PENDAHULUAN
TINJAUAN PUSTAKA
Kelebihan penelitian ini adalah dapat mengetahui kandungan limbah cair tempe dan
melakukan upaya pengolahannya dengan proses anaerobik. Tetapi limbah yang telah diolah
dengan proses anaerobik memiliki kandungan bahan organik yang masih diatas batas standar
baku mutu limbah cair dan belum meneliti mengenai persoalan ekonomi dari limbah cair
tersebut.
Dari hasil analisis Purnamasari (2001) diketahui bahwa perubahan jumlah limbah
dipengaruhi secara nyata dengan arah positif oleh produksi tekstil, penggunaan air untuk
produksi dan pemakaian bahan baku polyester. Penggunaan serat kapas mempengaruhi secara
negatif karena perusahaan semakin mengurangi pemakaian serat kapas, sedangkan perubahan
debit limbah nyata dipengaruhi secara positif oleh pemakaian air dan serat polyester serta secara
negatif oleh produksi tekstil dan pemakaian serat kapas. Pemakaian bahan kimia, baik untuk
persamaan jumlah maupun debit limbah tidak berpengaruh secara nyata. Biaya pengolahan
limbah terdiri dari biaya investasi dan operasional. Pendirian dan pengembangan IPAL dari
tahun 1994-1998 menghabiskan dana Rp 5.302,95 juta. Nilai manfaat bersih tambahan sejak
tahun pertama pendirian IPAL berturut-turut adalah Rp 2.086,53, Rp- 5.526,88, Rp- 12.946,06,
Rp- 3.754,10 dan Rp 15.386,28. Nilai proporsi biaya pengolahan limbah yang ditanggung
konsumen adalah 102,49 persen.
Penelitian ini memiliki kelebihan yaitu menganalisis manfaat dan biaya pengolahan
limbah dengan IPAL, proporsi biaya pengolahan limbah yang harus ditanggung konsumen dan
faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan perusahaan untuk melakukan pengolahan limbah.
Tetapi belum menghitung kelayakan usaha dari perusahaan setelah dilakukan pengolahan
limbah.
Menurut Gittinger (1986), ada beberapa indikator usaha yang mempengaruhi kelayakan
usaha. Indikator-indikator tersebut adalah :
METODE PENELITIAN
Data yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan sekunder. Data primer yang
dikumpulkan mencakup : (1) Karakteristik sosial ekonomi pengrajin tempe di Desa Citeureup
yang menjadi responden, (2) Persepsi pengrajin tempe mengenai dampak akibat limbah cair
industri tempe (3) Aspek-aspek finansial industri tempe dan (4) Persepsi responden tentang
kesediaan melakukan pengolahan limbah dengan IPAL. Data tersebut diperoleh melalui
kuisioner maupun wawancara langsung dengan responden. Data ini akan dimanfaatkan sebagai
pendukung dari penggunaan analisis deskriptif dan analisis perubahan kelayakan akibat
internalisasi biaya eksternal.
Data sekunder diperoleh melalui wawancara dengan Dinas Tata Ruang dan Lingkungan
Hidup Kabupaten Bogor, Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Bogor, Badan Pusat
Statistik Kabupaten Bogor dan Jakarta, Kementerian Lingkungan Hidup Jakarta, aparat
Kecamatan dan Desa Citeureup, LSI Institut Pertanian Bogor dan literatur-literatur yang
relevan. Data yang diperoleh berupa data mengenai cara dan pengelolaan limbah, jenis dan
jumlah limbah yang dihasilkan, tingkat pencemaran sungai, kerusakan lingkungan di lokasi
penelitian, biaya pengolahan limbah dengan menggunakan IPAL, dampak limbah cair tempe,
jumlah industri tempe di Kecamatan dan Desa Citeureup, perkembangan industri di Kabupaten
Bogor, statistik Indonesia tahun 2005, teori eksternalitas dan sebagainya
Analisis data dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif. Analisis kualitatif digunakan
untuk mengkaji karakteristik sosial ekonomi pengrajin tempe di Desa Citeureup dan
mengidentifikasi dampak limbah cair tempe. Analisis kualitatif dilakukan dengan
menggunakan analisis deskriptif untuk mengkaji karakteristik sosial ekonomi
pengusaha/pengrajin tempe di Desa Citeureup, mengidentifikasi dampak apa saja yang
ditimbulkan oleh limbah cair tempe dan mengukur tingkat kesediaan pengrajin melakukan
pengolahan limbah. Analisis kuantitatif dilakukan dengan menggunakan analisis biaya, analisis
kelayakan usaha, analisis manfaat dan biaya dan analisis regresi logit. Analisis tersebut
dilakukan untuk menghitung biaya eksternal, menganalisis kelayakan usaha dan perubahannya
setelah internalisasi biaya eksternal dan faktor-faktor yang mempengaruhi kesediaan pengrajin
tempe untuk melakukan pengolahan limbah.
