Anda di halaman 1dari 53

LAPORAN KASUS

IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. Tuti
Umur : 24 tahun
Tempat/ tanggal lahir : Bogor / 30 Mei 1994
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : Kp. Cihanjawar RT 5 RW 2, Megamendung
Agama : Islam
Suku : Jawa
Ruang : Teratai A
No.RM : 67.76.58
Jaminan : BPJS/ Kelas III

I. ANAMNESIS
Tanggal : 25 November 2018 Pukul : 08.30 WIB

Keluhan utama:
Nyeri perut sejak 1 bulan yang lalu

Riwayat penyakit sekarang:


Pasien datang ke RSUD Ciawi dengan keluhan nyeri perut sejak 1 bulan SMRS tapi
terasa memberat 2 minggu SMRS. Pasien juga mengeluhkan demam sejak 1 SMRS, demam di
rasa hilang timbul dan sudah mengkonsumi obat penurun panas suhu sempat turun setelah itu
naik lagi. Batuk juga di rasa sejak 1 minggu yang lalu tetapi tidak sering dan ada dahak berwarna
putih, nyeri menelan (-), sesak (-), batuk darah (-), penurunan berat badan dalam 1 bulan terakhir
ini sebanyak 5kg, keringat di malam hari (+).
Pasien mengatakan nafsu makannya menurun, pasien menyangkal adanya keluhan perut
terasa membesar, mual (-), muntah (-). BAB tidak ada keluhan, dan BAK tidak ada keluhan.
Pasien mengatakan 5 tahun lalu mempunyai riwayat pengobatan paru selama 2 bulan
tetapi tidak tuntas, di keluarga pasien juga ada yang menderita batuk lama dan penurunan berat
badan dan belum berobat, pasien juga mengatakan bahwa rumah pasien tidak terkena cahaya
matahari seluruhnya.
Pasien menyangkal adanya riwayat penyakit darah tinggi, kencing manis, asma, alergi
obat, dan pengobatan jantung.

Riwayat penyakit dahulu:


• Pasien tidak mempunyai keluhan serupa sebelumnya.
• Riwayat pengobatan paru 5 tahun yang lalu selama 2 bulan dan tidak tuntas
• Riwayat seperti Diabetes Mellitus, hipertensi, asma, alergi obat, pengobatan jantung
disangkal

Riwayat penyakit keluarga:


• Riwayat keluhan serupa disangkal
• Di keluarga ada yang menderita batuk lama dan penurunan berat badan
• Riwayat seperti penyakit jantung, stroke, DM, Asma, Alergi disangkal.

Riwayat Pengobatan:
Riwayat mengkonsumsi obat penurun panas namun tidak kunjung turun.

Riwayat Kebiasaan dan Asupan Nutrisi


• Pasien makan berat 2-3x/hari dengan porsi sedikit, berisi lauk pauk seperti sayur, telur,
tahu, tempe dan ikan goreng
• Ayah pasien mempunyai kebiasaan merokok

II. PEMERIKSAAN FISIK (dilakukan pada 25 November 2018, 08.45 WIB)


Pemeriksaan Umum
Keadaan Umum : Lemas, Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis
Vital Sign :
- TD : 100/60 mmHg
- HR : 88x/menit regular, kuat angkat
- Suhu : 37,4ºC
- RR : 22x/menit, reguler, nafas cuping (-)
Data antropometri :
- Berat badan : 42 kg
- Tinggi badan : 150 cm
- Status gizi : Normal (Asia Pasifik)
Pemeriksaan Sistematis Hasil Pemeriksaan
Kepala
 Bentuk dan ukuran Mesocephal
 Rambut Warna hitam, distribusi merata, tidak mudah
dicabut
Mata Pupil bulat, isokor, diameter (3mm/3mm),
konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-),
edema palpebral (-/-), kornea jernih (+/+), reflex
cahaya langsung dan tidak langsung (+/+) cekung
(-/-)
Telinga Bentuk normal, tanda peradangan (-/-), Serumen
(-/-), Sekret (-/-)
Hidung Bentuk normal, Sekret -/-, napas cuping hidung (-
), mukosa hidung berwarna merah muda
Mulut
 Bibir Mukosa bibir kering (-), sianosis (-)
 Lidah Tampak kotor (-)
 Tonsil T1/T1, tidak hiperemis
 Faring Hiperemis (-)
Leher Trakea simetris di tengah, tidak teraba
pembesaran KGB
Aksila Tidak teraba pembesaran KGB
Thorax (Paru dan Jantung)
 Inspeksi Bentuk normal, simetris saat inspirasi dan
ekspirasi, retraksi suprasternal (-), retraksi
interkostal (-), ictus cordis tidak terlihat
 Palpasi Stem fremitus kanan-kiri sama kuat, krepitasi (-),
ictus cordis teraba di ICS IV linea midklavikularis
sinistra
 Perkusi Batas jantung kiri ICS V MCL sinistra
Batas jantung kanan ICS VI sternal line dextra
Batas jantung atas ICS III parasternal line sinistra

 Auskultasi
o Bunyi napas Bunyi nafas vesikuler, ronki (+/+) di basal,
wheezing (-/-)
o Bunyi jantung Bunyi jantung I dan II regular, murmur (-), gallop
(-)
Abdomen
 Inspeksi Tampak cembung, striae (-), dilatasi vena (-)
 Palpasi Tegang, hepar dan lien tidak teraba, nyeri tekan
pada semua kuadran abdomen (+), shifting
dullness (-)
 Perkusi Timpani pada semua kuadran, chessboard
phenomenom (+)
 Auskultasi Bising usus normal
Anggota gerak Akral hangat, CRT < 2 detik,
Edema (-), sianosis( -)
Pemeriksaan columna Skoliosis (-), lordosis (-), kifosis (-)
vertebralis
Kulit Turgor menurun (-), sianosis (-), warna kulit
coklat
Kelenjar getah bening Tidak teraba pembesaran kelenjar getah bening
III. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan Laboratorium tanggal 22 November 2018


Nama Pemeriksaan Hasil Angka Normal Satuan
Hematologi
Hematokrit 34 35 – 47 %
MCV 68 80 – 100 µm3
MCH 23 26 – 34 Pg
MCHC 34 32 – 36 g/dl
Hemoglobin 11 11.7 – 15.5 g/dl
Eritrosit 4.4 4.0 – 6.5 juta/mm3
Trombosit 318 150 – 440 /mm3
Leukosit 12.5 4 – 11 /mm3

Kimia
GDS 85 80 – 120 mg/dL
Ureum 24.4 10 – 50 mg/dL
Kreatinin 0.64 0.60 – 1.30 mg/dL
SGOT 21 0 – 35 U/L
SGPT 14 0 – 35 U/L
Natrium 134 135 – 145 mmol/L
Kalium 3.7 3.5 – 5.3 mmol/L
Clorida 103 95 – 106 mmol/L
LED 77 0 – 20 mm/jam

Rontgen thorax :
Cor : ukuran kesan tak membesar
Pulmo :
- bronchovascular pattern kasar
- sinus phrenicocostalis kanan kiri tajam
- diafragma dan tulang tulang baik
Kesan : TB paru

USG abdomen :
- Perlekatan bowel disertai fluid collection di kavum abdomen sampai kavum
pelvis – bisa merupakan gambaran peritonitis TB
- Hepar/GB/Pankreas/Lien/Kedua Ren/Buli – buli tak tampak kelainan

IV. RESUME
Telah dilakukan pemeriksaan pada Ny. Tuti usia 24 tahun, didapatkan dari anamnesa,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang yaitu :
Anamnesa : 1. Nyeri seluruh perut sejak 1 bulan SMRS dan memberat sejak 2 minggu SMRS
2. Demam sejak 1 bulan
3. Batuk sejak 1 minggu lalu
4. Penurunan berat badan 1 bulan terakhir sebanyak 5kg, keringat malam (+)
5. Riwayat pengobatan paru 5 tahun yang lalu selama 2 bulan dan tidak tuntas

Pemeriksaan fisik : ronkhi (+/+) di basal, pada abdomen cembung, tegang, nyeri tekan perut
seluruh kuadran (+), BU (+) normal, chessboard phenomenom (+)
Pemeriksaan Penunjang : leukositosis, LED ↑
- Rontgen thorax : TB paru

- USG abdomen : Perlekatan bowel disertai fluid collection di kavum abdomen


sampai kavum pelvis – bisa merupakan gambaran peritonitis TB
V. DIAGNOSIS KERJA
- TB paru
- Susp Peritonitis TB

