, Abul Abbas bin Suraij dan Ibnu
Qutaibah berpendapat bahwa maksud faqduru lah adalah perkirakanlah bulan sesuai
dengan menzilahnya (posisi orbitnya).
Pendapat Abul Abbas Ibnu Siraj dari kalangan ulama Syafi'iyyah, mengatakan
bahwa orang yang mengetahui awal Ramadhan melalui ilmu falaqnya, maka dia wajib
berpuasa. (lihat al-Majmuk oleh an-Nawawi; 6/279,280).
Cara ketiga untuk penentuan awal bulan mengundang perhatian lebih luas bagi
para ulama kontemporer dan ahli dengan berkembangnya ilmu falaq modern.
Sebagaimana dikutip oleh Syeikh Yusuf al-Qardhawi dalam risalah Ramadhan
di mana sebagian ulama besar pada abad modern ini seperti Ahmad Muhammad Syakir,
Mustafa Zarqa' berpandangan bahwa perlunya umat Islam beralih dari cara yang
sederhana menuju cara yang lebih modern dan terukur dalam menentukan awal bulan
Ramadan yaitu dengan berpedoman kepada ilmu falaq modern yang mana teori-teori
yang dibangun berdasarkan ilmu yang pasti dan perhitungan yang sangat teliti.
Kementerian Agama (Kemenag) RI sendiri akan menggelar sidang itsbat atau
penetapan awal bulan Ramadhan 1439 H pada hari ini, Selasa (15/5/2018).
Melansir dari Kompas.com, proses sidang itsbat dijadwalkan berlangsung
selepas salat maghrib, usai adanya laporan hasil rukyatul hilal dari lokasi pemantauan.
Kemenag akan menurunkan sejumlah pemantau hilal di seluruh provinsi di
Indonesia," ujar Juraidi, Direktur Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah,
Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, Kemenag RI.
Prosesnya, petugas akan mengamati kenaikan bulan sabit dengan mata telanjang
atau dengan menggunakan teropong.
Sementara itu, Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah mengumumkan secara
resmi jadwal awal puasa, awal Ramadhan 1439 H atau 2018 ini jatuh pada hari Kamis, 17
Mei 2018.
4. Nomer 4
Berdasarkan fatwa MUI bahwa “penghasilan” adalah setiap pendapatan seperti gaji,
honorarium, upah, jasa, dan lain-lain yang diperoleh dengan cara halal, baik rutin seperti
pejabat negara, pegawai atau karyawan, maupun tidak rutin seperti dokter, pengacara
konsultan, dan sejenisnya, serta pendapatan yang diperbolehkan pekerjaan bebas lainnya.
MUI merupakan lembaga yang mewadahi para ulama, zu’ama, dan cendekiawan Islam di
Indonesia untuk membimbing, membina dan mengayomi kaum muslimin di seluruh
Indonesia,
Zakat profesi (maal mustafad) ini bukan bahasan baru, para ulama fikih sudah
menjelaskan di kitab-kitab klasik, di antaranya adalah kitab al-Muhalla (Ibnu Hazm), al-
Mughni (Ibnu Quddamah), Nail al-Athar (asy-Syaukani), maupun di kitab Subul as-Salam
(ash-Shan’ani).
Menurut mereka setiap upah/gaji yang didapatkan dari pekerjaan itu wajib zakat
(wajib ditunaikan zakatnya). Diantara para ulama yang mewajibkan zakat profesi adalah Ibnu
Abbas, Ibnu Mas’ud, Mu’awiah, ash-Shadiq, al-Baqir, an-Nashir, Daud Umar bin Abdul
Aziz, al-Hasan, az-Zuhri, dan al-Auza’i.
Zakat penghasilan atau zakat profesi (al-Maal al-Mustafad) adalah zakat yang
dikenakan pada setiap pekerjaan atau keahlian profesional tertentu baik yang dilakukan
sendirian maupun bersama dengan orang/lembaga lain, yang mendatangkan penghasilan
(uang) halal yang memenuhi nishab (batas minimum untuk wajib zakat). Contohnya adalah
pejabat, pegawai negeri atau swasta, dokter, konsultan, advokat, dosen, makelar,
olahragawan, artis, seniman dan sejenisnya.
Dan di Indonesia sejak tahun Juni 2003, Komisi Fatwa MUI sudah memfatwakan
bahwa penghasilan itu termasuk wajib zakat. Hal ini mengacu pada pendapat MUI mengenai
revisi UU No 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat. Ijtima’ Komisi Fatwa MUI
merekomendasikan Undang-Undang tentang Pengelolaan Zakat agar diubah menjadi
Undang-Undang tentang Zakat.
