Anda di halaman 1dari 20

CASE REPORT SESSION (CRS)

RHINITIS ALERGI + POLIP NASAL KIRI

Disusun Oleh :
Gine Yunia Haefi 12100117002
Tri Kusyantini 12100117007
Bakti Gumelar 12100117113
Febi Ramdhani Rachman 12100117143

Preceptor :

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER


BAGIAN ILMU KESEHATAN THT-KL
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG
RSUD AL IHSAN BANDUNG
2018
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI..................................................................................................................2
BAB 1 STATUS PASIEN..............................................................................................3
1.1 IDENTITAS PASIEN....................................................................................................3
1.2 KELUHAN UTAMA.....................................................................................................3
1.3 ANAMNESIS.................................................................................................................3
1.4 STATUS GENERALIS.................................................................................................4
1.5 STATUS LOKALIS TELINGA...................................................................................4
1.6 STATUS LOKALIS HIDUNG.....................................................................................5
1.7 STATUS LOKALIS ORAL CAVITY..........................................................................6
1.8 PEMERIKSAAN SINUS PARANASAL.....................................................................6
1.9 RESUME.......................................................................................................................7
1.10 DIAGNOSIS BANDING............................................................................................7
1.11 DIAGNOSIS KERJA..................................................................................................8
1.12 USULAN PEMERIKSAAN.......................................................................................8
1.13 PENATALAKSANAAN..............................................................................................8
1.14 PROGNOSIS...............................................................................................................8
BAB II HIDUNG..........................................................................................................9
2.1 Anatomi Hidung............................................................................................................9
2.2 Fisiologi Hidung..........................................................................................................12
BAB III RHINITIS ALERGI.....................................................................................13
3.1 Definisi.........................................................................................................................13
3.2 Epidemiologi................................................................................................................13
3.3 Etiologi.........................................................................................................................14
3.4 Klasifikasi....................................................................................................................14
3.5 Diagnosis......................................................................................................................15
3.6 Patogenesis...................................................................................................................17
3.7 Tatalaksana..................................................................................................................19
3.8 Komplikasi....................................................................................................................20

2
BAB 1
STATUS PASIEN

1.1 IDENTITAS PASIEN


 Nama : Tn. R
 Jenis Kelamin : Laki-laki
 Umur : 78 tahun
 Alamat : Bale Endah
 Pekerjaan : Tidak bekerja
 Status Pernikahan : Menikah
 Tanggal Pemeriksaan : 10 September 2018

1.2 KELUHAN UTAMA


Keluar cairan dari hidung

1.3 ANAMNESIS
Pasien datang ke Poliklinik THT RSUD Al Ihsan dengan keluhan keluar cairan
dari hidung yang dirasakan sejak 13 tahun lalu. Keluhan dirasakan tiba-tiba, biasanya
muncul ketika pagi-pagi, dingin, dan hilang dengan sendirinya. Keluhan ini semakin
lama semakin terasa sering. Pasien sudah pernah mengobati keluhan ini sebelumnya
tetapi dirasakan belum membaik.
Keluhan diawali dengan adanya bersin, mampet pada kedua hidung, dan gatal
pada kedua bagian hidung. Keluhan biasa muncul pada saat pasien menghirup debu
dan suasana dingin. Keluhan dipengaruhi oleh waktu dan tempat, pasien lebih
merasakan saat malam hari maupun pagi hari. Pasien tidak merasa keluhan tersebut
mengganggu aktivitasnya.
Keluhan tidak disertai demam, penurunan penciuman, sakit tenggorokan, rasa
mengganjal pada tenggorokan, sakit pada bagian wajah ataupun kepala, dan tidak
adanya perubahan suara.
Pasien menyangkal memiliki alergi seperti makanan, bulu binatang, ataupun
obat. Pasien menyangkal terdapat riwayat alergi pada keluarganya dan menyangkal
adanya keluarga yang memiliki keluhan yang sama seperti pasien. Pasien belum
pernah melakukan tes alergi. Pasien menyangkal pernah menggunakan obat-obatan
inhalan pada hidung. Pasien juga menyangkal adanya riwayat trauma pada bagian
hidungnya.

