Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah


Industri tempe menghasilkan produk utama, produk sampingan dan limbah.
Limbah yang dihasilkan cukup banyak. Besarnya volume limbah yang dihasilkan
berpotensi menimbulkandampak terhadap lingkungan yaitu pencemaran sungai karena
letak industri tempe ini yang berada di pinggir sungai dan sebagian besar pengusaha tempe
membuang limbah tempe langsung ke sungai.
Dampak begatif yang dihasilkan oleh industri tempe berasal dari limbah cair tempe.
Limbah cair tempe mengandung sejumlahbesar kabohidrat, protein, lemak, garam-garam,
mineral dan sisa-sisa bahan kimia yang digunakan dalam pengolahan dam pembersihan.
Limbah cair ini mengandung padatan tersuspensi maupun terlarut, dan akan mengalami
perubahan fisika, kimia, dan hayati yang akan menghasilkan zat beracun atau menciptakan
media untuk tumbuhnya kuman penyakit. Bila dibiarkan dalam air limbah akan berubah
warnanya menjadi coklat kehitaman dan berbau busuk. Air limbah yang dibuang ke sungai
akan menyebabkan penurunan kualitas lingkungan di sekitar sungai. Limbah cair industri
tempe yang langsung dibuang tanpa mengalami proses pengolahan limbah akan mencemari
lingkungan di sekitar sungai, yang akan berdampak negatif terhadap kesehatan masyarakat
di sekitar sungai. Agar limbah yang dibuang tidak membahayakan masyarakat, seharusnya
industri melakukan pengolahan limbah sebelum dibuang ke sungai.
Dalam KepMen No.3 Tahun 1998 diputuskan industri harus menggunakan
teknologi pengolahan limbah yang best practicable agar memenuhi standar konsentrasi dan
kandungan polutan (BOD, COD, polutan logam berat dan sebagainya). Industri tempe
merupakan salah satu industri yang dijadikan prioritas pengawasan sesuai KepMen No.3
Tahun 1998. Hal ini karena industri tempe rupakan salah satu industri yang produk
industrinya berbasis kedelai dan belum mperhatikan standar buangan limbah sesuai dengan
standar lingkungan yang diterapkan. Pembangunan IPAL memerlukan biaya-biaya seperti
biaya investasi dan biaya operasional. Biaya investasi berupa biaya pembangunan IPAL
sedangkan biaya operasional terdiri dari upah tenaga kerja, biaya overhead, biaya
perawatan dan biaya angkutan. Oleh karena itu dibutuhkan analisis mengenai biaya
pembuatan dan pemeliharaan instalasi pengolahan air limbah.
1.2. Rumusan Masalah
1.2.1. Berapa biaya yang dikeluarkan oleh industri tempe di Citeurep untuk melakukan
pengolahan limbah dengan menggunakan instalasi pengolahan air limbah?
1.2.2. Berapa biaya yang dikeluakan oleh industri tempe di Citeurep untuk melakukan
operasi dan pemeliharaan dengan menggunakan instalasi pengolahan air limbah?
1.2.3. Bagaimana analisis kelayakan industri tempe di Citeurep jika menggunakan
instalasi pengolahan air limbah?
1.3. Tujuan
1.3.1. Menghitung besarnya biaya yang dikeluarkan oleh industri tempe di Citeurep untuk
melakukan pengolahan limbah dengan menggunakan instalasi pengolahan air
limbah
1.3.2. Menghitung besarnya biaya yang dikeluakan oleh industri tempe di Citeurep untuk
melakukan operasi dan pemeliharaan dengan menggunakan instalasi pengolahan air
limbah
1.3.3. Menganalisis kelayakan industri tempe di Citeurep jika menggunakan instalasi
pengolahan air limbah
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Limbah Cair Tempe

Penelitian Wiryani (1991) menyatakan bahwa kandungan limbah cair tempe


mempunyai kadar bahan organik yang tinggi dan tidak memenuhi syarat Baku Mutu Air
Limbah. Kandungan limbah cair yang dihasilkan pada proses perendaman kedelai lebih
berpotensi besar dalam mencemari lingkungan perairan daripada limbah cair yang dihasilkan
pada proses perebusan kedelai. Kualitas air sumur yang digunakan dalam proses pengolahan
kedelai menjadi tempe, untuk beberapa parameter kualitas air sumur yang diukur masih
memenuhi persyaratan sebagai air baku untuk diolah sebagai air minum dan keperluan rumah
tangga. Proses anaerobik untuk mengolah limbah cair ini, setelah dua puluh hari mampu
menurunkan kadar TSS, TDS, BOD dan COD. Hasil akhir yang diperoleh masih melampaui
batas persyaratan dalam Baku Mutu Air Limbah.

