Anda di halaman 1dari 15

PENDAHULUAN

Salah satu ancaman besar dalam dunia medis adalah kegagalan pengobatan akibat
adanya resistensi bakteri terhadap antibiotik. Penggunaan antibiotik yang relatif tinggi
dan tidak sesuai dengan pedoman serta pencegahan dan pengendalian infeksi yang buruk
berpotensi memunculkan bakteri resisten. (WHO, 2018) Resistensi antibiotik
meningkatkan biaya perawatan kesehatan, lama tinggal di rumah sakit, morbiditas dan
mortalitas di negara maju dan berkembang. (Founou, 2017)
Beberapa bakteri resisten antibiotik sudah banyak ditemukan di berbagai belahan
dunia, diantaranya Methicillin-Resistant Staphylococcus Aureus (MRSA), Vancomycin-
Resistant Pneumococci (VRE), dan Enterobacteriaceae yang menghasilkan Extended-
Spectrum Betalactamase (ESBL). (Datta, 2015) Pengawasan global resistensi antibiotik
di rumah sakit pada lima dari enam wilayah kerja WHO tahun 2014 dilaporkan lebih dari
50% resistensi antibiotik sefalosporin generasi ketiga dan fluorokuinolon pada
Escherichia coli dan resistensi metisilin pada Staphylococcus aureus. (Founou, 2017)
Dalam tinjauan pustaka ini, akan dibahas tentang Methicillin-Resistant
Staphylococcus Aureus (MRSA) dan Extended-Spectrum Betalactamase (ESBL) yang
cukup sering ditemukan pada pasien rawat inap di rumah sakit khususnya Rumah Sakit
Daerah Dr. Moewardi Solo.

DEFINISI DAN EPIDEMIOLOGI


Methicillin Resistant Staphylococcus Aureus (MRSA) adalah resistensi bakteri
Staphylococcus aureus terhadap antibiotik golongan penisilin. Pada awalnya, bakteri
Staphylococcus aureus ini hanya menyebabkan resistensi terhadap antibiotik penisilin
generasi pertama. Namun, seiring dengan berjalannya waktu, resistensi dari bakteri ini
semakin meluas dan bakteri muncul dalam berbagai bentuk resistensi, termasuk resistensi
terhadap penisilin generasi kedua (dikloksasilin, oksasilin, nafsilin, dan metisilin).
(Prasetio, 2017)
Infeksi yang disebabkan oleh MRSA ini telah menjadi salah satu masalah
kesehatan global. Hal ini terlihat dari tingginya angka infeksi yang disebabkan oleh
bakteri MRSA di beberapa negara di dunia. Kejadian infeksi MRSA di Eropa, terutama
Portugal, Italia, Malta, Bulgaria, Siprus, Yunani, Spanyol, Turki, Irlandia dan Rumania,
berkontribusi sebesar 44% terhadap terjadinya infeksi nosokomial. (Kock, 2010) Di
Amerika Serikat, bakteri MRSA berkontribusi sebesar 50 % terhadap infeksi nosokomial.
Sedangkan di Asia, tepatnya di Iran, bakteri MRSA ini berkontribusi sebesar 68.4 %
terhadap terjadinya infeksi nosokomial. (Watkins, 2012)
Extended Spectrum Betalactamase (ESBL) adalah sekelompok enzim yang
memecah antibiotik golongan penisilin dan sefalosporin yang membuat kerja kedua
golongan antibiotik tersebut menjadi tidak efektif. ESBL dikodekan oleh gen yang dapat
bertukar diantara bakteri dan dapat dihambat oleh asam klavulanat, tazobaktam atau
sulbaktam. (Shaikh, 2015)
Prevalensi infeksi yang disebabkan oleh bakteri penghasil ESBL bervariasi di
setiap negara. Di Amerika Serikat jumlahnya 0-25%, begitu juga di Eropa. Klebsiella
pneumoniae merupakan bakteri penyebab infeksi ESBL terbesar di Perancis sampai
dengan 40%. Sementara di Jepang prevalensinya masih rendah yaitu 0,1% untuk E. coli
dan 0,3% untuk K. pneumoniae. Di negara asia lainnya, prevalensi ESBL yang diproduksi
E. coli dan K. pneumoniae bervariasi, seperti 4,8% di Korea, 8,5% di Taiwan dan 12% di
Hong Kong. (Bramantono, 2013)

