Anda di halaman 1dari 30

AKTIVITAS ANTI PROLIFERASI EKSTRAK ETANOL DAUN BANGUN BANGUN

(Plectranthus ambonicus) PADA KELENJAR MAMAE TIKUS PUTIH BETINA (Ratus


novergicus) YANG DI INDUKSI DMBA

OLEH :

MULIA SIANTURI
NIM.4153220011
BIOLOGI NON-KEPENDIDIKAN 2015 B

PROGRAM STUDI BIOLOGI


FAKULTAS MATEMATIKA ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS NEGERI MEDAN
2018
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kanker merupakan penyebab utama kematian di dunia dengan 7,4 juta atau 13%
kematian pada tahun 2004 (World Health Organization atau WHO, 2009). Salah satu jenis
kanker yang paling sering ditemukan pada wanita adalah kanker payudara. Menurut WHO
tahun 2013 dalam Departemen Kesehatan RI., (2016), insidens kanker pada tahun 2008
sampai 2012 mengalami peningkatkan dari 12,7 juta kasus meningkat menjadi 14,2 juta
kasus. Kanker menjadi penyebab kematian nomor 2 di dunia setelah penyakit kardiovaskular.
Diperkirakan pada tahun 2030 insidens kanker akan meningkat mencapai 26 juta orang dan
sebanyak 17 juta orang meninggal akibat kanker dan kematian terbanyak yang disebabkan
oleh kanker adalah perempuan. Berdasarkan estimasi dari Globocan, International Agency for
Research on Cancer (IARC) tahun 2012, insidensi kanker pada perempuan di Indonesia 134
per 100.000 penduduk dengan insidens tertinggi pada perempuan adalah kanker payudara
sebesar 40 per 100.0000 penduduk (Depkes., 2016). Kanker payudara merupakan kanker
tertinggi yang terjadi pada perempuan di Indonesia dan memiliki angka kematian yang cukup
tinggi, maka sangat perlu dikembangkan penelitian tentang potensi tumbuhan obat sebagai
anti-kanker payudara.
Penyebab kanker terbagi atas faktor endogen dan faktor eksogen. Faktor endogen
antara lain gen dan produk-produk gen, hormon dan enzim tertentu, sedangkan faktor eksogen
bisa berupa radiasi, senyawa kimia karsinogen (pemicu kanker), dan virus (Hahn dan Payne,
2003). Salah satu contoh senyawa kimia yang dapat menyebabkan kanker adalah senyawa
7,12-Dimetilbenz(a)antrasen (DMBA). Disini jelaskan terlebih dahulu kemungkinan
seseorang terpapar DMBA dari mana, lingkungan, nakanan atau apa. Jika seseorang terpapar
organ apa saja yang terserang dan bahkan menyebabkan kanker
Penggunaan senyawa DMBA dalam penelitian untuk induksi kanker pada hewan
coba sering digunakan termasuk kanker payudara. Berdasarkan penelitian Meiyanto dkk.,
(2007), menyatakan bahwa senyawa DMBA yang diinduksikan pada hewan model tikus
betina melalui peroral menunjukkan insidensi kanker payudara yang mencapai 100% pada
minggu ke-12. Berdasarkan penelitian Nurani dkk., (2016), menyatakan bahwa pemberian
dosis DMBA 20 mg/kg BB 2x1 minggu selama 5 minggu mengakibatkan timbulnya nodul
pada kelenjar payudara tikus. Berdasarkan penelitian Wongso dan Iswahyudi (2013),
menyatakan bahwa dosis DMBA yang paling cepat dapat menyebabkan kanker pada tikus
adalah 20 mg/kgBB. Maka, mengacu pada beberapa hasil penelitian diatas dosis DMBA yang
digunakan pada penelitian ini adalah 20 mg/kgBB.
Upaya pengobatan kanker dapat dilakukan dengan pembedahan, radiasi, kemoterapi,
dan pemberian hormon-hormon terapi (Dipiro dkk., 2005), namun pengobatan kanker tersebut
membutuhkan biaya yang mahal, selektivitas obat-obatan antikanker rendah (Katzung
dkk.,1995), dan patogenesis kanker itu sendiri belum jelas (Dipiro dkk., 2005). Obat
tradisional lebih baik digunakan karena memiliki efek samping yang relatif lebih rendah.
Negara-negara berkembang termasuk Indonesia terus mengeksplorasi tanaman obat.
Indonesia memiliki sekitar 30.000 jenis tumbuhan dan 7.000, di antaranya ditengarai
memiliki khasiat sebagai obat. Sebanyak 2500 jenis di antaranya merupakan tanaman obat
(Kementerian Perdagangan RI., 2014). Salah satu tanaman obat yang berpotensi sebagai anti
kanker yaitu bangunbangun (Plectranthus amboinicus L. Spreng)
Bangunbangun adalah sejenis tanaman yang biasa dikonsumsi oleh ibu-ibu yang
melahirkan di Sumatera Utara, khususnya suku Batak. Daun Bangunbangun dipercaya dapat
meningkatkan produksi ASI. Daun ini memiliki kandungan nutrisi yang tinggi, terutama zat
besi dan karoten. Konsumsi bentuk daun secara signifikan mempengaruhi peningkatan kadar
beberapa mineral seperti zat besi, kalium, seng dan magnesium dalam susu dan berat badan
bayi yang mengakibatkan peningkatan yang nyata. Dan dik etahui selain itu daun
bangunbangunmemiliki banyak manfaat, antara lain sebagai antipiretik, analgesik, obat luka,
obat batuk, dan sariawan, antioksidan, antitumor, antikanker, dan hipotensi (Damanik dkk.,
2001; Duke, 2000). yang memiliki beberapa sifat memiliki reseptor pada sistem organ target
yang melakukan fungsi kekebalan limforetikular. Apigenin adalah flavonoid yang merupakan
zat aktif yang terkandung dalam peterseli dan diketahui memiliki sifat antioksidan dan secara
efektif menghambat aktivitas prooksidatif dari cadmium, efek dari kanker anti-paru Pru dan
menghambat pertumbuhan sel karsinoma kolon manusia (Tong et al., 2007; Liu et al., 2005;
Wang et al., 2000). Daun Bangunbangun mengandung berbagai flavonoid seperti apigenin,
quercetin, luteolin, salvigenin, genkwanin dan lemak untuk terbang, yang merupakan
senyawa fenolik yang tersebar luas di tanaman dan telah dilaporkan memiliki beberapa efek
biologis, termasuk antioksidan, menghilangkan radikal bebas memiliki kemampuan aktivitas
anti-inflamasi dan anti-kanker. (Prasenjit, Hullanti, & Khumar, 2011; Preeja et al., 2011)
Mengingat potensi antikanker yang dimiliki daun ini sangat besar dan belum banyak
dieksplore oleh para peneliti sebagai antikanker, maka perlu dilakukan penelitian
eksperimental ini. Penelitian eksperimental dengan subjek uji manusia sangat berbahaya dan
dilarang oleh undang-undang serta melanggar HAM. Oleh karena itu, penelitian
eksperimental ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh pemberian ekstrak etanol daun
bangun-bangun (Plecktranthus ambonicus) sebagai anti kanker. Pengamatan dilakukan
terhadap histopatologi kelenjar mammae yang diinduksi kanker dengan 7,12-
Dimetilbenz(a)antrasen (DMBA) yaitu terhadap jumlah nodul dan gambaran histopatologi
1.2 Identifikasi Masalah
Identifikasi masalah pada penelitian ini adalah:
1. Bagaimana cara membuat ekstrak etanol daun bangunbangun (Plectranthus ambonicus)?
2. Apakah daun bangunbangun (Plectranthus ambonicus) dapat digunakan sebagai
antikanker payudara?
3. Apakah senyawa DMBA (7,12-Dimetilbenz(a)antrasen) dapat menginduksi kanker
payudara pada tikus putih (Rattus norvegicus)?

1.3 Batasan Masalah


Batasan masalah dalam penelitian ini adalah
1.3.1. Efek pemberian ekstrak etanol daun bangunbangun (Plectranthus ambonicus) terhadap
gambaran histopatologi kelenjar mammae payudara pada tikus putih (Rattus norvegicus)
betina yang diinduksi DMBA(7,12-Dimetilbenz(a)antrasen).
1,3,2. Pengamatan histopatologi yaitu meliputi…..