Setiap upah/gaji yang didapatkan dari pekerjaan itu wajib ditunaikan zakatnya,
karena ayat-ayat yang mewajibkan zakat terhadap setiap harta tanpa memilah jenis dan
bentuknya, sesuai dengan maqasid ; semangat berbagi dan memenuhi hajat dhuafa. Sesuai
dengan kaidah umum bahwa zakat diberlakukan untuk hartawan yang telah memenuhi
nishab. Adapun pola penghitungannya bisa dihitung setiap bulan dari penghasilan kotor
menurut pedapat Dr. Yusuf Qardhawi, Muhammad Ghazali, dan lain-lain.
Sebagaimana juga disebutkan dalam beberapa riwayat, di antaranya Ibnu Mas’ud,
Mu’awiyah dan Umar bin Abdul Aziz. Abu ‘Ubaid meriwayatkan dari Ibnu Abbas tentang
seorang laki-laki yang memperoleh penghasilan “Ia mengeluarkan zakatnya pada hari ia
memperolehnya.” Abu Ubaid juga meriwayatkan bahwa Umar bin Abdul Aziz memberi upah
kepada pekerjanya dan mengambil zakatnya .. “
A. Pengertian Zakat Profesi
Profesi adalah pekerjaan di bidang jasa atau pelayanan selain bertani,
berdagang, bertambang, beternak, dengan imbalan berupa upah atau gaji dalam bentuk
mata uang, baik bersifat tetap atau tidak, baik pekerjaan yang dilakukan langsung ataupun
bagian lembaga, baik pekerjaan yang mengandalkan pekerjaan otak ataupun tenaga.
Zakat Profesi disebut juga zakat pendapatan adalah zakat harta yang
dikeluarkan dari hasil pendapatan seseorang atau profesinya bila telah mencapai nishab.
Seperti pendapatan karyawan, dokter, notaris dan lain-lain.
B. Kategori dan Karakteristik Profesi
Ada dua kategori pekerjaan yang menghasilkan upah/pendapatan, yaitu:
Setiap pekerjaan yang dilakukan (al-Mihan al-Hurrah), baik pekerjaan yang
mengandalkan otak, seperti pengacara, penulis, intelektualitas, dokter, konsultan, pekerja
kantoran dan sejenisnya (al-Mihaniyyun). Pekerjaan yang mengandalkan tangan atau
tenaga, misalnya para perajin, pandai besi, tukang las, mekanik bengkel, tukang jahit
buruh bangunan dan sejenisnya (ashabul hirfah)
Setiap pekerjaan yang dilakukan sebagai bagian dari lembaga, baik
pemerintahan maupun swasta (kasb al-‘amal), seperti karyawan dan lain sebagainya.
Jadi karakteristik profesi adalah: “Segala jenis pekerjaan selain bertani,
berdagang, bertambang, berternak. Pekerjaan yang lebih banyak bergerak di bidang jasa
atau pelayanan, pekerjaan itu pada umumnya dilaksanakan berdasarkan basis ilmu dan
teori tertentu.”
Imbalan atau penghasilannya berupa upah atau gaji dalam bentuk mata uang,
baik bersifat tetap maupun tidak tetap. Semua jenis penghasilan yang didapatkan oleh
para tenaga profesional tersebut, bila memenuhi syarat nishab dan haul, maka harus
dikeluarkan zakatnya.
