Anda di halaman 1dari 27

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Rubella - yang sering dikenal dengan istilah campak Jerman atau campak 3
hari - adalah sebuah infeksi yang menyerang, terutama, kulit dan kelenjar getah
bening. Penyakit ini disebabkan oleh virus rubella (virus yang berbeda dari virus
yang menyebabkan penyakit campak), yang biasanya ditularkan melalui cairan
yang keluar dari hidung atau tenggorokan. Penyakit ini juga dapat ditularkan
melalui aliran darah seorang wanita yang sedang hamil kepada janin yang
dikandungnya. Karena penyakit ini tergolong penyakit ringan pada anak-anak,
bahaya medis yang utama dari penyakit ini adalah infeksi pada wanita hamil, yang
dapat menyebabkan sindrom cacat bawaan pada janin tersebut. Sebelum vaksin
untuk melawan Rubella tersedia pada tahun 1969, epidemi rubella terjadi setiap 6
s.d. 9 tahun. Anak-anak dengan usia 5 - 9 menjadi korban utama dan muncul
banyak kasus rubella bawaan. Sekarang, dengan adanya program imunisasi pada
anak-anak dan remaja usia dini, hanya muncul sedikit kasus rubella bawaan.

Nama rubella berasal dari bahasa Latin, yang berarti "sedikit merah."
Rubella awalnya dianggap sebagai varian dari campak atau demam scarlet dan
disebut "penyakit ketiga". Pada tahun 1814, rubella pertama kali digambarkan
sebagai penyakit yang terpisah dalam literatur medis Jerman, maka nama rubella
dinamai juga "campak Jerman". Pada tahun 1914, Hess menemukan penyebab
rubella adalah virus berdasarkan penelitian dengan percobaan monyet. Hiro dan
Tosakapada tahun 1938 juga menegaskan penyakit ini berasal dari virus.

Setelah epidemi meluas infeksi rubella pada 1940, Norman Gregg, dokter
mata Australia, melaporkan pada tahun 1941 terjadinya katarak kongenital antara
78 bayi yang lahir setelah ibu terinfeksi rubella pada awal kehamilan. Ini adalah
pengakuan pertama kali adanya sindrom rubella bawaan atau Congenital Rubella
2

Syndrome (CRS). Virus rubella pertama diisolasi pada tahun 1962 oleh Parkman
dan Weller. Vaksin rubella pertama dilisensikan pada tahun 1969.

1.2 Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan referat ini adalah untuk mengetahui definisi, patofisiologi,


gejala klinis, diagnosis, diagnosis banding, pemeriksaan penunjang, komplikasi
dan terapi dari Rubella.

1.3 Manfaat

Manfaat dari pembahasan referat ini adalah agar penulis maupun pembaca
mengetahui dan memahami tentang penyakit Rubella sehingga dapat
menambah wawasan penulis dan pembaca.
3

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Pengertian

Rubella adalah virus saluran nafas. Rubella (berarti ‘merah kecil’)


pertama kali dibedakan dari campak oleh seorang dokter jerman, dan
disebut juga german measles. Virus ini menimbulkan gejala demam akut
yang ditandai oleh ruam kulit dan limfadenopati auricular posterior dan
suboccipital yang menyerang anak-anak dan dewasa muda. Ini merupakan
eksanthema viral umum yang paling ringan. Tetapi, infeksi selama awal
kehamilan menyebabkan abnormalitas serius pada janin, termasuk
malformasi kongenital dan retardasi mental. Akibat rubella dalam rahim
berkenan dengan sindroma rubella kongenital. Penyakit ini disebabkan
oleh suatu virus RNA dari golongan Togavirus. (CDC,2015)
Infeksi virus rubella merupakan penyakit ringan pada anak dan
dewasa, tetapi apabila terjadi pada ibu yang sedang mengandung virus ini
dapat menembus dinding plasenta dan langsung menyerang janin. Rubella
atau dikenal juga dengan nama campak jerman adalah penyakit menular
yang disebabkan oleh virus rubella. Virus biasanya menginfeksi tubuh
melalui pernafasan seperti hidung dan tenggorokan. Anak-anak biasanya
lebih cepat sembuh dibandingkan orang dewasa.

II.2 Etiologi

Penyebab Rubella adalah virus rubella. Struktur virus rubella


diasingkan pertamakali pada tahun 1962 oleh Parkman dan Weller. 2
Rubella merupakan virus RNA yang termasuk dalam genus Rubivirus,
famili Togaviridae, dengan jenis antigen tunggal yang tidak dapat
bereaksi silang dengan sejumlah grup Togavirus lainnya. Virus rubella
memiliki 3 protein struktural utama yaitu 2 glycoprotein envelope, E1 dan
4

E2 dan 1 protein nukleokapsid. Secara morfologi, virus rubella berbentuk


bulat (sferis) dengan diameter 60–70 mm dan memiliki inti (core)
nukleoprotein padat, dikelilingi oleh dua lapis lipid yang mengandung
glycoprotein E1 dan E2. Virus rubella dapat dihancurkan oleh proteinase,
pelarut lemak, formalin, sinar ultraviolet, PH rendah, panas dan
amantadine tetapi nisbi (relatif) rentan terhadap pembekuan, pencairan
atau sonikasi. Virus Rubella(VR) terdiri atas dua subunit struktur besar,
satu berkaitan dengan envelope virus dan yang lainnya berkaitan dengan
nucleoprotein core. (Kadek, 2007)