SEJARAH RESISTENSI BAKTERI


Kemampuan bakteri memperoleh resistensi terhadap agen antimikroba telah
melampaui imajinasi. Dalam beberapa kasus, agen antimikroba yang sebelumnya efektif
seiring berjalannya waktu menjadi tidak lagi berguna. Kasus MRSA teridentifikasi
pertama kali pada tahun 1961 dan menyebar luas pada awal tahun 1980. Sebelum tahun
1990-an, hampir semua infeksi MRSA berhubungan dengan perawatan kesehatan
sebelumnya dan semakin meningkat pada pasien dengan kondisi medis yang mendasari.
(Wang, 2015) Metisilin yang pada saat awal mampu mengatasi infeksi Staphylococcus
aureus, menjadi tidak efektif sampai pada akhirnya ditemukan antimikroba dari
glikopeptida seperti vankomisin, linezolid dan kuinolon yang dapat mengatasi resistensi
pada MRSA. (Saga, 2009)
Selama periode 1974 sampai dengan 1980, target agen antimikroba baru seperti
sefalosporin generasi kedua dan ketiga bergeser dari bakteri Gram-positif ke Gram-
negatif, dimana agen memiliki spektrum lebih luas tetapi mempunyai aktivitas yang lebih
lemah terhadap bakteri Gram-positif. Namun sayangnya, pengembangan kemampuan
antimikroba ini menimbulkan efek resistensi bakteri terhadap golongan betalaktam yang
lebih luas pula. ESBL ditemukan pertama kali di Jerman pada tahun 1983, tetapi sebagai
wabah nosokomial baru ditemukan di Perancis pada tahun 1985 dan di Amerika Serikat
pada akhir 1980-an. (Shaikh, 2015) Sejarah resistensi bakteri terhadap antibiotik dapat
dirangkum seperti gambar 1.
Gambar 1. Sejarah perkembangan antibiotik dan kemunculan bakteri resisten obat.
Keterangan: MRSA methicillin-resistant Staphylococcus aureus, PISP
penicillin-intermediate Streptococcus pneumoniae, PRSP penicillin-resistant
Streptococcus pneumoniae, BLNAR betalactamase-negative ampicillin-
resistant, ESBL extended spectrum betalactamase, VRE vancomycin-
resistant enterococcus, MDRP multidrug resistant Pseudomonas aeruginosa.
(Saga, 2009)

Meskipun sejumlah besar perusahaan di berbagai negara telah berkompetisi


dalam pengembangan agen antimikroba baru, jumlah obat baru dipasaran sudah sangat
menurun dalam beberapa tahun terakhir, dengan beberapa agen antimikroba dari kelas
baru yang tersedia. Sebaliknya, penyakit menular terus menyerang manusia sebagai
penyakit infeksi yang berulang kali muncul. (Saga, 2009)

MRSA
Bakteriologi
Staphylococcus aureus adalah bakteri kokus gram positif, dimana terdapat
setidaknya sekitar 200 strain berbeda. (Durai, 2010) Staphylococcus aureus umumnya
berhabitat di kulit atau rongga hidung orang yang sehat. Individu sehat dapat membawa
bakteri ini tanpa menunjukkan tanda-tanda infeksi. Akan tetapi, bakteri ini kadang dapat
mengakibatkan penyakit yang dapat diobati secara efektif dengan antibiotik. (CHP, 2017)
Infeksi MRSA pada dasarnya sama dengan infeksi S. aureus, yang membedakan
adalah resistensi bakteri terhadap flukloksasilin dan metisilin. Secara umum, infeksi
MRSA berkaitan dengan tingkat kematian yang lebih tinggi daripada infeksi Methicillin
Sensitive Staphylococcus aureus (MSSA). (Wang, 2015) Sebanyak 40% dari strain S.
aureus resisten terhadap metisilin. (Durai, 2010)
Bakteri MRSA menghasilkan berbagai protein atau toksin (misalnya, α, ẞ, γ, ẟ
enterotoxin, Panton-Valentine leukocidin). Bakteriemia akibat MRSA memiliki tingkat
mortalitas hingga 40%. (Durai, 2010) Panton-Valentine leukocidin dapat menyebabkan
necrotizing cellulitis dan necrotizing pneumonia. MRSA yang didapat dari komunitas
mensekresi peptida yang mengaktifkan dan melisiskan neutrofil. Strain ini dapat
menginfeksi anak-anak dan menyebar dengan mudah. (Teng, 2017)

