Anda di halaman 1dari 4

SAATNYA HERBAL MENJADI PENGOBATAN UTAMA PADA KANKER

Bicara tentang kanker memang tidak pernah ada habisnya. Penyakit


mematikan yang satu ini sepertinya mampu memberikan dua perspektif yang
berbeda pada dua kalangan yang berbeda pula. Bagi praktisi kesehatan dan
para peneliti biomedis maupun biomolekuler, penyakit ini bak teka-teki super
menantang yang “memikat” hati dan pikiran untuk segera mencarikan
penyelesaiannya. Sebaliknya, bagi masyarakat umum kanker ibarat hantu
paling menyeramkan yang tidak akan pernah bisa disangka akan “hinggap”
kapan di tubuh bagian mana. Kanker bisa menyerang siapa saja tanpa
pandang bulu dari usia muda bahkan bayi, usia kanak-kanak, remaja, dewasa
hingga tua. Ditambah dengan bukti-bukti data bahwa pengidapnya memiliki
peluang untuk sembuh kira-kira hanya di bawah 30 persen, maka lengkaplah
sudah “momok” kanker ini untuk menjadi penyakit paling menakutkan di
dunia.
Di dunia penyakit ini menduduki peringkat kedua sebagai penyumbang
kematian. Sedangkan di Indonesia berada pada peringkat ketiga. Tidak
mengherankan, apabila penelitian antikanker telah mulai dilakukan dan akan
terus dilakukan. Berdasarkan data Centerwatch tahun 2003, di Amerika
tempat dimana bermacam-macam terapi yang diharapkan mampu membasmi
kanker hingga ke akar-akarnya saja masih kelimpungan dengan fakta yang
menunjukkan bahwa terdapat 171.900 orang penderita baru tiap tahunnya
dan sebanyak 157.200 dari jumlah tersebut ternyata berakhir dengan
kematian. Sungguh jumlah yang fantastis sekaligus tragis. Bila negara maju
saja dibuat bingung oleh penyakit ini, tentu sudah bisa ditebak bagaimana
dengan negara-negara lain yang statusnya masih “berkembang” atau bahkan
terbelakang, yang penelitian tentang penyakit ini pasti jauh dari status
“berkembang pesat dan signifikan”.
Pengobatan penyakit kanker selama ini menggunakan metode
pembedahan, radioterapi dan kemoterapi. Alat radioterapi sendiri di Indonesia
hanya ada sekitar 28 unit. Sangat jauh dari kondisi idealnya yaitu 1 alat
untuk 1 juta penduduk, dengan jumlah penduduk Indonesia yang hampir 250
juta jiwa, setidaknya kita membutuhkan 250 alat radioterapi. Harga 1 alat
radioterapi sekitar Rp 15 Milyar, cukup mahal. Penyebarannya pun tidak
merata ada di semua pulau di Indonesia. Terbanyak berada di Pulau Jawa dan
Sumatera. Menurut Kepala Departemen Onkologi Radiologi Rumah Sakit Dr.
Cipto Mangunkusumo (RSCM), Jakarta, dr. Soehartati Gondhowiardjo, MD,
PhD dikutip dari detik Health (2014) menyatakan waiting list pasien yang akan
menggunakan alat radioterapi saat ini sangat panjang. Surabaya sekitar 6
bulan, di Yogyakarta 6 bulan, dan di Jakarta sekitar 1 bulan. Padahal, pasien
tersebut butuh penanganan sesegera mungkin. Menurut daftar harga
kemoterapi dari Rumah Sakit Dharmais, Jakarta tahun 2012, biaya
kemoterapi termurah per sesinya sekitar 3 juta rupiah tergantung kelas
kamar, tingkat keparahan serta jenis kemoterapi kankernya. Satu bulan
biasanya lebih dari 2 sesi kemoterapi. Pembedahan lain lagi biayanya dan hal
ini juga dapat dilakukan untuk mengobati kanker. Namun biasanya
pembedahan dilakukan paralel dengan radioterapi atau kemoterapi.
Pengobatan kanker secara medis memerlukan biaya yang sangat tinggi. Selain
melalui bedah dan radiasi, pengobatan kanker sangat mengandalkan
kemoterapi. Kemoterapi yang menggunakan obat-obatan kimia masih banyak
menghadapi masalah diantaranya belum efektifnya obat-obatan ini dalam
memerangi sel kanker dan belum lagi derita efek samping yang harus dialami
oleh pasien. Hal ini disebabkan karena pengobatan kemoterapi hingga saat ini
belum bisa spesifik bekerja hanya membasmi sel kanker saja, akan tetapi
menyerang semua sel termasuk juga sel sehat, sehingga pasien mengalami
penurunan daya imunitas tubuh secara drastis, letih, lemas, lesu, kerontokan
rambut, mual, muntah, disfungsi organ dan malnutrisi akibat hilangnya nafsu
makan. Terapi kanker selama ini jelas belum bisa memberikan hasil seperti
yang diharapkan.