3
1.4 STATUS GENERALIS
• Keadaan Umum : Tampak sakit ringan
• Kesadaran : Composmentis
• Tanda Vital : TD : 130/90 mmHg
N : 72 x/mnt
R : 18 x/mnt
S : afebris
• Kepala : dalam batas normal
• Leher : KGB tidak teraba
• Thoraks : dalam batas normal
• Abdomen : dalam batas normal
• Ekstremitas : dalam batas normal

1.5 STATUS LOKALIS TELINGA


Bagian Kelainan AD AS
Preaurikula Kongenital - -
Radang - -
Tumor - -
Trauma - -
Nyeri tekan - -
Aurikula Kongenital - -
Radang - -
Tumor - -
Trauma - -
Retroaurikula Edema - -
Hiperemis - -
Nyeri tekan - -
Radang - -
Tumor - -
Sikatriks - -

4
CAE Kongenital - -
Kulit Tenang Tenang
Sekret - -
Serumen - -
Edema - -
Jaringan granulasi - -
Massa - -
Cholesteatoma - -
Membrana Warna Putih Putih
Timpani Intak keabuan keabuan
Refleks cahaya Intak Intak
+ +

1.6 STATUS LOKALIS HIDUNG


Pemeriksaan Nasal Dekstra Nasal Sinistra

Keadaan luar Bentuk & ukuran Dalam batas normal Dalam batas normal

Rhinoskopi Mukosa livid livid


Anterior Sekret + +
Krusta - -
Concha inferior hipertrofi hipertrofi
Septum deviasi - -
Polip/tumor - +
Pasase udara + +
Rhinoskopi Mukosa Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Posterior Koana
Sekret
Polip

5
1.7 STATUS LOKALIS ORAL CAVITY
Bagian Kelainan Keterangan

Mulut Mukosa mulut Tenang


Lidah Bersih, basah, gerakan normal ke segala
Palatum molle arah
Gigi geligi Tenang, simetris
Uvula Caries (-)
Halitosis Simetris
(-)

Tonsil Mukosa Tenang


Besar T1– T1
Kripta -
Detritus -

Faring Mukosa Normal


Granula -
Post nasal drip -

1.8 PEMERIKSAAN SINUS PARANASAL


• Inspeksi:
▫ Pada inspeksi sinus frontalis tidak membengkak
▫ Sinus maksilaris tidak membengkak
• Palpasi:
▫ Tidak ada nyeri tekan pada sinus maksilaris dextra dan sinistra
Transiluminasi test: -
Maxillofacial : -
• Bentuk : simetris
• Parese nervus cranialis : (-)/(-)
• Nyeri tekan (-) pada sinus maksilaris dextra dan sinistra

6
Leher
• KGB : tidak teraba membesar, pembesaran thyroid (–)
• Massa : (-)

1.9 RESUME
Pasien datang ke Poliklinik THT RSUD Al Ihsan dengan keluhan keluar cairan
dari hidung yang dirasakan sejak 13 tahun lalu. Keluhan dirasakan tiba-tiba, biasanya
muncul ketika pagi-pagi, dingin, dan hilang dengan sendirinya. Keluhan ini semakin
lama semakin terasa sering. Pasien sudah pernah mengobati keluhan ini sebelumnya
tetapi dirasakan belum membaik. Keluhan diawali dengan adanya bersin, mampet
pada hidung, dan gatal pada kedua bagian hidung. Keluhan biasa muncul pada saat
pasien menghirup debu dan suasana dingin. Keluhan dipengaruhi oleh waktu dan
tempat, pasien lebih merasakan saat malam hari maupun pagi hari. Pasien tidak
merasa keluhan tersebut mengganggu aktivitasnya.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum tampak sakit ringan,
kesadaran komposmentis, tanda-tanda vital dalam batas normal. Status lokalis telinga
dan oral cavity dalam batas normal. Status lokalis hidung ditemukan mukosa livid
pada kedua hidung, terdapat sekret pada kedua hidung, hipertrofi chonca inferior
dikedua hidung, dan terdapat polip pada hidung bag. kiri.