Mekanisme Resistensi
Mekanisme resistensi pada MRSA melibatkan regulasi dari gen mecA yang
mengkodekan protein-binding penicillin 2a (PBP2a). Dengan tidak adanya betalaktam,
transkripsi dari operator mec dicegah dengan pengikatan represor MecI ke regio operator.
Betalaktam terdeteksi karena adanya ikatan dengan penicillin-binding domain (PBD) dari
MecR1. Interaksi ini memicu aktivasi autolitik dari metalloproteinase domain (MPD) dari
MecR1, yang terletak di dalam L3. Apakah proteolisis berikutnya dari MecI dimediasi
secara langsung oleh MPD dari MecR1 yang aktif masih belum jelas. Fragmen-fragmen
dinding sel pada sitoplasma, yang terjadi karena gangguan biosintesis dinding sel oleh
betalaktam, bertindak sebagai koaktivator yang mengikat represor MecI, sehingga
mengganggu terbentuknya ikatan dengan regio operator mec dan mendorong degradasi
proteolitik. Bagaimana pecahan-pecahan dinding sel dipeptida ini dihasilkan, khususnya
γ-D -Glu– L-Lys, dalam sitoplasma juga belum jelas tetapi mungkin melibatkan MPD
yang diaktifkan dari MecR1. Antirepresor kedua, yang dikodekan oleh mecR2 dalam
kompleks mec, ditranskripsikan dengan adanya betalaktam. Kemudian protein
antirepresor yang dihasilkan MecR2 ini, juga mengikat pada represor MecI, dan
menyebabkan proteolisis. Degradasi pada MecI menyebabkan transkripsi mecA,
menghasilkan PBP2a, dan munculnya resistensi metisilin. Mekanisme resistensi MRSA
dapat dilihat pada gambar 2.
Gambar 2. Mekanisme resistensi pada MRSA berdasarkan regulasi gen mecA.
Keterangan: mecA: gene responsible for methicillin resistance, MecR1:
integral-membrane zinc-dependent sensor, MecI: transcriptional repressor,
PBP: penicillin-binding protein, MPD: metalloproteinase domain, PBD:
penicillin-binding domain.
(Peacock, 2015)

Transmisi
Cara penularan infeksi MRSA antara lain melalui kontak langsung dengan luka,
cairan tubuh dan area yang terkontaminasi. Meskipun penularan utama MRSA adalah
secara langsung yaitu kontak kulit ke kulit, penularan juga bisa secara tidak langsung
melalui benda mati. MRSA bisa menyebar dalam satu lingkup keluarga dan dapat
menjadi penyebab pneumonia komunitas. Penggunaan jarum bersamaan di antara
pengguna narkoba suntik meningkatkan risiko terhadap infeksi endokarditis MRSA.
Hewan (seperti kelelawar, kucing, sapi, anjing, babi guinea, kuda, burung beo, babi,
kelinci, kura-kura) dapat terinfeksi MRSA. Hewan peliharaan dapat berperan sebagai
karier dan dapat menyebarkan infeksi ke orang-orang yang bersentuhan dengannya.
(Petinaki, 2015)
Dalam lingkungan pelayanan kesehatan, petugas kesehatan dan peralatan medis
(misalnya, stetoskop, probe jari, manset tekanan darah) dapat terkontaminasi akibat
kontak langsung dengan pasien terinfeksi bakteri MRSA. Perawat bedah di kamar operasi
juga harus waspada bahwa MRSA dapat mencemari marker kulit. Oleh karena itu,
direkomendasikan penggunaan marker kulit baru sekali pakai untuk setiap pasien ketika
menandai lokasi bedah. (Durai, 2010)

Spektrum infeksi
Banyak area tubuh dapat terinfeksi oleh MRSA, seperti saluran pencernaan, kulit,
dan sistem kardiovaskular, pernapasan, telinga-hidung-tenggorok dan tulang. Empiema
kandung empedu sebagai akibat infeksi MRSA bisa berakibat fatal. Terdapat
kemungkinan diare atau ileostomi letak tinggi disebabkan oleh enteritis MRSA. MRSA
menyebabkan eritema, indurasi yang luas, dan pernanahan minimal. MRSA juga
dikaitkan dengan abses ischiorectal dan fistula perianal. MRSA dapat menginfeksi kulit
dan menyebabkan selulitis, jika parah menimbulkan jaringan hitam sentral (mis., Eschar).
Selulitis dan abses rekuren dalam suatu komunitas dapat disebabkan oleh MRSA
penghasil toksin Panton-Valentine leucocidin. (Busch, 2010)
Community-acquired MRSA dapat menyebabkan endokarditis. MRSA diketahui
menyebabkan infeksi yang berhubungan dengan vaskular grafting. Infeksi MRSA sering
ditemukan pada lidah dan dasar mulut setelah operasi rekonstruksi. MRSA dapat
menyebabkan berbagai infeksi telinga, hidung, dan tenggorokan seperti infeksi jaringan
lunak, otitis media, otitis eksterna, sinusitis, dan mastoiditis. Pada sistem respirasi MRSA
dapat menyebabkan pneumonia. Infeksi tulang dan sendi seperti osteomyelitis juga dapat
disebabkan oleh MRSA. (Durai, 2010)