1.4 Rumusan Masalah


Berdasarkan batasan masalah yang telah dikemukakan di atas, maka yang menjadi
rumusan masalah dalam penelitian ini adalah,
1.4.1. bagaimana pengaruh pemberian ekstrak etanol daun bangunbangun (Plectranthus
ambonicus) terhadap diameter jaringan kanker payudara, dan gambaran histopatologi
payudara pada tikus putih (Rattus norvegicus) yang diinduksi DMBA?

1.5 Tujuan Penelitian


Tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pemberian ekstrak
daun bangunbangun (Plectranthus ambonicus)terhadap diameter jaringan kanker payudara
dan gambaran histopatologi sel kanker payudara pada tikus putih (Rattus norvegicus) yang
diinduksi DMBA (7,12-Dimetilbenz(a)antrasen).

1.6 Manfaat Penelitian


Adapun yang menjadi manfaat dalam penelitian ini adalah :
1. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada masyarakat tentang
manfaat ekstrak daun bangunbangun (Plectranthus ambonicus) sebagai zat antikancer,
sehingga daun bangunbangun (Plectranthus ambonicus) dapat diproduksi menjadi
tanaman obat untuk masyarakat penderita kanker payudara.
2. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan sebagai referensi terhadap penelitian
selanjutnya.
3. Penelitian ini diharapkan agar dapat menjadi bahan pertimbangan untuk melakukan
penelitian klinis terhadap manusia mengenai manfaat ekstrak daun bangunbangun
(Plectranthus ambonicus) sebagai antikarsinogen dan antikanker.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Bangunbangun (Plectranthus ambonicus lour)


2.1.1 Ciri-ciri dan Sistematika Bangunbangun

Bangun–bangun merupakan herba sukulen semi semak tahunan dengan tinggi 100-120
cm dan tidak berumbi. Bercabang-cabang dan mempunyai bulu-bulu tegak yang halus.
Batang berdaging, berdaun sederhana, lebar, berbentuk bulat telur/oval, ovate dan tebal
dengan bulu-bulu yang banyak. Bagian bawah daun mempunyai banyak rambut glandular
yang menyebabkan tampilan berkilat. Bunga-bunga bertangkai pendek, berwarna keunguan
dalam kumpulan yang padat, pada interval jarak menyatu pada sebuah raceme yang panjang
dan ramping (Aziz, 2013).
Tanaman Bangun-bangun (Plectranthus ambonicus) dapat dijumpai hampir di seluruh
wilayah Indonesia dengan nama yang berbeda-beda. Di daerah Sumatera Utara, tanaman ini
dikenal dengan nama Bangun-bangun atau torbangun (Damanik et al. 2001). Sedangkan di
daerah Sunda, daun bangun bangun dikenal dengan namaAjeran atau Acerang, di daerah
Jawa dikenal dengan nama daun Kucing, di Madura daun Kambing, dan Majha Nereng. Di
daerah Bali dikenal dengan nama Iwak dan di daerab Timor dikenal dengan nama Kunu Etu
(Heyne 1987).

Daun bangun-bangun (Plectranthus ambonicus) merupakan tumbuhan yang banyak


dikonsumsi oleh ibu-ibu setelah melahirkan di daerah Toba, Sumatera Utara. Tumbuhan ini
dipercaya dapat meningkatkan produksi ASI. Tumbuhan ini banyak ditemukan di daerah
Sumatra Utara dan dijadikan pangana pendamping nasi, misalnya sebagai sayuran. Penelitian
yang dilakukan oleh Sihombing (2006) yang memberikan daun bangun-bangun pada tikus
telah membuktikan bahwa tumbuhan tersebut mengandung zat besi dan karotenoid yang
tinggi. Kadar FeSO4 pada daun bangun-bangun (Plectranthus ambonicus) dapat diandalkan
sebagai sumber besi non heme bagi ibu menyusui.
Suatu penelitian yang dilakukan oleh Damanik terhadap ibu-ibu menyusui di daerah
Sumatera Utara dengan metoda focus group discussion (FGD) memperoleh kesimpulan
bahwa konsumsi daun bangun-bangun (Plectranthus ambonicus) dipercaya dapat
meningkatkan mengembalikan stamina ibu, meningkatkan produksi ASI,
membersihkan daerah rahim dan kepercayaan itu tetap kuat selama beratus-ratus tahun.
Potensinya sebagai laktagogum ditunjukkan oleh daun bangun-bangun yang mengandung
saponin, flavonoid, polifenol serta dapat meningkatkan hormon-hormon menyusui, seperti
prolaktin dan oksitosin (Damanik, 2001).
Konsumsi daun bangun-bangun oleh penduduk Sumatra Utara biasanya dalam bentuk
sop yang dimasak secara tradisional dengan santan. Suatu penelitian telah mencoba
membuktikan karakteristik mutu sop daun bangun-bangun yang dikemas dalam kaleng
sebagai suatu bentuk usaha komersil. Selain dipetik langsung dari pohonnya, ibu-ibu
menyusui diharapkan dapat mengkonsumsinya dalam bentuk sop kemasan kaleng yang lebih
praktis karena tidak perlu menanam pohonnya dan memasaknya terlebih dahulu untuk
mendapatkan efek laktagogumnya. Tanaman ini terbukti mengandung zat besi dan karotin
yang tinggi. Selain itu konsumsi tanaman ini dapat meningkatkan kadar zat besi, kalium,
seng, dan magnesium dalam ASI serta meningkatkan berat badan bayi. (Warsiki, 2009).

Dalam susunan taksonomi, tanaman Bangun-bangun yang secara internasional


dikenal dengan Plectranthus ambonicus diklasifikasikan seperti berikut
Divisi : Spermatophita
Subdivisi : Angiospermae
Kelas : Dikotiledonae
Bangsa : Solanales
Suku : Labialae
Marga : Plectranthus
Jenis : Plectranthus ambonicus

2.1.2 Kandungan Bangunbangun


Komposisi kandungan kimia daun bangun-bangun secara alamia belum banyak
diketahui. Senyawa-senyawa yang terdapat pada tanaman bangun-bangun tersebut berpotensi
terhadap aktivitas biologi, misalnya sebagai antioksidan, antibakteri dan antijamur (Surya,
2013).

Secara tradisional, masyarakat meyakini bahwa daun bangunbangun dapat mengobati


batuk, sesak nafas, sariawan, demam, rematik dan lain lain (Santosa,2005). Menurut Sartika
(2013) daun bangun-bangun banyak mengandung senyawa yang berkhasiat sebagai
antioksidan seperti senyawa flavonoid dan turunan polifenol. Diperjelas lagi dari hasil
penelitian Tobing (2017) karena tingginya kandungan flavonoid dan polifenol dari daun
bangun bangun sehingga tanaman ini juga menjadi sumber antioksidan. Menurut penelitian
yang dilakukan oleh Melva dan Rianata (2015) bangun bangun memiliki efek imunostimulan
karena mengandung flavonoid dan juga mengandung vitamin C.

Daun bangunbangun mengandung berbagai jenis flavonoid yaitu quercetin, apigenin,


luteolin, salvigenin, genkwanin. Daun bangun bangun juga mengandung antioksidan yang
terkandung pada makanan dapat menstimulasi imunitas seluler dan membantu mencegah
komponen seluler terhadap kerusakan oksidatif. Kalsium dalam daun bangunbangun
berfungsi sebagai pembersih darah, melawan infeksi, mengurangi rasa nyeri, dan
menimbulkan rasa tenang (Melva dan Rina, 2015).