Gambar 1. Virus Rubella terdiri dari lapisan glycoprotein, lemak dan inti
dengan RNA
Meskipun Virus rubella dapat dibiakkan dalam berbagai biakan
(kultur) sel, infeksi virus ini secara rutin didiagnosis melalui metode
serologis yang cepat dan praktis. Berbagai jenis jaringan, khususnya
ginjal kera paling baik digunakan untuk mengasingkan virus, karena dapat
menghasilkan paras (level) virus yang lebih tinggi dan secara umum lebih
baik untuk menghasilkan antigen. Pertumbuhan virus tidak dapat
dilakukan pada telur, tikus dan kelinci dewasa.6,7 Antigenicity Virus
rubella memiliki sebuah hemaglutinin yang berkaitan dengan
pembungkus virus dan dapat bereaksi dengan sel darah merah anak ayam
yang baru lahir, kambing, dan burung merpati pada suhu 4oC dan 25oC
dan bukan pada suhu 37oC. Baik sel darah merah maupun serum penderita
yang terinfeksi virus rubella memiliki sebuah non-spesifik b-lipoprotein
inhibitor terhadap hemaglutinasi. Aktivitas komplemen berhubungan
5

secara primer dengan envelope, meskipun beberapa aktivitas juga


berhubungan dengan nukleoprotein core. Baik hemaglutinasi maupun
antigen complement-fixing dapat ditemukan (deteksi) melalui
pemeriksaan serologis.6,7 Replikasi virus Virus rubella mengalami
replikasi di dalam sel inang. Siklus replikasi yang umum terjadi dalam
proses yang bertingkat terdiri dari tahapan: 1 perlekatan, 2 pengasukan
(penetrasi), 3 diawasalut (uncoating), 4 biosintesis, 5 pematangan dan
pelepasan. Meskipun ini merupakan siklus yang umum, tetapi akan terjadi
beberapa ragam siklus dan bergantung pada jenis asam nukleat virus.6
Tahap perlekatan terjadi ketika permukaan virion, atau partikel virus
terikat di penerima (reseptor) sel inang. Perlekatan reversible virion dalam
beberapa hal, agar harus terjadi infeksi, dan pengasukan virus ke dalam
sel inang. Proses ini melibatkan beberapa mekanisme, yaitu: 1
penggabungan envelope virus dengan membrane sel inang (host), 2
pengasukan langsung ke dalam membrane, 3 interaksi dengan tempat
penerima membrane sel, 4 viropexis atau fagositosis.6 Setelah memasuki
sel inang, asam nukleat virus harus sudah terlepas dari pembungkusnya,
(uncoating) atau terlepas dari kapsulnya. Proses mengawasalut (uncoating
) ini terjadi di permukaan sel dalam virus. Secara umum, ini merupakan
proses enzimatis yang menggunakan prakeberadaan (pre-existing) ensim
lisosomal atau melibatkan pembentukan ensim yang baru. Setelah proses
pengawasalutan (uncoating), maka biosintesis asam nukleat dan beberapa
protein virus merupakan hal yang sangat penting. Sintesis virus terjadi
baik di dalam inti maupun di dalam sitoplasma sel inang, bergantung dari
jenis asam nukleat virus dan kelompok virus. Pada virus RNA, seperti
Virus Rubella, sintesis ini terjadi di dalam sitoplasma, sedangkan pada
kebanyakan virus DNA, asam nukleat virus bereplikasi di inti sel inang
sedangkan protein virus mengalami replikasi pada sitoplasma. Tahap
terakhir replikasi virus yaitu proses pematangan partikel virus. Partikel
yang telah matang ini kemudian dilepaskan dengan bertunas melalui
membrane sel atau melalui lisis sel. (Kadek, 2007)
6

II.3 Patofisiologi Rubella Secara Umum

Rubella ditularkan melalui kontak dengan sekresi dari hidung atau


tenggorokan orang yang terinfeksi melalui droplet udara, kontak langsung
dengan orang yang terinfeksi. Dalam kondisi tertutup, seperti di barak
militer dan pusat-pusat penitipan anak, semua orang yang rentan terkena
infeksi. Bayi dengan CRS menularkan sejumlah besar virus rubella
melalui sekresi melalui faring (muntahan, liur) dan dalam urin. Rubella
cukup menular, terutama ketika ruam meletus, tetapi menular dari 1
minggu sebelumnya, untuk 5-7 hari atau lebih setelah onset ruam (Tabel
1). Bayi dengan CRS bisa terjangkit virus untuk sampai satu tahun setelah
kelahiran. Tidak ada bukti bahwa virus vaksin dapat menyebar ke kontak.
(CDC, 2007)
Tabel 1. Tahapan infeksi rubella

Setelah virus rubella menginfeksi nasofaring, virus berreplikasi di


sepanjang mukosa saluran pernapasan dan di dalam limfonodi sebelum
menuju pembuluh darah. Fase Viremia berlangsung selama 5-7 hari
setelah infeksi, menyebar ke seluruh tubuh termasuk kulit. Seperti
campak, ruam dipengaruhi oleh faktor immunologis dengan
berkembangnya antibodi anti rubella spesifik. Virus dapat diisolasi dari
nasofaring sejak 1-2 minggu setelah muncul ruam.

Masa inkubasi rubella rata-rata 14-18 hari tetapi dapat berkisar


selama 12-23 hari. Sebuah fase prodromal singkat (1-5 hari) terjadi
sebelum ruam muncul pada remaja dan orang dewasa tetapi tidak pada
7

anak-anak. Pada anak-anak, ruam biasanya yang pertama muncul.