1.10 DIAGNOSIS BANDING


• Rhinitis Alergi Persisten Ringan + Polip Nasal Kiri
• Rhinitis Vasomotor + Polip Nasal Kiri

1.11 DIAGNOSIS KERJA


• Rhinitis Alergi Persisten Ringan + Polip Nasal Kiri

1.12 USULAN PEMERIKSAAN


 Tes alergi (Skin Prick Test)
 Pemeriksaan Darah
Diff count (eosinofil)

7
IgE total

1.13 PENATALAKSANAAN
1) Umum:
 Menghindari kontak dengan alergen penyebabnya (rumah harus sering
dibersihkan, jangan memelihara binatang, sebaiknya tidak menggunakan
bantal atau kasur kapuk diganti dengan busa atau springbed dan sebaiknya
tidak menggunakan karpet)
 Istirahat cukup untuk menjaga daya tahan tubuh

2) Khusus:
 Kortikosteroid Inhalan:
Budesonide (200-800mcg/ hari, maks 800mcg)
2x1 / hari

1.14 PROGNOSIS
• Qua ad vitam : ad bonam
• Quo ad functionam : ad bonam
• Quo ad sanationam : ad bonam

BAB II
HIDUNG

2.1 Anatomi Hidung


Hidung terdiri dari bagian:

8
a. Tulang
Kedua os nasale, processus frontalis maxillae, pars nasalis ossis frontalis.
b. Tulang rawan
2 cartilagous nasi laterales, 2 cartilagines alares, 1 cartilagines septi nasi.

Pada permukaan inferior terdapat 2 lubang yaitu nares anterior yang terpisah satu dari

yang lain oleh septum nasi.


1. Septum nasi
 Sebagian berupa tulang dan sebagian lagi berupa tulang rawan.
 Membagi cavitas nasi menjadi 2 rongga kanan dan kiri.
 Terdiri dari:
a. Lamina perpendicularis ossis ethmoidalis  membentuk bagian atas septum

nasi.
b. Vomer  membentuk bagian posteroinferior septum nasi.
c. Cartilago septi nasi

Anatomi hidung

2. Cavitas nasi

9
 Dapat dimasuki lewat nares anterior berhubungan dengan nasofaring melalui

kedua choana.
 Dilapisi oleh membrane mukosa kecuali vestibulum nasi dilapisi oleh kulit.
- 2/3 inferior membrane mukosa  area respiratori
- 1/3 superior membrane mukosa  area olfactory.
 Batas-batas
- Atap  dibedakan 3 bagian frontonasal, ethmoidal, sphenoidal.
- Dasar  processus palatines maxillae dan lamina horizontal ossis palatine.
- Dinding medial  septum nasi.
- Dinding lateral  concha nasalis.
3. Concha nasalis
 Dibagi menjadi concha nasalis superior, media, dan inferior.
 Membagi cavitas nasi menjadi 3 lorong, yaitu:
a. Meatus nasalis superior
- Sebuah lorong sempit antara concha nasalis superior dan media.
- Tempat bermuaranya sinus ethmoidalis superior melalui 1 atau lebih

lubang.
b. Meatus nasalis media
- Bagian anterosuperior berhubungan dengan infundibulum (jalan

penghantar ke sinus frontalis) melalui duktus frontonasalis.


- Sinus maxillaries juga bermuara ke meatus ini.
c. Meatus nasalis inferior
- Sebuah lorong horizontal yang terletak inferolateral terhadap concha

nasalis inferior.
- Ductus nasolacrimalis bermuara di bagian anterior meatus ini.
4. Vaskularisasi dan Persarafan
a. Perdarahan dinding medial dan lateral cavitas nasi terjadi melalui:
- Cabang arteri sphenopalatina, arteri ethmoidalis anterior, arteri palatine

major, arteri labialis superior (area Kiesslbach), arteri ethmoidalis posterior,

rami lateralis arterial facialis.


- Plexus venosus menyalurkan darah kembali ke vena sphenopalatina, vena

facialis, vena ophthalmica.

10
Pembuluh darah hidung

b. Persarafan
- 2/3 inferior membrane mukosa  nerve nasopalatinus cabang maxillary.
- Bagian anterior  nerve ethmoidalis anterior cabang nerve nasociliaris yang

merupakan cabang ophthalmica.


- Dinding lateral cavitas nasi  melalui rami nasals nervi maxillary, nerve

palatines major, nerve ethmoidalis anterior.

Persarafan hidung

2.2 Fisiologi Hidung


1. Sebagai jalan nafas
2. Alat pengatur kondisi udara (air conditioning)
3. Penyaring udara

11
4. Indra penghidu
5. Resonansi suara
6. Membantu proses bicara
7. Refleks nasal

BAB III

RHINITIS ALERGI

3.1 Definisi
Rhinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi
pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama
serta dilepaskannya mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen
spesifik (Von Pirquet, 1986).
Menurut WHO ARIA, rhinitis alergi adalah kelainan pada hidung dengan
gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar
alergen yang diperantarai oleh IgE.