Diagnosis laboratorik
Diagnosis MRSA dapat ditegakkan dengan berbagai pemeriksaan penunjang,
seperti kultur in vitro pada plat cakram, kultur dalam kaldu cair khusus, dan polymerase
chain reaction (PCR). Resistensi metisilin dideteksi dengan uji difusi cakram sefoksitin.
Kultur Lawn dilakukan pada agar Mueller-Hinton. Sefoksitin dengan dosis 30 μg
diletakkan dan diinkubasi pada suhu 37°C selama 24 jam. Zona inhibisi ≤ 21 mm pada
difusi cakram menunjukkan S. aureus resisten metisilin. (Wadekar, 2015).
PCR adalah cara tercepat untuk mendeteksi MRSA walaupun terkadang terjadi
kegagalan, oleh karena itu kultur juga harus dilakukan ketika MRSA menimbulkan
kecenderungan mortalitas tinggi (misalnya, untuk pasien yang rentan di unit perawatan
intensif). Beberapa penelitian menyebutkan deteksi MRSA dapat dilakukan dengan
pengambilan sampel dari swab hidung, tenggorokan dan rektum. (Johnson, 2015).
Pengobatan
Ahli mikrobiologi harus dilibatkan ketika penyedia layanan kesehatan
menentukan antibiotik yang paling tepat untuk bagian tubuh yang terinfeksi. Obat yang
biasa digunakan untuk mengobati MRSA diantaranya daptomisin, aminoglikosida,
teicoplanin, linezolid, tigecycline, kotrimoksazole (trimetoprim-sulfametoksazole), dan
vankomisin. (Dryden, 2010) Vankomisin tidak dapat membasmi MRSA di dalam leukosit.
Pemberian rifampisin dengan vankomisin mampu membasmi bakteri intraseluler.
Linezolid, quinupristin, dan arbekasin mirip dengan vankomisin, untuk membasmi
bakteri intraseluler, obat-obat tersebut dapat dikombinasikan dengan rifampisin sesuai
dengan pedoman pengobatan rumah sakit setempat. (Durai, 2010)
Mupirosin, perak topikal, dalam bentuk nanokristalin dan sulfadiazin, dapat
membunuh MRSA. Gentian violet juga efektif melawan MRSA. Percobaan pada hewan
menunjukkan bahwa pemberian mupirosin bersama dengan propolis (yaitu, zat resin yang
dikumpulkan lebah untuk membuat sarang) dapat membasmi MRSA pada hidung lebih
baik daripada mupirocin tunggal. Madu topikal terbukti dapat memberantas MRSA dari
luka. (Thomson, 2016) Obat yang umum digunakan dalam terapi MRSA dapat dilihat
pada tabel 1.
Tabel 1. Obat yang digunakan dalam terapi MRSA (Durai, 2010)
Obat* Dosis Keuntungan Keterangan
Vankomisin 15mg/kgBB IV masih merupakan nefrotoksik
pilihan pertama
pengobatan MRSA
Doksisiklin 100mg 2x sehari tidak mahal bersifat bakteriostatik
PO
Rifampisin 600mg 2x sehari berguna melawan MRSA mewarnai cairan
intraseluler tubuh
Linezolid 600mg 2x sehari mencapai konsentrasi berguna mengobati
tinggi di paru pneumonia MRSA
Kotrimoksazol 160mg/ 800mg tidak mahal kontraindikasi bagi
pasien alergi sulfa
Asam fusidat 250mg 2x sehari bisa digunakan topical selalu digunakan
dengan kombinasi
dengan obat lain
Siprofloksasin 400mg 2x sehari spektrum sangat luas dapat menyebabkan
superinfeksi
MRSA=Methicillin-resistant Staphylococcus aureus; IV=Intravena; PO=Peroral
*Obat diberikan secara tunggal atau dengan kombinasi untuk 7 sampai 14 hari,
tergantung penyakit. Infeksi tulang membutuhkan pengobatan dengan jangka waktu
lebih panjang.