Prodrome melibatkan demam, sakit kepala, malaise, anoreksia,
konjungtivitis ringan, coryza, sakit tenggorokan, batuk dan limfadenopati
melibatkan suboksipital, pasca-artikular dan kelenjar getah bening leher
rahim. Sekitar 14-18 hari setelah infeksi, ruam makulopapular (ruam kulit
merah muda bintik diskrit) berkembang. Ruam, yang mungkin sulit untuk
melihat, dimulai pada wajah dan leher dan menyebar dengan cepat ke
bawah batang dan ekstremitas. Ruam memudar setelah 1-3 hari, dan
kadang-kadang gatal. Nyeri sendi dan arthritis sementara, yang jarang
terjadi pada anak-anak, sering terjadi pada orang dewasa, terutama pada
wanita. (CDC, 2007)

Gambar 2. Gejala klinis infeksi rubella sesuai onsetnya. Dikutip dari: CDC, 2015

Imunitas humoral dan seluler berkembang selama infeksi rubella.


IgG dan IgM antibodi diamati sekitar 14-18 hari setelah infeksi rubella,
pada waktu ketika ruam muncul (Gambar 3). Antibodi rubella IgM
berkurang cepat dan biasanya tidak terdeteksi setelah 2 bulan, sedangkan
antibodi IgG rubella bertahan. Sebuah sel-dimediasi respon limfosit-
rubella spesifik mulai muncul 1 minggu setelah respon humoral dan
berlangsung selama seumur hidup. Meskipun infeksi rubella umumnya
menyebabkan kekebalan seumur hidup, namun terdapat kasus yang jarang
terjadi yakni reinfeksi setelah infeksi awal (atau imunisasi) dari serologis
8

pernah dilaporkan. Ada juga kasus CRS berikut infeksi ulang pada ibu
hamil yang telah memiliki kekebalan alami atau pasca vaksinasi, tapi ini
sangat langka. Antibodi rubella ibu memberikan perlindungan terhadap
rubella untuk pertama bulan hidup dan dapat mempengaruhi respon imun
jika vaksinasi terjadi pada awal usia. (WHO, 2007)

Gambar 3. Respon Imun terhadap infeksi rubella. Dikutip dari: CDC, 2015

II.4 KLASIFIKASI

Virus Rubella, termasuk dalam kumpulan virus RNA dan


merupakan anggota dari family Togaviridae, adalah satu-satunya anggota
genus Rubivirus. Walaupun gambaran morfologis dan sifat – sifat
fisikokimianya menempatkannya dalam kelompok Togavirus, rubella tidak
ditularkan melalui arthopoda. Virus rubella dapat menyebabkan infeksi
rubella postnatal dan rubella kongenital.
II.4.1 Rubella Postnatal dan Dewasa
Penjelasan mengenai klasifikasi ini sama seperti rubella
secara umum.
9

11.4.2 RUBELLA KONGENITAL SYNDROME


a. Definisi
Definisi Congenital Rubella Syndrome Rubella atau
campak Jerman adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi
virus rubella. Jika infeksi virus rubella terjadi pada kehamilan,
khususnya trimester pertama sering menyebabkan Congenital
Rubella Syndrome (CRS). CRS mengakibatkan terjadinya
abortus, bayi lahir mati, prematur dan cacat apabila bayi tetap
hidup.1,2 Per definisi CRS merupakan gabungan beberapa
keabnormalan fisik yang berkembang di bayi sebagai akibat
infeksi virus rubella maternal yang berlanjut dalam fetus. Nama
lain CRS ialah Fetal Rubella Syndrome. Cacat bawaan
(Congenital defect) yang paling sering dijumpai ialah tuli
sensoneural, kerusakan mata seperti katarak, gangguan
kardiovaskular, dan retardasi mental. (Kadek, 2007)
b. Epidemiologi

Kecuali di negara-negara di mana penyakit ini telah


dieliminasi, rubella tersebar ke seluruh dunia. Rubella muncul
biasanya terjadi dalam pola musiman (yaitu di daerah beriklim
selama musim dingin dan musim semi), dengan epidemi setiap 5-9
tahun. Namun, tingkat dan periodisitas epidemi rubella sangat
bervariasi di negara maju maupun negara-negara berkembang.
Resiko tinggi CRS ditemukan di negara-negara dengan tingginya
angka kehamilan wanita usia subur yang beresiko.

Congenital Rubella Syndrome pertama kali dilaporkan pada


tahun 1941 oleh Norman Greg, seorang ahli optalmologi Australia
yang menemukan katarak bawaan di 78 bayi yang ibunya
mengalami infeksi rubella di awal kehamilannya. Berdasarkan data
dari WHO paling tidak 236 ribu kasus CRS terjadi setiap tahun di
negara berkembang dan meningkat 10 kali lipat saat terjadi
epidemi. Di Amerika Serikat tahun 1964–1965 dilaporkan terdapat
10

20.000 kasus CRS dengan gangguan pendengaran berjumlah


11.600, kebutaan 3.580 dan retardasi mental 1.800.1,2 Data
terakhir pada tahun 1999 dilaporkan terdapat 9 kasus CRS dari
293.655.405 total penduduk pada saat itu.3 Untuk negara-negara di
Asia Tenggara, kasus CRS tahun 1999 per jumlah penduduk
dilaporkan sebagai berikut:

 Timor timur : 0 dengan jumlah penduduk 1.019.252


 Indonesia : 7 dengan jumlah penduduk 238.452.952
 Laos : 0 dengan jumlah penduduk 6.068.117
 Malaysia : 0 dengan jumlah penduduk 23.522.482
 Philippines : 2 dengan jumlah penduduk 86.241.697
 Singapore : 0 dengan jumlah penduduk 4.353.893
 Thailand : 2 dengan jumlah penduduk 64.865.523
 Vietnam : 2 dengan jumlah penduduk 82.662.800

c. Patofisiologi

Virus rubella ditransmisikan melalui pernapasan dan


mengalami replikasi di nasofaring dan di daerah kelenjar getah
bening. Viremia terjadi antara hari ke-5 sampai hari ke-7 setelah
terpajan virus rubella. Dalam ruangan tertutup, virus rubella dapat
menular ke setiap orang yang berada di ruangan yang sama
dengan penderita. Masa inkubasi virus rubella berkisar antara 14–
21 hari. Masa penularan 1 minggu sebelum dan empat (4) hari
setelah permulaan (onset) ruam (rash). Pada episode ini, Virus
rubella sangat menular. Infeksi transplasenta janin dalam
kandungan terjadi saat viremia berlangsung. Infeksi rubella
menyebabkan kerusakan janin karena proses pembelahan
terhambat. Dalam rembihan (secret) tekak (faring) dan air kemih
(urin) bayi dengan CRS, terdapat virus rubella dalam jumlah
banyak yang dapat menginfeksi bila bersentuhan langsung. Virus
dalam tubuh bayi dengan CRS dapat bertahan hingga beberapa
11

bulan atau kurang dari 1 tahun setelah kelahiran. Kerusakan janin


disebabkan oleh berbagai faktor, misalnya oleh kerusakan sel
akibat virus rubella dan akibat pembelahan sel oleh virus. Infeksi
plasenta terjadi selama viremia ibu, menyebabkan daerah (area)
nekrosis yang tersebar secara fokal di epitel vili korealis dan sel
endotel kapiler. Sel ini mengalami deskuamasi ke dalam lumen
pembuluh darah, menunjukkan (indikasikan) bahwa virus rubella
dialihkan (transfer) ke dalam peredaran (sirkulasi) janin sebagai
emboli sel endotel yang terinfeksi. Hal ini selanjutnya
mengakibatkan infeksi dan kerusakan organ janin. Selama
kehamilan muda mekanisme pertahanan janin belum matang dan
gambaran khas embriopati pada awal kehamilan adalah terjadinya
nekrosis seluler tanpa disertai tanda peradangan.1,2,7 Sel yang
terinfeksi virus rubella memiliki umur yang pendek. Organ janin
dan bayi yang terinfeksi memiliki jumlah sel yang lebih rendah
daripada bayi yang sehat. Virus rubella juga dapat memacu
terjadinya kerusakan dengan cara apoptosis. Jika infeksi maternal
terjadi setelah trimester pertama kehamilan, kekerapan (frekuensi)
dan beratnya derajat kerusakan janin menurun secara tiba-tiba
(drastis). Perbedaan ini terjadi karena janin terlindung oleh
perkembangan melaju (progresif) tanggap (respon) imun janin,
baik yang bersifat humoral maupun seluler, dan adanya antibodi
maternal yang dialihkan (transfer) secara pasif. (Kadek, 2007)

Viremia maternal yang menyebabkaan infeksi selama


kehamilan biasa menimbulkan infeksi plasenta dan janin. Hanya
sejumlah terbatas sel janin yang terinfeksi. Walaupun virus tidak
menghancurkan sel, rasio pertumbuhan sel yang terinfeksi
menurun, menyebabkan sel dalam organ yang terkena jumlahnya
lebih sedikit pada waktu lahir. Infeksi biasa menimbulkan
kekacauan dan hipoplasia perkembangan organ, menyebabkan
anomali struktual pada bayi baru lahir. Saat infeksi janin,
menentukan luasnya efek teratogenik. Secara umum,semakin
12

awal infeksi terjadi selama kehamilan adalah yang paling kritis.


Infeksi pada bulan pertama kehamilan menyebabkan abnormalitas
janin pada sekitar 50% kasus, sementara kerusakan yang dapat
terdeteksi di temukan pada sekitar 20% janin yang memperoleh
penyakit selama bulan kedua kehamilan dan sekitar 4% janin
terinfeksi selama bulan ketiga. Infeksi rubella internal yang tidak
jelas juga dapat menimbulkan kematian janin dan absorbsi
spontan. Infeksi rubella dalam rahim menyebabkan virus menetap
secara kronis pada neonates. Saat lahir, virus dengan mudah
terdeteksi dalam sekresi faring, berbagai organ, aliran
serebrospinal urin, dan rectal swab. Eskresi virus biasa
berlangsung selama 12-18 bulan setelah kelahiran, tetapi tingkat
pelepasan berangsur-angsur menurun seiring bertambahnya usia.
Sindroma congenital terjadi pada 25% atau lebih pada bayi yang
lahir dari ibu yang menderita rubella pada trimester pertama. Jika
ibu menderita infeksi ini setelah kehamilan berusia lebih dari 20
minggu. Jarang terjadi kelainan bawaan pada bayi. (Lombardo,
2013)

II.5 Gejala Klinis

Rubella kebanyakan mempengaruhi anak-anak, remaja dan dewasa


muda. Sekitar 50% dari infeksi rubella yang subklinis dan tidak dapat
dideteksi kecuali melalui konfirmasi laboratorium. Pada anak-anak,
infeksi biasanya hanya menimbulkan sedikit keluhan atau tanpa gejala.
Infeksi pada orang dewasa dapat menimbulkan keluhan demam, sakit
kepala, lemas dan konjungtivitis. Tujuh puluh persen kasus infeksi
rubella di orang dewasa menyebabkan terjadinya atralgi atau artritis.