3.2 Epidemiologi
Prevalensi rhinitis alergi di berbagai negara berkisar antara 3-19%. Angka
kejadian rhinitis alergi di beberapa negara seperti Amerika Utara sebesar 10-20%, di
Eropa sekitar 10-15%, Thailand sekitar 20% dan di Jepang sekitar 10%. Di Indonesia
sebanyak 10-26% pengunjung poliklinik THT di beberapa rumah sakit besar 12llerg
dengan keluhan rhinitis alergi. Angka kejadian rhinitis alergi pada anak juga
meningkat. Penelitian menunjukkan bahwa kejadian rhinitis alergi pada anak
mencapai 42% pada anak usia 6 tahun.
Rhinitis alergi yang muncul pada usia di bawah 20 tahun ditemukan sebanyak
80% dari seluruh kasus. Gejala rhinitis alergi muncul 1 dari 5 anak pada usia 2 sampai
3 tahun dan sekitar 40% pada anak usia 6 tahun. Sebanyak 30% pasien akan
menderita rhinitis pada usia remaja. Walaupun semua kelompok usia dapat terkena
rhinitis alergi, tetapi rhinitis alergi biasanya lebih sering muncul pada usia anak-anak
awal setelah terpapar atau tersensitisasi 12llergen tertentu. Rhinitis alergi sering

12
terjadi pertama kali pada kelompok anak-anak antara usia 5-10 tahun dengan
puncaknya pada usia remaja antara 10 dan 20 tahun dan cenderung menurun sesuai
dengan pertambahan usia. Rhinitis alergi biasanya didapat pada penderita atopi.

3.3 Etiologi

Penyebab rhinitis alergi berbeda-beda bergantung pada apakah gejalanya


musiman, perenial, ataupun sporadik/episodik. Beberapa pasien sensitif pada alergen
multipel, dan mungkin mendapat rhinitis alergi perenial dengan eksaserbasi musiman.
Ketika alergi makanan dapat menyebabkan rhinitis, khususnya pada anak-anak, hal
tersebut ternyata jarang menyebabkan rhinitis alergi karena tidak adanya gejala kulit
dan gastrointestinal.

Rhinitis alergi musiman, pencetusnya biasanya serbuksari (pollen) dan spora


jamur. Sedangkan untuk rinitis alergi perenial pencetusnya bulu binatang, kecoa,
tikus, tungau, kasur kapuk, selimut, karpet, sofa, tumpukan baju dan buku-buku.

Alergen inhalan selalu menjadi penyebab utama. Serbuksari dari pohon dan
rumput, spora jamur, debu rumah, debris dari serangga atau tungau rumah adalah
penyebab yang sering. Alergi makanan jarang menjadi penyebab yang penting.
Predisposisi genetik memainkan bagian penting. Kemungkinan berkembangnya alergi
pada anak-anak adalah masing-masing 20% dan 47%, jika satu atau kedua orang tua
menderita alergi.

3.4 Klasifikasi
Berdasarkan sifat berlangsungnya, dibedakan menjadi :
1. Rhinitis alergi musiman (seasonal, hay fever, polinosis)
Rhinitis alergi musiman hanya ada di negara yang memiliki 4 musim.
Alergen penyebabnya spesifik, yaitu serbuk (pollen) dan spora jamur.

2. Rhinitis alergi sepanjang tahun (perrenial)


Gejala timbul intermittent dan terus menerus, tanpa variasi musim,
dapat ditemukan sepanjang tahun. Penyebab yang paling sering adalah alergi
inhalan, terutama pada orang dewasa dan alergen ingestan. Alergen inhalan
utama adalah alergen dalam rumah, contohnya tungau dan alergen diluar

13
rumah. Alergen ingestan merupakan penyebab utama tersering pada anak dan
biasanya disertai gejala lain, seperti urtikaria dan gangguan pencernaan. Lebih
sering menyebabkan komplikasi, namun gangguan fisiologisnya lebih ringan
dibandingkan dengan rhinitis alergi musiman.

Saat ini digunakan klasifikasi berdasarkan rekomendasi dari WHO Initiative


ARIA (Allergic Rhinitis and Its Impact on Asthma), yaitu:
1. Intermiten (kadang-kadang), bila gejala kurang dari 4 hari/minggu atau kurang
dari 4 minggu;
2. Persisten/menetap, bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan lebih dari 4
minggu.