VI. DIAGNOSIS BANDING


- Bronkopneumonia
- Ileus obstruktif

VII. EVALUASI
- Monitor keadaan umum dan tanda – tanda vital
- Evaluasi nyeri

VIII. EDUKASI
- Memberitahukan kepada pasien dan keluarga pasien mengenai penyakit yang di derita
pasien
- Memberitahukan bahwa harus meminum obat secara teratur dan sampai pengobatan
tuntas
- Memberitahukan bagaimana sikap batuk dan membuang dahak yang benar
- Gunakan masker
- Di rumah :
 Perbaikan sanitasi lingkungan
 Memastikan seluruh ruangan rumah terkena sinar matahari

IX. PROGNOSIS
- Quo ad vitam : ad bonam
- Quo ad functionam : ad bonam
- Quo ad sanationam : ad bonam

X. PERJALANAN PENYAKIT
Tanggal 9 Juni 2018 10 Juni 2018 11 Juni 2018
Jam 05.45 WIB 11.00 WIB 06.30 WIB
nyeri perut (+), bab cair
ampas (+) lemdir (-)
darah (-) 4 – 5x/hari, Diare 6x (+), muntah (+), BAB 5x (+) lembek,
Keluhan
mual (+), batuk (+), demam (-) muntah (-), demam (-)
demam (-) sesak (-),
BAK + tak

KU/Kes TSS (lemas) /CM TSR (lemas) / CM Baik / CM


TTV

HR 88 x/mnt 100 x/mnt 70 x/mnt


TD 110/60 mmHg 100/60mmHg 110/70mmHg
RR 20 x/mnt 20 x/mnt 20x/mnt
0 0
T 36.9 C 36,7 C 36,50C
Cor : BJ 1 dan 11 Cor : BJ 1 dan 11 Cor : BJ 1 dan 11
reguler, murmur (-) reguler, murmur (-) reguler, murmur (-)
gallop (-) gallop (-) gallop (-)
Pulmo : rh +/+, wh -/- Pulmo : rh +/+, wh -/- Pulmo : rh +/+, wh -/-
Abdomen : cembung, Abdomen : cembung, Abdomen : cembung,

PF tegang, nyeri tekan tegang, nyeri tekan tegang, nyeri tekan


seluruh kuadran (+), BU seluruh kuadran (+), BU seluruh kuadran (+), BU
(+), chessbard (+),chessbard (+),chessbard
phenomenom (+), phenomenom (+), phenomenom (+),
Hepatosplenomegali (-) Hepatosplenomegali (-) Hepatosplenomegali (-)

Diagnosis TB paru + peritonitis TB TB paru + peritonitis TB TB paru + peritonitis TB

Terapi - Paracetamol - Paracetamol - Paracetamol


3x1 3x1 3x1
- New diatab 3 x - New diatab 3 x - New diatab 3 x
2 2 2
- Sucralfat 3 x - Sucralfat 3 x - Sucralfat 3 x
1C 1C 1C
- 4FDC 1 x 3 - 4FDC 1 x 3 - 4FDC 1 x 3
- Ceftriaxone 1 x - Ceftriaxone 1 x - Ceftriaxone 1 x
2g IV 2g IV 2g IV
- Omeprazole 1 x - Omeprazole 1 x - Omeprazole 1 x
40mg IV 40mg IV 40mg IV
- Ketorolac 2 x 1 - Ketorolac 2 x 1 - Ketorolac 2 x 1
IV IV IV
- Inf RL 500cc - Inf RL 500cc - Inf RL 500cc
TINJAUAN PUSTAKA

I. TUBERKULOSIS

a. Definisi

Tuberkulosis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium


tuberculosis complex. Sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi dapat juga
mengenai organ tubuh lainnya.

b. Epidemiologi

Tuberkulosis (TB) merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting di


dunia. Pada tahun 1992 World Health Organization (WHO) telah mencanangkan
tuberkulosis sebagai Global Emergency. Laporan WHO tahun 2004 menyatakan
bahwa terdapat 8,8 juta kasus baru tuberkulosis pada tahun 2002 dan 3,9 juta adalah
kasus BTA (Basil Tahan Asam) positif. Sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi
kuman tuberkulosis dan menurut regional WHO jumlah terbesat kasus TB terjadi di
Asia Tenggara yaitu 33% dari seluruh kasus TB di dunia, namun bila dilihat dari
jumlah penduduk terdapat 182 kasus per 100.000 penduduk.

Di Indonesia masih menempati urutan ke-5 didunia untuk jumlah kasus TB


setelah Afrika selatan dan Nigeria. Setiap tahun terdapt 250.000 kasus baru TB dan
sekitar 140.000 kematian akibat TB. Di Indonesia tuberkulosis adalah pembunuh
nomor satu diantara penyakit menular dan merupakan penyebab kematian nomor
tiga setelah penyakit jantung dan penyakit pernapasan akut pada seluruh kalangan
usia.

c. Etiologi

TB Paru diakibatkan oleh infeksi Mycobacterium tuberculosis complex. Bakteri


ini merupakan basil tahan asam yang ditemukan oleh Robert Koch pada tahun 1882.
Mycobacterium tuberculosis adalah kuman penyebab TB yang berbentuk batang
ramping lurus atau sedikit bengkok dengan kedua ujungnya membulat. Bakteri ini
berukuran lebar 0,3-0,6 µm dan panjang 1-4 µm. Dinding M. tuberculosis sangat
kompleks, terdiri dari lapisan lemak cukup tinggi (60%). Penyusun utama dinding
sel M. tuberculosis ialah asam mikolat, lilin kompleks, trehalosa dimikolat yang
disebut cord factor, dan mycobacterial sulfolipids yang berperan dalam virulensi.
Unsur lain yang terdapat pada dinding sel bakteri tersebut adalah polisakarida seperti
arabinogalaktan dan arabinomanan. Struktur dinding bakteri yang kompleks tersebut
menyebabkan bakteri M. tuberculosis bersifat tahan asam, yaitu apabila sekali
diwarnai akan tetap tahan terhadap upaya penghilangan zat warna tersebut dengan
larutan asam alkohol. Koloninya yang kering dengan permukaan berbentuk bunga
kol dan berwarna kuning tumbuh secara lambat walaupun dalam kondisi optimal.
Diketahui bahwa pH optimal untuk pertumbuhannya adalah antara 6,8-8,0. Untuk
memelihara virulensinya harus dipertahankan kondisi pertumbuhannya pada pH 6,8.

M. tuberculosis tipe humanus dan bovines adalah mikobakterium yang paling


banyak menimbulkan penyakit TB pada manusia. Basil tersebut berbentuk batang,
bersifat aerob, mudah mati pada air mendidih (5 menit pada suhu 80 C dan 20 menit
pada suhu 60C), dan mudah mati apabila terkena sinar ultraviolet (sinar matahari).
Basil tuberkulosis tahan hidup berbulan-bulan pada suhu kamar dan dalam ruangan
yang lembab.

d. Klasifikasi

Klasifikasi penyakit dan tipe pasien tuberkulosis meliputi empat hal, yaitu:

1) Lokasi atau organ tubuh yang sakit: paru atau ekstra paru

2) Bakteriologi (hasil pemeriksaan dahak secara mikroskopis): BTA positif atau


BTA negatif

3) Riwayat pengobatan TB sebelumnya: baru atau sudah pernah diobati

4) Status HIV

1) Klasifikasi berdasarkan organ tubuh yang terkena:

TB paru: adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan (parenkim) paru, tidak


termasuk pleura (selaput paru) dan kelenjar pada hilus. Tuberkulosis milier
diklasifikasikan sebagai TB paru karena lesinya yang terletak dalam paru.

TB ekstra paru: tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru
seperti pleura, kelenjar getah bening (termasuk mediastinum dan atau hilus),
abdomen, traktus genitourinarius, kulit, sendi, tulang, selaput otak, selaput
jantung (pericardium).
2) Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis:

Tuberkulosis paru BTA positif adalah:

- Sekurang-kurangnya 2 atau lebih dari 3 spesimen dahak SPS


menunjukkan hasil BTA positif

- Satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan foto toraks


menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif

- Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA (+) dan kultur
biakan M.tuberculosis positif

- Satu atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3 spesimen dahak
SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada
perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.