Kelebihan penelitian ini adalah dapat mengetahui kandungan limbah cair tempe dan
melakukan upaya pengolahannya dengan proses anaerobik. Tetapi limbah yang telah diolah
dengan proses anaerobik memiliki kandungan bahan organik yang masih diatas batas standar
baku mutu limbah cair dan belum meneliti mengenai persoalan ekonomi dari limbah cair
tersebut.

2.2. Pengolahan Limbah Cair

Dari hasil analisis Purnamasari (2001) diketahui bahwa perubahan jumlah limbah
dipengaruhi secara nyata dengan arah positif oleh produksi tekstil, penggunaan air untuk
produksi dan pemakaian bahan baku polyester. Penggunaan serat kapas mempengaruhi secara
negatif karena perusahaan semakin mengurangi pemakaian serat kapas, sedangkan perubahan
debit limbah nyata dipengaruhi secara positif oleh pemakaian air dan serat polyester serta secara
negatif oleh produksi tekstil dan pemakaian serat kapas. Pemakaian bahan kimia, baik untuk
persamaan jumlah maupun debit limbah tidak berpengaruh secara nyata. Biaya pengolahan
limbah terdiri dari biaya investasi dan operasional. Pendirian dan pengembangan IPAL dari
tahun 1994-1998 menghabiskan dana Rp 5.302,95 juta. Nilai manfaat bersih tambahan sejak
tahun pertama pendirian IPAL berturut-turut adalah Rp 2.086,53, Rp- 5.526,88, Rp- 12.946,06,
Rp- 3.754,10 dan Rp 15.386,28. Nilai proporsi biaya pengolahan limbah yang ditanggung
konsumen adalah 102,49 persen.
Penelitian ini memiliki kelebihan yaitu menganalisis manfaat dan biaya pengolahan
limbah dengan IPAL, proporsi biaya pengolahan limbah yang harus ditanggung konsumen dan
faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan perusahaan untuk melakukan pengolahan limbah.
Tetapi belum menghitung kelayakan usaha dari perusahaan setelah dilakukan pengolahan
limbah.

2.3. Studi Kelayakan Usaha

Menurut Gittinger (1986), ada beberapa indikator usaha yang mempengaruhi kelayakan
usaha. Indikator-indikator tersebut adalah :

a. Manfaat sekarang neto (Net Present Value)


Manfaat sekarang neto dapat diartikan sebagai nilai sekarang dari arus pendapatan
yang ditimbulkan oleh penanaman investasi. Manfaat sekarang neto dihitung
dengan mencari selisih antara nilai sekarang dari arus manfaat dikurangi dengan
nilai sekarang dari arus biaya.
b. Perbandingan manfaat dan biaya (Benefit-Cost Ratio/B/C Ratio) Perbandingan
manfaat dan biaya diperoleh bila nilai sekarang arus manfaat dibagi dengan nilai
sekarang arus biaya. B/C ratio merupakan ukuran berdiskonto yang pertama dikenal.
c. Tingkat pengembalian internal (Internal Rate of Return)
IRR adalah tingkat bunga maksimum yang dapat dibayar oleh proyek untuk
sumberdaya yang digunakan karena proyek membutuhkan dana lagi untuk biaya-
biaya operasional dan investasi dan proyek baru sampai pada tingkat pulang modal.
Hal tersebut merupakan “tingkat pengembalian atas kapital yang belum selesai tiap
periode sementara kapital tersebut masih diinvestasikan pada proyek”.
d. Payback Period (PP)
Payback period adalah jangka waktu/periode yang diperlukan untuk membayar
kembali (mengembalikan) semua biaya-biaya yang telah dikeluarkan dalam
investasi suatu proyek. Payback period merupakan perbandingan antara biaya
investasi yang diperlukan dengan benefit bersih yang dapat diperoleh pada setiap
tahun.
BAB III

METODE PENELITIAN

4.1. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Desa Citeureup, Kecamatan Citeureup, Kabupaten


Bogor. Pemilihan lokasi tersebut dilakukan secara sengaja (purposive) karena Desa
Citeureup merupakan salah satu sentra industri tempe di Kabupaten Bogor dan letak
industri tempe yang berada di sekitar sungai. Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret
sampai Mei 2008.

