Anda di halaman 1dari 5

SISTEM SOSIAL INDONESIA

Nama : Dhea Denisa Sagala

Nim : 4153220005

Kelas : Biologi Nk B 2015

IDENTITAS BUKU

Judul Buku : Sistem Sosial Indonesia

Penulis : Prof. J. Nasikun

Penerbit Buku : Rajawali Press

Tahun Terbit : 2013

Jumlah Halaman : 121

PENULIS

Dr. Nasikun lahir di Cilacap,Jawa Tengah pada tanggal 28 Oktober 1941.Beliau adalah
seorang sosiolog, pensiunan guru besar Sosiologi Fisipol UGM. Beliau juga adalah penulis buku
Sistem Sosial Indonesia yang diterbitkan oleh Rajawali Pers pada tahun 2010. Buku tersebut
berguna bagi mahasiswa untuk referensi pada saat belajar.

RANGKUMAN

Banyak sekali peristiwa atau kejadian tentang polemik konflik dan intergrasi sebagai
suatu kejala sosial yang sangat atau selalu melengket di masyarakat, salah satunya di Indonesia
yang banyak memeliki beraneka ragam pluralitas yang sering terjadinya konflik.kontroversial di
dalam menganalisis masalak konflik dan integrasi, sambil mengutip kemungkinan untuk
menyusun sebuah sintesis di antara keduanya, sehingga akan Nampak lebih realities untuk
menganalisis system sosial Indonesia. Ketika usia penulis semakin merambat dewasa dan
pengetahuan pun semakin bertambah, maka pengertian semakin berkembang. Semakin
mengertilah penulis betapa lembaran sejarah kehidupan bangsa Indonesia sejak sebelum dan
sesudah tanggal 17 Agustus 1945 penuh terisi dengan berbagai pertentangan. Pertentangan itu
justru terjadi di antara tokoh-tokoh dan kelompok-kelompok sosial-politik . Padahal sebelumnya
hasrat pengabdian mereka kepada kepentingan bangsa mampu melupakan kepentingan masing-
masing untuk saling bahu-membahu menciptakan kemerdekaan bangsa. Peristiwa-peristiwa
pemberontakan PKI pada tahun 1948, pemberontakan DI/TII, pemberontakan PRRI-Permesta,
dan gerakan 30 September 1965 hampir memusnahkan keutuhan bangsa dan negara Indonesia.

Konflik pada hakikatnya merupakan suatu gejala sosial yang melekat di dalam kehidupan
setiap masyarakat, dan melekat pula di dalam kehidupan setiap bangsa. Akan tetapi, konflik-
konflik sosial di dalam masyarakat senantiasa memiliki derajat dan polanya masing-masing.
Hanya melalui pemahaman yang mendalam akan sumber-sumber yang menyebabkannya, maka
konflik-konflik sosial di antara sesama bangsa Indonesia dapat kita hindarkan atau kita jinakkan.
Keinginan untuk mengungkapkan dan memahami faktor-faktor yang menjadi benih timbulnya
konflik-konflik sosial di dalam masyarakat Indonesia yang pada akhirnya bermaksud mencari
pengertian mengenai faktor-faktor yang sebaliknya mengintegrasikan masyarakat Indonesia
selama ini. Adanya beraneka-ragam aliran-aliran pemikiran megenai bagaimana suatu
masyarakat terintegrasi , maka suatu pendekatan tertentu perlu di tetapkan lebih dahulu sebelum
suatu pembahasan tanpa arah terlanjur berkembang. Buku ini hanya ingin memperkenalkan dua
di antara sekian banyak sudut pendekatan sosiologi yang paling kontroversional di dalam
menganalisis masalah konflik dan intergasi. Sehingga akan lebih realistis untuk menganalisis
sistem sosial Indonesia.

Terdapat 2 sudut pendekatan yang paling popular di antara pendekatan-pendekatan yang


lain, yaitu pendekatan fungsional structural dan pendekatan konflik. Sudut pendekatan tersebut
menganggap bahwa bahwa masyarakat, pada dasarnya, terintegrrasi di atas dasar kata sepakat
para anggotanya akan nilai-nilai kemasyarakatan tertentu, suatu general agreement yang
memiliki daya mengatasi perbedaan-perbedaan pendapat dan kepentingan di antara para anggota
masyarakat.