Tabel 2 Komposisi Zat Gizi Sop Daun Bangun bangun (150 g)

Zat Gizi Rata-rata ± SD


Lemak (g) 16,3 ± 4,6
Protein (g) 2,4 ± 0,1
Karbohidrat (g) 5,3 ± 0,3
Air (g) 121,5 ± 14,7
Mineral
Seng 2,8 ± 0,1
Besi 6,8 ± 0,1
Kalsium 393,1 ± 6,5
Magnesium 124,1 ± 6,3
Pottasium 1219,2 ± 80,7
(Sumber : Damanik et al. 2006)

Berdasarkan penelitian Damanik et al. 2006, pada saat minggu kedua (hari ke-14 hingga
ke-28 setelah suplementasi sayur sop daun Bangun-bangun, wanita yang telah mengkonsumsi
sop daun Bangun-bangun tetap mengalami peningkatan

2.1.3 Bangunbangun sebagai anti kanker


Daun bangunbangun mengandung berbagai jenis flavonoid yaitu quercetin, apigenin,
luteolin, salvigenin, genkwanin Daun tanaman ini juga telah dibuktikan sebagai anti
inflamasi, juga terbukti sebagai anti kanker dan anti tumor (Melva dan Rina, 2015).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Sukohar (2016) Apigenin (4',5,7-
trihydroxyflavone), adalah anggota dari flavon dan masuk dalam subklas flavonoids.
Apigenin memiliki toksisitas lebih rendah bila dibandingkan dengan flavonoids lain.
Apigenin memiliki sejumlah fungsi biologis diantaranya sebagai anti-mutagenic ,anti-
inflammatory, anti-carcinogenic, anti-viral, dan free-radical scavenging properties. Sifat
anti-carsinogenic dari apigenin terkait dengan kemampuannya untuk memodulasi target
utama dan jalur yang terlibat dalam kontrol siklus sel, apoptosis, angiogenesis , invasi sel
tumor, metastasis dan transduksi sinyal. Apigenin juga dapat menginduksi cell-cycle arrest
(penahanan siklus sel) yang berperan untuk menghambat pertumbuhan sel kanker.
Penghambatan tumorigenesis sering melibatkan medulasi jalur transduksi sinyal, memicu cell
cycle arrest kemudian apoptosis. Sehingga penahanan siklus sel dapat dijadikan target terapi
untuk kanker.
Apigenin merupakan salah satu senyawa aktif yang ditemukan di seledri yang berperan
sebagai antioksidan. Apigenin dapat menginduksi apoptosis pada beberapa jenis sel kanker
yang mencakup atas monositik dan limfositik leukemia, kanker serviks, kanker paru-paru,
kanker payudara, kanker usus besar dengan nilai IC50 tinggi, ,kanker prostat dan
melanoma.4,11-12 Apigenin menginduksi apoptosis sel leukemia melalui aktivasi caspases,
penghambatan sintase asam lemak dan topoisomerase, serta modulasi dari BAX dan ekspresi
BCL-2 (Sukohar, 2016).

2.2 7,12-Dimetilbenz(a)antrasen (DMBA)


2.2.1 Deskripsi dan Struktur Kimia DMBA
DMBA termasuk senyawa karsinogen golongan polisiklik aromatik hidrokarbon
(PAH), merupakan polutan lingkungan dan produk pirolisis dari minyak dan material biologi,
dihasilkan oleh asap rokok, asap kendaraan, dan pembakaran tidak sempurna dari bahan
bakar batubara dan minyak bumi. Struktur kimia DMBA memiliki 4 cincin aromatik yang
berikatan, khas struktur PAH dengan tiga atau lebih cincin aromatik dan 2 substituen metal
(Motoyama dkk., 2008).
Gambar 2.2 Struktur Kimia DMBA
(Sumber: Aldrich, 1996).

2.2.2 Mekanisme Aksi 7,12-Dimetilbenz(a)antrasen (DMBA)


DMBA dikenal sebagai senyawa karsinogenik spesifik untuk eksperimental kanker
payudara dan kanker kulit pada hewan percobaan. Aktivitas karsinogenik dari DMBA terjadi
karena kemampuannya (metabolit DMBA, ultimate carsinogen) berikatan dengan DNA dan
menyebabkan mutasi somatik (Motoyama dkk., 2008).
7,12-Dimetilbenz(a)antrasen (DMBA), merupakan polutan lingkungan yang berasal
dari pembakaran incomplete bahan bakar fosil. Dalam proses metabolismenya, DMBA
menghasilkan 31 karsinogen, dihydrodiol epoxide (DMBA–DE), yang dapat menginduksi
kerusakan DNA dan produksi berlebih Reactive Oxigen Species (ROS) yang juga dapat
merusak DNA (Ramadhiani, 2011). DMBA terbukti dapat menginduksi produksi reactive
oxygen species (ROS) yang mengakibatkan peroksidasi lipid, kerusakan DNA, dan deplesi
dari sel sistem pertahanan antioksidan (Kasolo dkk., 2010).
Perubahan–perubahan tersebut akan menyebabkan mutasi gen yang dapat
menginisiasi sel–sel kanker. Mutasi gen dapat menyebabkan disfungsi pada tahap–tahap yang
berbeda pada jalur sinyal the tumor necrosis factor–related apoptosis–inducing ligand
(TRAIL) dalam menginduksi apoptosis, diantaranya supresi dari ekspresi DR (Death
Receptor) dan ekspresi berlebihan dari c–FLIP (inhibitor dari caspase–8) sehingga caspase–8
tidak dapat teraktivasi dan sel–sel kanker tersebut dapat terhindar dari apoptosis (Zhang dkk.,
2005).
Jalur metabolisme DMBA melalui aktivasi enzim sitokrom p–450 menjadi
intermediate reaktif yang dapat merusak DNA, yaitu terbentuknya epoksida dihidrodiol dan
kation radikal. Epoksida dihidrodiol akan mengikat gugus amino ekosiklik purin DNA secara
kovalen menjadi bentuk adduct stabil, sedangkan kation radikal akan mengikat N7 atau C8
purin menjadi bentuk adduct tak stabil yaitu depurinisasi menjadi tempat yang kehilangan
apurinik pada DNA (Meiyanto dkk., 2009). Senyawa epoxide tersebut nantinya akan
berikatan secara kovalen dengan gugus amino eksosiklik deoksiadenosin (dA) atau
deoksiguanosin (dG) pada DNA. Interaksi ini (DNA adduct) dapat menginduksi mutasi pada
gen–gen penting sehingga menyebabkan iniasi kanker (Hakkak dkk., 2005).

2.3 Kanker
2.3.1 Pengertian Kanker
Menurut WHO, kanker adalah istilah umum untuk satu kelompok besar penyakit
yang dapat mempengaruhi setiap bagian dari tubuh. Istilah lain yang digunakan adalah tumor
ganas dan neoplasma. Salah satu fitur mendefinisikan kanker adalah pertumbuhan sel-sel
baru secara abnormal yang tumbuh melampaui batas normal, dan yang kemudian dapat
menyerang bagian sebelah tubuh dan menyebar ke organ lain. Menurut National Cancer
Institute (2009), kanker adalah suatu istilah untuk penyakit di mana sel-sel membelah secara
abnormal tanpa kontrol dan dapat menyerang jaringan di sekitarnya. Proses ini disebut
metastasis. Metastasis merupakan penyebab utama kematian akibat kanker (WHO, 2009).