Tuberkulosis paru BTA negatif:

- Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA (-), gambaran klinis


dan kelainan radiologi menunjukkan tuberkulosis aktif

- Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA (-) dan biakan M.


tuberculosis positif

3) Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya

Tipe pasien ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya. Ada


beberapa tipe pasien yaitu :
Pasien baru adalah pasien yang belum pernah mendapat pengobatan dengan
OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan.

Pasien dengan riwayat pengobatan sebelumnya adalah pasien yang sudah


pernah mendapatkan pengobatan OAT sebelumnya minimal selama satu bulan
dengan hasil dahak BTA positif atau negatif dengan lokasi anatomi penyakit
dimanapun.

 Kasus kambuh (relaps) adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya


pernah mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh
atau pengobatan lengkap, kemudian kembali lagi berobat dengan hasil
pemeriksaan BTA (+) atau biakan positif.

Bila BTA (-) atau biakan negatif tetapi gambaran radiologi dicurigai lesi
aktif atau perburukan dan terdapat gejala klinis maka harus dipikirkan
beberapa kemungkinan:

- Lesi nontuberkulosis (pneumonia, bronkiektasis, jamur, keganasan)

- TB paru kambuh yang ditentukan oleh dokter spesialis yang


berkompeten menangani kasus tuberculosis.

 Kasus defaulted atau drop out adalah pasien yang telah menjalani
pengobatan ≥ 1 bulan dan tidak meminum obat 2 bulan berturut-turut atau
lebih sebelum masa pengobatannya selesai.

 Kasus gagal adalah pasien BTA positif yang masih tetap positif atau
kembali menjadi positif pada akhir bulan ke-5 atau akhir pengobatan.

4) Status HIV

e. Patofisiologi

1) Tuberkulosis primer
Penularan tuberkulosis paru terjadi karena kuman dibatukkan atau dibersinkan
keluar menjadi droplet nuclei dalam udara sekitar. Partikel infeksi ini dapat
menetap dalam udara bebas selama 1-2 jam, tergantung pada ada tidaknya sinar
ultraviolet, ventilasi yang buruk dan kelembaban. Bila partikel infeksi ini terisap
oleh orang sehat, ia akan menempel pada saluran napas atau jaringan paru.
Partikel dapat masuk ke alveolar bila ukuran partikel < 5 mikrometer. Kuman
akan dihadapi pertama kali oleh neutrofil, kemudian oleh makrofag. Kebanyakan
partikel ini akan mati atau dibersihkan oleh makrofag keluar dari percabangan
trakeobronkial bersama gerakan silia dengan sekretnya. Bila kuman menetap di
jaringan paru, berkembangbiak dalam sitoplasma makrofag. Disini ia dapat
terbawa masuk ke organ tubuh lainnya. Kuman yang bersarang di jaringan paru
akan berbentuk sarang tuberkulosis pneumonia kecil dan disebut sarang primer
atau afek primer atau sarang (fokus) Ghon. Sarang primer dapat terjadi di setiap
bagian jaringan paru. Bila menjalar sampai ke pleura, maka terjadi efusi pleura.
Kuman dapat juga masuk ke saluran gastrointestinal, jaringan limfe, orofaring,
kulit, terjadi limfadenopati regional kemudian bakteri masuk ke dalam vena dan
menjalar ke seluruh organ seperti paru, otak, ginjal, tulang. Bila masuk ke arteri
pulmonalis maka terjadi penjalaran ke seluruh bagian paru menjadi TB milier.
Kemudian akan terlihat peradangan saluran getah bening menuju hilus
(limfangitis lokal). Peradangan tersebut diikuti oleh pembesaran kelenjar getah
bening di hilus (limfadenitis regional). Afek primer bersama-sama dengan
limfangitis regional dikenal sebagai kompleks primer. Kompleks primer ini akan
mangalami:

- Sembuh dengan tidak meninggalkan cacat sama sekali (restitution ad


integrum)

- Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas (sarang Ghon, garis fibrotik,


sarang perkapuran di hilus)

- Menyebar dengan cara:

 Perkontinuitatum (menyebar ke sekitarnya)

 Penyebaran secara bronkogen, baik di paru bersangkutan maupun di


paru sebelahnya atau tertelan.

 Penyebaran secara hematogen dan limfogen.

Penyebaran ini berkaitan dengan daya tahan tubuh, jumlah dan


virulensi kuman. Sarang yang ditimbulkan dapat tumbuh secara
spontan, akan tetapi bila tidak terdapat imuniti yang adekuat,
penyebaran ini akan menimbulkan keadaan cukup gawat seperti
tuberkulosis milier, meningitis tuberkulosis, typhobacillosis
Landouzy. Penyebaran ini juga dapat menimbulkan tuberkulosis
pada alat tubuh lainnya, misalnya tulang, ginjal, anak ginjal,
genitalia dan sebagainya. Komplikasi dan penyebaran ini mungkin
berakhir dengan:

 Sembuh dengan meninggalkan sekuele

 Meninggal

2) Tuberkulosis postprimer

Tuberkulosis postprimer akan muncul bertahun-tahun kemudian setelah


tuberkulosis primer, biasanya terjadi pada usia 15-40 tahun. Tuberkulosis
postprimer disebut juga tuberkulosis bentuk dewasa, localized tuberculosis, dan
tuberkulosis menahun. Bentuk tuberkulosis inilah yang menjadi masalah
kesehatan masyarakat, Karena bisa menjadi sumber penularan. Tuberkulosis
postprimer dimulai dengan sarang dini, yang umumnya terletak di segmen apikal
lobus superior maupun lobus inferior. Sarang dini ini pada awalnya berbentuk
suatu sarang pneumoni kecil. Sarang pneumoni ini akan mengikuti salah satu
jalan sebagai berikut:

- Diresopsi kembali dan sembuh tanpa meninggalkan cacat

- Sarang tersebut akan meluas dan segera terjadi proses penyembuhan dengan
penyerbukan jaringan fibrosis. Selanjutnya akan terjadi pengapuran dan akan
sembuh dalam bentuk perkapuran. Sarang tersebut dapat menjadi aktif
kembali dengan membentuk jaringan keju dan menimbulkan kaviti bila
jaringan keju dibatukkan keluar.

- Sarang pneumoni meluas, membentuk jaringan keju (jaringan kaseosa).


Kaviti akan muncul dengan dibatukkannya jaringan keju keluar. Kaviti
awalnya berdinding tipis, kemudian dindingnya akan menjadi tebal (kaviti
sklerotik). Kaviti tersebut akan menjadi:
 Meluas kembali dan menimbulkan sarang pneumoni baru

 Memadat dan membungkus diri (enkapsulasi), dan disebut


tuberkuloma. Tuberkuloma dapat mengapur dan menyembuh, tetapi
mungkin pula aktif kembali, mencair lagi dan menjadi kaviti lagi.

 Bersih dan menyembuh yang disebut open healed cavity, atau kaviti
yang menyembuh dengan membungkus diri dan akhirnya mengecil.
Kemungkinan berakhir sebagai kaviti yang terbungkus dan menciut
sehingga kelihatan seperti bintang (stellate shaped).

Gambar 1. Skema perkembangan sarang tuberkulosis post primer dan


perjalanan penyembuhannya

f. Diagnosis

Diagnosis tuberkulosis dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan


fisik, pemeriksaan bakteriologi, radiologi dan pemeriksaan penunjang lainnya.

GAMBARAN KLINIS
Gambaran klinis tuberkulosis dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu gejala lokal
dan gejala sistemik, bila organ yang terkena adalah paru maka gejala lokal adalah
gejala respiratori.

1) Gejala respiratori

 Batuk ≥ 2 minggu

 Batuk darah

 Sesak napas

 Nyeri dada

Gejala respiratori ini sangat bervariasi, mulai dari tidak ada gejala sampai
yang cukup berat tergantung luas lesi. Kadang pasien terdiagnosis pada saat
medical check up. Bila bronkus belum terlibat dalam proses penyakit, pasien
belum ada gejala batuk. Batuk yang pertama terjadi karena iritasi bronkus,
selanjutnya batuk diperlukan untuk membuang dahak keluar.

2) Gejala sistemik

 Demam

 Gejala sistemik lain: malaise, keringat malam, anoreksia dan berat badan
menurun.