Tanda-tanda dan gejala Infeksi rubella dimulai dengan adanya


demam ringan selama 1 atau 2 hari (99 - 100 Derajat Fajrenheit atau 37.2
- 37.8 derajat celcius) dan kelenjar getah bening yang membengkak dan
perih, biasanya di bagian belakang leher atau di belakang telinga. Pada
hari kedua atau ketiga, bintik-bintik (ruam) muncul di wajah dan
13

menjalar ke arah bawah, keseluruh badan dan ekstremitas, dan jarang


berlangsung lebih dari 3 hari. Di saat bintik ini menjalar ke bawah, wajah
kembali bersih dari bintik-bintik. Bintik-bintik ini biasanya menjadi
tanda pertama yang dikenali oleh para orang tua.

Ruam rubella dapat terlihat seperti kebanyakan ruam yang


diakibatkan oleh virus lain. Terlihat sebagai titik merah atau merah
muda, yang dapat berbaur menyatu menjadi sehingga terbentuk tambalan
berwarna yang merata. Bintik ini dapat terasa gatal dan terjadi hingga
tiga hari. Dengan berlalunya bintik-bintik ini, kulit yang terkena
kadangkala megelupas halus. (WHO, 2007)

Gejala lain dari rubella, yang sering ditemui pada remaja dan orang
dewasa, termasuk: sakit kepala, kurang nafsu makan, conjunctivitis
ringan (pembengkakan pada kelopak mata dan bola mata), hidung yang
sesak dan basah, kelenjar getah bening yang membengkak di bagian lain
tubuh, serta adanya rasa sakit dan bengkak pada persendian (terutama
pada wanita muda). Banyak orang yang terkena rubella tanpa
menunjukkan adanya gejala apa-apa.

Ketika rubella terjadi pada wanita hamil, dapat terjadi sindrom


rubella bawaan, yang potensial menimbulkan kerusakan pada janin yang
sedang tumbuh. Anak yang terkena rubella sebelum dilahirkan beresiko
tinggi mengalami keterlambatan pertumbuhan, keterlambatan mental,
kesalahan bentuk jantung dan mata, tuli, dan problematika hati, limpa
dan sumsum tulang. (WHO, 2007)

Penularan Virus rubella menular dari satu orang ke orang lain


melalui sejumlah kecil cairan hidung dan tenggorokan. Orang yang
mengidap rubella sangat berpotensi menularkan virus tersebut dalam
periode satu minggu sebelum sampai satu minggu sesudah ruam muncul.
Seseorang yang terinfeksi tetapi tidak menunjukkan gejala rubella tetap
dapat menularkan virus tersebut. (CDC, 2007)
14

II. 6 Diagnosis

A. Anamnesis
 Demam ringan, pusing, mata merah
 Sakit tenggorokan
 Ruam kulit setelah demam turun
 Kelenjar limfe membengkak
 Persendian bengkak dan nyeri pada beberapa kasus
 Abortus spontan
 Radang arthritis atau ensefalitis
 Pada ibu hamil kadang tanpa gejala

B. Pemeriksaan Fisik

Bentuk UKK/ ruam: makropapular, berawal di wajah menyebar


ke badan dan ektrimitas, bertahan 2-3 hari. Makula dapat konfluens.
Munculnya ruam sesuai dengan aktifnya antibodi-rubella spesifik.
Exanthem berlangsung 1-3 hari, pertama meninggalkan wajah, dan
dapat diikuti oleh deskuamasi. Pada beberapa kasus, exanthem
nonspesifik (Forchheimer spot) dari pinpoint makula merah dan
petechiae dapat dilihat pada palatum mole dan uvula sebelum atau
berbarengan dengan exanthem tersebut. Perhatikan gambar di bawah
ini. (Lombardo, 2013)
15

Gambar 4. Rubella pada anak dengan erupsi generalisata. Dikutip dari: Medscape,
2013

Gambar 5. Rubella: distribusi mirip dengan campak, namun lebih tidak merah,
berlangsung singkat, dan keadaan umum pasien umumnya lebih baik daripada
campak. Dikutip dari: PCDS.com

 demam ringan selama 1 atau 2 hari (99 - 100 Derajat Fajrenheit


atau 37.2 - 37.8 derajat celcius)
 kelenjar getah bening yang membengkak dan (belakang leher
atau di belakang telinga yaitu limfonodi suboccipital,
postauricular, dan cervical posterior dan anterior)
16