2.3.2 Jenis Kanker dan Karakternya


Kanker dibedakan menjadi dua yaitu sarkoma dan karsinoma. Sarkoma bersifat
mesensimal misalnya fibrosarkoma, limposarkoma, osteosarkoma. Sedangkan karsinoma
bersifat epitel seperti kanker payudara, kanker lambung, kanker uterus, dan kanker kulit.
Kanker selalu berkaitan dengan genetika, dalam arti bahwa kanker selalu merupakan
konsekuensi dari perubahan DNA (Andrijono dkk., 2000).
Terdapat enam karakter sel kanker (The six hallmark of cancer) adalah sebagai
berikut ini:
1. Kesanggupan sel untuk mencukupi diri sendiri terhadap signal pertumbuhan (growth
signal autonomy) Sel normal memerlukan sinyal eksternal untuk pertumbuhan dan
pembelahannya, sedangkan sel kanker mampu memproduksi growth factors dan
growth factor receptors sendiri. Dalam proliferasinya sel kanker tidak tergantung pada
sinyal pertumbuhan normal dan mutasi yang dimilikinya memungkinkan sel kanker
untuk memperpendek growth factor pathways.
2. Tidak sensitif terhadap signal antipertumbuhan (evasion growth inhibitory signals)
Sel normal merespon sinyal penghambatan pertumbuhan untuk mencapai
homeostasis. Sehingga ada waktu tertentu bagi sel normal untuk proliferasi dan
istirahat. Sel kanker tidak mengenal dan tidak merespon sinyal penghambatan
pertumbuhan. Keadaan ini banyak disebabkan adanya mutasi pada beberapa gen
(proto-onkogen) pada sel kanker.
3. Penghindaran teradap apoptosis (evasion of apoptosis signals) Sel normal akan
dikurangi jumlahnya dengan mekanisme apoptosis, bila ada kerusakan DNA yang
tidak bisa lagi direparasi. Sel kanker tidak peka terhadap sinyal apoptosis (padahal sel
kanker membawa acumulative DNA error yang bersifat irreversible). Kegagalan sel
kanker dalam merespon sinyal apoptosis lebih disebabkan karena mutasinya gen-gen
regulator apoptosis dan gen-gen sinyal apoptosis.
4. Potensi replikasi tidak terbatas (Unlimited replicative potential) Sel normal mengenal
dan mampu menghentikan pembelahan selnya bila sudah mencapai jumlah tertentu
dan mencapai pendewasaan. Perhitungan jumlah sel ini ditentukan oleh pemendekan
telomer pada kromosom yang akan berlangsung setiap ada replikasi DNA. Sel kanker
memiliki mekanisme tertentu untuk tetap menjaga telomer tetap panjang, hingga
memungkinkan untuk tetap membelah diri. Kecacatan dalam regulasi pemendekan
telomere inilah yang memungkinkan sel kanker memiliki unlimited replicative
potential.
5. Angiogenesis (formation of blood vessels) Sel normal memiliki ketergantungan
terhadap pembuluh darah untuk mendapatkan suplai oksigen dan nutrien yang
diperlukan untuk hidup. Namun, arsitektur pembuluh darah sel normal lebih
seherhana atau konstan sampai dengan sel itu dewasa. Sel kanker mampu
menginduksi angiogenesis, yaitu pertumbuhan pembuluh darah baru di sekitar
jaringan kanker. Pembentukan pembuluh darah baru ini diperlukan untuk survival sel
kanker dan ekspansi ke bagian lain dari tubuh (metastase). Kecacatan pada pengaturan
keseimbangan induser angiogenik dan inhibitornya dapat mengaktifkan angiogenic
switch.
6. Invasi dan metastasis (invasion and metastasis) Sel normal memiki kepatuhan untuk
tidak berpindah ke lokasi lain di dalam tubuh. Perpindahan sel kanker dari lokasi
primernya ke lokasi sekunder atau tertiernya merupakan faktor utama adanya
kematian yang disebabkan karena kanker. Mutasi memungkinkan peningkatan
aktivitas enzim-enzim yang terlibat invasi sel kanker (MMPs). Mutasi juga
memungkinkan berkurangnya atau hilangnya adesi antar sel oleh molekul-molekul
adisi sel, meningkatnya attachment, degragasi dan migrasi (Hanahan dan
Robert,2000).
7.
2.4 Kanker Payudara
2.4.1 Anatomi Payudara
Perkembangan dan struktur dari glandula mamaria berkaitan dengan kulit. Fungsi
utamanya adalah menyekresi susu untuk nutrisi bayi. Fungsi ini langsung dan diperantarai
oleh hormon-hormon yang sama dengan yang mengatur fungsi sistem reproduksi. Oleh
karena itu, glandula mamaria dianggap sebagai pelengkap sistem reproduksi. Glandula
mamaria mencapai potensi penuh pada perempuan saat menarke. Pada bayi, anak-anak, dan
laki-laki glandula ini hanya berbentuk rudimenter (Price dan Wilson, 2006). Payudara terdiri
dari jaringan kelenjar, fibrosa, dan lemak. Jaringan ikat memisahkan payudara dari otot-otot
dinding dada, otot pektoralis, dan seratus anterior. Sedikit di bawah pusat payudara dewasa
terdapat puting (papila mamaria), tonjolan yang berpigmen dikelilingi oleh aerola. Puting
mempunyai perforasi pada ujungnya dengan beberapa lubang kecil, yaitu apertura duktus
laktiferosa. Tuberkeltuberkel montgomery adalah kelenjar sebasea pada permukaan aerola
(Price dan Wilson,2006).
Kanker payudara adalah gangguan dalam pertumbuhan sel normal mammae dimana
sel abnormal timbul dari sel – sel normal, berkembang biak dan menginfiltrasi jaringan limfe
dan pembuluh darah. Kanker payudara adalah keganasan yang berasal dari sel kelenjar,
saluran kelenjar dan jaringan penunjang payudara yang ditandai dengan adanya benjolan di
payudara, dan pada stadium lanjut terasa sakit (Depkes RI, 2009).
Jaringan kelenjar membentuk 15 hingga 25 lobus yang tersususn radier di sekitar
puting dan dipisahkan oleh jaringan lemak yang bervariasi jumlahnya, yang mengelilingi
jaringan ikat (stroma) di antara lobus-lobus. Setiap lobus berbeda sehingga penyakit yang
menyerang satu lobus tidak menyerang lobus lainnya. Drainase dari lobus menuju sinus
laktiferosa yang kemudian berkumpul di duktus pengumpul dan kemudian bermuara ke
puting. Jaringan ikat di banyak tempat akan memadat membentuk pita fibrosa yang tegak
lurus terhadap substansi lemak, mengikat lapisan dalam dari fasia subkutan payudara pada
kulit (Price dan Wilson, 2006).
Gambar 2.3 Anatomi Payudara
(Sumber: Trialsightmedicalmedia.com, 2008).

2.4.2 Fisiologi payudara

Payudara mengalami tiga perubahan yang dipengaruhi hormon. Perubahanpertama


ialah mulai dari masa hidup anak melalui masa pubertas, masa fertilitas,sampai ke
klimakterium dan menopause. Sejak pubertas pengaruh ekstrogen danprogesteron yang
diproduksi ovarium dan juga hormon hipofise, telahmenyebabkan duktus berkembang dan
timbulnya asinus. Perubahan kedua adalahperubahan sesuai dengan daur menstruasi. Sekitar
hari kedelapan menstruasipayudara jadi lebih besar dan pada beberapa hari sebelum
menstruasi berikutnyaterjadi pembesaran maksimal. Kadang-kadang timbul benjolan yang
nyeri dantidak rata. Selama beberapa hari menjelang menstruasi payudara menjadi tegangdan
nyeri sehingga pemeriksaan fisik, terutama palpasi, tidak mungkin dilakukan.Pada waktu itu
pemeriksaan foto mammogram tidak berguna karena kontras terlalu besar. Begitu menstruasi
mulai semuanya berkurang. Perubahanketiga terjadi waktu hamil dan menyusui. Pada
kehamilan payudara menjadi besarkarena epitel duktus lobul dan duktus alveolus
berproliferasi, dan tumbuh duktusbaru. Sekresi hormon prolaktin dari hipofisis anterior
memicu laktasi. Air susudiproduksi oleh sel-sel alveolus, mengisi asinus, kemudian
dikeluarkan melaluiduktus ke puting susu. (Sjamsuhidajat dan Wim, 2004).

2.4.3Histologi Payudara
Payudara terdiri dari 15 sampai 25 lobus kelenjar tubuloalveolar yang dipisahkan oleh
jaringan ikat padat interlobaris. Setiap lobus akan bermuara ke papila mammae melalui
duktus laktiferus. Dalam lobus payudara terdapat lobulus–lobulus yang terdiri dari duktus
intralobularis yang dilapisi oleh epitel kuboid atau kolumnar rendah dan pada bagian dasar
terdapat mioepitel kontraktil. Pada duktus intralobularis mengandung banyak pembuluh
darah, venula, dan arteriol (Eroschenko, 2008). Adapun gambaran histologi payudara dan
predileksi lesi payudara tersaji pada gambar 3 dan 4.

Gambar 3. Histologi Mammae (Sumber: Eroschenko, 2008).