Inti dasar dari Parsons tentang pendekatan fungsional structural yaitu suatu system sosial,
pada dasarnya, tidak lain adalah suatu system dari pada tindakan-tindakan. Ia terbentuk dari
interaksi sosial yang terjadi di antara berbagai individu, yang tumbuh dan berkembang tidak
secara kebetulan, melainkan tumbuh dan berkembang di atas standar penilaian umum tersebut,
adalah apa yang kita kenal sebagai norma-norma sosial ( yang membentuk struktur sosial).
Parsons lebih menekankan anggapan-anggapan dasarnya pada peranan unsur-unsur normatif dari
tingkah laku sosial, khususnya pada proses-proses di mana hasrat-hasrat perorangan diatur secara
normatif untuk menjamin terpeliharanya stabilitas sosial.
Tetapi David Lockwood menegasan bahwa setiap situasi sosial mengandung dua hal,
yakni: tata tertib sosial yang bersifat normatif dan substratum yang melahirkan konflik-konflik.
Tumbuhnya tata tertib sosial justru mencerminkan adanya konflik yang bersifat potensial di
dalam masyarakat. Menurut pendekatan fungsional structural, disfungsi, ketegangan-ketegangan,
dan penyimpangan-penyimpangan sosial merupakan penyebab terjadinya perubahan-perubahan
kemasyarakatan dalam bentuk diferensiasi sosial yang semakin kompleks, adalah akibat dari
pengaruh faktor-faktor yang datang dari luar. Tetapi hal tersebut mengabaikan kenyatan-
kenyatan sebagai berikut:
1. Setiap struktur sosial, di dalam dirinya sendiri, mengandung konflik-konflik dan
kontradiksi-kontradiksi yang bersifat internal, yang pada gilirannya justru menjadi
sumber bagi terjadinya perubahan-perubahan sosial.
2. Reaksi dari suatu system sosial terhadap perubahan-perubahan yang datang dari luar
(extra-systemic change) tidak selalu bersifat adjustive.
3. Suatu system sosial, di dalam waktu yang panjang dapat juga mengalami konflik-konflik
sosial yang bersifat visious circle.
4. Perubahan-perubahan sosial tidak selalu terjadi secara gradual melaului penyesuaian-
penyesuaian yang lunak, akan tetapi dapat juga terjadi secara revolusioner.