Pencegahan
Pengobatan infeksi MRSA cukup mahal, sehingga tindakan pencegahan sangat
penting. Metode yang digunakan untuk mencegah atau mengurangi penyebaran MRSA
seperti melakukan tindakan hand hygiene yang sering dan adekuat, penggunaan hand rub
berbasis alkohol, penggunan pelindung seperti sarung tangan dan apron, isolasi pasien
terinfeksi. Antiseptik di rumah sakit mengandung amonium kuarterner kompleks,
klorheksidin glukonat dan triclosan, umumnya efektif dalam memberantas MRSA pada
kulit. Langkah lain yang berguna dalam pencegahan penularan MRSA diantaranya
dengan edukasi staf pelayanan kesehatan, menjaga kebersihan lingkungan dan eliminasi
sumber infeksi seperti pembuangan secara aman bahan habis pakai terkontaminasi.
(Durai, 2010)

ESBL
Klasifikasi
Betalaktamase umumnya diklasifikasikan menurut dua skema umum: klasifikasi
secara molekular Ambler dan klasifikasi secara fungsional Bush-Jacoby-Medeiros.
Skema Ambler mengklasifikasikan betalaktamase ke dalam empat kelas sesuai dengan
homologi protein enzim. Betalaktamase kelas A, C, dan D adalah enzim serin
betalaktamase sedangkan kelas B adalah enzim metalo-betalaktamase. Skema fungsional
Bush-Jacoby-Medeiros didasarkan pada sifat fungsional enzim, yaitu substrat dan profil
inhibitor. (Shaikh, 2015)
Varian genetic ESBL:
1. Tipe SHV
Famili betalaktamase SHV berasal dari Klebsiella spp. Enzim progenitor
SHV, SHV-1, secara universal ditemukan pada K. pneumoniae. Gen yang
mengkoding SHV-1, atau prekursornya LEN-1 pada beberapa strain K.
pneumoniae berada di lokasi yang sama yaitu di dalam kromosom. Betalaktamase
SHV-1 berevolusi sebagai gen kromosom di Klebsiella dan kemudian masuk ke
dalam plasmid yang menyebar ke spesies enterobacteriaceae lainnya. (Shaikh,
2015)
2. TEM
TEM-1, pertama kali dilaporkan berasal dari isolat E. coli tahun 1965,
TEM-1 memiliki substrat dan profil inhibisi yang serupa dengan SHV-1. TEM-1
mampu menghidrolisis penisilin dan sefalosporin generasi pertama tetapi tidak
mampu melawan oxyimino sefalosporin. Varian TEM pertama dengan
peningkatan aktivitas terhadap sefalosporin spektrum luas adalah TEM-3. TEM-2
turunan pertama TEM-1, memiliki subtitusi asam amino tunggal dari
betalaktamase. Proses subtitusi ini menyebabkan pergeseran titik isoelektrik dari
pI 5,5-5,6, tetapi tidak mengubah profil substrat. TEM-3, awalnya dilaporkan
tahun 1989, merupakan betalaktamase TEM-jenis pertama yang menampilkan
fenotipe ESBL. (Shaikh, 2015)
3. CTX
Merupakan famili baru dari betalaktamase yang mampu menghidrolisis
sefotaksim. Ditemukan dalam isolat serovar Salmonella enterica, Typhimurium,
terutama E.coli dan beberapa spesies Enterobacteriaceae lainnya. CTX tidak
berkaitan erat dengan betalaktamase TEM atau SHV.
Betalaktamase CTX-M pertama ditemukan pada akhir 1980-an dan saat
ini lebih dari 100 varian telah diketahui. Berdasarkan urutan asam amino, CTX-
M dibagi menjadi lima kelompok (CTX-M 1, 2, 8, 9, dan 25). Asal mula enzim
CTX-M berbeda dari enzim TEM dan SHV. Enzim SHV dan TEM dihasilkan
oleh substitusi asam amino enzim induknya, CTX-M diperoleh dari transfer gen
horizontal bakteri lain menggunakan aparatus genetik seperti plasmid konjugasi
atau transposon. Urutan gen yang mengkodekan enzim CTX-M menunjukkan
banyak kesamaan dengan betalaktamase spesies Kluyvera, patogen oportunistik
Enterobacteriaceae yang ditemukan di lingkungan. (Shaikh, 2015)
4. OXA
Betalaktamase tipe OXA dinamakan karena kemampuannya
menghidrolisis oksasilin. Betalaktamase ini mempunyai ciri dapat menghidrolisis
kloksasilin dan oksasilin lebih besar 50%. Jenis betalaktamase OXA yang paling
umum yaitu OXA-1, telah ditemukan 1-10% dari isolat E. coli. Enzim OXA
awalnya ditemukan pada isolat P. aeruginosa dari satu rumah sakit di Ankara,
Turki. Evolusi OXA dari enzim induk dengan spektrum sempit memiliki banyak
kesamaan dengan evolusi ESBL tipe SHV dan TEM. Namun, hanya sedikit data
epidemiologi penyebaran geografis ESBL tipe OXA. (Shaikh, 2015)