2.4.4 Klasifikasi Kanker Payudara


Pada klasifikasi Klinik Kolumbia yang dirumuskan oleh Heagensen terdapat stadium
pada kanker payudara lanjut dengan mengetahui kriteria inoperabilitas, yaitu:
1. Stadium I : tanpa edema kulit, ulserasi atau fiksasi padat tumor ke dinding dada, nodul
limfatik aksila tidak terlibat secara klinik.
2. Stadium II : tanpa edema kulit, ulserasi atau fiksasi padat tumor ke dinding dada.
Nodul limfatik terlibat secara klinis, tetapi diameter transversa kurang dari 2,5 cm dan
tidak terfiksasi ke kulit di atasnya.
3. Stadium III : terdapat salah satu dari lima tanda buruk karsinoma payudara lanjut:
Edema kulit yang luasnya terbatas yaitu melibatkan kurang dari sepertiga kulit di atas
payudara, lserasi kulit, fiksasi padat tumor ke dinding dada, keterlibatan masif nodul
limfatik aksila dengan ukuran 2,5 cm atau lebih dalam diameter transversa, fiksasi
nodul limfatik aksila pada kulit di atasnya atau struktur profunda aksila.
4. Stadium IV : semua indikasi lain dari karsinoma payudara lebih lanjut, mencakup:
ombinasi dua atau lebih dari lima tanda buruk stadium C 2. Edema luas kulit yang
melibatkan lebih dari sepertiga kulit di atas payudara, nodulus kulit satelit, jenis
karsinoma peradangan, nodul limfatik supraklavikula terlibat secara klinik, \etastasis
mamma interna perlu dibuktikan oleh tumor parasternalis, edema lengan, metastasis
jauh (Sabiston, 2010).
Selain itu, terdapat klasifikasi Tumor Nodul Metastasis (TNM). Klasifikasi
penyebaran TNM berdasarkan “The American Joint Committee on Cancer Staging & End
Result Reporting”:
1. Tumor primer (T)
TX Tumor primer tidak dapat ditentukan
Tis Karsinoma in situ dan penyakit paget pada papila tanpa teraba tumor
T0 Tidak ada bukti tumor primer
T1 Tumor 5 cm
T4 Tumor dengan penyebaran langsung ke dinding thoraks atau ke kulit dengan
tanda edema, tukak atau peau d’ orange
2. Nodule atau keterlibatan kelenjar getah bening (N)
NX Kelenjar regional tidak dapat ditentukan
N0 Tidak teraba kelenjar axilla
N1 Teraba kelenjar axilla homolateral yang tidak melekat
N2 Teraba kelenjar axilla homolateral yang melekat satu sama lain atau melekat
pada jaringan sekitarnya
N3 Terdapat kelenjar mamaria internal homolateral
3. Metastase jauh (M)
MX Tidak dapat ditentukan metastase jauh
M0 Tidak ada metastasis jauh M1 Terdapat metastasis jauh termasuk ke kelenjar
supraklavikula (De Jong & Sjamsuhidajat, 2005).

Dengan tahapan stadium:


1. Stadium 0 (Tis, N0, M0)
DCIS yang termasuk penyakit paget pada puting payudara dan LCIS.
2. Stadium I (T1, N0, M0)
Karsinoma invasif dengan ukuran 2 cm atau kurang serta kelenjar getah bening
negatif.
3. Stadium IIA (T0, N1, M0), (T1, N1, M0), (T2, N0, M0)
Karsinoma invasif dengan ukuran 2 cm atau kurang disertai dengan metastasis ke
kelenjar getah bening atau karsinoma invasif lebih dari 2 cm tetapi kurang dari 5
cm dengan kelenjar getah bening negatif.
4. Stadium IIB (T2, N1, M0), (T3, N0, M0)
Karsinoma invasif berukuran garis tengah lebih dari 2 cm tetapi kurang dari 5 cm
dengan kelenjar getah bening positif atau karsinoma invasif berukuran lebih dari
5 cm tanpa keterlibatan kelenjar getah bening.
5. Stadium IIIA (T0, N2, M0), (T1 atau T2, N2, M0), (T3, N1 atau N2, M0)

Karsinoma invasif ukuran berapa pun dengan kelenjar getah bening terfiksasi
dengan invasi ekstranodus yang meluas diantara kelenjar getah bening atau
karsinoma berdiameter lebih dari 5 cm dengan metastasis kelenjar getah bening
nonfiksasi.
6. Stadium IIIB (T4, N1 atau N2 dan N3, M0)
Karsinoma inflamasi yang menginvasi dinding dalam, karsinoma yang mengivasi
kulit, karsinoma dengan nodus kulit satelit, atau setiap karsinoma dengan
metastasis ke kelenjar getah bening mamaria interna ipsilateral.
7. Stadium IV (T1–T4, N1–N4, M1)
Metastatis ke tempat jauh (De Jong dan Sjamsuhidajat, 2005).

2.5 Tikus Putih (Rattus novergicus L.)


Klasifikasi tikus putih adalah sebagai berikut :
Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Kelas : Mamalia
Ordo : Rodentia
Famili : Muridae
Genus : Rattus
Spesies : Rattus norvegicus L.
Gambar 2.4 Tikus putih (Rattus norvegicus)
(Sumber: https://dokterternak.wordpress.com).

2.5.1Biologi Tikus Putih


Hewan percobaan ini sering disebut tikus besar di Indonesia. Dibandingkan dengan
tikus liar, tikus putih lebih cepat menjadi dewasa dan lebih mudah berkembang biak. Berat
badan tikus putih lebih ringan dibandingkan berat badan tikus liar. Biasanya pada umur
empat minggu berat tikus putih mencapai 35-40 gram dan berat dewasa rata-rata 200-250
gram. Tabel 2 menyajikan data biologi tikus putih.
Tikus putih yang digunakan untuk percobaan laboratorium yang dikenal ada tiga
macam galur yaitu Sprague Dawley, Long Evans dan Wistar. Tikus galur Sprague-Dawley
dinamakan demikian, karena ditemukan oleh seorang ahli kimia dari Universitas Wisconsin,
Dawley. Dalam penamaan galur ini, dia mengkombinasikan dengan nama pertama dari istri
pertamanya yaitu Sprague dan namanya sendiri menjadi Sprague Dawley. Tikus putih
memiliki beberapa sifat yang menguntungkan sebagai hewan uji penelitian diantaranya
perkembangbiakan cepat, mempunyai ukuran yang lebih besar dari mencit, mudah dipelihara
dalam jumlah yang banyak. Tikus putih juga memiliki ciri-ciri morfologis seperti albino,
kepala kecil, dan ekor yang lebih panjang dibandingkan badannya, pertumbuhannya cepat,
temperamennya baik, kemampuan laktasi tinggi, dan tahan terhadap arsenik tiroksid (Akbar,
2010). Rata-rata ukuran tubuh tikus Sprague Dawley adalah 10,5. Berat badan dewasa adalah
250-300g bagi betina, dan 450-500g untuk jantan. Hidup yang khas adalah 2,5-3,5 tahun.
Keunggulan tikus putih dibandingkan tikus liar antara lain lebih cepat dewasa, tidak
memperlihatkan perkawinan musiman dan umumnya lebih cepat berkembangbiak. Kelebihan
lainnya sebagai hewan laboratorium adalah sangat mudah ditangani dapat tinggal dalam
kandang sendirian asal dapat mendengar suara tikus lain yang berukuran cukup besar
sehingga memudahkan saat pengamatan. Secara umum berat tikus laboratorium lebih ringan
dibandingkan dengan tikus liar. Biasanya pada umur empat minggu beratnya mencapai
beratnya (35-40) gr dan berat rata rata dewasa (200-250) gr namun bervariasi teergantung
dengan galurnya masing masing. Berikut ini data biologis dari tikus putih dapat dilihat dari
tabel berikut ini:

Lama hidup 2-3 tahun, dapat sampai 4 tahun


Lama kehamilan 20-22 hari
Umur dewasa 40-60 hari
Umur dikawinkan 8-10 minggu
Siklus kelamin Poliestrus
Siklus estrus 4-5 hari
Berat dewasa 300-400 gr jantan ; 250-300 gr betina
Pernapasan 65-115/menit turun menjadi 50 dengan
naik sampai 150 dalam keadaan stress
Denyut jantung 330-480/menit
Sel darah merah 7,2-9,6 x 103/mm3
Sel darah putih 5,0-13 x 103/mm3
Konsumsi makanan 15-30 gr/hari (dewasa)
Konsumsi minuman 20-45 l/hari (dewasa)
Tabel 2.1 Data biologis tikus putih
(Sumber: Marbun dan Martina, 2015).