3) Gejala TB ekstraparu

Gejala TB ekstraparu tergantung dari organ yang terlibat, misalnya pada


limfadenitis TB akan terjadi pembesaran yang lambat dan tidak nyeri dari
kelenjar getah bening. Pada meningitis TB akan terlihat gejala meningitis.
Pada pleurutis TB terdapat gejala sesak napas dan kadang nyeri dada pada sisi
yang rongga pleuranya terdapat cairan.
PEMERIKSAAN FISIK

Pada pemeriksaan fisik kelainan yang akan dijumpai tergantung dari organ yang
terlibat.

Pada TB paru, kelainan tergantung luas kelainan struktur paru. Pada permulaan
(awal) perkembangan penyakit umumnya tidak (atau sulit sekali) menemukan kelainan.
Kelainan paru pada umumnya terletak didaerah lobus superior bagian apeks dan segmen
posterior (S1 dan S2), serta daerah apeks lobus inferior (S6). Pada pemeriksaan fisik
dapat ditemukan suara napas bronkial, amforik, suara napas melemah, ronki basah, tanda-
tanda penarikan paru, diafragma dan mediastinum.

Pada pleuritis TB, kelainan pemeriksaan fisik tegantung dari banyaknya cairan di
rongga pleura. Pada perkusi ditemukan redup atau pekak, pada auskultasi suara napas
yang melemah sampai tidak terdengar pada sisi yang terdapat cairan.

Pada limfadenitis TB, terlihat pembesaran kelenjar getah bening, tersering di


daerah leher, kadang di ketiak. Pembesaran kelenjar tersebut dapat menjadi cold abscess.

PEMERIKSAAN BAKTERIOLOGI

1) Bahan pemeriksaan

Pemeriksaan bakteriologi untuk menemukan kuman TB memiliki arti yang sangat


penting dalam menegakkan diagnosis. Bahan untuk pemeriksaan bakteriologi ini
dapat berasal dari dahak, cairan pleura, liquor cerebrospinal, bilasan bronkus,
bilasan lambung, kurasan bronkoalveolar (bronchoalveolar lavage/BAL), urin,
feses dan jaringan biopsi (biopsi jarum halus/BJH)

2) Cara pengumpulan dan pengiriman bahan

Cara pengambilan dahak 2 kali dengan minimal satu kali dahak pagi hari atau
dengan cara pengambilan dahak 3 kali (SPS):
 Sewaktu/ spot (dahak sewaktu saat kunjungan)

 Pagi (keesokam harinya)

 Sewaktu/spot (pada saat mengantarkan dahak pagi)

Atau setiap pagi 3 hari berturut-turut.

Spesimen dahak yang ada dalam pot (jika pada gelas objek dimasukkan ke dalam
kotak sediaan) yang akan dikirim ke laboratorium, harus dipastikan tertulis
identitas pasien yang sesuai dengan formulir permohonan pemeriksaan
laboratorium. Bila lokasi fasilitas laboratorium berada jauh dari klinik atau tempat
pelayanan pasien, specimen dahak dapat dikirim dengan kertas saring melalui jasa
pos.

3) Cara pemeriksaan dahak dan bahan lain

Pemeriksaan bakteriologi dari spesimen dahak dan bahan lain (cairan pleura,
liquor cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung, BAL, urin, feses, dan
jaringan biopsy, termasuk BJH) dapat dilakukan dengan cara:

 Mikroskopis

 Biakan

Pemeriksaan mikroskopis:

Mikroskopis biasa : pewarnaan Ziehl- Nielsen.

Mikroskopis fluoresens : pewarnaan auramin-rhodamin

Interpretasi hasil pemeriksaan dahak dari 3 kali pemeriksaan ialah bila:

- 3 kali positif, atau 2 kali positif, 1 kali negatif → BTA positif


- 1 kali positif, 2 kali negatif → ulang BTA 3 kali, kemudian;

bila 1 kali positif, 2 kali negatif → BTA positif

bila 3 kali negatif → BTA negative

Menurut rekomendasi WHO, interpretasi pemeriksaan mikroskopis dibaca dengan


skala International Union Against Tuberculosis and Lung Disease (IUATLD):

- Tidak ditemukan BTA dalam 100 lapang pandang, disebut negatif

- Ditemukan 1-9 BTA dalam 100 lapang pandang, ditulis jumlah kuman
yang ditemukan

- Ditemukan 10-99 BTA dalam 100 lapang pandang disebut + (1+)

- Ditemukan 1-10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut ++ (2+)

- Ditemukan > 10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut +++ (3+)

Pemeriksaan biakan kuman

Melakukan biakan dimaksudkan untuk mendapatkan diagnosis pasti, dan dapat


mendeteksi Mycobacterium tuberculosis dan juga Mycobacterium other than tuberculosis
(MOTT). Untuk mendeteksi MOTT dapat digunakan beberapa cara, baik dengan melihat
cepatnya pertumbuhan, menggunakan uji nikotinamid, uji niasin maupun pencampuran
dengan cyanogen bromide serta melihat pigmen yang timbul.

Pemeriksaan identifikasi M. tuberculosis dengan cara:

1) Biakan:

- Egg base media: Lowenstein-Jensen, Ogawa, Kudoh

- Agar base media: Middle brook


- Mycobacteria growth indicator tube test (MGITT)

- BACTEC

2) Uji molekular:

- PCR- Based Method of IS6110 Genotyping

- Spoligotyping

- Restriction Fragment Length Polymorphism (RFLP)

- MIRU / VNTR Analysis

- PGRS RFLP

- Genomic Deletion Analysis

Identifikasi M. Tuberculosis dan uji kepekaan:

- Hain test (uji kepekaan untuk R dan H)

- Molecular beacon testing (uji kepekaan untuk R)

- Gene X-pert (uji kepekaan untuk R)

 Lowenstein-Jensen

Pada identifikasi M.tuberculosis, pemeriksaan dengan media biakan lebih sensitif


dibandingkan dengan pemeriksaan mikroskopis. Pemeriksaan biakan dapat
mendeteksi 10-1000 mycobacterium/ml. Media biakan terdiri dari media padat dan
media cair. Media Lowenstein-Jensen adalah media padat yang menggunakan media
basa telur. Media ini digunakan untuk isolasi dan pembiakan Mycobacteria species.
Pemeriksaan identifikasi M. tuberculosis dengan media Lowenstein-Jensen ini
memberikan sensitifitas dan spesifisitas yang tinggi dan dipakai sebagai alat
diagnostik pada program penanggulangan TB.
3) Uji lainnya:

- Uji tuberkulin, IGRA, T-SPOT TB

Ketiga uji umumnya dipakai untuk mengetahui seseorang telah terinfeksi


kuman TB atau menentukan TB laten. Di Indonesia dengan prevalens TB
yang tinggi, uji tuberculin sebagai alat bantu diagnostik penyakit kurang
berarti pada orang dewasa. Uji ini akan memiliki makna bila didapatkan
konversi, bula, atau apabila kepositifan dari uji yang didapat besar sekali.
Pada malnutrisi dan infeksi HIV uji tuberculin dapat memberikan hasil
negative.

- Uji serologi yaitu ELISA, ICT, Mycodot dan IgG/IgM TB

Saat ini uji serologi tidak bermakna untuk diagnosis.

PEMERIKSAAN RADIOLOGI

Pada sebagian besar TB paru, diagnosis terutama ditegakkan dengan pemeriksaan dahak
secara mikroskopis dan tidak memerlukan foto toraks. Namun pada kondisi tertentu pemeriksaan
foto toraks perlu dilakukan dengan indikasi:

1) Hanya 1 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif. Hal ini diperlukan untuk
mendukung diagnosis TB

2) Ketiga specimen dahak hasilnya tetap negatif setelah 3 spesimen dahak SPS pada
pemeriksaan sebelumnya BTA negatif dan tidak ada perbaikan setelah pemberian
antibiotika non OAT.

3) Pasien tersebut diduga mengalami komplikasi sesak napas berat yang memerlukan
penanganan khusus (seperti: pneumotoraks, pleuritis eksudatif, efusi perikarditis, atau
efusi pleura) dan pasien yang mengalami hemoptisis berat (untuk menyingkirkan
bronkiektasis dan aspergiloma)
Pemeriksaan standar ialah foto toraks PA. Pemeriksaan lain atas indikasi: foto lateral,
top-lordotik, oblik, CT-Scan. Pada pemeriksaan foto toraks, tuberkulosis dapat memberi
gambaran bermacam-macam bentuk (multiform). Gambaran radiologi yang dicurigai
sebagai lesi TB aktif:

 Bayangan berawan atau nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas paru dan
segmen superior lobus bawah

 Kaviti, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak berawan atau
nodular.