4.2. Jenis dan Sumber Data

Data yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan sekunder. Data primer yang
dikumpulkan mencakup : (1) Karakteristik sosial ekonomi pengrajin tempe di Desa Citeureup
yang menjadi responden, (2) Persepsi pengrajin tempe mengenai dampak akibat limbah cair
industri tempe (3) Aspek-aspek finansial industri tempe dan (4) Persepsi responden tentang
kesediaan melakukan pengolahan limbah dengan IPAL. Data tersebut diperoleh melalui
kuisioner maupun wawancara langsung dengan responden. Data ini akan dimanfaatkan sebagai
pendukung dari penggunaan analisis deskriptif dan analisis perubahan kelayakan akibat
internalisasi biaya eksternal.

Data sekunder diperoleh melalui wawancara dengan Dinas Tata Ruang dan Lingkungan
Hidup Kabupaten Bogor, Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Bogor, Badan Pusat
Statistik Kabupaten Bogor dan Jakarta, Kementerian Lingkungan Hidup Jakarta, aparat
Kecamatan dan Desa Citeureup, LSI Institut Pertanian Bogor dan literatur-literatur yang
relevan. Data yang diperoleh berupa data mengenai cara dan pengelolaan limbah, jenis dan
jumlah limbah yang dihasilkan, tingkat pencemaran sungai, kerusakan lingkungan di lokasi
penelitian, biaya pengolahan limbah dengan menggunakan IPAL, dampak limbah cair tempe,
jumlah industri tempe di Kecamatan dan Desa Citeureup, perkembangan industri di Kabupaten
Bogor, statistik Indonesia tahun 2005, teori eksternalitas dan sebagainya

4.3. Metode Analisis Data

Analisis data dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif. Analisis kualitatif digunakan
untuk mengkaji karakteristik sosial ekonomi pengrajin tempe di Desa Citeureup dan
mengidentifikasi dampak limbah cair tempe. Analisis kualitatif dilakukan dengan
menggunakan analisis deskriptif untuk mengkaji karakteristik sosial ekonomi
pengusaha/pengrajin tempe di Desa Citeureup, mengidentifikasi dampak apa saja yang
ditimbulkan oleh limbah cair tempe dan mengukur tingkat kesediaan pengrajin melakukan
pengolahan limbah. Analisis kuantitatif dilakukan dengan menggunakan analisis biaya, analisis
kelayakan usaha, analisis manfaat dan biaya dan analisis regresi logit. Analisis tersebut
dilakukan untuk menghitung biaya eksternal, menganalisis kelayakan usaha dan perubahannya
setelah internalisasi biaya eksternal dan faktor-faktor yang mempengaruhi kesediaan pengrajin
tempe untuk melakukan pengolahan limbah.
BAB IV

PEMBAHASAN

4.1. Mekanisme Sistem Pengolahan Cair dengan IPAL

Teknik pengolahan limbah dengan IPAL ada dua yaitu IPAL terpadu dan IPAL
teknik biogas. Teknik pengolahan limbah cair yang dapat bermanfaat bagi pengrajin tempe
adalah teknik biogas dengan biodigester karena (1) Biaya investasi untuk membangun
IPAL biogas lebih rendah dan (2) Gas methan yang dihasilkan dari pengolahan limbah
tersebut dapat digunakan sebagai sumber energi alternatif yang menghasilkan gas-bio. Gas-
bio tersebut dapat digunakan untuk produksi dan kebutuhan rumah tangga pengrajin tempe
seperti memasak, lampu dan sebagainya.IPAL dengan teknik biogas terdiri dari bak inlet,
biodigester, bak peluapan, Aerobic Baffled Reactor (ABR), Anaerobic Filter (AF), dan bak
outlet. Selain itu, keuntungan menggunakan IPAL teknik biogas adalah dapat menurunkan
kadar BOD dan COD hingga 90 persen (Kementerian Lingkungan Hidup, 2006).

Limbah cair dimasukkan/disalurkan ke dalam bak in-let yang berfungsi untuk


menampung air limbah sebelum diolah. Setelah air limbah masuk ke dalam inlet, air
tersebut dialirkan ke dalam digester. Didalam digester, air limbah diolah dan menghasilkan
gas methan (gas bio) yang dapat digunakan sebagai sumber energi alternatif bagi pengrajin.
Setelah diolah dengan biodigester, air limbah yang telah diolah dimasukkan ke dalam
Anaerobic Baffled Reactor (ABR) dan Anaerobic Filter (AF), untuk diendapkan dan
difiltrasi agar kadar BOD dan COD turun hingga 90 persen. Fungsi ABR (reaktor lumpur
aktif) adalah untuk menghilangkan bahan organik dalam air limbah, sedangkan AF
berfungsi untuk menyaring air limbah agar kandungan bahan pencemar berkurang. Air
limbah yang sudah diolah langsung dialirkan menuju bak outlet yang berfungsi untuk
menampung air limbah yang telah diolah sebelum dibuang ke sungai. Setelah ditampung
dalam bak outlet, air limbah yang telah diolah dapat dibuang ke sungai.