 Pada hari kedua atau ketiga, bintik-bintik (ruam) muncul di


wajah dan menjalar ke arah bawah. Di saat bintik ini menjalar
ke bawah, wajah kembali bersih dari bintik-bintik.
C. Pemeriksaan Penunjang
 Pemeriksaan Laboratorium
Diagnosis pasti bertumpu pada studi laboratorium spesifik
(isolasi virus atau bukti serokonversi).
A. Isolasi dan identifikasi virus
Swab nasofaring dan tenggorokan yang diambil dalam 3-
4 hari setelah timulnya gejala merupakan sumber terbaik untuk
virus rubella. Berbagai lini sel kultur jaringan kera (BSC-1,
Vero) atau kelinci (RK-13, SIRC) asli, juga kultur ginjal kera
hijau Afrika primer, bisa dipakai. Rubella menimbulkan efek
sinopati yang tidak begitu mencolok pada kebanyakan lini sel.
Dengan menggunakan sel-sel yang di kultur dalam vial, antigen
virus dapat terdeteksi dengan imunofluoresen 3-4 hari pasca
inokulasi. (Lombardo, 2013)
B. Serologi
Tes HI adalah tes standart untuk serolog rubella. Tetapi
serum harus diberi perlakuan tertentu sebelumnya untuk
meniadakan penghambat non spesifik sebelum di tes. Tes
ELISA lebih disukai karena tidak membutuhkan perlakuan
tertentu sebelumnya dan dapat disesuaikan untuk mendeteksi
IgM spesifik.
Deteksi IgG adalah bukti imunitas, karena hanya ada
satu serotype pada virus rubella. Untuk kepastian yang akurat
dari infeksi rubella terkini (sangat penting untuk kasus pada
wanita hamil), kenaikan titer antibody harus terlihat antara dua
sample serum yang diambil setidaknya berjarak 10 hari, atau
IgM spesifik rubella harus terdeteksi dalam specimen tunggal.
Pengetesan serologi yang akurat untuk antibody rubella begitu
penting sehingga berbagai perangkat diagnostic dalam beragam
17

bentuk tersedia di pasaran. Kebanyakan individu tidak mampu


menilai status imunitas mereka secara terpercaya, karena infeksi
subklinis sering terjadi dan ruam kulit yang disebabkan oleh
virus lain bisa keliru dengan rubella. (Lombardo, 2013)

II.7 Diagnosis Banding

 Campak (Measles/ Rubeolla)


Ruam muncul setelah penyakit prodromal singkat yang didominasi
oleh gejala saluran napas atas, konjungtivitis dan demam. Secara klasik,
ruam dimulai di belakang telinga pada hari ke-4 dan menyebar ke seluruh
permukaan tubuh. Lesi berupa bintik-bintik kecil muncul di mulut (bercak
koplik). (Graham, 2011)

Penyakit Campak mempunyai 3 stadium yaitu stadium permulaan


(prodromal,kataral), stadium erupsi dan stadium penyembuhan
(konvalesen). (Ogden, 2015)

o Stadium permulaan yang berlangsung kurang lebih, 4-5 hari,


gejalanya mirip dengan influenza (flu) batuk-pilek, demam disertai
radang pada selaput lendir hidung, mulut, tenggorokan, nyeri
sendi/otot, sakit kepala, silau bila terkena sinar matahari
(fotophobia), kadang kala ada diarenya juga. Pada mata ditemukan
mata yang merah (injeksi silier). Tanda khas yang dapat ditemukan
pada stadium ini adalah bercak Koplik.

o Stadium erupsi gejala demam, batuk pilek dan radang bertambah


berat. Mulai timbul bercak kemerahan (ruam makulopapular) yang
timbul secara berurutan mulai kepala/wajah, badan, tangan sampai
kaki secara berurutan. Yang khas adalah awal timbul ruam selalu
mulai dari belakang telinga, tengkuk, batas rambut dan muka.
Ruam akan mencapai anggota bawah pada hari ketiga. Ruam
selanjutnya akan menghilang sesuai dengan urutan timbulnya,
18

bersamaan dengan turunnya demam selama stadium ini anak masih


infeksius atau menularkan.
o Stadium konvalesen (penyembuhan) dimulai setelah ruam timbul
merata, suhu badan berangsur turun dan normal kembali. Ruam
akan menghilang dan menjadi bercak kehitaman (hiperpigmentasi)
dengan kulit yang mengelupas seperti bersisik (ganti kulit).
Hiperpigmentasi ini akan menghilang dalam jangka waktu 1
sampai 2 minggu. Yang harus diingat hiperpigmentasi adalah ciri
khas pada campak.

Gambar 6. Campak. Dikutip dari: PCDS.com

Gambar 7. Campak. Dikutip dari: PCDS.com


19

 Scarlet Fever
Disebabkan oleh bakteri streptokokus yang menghasilkan toksin dan
menyebabkan eritema luas. Ruam timbul dan menyebar dari kepala dan
leher, turun ke tubuh dalam waktu 3 sampai 4 hari. Ruam ini dapat
muncul bersamaan dengan, mengikuti, atau tanpa adanya nyeri
tenggorokan. Beberapa hari kemudian terjadi deskuamasi. Pasien juga
mengeluhkan demam. (Graham, 2011)

Gambar 8. Papul halus kemerahan seperti butiran pasir. Dikutip dari: PCDS.com

Gambar 9. Scarlet fever dengan deskuamasi kulit telapak tangan. Dikutip dari:
PCDS.com

 Roseola Infantum
20

Roseola sering juga dikenal dengan Sixth Deases, Eksantema


Subitum dan Roseola Infantum. Merupakan penyakit menular yang
disebabkan oleh virus Herpes tipe 6 dan 7. Virus ini disebarkan melalui
percikan ludah penderita. Masa inkubasi (mada dari mulai terinfeksi
sampai timbulnya gejala) adalah sekitar 5-15 hari. Biasanya penyakit ini
berlangsung selama 1 minggu. (Ogden, 2015)
Roseola Infantum sering disebut sebagai penyakit ke-6 atau sixth
disease. Sebab, gejalanya yang berupa bercak kemerahan pada kulit, mirip
dengan lima jenis penyakit lainnya. Urutan lima jenis penyakit yang
memiliki gejala serupa itu adalah campak (penyakit ke 1), penyakit Dukes
(penyakit ke 2), campak Jerman (penyakit ke 3), penyakit Scarlet
(penyakit ke 4) dan eritrema infeksiosum (penyakit ke 5). Dari kelima
jenis penyakit tersebut, Roseola Infantum kerap salah didiagnosa dan
dianggap penyakit Campak Jerman (Rubella). (Ogden, 2015)
Penyakit yang ini sering diderita pada bayi dari usia 6 bulan
sampai 3 tahun. Penyakit ini sempat membuat para ibu khawatir dan
cemas berlebihan, karena pada awalnya (fase prodromal) anak ini
mengalami panas tinggi mendadak 39,4 - 40,6 °Celsius. Bahkan, 5-15%
diantara mereka mengalami kejang disebabkan demam. (Ogden, 2015)