Berdasarkan derajat berat ringannya penyakit, rhinitis alergi dibagi menjadi:


1. Ringan, bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktivitas harian,
bersantai, berolahraga, belajar, bekerja dan hal-hal lain yang mengganggu;
2. Sedang-berat, bila terdapat satu atau lebih dari gangguan di atas.

3.5 Diagnosis
Diagnosis rhinitis alergi ditegakkan berdasarkan anamnesis,pemeriksaan fisik
dan pemeriksaan penunjang.
1. Anamnesis

Gejala rhinitis alergi yang khas adalah terdapatnya serangan bersin


berulang terutama pada pagi hari atau bila terdapat kontak dengan sejumlah
besar debu. Gejala lain yang menyertai yaitu keluar ingus (rinore) yang encer
dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata gatal, kadang-kadang disertai
dengan banyak air mata yang keluar (lakrimasi).
2. Pemeriksaan Fisik

Pada rinoskopi anterior tampak mukosa edema, basah, berwarna pucat


atau livid disertai adanya sekret encer yang banyak. Jika gejala persisten,
mukosa inferior tampak hipertrofi.
Gejala spesifik lain pada anak ialah terdapatnya bayangan gelap di
daerah bawah mata (allegic shiner) yang terjadi karena stasis vena sekunder
akibat obstruksi hidung. Selain itu, tampak allergic salute sebagai akibat

14
sering menggosok-gosok hidung dengan punggung tangan karena gatal.
Keadaan menggosok hidung lama-kelamaan mengakibatkan timbulnya garis
melintang di dorsum nasi bagian sepertiga bawah, yang disebut allergic
crease. Mulut sering terbuka dengan lengkung langit-langit yang tinggi,
sehingga akan menyebabkan gangguan gigi geligi (facies adenoid). Dinding
posterior faring tampak granuler dan edema (cobblestone appearance), serta
dinding lateral faring menebal. Lidah tampak seperti gambaran pet
(geographic tongue).
3. Pemeriksaan Penunjang
 In Vitro

Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau meningkat.


IgE total (prist-paper radio immunosorbent test) seringkali menunjukkan
nilai normal, kecuali bila tanda alergi pada pasien lebih dari satu penyakit,
misalnya asma bronchiale dan urtikaria.
Pemeriksaan sitologi hidung dri sekret hidung atau kerokan
mukosa walaupun tidak dapat memastikan diagnosis, tetap berguna
sebagai pemeriksaan pelengkap. Ditemukannya eosinofil dalam jumlah
banyak menunjukkan kemungkinan alergi inhalan. Jika basofil ( >5
sel/lap) mungkin disebabkan alergi makanan, sedangkan jika ditemukan
sel PMN menunjukkan adanya infeksi bakteri.
 In Vivo
Alergen penyebab dapat dicari dengan cara pemeriksaan tes cukit
kulit, uji intrakutan atau intradernal yang tunggal atau berseri (Skin
End-point Titration/SET), SET dilakukan untuk alergen inhalan dengan
menyuntikkan alergen dalam berbagai konsentrasi yang bertingkat
kepekatannya. Keuntungan SET, selain alergen penyebab juga derajat
alergi serta dosis inisial untuk desensitisasi dapat diketahui.
Untuk alergi makanan, uji kulit yang akhir-akhir ini banyak
dilakukan adalah Intracutaneus Provocative Dilutional Food Test
(IPDFT), namun sebagai baku emas dapat dilakukan dengan diet
eliminasi dan provokasi (“Challenge Test”).
Alergen ingestan secara tuntas lenyap dari tubuh dalam waktu 2
minggu. Karena itu diberikan pada pasien setelah berpantang selama 5
hari, selanjutnya diamati reaksinya. Pada diet eliminasi, jenis makanan

15
setiap kali dihilangkan dari menu makanan sampai suatu ketika gejala
menghilang dengan meniadakaan suatu jenis makanan.