 Bayangan bercak milier

 Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang)

Gambaran radiologi yang dicurigai lesi TB aktif:

- Fibrotik

- Kalsifikasi

- Schwarte atau penebalan pleura

Luluh paru (destroyed lung):

- Gambaran radiologi yang menunjukkan kerusakan jaringan paru yang berat,


biasanya secara klinis disebut luluh paru. Gambaran radiologi luluh paru terdiri
dari atelektasis, ektasis atau multikaviti dan fibrosis parenkim paru. Sulit untuk
menilai aktiviti lesi atau penyakit hanya berdasarkan gambaran radiologi tersebut.

- Perlu dilakukan pemeriksaan bakteriologi untuk memastikan aktiviti proses


penyakit.

Luas lesi yang tampak pada foto toraks untuk kepentingan pengobatan dapat dinyatakan
sebagai berikut (terutama pada kasus BTA negatif):
 Lesi minimal, bila proses mengenai sebagian dari satu atau dua paru dengan luas
tidak lebih dari sela iga 2 depan (volume paru yang terletak di atas chondrostemal
junction dari iga kedua depan dan prosesus spinosus dari vertebra torakalis 4 atau
korpus vertebra torakalis 5) serta tidak dijumpai kaviti.

 Lesi luas. Bila proses lebih luas dari lesi minimal.

PEMERIKSAAN PENUNJANG LAIN

1) Analisis cairan pleura

Pemeriksaan analisis cairan pleura dan uji Rivalta cairan pleura perlu dilakukan pada
pasien efusi pleura untuk membantu menegakkan diagnosis. Interpretasi hasil analisis
yang mendukung diagnosis tuberkulosis adalah uji Rivalta positif dan kesan cairan
eksudat, serta pada analisis cairan pleura terdapat sel limfosit dominan dan glukosa
rendah.

2) Pemeriksaan histopatologi jaringan

Pemeriksaan histopatologi dilakukan untuk membantu menegakkan diagnosis TB.


Pemeriksaan yang dilakukan ialah pemeriksaan histopatologi. Bahan jaringan dapat
diperoleh melalui biopsy atau otopsi, yaitu:

- Biopsi aspirasi dengan jarum halus (BJH) kelenjar getah benih (KGB).

- Biopsi pleura (melalui torakoskopi atau dengan jarum abram, Cope dan Veen
Silverman)

- Biopsi jaringan paru (trans bronchial lung biopsy / TBLB) dengan bronkoskopi,
trans thoracal needle aspiration/ TTNA, biopsi paru terbuka).

- Biopsi atau aspirasi pada lesi organ di luar paru yang dicurigai TB

- Otopsi
Pada pemeriksaan biopsi sebaiknya diambil dua sediaan, satu sediaan
dimasukkan ke dalam larutan salin dan dikirim ke laboratorium mikrobiologi
untuk dikultur serta sediaan yang kedua difiksasi untuk pemeriksaan histologi.

3) Pemeriksaan Darah

Hasil pemeriksaan darah rutin kurang menunjukkan indikator yang spesifik untuk
tuberculosis. Laju endap darah (LED) jam pertama dan kedua dapat digunakan sebagai
indikator penyembuhan pasien. LED sering meningkat pada proses aktif, tetapi laju
endap darah yang normal tidak menyingkirkan tuberculosis. Limfositpun kurang spesifik.

4) Uji tuberkulin

Uji tuberkulin yang positif menunjukkan ada infeksi tuberkulosis. Di Indonesia dengan
prevalens tuberkulosis yang tinggi, uji tuberculin sebagai alat bantu diagnostik penyakit
kurang berarti pada orang dewasa. Uji ini akan mempunyai makna bila didapatkan
konversi, bula atau apabila kepositifan dari uji yang didapat besar sekali. Pada malnutrisi
dan infeksi HIV uji tuberkuin dapat memberikan hasil negatif.
Gambar 2. Skema alur diagnosis TB paru pada orang dewasa
g. Penatalaksanaan

Tujuan pengobatan TB adalah:

- Menyembuhkan pasien dan mengembalikan kualitas hidup dan produktivitas

- Mencegah kematian karena penyakit TB aktif atau efek lanjutannya

- Mencegah kekambuhan

- Mengurangi transmisi atau penularan kepada yang lain

- Mencegah terjadinya resistensi obat serta penularannya

Prinsip pengobatan TB

Pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip-prinsip sebagai berikut:

- OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam
jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Jangan
gunakan OAT tunggal (monoterapi). Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis tetap
(OAT KDT) lebih menguntungkan dan sangat dianjurkan

- Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan


langsung (DOT= Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas
Minum Obat (PMO)

- Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap awal (intensif) dan


lanjutan.

Tahap awal (intensif): 2-3 bulan

 Pada tahap awal (intensif) pasien mendapat obat setiap hari dan perlu
diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat
 Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat,
biasanya pasien menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2
minggu

 Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif


(konversi) dalam 2 bulan.

Tahap lanjutan : 4-7 bulan

 Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun
dalam jangka waktu yang lebih lama

 Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister sehingga


mencegah terjadinya kekambuhan

Pada umumnya lama pengobatan adalah 6-8 bulan. Panduan obat yang
digunakan terdiri dari panduan obat utama dan tambahan.

Obat Anti Tuberkulosis (OAT)

1. Jenis obat lini pertama adalah:


 INH
 Rifampisin
 Pirazinamid
 Etambutol
 Streptomisin

2. Jenis obat lini kedua adalah:


 Kanamisin
 Kapreomisin
 Amikasin
 Kuinolon
 Sikloserin
 Etionamid/ Protionamid
 Para-Amino Salisilat (PAS)
 Obat-obatan yang efikasinya belum jelas (Makrolid, amoksisilin+asam
klavulanat, linezolid, clofazimin)
OAT lini kedua hanya digunakan untuk kasus resisten obat, terutama TB
multidrug resistant (MDR). Beberapa obat seperti kapreomisin, sikloserin,
etionamid dan PAS belum tersedia di pasaran Indonesia tetapi sudah digunakan
pada pusat pengobatan TB-MDR.

WHO dan IUATLD (International Union Against Tuberculosis and Lung


Disease) merekomendasikan paduan OAT standar, yaitu:

Kategori 1:

o 2RHZE/4R3H3

o 2RHZE/4RH

o 2RHZE/6HE

Kategori 2:

o 2RHZES/RHZE/5R3H3E3

o 2RHZES/RHZE/5RHE

Kategori 3:

o 2RHZ/4R3H3

o 2RHZ/4RH

o 2RHZ/6HE
Paduan OAT yang digunakan oleh Progran Nasional Penanggulangan
Tuberkulosis di Indonesia:

o Kategori 1 : 2RHZE/4R3H3

o Kategori 2 : 2RHZES/RHZE/5R3H3E3

Disamping kedua kategori ini, disediakan paduan OAT sisipan: RHZE dan OAT
anak: 2RHZ/4RH.

Kemasan

 Obat tunggal, obat disajikan secara terpisah, masing-masing INH, rifampisin,


pirazinamid dan etambutol.

 Obat kombinasi dosis tetap/KDT (Fixed Dose Combination/FDC). Kombinasi dosis


tetap ini terdiri dari 2-4 obat dalam satu tablet.

Tabel 1. Dosis OAT

Obat Dosis Dosis yang dianjurkan Dosis Dosis/BB(kg)/hr


(Mg/KgBB/hr) Harian Intermiten maks/hr <40 40-60 >60
(Mg/KgBB/ (Mg/KgBB/h (mg)
hari) ari)
R 8-12 10 10 600 300 450 600
H 4-6 5 10 300 300 300 300
Z 20-30 25 35 750 1000 1500
E 15-20 15 30 750 1000 1500
S* 15-18 15 15 1000 Sesuai 750 1000
BB

*Pasien berusia lebih dari 60 tahun tidak bisa mendapatkan dosis lebih dari 500mg perhari

Pengembangan strategi DOTS untuk mengontrol epidemi TB merupakan prioritas


utama WHO. International Union Against Tuberculosis and Lung Disease (IUALTD) dan
WHO menyarankan untuk menggantikan panduan obat tunggal dengan Kombinasi Dosis
Tetap dalam pengobatan TB primer pada tahun 1998. Dosis obat TB kombinasi dosis
tetap berdasarkan WHO seperti terlihat pada tabel2.