Deteksi
Observasi organisme yang memiliki ESBL dapat memberikan informasi yang
bermanfaat kepada dokter. Infeksi yang disebabkan oleh organisme penghasil ESBL
dapat mengakibatkan kegagalan pengobatan bahkan ketika organisme penyebab terlihat
cukup sensitif terhadap agen antimikroba sefalosporin spektrum luas dan aztreonam
dengan uji sensitifitas rutin. (Gajamer, 2015)
Deteksi fenotip
US Clinical and Laboratory Standards Institute (CLSI) menerbitkan
pedoman untuk deteksi ESBL pada Enterobacteriaceae khusus E. coli, Klebsiella
spp., dan Proteus spp. Pedoman ini didasarkan prinsip bahwa sebagian besar
ESBL menghidrolisis sefalosporin generasi ketiga meskipun dapat dicegah
dengan pemberian klavulanat. Pedoman merekomendasikan skrining awal
dengan uji difusi cakram 8 μg/mL sefpodoksim atau menggunakan 2 μg/mL
sefotaksim, seftazidim, seftriakson atau aztreonam kemudian dilanjutkan tes
konfirmasi dengan pemberian sefotaksim dan seftazidim dalam kombinasi
dengan klavulanat 4 μg/mL. Peningkatan zona inhibisi ≥ 5 mm pada cakram
kombinasi dibandingkan dengan cakram seftazidim tunggal menunjukkan bakteri
penghasil ESBL. (CLSI, 2011) ESBL dalam E. coli, Klebsiella spp. dan Proteus
spp. dapat dideteksi mencapai sensitivitas tinggi 94% dan spesifisitas 98%
dengan menggunakan pedoman ini. (Pitout, 2008)
Deteksi genotip
Deteksi molekuler gen ESBL dengan PCR dan sekuensing merupakan
alternatif namun memakan biaya cukup mahal dan hanya dapat dilakukan oleh
laboratorium spesialistik. Teknik-teknik berbasis PCR memerlukan isolasi bakteri
dari sampel klinis sebelum dilakukan uji sensitifitas dan identifikasi fenotipik.
(Nordmann, 2012).
Menentukan ada tidaknya ESBL spesifik dalam isolat klinis merupakan
proses rumit karena mutasi titik menyebabkan perubahan asam amino yang dapat
meningkatkan aktivitas dari enzim induk seperti di TEM-1, TEM-2, dan SHV-1.
Sekuensing sangat penting untuk membedakan antara enzim induk non-ESBL
(misalnya TEM-1, TEM-2, atau SHV-1) dan berbagai varian ESBL TEM atau
SHV. (Liakopoulos, 2016)

Mekanisme mutasi
ESBL umumnya terbentuk dari perubahan komposisi asam amino yang terjadi
pada enzim induk betalaktamase. Sebagai contoh TEM 52, yang terbentuk akibat adanya
subtitusi dari rangkaian asam amino enzim induk TEM-1. Lokasi terjadinya perubahan
komposisi asam amino pada ESBL grup TEM dapat dilihat pada gambar 3.
Gambar 3. Lokasi perubahan komposisi asam amino pada ESBL grup TEM.
(Ghafourian, 2015)