BAB IV
PEMBAHASAN
Teknik pengolahan limbah dengan IPAL ada dua yaitu IPAL terpadu dan IPAL
teknik biogas. Teknik pengolahan limbah cair yang dapat bermanfaat bagi pengrajin tempe
adalah teknik biogas dengan biodigester karena (1) Biaya investasi untuk membangun
IPAL biogas lebih rendah dan (2) Gas methan yang dihasilkan dari pengolahan limbah
tersebut dapat digunakan sebagai sumber energi alternatif yang menghasilkan gas-bio. Gas-
bio tersebut dapat digunakan untuk produksi dan kebutuhan rumah tangga pengrajin tempe
seperti memasak, lampu dan sebagainya.IPAL dengan teknik biogas terdiri dari bak inlet,
biodigester, bak peluapan, Aerobic Baffled Reactor (ABR), Anaerobic Filter (AF), dan bak
outlet. Selain itu, keuntungan menggunakan IPAL teknik biogas adalah dapat menurunkan
kadar BOD dan COD hingga 90 persen (Kementerian Lingkungan Hidup, 2006).
4.2. Biaya Pengolahan Limbah Dengan IPAL Per Rumah Tangga Pengrajin Tempe
Biaya untuk membangun IPAL terdiri dari biaya pembelian dan pemasangan
biodigester, biaya pembelian dan pemasangan ABR (Anaerobic Baffled Reactor) dan
AF(Anaerobic Filter) dan biaya pembelian dan pemasangan pemipaan serta biaya supervisi
konstruksi dan garansi 1 tahun sebanyak 15 persen dari total biaya konstruksi. Berikut
rincian dari biaya pembangunan IPAL dengan teknik biogas. Umur ekonomis IPAL
diasumsikan selama 10 tahun.
C = A/B
𝑅𝑝165.350.000
C= 6
C = Rp 27.558.333
Dari hasil tersebut, didapatkan bahwa biaya pembangunan IPAL teknik biogas
adalah sebesar Rp 27.558.333 per rumah tangga pengrajin. Selain biaya pembangunan,
perlu juga dilakukan perhitungan untuk perawatan dan pemeliharaan IPAL. Sehingga perlu
dilakukan juga perhitungan biaya operasional per unit industri per tahun. Data mengenai
biaya operasional IPAL teknik diperoleh dari penelitian Hudayanti (2007). Berikut data
mengenai biaya-biaya operasional pengolahan limbah dengan IPAL teknik biogas.
Tabel 2. Biaya Operasional IPAL Per Rumah Tangga Pengrajin Per Tahun
Biaya operasional terdiri dari upah tenaga kerja, biaya overhead, biaya perawatan
dan biaya angkutan. Upah tenaga kerja diestimasikan Rp 750.000 per bulan menjadi Rp
9.000.000 per tahun. Biaya overhead sebesar Rp 4.200.000 per tahun atau Rp 350.000 per
bulan. Biaya perawatan sebesar Rp 4.200.000 per tahun atau sebesar Rp 350.000 per bulan.
Biaya angkutan sebesar Rp 500.000 per bulan atau Rp 6.000.000 per tahun. Sehingga total
keseluruhan biaya operasional IPAL teknik biogas adalah Rp 23.400.000 per tahun.
IPAL tersebut digunakan untuk enam rumah tangga pengrajin tempe. Untuk itu
diperlukan perhitungan mengenai biaya operasional IPAL per rumah tangga pengrajin per
tahun. Berikut ini perhitungan biaya operasional per rumah tangga pengrajin tempe per
tahun.
C = A/B
𝑅𝑝23.400.00
C= 6
C = Rp 3.900.000
Analisis manfaat dan biaya untuk industri tempe dilakukan dengan menggunakan
analisis kelayakan finansial selama 10 tahun sebelum dan sesudah ada IPAL. Kriteria yang
digunakan dalam perhitungan meliputi Net Present Value, Internal Rate of Return, Net
Benefit Cost Ratio dan Payback Period. Perhitungan diasumsikan 1 pengrajin yang
memproduksi rata-rata 109 kilogram kedelai per hari. Pendapatan, harga, jumlah input,
upah tenaga kerja, biaya yang digunakan dalam analisis ini merupakan nilai rata-rata dari
total responden sebanyak 31 orang.