4.2. Biaya Pengolahan Limbah Dengan IPAL Per Rumah Tangga Pengrajin Tempe

Biaya untuk membangun IPAL terdiri dari biaya pembelian dan pemasangan
biodigester, biaya pembelian dan pemasangan ABR (Anaerobic Baffled Reactor) dan
AF(Anaerobic Filter) dan biaya pembelian dan pemasangan pemipaan serta biaya supervisi
konstruksi dan garansi 1 tahun sebanyak 15 persen dari total biaya konstruksi. Berikut
rincian dari biaya pembangunan IPAL dengan teknik biogas. Umur ekonomis IPAL
diasumsikan selama 10 tahun.

Tabel 1. Rincian Biaya Pembangunan IPAL Teknik Biogas

No. Jenis Pekerjaan Biaya


1. Pembelian dan pemasangan biodigester Rp 60.460.706,06
2. Pembelian dan pemasangan ABR dan AF Rp 51.990.251.93
3. Pembelian dan pemasangan Pemipaan Rp 31.328.958,93
Jumlah Biaya Konstruksi Rp 143.779.917,92
Supervisi konstruksi dan garansi 1 tahun (15%) Rp 21.566.987,57
Total Rp 165.346.904,49
Dibulatkan Rp 165.350.000

Biaya pembangunan IPAL untuk kapasitas 11 m3 per hari adalah Rp165.350.000.


Kapasitas yang dapat ditampung oleh IPAL teknik biogas tersebut adalah 11 m3 per hari
sedangkan rata-rata satu orang pengrajin mengeluarkan limbah sekitar 1,90 m3 per hari.
Sehingga IPAL tersebut dapat digunakan oleh sekitar 6 orang pengrajin. Maka diasumsikan
IPAL tersebut dapat digunakan untuk enam orang pengrajin. Sehingga biaya pembangunan
untuk satu rumah tangga pengrajin adalah sebagai berikut :

C = A/B

𝑅𝑝165.350.000
C= 6

C = Rp 27.558.333

Dari hasil tersebut, didapatkan bahwa biaya pembangunan IPAL teknik biogas
adalah sebesar Rp 27.558.333 per rumah tangga pengrajin. Selain biaya pembangunan,
perlu juga dilakukan perhitungan untuk perawatan dan pemeliharaan IPAL. Sehingga perlu
dilakukan juga perhitungan biaya operasional per unit industri per tahun. Data mengenai
biaya operasional IPAL teknik diperoleh dari penelitian Hudayanti (2007). Berikut data
mengenai biaya-biaya operasional pengolahan limbah dengan IPAL teknik biogas.

Tabel 2. Biaya Operasional IPAL Per Rumah Tangga Pengrajin Per Tahun

No. Jenis Biaya Jumlah (Rupiah/tahun)


1. Upah Tenaga Kerja IPAL Rp 750.000 per bln Rp 9.000.000
2. Biaya Overhead Rp 4.200.000
3. Biaya Perawatan Rp 4.200.000
4. Biaya Angkutan Rp 6.000.000
Total Biaya Operasional Rp 23.400.000

Biaya operasional terdiri dari upah tenaga kerja, biaya overhead, biaya perawatan
dan biaya angkutan. Upah tenaga kerja diestimasikan Rp 750.000 per bulan menjadi Rp
9.000.000 per tahun. Biaya overhead sebesar Rp 4.200.000 per tahun atau Rp 350.000 per
bulan. Biaya perawatan sebesar Rp 4.200.000 per tahun atau sebesar Rp 350.000 per bulan.
Biaya angkutan sebesar Rp 500.000 per bulan atau Rp 6.000.000 per tahun. Sehingga total
keseluruhan biaya operasional IPAL teknik biogas adalah Rp 23.400.000 per tahun.

IPAL tersebut digunakan untuk enam rumah tangga pengrajin tempe. Untuk itu
diperlukan perhitungan mengenai biaya operasional IPAL per rumah tangga pengrajin per
tahun. Berikut ini perhitungan biaya operasional per rumah tangga pengrajin tempe per
tahun.