Induksi sintesis betalaktamase oleh staphylococcus terjadi karena terdeteksinya


keberadaan antibiotik penisilin betalaktam. DNA-binding protein BlaI berikatan dengan
regio operator, sehingga menekan transkripsi RNA dari blaZ dan blaR1-blaI. Tanpa
penisilin, betalaktamase dikeluarkan dengan kadar rendah. Pengikatan penisilin ke
sensor-transduser transmembran BlaR1 menstimulasi aktivasi autokatalitik BlaR1. BlaR1
aktif secara langsung atau tidak langsung (melalui protein kedua, BlaR2) memotong BlaI
menjadi fragmen yang inaktif, memungkinkan blaZ dan blaR1-blaI memulai transkripsi.
Betalaktamase, enzim ekstraseluler yang dikodekan oleh blaZ, menghidrolisis cincin
betalaktam penisilin, sehingga penisilin tidak aktif. Mekanisme terjadinya resistensi pada
ESBL dapat dilihat pada gambar 4.
Gambar 4. Mekanisme terjadinya resistensi pada ESBL.
Keterangan: blaZ the gene that encodes betalactamase, blaR1 betalactamase
antirepressor gene, blaI betalactamase repressor gene, BlaR1 protein regulator
for betalactamase antirepressor gene, BlaI protein regulator for betalactamase
repressor gene, BlaR1 additional protein regulator for betalactamase
antirepressor gene.
(Lowy, 2003)

Faktor resiko kolonisasi


Risiko tinggi kontaminasi ESBL dapat terjadi pada mereka yang menderita sakit
berat dan perawatan lama di rumah sakit. Penggunaan berbagai macam alat medis seperti
akses vena sentral, selang nasogastrik atau endotrakeal berhubungan dengan risiko tinggi
kolonisasi dan infeksi K. pneumoniae penghasil ESBL. Faktor risiko lain yang disebutkan
dalam literatur adalah perawatan yang lama di rumah rawat atau panti karena indikasi
kondisi medis seperti selepas menjalani operasi besar, hemodialisa, penyakit berat dengan
riwayat pengobatan antibiotik menggunakan kuinolon dan sefalosporin generasi ketiga,
juga kotrimoksazol, aminoglikosida dan metronidazol. (Ghafourian, 2015)

Pengobatan
Karbapenem (imipenem, meropenem, ertapenem, doripenem) masih merupakan
pilihan pertama pengobatan untuk infeksi berat E. coli dan K. pneumoniae penghasil
ESBL. Telah dilaporkan bahwa > 98% dari E. coli, K. pneumoniae dan P. mirabilis
penghasil ESBL masih sensitif terhadap obat-obatan ini. Tigesiklin juga merupakan salah
satu obat yang cukup efektif dan dapat dipertimbangkan pada infeksi bakteri penghasil
ESBL. (Shaikh, 2015)
Betalaktamase inhibitor secara struktur mirip antibiotik betalaktam tetapi tidak
mempunyai kemampuan antimikroba yang signifikan. Agen-agen ini mengikat secara
ireversibel situs katalitik dari betalaktamase yang rentan, terutama penisilinase untuk
mencegah hidrolisis penisilin. Cara ini umumnya efektif terhadap plasmid-mediated
betalactamase pada resistensi obat oleh Staphylococcus aureus yang sensitif terhadap
metisilin, H. influenzae, H. ducreyi, E. coli, Klebsiella pneumoniae, Proteus mirabilis,
Neisseria gonorrhoeae, spesies Salmonella dan spesies Shigella. Saat ini ada tiga
inhibitor betalaktamase yang tersedia yaitu asam klavulanat, sulbaktam dan tazobaktam.
Asam klavulanat dikombinasikan dengan amoksisilin, sulbaktam dengan ampisilin, dan
tazobaktam dengan piperasilin yang tersedia sebagai kombinasi dosis tetap. (Lakshmi,
2014) Obat yang digunakan dalam terapi infeksi bakteri penghasil ESBL dapat dilihat
pada tabel 2.
Tabel 2. Obat yang digunakan pada infeksi bakteri penghasil ESBL (Rodriguez, 2018)
Obat Dosis Keterangan
Meropenem, 1 gr per hari pada berbagai Obat pilihan pada infeksi
imipenem, doripenem, kondisi penyakit; untuk syok ESBL; tidak efektif melawan
ertapenem sepsis atau infeksi berat dapat P. aeruginosa, sebagai terapi
ditingkatkan menjadi 2 gr per deeskalasi karbapenem
hari
Piperasilin-tazobaktam 4,5 gr tiap 8 jam (dengan Tidak lebih buruk dari
tambahan cairan IV) atau tiap 6 karbapenem pada infeksi
jam saluran kemih dan infeksi
kandung empedu
Amoksisilin-asam 2,2 gr tiap 8 jam IV; 1,25 gr Tidak lebih buruk dari
klavulanat (minimal) tiap 8 jam PO untuk karbapenem pada infeksi
infeksi saluran kemih saluran kemih dan infeksi
kandung empedu; tidak
efektif melawan P.
aeruginosa, cocok sebagai
terapi pergantian ke oral
Sefolozan-tazobaktam 1,5 gr tiap 8 jam; disetujui Mengobati proporsi besar
penggunaan bersama isolate yang rentan
metronidazol untuk infeksi
saluran kemih dan infeksi
intraabdomen;
dipertimbangkan 3 gr tiap 8
jam untuk pneumonia
Seftazidim-avibaktam 2,5 gr tiap 8 jam; disetujui Mengobati proporsi besar
penggunaan bersama isolate yang rentan
metronidazol untuk infeksi
saluran kemih dan infeksi
intraabdomen
Temosilin 2 gr tiap 8 jam Efektif melawan ESBL dan
penghasil AmpC, tidak
efektif melawan P.
aeruginosa
Gentamisin, 5-7 mg/ kgBB per hari; Efektif melawan ESBL dan
tobramisin, amikasin dipertimbangkan secara penghasil AmpC, berguna
empiris sebagai terapi pada infeksi saluran kemih
monoterapi (atau kombinasi
dengan betalaktam spektrum
rendah)
Tigesiklin 100 mg dosis tunggal, 50 mg Efektif melawan (hampir
tiap 12 jam; dapat menjadi seluruh) ESBL dan penghasil
alternatif pada infeksi AmpC, tidak efektif melawan
intraabdomen P. aeruginosa
Fosfomisin 4 gr tiap 6 jam sampai 6-8 gr/ 8 Tidak lebih buruk dari
jam piperasilin-tazobaktam pada
infeksi saluran kemih
Siprofloksasin, Siprofloksasin IV 400 mg/ 8-12 Berpotensi melawan isolat
levofloksasin jam yang sangat rentan, cocok
Siprofloksasin PO 500-700 mg/ sebagai terapi pergantian ke
12 jam oral
Levofloksasin (IV dan PO) 750
mg/ 24 jam
Trimetoprim- IV atau PO 160/800 mg tiap 8- Cocok sebagai terapi
sulfametoksazol 12 jam pergantian ke oral
IV=Intravena; PO=Peroral