3.6 Patogenesis
Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap sensitisasi
dan diikuti dengan reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari 2 fase yaitu immediate phase allergic
reaction atau reaksi alergi fase cepat (RAFC) yang berlangsung sejak kontak dengan alergen
sampai 1 jam setelahnya dan late phase allergic reaction atau reaksi alergi fase lambat (RAFL)
yang berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam (fase hiperreaktivitas) setelah pemaparan dan
dapat berlangsung 24-48 jam

Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau monosit yang
berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting Cell/APC) akan menangkap alergen yang
menempel di permukaan mukosa hidung. Setelah diproses, antigen akan membentuk fragmen
pendek peptide dan bergabung dengan molekul HLA kelas II membentuk komplek peptide MHC
kelas II (Major Histocompatibility Complex) yang kemudian dipresentasikan pada sel T helper
(Th0). Kemudian sel penyaji akan melepas sitokin seperti interleukin 1 (IL-1) yang akan

16
mengaktifkan Th0 untuk berproliferasi menjadi Th1 dan Th2. Th2 akan menghasilkan berbagai
sitokin seperti IL-3, IL-4, IL-5, dan IL-13.
IL-4 dan IL-13 dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B, sehingga sel
limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi imunoglobulin E (IgE). IgE di sirkulasi darah
akan masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor IgE di permukaan sel mastosit atau basofil (sel
mediator) sehingga kedua sel ini menjadi aktif. Proses ini disebut sensitisasi yang menghasilkan
sel mediator yang tersensitisasi. Bila mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar alergen yang
sama, maka kedua rantai IgE akan mengikat alergen spesifik dan terjadi degranulasi (pecahnya
dinding sel) mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator kimia yang sudah terbentuk
(Performed Mediators) terutama histamin. Selain histamin juga dikeluarkan Newly Formed
Mediators antara lain prostaglandin D2 (PGD2), Leukotrien D4 (LT D4), Leukotrien C4 (LT C4),
bradikinin, Platelet Activating Factor (PAF), berbagai sitokin (IL-3, IL-4, IL-5, IL-6, GM-CSF
(Granulocyte Macrophage Colony Stimulating Factor) dan lain-lain. Inilah yang disebut sebagai
Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC). Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf
vidianus sehingga menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamin juga akan
menyebabkan kelenjar mukosa dan sel goblet mengalami hipersekresi dan permeabilitas kapiler
meningkat sehingga terjadi rinore. Gejala lain adalah hidung tersumbat akibat vasodilatasi
sinusoid. Selain histamin merangsang ujung saraf Vidianus, juga menyebabkan rangsangan pada
mukosa hidung sehingga terjadi pengeluaran Inter Cellular Adhesion Molecule 1 (ICAM1). Pada
RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan molekul kemotaktik yang menyebabkan akumulasi sel
eosinofil dan netrofil di jaringan target. Respons ini tidak berhenti sampai disini saja, tetapi gejala
akan berlanjut dan mencapai puncak 6-8 jam setelah pemaparan. Pada RAFL ini ditandai dengan
penambahan jenis dan jumlah sel inflamasi seperti eosinofil, limfosit, netrofil, basofil dan mastosit
di mukosa hidung serta peningkatan sitokin seperti IL-3, IL-4, IL-5 dan Granulocyte Macrophag
Colony Stimulating Factor (GM-CSF) dan ICAM1 pada sekret hidung. Timbulnya gejala
hiperaktif atau hiperresponsif hidung adalah akibat peranan eosinofil dengan mediator inflamasi
dari granulnya seperti Eosinophilic Cationic Protein (ECP), Eosiniphilic Derived Protein (EDP),
Major Basic Protein (MBP), dan Eosinophilic Peroxidase (EPO). Pada fase ini, selain faktor
spesifik (alergen), iritasi oleh faktor non spesifik dapat memperberat gejala seperti asap rokok, bau
yang merangsang, perubahan cuaca dan kelembaban udara yang tinggi .
Secara mikroskopik tampak adanya dilatasi pembuluh (vascular bad) dengan pembesaran
sel goblet dan sel pembentuk mukus. Terdapat juga pembesaran ruang interseluler dan penebalan
membran basal, serta ditemukan infiltrasi sel-sel eosinofil pada jaringan mukosa dan submukosa
hidung. Gambaran yang ditemukan terdapat pada saat serangan. Diluar keadaan serangan, mukosa
kembali normal. Akan tetapi serangan dapat terjadi terus-menerus (persisten) sepanjang tahun,
sehingga lama kelamaan terjadi perubahan yang ireversibel, yaitu terjadi proliferasi jaringan ikat
dan hiperplasia mukosa, sehingga tampak mukosa hidung menebal. Dengan masuknya antigen
asing ke dalam tubuh terjadi reaksi yang secara garis besar terdiri dari:

17
1. Respon primer Terjadi proses eliminasi dan fagositosis antigen (Ag). Reaksi ini bersifat
non spesifik dan dapat berakhir sampai disini. Bila Ag tidak berhasil seluruhnya
dihilangkan, reaksi berlanjut menjadi respon sekunder.
2. Respon sekunder Reaksi yang terjadi bersifat spesifik, yang mempunyai tiga
kemungkinan ialah sistem imunitas seluler atau humoral atau keduanya dibangkitkan.
Bila Ag berhasil dieliminasi pada tahap ini, reaksi selesai. Bila Ag masih ada, atau
memang sudah ada defek dari sistem imunologik, maka reaksi berlanjut menjadi respon
tersier.
3. Respon tersier Reaksi imunologik yang terjadi tidak menguntungkan tubuh. Reaksi ini
dapat bersifat sementara atau menetap, tergantung dari daya eliminasi Ag oleh tubuh

3.7 Tatalaksana
a. Penghindaran allergen
b. Pengobatan medikamentosa
Prinsip :
Mencegah atau menetralisasi kinerja molekul-molekul mediator yang dilepas
sel-sel inflamasi alegis dan atau mencegah pecahnya dinding sel dengan
harapan gejala dapat dihilangkan.
Obat yang digunakan adalah :
 Antihistamin : mengatasi gejala pada respons fase cepat.
Antihistamin: antagonis histamin H-1 [inhibitor kompetitif pada reseptor H-
1 target].
Golongan antihistamin:
o Generasi 1 [klasik]
Bersifat lipofilik  dapat menembus sawar darah otak & plasenta,
kolinergik
Termasuk Antihistamin generasi 1 adalah :
◦ Difenhidramin
◦ Klorfeniramin
◦ Prometasin
◦ Siproheptadin
◦ Azelastin [topikal]

o Generasi 2 [Non-Sedatif]

18
Bersifat lipofobik  sulit menembus sawar darah otak
Termasuk Antihistamin generasi2 berdasarkan keamanannya :
◦ Astemisol & Terfenadin [kardiotoksik]
◦ Loratadin, setirisin, fexofenadin, desloratadin, & levosetrisin.

 Kortikosteroid : mengatasi sumbatan hidung akibat respon fase lambat.


Dipakai bila gejala utama sumbatan hidung akibat respons fase lambat tidak
berhasil diatasi dengan obat lain.
Kortikosteroid topikal: beklometason, budesonid, flunisonid, fluktikason,
mometason furoat, dan triamsinolon.
 Antikolinergik : topikal bermanfaat untuk mengatasi rinore.
 Antikolinergik : ipatropium bromide  untuk mengatasi rinore.
 Baru: antileukotrien.
c. Imunoterapi
▫ Pengobatan imunoterapi dilakukan pada alergi inhalan dengan gejala yang
berat dan sudah berlangusng lama serta dengan pengobatan cara lain tidak
memberikan hasil yang memuaskan.
▫ Tujuan dari imunoterapi adalah pembentukan IgG blocking antibody dan
penurunan IgE.
▫ Metode imunoterapi yang umum dilakukan adalah intradermal dan sub –
lingual.

d. Edukasi
e. Operatif
▫ Konkotomi parsial (pemotongan sebagian konka inferior)
▫ Konkoplasty/multiple outfractured, inferior turbinoplasty

3.8 Komplikasi
▫ Polip hidung
▫ Otitits Media Efusi
▫ Sinusitis Paranasal

19
DAFTAR PUSTAKA

1. Soepardi.E.A, N.Iskandar, J.Bashiruddin, R.D.Restuti. Buku Ajar Ilmu


Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Vol VI(7). Jakarta :
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2012.
2. Hall john E. Guyton and Hall Textbook of Medical Physiology 13 edition.
13th ed. philadelphia: Elsevier Ltd; 2016.

3. Moore, Keith L. , Dalley AF. Moore Clinically Oriented Anatomy. 7th edition.
philadelphia; 2014.

4. Benjamini E., Coico R., Sunshine G., Immunology: A short course. 4 th edition
John Wiley & sons tersedia dari URL http:// www.wiley.com

20

Anda mungkin juga menyukai