Banyaknya kendala pengobatan kanker secara kemoterapi dan radiasi
dengan obat-obatan kimia maupun pembedahan tersebut menjadikan para
ahli mulai melirik potensi herbal sebagai antikanker karena minim efek
samping yang ada. Beberapa tanaman obat yang mulai diteliti kelompok
tanaman genus Taxus. Sejak tahun 1990-an, kelompok tanaman ini menjadi
daya tarik tersendiri bagi peneliti. Diyakini bahwa semua bagian tanaman ini,
baik daun, cabang, ranting maupun akarnya merupakan sumber Taxane atau
paclitaxel yang dapat diekstraksi sebagai obat yang sangat mujarab untuk
kemoterapi berbagai jenis kanker. Seiring dengan berkembangnya penelitian,
paclitaxel menjadi obat anti kanker paling poluler dan paling dicari di dunia
karena efek samping yang kecil, efektif dan efisien dalam membunuh sel
kanker. Paclitaxel ini kemudian dipasarkan dengan nama dagang Taxol® dan
hak pemasaran dipegang oleh Bristol-Myers Squibb (BMS) mulai tahun 1991.
Taxol® tersebut hanya dihasilkan dari genus Taxus, termasuk Taxus
sumatrana. Dr. Asep Hidayat, S.Hut., M.Agr, seorang peneliti Badan Litbang
Kehutanan mengungkapkan bahwa kulit batang T. sumatrana yang diambil
dari Gunung Kerinci, Jambi-Sumatera mengadung 10-deacetylbaccatin III dan
baccatin III. Kedua senyawa tersebut memperlihatkkan aktivitas biologi dalam
melawan sel kanker. Senyawa 10-deacetylbaccatin III dan baccatin III
memperlihatkan aktivitas antitumor dan antikanker baik secara in vitro
maupun in vivo. Kedua senyawa tersebut bisa diubah menjadi paclitaxel
melalui prosedur empat langkah yang ditemukan oleh Robert A. Holton,
seorang peneliti post doctoral di Universitas Stanford pada bidang produk
sintesis alami. Dia mampu mengubah senyawa bahan aktif antikanker yang
tidak lengkap pada berbagai jenis Taxus menjadi paclitaxel (Taxol ®) yang
dapat melawan kanker. Sejak saat itu, paclitaxel (Taxol ®) mulai menjadi obat
populer bagi para dokter dalam menangani pasien kanker, seperti payudara,
ovarium serta paru-paru. Permintaan akan zak aktif antikanker inipun terus
meningkat dan akan tetap tinggi. Fenomena tersebut akan mengancam
keberadaan genus Taxus karena adanya kegiatan eksploitasi yang berlebihan.
Selain itu, untuk mengobati pasien kanker membutuhkan 2–2.5 g Taxol® atau
setara dengan sekitar 6–8 pohon Taxus dengan asumsi rendemennya sekitar
0.01 %. Di Indonesia genus Taxus berkembang adalah T.sumatrana. Jenis ini
ditemukan di daerah Sumatera, seperti Gunung Kerinci (Jambi), Kawasan
Hutan Lindung Dolok Sibuaton (Sumatera Utara) dan Gunung Dempo
(Sumatra Selatan). Walaupun belum dikaji secara mendalam kandungan zat
aktif antikanker dalam Taxus ini dan belum dieksploitasi secara besar-besaran
seperti di belahan bumi bagian utara, namun keberadaannya tidak berbeda
jauh dengan genus Taxus lainnya di bagian utara atau hampir punah. Hal ini
sangat disayangkan tentunya karena mengingat T.sumatrana ini merupakan
jenis lokal tanaman di Indonesia dengan ciri khas warna merahnya yang
mempunyai nilai ekonomi tinggi karena kandungan senyawa antikanker.
