Nim : 4153220005
IDENTITAS BUKU
PENULIS
Dr. Nasikun lahir di Cilacap,Jawa Tengah pada tanggal 28 Oktober 1941.Beliau adalah
seorang sosiolog, pensiunan guru besar Sosiologi Fisipol UGM. Beliau juga adalah penulis buku
Sistem Sosial Indonesia yang diterbitkan oleh Rajawali Pers pada tahun 2010. Buku tersebut
berguna bagi mahasiswa untuk referensi pada saat belajar.
RANGKUMAN
Banyak sekali peristiwa atau kejadian tentang polemik konflik dan intergrasi sebagai
suatu kejala sosial yang sangat atau selalu melengket di masyarakat, salah satunya di Indonesia
yang banyak memeliki beraneka ragam pluralitas yang sering terjadinya konflik.kontroversial di
dalam menganalisis masalak konflik dan integrasi, sambil mengutip kemungkinan untuk
menyusun sebuah sintesis di antara keduanya, sehingga akan Nampak lebih realities untuk
menganalisis system sosial Indonesia. Ketika usia penulis semakin merambat dewasa dan
pengetahuan pun semakin bertambah, maka pengertian semakin berkembang. Semakin
mengertilah penulis betapa lembaran sejarah kehidupan bangsa Indonesia sejak sebelum dan
sesudah tanggal 17 Agustus 1945 penuh terisi dengan berbagai pertentangan. Pertentangan itu
justru terjadi di antara tokoh-tokoh dan kelompok-kelompok sosial-politik . Padahal sebelumnya
hasrat pengabdian mereka kepada kepentingan bangsa mampu melupakan kepentingan masing-
masing untuk saling bahu-membahu menciptakan kemerdekaan bangsa. Peristiwa-peristiwa
pemberontakan PKI pada tahun 1948, pemberontakan DI/TII, pemberontakan PRRI-Permesta,
dan gerakan 30 September 1965 hampir memusnahkan keutuhan bangsa dan negara Indonesia.
Konflik pada hakikatnya merupakan suatu gejala sosial yang melekat di dalam kehidupan
setiap masyarakat, dan melekat pula di dalam kehidupan setiap bangsa. Akan tetapi, konflik-
konflik sosial di dalam masyarakat senantiasa memiliki derajat dan polanya masing-masing.
Hanya melalui pemahaman yang mendalam akan sumber-sumber yang menyebabkannya, maka
konflik-konflik sosial di antara sesama bangsa Indonesia dapat kita hindarkan atau kita jinakkan.
Keinginan untuk mengungkapkan dan memahami faktor-faktor yang menjadi benih timbulnya
konflik-konflik sosial di dalam masyarakat Indonesia yang pada akhirnya bermaksud mencari
pengertian mengenai faktor-faktor yang sebaliknya mengintegrasikan masyarakat Indonesia
selama ini. Adanya beraneka-ragam aliran-aliran pemikiran megenai bagaimana suatu
masyarakat terintegrasi , maka suatu pendekatan tertentu perlu di tetapkan lebih dahulu sebelum
suatu pembahasan tanpa arah terlanjur berkembang. Buku ini hanya ingin memperkenalkan dua
di antara sekian banyak sudut pendekatan sosiologi yang paling kontroversional di dalam
menganalisis masalah konflik dan intergasi. Sehingga akan lebih realistis untuk menganalisis
sistem sosial Indonesia.
Inti dasar dari Parsons tentang pendekatan fungsional structural yaitu suatu system sosial,
pada dasarnya, tidak lain adalah suatu system dari pada tindakan-tindakan. Ia terbentuk dari
interaksi sosial yang terjadi di antara berbagai individu, yang tumbuh dan berkembang tidak
secara kebetulan, melainkan tumbuh dan berkembang di atas standar penilaian umum tersebut,
adalah apa yang kita kenal sebagai norma-norma sosial ( yang membentuk struktur sosial).
Parsons lebih menekankan anggapan-anggapan dasarnya pada peranan unsur-unsur normatif dari
tingkah laku sosial, khususnya pada proses-proses di mana hasrat-hasrat perorangan diatur secara
normatif untuk menjamin terpeliharanya stabilitas sosial.
Tetapi David Lockwood menegasan bahwa setiap situasi sosial mengandung dua hal,
yakni: tata tertib sosial yang bersifat normatif dan substratum yang melahirkan konflik-konflik.
Tumbuhnya tata tertib sosial justru mencerminkan adanya konflik yang bersifat potensial di
dalam masyarakat. Menurut pendekatan fungsional structural, disfungsi, ketegangan-ketegangan,
dan penyimpangan-penyimpangan sosial merupakan penyebab terjadinya perubahan-perubahan
kemasyarakatan dalam bentuk diferensiasi sosial yang semakin kompleks, adalah akibat dari
pengaruh faktor-faktor yang datang dari luar. Tetapi hal tersebut mengabaikan kenyatan-
kenyatan sebagai berikut:
1. Setiap struktur sosial, di dalam dirinya sendiri, mengandung konflik-konflik dan
kontradiksi-kontradiksi yang bersifat internal, yang pada gilirannya justru menjadi
sumber bagi terjadinya perubahan-perubahan sosial.
2. Reaksi dari suatu system sosial terhadap perubahan-perubahan yang datang dari luar
(extra-systemic change) tidak selalu bersifat adjustive.
3. Suatu system sosial, di dalam waktu yang panjang dapat juga mengalami konflik-konflik
sosial yang bersifat visious circle.
4. Perubahan-perubahan sosial tidak selalu terjadi secara gradual melaului penyesuaian-
penyesuaian yang lunak, akan tetapi dapat juga terjadi secara revolusioner.