C. Landasan Syar’i Zakat Profesi
Berikut ini adalah dalil yang bermakna kewajiban zakat secara umum, yaitu:
‫س ِمي ٌع َع ِلي ٌم‬ َّ ‫سك ٌَن لَ ُه ْم َو‬
َ ُ‫َللا‬ َ ‫ص ِِّل َعلَ ْي ِه ْم ِإ َّن‬
َ َ‫ص ََلتَك‬ َ ُ ‫صدَقَةً ت‬
َ ‫ط ِ ِّه ُر ُه ْم َوتُزَ ِ ِّكي ِه ْم ِب َها َو‬ َ ‫ُخذْ ِم ْن أ َ ْم َوا ِل ِه ْم‬
Artinya:
Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu
membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa
kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi
Maha Mengetahui. (QS. At Taubah: 103)
Berikut ini juga terdapat dalil yang menjelaskan kewajiban zakat terhadap harta
tertentu, yaitu:
‫آخذِي ِه إِ ََّل أَ ْن‬ َ ِ‫ض ۖ َو ََل ت َ َي َّم ُموا ْال َخب‬
ِ ِ‫يث ِم ْنهُ ت ُ ْن ِفقُونَ َولَ ْست ُ ْم ب‬ ِ ‫ت َما َك َس ْبت ُ ْم َو ِم َّما أَ ْخ َرجْ نَا لَ ُك ْم ِمنَ ْاْل َ ْر‬ َ ‫يا أَيُّ َها الَّذِينَ آ َمنُوا أ َ ْن ِفقُوا ِم ْن‬
ِ ‫طيِِّبَا‬
ٌ‫ي َح ِميد‬ َّ ‫ت ُ ْغ ِمضُوا فِي ِه ۚ َوا ْعلَ ُموا أ َ َّن‬
ٌّ ِ‫َللاَ َغن‬
Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil
usahamu yang baik-baik, …”. (Q.S Al Baqarah: 267)
Ayat pertama di atas menunjukkan lafadz atau kata yang masih umum ; dari
hasil apa saja, “.. infakkanlah (zakatkanlah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik,
..” dan dalam ilmu fiqh terdapat kaidah “Al “ibrotu bi Umumi lafdzi laa bi khususi
sabab”, “bahwa ibroh (pengambilan makna) itu dari keumuman katanya bukan dengan
kekhususan sebab.” Dan tidak ada satupun ayat atau keterangan lain yang memalingkan
makna keumuman hasil usaha tadi, oleh sebab itu profesi atau penghasilan termasuk
dalam ketegori ayat di atas.
5. Nomer 5
Gugatan Cerai Dalam Islam
Sakinah, mawaddah dan kasih sayang adalah asas dan tujuan disyariatkannya
pernikahan dan pembentukan rumah tangga. Dijelaskan dalam firman Allah Subhanahu wa
Ta’ala.
َ‫َو هم ْن آ َيا هت هه أ َ ْن َخلَقَ لَ ُك ْم هم ْن أ َ ْنفُ هس ُك ْم أ َ ْز َوا ًجا هلت َ ْس ُكنُوا هإلَ ْي َها َو َج َع َل َب ْينَ ُك ْم َم َودَة ً َو َرحْ َمةً ۚ هإ َن هفي َٰذَلهكَ ََل َيات هلقَ ْوم َيتَفَ َك ُرون‬
“Dan di antara tanda-tanda kekuasan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri
dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-
Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar
terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir” [Ar-Rum : 21]
Namun kenyataannya banyak terjadi dalam kehidupan berkeluarga timbul masalah-
masalah yang mendorong seorang isteri melakukan gugatan cerai dengan segala alasan.
Fenomena ini banyak terjadi dalam media massa, sehingga diketahui khalayak ramai. Yang
pantas disayangkan, mereka tidak segan-segan membuka rahasia rumah tangga, hanya
sekedar untuk bisa memenangkan gugatan,. Padahal, semestinya persoalan gugatan cerai ini
harus dikembalikan kepada agama, dan menimbangnya dengan Islam. Dengan demikian, kita
semua dapat ber-Islam dengan kaffah (sempurna dan menyeluruh).
A. Pengertian Gugatan Cerai
Gugatan cerai, dalam bahasa Arab disebut Al-Khulu (‫) ال ُخ ْل ُع‬. Kata Al-Khulu
(‫ ) ال ُخ ْل ُع‬dengan didhommahkan hurup kha’nya dan disukunkan huruf Lam-nya, berasal
dari kata (‫ب‬ ْ ‫) ُخ ْل ُع ْال‬. Maknanya melepas pakaian. Lalu digunakan untuk istilah wanita
‫شو ه‬
yang meminta kepada suaminya untuk melepas dirinya dari ikatan pernikahan yang
dijelaskan Allah sebagai pakaian. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
‫ه َُن هلبَاس لَ ُك ْم َوأَ ْنت ُ ْم هلبَاس لَ ُه َن‬
“Mereka itu adalah pakaian, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka”[Al-
Baqarah : 187]
Sedangkan menurut pengertian syari’at, para ulama mengatakan dalam banyak
defenisi, yang semuanya kembali kepada pengertian, bahwasanya Al-Khulu ialah
terjadinya perpisahan (perceraian) antara sepasang suami-isteri dengan keridhaan dari
keduanya dan dengan pembayaran diserahkan isteri kepada suaminya . Adapaun Syaikh
Al-Bassam berpendapat, Al-Khulu ialah perceraian suami-isteri dengan pembayaran yang
diambil suami dari isterinya, atau selainnya dengan lafazh yang khusus”
B. Hukum Al-Khulu’
Al-Khulu disyariatkan dalam syari’at Islam berdasarkan firman Allah
Subhanahu wa Ta’ala.