Tabel 2. Dosis obat antituberkulosis kombinasi dosis tetap3

BB Fase intensif 2 bulan Fase lanjutan 4 bulan


Harian Harian 3x/minggu Harian 3x/minggu
(RHZE) (RHZ) (RHZ) (RH) (RH)
150/75/400/275 150/75/400 150/150/500 150/75 150/150

30-37 2 2 2 2 2
38-54 3 3 3 3 3
55-70 4 4 4 4 4
>71 5 5 5 5 5

Penentuan dosis terapi KDT 4 berdasarkan rentang dosis yang telah ditentukan
WHO, merupakan dosis yang efektif atau masih termasuk dalam batas dosis terapi dan
non toksik.

Pada kasus yang mendapat obat KDT tersebut, bila mengalami efek samping
serius harus dirujuk ke rumah sakit atau dokter spesialis paru yang mampu
menanganinya.

Paduan Obat Anti Tuberkulosis

a. TB paru kasus baru

 BTA positif atau pada foto toraks: lesi luas

Paduan obat yang dianjurkan :

2RHZE/4R3H3 atau 2RHZE/4RH atau 2RHZE/6HE

Paduan ini dianjurkan untuk:

- TB paru BTA (+), kasus baru


- TB paru BTA (-), dengan gambaran radiologi lesi luas (termasuk luluh
paru)

Bila ada fasilitas biakan dan uji resistensi, pengobatan disesuaikan dengan
hasil uji resistensi.

 BTA negatif, pada foto toraks: lesi minimal

Paduan obat yang dianjurkan:

2RHZE/4RH atau 6 RHE atau 2RHZE/4R3H3

b. TB paru kasus kambuh

Sebelum ada hasil uji resistensi dapat diberikan 2RHZES/1RHZE. Fase lanjutan
sesuai dengan hasil uji resistensi. Bila tidak terdapat hasil uji resistensi, dapat
diberikan obat RHE selama 5 bulan. → 2RHZES/1RHZE/5RHE

c. TB Paru kasus gagal pengobatan

Sebelum ada hasil uji resistensi seharusnya diberikan obat lini 2 (contoh paduan: 3-6
bulan kanamisin, ofloksasin, etionamid, sikloserin, dan dilanjutkan 15-18 bulan
ofloksasin, etionamid, sikloserin). Dalam keadaan tidak memungkinkan pada fase
awal dapat diberikan 2 RHZES/1RHZE. Fase lanjutan sesuai dengan hasil uji
resistensi. Bila tidak terdapat hasil uji resistensi dapat diberikan obat RHE selama 5
bulan.

d. TB Paru kasus putus berobat

Pasien TB paru kasus lalai berobat, akan dimulai pengobatan kembali sesuai kriteria:

1. Berobat ≥ 4 bulan

- BTA saat ini negatif

Klinis dan radiologi tidak aktif atau ada perbaikan maka pengobatan OAT
dihentikan. Bila gambaran radiologi aktif, lakukan analisis lebih lanjut untuk
memastikan diagnosis TB dengan pertimbangan penyakit paru lain. Bila
terbukti TB maka pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat yang
lebih kuat dan jamgka waktu lebih lama.

- BTA saat ini positif

Pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat yang lebih kuat dan jangka
waktu lebih lama.

2. Berobat < 4 bulan

- BTA positif: pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat yang lebih
kuat dan jangka waktu pengobatan lebih lama.

- BTA negatif: gambaran foto toraks positif TB aktif pengobatan di


teruskan.

e. TB Paru kasus kronik

- Jika belum ada hasil uji resistensi, berikan RHZES. Jika sudah ada hasil uji
resistensi , sesuaikan dengan hasil uji resistensi (minimal terdapat 4 macam OAT
yang masih sensitif) ditambah dengan obat lini 2 seperti: kuinolon, betalaktam,
makrolid. Pengobatan minimal 18 bulan.

- Jika tidak mampu dapat diberikan INH seumur hidup

Tabel 3. Ringkasan paduan obat

Kategori Kasus Paduan obat yang dianjurkan Keterangan


I Kasus baru,BTA *2RHZE/4R3H3 atau2RHZE/4RH atau
(+)/(-), lesi luas 2RHZE/6HE

II Kambuh 2RHZES/1RHZE/5RHE
Gagal pengobatan 3-6bulan (kanamisin,ofloksasin, etionamid, Bila
sikloserin) dilanjutkan streptomisin
15-18bulan (ofloksasin,etionamid, alergi dapat
sikloserin)atau 2RHZES/1RHZE/5RHE diganti
II Putus obat Sesuai lama pengobatan sebelumnya, lama kanamisin
berhenti minum obat, klinis, bakteriologi &
radiologi saat ini atau:
*2RHZES/1RHZE/5R3H3E3
III Kasus baru, BTA (-), 2RHZE/4RH atau 6 RHEatau
lesi minimal *2RHZE/4R3H3
IV Kronik RHZES/sesuai hasil uji resistensi (min.
OAT yang sensitif)+ obat lini 2 (kuinolon,
betalaktam, makrolid). Pengobatan minimal
18 bulan.

V MDR TB Sesuai uji resistensi+OAT lini 2 atau H


seumur hidup
*Obat yang disediakan oleh Program Nasional TB

OAT-Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT)

Paduan OAT kategori 1 dan kategori 2 disediakan dalam bentuk paket berupa obat
Kombinasi Tetap (OAT-KDT), sedangkan kategori anak tersedia dalam bentuk OAT kombipak.
Tablet OAT-KDT terdiri dari kombinasi 2 atau 4 jenis obat dalam 1 tablet. Dosisnya disesuaikan
dengan berat badan pasien. Paduan ini di kemas dalam satu paket untuk satu pasien dalam satu
masa pengobatan.

 Paket kombipak

Adalah paket obat lepas yang terdri dari Isoniazid, Rifampisin, Pirazinamid, Etambutol yang
dikemas dalm bentuk blister

Keuntungan KDT antara lain:

1. Dosis obat dapat disesuaikan dengan berat badan sehingga menjamin efektifitas obat dan
mengurangi efek samping

2. Mencegah penggunaan obat tunggal sehingga menurunkan resiko terjadinya resistensi


obat ganda dan mengurangi kesalahan penulisan resep

3. Jumlah tablet yang ditelan jauh lebih sedikit sehingga pemberian obat menjadi sederhana
dan meningkatkan kepatuhan pasien.
Paduan OAT dan peruntukannya

a.) Kategori 1

Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru:

- Pasien baru TB paru BTA positif

- Pasien TB paru BTA negatif foto toraks positif

- Pasien TB ekstraparu

Tabel 4a. Dosis paduan OAT KDT Kategori 1: 2RHZE/4R3H3

Berat badan Tahap intensif Tahap lanjutan


tiap hari selama 56 hari 3 kali seminggu selama
RHZE (150/75/400/275) 16 minggu RH (150/150)

30-37 kg 2 tablet 4KDT 2 tablet 2KDT


38-54 kg 3 tablet 4KDT 3 tablet 2KDT
55-70 kg 4 tablet 4KDT 4 tablet 2KDT
≥ 71 kg 5 tablet 4KDT 5 tablet 2KDT

Tabel 4b. Dosis paduan OAT Kombipak Kategori 1: 2RHZE/4R3H3

Tahap Lama Dosis perhari/kali Jml


pengobatan pengobatan Tab Kap Tab Tab hr/kali
Isoniasid Rifampisin Pirazinamid Etambutol menelan
@300mgr @450mgr @500mgr @250mgr obat
Intensif 2 bulan 1 1 3 3 56
Lanjutan 4 bulan 2 1 - - 48

b.) Kategori 2

Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA (+) yang telah diobati sebelumnya:

- Pasien kambuh

- Pasien gagal

- Pasien dengan pengobatan setelah putus berobat (default)


Tabel 5a. Dosis paduan OAT KDT Kategori 2: 2RHZES/HRZE/5(RH)3E3

Berat Tahap intensif tiap hari Tahap lanjutan 3kali


badan RHZE (150/75/400/275)+S seminggu
RH(150/150)+E(400)

Selama 56 hari Selama 28 hari Selama 20minggu


30-37 kg 2 tab 4KDT+ 500mg 2tab 4KDT 2tab 2KDT+2tab
Streptomisin inj Etambutol
38-54 kg 3 tab 4KDT+ 750mg 3tab 4KDT 3tab 2KDT+3tab
Streptomisin inj Etambutol
55-70 kg 4 tab 4KDT+ 1000mg 4tab 4KDT 4tab 2KDT+4tab
Streptomisin inj Etambutol
≥ 71 kg 5 tab 4KDT+ 1000mg 5tab 4KDT 5tab 2KDT+5tab
Streptomisin inj Etambutol

Tabel 5b. Dosis paduan OAT Kombipak Kategori 2: 2RHZES/HRZE/5(RH)3E3

Tahap Lama Tablet Kaplet Tablet Etambutol Strepto Jumlah


pengobatan pengo Isoniazid Rifampisin Pirazinamid Tablet Tablet misin inj hari/kali
batan @300mg @450mg @500mg @250 @400 menelan
mg mg obat
Tahap 2bulan 1 1 3 3 - 0,75gr 56
intensif 1bulan 1 1 3 3 - - 28
(dosis harian)
Tahap
lanjutan
4bulan 2 1 - 1 2 - 60
(dosis 3x
seminggu)

Catatan:

- Untuk pasien yang berumur 60 tahun ke atas dosis maksimal untuk streptomisin adalah
500mg tanpa memperhatikan BB.