Analisis kelayakan usaha ini menggunakan tiga skenario yang dapat dijalankan yaitu:
(1) Tanpa IPAL, (2) Dengan IPAL melalui pembiayaan investasi dan operasional
ditanggung oleh pengrajin tempe (swadaya) dan (3) Dengan IPAL melalui pembiayaan
investasi ditanggung oleh pemerintah dan pembiayaan operasional oleh pengrajin tempe
(swadaya). Umur proyek yang dijalankan yaitu selama 10 tahun dengan tingkat suku bunga
yang digunakan adalah 13 persen.
Dari hasil analisis kelayakan usaha pembuatan tempe tanpa IPAL diperoleh
bahwa Net Present Value sebesar Rp Rp 141.464.542 yang bernilai lebih dari nol.
Artinya manfaat bersih yang diterima dari usaha pembuatan tempe di Desa Citeureup
selama 10 tahun dan tingkat suku bunga 13 persen sebesar Rp 141.464.542. IRR yang
diperoleh dari hasil analisis adalah 84 persen yang berarti tingkat pengembalian internal
usaha pembuatan tempe tersebut adalah sebesar 84 persen dan berada diatas tingkat suku
bunga 13 persen.
Kriteria kelayakan yang lain adalah Net Benefit-Cost Ratio yang bernilai 4,57
lebih besar daripada 1 yang berarti setiap Rp 1.000.000 yang dikeluarkan untuk usaha
tersebut mampu menghasilkan manfaat bersih sebesar Rp 4.570.000. Selain itu jangka
waktu pengembalian seluruh biaya-biaya yang telah dikeluarkan dalam investasi suatu
proyek adalah satu tahun empat bulan. Berdasarkan hasil tersebut, maka usaha
pembuatan tempe di Desa Citeureup sebelum ada IPAL layak untuk dilaksanakan.
Tabel 3. Kriteria Kelayakan Investasi Usaha Pembuatan Tempe Tanpa IPAL
4.3.2. Analisis Kelayakan Usaha Dengan IPAL Melalui Pembiayaan Investasi Dan
Operasional Ditanggung Oleh Pengrajin Tempe (Skenario 2)
Arus tunai usaha pembuatan tempe dengan IPAL yang ditanggung oleh
pengrajin tempe sama seperti usaha pembuatan tempe sebelum ada IPAL jika dilihat
dari sisi arus penerimaan. Perubahan terjadi pada biaya investasi dan biaya
operasional dimana biaya pembangunan IPAL dimasukkan ke dalam biaya investasi
dan biaya overhead, biaya perawatan, biaya angkutan dan upah tenaga kerja IPAL
dimasukkan ke dalam struktur biaya operasional.
Dari hasil analisis diperoleh bahwa Net Present Value sebesar Rp 100.221.668
yang bernilai lebih dari nol. Artinya manfaat bersih yang diterima dari usaha
pembuatan tempe di Desa Citeureup selama 10 tahun dan tingkat suku bunga 13
persen sebesar Rp 100.221.668. IRR yang diperoleh dari hasil analisis adalah 46
persen yang berarti tingkat pengembalian internal usaha pembuatan tempe tersebut
adalah sebesar 46 persen dan berada diatas tingkat suku bunga 13 persen.
Kriteria kelayakan yang lain adalah Net Benefit-Cost Ratio yang bernilai 2,57
lebih besar daripada 1 yang berarti setiap Rp 1.000.000 yang dikeluarkan untuk usaha
tersebut mampu menghasilkan manfaat bersih sebesar Rp 2.570.000. Selain itu
jangka waktu pengembalian seluruh biaya-biaya yang telah dikeluarkan dalam
investasi suatu proyek adalah dua tahun dua bulan. Berdasarkan hasil tersebut, maka
usaha pembuatan tempe di Desa Citeureup dengan Biaya IPAL yang ditanggung oleh
pengrajin tempe layak untuk dilaksanakan.
Tabel 6. Kriteria Kelayakan Investasi Usaha Pembuatan Tempe Dengan Biaya IPAL
Ditanggung Oleh Pengrajin Tempe (Skenario 2)
Arus tunai usaha pembuatan tempe dengan biaya IPAL yang ditanggung oleh
pemerintah sama dengan arus tunai usaha pembuatan tempe sebelum ada IPAL
dalam hal arus penerimaan dan biaya investasi. Perbedaannya terletak pada biaya
operasional karena pada biaya operasional ditambahkan biaya-biaya pemeliharaan.
Hal ini disebabkan karena biaya pembangunan IPAL menjadi tanggung jawab
pemerintah. Sehingga pengrajin tempe hanya mengeluarkan biaya untuk
pemeliharaan IPAL saja.