َ َ‫ّللاه ۖ فَإه ْن هخ ْفت ُ ْم أَ َل يُ هقي َما ُحد ُود‬
‫ّللاه فَ ََل ُجنَا َح َعلَ ْي هه َما فهي َما‬ َ ‫َو َل َي هح ُّل لَ ُك ْم أ َ ْن ت َأ ْ ُخذُوا هم َما آت َ ْيت ُ ُموه َُن‬
َ َ‫ش ْيئًا هإ َل أَ ْن َيخَافَا أَ َل يُ هقي َما ُحدُود‬
َ‫ظا هل ُمون‬َ ‫ّللاه فَأُو َٰلَئهكَ ُه ُم ال‬ َ ُ ‫ت هب هه ۗ هت ْلكَ ُحد ُود‬
َ َ‫ّللاه فَ ََل ت َ ْعتَد ُوهَا ۚ َو َم ْن َيتَ َعدَ ُحدُود‬ ْ َ‫ا ْفتَد‬
“Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu
berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan
hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami-isteri) tidak dapat
menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran
yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka
janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah,
mereka itulah orang-orang yang zhalim’ [Al-Baqarah : 229]
Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Ibnu Abbas
Radhiyallahu ‘anhuma.
َ‫ّللا َماأَن هق ُم َعلَى ثَا هبت فهي هديْن َول‬
َ ‫سو َل‬ ْ َ‫سلَ َم فَقَال‬
ُ ‫ت يَا َر‬ َ ُ‫صلَى هللا‬
َ ‫علَ ْي هه َو‬ َ ‫امرأَة ُ ثَا هبت ب هْن قَيْس ب هْن‬
َ ‫ش َماس هإلَى النَ هبي ه‬ َ ‫ت‬ ْ ‫َجا َء‬
َ َ‫َت َعلَ ْي هه َوأ َ َم َرهُ فَف‬
‫ارقَ َها‬ ْ َ‫سلَ َم فَت َُر هديْنَ َعلَ ْي هه َحدهيقَ ََ تَهُ فَقَال‬
ْ ‫ت نَ َع ْم فَ َرد‬ َ ‫صلَى هللاُ َعلَ ْي هه َو‬ َ ‫س‬
َ ‫وّللاه‬ ُ ‫َاف ْال ُك ْف َر فَقَا َل َر‬
ُ ‫ق هإلَ أ َ هني أَخ‬
‫ُخلُ ه‬
“Isteri Tsabit bin Qais bin Syammas mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam seraya berkata ; “Wahai Rasulullah, aku tidak membenci Tsabit dalam agama dan
akhlaknya. Aku hanya takut kufur”. Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda : “Maukah kamu mengembalikan kepadanya kebunnya?”. Ia menjawab, “Ya”,
maka ia mengembalikan kepadanya dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
memerintahkannya, dan Tsabit pun menceraikannya” [HR Al-Bukhari]
Demikian juga kaum muslimin telah berijma’ pada masalah tersebut,
sebagaimana dinukilkan Ibnu Qudamah , Ibnu Taimiyyah , Al-Hafizh Ibnu Hajar , Asy-
Syaukani , dan Syaikh Abdullah Al-Basam , Muhammad bin Ali Asy-Syaukani
menyatakan, para ulama berijma tentang syari’at Al-Khulu, kecuali seorang tabi’in
bernama Bakr bin Abdillah Al-Muzani… dan telah terjadi ijma’ setelah beliau tentang
pensyariatannya.
C. Ketentuan Hukum Al-Khulu
Menurut tinjauan fikih, dalam memandang masalah Al-Khulu terdapat hukum-
hukum taklifi sebagai berikut.
1) Mubah (Diperbolehkan).
Ketentuannya, sang wanita sudah benci tinggal bersama suaminya karena
kebencian dan takut tidak dapat menunaikan hak suaminya tersebut dan tidak dapat
menegakkan batasan-batasan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam ketaatan kepadanya,
dengan dasar firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
َ َ‫فَإ ه ْن هخ ْفت ُ ْم أ َ َل يُ هقي َما ُحد ُود‬
ْ َ‫ّللاه فَ ََل ُجنَا َح َعلَ ْي هه َما فهي َما ا ْفتَد‬
‫ت به هه‬
“Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami-isteri) tidak dapat menjalankan
hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang
diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya” [Al-Baqarah : 229]
Al-Hafizh Ibnu Hajar memberikan ketentuan dalam masalah Al-Khulu ini
dengan pernyataannya, bahwasanya Al-Khulu, ialah seorang suami menceraikan
isterinya dengan penyerahan pembayaran ganti kepada suami. Ini dilarang, kecuali
jika keduanya atau salah satunya merasa khawatir tidak dapat melaksanakan apa yang
diperintahkan Allah. Hal ini bisa muncul karena adanya ketidaksukaan dalam
pergaulan rumah tangga, bisa jadi karena jeleknya akhlak atau bentuk fisiknya.