C = A/B

𝑅𝑝23.400.00
C= 6

C = Rp 3.900.000

Sehingga diperoleh bahwa keseluruhan biaya operasional per rumah tangga


pengrajin per tahun adalah sebesar Rp 3.900.000. Biaya operasional per unit industri terdiri
dari upah tenaga kerja, biaya overhead, biaya perawatan dan biaya angkutan. Upah tenaga
kerja diestimasikan Rp 1.500.000 per tahun. Biaya overhead sebesar Rp 700.000 per tahun
dan biaya perawatan sebesar Rp 700.000 per tahun. Biaya angkutan sebesar Rp 1.000.000
per tahun. Sehingga total keseluruhan biaya operasional IPAL teknik biogas adalah Rp
3.900.000 per tahun.
4.3. Analisis Kelayakan Finansial Usaha Pembuatan Tempe Tanpa Dan Dengan Instalasi
Pengolahan Air Limbah

Analisis manfaat dan biaya untuk industri tempe dilakukan dengan menggunakan
analisis kelayakan finansial selama 10 tahun sebelum dan sesudah ada IPAL. Kriteria yang
digunakan dalam perhitungan meliputi Net Present Value, Internal Rate of Return, Net
Benefit Cost Ratio dan Payback Period. Perhitungan diasumsikan 1 pengrajin yang
memproduksi rata-rata 109 kilogram kedelai per hari. Pendapatan, harga, jumlah input,
upah tenaga kerja, biaya yang digunakan dalam analisis ini merupakan nilai rata-rata dari
total responden sebanyak 31 orang.

Analisis kelayakan usaha ini menggunakan tiga skenario yang dapat dijalankan yaitu:
(1) Tanpa IPAL, (2) Dengan IPAL melalui pembiayaan investasi dan operasional
ditanggung oleh pengrajin tempe (swadaya) dan (3) Dengan IPAL melalui pembiayaan
investasi ditanggung oleh pemerintah dan pembiayaan operasional oleh pengrajin tempe
(swadaya). Umur proyek yang dijalankan yaitu selama 10 tahun dengan tingkat suku bunga
yang digunakan adalah 13 persen.

4.3.1. Analisis Kelayakan Finansial Usaha Pembuatan Tempe Tanpa IPAL


(Skenario 1)

Dari hasil analisis kelayakan usaha pembuatan tempe tanpa IPAL diperoleh
bahwa Net Present Value sebesar Rp Rp 141.464.542 yang bernilai lebih dari nol.
Artinya manfaat bersih yang diterima dari usaha pembuatan tempe di Desa Citeureup
selama 10 tahun dan tingkat suku bunga 13 persen sebesar Rp 141.464.542. IRR yang
diperoleh dari hasil analisis adalah 84 persen yang berarti tingkat pengembalian internal
usaha pembuatan tempe tersebut adalah sebesar 84 persen dan berada diatas tingkat suku
bunga 13 persen.

Kriteria kelayakan yang lain adalah Net Benefit-Cost Ratio yang bernilai 4,57
lebih besar daripada 1 yang berarti setiap Rp 1.000.000 yang dikeluarkan untuk usaha
tersebut mampu menghasilkan manfaat bersih sebesar Rp 4.570.000. Selain itu jangka
waktu pengembalian seluruh biaya-biaya yang telah dikeluarkan dalam investasi suatu
proyek adalah satu tahun empat bulan. Berdasarkan hasil tersebut, maka usaha
pembuatan tempe di Desa Citeureup sebelum ada IPAL layak untuk dilaksanakan.
Tabel 3. Kriteria Kelayakan Investasi Usaha Pembuatan Tempe Tanpa IPAL

No. Kriteria Kelayakan Jumlah (Rupiah/tahun)


1. Net Present Value Rp 141.464.542
2. Internal Rate of Return 84%
3. Net Benefit-Cost Ratio 4,57
4. Payback Period 1 Tahun 4 Bulan

4.3.2. Analisis Kelayakan Usaha Dengan IPAL Melalui Pembiayaan Investasi Dan
Operasional Ditanggung Oleh Pengrajin Tempe (Skenario 2)

Arus tunai usaha pembuatan tempe dengan IPAL yang ditanggung oleh
pengrajin tempe sama seperti usaha pembuatan tempe sebelum ada IPAL jika dilihat
dari sisi arus penerimaan. Perubahan terjadi pada biaya investasi dan biaya
operasional dimana biaya pembangunan IPAL dimasukkan ke dalam biaya investasi
dan biaya overhead, biaya perawatan, biaya angkutan dan upah tenaga kerja IPAL
dimasukkan ke dalam struktur biaya operasional.