Gambar 10. Roseola Infantum.dikutip dari: PCDS.com

Gejala-gejala Roseola Infantum adalah,


21

o Demam antara 39–40 °C selama 3 hari. Bila ada riwayat


kejang dalam keluarga, demam dapat disertai kejang.
Bayi seringkali terlihat lemah tidak bertenaga, rewel, dan
cepat mengantuk.
o Ruam kemerahan muncul setelah demam turun. Ruam
bisa muncul di seluruh tubuh, atau hanya pada bagian
tertentu seperti sekitar wajah, leher dan dada. Bila bercak
tersebut ditekan, akan terlihat bekas seperti halo
(berbentuk bulat berwarna putih seperti awan). Ruam ini
tidak berubah menjadi bernanah atau timbul cairan, dan
tidak gatal. Mata bayi biasanya berair dan terlihat
kemerahan, bibir pecah-pecah. Umumnya, bercak akan
berubah warna menjadi hitam kecokelatan, hilang dengan
sendirinya dalam waktu 1-2 minggu.
o Lainnya : diare, batuk, pilek dan radang tenggorokan.
o Komplikasi. Selain kejang, komplikasi lain yang
mungkin timbul meski sangat jarang terjadi adalah
pembengkakan kelenjar limfa di leher dan radang selaput
otak (meningitis). Selain itu, dapat pula terjadi
komplikasi yang berat seperti radang paru (pneumonia)
yang dapat berakibat fatal.

 Erythema Infectiosum
Penyakit ini, yang disebabkan oleh parvovirus B19, timbul dalam
mini epidemi, biasanya pada awal musim semi. Pasien umumnya anak,
yang mendadak mengalami pembengkakan kemerahan panas di kedua
pipi (yang tampak seperti habis ditampar). Dalam 3-4 hari berikutnya,
muncul erupsi yang lebih meluas, tetapi derajatnya bervariasi. Semakin
tinggi usia anak akan sering timbul gejala penyerta berupa artralgia.
Kekhawatiran utama adalah apabila terjadi infeksi terhadap wanita hamil
karena virus ini dapat sangat teratogenik. (Graham, 2011)
22

Gambar 11. ''Slapped cheek'' dan pola ruam seperti renda di punggung tangan. Dikutip
dari: PCDS.com

 Drug Eruptions
Erupsi obat yang terjadi adalah erupsi obat alergi. Kelainan kulit yang
ditemukan adalah berupa eritema, urtikaria, purpura, eksantema, papul,
eritroderma, dan eritema nodosum. Distribusi menyebar dan simetris atau
setempat. Melalui anamnesis didapatkan riwayat minum obat atau jamu
sebelumnya,disertai rasa gatal dan demam yang biasanya subfebris.
(Djuanda, 2010)
23

II.8 Komplikasi

Dapat menyebabkan malformasi jantung, mata, telinga atau otak.


Pemaparan bulan ke empat : infeksi sistemik, retardasi pertumbuhan
intrauterine.
Pertumbuhan janin terhambat ,katarak yang dapat terjadi pada satu
atau kedua mata, kelainan jantung bawaan, hilangnya fungsi pendengaran
akibat proses infeksi yang terjadi pada syaraf pendengaran, radang otak
dan selaput otak.

II.9 Pencegahan penularan virus rubella

Pencegahan Rubella dapat dicegah dengan vaksin rubella. Imunisasi


rubella secara luas dan merata sangat penting untuk mengendalikan
penyebaran penyakit ini, yang pada akhirnya dapat mencegah cacat
bawaan/lahir akibat sindrom rubella bawaan. Vaksin ini biasanya
diberikan kepada anak-anak berusia 12 - 15 bulan dan menjadi bagian
dari imunisasi MMR yang telah terjadwal. Dosis kedua MMR biasanya
diberikan pada usia 4 - 6 tahun, dan tidak boleh lebih dari 11 - 12 tahun.
Sebagaimana dengan imunisasi lainnya, selalu ada pengecualian tertentu
dan kasus-kasus khusus. Dokter anak akan memiliki informasi yang tepat.
Vaksin rubella tidak boelh diberikan kepada wanita hamil atau wanita
yang akan hamil dalam jangka waktu satu bulan sesudah pemberian
vaksin. Wanita hamil yang tidak kebal terhadap rubella harus
menghindari orang yang mengidap penyakit ini dan harus diberikan
vaksinasi setelah melahirkan sehingga dia akan kebal terhadap penyakit
ini di kehamilan berikutnya.