Demikian juga larangan ini hilang, kecuali jika keduanya membutuhkan penceraian,
karena khawatir dosa yang menyebabkan timbulnya Al-Bainunah Al-Kubra
(Perceraian besar atau Talak Tiga) [10]
Syaikh Al-Bassam mengatakan, diperbolehkan Al-Khulu (gugat cerai) bagi
wanita, apabila sang isteri membenci akhlak suaminya atau khawatir berbuat dosa
karena tidak dapat menunaikan haknya. Apabila sang suami mencintainya, maka
disunnahkan bagi sang isteri untuk bersabar dan tidak memilih perceraian.
2) Diharamkan Khulu’, Hal Ini Karena Dua Keadaan.
a. Dari Sisi Suami.
Apabila suami menyusahkan isteri dan memutus hubungan komunikasi
dengannya, atau dengan sengaja tidak memberikan hak-haknya dan sejenisnya
agar sang isteri membayar tebusan kepadanya dengan jalan gugatan cerai, maka
Al-Khulu itu batil, dan tebusannya dikembalikan kepada wanita. Sedangkan status
wanita itu tetap seperti asalnya jika Al-Khulu tidak dilakukan dengan lafazh
thalak, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
‫ض َما آتَ ْيت ُ ُموه َُن إه َل أ َ ْن يَأْتهينَ بهفَ ه‬
‫احشَة ُم َب هينَة‬ ‫ضلُوه َُن هلتَذْ َهبُوا هببَ ْع ه‬
ُ ‫َو َل ت َ ْع‬
“Janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil
kembali sebagian kecil dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali
bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata” [An-Nisa : 19]
Apabila suami menceraikannya, maka ia tidak memiliki hak mengambil
tebusan tersebut. Namun, bila isteri berzina lalu suami membuatnya susah agar
isteri tersebut membayar terbusan dengan Al-Khulu, maka diperbolehkan
berdasarkan ayat di atas”
b. Dari Sisi Isteri
Apabila seorang isteri meminta cerai padahal hubungan rumah tangganya
baik dan tidak terjadi perselisihan maupun pertengkaran di antara pasangan suami
isteri tersebut. Serta tidak ada alasan syar’i yang membenarkan adanya Al-Khulu,
maka ini dilarang, berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
‫طَلَقًا فهي َغي هْر َما بَاْس فَ َح َرام َعلَ ْي َها َرائه َحةُ ْال َج َن هة‬ ْ َ‫سأَل‬
َ ‫ت زَ ْو َج َها‬ َ ‫أَيُّ َما ْام َرأَة‬
“Semua wanita yang minta cerai (gugat cerai) kepada suaminya tanpa
alasan, maka haram baginya aroma surga” [HR Abu Dawud, At-Tirmidzi, Ibnu
Majah dan Ahmad, dan dishahihkan Syaikh Al-Albani dalam kitab Irwa’ul Ghalil,
no. 2035]
3) Mustahabbah (Sunnah) Wanita Minta Cerai (Al-Khulu).
Apabila suami berlaku mufarrith (meremehkan) hak-hak Allah, maka sang
isteri disunnahkan Al-Khulu. Demikian menurut madzhab Ahmad bin Hanbal. [15]
4) Wajib
Terkadang Al-Khulu hukumnya menjadi wajib pada sebagiaan keadaan.
Misalnya terhadap orang yang tidak pernah melakukan shalat, padahal telah
diingatkan
Demikian juga seandainya sang suami memiliki keyakinan atau perbuatan
yang dapat menyebabkan keyakinan sang isteri keluar dari Islam dan menjadikannya
murtad. Sang wanita tidak mampu membuktikannya di hadapan hakim peradilan
untuk dihukumi berpisah atau mampu membuktikannya, namun hakim peradilan
tidak menghukuminya murtad dan tidak juga kewajiban bepisah, maka dalam
keadaan seperti itu, seorang wanita wajib untuk meminta dari suaminya tersebut Al-
Khulu walaupun harus menyerahkan harta. Karena seorang muslimah tidak patut
menjadi isteri seorang yang memiliki keyakinan dan perbuatan kufur. [16]

Anda mungkin juga menyukai