Kriteria kelayakan yang lain adalah Net Benefit-Cost Ratio yang bernilai 4,15
lebih besar daripada 1 yang berarti setiap Rp 1.000.000 yang dikeluarkan untuk usaha
tersebut mampu menghasilkan manfaat bersih sebesar Rp 4.150.000. Selain itu
jangka waktu pengembalian seluruh biaya-biaya yang telah dikeluarkan dalam
investasi suatu proyek adalah satu tahun enam bulan. Berdasarkan hasil tersebut,
maka usaha pembuatan tempe di Desa Citeureup dengan biaya IPAL yang
ditanggung oleh pemerintah layak untuk dilaksanakan.
Tabel 6. Kriteria Kelayakan Investasi Usaha Pembuatan Tempe Dengan Biaya IPAL
Ditanggung Oleh Pemerintah (Skenario 3)
Terdapat perbedaan yang cukup jauh dari hasil kelayakan usaha tanpa IPAL
dibandingkan dengan IPAL skenario 2. Dampak pembangunan IPAL yang ditanggung oleh
pengrajin atau secara swadaya sangat mempengaruhi keuntungan yang diperoleh pengrajin
tempe. Hal ini terlihat pada Tabel 29 bahwa Net Present Value berkurang menjadi Rp
100.221.668 dari nilai sebelumnya sebesar Rp 141.464.542. Penurunan nilai Net Present Value
sebesar Rp 41.242.874 atau sebesar 29,15 persen dari total Net Present Value mengindikasikan
penurunan keuntungan atau manfaat bersih yang diterima dari usaha pembuatan tempe yang
dijalankan akibat pembangunan IPAL secara swadaya. Perubahan juga terjadi dalam kriteria
kelayakan yang lain seperti Internal Rate of Return (IRR), Net Benefit-Cost Ratio (Net B/C)
dan Payback Period (PP). Perbedaan IRR antara usaha pembuatan tempe tanpa IPAL dengan
usaha pembuatan tempe dengan IPAL skenario 2 adalah 38 persen yang artinya tingkat
pengembalian internal usaha pembuatan tempe berkurang sebesar 38 persen.
Kriteria lain yang mengalami perubahan adalah Net B/C Ratio. Net B/C Ratio berkurang
sebesar 2,00 yang berarti setiap Rp 1.000.000 yang dikeluarkan untuk usaha tersebut mampu
menghasilkan manfaat bersih sebesar Rp 2.570.000 dan usaha tersebut akan mengalami
pengurangan manfaat bersih Rp 2.000.000 dari manfaat bersih yang diperoleh sebelumnya.
Selain itu jangka waktu pengembalian seluruh biaya-biaya yang telah dikeluarkan dalam
investasi suatu proyek berubah menjadi dua tahun dua bulan. Walaupun hasil kelayakan usaha
pembuatan tempe dengan IPAL skenario 2 masih layak untuk diusahakan tetapi pembangunan
IPAL tersebut telah mengubah tingkat keuntungan menjadi semakin kecil dari sebelumnya. Hal
ini disebabkan biaya pembangunan IPAL yang besar sehingga menyebabkan biaya investasi
semakin besar.
Tabel 7. Perbandingan Hasil Kelayakan Ketiga Skenario yang Dapat Dijalankan
Usaha Pembuatan Tempe Desa Citeurep
PENUTUP
5.1. Kesimpulan
5.1.1. Biaya investasi pembangunan IPAL per rumah tangga pengrajin adalah Rp
27.558.333 dan biaya operasional IPAL per rumah tangga pengrajin per tahun
adalah Rp 3.900.000.
5.1.2. Setelah dilakukan internalisasi biaya pengolahan limbah dengan IPAL, skenario
yang paling baik untuk dijalankan adalah usaha pembuatan tempe dengan IPAL
skenario 3 dengan biaya IPAL ditanggung oleh pemerintah. Hal ini karena surplus
produsen tidak berkurang terlalu besar jika dilihat dari kriteria kelayakan usahanya
yang tidak jauh berbeda dengan usaha pembuatan tempe tanpa IPAL. Skenario
tersebut dapat dijalankan jika pemerintah membangun IPAL dengan teknik biogas
di Citeureup dan pengrajin memberikan dana untuk kegiatan operasional IPAL
setiap tahun.
5.2. Saran
5.2.1. Pengrajin dapat melakukan pengolahan limbah dengan IPAL biogas karena selain
masih menguntungkan, pengrajin tidak perlu membayar biaya kerusakan
lingkungan yang terjadi akibat limbah tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Natalia. 2008. Analisis Internalisasi Biaya Pengolahan Limbah (Studi Kasus Sentra Industri
Tempe di Desa Citeureup, Kecamatan Ciuteurep, Kabupaten Bogor. Skripsi.
Program Studi Ekonomi Pertanian dan Sumberdaya, Fakultas Pertanian Institut
Pertanian Bogor.Bogor.