II.10 Penatalaksanaan

Tidak ada obat spesifik untuk mengobati infeksi virus rubella. Obat
yang diberikan biasanya bersifat untuk meringankan gejala yang timbul.
Hanya saja pada anak-anak dan orang dewasa, gejala-gejala yang timbul
adalah sangan ringan. Bayi yang lahir dengan sindrom rubella congenital
biasanya harus ditangani secara seksama semangin banyak kelainan
24

bawaan yang diderita akibat infeksi congenital, semakin besar pula


pengaruhnya pada perkembangan anak. (Kadek, 2007)

Rubella tidak dapat ditangani dengan antibiotik karena AB tidak


dapat digunakan untuk mengatasi infeksi virus. Wanita hamil yang terkena
rubella harus segera menghubungi dokter spesialis. Tidak ada obat khusus
yang tersedia untuk rubella, kecuali untuk mengurangi gejala-gejala.
Demam tinggi dan polyarthralgia jarang pada anak-anak; Namun, jika ada,
asetaminofen dapat digunakan. Pada orang dewasa dengan demam dan
polyarthralgia dapat diberikan acetaminophen, aspirin, atau obat lain
nonsteroidal anti-inflammatory (NSAID).

Menurut Ranuh (2014) Selain hal diatas, penanganan rubella mencakup:


o Berikan imunisasi MMR pada usia 12 bulan dan 4 tahun.
Vaksin rubella merupakan bagian dari imunisasi rutin
pada masa kanak-kanak. Vaksin MMR diberikan pada
usia 12-15 bulan, dosis kedua diberikan pada usia 4-6
tahun.
o Walau Rubella tidak seberapa menular, tetap karantina
penderita supaya tidak menulari orang lain, selama selang
waktu 7 hari sebelum dan sesudah ruam muncul.
o Berikan Asetaminofen (parasetamol) saat demam diatas
38,5 °C dan anak gelisah atau rewel.
o Berikan banyak cairan. Bisa minuman, atau makanan
berkuah banyak.
o Uapi ruangan/kamar untuk meredakan hidung tersumbat.

Pencegahan dan penanganan khusus penderita wanita usia subur/ibu


hamil adalah,

o Wanita usia subur bisa menjalani pemeriksaan serologi


untuk Rubella. Jika tidak memiliki antibodi, diberikan
25

imunisasi dan baru boleh hamil 3 bulan setelah


penyuntikan.
o Vaksinasi sebaiknya tidak diberikan ketika ibu sedang
hamil atau kepada orang yang mengalami gangguan sistem
kekebalan akibat kanker, terapi kortikosteroid maupun
terapi penyinaran.

Sebaiknya setiap anak perempuan harus mendapat vaksinasi


Rubella. Hal ini untuk mengantisipasi terjadinya Rubella serta melindungi
janin yang dikandungnya kelak. Tak hanya pada perempuan, vaksinasi
Rubella pun penting bagi kaum pria. Gunanya mencegah agar tidak
terserang Rubella dan menulari sang istri yang mungkin tengah hamil
nanti. Tidak mungkin untuk mengetahui secara pasti apakah seseorang
menderita penyakit Rubella karena banyak orang bahkan tidak menyadari
penyakit ini. Jika berada dalam keraguan apakah terinfeksi penyakit
Rubella, pemeriksaan antibodi dalam darah akan memberikan
jawabannya.
26

BAB III
KESIMPULAN

3.1 Kesimpulan

Rubella yang sering dikenal dengan istilah campak Jerman atau campak 3 hari
adalah sebuah infeksi yang menyerang, terutama, kulit dan kelenjar getah bening.
Penyakit ini disebabkan oleh virus rubella (virus yang berbeda dari virus yang
menyebabkan penyakit campak), yang biasanya ditularkan melalui cairan yang
keluar dari hidung atau tenggorokan yang menyebabkan infeksi kronik
intrauterin, mengganggu pertmbuhan dan perkembangan janin. Virus ini
menimbulkan gejala demam akut yang ditandai oleh ruam kulit dan
limfadenopati auricular posterior dan suboccipital yang menyerang anak-anak
dan dewasa muda.
27

Daftar Pustaka

Brown, G. 2011. Dermatologi Dasar untuk Praktik Klinik. Jakarta: EGC

CDC. 2015. Rubella. Centers for Disease Control and Prevention Epidemiology
and Prevention of Vaccine-Preventable Diseases, 13th Edition

Djuanda, A. 2010. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Badan Penerbiot Fakultas
Kedokteran Indonesia.
Gorman, C., James, W. 2014. Roseolla Infantum. Medscape Journal.
http://emedicine.medscape.com/article/1133023-overview. Diakses pada: 27
September 2015
GIVS Global Immunization Vision and Strategy 2006-2015. World Health
Organization and UNICEF. 2005, WHO/IVB/05.05
Kadek, Darmadi, S. 2007. Gejala Rubela Bawaan (Kongenital) Berdasarkan
Pemeriksaan Serologis dan RNA Virus (Congenital Rubella Syndrome Based
on Serologic and RNA Virus Examination). Indonesian Journal of Clinical
Pathology and Medical Laboratory, Vol. 13, No. 2, Maret 2007: 63-71
Lombardo, P.,Elston, D. 2013. Dermatologic Manifestations of Rubella.
Medscape Journal. http://emedicine.medscape.com/article/1133108-overview.
Diakses pada: 27 September 2015
Ogden, L. 2015. Viral Exanthem. Dikutip dari: http://www.pcds.org.uk/clinical-
guidance/viral-exanthems
Ranuh, IG., Suyitno H. 2014. Pedoman Imunisasi di Indonesia. Edisi ke-5.
Jakarta: Badan Penerbit IDAI
Yatim, F. 2000. Cacat Kongenital Akibat Rubella. Media Litbang Kesehatan Vol
X Tahun 2000. Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
WHO. 2007. Manual for the laboratory diagnosis of measles and rubella virus
infection. Second edition. World Health Organization. Department of
Immunization, Vaccines and Biologicals CH-1211 Geneva 27, Switzerland

Anda mungkin juga menyukai