Tabel 4. Biaya Investasi IPAL ditanggung Oleh Pengrajin Tempe (Skenario 2)

No. Biaya Investasi IPAL Jumlah (Rupiah/tahun) Umur Teknis


1. Pembangunan IPAL 27.558.333 10
Total Biaya Investasi 27.558.333 10

Biaya pembangunan IPAL yang dimasukkan yaitu sebesar Rp 27.558.333


dengan umur teknis 10 tahun. Komponen dari arus pengeluaran yang lain adalah
biaya operasional yang telah ditambah dengan biaya-biaya pemeliharaan IPAL.
Biaya pemeliharaan IPAL terdiri dari upah tenaga kerja IPAL berjumlah Rp
1.500.000 (38,46 persen), biaya overhead dan biaya perawatan masing-masing Rp
700.000 (17,95 persen) serta biaya angkutan sebesar Rp 1.000.000 (25,64 persen).
Tabel 5. Biaya Operasional IPAL ditanggung Oleh Pengrajin Tempe (Skenario 2)

No. Biaya Operasional Jumlah (Rupiah/tahun) Persentase (Persen)


1. Upah TK IPAL 1.500.000 38,46
2. B. Overhead 700.000 17,95
3. B. Perawatan 700.000 17,95
4. B. Angkutan 1.000.000 25.64
Total Biaya Investasi 3.900.000 100

Dari hasil analisis diperoleh bahwa Net Present Value sebesar Rp 100.221.668
yang bernilai lebih dari nol. Artinya manfaat bersih yang diterima dari usaha
pembuatan tempe di Desa Citeureup selama 10 tahun dan tingkat suku bunga 13
persen sebesar Rp 100.221.668. IRR yang diperoleh dari hasil analisis adalah 46
persen yang berarti tingkat pengembalian internal usaha pembuatan tempe tersebut
adalah sebesar 46 persen dan berada diatas tingkat suku bunga 13 persen.

Kriteria kelayakan yang lain adalah Net Benefit-Cost Ratio yang bernilai 2,57
lebih besar daripada 1 yang berarti setiap Rp 1.000.000 yang dikeluarkan untuk usaha
tersebut mampu menghasilkan manfaat bersih sebesar Rp 2.570.000. Selain itu
jangka waktu pengembalian seluruh biaya-biaya yang telah dikeluarkan dalam
investasi suatu proyek adalah dua tahun dua bulan. Berdasarkan hasil tersebut, maka
usaha pembuatan tempe di Desa Citeureup dengan Biaya IPAL yang ditanggung oleh
pengrajin tempe layak untuk dilaksanakan.

Tabel 6. Kriteria Kelayakan Investasi Usaha Pembuatan Tempe Dengan Biaya IPAL
Ditanggung Oleh Pengrajin Tempe (Skenario 2)

No. Kriteria Kelayakan Jumlah (Rupiah/tahun)


1. Net Present Value Rp 100.221.668
2. Internal Rate of Return 46%
3. Net Benefit-Cost Ratio 2,57
4. Payback Period 2 Tahun 2 Bulan
4.3.3. Analisis Kelayakan Usaha Dengan IPAL Melalui Pembiayaan Investasi Dan
Operasional Ditanggung Oleh Pemerintah dan Operasional Oleh Pengrajin
Tempe (Skenario 3)

Arus tunai usaha pembuatan tempe dengan biaya IPAL yang ditanggung oleh
pemerintah sama dengan arus tunai usaha pembuatan tempe sebelum ada IPAL
dalam hal arus penerimaan dan biaya investasi. Perbedaannya terletak pada biaya
operasional karena pada biaya operasional ditambahkan biaya-biaya pemeliharaan.
Hal ini disebabkan karena biaya pembangunan IPAL menjadi tanggung jawab
pemerintah. Sehingga pengrajin tempe hanya mengeluarkan biaya untuk
pemeliharaan IPAL saja.