- Cara melarutkan streptomisin vial 1 gram yaitu dengan menambahkan aquabidest


sebanyak 3,7ml sehingga menjadi 4ml (1ml=250mg)
c.) OAT sisipan (HRZE)

Paduann OAT ini diberikan kepada pasien BTA positif yang pada akhir pengobatan
intensif masih tetap BTA positif. Paket sisipan KDT adalah sama seperti paduan paket
untuk tahap intensif kategori 1 yang diberikan selama sebulan (28 hari)

Tabel 6a. Dosis KDT sisipan: (HRZE)

Berat badan Tahap intensif tiap hari selama 28 hari


RHZE(150/75/400/275)

30-37 kg 2 tablet 4KDT


38-54 kg 3 tablet 4KDT
55-70 kg 4 tablet 4KDT
≥ 71 kg 5 tablet 4KDT

Tabel 6b. Dosis OAT Kombipak sisipan: HRZE

Jumlah
Tablet Kaplet Tablet Tablet
Tahap Lama hari/kali
Isoniazid Rifampisin Pirazinamid Etambutol
pengobatan pengobatan menelan
@300mg @450mg @500mg @250mgr
obat
Tahap
intensif
1 bulan 1 1 3 3 28
(dosis
harian)
Catatan: TB paru kasus gagal pengobatan dirujuk ke dokter spesialis paru sedangkan kasus TB-
MDR dirujuk ke pusat rukukan TB-MDR

Efek samping OAT

Sebagian besar pasien TB dapat menyelesaikan pengobatan tanpa efek samping. Namun
sebagian kecil dapat mengalami efek samping, oleh karena itu pemantauan kemungkinan
terjadinya efek samping sangat penting dilakukan selama pengobatan.
1. Isoniazid (INH)

Efek samping ringan : tanda-tanda keracunan pada saraf tepi, kesemutan, rasa terbakat di
kaki dan nyeri otot. Efek ini dapat dikurangi dengan pemberian piridoksin dosis 100mg
perhari atau vitamin B kompleks. Pada keadaan tersebut pengobatan dapat diteruskan.
Kelainan lain ialah menyerupai defisiensi piridoksin (sindrom pellagra)

Efek samping berat: hepatitis imbas obat yang timbul pada 0,5% pasien. Bila terjadi
hepatitis imbas obat atau ikterik, hentikan OAT dan pengobatan sesuai pedoman TB pada
keadaan khusus.

2. Rifampisin

Efek samping ringan yang hanya memerlukan pengobatan simtomatis ialah:

- Sindrom flu: demam, mengigil dan nyeri tulang

- Sindrom perut: sakit perut, mual, tidak nafsu makan, muntah, diare

- Sindrom kulit: gatal-gatal kemerahan

Efek samping yang berat tapi jarang terjadi adalah:

- Hepatitis imbas obat atau ikterik, bila terjadi hal tersebut OAT harus distop dan
pentalaksaan sesuai pedomam TB pada keadaan khusus

- Purpura, anemia hemolitik yang akut, syok dan gagal ginjal. Bila salah satu dari
gejala ini terjadi, rifampisin harus segera dihentikan dan jangan diberikan lagi

- Sindrom respirasi yang ditandai dengan sesak napas

Rifampisin dapat menyebabkan warna merah pada air seni, keringat, air mata dan air liur.
Warna merah tersebut terjadi karena metabolisme obat dan tidak berbahaya.

3. Pirazinamid

Efek samping utama ialah hepatitis imbah obat. Nyeri sendi juga dapat terjadi (beri
aspirin) dan terkadang dapat menyebabkan serangan arthritis Gout, hal ini karena
berkurangnya ekskresi dan penimbunan asam urat. Kadang-kadang terjadi reaksi demam,
mual, kemerahan.

4. Etambutol

Etambutol dapat menyebabkan gangguan penglihatan berupa berkurangnya ketajaman,


buta warna untuk warna merah dan hijau. Meskipun demikian keracunan okuler
tergantung pada dosis yang dipakai, jarang bila dosisnya 15-25 mg/kgBB perhari atau
30mg/kgBB yang diberikan 3 kali seminggu. Gangguan penglihatan akan kembali normal
dalam beberapa minggu setelah obat dihentikan. Sebaiknya etambutol tidak diberikan
pada anak karena resiko kerusakan okuler sulit di deteksi.

5. Streptomisin

Efek samping utama adalah kerusakan syaraf kedelapan yang berkaitan dengan
keseimbangan dan pendengaran. Resiko meningkat seiring dengan dosis yang digunakan
dan umur pasien juga pada gangguan fungsi ekskresi ginjal. Gejala efek samping yang
terlihat adalah telinga mendenging (tinitus), pusing dan kehilangan keseimbangan.
Keadaan ini dapat dipulihkan bila obat dihentikan atau dosisnya dikurangi 0,25 gr.

Reaksi hipersensitivitas terjadi berupa demam yang timbul tiba-tiba, disertai sakit kepala,
muntah dan eritema pada kulit. Efek samping sementara dan ringan seperti kesemutan
disekitar mulut dan telinga yang mendenging dapat terjadi segera setelah suntikan. Bila
hal ini mengganggu dosis dapat dikurangi 0,25 gr

Streptomisin dapat menembus sawar plasenta sehingga tidak boleh diberikan pada
perempuan hamil sebab dapat merusak syaraf pendengaran janin.

Pendekatan berdasarkan gejala digunakan untuk penatalaksanaan efek samping


umum yaitu mayor dan minor. Pada umumnya, pasien yang mengalami efek samping
minor sebaiknya tetap melanjutkan pengobatan TB dan diberikan pengobatan simtomatis.
Apabila pasien mengalami efek samping berat (mayor), OAT penyebab dapat dihentikan
dan pasien dirujuk ke pusat kesehatan yang lebih besar atau dokter paru.
Tabel 7. Pendekatan berdasarkan masalah untuk penatalaksanaan OAT

Efek samping Obat Tatalaksana


Hentikan obat penyebab
Mayor
dan rujuk secepatnya
Kemerahan kulit dengan Streptomisin, isoniazid, Hentikan OAT
atau tanpa gatal rifampisin, pirazinamid
Tuli Streptomisin Hentikan streptomisin
Pusing (vertigo dan Streptomisin Hentikan streptomisin
nistagmus)
Kuning(setelah penyebab isoniazid, rifampisin, Hentikan pengobatan TB
lain disingkirkan), hepatitis pirazinamid
Teruskan pengobatan,
Minor
evaluasi dosis obat
Bingung(diduga gangguan Sebagian besar OAT Hentikan pengobatanTB
hepar berat bila bersamaan
dengan kuning)
Gangguan penglihatan Etambutol Hentikan etambutol
Syok, purpura, gagal ginjal Rifampisin Hentikan rifampisin
akut
Penurunan jumlah urin Streptomisin Hentikan streptomisin
Tidak nafsu makan, mual isoniazid, rifampisin, Beri obat bersama makanan
dan nyeri perut pirazinamid ringan atau sebelum tidur dan
anjurkan minum obat dengan
air sedikit demi sedikit. Bila
trejadi muntah terus-menerus
atau ada perdarahan pikirkan
sebagai efek samping mayor
dan segera rujuk
Nyeri sendi Pirazinamid Aspirin atau NSAID atau
parasetamol
Rasa terbakar, kebas atau Isoniazid Piridoksin 100-200mg/hari
kesemutan pada slm 3 mg. sebagai profilaksis
tangan/kaki 25-100mg/hr
Mengantuk Isoniazid Minum obat sebelum tidur
Urin berwarna kemerahan Rifampisin Pasien diberi tahu sebelum
atau orange pengobatan
Sindrom flu (demam, Dosis rifampisin intermiten Ubah pemberian dari
menggigil, malaise, sakit intermiten ke harian
kepala, nyeri tulang)
Evaluasi pengobatan

Evaluasi pasien meliputi evaluasi klinis, bakteriologi, radiologi, dan efek samping obat, serta
evaluasi keteraturan berobat.