Sedangkan menurut pandangan pendekatan konflik berpangkal pada anggapan-anggapan


dasar dari pendekatanStructuralist-Non-Marxis berikut:
1. Setiap masyarakat senantiasa berada di dalam proses perubahan yang tidak pernah
berakhir, atau perubahan sosial merupakan gejala yang melekat di dalam masyarakat.
2. Setiap masyarakat mengandung konflik-konflik di dalam dirinya, konflik adalah
merupakan gejala yang melekat di dalam setiap masyarakat.
3. Setiap unsur di dalam masyarakat memberikan sumbangan tbagi terjadinya disintegrasi
dan perubahan-perubahan sosial.
4. Setiap masyarakat terintegrasi di atas penguasaan attau dominasi oleh sejumlah orang
atas sejumlah orang-orang lain.
Pendekatan ini menegaskan bahwa konflik tidak hanya sebagai gejala yang melekat pada
masyarakat tetapi konflik dianggap bersumber di dalam factor yang ada di dalam masyarakat itu
sendiri. Adanya kenyataan bahwa setiap masyarakat mengenal pembagian kewenangan (otoritas)
secara tidak merata dan mengakibatkan timbulnya dua macam kategori sosial yaitu: mereka yang
memiliki otoritas dan mereka yang tidak memiliki otoritas. Hal tersebut bagi para pendekatan
konflik dianggap sebagai sumber timbulnya konflik-konflik. Karena dalam pembagian ototitas
akan menimbulkan kepentingan-kepentingan yang berlawanan satu sama lain.
Oleh karena itu, apa yang dapat dilakukan orang hanyalah mengendalikan agar konflik
yang terjadi di antara berbagai kekuatan sosial yang saling berlawanan tidak akan terwujud di
dalam bentuk kekerasan. Bentuk pengendalian konflik-konflik sosial yang dapat dilakukan yaitu:
1. Konsiliasi (conciliation), pengendalian melalui lembaga-lembaga tertentu yang
memungkinkan tumbuhnya pola diskusi dan pengambilan keputusan di antara pihak-
pihak yang berlawanan mengenai persoalan yang mereka pertentangkan.
2. Mediasi (mediation), yakni kedua belah pihak yang bersengketa bersama-sama
bersepakat untuk menunjukan pihak ketiga yang akan memberikan nasihat-nasihat nya
tentang bagaimana mereka sebaiknya menyelesaikan pertentangan mereka.
3. Perwasitan (arbritation), yakni apabila pihak yang bertentangan bersepakat untuk
menerima atau terpaksa menerima hadirnya pihak ketiga yang akan memberikan
keputusan-keputusan tertentu untuk menyelesaikan konflik yang terjadi di antara
mereka.
Ketiga pengendalian konflik tersebut baik dipandang sebagai cara-cara pengendalian
konflik yang bertingkat-tingkat maupun dipandang sebagai cara yang berdiri sendiri-sendiri,
memiliki daya kemampuan untuk mengurangi kemungkinan timbulnya ledakan-ledakan sosial
dalam bentuk kekerasan. Dengan perkataan lain, melalui mekanisme pengendalian konflik-
konflik sosial yang efektif, konflik-konflik sosial di antara berbagai kelompok kepentingan justru
akan menjadi kekuatan yang mendorong terjadinya perubahan-perubahan sosial yang tidak akan
mengenal akhir.
Di dalam kehidupan ekonomi, tidak ada kehendak bersama dalam menemukan
pernyataan dalam permintaan sosial yang dihayati bersama oleh seluruh elemen masyarakat
(common social demand). Kebutuhan-kebutuhan keagamaan, politik, dan keindahan, pendek kata
semua kebutuhan kultural yang memiliki aspek ekonomi karena pada akhirnya menyatakan diri
secara terorganisir hanya sebagai kebutuhan ekonomi yakni permintaan atau demand sebagai
keseluruhan. Akan tetapi di dalam suatu masyarakat majemuk, permintaan masyarakat tersebut
tidaklah terorganisir, melinkan bersifat seksional (sectional) dan tidak dihayati bersama elemen
masyarakat.
Tidak adanya permintaan sosial yang dihayati bersama oleh semua elemen masyarakat
mejadi sumber yang membedakan karakter daripada ekonomi majemuk (plural economy) dari
suatu masyarakat majemuk dengan ekonomi tunggal (unitary economy) dari suatu masyarakat
yang bersifat homogeneous.
Keadaan masyarakat Indonesia pada masa kini sudah pasti telah jauh berbeda dari
keadaan tersebut dan oleh karena itu pengertian masyarakat majemuk sebagaimana digambarkan
oleh Furnivall harus tidak dapat begitu saja diperlakukan untuk melihat masyarakat Indonesia
pada masa sekarang. Menurut Furnivall, yakni suatu masyarakat dimana sistem nilai yang dianut
oleh berbagai kesatuan sosial yang menjadi bagian-bagiannya sehingga para angota masyarakat
kurang memiliki loyalitas terhadap masyarakat sebagai keseluruhan yang kurang memiliki
homogenitas atau bahkan kurang memiliki dasar-dasar untuk saling memahami satu sama lain.
Clifford Geertz, masyarakat majemuk adalah masyarakat yang terbagi-bagi ke dalam sub sistem
yang kurang lebih berdiri sendiri-sendiri dimana masing-masing sub sistem terikat ke dalam
ikatan yang bersifat primordial.