Pencegahan dan pengendalian infeksi


Petugas pelayanan kesehatan rumah sakit dan masyarakat melakukan tindakan
pencegahan penularan ESBL dengan cara menjaga kebersihan tangan dan lingkungan,
serta restriksi pemberian antibiotik terutama sefalosporin generasi ketiga dan kuinolon.
Intervensi sederhana ini berpengaruh besar terhadap penyebaran ESBL di pusat layanan
kesehatan. (Thenmozhi, 2014)
Penggunaan antibiotik yang tepat akan sangat mengurangi kolonisasi dan infeksi
ESBL. Antibiotik harus diresepkan sesuai dengan kebijakan dan pedoman peresepan
antimikroba. Jika diketahui terdapat lebih dari satu kasus penyakit dalam sebuah bangsal,
dokter yang memberi resep obat perlu mempertimbangkan menghindari penggunaan
sefalosporin secara bersamaan pada pasien lain di bangsal tersebut. Dalam keadaan
wabah penyakit, tim pengendali infeksi, konsultan ahli mikrobiologi dan apoteker
membuat pedoman internal terapi disertai saran pemberian antibiotik alternatif pada unit
bangsal. (Thenmozhi, 2014)

SIMPULAN
1. Methicillin-Resistant Staphylococcus Aureus (MRSA) dan bakteri penghasil
Extended-Spectrum Betalactamase (ESBL) merupakan bakteri resisten antibiotik
yang harus diwaspadai dan dicegah penularannya secara komprehensif.
2. Prosedur diagnostik yang terarah pada pasien terinfeksi MRSA dan bakteri
penghasil ESBL perlu dilakukan agar pengobatan optimal dan tidak memberikan
efek resistensi berantai.
3. Penggunaan antibiotik yang tepat sesuai pedoman memberikan efek signifikan
dalam mengurangi kolonisasi dan infeksi dari MRSA dan bakteri penghasil
ESBL.
4. Kebersihan individu dan lingkungan wajib dijaga karena penularan MRSA dan
bakteri penghasil ESBL sangat mudah terjadi.

Anda mungkin juga menyukai