Biaya operasional usaha pembuatan tempe di Desa Citeureup dengan biaya


IPAL ditanggung oleh pemerintah sama dengan biaya operasional usaha pembuatan
tempe dengan IPAL skenario 2. Hasil analisis kelayakan usaha pembuatan tempe di
Desa Citeureup dengan skenario biaya IPAL ditanggung oleh pemerintah adalah
NPV sebesar Rp 124.609.573 yang bernilai lebih dari nol. Hal tersebut berarti
manfaat bersih yang diterima dari usaha pembuatan tempe di Desa Citeureup selama
10 tahun dan tingkat suku bunga 13 persen sebesar Rp 124.609.573. IRR yang
diperoleh dari hasil analisis adalah 77 persen yang berarti tingkat pengembalian
internal usaha pembuatan tempe tersebut adalah sebesar 77 persen dan berada diatas
tingkat suku bunga 13 persen.

Kriteria kelayakan yang lain adalah Net Benefit-Cost Ratio yang bernilai 4,15
lebih besar daripada 1 yang berarti setiap Rp 1.000.000 yang dikeluarkan untuk usaha
tersebut mampu menghasilkan manfaat bersih sebesar Rp 4.150.000. Selain itu
jangka waktu pengembalian seluruh biaya-biaya yang telah dikeluarkan dalam
investasi suatu proyek adalah satu tahun enam bulan. Berdasarkan hasil tersebut,
maka usaha pembuatan tempe di Desa Citeureup dengan biaya IPAL yang
ditanggung oleh pemerintah layak untuk dilaksanakan.
Tabel 6. Kriteria Kelayakan Investasi Usaha Pembuatan Tempe Dengan Biaya IPAL
Ditanggung Oleh Pemerintah (Skenario 3)

No. Kriteria Kelayakan Jumlah (Rupiah/tahun)


1. Net Present Value Rp 124.609.573
2. Internal Rate of Return 77%
3. Net Benefit-Cost Ratio 4,15
4. Payback Period 1 Tahun 6 Bulan

4.4. Perbandingan Hasil Kelayakan Usaha Ketiga Skenario

Terdapat perbedaan yang cukup jauh dari hasil kelayakan usaha tanpa IPAL
dibandingkan dengan IPAL skenario 2. Dampak pembangunan IPAL yang ditanggung oleh
pengrajin atau secara swadaya sangat mempengaruhi keuntungan yang diperoleh pengrajin
tempe. Hal ini terlihat pada Tabel 29 bahwa Net Present Value berkurang menjadi Rp
100.221.668 dari nilai sebelumnya sebesar Rp 141.464.542. Penurunan nilai Net Present Value
sebesar Rp 41.242.874 atau sebesar 29,15 persen dari total Net Present Value mengindikasikan
penurunan keuntungan atau manfaat bersih yang diterima dari usaha pembuatan tempe yang
dijalankan akibat pembangunan IPAL secara swadaya. Perubahan juga terjadi dalam kriteria
kelayakan yang lain seperti Internal Rate of Return (IRR), Net Benefit-Cost Ratio (Net B/C)
dan Payback Period (PP). Perbedaan IRR antara usaha pembuatan tempe tanpa IPAL dengan
usaha pembuatan tempe dengan IPAL skenario 2 adalah 38 persen yang artinya tingkat
pengembalian internal usaha pembuatan tempe berkurang sebesar 38 persen.

Kriteria lain yang mengalami perubahan adalah Net B/C Ratio. Net B/C Ratio berkurang
sebesar 2,00 yang berarti setiap Rp 1.000.000 yang dikeluarkan untuk usaha tersebut mampu
menghasilkan manfaat bersih sebesar Rp 2.570.000 dan usaha tersebut akan mengalami
pengurangan manfaat bersih Rp 2.000.000 dari manfaat bersih yang diperoleh sebelumnya.
Selain itu jangka waktu pengembalian seluruh biaya-biaya yang telah dikeluarkan dalam
investasi suatu proyek berubah menjadi dua tahun dua bulan. Walaupun hasil kelayakan usaha
pembuatan tempe dengan IPAL skenario 2 masih layak untuk diusahakan tetapi pembangunan
IPAL tersebut telah mengubah tingkat keuntungan menjadi semakin kecil dari sebelumnya. Hal
ini disebabkan biaya pembangunan IPAL yang besar sehingga menyebabkan biaya investasi
semakin besar.
Tabel 7. Perbandingan Hasil Kelayakan Ketiga Skenario yang Dapat Dijalankan
Usaha Pembuatan Tempe Desa Citeurep

Tanpa IPAL Dengan IPAL


No. Kriteria Kelayakan
Skenario 1 Skenario 2 Skenario 3
1. Net Present Value Rp 141.464.6542 Rp 100.221.668 Rp 123.609.573
Internal Rate of
2. 84% 46% 77%
Return
3. Net Benefit-Cost Ratio 4,57 2,57 4,15
4. Payback Period 1 Tahun 4 Bulan 2 Tahun 2 Bulan 1 Tahun 6 Bulan