2.6 Hipotesis Penelitian


1. Hipotesis Nihil (Ho): Pemberianekstrak etanol daun buasbuas (Premna pubescens
Blume) tidak memiliki pengaruh terhadap jumlah nodul dan gambaran histopatologi
payudara pada tikus putih (Rattus norvegicus) yang diinduksi DMBA.
2. Hipotesis alternatif (Ha): Pemberian ekstrak etanol daun buasbuas (Premna pubescens
Blume) memiliki pengaruh terhadap jumlah nodul dan gambaran histopatologi payudara
pada tikus putih (Rattus norvegicus) yang diinduksi DMBA.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian


Penelitian akan dimulai pada bulan Desember 2017 sampai Juni 2018. Lokasi
penelitian dilakukan di Laboratorium Biologi untuk peminjaman alat dan bahan penelitian.
Ruang Hewan Laboratorium Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Negeri Medan (UNIMED) untuk pembuatan ekstrak etanol daun bangun-bangun
(Plectranthus ambonicus) dan tempat perlakuan selama penelitian. Laboratorium balai
veteriner Medan untuk melakukan pemeriksaan histopatologi payudara tikus betina (Rattus
norvegicus).

3.2 Populasi dan Sampel


3.2.1 Populasi
Populasi penelitian ini adalah tikus putih (Rattus norvegicus) betina galur Sprague
dawley dari Laboratorium Farmasi Universitas Sumatera Utara.

3.2.2 Sampel
Sampel pada penelitian ini adalah tikus putih (Rattus norvegicus) betina sebanyak 25
ekor yang diperoleh dari Laboratorium Farmasi Universitas Sumatera Utara.

3.3 Metode Penelitian


Jenis penelitian ………… Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan Rancangan
Acak Lengkap (RAL) non faktorial.Jenis penelitian ini adalah penelitian eksperimental.Dari
penelitian sebelumnya, maka penelitian ini melakukan 5 taraf perlakuan dalam penelitian.

K0 : kontrol negative (-) DMBA, hanya diberi pakan standard

K1 : kontrol positif (+) DMBA, diberi pakan standard + DMBA 20 mg/kgBB + minyak
jagung

K2 : DMBA 20 mg/kgBB + EEDBB 150 mg/kgBB

K3 : DMBA 20 mg/kgBB + EEDBB 250 mg/kgBB


K4 : DMBA 20 mg/kgBB + EEDBB 350 mg/kgBB

Jumlah ulangan yang ditentukan sebanyak 5 kali, ditentukan dengan menggunakan


rumus sebagai berikut : (t-1) (n-1) ≥ 15, dimana t (perlakuan) dan n (ulangan). Maka
banyaknya ulangan :

(t-1) (n-1) ≥ 15
(5-1) (n-1) ≥ 15
4 (n-1) ≥ 15
4n ≥ 19
n ≥19/4
n = 4,75 atau 5

3.4 Alat dan Bahan


3.4.1 Alat
Alat yang digunakan dalam penelitian ini dibagi atas 2 kelompok berdasarkan
prosedur kerja yang dilakukan yaitu alat untuk proses aklimatisasi yaitu bak plastik 40x
20x15 cm sebagai kandang pemeliharaan tikus, dodot minum, tempat makan, timbangan,
neraca analitik, kawat kasa. Alat untuk pembuatan ekstrak daun bangu-bangun meliputi
rotary evaporator untuk mengevaporasi ekstrak cair etanol daun bangun-bangun , beaker
glass sebagai wadah ekstrak, erlenmeyer sebagai wadah ekstrak saat pengaduk, alumunium
sebagai penutup ekstrak di erlenmeyer, timbangan neraca analitik untuk mengukur berat
ekstrak, blender sebagai alat untuk menghaluskan daun kering bangun-bangun dan botol
gelap untuk menyimpan hasil ekstraksi, kertas Wheatman untuk melakukan menyaring
ekstrak. Alat dalam penginduksian DMBA meliputi spuit ukuran 1 ml dan sonde lambung.
Alat untuk pemberian ekstrakmeliputi spuit ukuran 1 ml dan sonde lambung. Alat untuk
pengukuran diameter nodul meliputi jangka sorong dengan ketelitian 0.01 mm. Alat untuk
pembuatan dan pemeriksaan histologi meliputi cawan petri, beaker glass, pinset, botol
sampel, glass objek, cover glass, coplin jar (staining jar), mikroskop, oven dan mikrotom, dan
kamera digital.

3.4.2 Bahan
Bahan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah daun bangu-bangun,
daun bangu-bangun yang dipilih adalah daun dudukan ke 5-17, bewarna hijau tua, dan tidak
keriput atau rusak. Hewan uji yang dipakai adalah tikus putih (Rattus norvegicus) betina
sebanyak 25 ekor, etanol 96%, pellet, CMC Na 1%, aquades, sekam, senyawa DMBA dengan
dosis 20 mg/kgBB. Bahan yang digunakan untuk pembuatan preparat histopatologi dengan
meliputi klorofrom, preparat jaringan payudara, formalin sebagai awetan preparat,
hematoksilin dan eosin sebagai pewarna jaringan, alkohol series (70%, 80%, 90%, 95% dan
absolute) sebagai proses dehidrasi, larutan xilol sebagai penghilang parafin, aquades, canada
balsem untuk melekatkan gelas penutup dan gelas objek, albumen Mayer sebagai perekat,
dan paraffin sebagai media jaringan yang disayat.

3.5 Prosedur Penelitian


3.5.1 Persiapan Kandang
Kandang yang dipersiapkan terbuat dari bahan plastik berukuran 40x20x15 cm.
Kandang yang dibutuhkan sebanyak 25 buah. Setiap kandang diisi dengan satu set tempat
makan untuk pakan tikus, dodot minum tikus, dan sekam. Sekan dari kayu yang dijadikan
sebagai alas bagi tikus berfungsi untuk menyerap cairan terutama air seni dan kotoran tikus.
Alas sekam tersebut diganti setiap hari saat peneliti memberikan makan dan minum pada
tikus. Pada bagian atas kandang tikus ditutup dengan kawat untuk mengatasi agar tikus tidak
keluar dari kandangnya.

3.5.2 Pengadaan TikusPutih (Rattus norvegicus)


Dalam penelitian ini tikus yang digunakan berupa tikus Sprague Dawley yang
didapatkan dari Laboratorium Farmasi USU. Jumlah tikus yang menjadi sampel adalah 25
ekor tikus betina Sprague Dawley. Tikus yang digunakan adalah tikus betina dengan berat
badan 200 gram.

3.5.3 Aklimatisasi Tikus Putih (Rattus norvegicus)


Penyiapan hewan uji yaitu tikus putih (Rattus norvegicus L.) sebanyak 25 ekor
diaklimatisasi selama 1 minggu di rumah hewan FMIPA UNIMED. Tikus putih betina
dikelompokkan sebanyak 5 kelompok, dimana setiap kelompok terdapat 5 ekor tikus putih
betina. Tikus diberi pakan berupa pelet maupun jagung giling dan diberi air minum, dan
penggantian sekam dilakukan sebanyak 1 kali sehari. Sekam yang digunakan adalah serbuk
kayu kandang yang digunakan sebanyak 5 kandang yang terbuat dari plastik. Penggantian
sekam dimaksudkan agar dapat menjaga kesehatan dan kebersihan tersebut sehingga
terhindar dari amonia yang mengganggu sistem pernafasan tikus tersebut. Setiap kandang
berdasarkan perlakuan yang diberikan pada masing masing tikus tersebut. Dan penutup
atasnya dibuat dari kawat kasa untuk mencegah terjadinya keluarnya tikus dari kandang
tersebut.