Tanaman lain yang juga memiliki efek antikanker adalah tapak dara
(Catharanthus roseus), umumnya dikenal dengan tapakdara Madagaskar,
merupakan spesies asli dan endemik Madagaskar. Namun sudah banyak
tersebar diseluruh dunia. Tanaman ini juga dikenal dengan nama Ammocallis
rosea, Vinca rosea, Lochnera rosea, Cape periwinkle dan rose periwinkle. Di
Indonesia dikenal dengan nama tapak dara. Simplisia yang dipakai adalah
Catharanthii Folium. Komponen antitumor/kanker yang dikandungnya yaitu
alkaloid seperti vinblastine (VLB), vincristine (VCR), leurosine (LR),
vincadioline, leurodisine dan catharanthine. Alkoloid ini akan membuat sel
kanker dalam tubuh terus melemah karena mau tidak mau ia akan menyerap
vinblastine dan vincristine hingga akhirnya mati sendiri. Vincristine digunakan
sebagai terapi pada Leukemia Limfositik Akut (LLA), berbagai jenis limfoma,
neuroblastoma dan rhabdomyosarcoma. Vincristine merupakan alkaloid yang
berfungsi sebagai agen antineoplastik dari vinca. Alkaloid vinca menjadi sangat
berguna pada penggunaan klinis sejak ditemukan khasiatnya sebagai
antitumor pada tahun 1959. Awalnya ekstrak tanaman tapak dara diteliti
karena aktifitasnya sebagai agen hipoglikemik untuk pengobatan Diabetes
Mellitus. Tetapi ternyata memiliki efek supresi sumsum tulang pada tikus dan
memiliki efek antileukemik secara in vitro. Vincristine berikatan dengan
protein mikrotubular pada spindel mitosis, menyebabkan kristalisasi pada
mikrotubulus dan mitosis berhenti sehingga sel mati. Vincristine memiliki efek
immunosuppressan. Alkaloid vinca diperkirakan berperan pada fase
pembelahan sel yang spesifik. Aktifitas antitumor pada vincritine melalui
penghambatan fase metafase mitosis, melalui interaksinya dengan tubulin.
Tanaman antikanker terbaru yang sedang marak menjadi viral dan
perbincangan dunia saat ini adalah bajakah. Tanaman ini ditemukan oleh 2
orang siswi di Palangkaraya Kalimantan tengah. Mereka telah menerima
medali emas atas karya ilmiahnya dalam kompetisi Life Science World
Invention Creativity Olympic (WICO) di Seoul, Korea Selatan pada 25 Juli 2019
lalu. Hasil uji laboratorium menyebutkan bajakah memiliki kandungan anti-
oksidan yang berjumlah ribuan kali lipat dari tumbuhan lain.
Penemuan tanaman-tanaman obat di atas adalah beberapa contoh dari
tanaman yang memiliki efektifitas sebagai anti kanker. Mungkin saja masih
banyak lagi tanaman-tanaman lain yang juga memiliki potensi sebagai anti
kanker hanya saja belum diteliti atau belum ditindaklanjuti bahkan mungkin
ada yang terkesan ditutup-tutupi. Padahal jika kita mampu untuk membuka
diri akan kekayaan alam dan potensi sumber daya alam di Negara tercinta kita
Indonesia ini, bukan tidak mungkin akan ditemukan obat-obat anti kanker
terbaru dan Indonesia akan menjadi Negara yang disegani di kancah dunia
karena penemuan-penemuan spektakuler tersebut. Sayangnya kesombongan
intelektual menjadi batu sandungan terbesar pada pengembangan ilmu
pengetahuan di Indonesia bahkan juga di dunia. Salah satu contohnya adalah
dengan adanya keraguan akan khasiat dari tanaman herbal sebagai anti
kanker, padahal jelas-jelas beberapa tanaman herbal setelah diteliti bisa
menjadi solusi pengobatan kanker terbaik tanpa efek samping yang menyiksa
pasien jika dibandingkan dengan kemoterapi obat kimia. Perlunya kerja sama
dan dukungan dari berbagai pihak terkait seperti kedokteran, farmasi dan
pemerintah setempat menjadi faktor penting dan penentu dalam hal
pengembangan potensi obat herbal di Indonesia. Sudah saatnya semua pihak
terkait berbenah, saling mendukung dan bahu-membahu dalam hal ini, bukan
malah mendiamkan dan menolak penemuan-penemuan terbaru bahkan jika
harus mematahkan paradigma pengobatan standar dunia kedokteran selama
puluhan tahun, dimana kanker tidak bisa disembuhkan dengan herbal.
Sinergisitas dan kerjasama yang baik dari semua pihak adalah faktor utama
agar tanaman obat herbal yang selama ini dipandang sebelah mata dan hanya
digunakan terbatas secara empiris bisa digunakan sebagai pengobatan utama
menggantikan obat-obatan kemoterapi kimiawi, mengingat potensi yang
dimiliki Indonesia sebagai Negara yang dijuluki Mega Biodiversity karena
kekayaan alam yang dimilikinya. Kini saatnya kita merujuk ke 3 I, Ilahiah,
Alamiah, Ilmiah.

Anda mungkin juga menyukai