Berdasarkan Tabel 7, hasil kelayakan usaha pembuatan tempe tanpa IPAL


dibandingkan dengan usaha pembuatan tempe dengan IPAL skenario 3 tidak mengalami
perubahan yang drastis. Hal ini terlihat dari perubahan NPV tanpa IPAL dan NPV dengan IPAL
skenario 3 sebesar Rp 16.854.969 atau sebesar 11,92 persen. Hal ini berarti terdapat penurunan
manfaat bersih yang diterima selama 10 tahun usaha pembuatan tempe sebesar Rp 16.854.969
atau sebesar 11,92 persen dari manfaat bersih yang diterima dari usaha pembuatan tempe tanpa
IPAL. IRR usaha pembuatan tempe tanpa IPAL dan dengan IPAL skenario 3 juga mengalami
penurunan yang kecil yaitu sebesar 7 persen. Hal ini artinya tingkat pengembalian internal
usaha pembuatan tempe berkurang sebesar 7 persen. Selain itu, kriteria kelayakan yang lain
adalah Net B/C Ratio yang mengalami penurunan sebesar 0,42 yang menyebabkan usaha
tersebut akan mengalami pengurangan manfaat bersih Rp 420.000 dari manfaat bersih yang
diperoleh sebelumnya dari setiap Rp 1.000.000 biaya yang dikeluarkan. Kriteria yang lain
adalah jangka waktu pengembalian seluruh biaya-biaya yang telah dikeluarkan dalam investasi
suatu proyek berubah menjadi 1 tahun 6 bulan. Penurunan tingkat keuntungan usaha pembuatan
tempe dengan IPAL skenario 3 tidak terlalu besar karena biaya pembangunan IPAL ditanggung
oleh pemerintah sehingga biaya investasi usaha tersebut tidak berubah.

Berdasarkan hal tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa pembangunan IPAL


skenario 3 yang paling baik untuk dijalankan karena tidak menyebabkan keuntungan pengrajin
tempe turun apabila dibandingkan dengan usaha pembuatan tempe tanpa IPAL. Walaupun
melakukan pengolahan limbah akan menurunkan keuntungan sebesar 11,92 persen (Skenario
3) keuntungan usaha. Tetapi secara sosial akan mengurangi dampak lingkungan yang dapat
ditimbulkan akibat limbah cair tempe yang langsung dibuang ke sungai. Sungai yang tercemar
akan menurunkan pendapatan bagi masyarakat yang menggunakan air tersebut sebagai mata
pencaharian seperti tambak dan akan menimbulkan penyakit bagi masyarakat yang
menggunakan air tersebut untuk memenuhi kebutuhan hidup.
BAB V

PENUTUP

5.1. Kesimpulan

5.1.1. Biaya investasi pembangunan IPAL per rumah tangga pengrajin adalah Rp
27.558.333 dan biaya operasional IPAL per rumah tangga pengrajin per tahun
adalah Rp 3.900.000.

5.1.2. Setelah dilakukan internalisasi biaya pengolahan limbah dengan IPAL, skenario
yang paling baik untuk dijalankan adalah usaha pembuatan tempe dengan IPAL
skenario 3 dengan biaya IPAL ditanggung oleh pemerintah. Hal ini karena surplus
produsen tidak berkurang terlalu besar jika dilihat dari kriteria kelayakan usahanya
yang tidak jauh berbeda dengan usaha pembuatan tempe tanpa IPAL. Skenario
tersebut dapat dijalankan jika pemerintah membangun IPAL dengan teknik biogas
di Citeureup dan pengrajin memberikan dana untuk kegiatan operasional IPAL
setiap tahun.

5.2. Saran

5.2.1. Pengrajin dapat melakukan pengolahan limbah dengan IPAL biogas karena selain
masih menguntungkan, pengrajin tidak perlu membayar biaya kerusakan
lingkungan yang terjadi akibat limbah tersebut.
DAFTAR PUSTAKA

Natalia. 2008. Analisis Internalisasi Biaya Pengolahan Limbah (Studi Kasus Sentra Industri
Tempe di Desa Citeureup, Kecamatan Ciuteurep, Kabupaten Bogor. Skripsi.
Program Studi Ekonomi Pertanian dan Sumberdaya, Fakultas Pertanian Institut
Pertanian Bogor.Bogor.

Anda mungkin juga menyukai