Perbedaan-perbedaan suku bangsa, agama, regional dan pelapisan sosial tersebut secara
analitis memang dapat dibicarakan sendiri-sendiri, akan tetapi di dalam kenyataan semuanya
jalin-menjalin menjadi suatu kebulatan yang kompleks, serta menjadi dasar bagi terjadinya
pengelompokan masyarakat Indonesia. Jalinan tersebut telah menghasilkan tejadinya berbagai
“kelompok semu”, yang di dalam konteks pengertian popular dapat kita sebut sebagai
“golongan” yang akan menjadi sumber di mana anggota-anggota “kelompok kepentingan”
terutama direkrut. Pengelompokan masyarakat Indonesia itu membawa akibat yang luas dan
mendalam di dalam seluruh pola hubungan-hubungan sosial di dalam masyarakat Indonesia.
dimana adanya kelompok semu setelah kemerdekaan telah berhasil diubah menjadi kelompok
kepentingan yang mempunyai tujuan bersama yang ingin dicapai.
Salah satu kelompok kepentingan yang sangat khusus adalah apa yang kita kenal sebagai
partai politik. Pada awal pertumbuhannya Indonesia, kelompok-kelompok semacam itu mula-
mula lebih memusatkan perhatiannya pada kegiatan-kegiatan yang bersifat sosialkultural
daripada yang bersifat politis. Baru dikemudian hari kelompok-kelompok kepentingan tersebut
mengubah sifatnya menjadi organisasi yang benar-benar bersifat politis, yakni di dalam
bentuknya sebagai partai politik. Di dalam hal ini hanya beberapa partai politik saja yang
disebutkan untuk sekedar menggambarkan sistem kepartaian di Indonesia memiliki dasarnya di
dalam watak yang dipunyai oleh struktur masyarakat Indonesia.
Partai yang pertama kali adalah Partai Masyumi (NU dan Muhammadiyah bergabung
dengan Masyumi), kemudian PNI, Partai Nahdatul Ulama, PNI, PKI, PSI, Parkindo dan lain
sebagainya. Konflik-konflik antara partai-partai politik di Indonesia pada masa-masa yang silam,
untuk sebagian pada dasarnya merupakan konflik antara kelompok-kelompok sosial-kultural
berdasarkan perbedaan-perbedaan suku-bangsa, agama, daerah dan stratifikasi sosial. Herbert
Feith, melihat konflik-konflik politik di Indonesia sebagai konflik ideologis yang bersumber di
dalam ketegangan-ketegangan yang terjadi antara pandangan dunia tradisional (Tradisi Hindu-
jawa dan Islam) disatu pihak, dengan pandangan dunia modern (khusussnya pandangan dunia
barat) di lain pihak.
Pluralitas masyarakat yang bersifat multidimensional telah menimbulkan persoalan
tentang bagaimana masyarakat Indonesia terintegrasi secara horisontal, sementara stratifikasi
sosial sebagaimana diwujudkan oleh masyarakat Indonesia akan memberi bentuk pada Integrasi
nasional yang bersifat vertikal.
Suatu sistem sosial senantiasa terintegrasi di atas landasan dua hal yaitu: pertama,
masyarakat senantiasa terintegrasi di atas tumbuhnya konsensus di antara sebagaian besar
anggota masyarakat akan nilai-nilai kemasyarakatan yang bersifat fundamental. Kedua,
masyarakat terintegrasi karena menjadi anggota dari berbagai kesatuan sosial (cross
cutting affiliations).
Pada tingkat tertentu keduanya tentu saja mendasari terjadinya integrasi sosial di dalam
masyarakat yang bersifat majemuk karena tanpa keduanya maka tidak akan terbentuk
masyarakat walaupun landasan tersebut hanya berlaku dalam derajat yang bersifat sementara.
Segmentasi kedalam bentuk kesatuan-kesatuan sosial yang terikat kedalam
ikatan primordialdengan sub kebudayaan yang berbeda satu sama lain, mudah sekali
menimbulkan konflik. Dalam hal ini ada dua tingkatan konflik :
1. Konflik ideologis, Konflik antar sistem nilai yang dianut serta menjadi ideologi berbagai
kesatuan sosial.
2. Konflik politikus, Konflik dalam bentuk pertentangan di dalam pembagian status
kekuasaan dan sumber ekonomi.
Dalam suatu konflik maka sadar atau tidak setiap pihak yang berselisih akan berusaha
mengabadikan diri di antara sesama anggotanya, membentuk organisasi kemasyarakatan untuk
keperluan kesejahteraan dan pertahanan bersama.
Perbedaan-perbedaan suku bangsa, agama, daerah, dan pelapisan sosial saling silang
menyilang satu sama lain menghasilkan suatu keanggotaan golongan yang bersifat silang
menyilang pula. Cross cutting afiliation yang demikian telah menyebabkan konflik antar
golongan di Indonesia bagaimanapun tidak menjadi terlalu tajam. bersama dengan tumbuhnya
konsensus nasional mengenai nilai-nilai nasionalisme pancasila yang senantiasa beranggapan
secara dinamis dengan mekanisme pengendalian konflik-konflik yang bersifat coercive,maka
struktur masyarakat Indonesia yang silang menyilang itu telah menjadi landasan mengapa
masyarakat Indonesia tetap dapat lestari dari masa ke masa, walaupun ia harus mengarungi
samudera penuh dengan berbagai gelombang dan badai pertentangan.
Penerbitan kembali buku ini sangat penting dan berarti karena memliki makna bagaimana
kita bisa belajar memahami situasi social dengan setting tertentu dapat ditarik garis hubung
dengan relitas kekinian. Dengan melihat gejala dan kelangsungan proses perubahan sistem itu
sendiri, dapat dijadikan bahan meneropong tren yang bakal terjadi.

Anda mungkin juga menyukai