3.5.4Prosedur Pembuatan Ekstrak Etanol Daun Bangun-bangun (EEDBB)


Bangun-bangun (plectranthus ambonicus ) yang digunakan dalam penelitian ini yaitu daun
bangun-bangun. Ekstraksi dilakukan dengan menggunakan metode maserasi dengan pelarut
etanol 96%. Berikut ini prosedur pembuatan EEBBB:
Mengumpulkan daun bangun-bangun (plecktrathus ambonicus) yang didapat dari
desa Hutanagodang kecamatan Muara kabupaten Tapanuli Utara.. Daun-daun tersebut
kemudian dicuci sampai bersih, kemudian dikering-anginkan 24 jam. Lalu daun bangun-
bangun dikeringkan di dalam suhu ruangan selama seminggu sampai daun menjadi kering
dan rapuh. Pengeringan bertujuan untuk mengurangi kandungan air dalam tanaman sehingga
kandungan bahan aktif dapat terjaga dari kerusakan oleh hidrolisis air, untuk mencegah
tumbuhnya jamur, bakteri, dan menghentikan kerja enzim yang menyebabkan perubahan
komposisi kimiawi tanaman tersebut.
Daun bangun-bangun yang telah kering akan diblender sampai halus. Hasil dari
serbuk daun bangun-bangun ditimbang dan disimpan selama beberapa hari sebelum
diekstrak. Simplisia disimpan di dalam wadah yang bersih dan gelap sehingga simplisia tidak
terkontaminasi.Setelah itu, simplisia tersebut di ekstrak dengan menggunakan metode
maserasi. Maserasi dilakukan dengan cara memasukkan 100 gram simplisia dengan
melarutkan etanol 96% sebanyak 1 liter. Simplisia direndam dengan etanol 96% selama 5
hari dan ditutup agar terlindung dari cahaya sambil diaduk sekali-kali setiap hari. Kemudian
rendaman ekstrak diperas dengan menggunkan kertas Wheatman dan ampasnya diremaserasi
kembali dengan etanol. Penyairan diakhiri setelah pelarut tidak berwarna lagi, lalu
dipindahkan ke dalam bejana tertutup, dibiarkan pada tempat yang tidak bercahaya, lalu hasil
ekstrak air tersebut diuapkan dengan rotary evaporator sampai berbentuk pasta (Hermawan
dan Laksono, 2012)

Daun Plectranthus ambonicus (6 kg) dikering-anginkan pada suhu


kamar
Daun yang telah kering (3 kg) diblender menjadi simplisia

Simplisia 100 mg dilarutkan dalam 1 liter etanol 96% (1:10) selama 5 hari

Ekstrak etanol daun bangunbangun disaring dengan kertas


Whetmann

Ekstrak air dari etanol tersebut Sisa ampas ekstrak diremaserasi


ditampung dalam toples kaca dengan etanol 96%

Hasil maserasi dihomogenkan, lalu diuapkan EEDBB 25 gr berbentuk pasta.

Gambar 3.1 Skema Pembuatan EEDBB

3.5.5 Penentuan Dosis DMBA


Penentuan dosis DMBA pada penelitian mengacu pada penelitian oleh Wongso dan
Iswahyudi (2013) menyatakan bahwa pemberian DMBA yang paling cepat dapat
menyebabkan kanker pada tikus adalah 20 mg/kgBB. Dalam penelitian Meiyanto dkk.,
(2007), menyatakan bahwa senyawa DMBA yang diinduksikan pada hewan model tikus
betina melalui per oral menunjukkan insidensi kanker mammae yang mencapai 100% hanya
pada minggu ke-12. Berdasarkan penelitian Nurani dkk., (2015), pemberian dosis DMBA 20
mg/kgBB 2x1 mengakibatkan timbulnya nodul pada kelenjar payudara tikus.
Dalam penelitian ini dosis DMBA yang diberikan adalah 20 mg/kgBB. Jika
dimisalkan berat badan tikus dewasa adalah 200 gr per ekornya sehingga total berat badan
tikus untuk seluruhnya (untuk 20 ekor) adalah 4000 gr atau 4 kg, maka jumlah DMBA yang
diperlukan adalah sebanyak 20 x 4/4 kg = 80 mg atau setara dengan 0,08 gr DMBA,
selanjutnya DMBA sejumlah 0,08 gr dilarutkan dalam minyak jagung. DMBA diberikan
dengan konsentrasi 2%, maka volume minyak jagung yang ditambahkan untuk melarutkan
DMBA sebanyak 0,08 gr untuk bobot badan tikus 4000 gr ditentukan dengan menggunakan
rumus berikut (Asiimwe dkk., 2014 dan Marizsa, 2015):
dosis DMBA ( gr ) x BB( gr ) 100
ml Minyak jagung= x
1000 konsentrasi DMBA
0,02 x 4000 100
x =4 ml
1000 2

Serbuk DMBA sebanyak 0,08 gr yang telah dilarutkan di dalam 4 ml minyak jagung
dan selanjutnya dicekok oral kepada tikus yang ingin dijadikan hewan uji yang mengalami
kanker payudara. Volume larutan yang diberikan disesuaikan dengan berat badan masing-
masing tikus dengan menggunakan rumus diatas.

3.5.6 Pemberian DMBA


DMBA diberikan secara oral sebanyak 20 mg/kgBB. Pencekokan DMBA dilakukan
2x1 minggu selama 4 minggu. DMBA dilarutkan dengan minyak jagung sampai homogen,
lalu diberikan secara oral pada 20 ekor tikus putih betina.

3.5.7 Penentuan Dosis dan Pemberian EEDBB


Penentuan dosis EEDBB mengacu pada penelitian Marbun dan Martina, (2015)
mengenai pengaruh ekstrak etanol daun buasbuas (Premna pubescens) sebagai antiinflamasi
pada edema kaki tikus yang menggunakan varian dosis 100 mg/kgBB, 200 mg/kgBB, dan
300 mg/kgBB, dimana ketiga dosis tersebut dapat menekan inflamasi pada edema kaki tikus,
dan dosis paling efektif untuk menekan inflamasi pada edema kaki tikus adalah dosis 300
mg/kgBB. Oleh karena itu, dosis EEDBB yang digunakan mengacu penelitian terdahulu
yang divariasikan mendekati dosis pada penelitian tersebut, yakni 150 mg/kgBB, 250
mg/kgBB, dan 350 mg/kgBB.
Tikus yang akan diberikan perlakuan EEDBB berjumlah 15 ekor, dengan tiga variasi
dosis. Masing-masing perlakuan menggunakan 5 ekor tikus sebesar 200 (0,2 kg), maka untuk
perlakuan pemberian EEDBB dosis 150 mg/kgBB (0,15 gr dalam 1 kg BB), diperlukan
ekstrak sebanyak 150 x 0,2/0,2 kg = 30 mg atau 0,03 gr. EEDBB diberikan dengan
konsentrasi 3%, maka volume larutan CMC yang ditambahkan dalam 0,03 gr adalah sebagai
berikut:
dosis EEDBB ( gr ) x BB(gr ) 100
ml larutan Aquades= x
1000 konsentrasi dosis

maka volume larutan CMC yang ditambahkan kedalam EEDBB 0,03 gr dengan berat
badan (BB) 200 gr dan konsentrasi
0,15 x 200 100
x =0,2 ml
1000 15

Selanjutnya campurkan dan aduk EEDBB dengan CMC untuk diberikan kepada
tikus dengan menggunakan oral sonde. Dosis 250 mg/kgBB dan 350 mg/kgBB dihitung
dengan rumus diatas. Pencekokan ekstrak etanol daun buasbuas diberikan secara oral pada
hari ke-2 setelah pemberian DMBAsekali setiap hari selama 4 minggu. EEDBB diberikan
kepada tikus dengan dilarutkan pada CMC 1%. CMC adalah turunan dari selulosa yang
sering dipakai dalam industri pangan dan digunakan dalam bahan makanan untuk mencegah
terjadinya retrogrodasi. Carboxymethyl Cellulose atau CMC berfungsi sebagai pengetal,
penstabil emulsi atau suspensi dan bahan pengikat. Berikut cara pembuatan CMC 1%: (1)
Menimbang bubuk CMC sebanyak 0,5 gr kemudian memasukkannya ke dalam beaker glass;
(2) Menambahkan akuades ke dalam beaker glass yang berisi 0,5 gr CMC hingga volume
larutan mencapai 50 ml. Kemudian memanaskan larutan sampai serbuk CMC larut di dalam
aquades; (3) Setelah itu mendinginkan larutan CMC 1% terlebih dahulu sebelum digunakan
(Marizsa, 2015).