Perbedaan-perbedaan suku bangsa, agama, regional dan pelapisan sosial tersebut secara
analitis memang dapat dibicarakan sendiri-sendiri, akan tetapi di dalam kenyataan semuanya
jalin-menjalin menjadi suatu kebulatan yang kompleks, serta menjadi dasar bagi terjadinya
pengelompokan masyarakat Indonesia. Jalinan tersebut telah menghasilkan tejadinya berbagai
“kelompok semu”, yang di dalam konteks pengertian popular dapat kita sebut sebagai
“golongan” yang akan menjadi sumber di mana anggota-anggota “kelompok kepentingan”
terutama direkrut. Pengelompokan masyarakat Indonesia itu membawa akibat yang luas dan
mendalam di dalam seluruh pola hubungan-hubungan sosial di dalam masyarakat Indonesia.
dimana adanya kelompok semu setelah kemerdekaan telah berhasil diubah menjadi kelompok
kepentingan yang mempunyai tujuan bersama yang ingin dicapai.
Salah satu kelompok kepentingan yang sangat khusus adalah apa yang kita kenal sebagai
partai politik. Pada awal pertumbuhannya Indonesia, kelompok-kelompok semacam itu mula-
mula lebih memusatkan perhatiannya pada kegiatan-kegiatan yang bersifat sosialkultural
daripada yang bersifat politis. Baru dikemudian hari kelompok-kelompok kepentingan tersebut
mengubah sifatnya menjadi organisasi yang benar-benar bersifat politis, yakni di dalam
bentuknya sebagai partai politik. Di dalam hal ini hanya beberapa partai politik saja yang
disebutkan untuk sekedar menggambarkan sistem kepartaian di Indonesia memiliki dasarnya di
dalam watak yang dipunyai oleh struktur masyarakat Indonesia.
Partai yang pertama kali adalah Partai Masyumi (NU dan Muhammadiyah bergabung
dengan Masyumi), kemudian PNI, Partai Nahdatul Ulama, PNI, PKI, PSI, Parkindo dan lain
sebagainya. Konflik-konflik antara partai-partai politik di Indonesia pada masa-masa yang silam,
untuk sebagian pada dasarnya merupakan konflik antara kelompok-kelompok sosial-kultural
berdasarkan perbedaan-perbedaan suku-bangsa, agama, daerah dan stratifikasi sosial. Herbert
Feith, melihat konflik-konflik politik di Indonesia sebagai konflik ideologis yang bersumber di
dalam ketegangan-ketegangan yang terjadi antara pandangan dunia tradisional (Tradisi Hindu-
jawa dan Islam) disatu pihak, dengan pandangan dunia modern (khusussnya pandangan dunia
barat) di lain pihak.
Pluralitas masyarakat yang bersifat multidimensional telah menimbulkan persoalan
tentang bagaimana masyarakat Indonesia terintegrasi secara horisontal, sementara stratifikasi
sosial sebagaimana diwujudkan oleh masyarakat Indonesia akan memberi bentuk pada Integrasi
nasional yang bersifat vertikal.
Suatu sistem sosial senantiasa terintegrasi di atas landasan dua hal yaitu: pertama,
masyarakat senantiasa terintegrasi di atas tumbuhnya konsensus di antara sebagaian besar
anggota masyarakat akan nilai-nilai kemasyarakatan yang bersifat fundamental. Kedua,
masyarakat terintegrasi karena menjadi anggota dari berbagai kesatuan sosial (cross
cutting affiliations).
Pada tingkat tertentu keduanya tentu saja mendasari terjadinya integrasi sosial di dalam
masyarakat yang bersifat majemuk karena tanpa keduanya maka tidak akan terbentuk
masyarakat walaupun landasan tersebut hanya berlaku dalam derajat yang bersifat sementara.
Segmentasi kedalam bentuk kesatuan-kesatuan sosial yang terikat kedalam
ikatan primordialdengan sub kebudayaan yang berbeda satu sama lain, mudah sekali
menimbulkan konflik. Dalam hal ini ada dua tingkatan konflik :
1. Konflik ideologis, Konflik antar sistem nilai yang dianut serta menjadi ideologi berbagai
kesatuan sosial.
2. Konflik politikus, Konflik dalam bentuk pertentangan di dalam pembagian status
kekuasaan dan sumber ekonomi.
Dalam suatu konflik maka sadar atau tidak setiap pihak yang berselisih akan berusaha
mengabadikan diri di antara sesama anggotanya, membentuk organisasi kemasyarakatan untuk
keperluan kesejahteraan dan pertahanan bersama.
Perbedaan-perbedaan suku bangsa, agama, daerah, dan pelapisan sosial saling silang
menyilang satu sama lain menghasilkan suatu keanggotaan golongan yang bersifat silang
menyilang pula. Cross cutting afiliation yang demikian telah menyebabkan konflik antar
golongan di Indonesia bagaimanapun tidak menjadi terlalu tajam. bersama dengan tumbuhnya
konsensus nasional mengenai nilai-nilai nasionalisme pancasila yang senantiasa beranggapan
secara dinamis dengan mekanisme pengendalian konflik-konflik yang bersifat coercive,maka
struktur masyarakat Indonesia yang silang menyilang itu telah menjadi landasan mengapa
masyarakat Indonesia tetap dapat lestari dari masa ke masa, walaupun ia harus mengarungi
samudera penuh dengan berbagai gelombang dan badai pertentangan.
Penerbitan kembali buku ini sangat penting dan berarti karena memliki makna bagaimana
kita bisa belajar memahami situasi social dengan setting tertentu dapat ditarik garis hubung
dengan relitas kekinian. Dengan melihat gejala dan kelangsungan proses perubahan sistem itu
sendiri, dapat dijadikan bahan meneropong tren yang bakal terjadi.