3.5.8 Pemeriksaan Gambaran Histopatologi Payudara


Pembuatan preparat histologi melalui beberapa tahap diantaranya: Persiapan
jaringan payudara yang terkena kanker, kemudian potong jaringan sekitar 1x1 cm untuk
memudahkan fiksasi, sehingga cairan fiksasi dapat menyerap sampai ke seluruh jaringan.
Tahap fikastif, rendam jaringan yang sudah dipersiapkan tadi ke dalam cairan Formalin 10%
selama 24 jam. Setelah itu, dilakukan proses dehidrasi dengan memasukkan jaringan ke
dalam larutan alkohol bertingkat (alkohol 70%, 80%, 90%, 95%, alkohol absolut I dan
alkohol absolut II) masing-masing selama 2 jam. Selanjutnya adalah clearing ke dalam xilol
I, xilol II dan xilol III, masing - masing selama 30 menit dan tahap infiltring yaitu ke dalam
parafin cair I dan II dengan suhu 56°C masing -masing selama 30 menit.
Tahap selanjutnya, embedding yaitu mencetak jaringan dalam parafin cair,
kemudian memotong dengan mikrotom dengan ketebalan potongan 3-5 mµ. Yang terakhir
adalah mounting, yaitu penempelan jaringan pada kaca objek yang telah diulas dengan
larutan albumin. Sebelum masuk ke tahap pewarnaan (staining), jaringan disimpan dalam
inkubator bersuhu 58C selama 2 jam.
Prosedur pewarnaan HE adalah sebagai berikut: jaringan dicelupkan ke dalam
larutan xylol I dan xylol II masing-masing selama 2 menit, alkohol absolut selama 2 menit,
alkohol 95% dan 80% masing-masing selama 1 menit, kemudian dicuci dalam air keran
selama 1 menit, dilanjutkan dengan memasukkan sediaan ke dalam larutan pewarna Mayer’s
Hematoksilin selama 8 menit, dicuci kembali dengan air keran selama 30 detik. Setelah itu
sediaan dimasukkan ke dalam larutan lithium karbonat selama 15-30 detik dan kembali dicuci
dengan air keran selama 2-3 menit, selanjutnya diwarnai dengan pewarna eosin selama 2
menit, dicuci dalam air keran selama 30-60 detik.
Tahap selanjutnya adalah mencelup sediaan ke dalam larutan alkohol 95% sebanyak
10 kali celupan, alkohol absolut I sebanyak 10 kali celupan, alkohol absolut II selama 2
menit, xylol I selama 1 menit, dan xylol II selama 2 menit. Setelah itu sediaan dikeringkan
dan diberi perekat Permount, lalu ditutup dengan kaca penutup dan disimpan selama
beberapa menit sampai zat perekat mengering dan siap diamati dengan mikroskop
(Tampubolon, 2014).

3.6 Pengamatan Parameter


3.6.1 Pengukuran Berat Badan
Berat badan tikus ditimbang dengan menggunakan neraca analitik dengan tingkat
ketelitian 0,1 gram. Tikus ditimbang dengan cara mengambil tikus dan memasukkannya ke
dalam kotak timbangan yang terlebih dahulu sudah dikalibrasi. Berat badan tikus yang
ditimbang setiap hari sampai akhir penelitian.

3.6.2Perhitungan Jumlah Nodul pada Payudara Tikus


Pemeriksaan secara fisik perlu dilakukan sebagai indikator terjadinya kanker
payudara pada tikus. Palpasi dilakukan setelah pemberian DMBA untuk melihat keadaan
tumor pada mammae tikus. Palpasi dilakukan dengan meraba payudara tikus pada setiap
kelompok, lalu nodul yang teraba akan dihitung jumlahnya dan diberi tanda.Identifikasi harus
dilakukan dengan hati-hati untuk membedakan tumor dengan tonjolan tertentu yang memang
merupakan bentuk alami morfologi tubuh tikus.Perabaan dikerjakan dengan memakai sarung
tangan karet untuk menjaga keselamatan peneliti.Insidensi tumor dihitung dari jumlah tikus
yang terkena tumor pada setiap kelompok.Potensi penghambatan dihitung dari selisih jumlah
tikus yang terkena tumor antara perlakuan ekstrak dan perlakuan DMBA dibagi jumlah tikus
yang terkena tumor pada perlakuan DMBA kali 100 %.Jumlah nodul pada payudara tikus
dihitung setelah pemberian EEDBB, sebelum tikus akan dibedah. Tumor multiplicity
dihitung dari rata-rata jumlah nodul tumor setiap tikus dalam satu kelompok, selanjutnya
keberbedaan antar kelompok dianalisis menggunakan statisticnon parametrik Kruskal Wallis
dilanjutkan Mann-Whitney test dengan taraf kepercayaan 95 % (Meiyanto dkk., 2007).

3.6.3 Pengukuran Diameter Jaringan Kanker Payudara


Untuk mengukur diameter histopatologi dapat dilakukan dengan memilih secara acak
jaringan, kemudian mengukur bagian jaringan terluas pada organ yang terkena kanker dengan
menggunakan aplikasi yang telah terintegrasi (aplikasi yang digunakan adalah axiovision
Rel.4.8 untuk melihat sayatan preparat di bawah mikroskop) dengan perbesaran 40x.
Mikroskop yang digunakan untuk pengukuran diameter adalah mikroskop cahaya (Microscop
Zeiss Axio Lab A1).

3.7 Variabel Penelitian


Yang menjadi variabel dalam penelitian ini adalah :
Variabel bebas (X) : Ekstraketanol daun bangun-bangun (Plectranthus ambonicus).
Variabel Terikat (Y) : Jumlah nodul, berat badan tikus, diameter jaringan kanker payudara,
dan keadaan gambaran histopatologi payudara pada tikus putih (Rattus norvegicus) betina
yang diinduksi DMBA.

3.8 Teknik Analisis Data


Uji analisis statistik yang digunakan untuk menganalisis data dengan skala
pengukuran numerik 2 kelompok tidak berpasangan adalah One Way Anova apabila data
homogen dan memiliki distribusi yang normal. Apabila data tidak homogen atau tidak
memiliki distribusi data yang normal, maka dilakukan uji Kruskal-Wallis yang dilanjutkan
dengan uji post-hoc Mann-Whitney.Uji statistik Kruskal-Wallis dilakukan untuk melihat
apakah tiap-tiap kelompok memiliki perbedaan nilai rata-rata yangbermakna.Perbedaan nilai
rata-rata tiap kelompok ini dikatakan bermakna apabila nilai p <0,050.Uji Mann-Whitney
dilakukan untuk melihat besarperbedaan nilai antar tiap-tiap kelompok untuk mengetahui
kelompokmanakah yang memiliki pengaruh paling besar terhadap kelompok control.
3.9 Skema Penelitian

K0 K1 K2 K3 K4
kontrol - kontrol + Perlakuan 1 Perlakuan 2 Perlakuan 3

Aklimatisasi selama 1 minggu

Diberi pakan Diberi DMBA Diberi DMBA Diberi DMBA Diberi DMBA
dan aquades 20 mg/kg BB 20 mg/kg BB 20 mg/kg BB 20 mg/kg BB

K1, K2, K3, K4diberikan DMBA dilakukan 2 x 1 minggu selama 4 minggu

Palpasi dilakukan hari ke-2 setelah pemberian DMBA setiap 2x1 minggu setelah pemberian DMBA

Diberi pakan Diberi pakan DiberiEEDBB Diberi EEDBB Diberi EEDBB


dan aquades dan aquades 150 mg/kgBB 250 mg/kgBB 350 mg/kgBB

Perhitungan jumlah nodul pada payudara tikus, lalu pengukuran diameter nodul pada payudara tikus
yang terkena tumor

Pembuatan preparat histopatologi payudara, selanjutnya melakukan analisis data

Gambar 3.2 Diagram Alur Penelitian.

Anda mungkin juga menyukai