1. Evaluasi klinis

 Pasien dievaluasi setiap 2 minggu pada 1 bulan pertama pengobatan selanjutnya setiap
1 bulan

 Evaluasi: respons pengobatan dan ada tidaknya efek samping obat serta ada tidaknya
komplikasi penyakit

 Evaluasi klinis meliputi keluhan, berat badan, pemeriksaan fisis.

2. Evaluasi bakteriologik (0 - 2 - 6 /8 bulan pengobatan)


 Tujuan untuk mendeteksi ada tidaknya konversi dahak
 Pemeriksaan & evaluasi pemeriksaan mikroskopik
- Sebelum pengobatan dimulai
- Setelah 2 bulan pengobatan (setelah fase intensif)
- Pada akhir pengobatan
 Bila ada fasiliti biakan : dilakukan pemeriksaan biakan dan uji resistensi

3. Evaluasi radiologik (0 - 2 – 6/8 bulan pengobatan)


Pemeriksaan dan evaluasi foto toraks dilakukan pada:
 Sebelum pengobatan
 Setelah 2 bulan pengobatan (kecuali pada kasus yang juga dipikirkan
kemungkinan keganasan dapat dilakukan 1 bulan pengobatan)
 Pada akhir pengobatan
4. Evaluasi efek samping secara klinik
 Bila mungkin sebaiknya dari awal diperiksa fungsi hati, fungsi ginjal dan darah
lengkap
 Fungsi hati; SGOT,SGPT, bilirubin, fungsi ginjal : ureum, kreatinin, dan gula
darah , serta asam urat untuk data dasar penyakit penyerta atau efek samping
pengobatan
 Asam urat diperiksa bila menggunakan pirazinamid
 Pemeriksaan visus dan uji buta warna bila menggunakan etambutol (bila ada
keluhan)
 Pasien yang mendapat streptomisin harus diperiksa uji keseimbangan dan
audiometri (bila ada keluhan)
 Pada anak dan dewasa muda umumnya tidak diperlukan pemeriksaan awal
tersebut. Yang paling penting adalah evaluasi klinik kemungkinan terjadi efek
samping obat. Bila pada evaluasi klinik dicurigai terdapat efek samping, maka
dilakukan pemeriksaan laboratorium untuk memastikannya dan penanganan efek
samping obat sesuai pedoman
5. Evalusi keteraturan berobat
 Yang tidak kalah pentingnya adalah evaluasi keteraturan berobat dan diminum
atau tidaknya obat tersebut. Dalam hal ini maka sangat penting penyuluhan atau
pendidikan mengenai penyakit dan keteraturan berobat. Penyuluhan atau
pendidikan dapat diberikan kepada pasien, keluarga dan lingkungannya.
 Ketidakteraturan berobat akan menyebabkan timbulnya masalah resistensi.
6. Kriteria sembuh
 BTA mikroskopis negatif dua kali (pada akhir fase intensif dan akhir pengobatan)
dan telah mendapatkan pengobatan yang adekuat.
 Pada foto toraks, gambaran radiologi serial tetap sama atau perbaikan
 Bila ada fasiliti biakan, maka kriteria ditambah biakan negatif
7. Evaluasi pasien yang telah sembuh
Pasien TB yang telah dinyatakan sembuh tetap dievaluasi minimal dalam 2 tahun
pertama setelah sembuh, hal ini dimaksudkan untuk mengetahui kekambuhan. Hal yang
dievaluasi adalah mikroskopik BTA dahak dan foto toraks. Mikroskopik BTA dahak
3,6,12 dan 24 bulan (sesuai indikasi/bila ada gejala) setelah dinyatakan sembuh. Evaluasi
foto toraks 6, 12, 24 bulan setelah dinyatakan sembuh.
II. TUBERKULOSIS ABDOMINAL

a. Definisi

TB Abdominal merupakan kasus yang paling umum dari TB ekstra paru, yang
terdiri dari tuberkulosis dari saluran pencernaan, peritoneum, omentum, mysentery,
dan kelenjar getah bening, serta organ abdomen lainnya seperti hati, limpa, dan
pankreas. Kasus TB ekstra paru melibatkan 11-16% dari semua pasien tuberkulosis
yang mana 3-4% diantaranya merupakan kasus dengan TB abdominal.

TB Abdominal dapat meniru berbagai kondisi perut lainnya dan hanya tingkat
kecurigaan yang tinggi yang dapat membantu dalam diagnosis, jika tidak segera
terjawab atau tertunda dapat mengakibatkan morbiditas tinggi dan kematian.

b. Epidemiologi

Tuberkulosis abdominal ini telah jarang di temui di negara maju, sedangkan di


negara berkembang masih tinggi frekwensinya. Sejak ditemukan khemoterapi anti
tuberkulostatika frekwensinya telah jauh berkurang, sebelumnya Hunges et al
melaporkan 20-50% kematian karena tuberkulosis abdominal. Ada pula yang
menyatakan bahwa meningkatnya TB ekstra paru disebabkan oleh immunodefiensi
virus dan kelainan–kelainan immunosupresif lainnya.

Tuberkulosis abdominal dapat menyerang semua umur tetapi biasanya ditemukan


pada orang dengan umur antara 21-31 tahun dengan presentase 44,4%. Seperti juga
dilaporkan banyak penulis, perbandingannya sebanding antara pria dan wanita (1 :
1).

Oleh karena banyak menyerang usia produktif, tentu hal ini akan sangat
menimbulkan masalah bagi suatu negara.

c. Patofisiologi

Tuberkulosis abdominal dapat terjadi secara primer ataupun sekunder karena


adanya focus tubercular di organ lain di dalam tubuh. Tuberkulosis pada saluran
pencernaan dapat terjadi karena mengkonsumsi susu atau makanan yang telah
terinfeksi dengan Mycobacterium bovis sehingga terbentuk tuberculosis intestinal
primer, namun sekarang kasus ini telah langka. Infeksi oleh Mycobacterium
tuberculosis yang menyebabkan TB abdominal dapat disebabkan hal-hal sebagai
berikut:

 Penyebaran TB paru primer di masa kecil;

 Menelan dahak yang terinfeksi pada penderita TB paru aktif;

 Penyebaran hematogen dari fokus aktif TB paru atau TB militer;

 Mycobacteria dapat menyebar ke organ lain yang berdekatan dengan organ


yang terinfeksi;

 Penyebaran limfatik dari kelenjar getah bening mesenterik yang terinfeksi;

 Cairan empedu akibat adanya tubercular granuloma pada hati.

Lokasi yang dapat terlibat pada tuberculosis abdominal:

1) Saluran cerna

2) Peritoneum, misalnya asites

3) Kelenjar getah bening

4) Organ padat, misalnya hati, limpa dan pankreas.

TB gastrointestinal merupakan 70-78% kasus dari tuberculosis abdominal.


Daerah ileocecal adalah yang paling sering terlibat karena melimpahnya jaringan
limfoid (Peyer’s patch) diikuti oleh usus besar dan jejunum. Tuberkulosis juga
dapat mengenai lambung, duodenum dan kerongkongan, namun kasusnya jarang.
Tiga karakteristik lesi usus yang diakibatkan oleh TB adalah: (i) ulcerative, (ii)
hypertrophic dan (iii) stricturous atau constrictive. Kombinasi dari ketiga lesi
juga dapat terjadi seperti ulcero-konstriktif atau ulcerohypertrophic. Striktur
biasanya terjadi sebagai hasil penyembuhan cicatrical dari lesi ulseratif pada
usus. Sebagian besar kasus tuberkulosis gastrointestinal melibatkan kelenjar
getah bening dan jaringan peritoneal.

Keterlibatan peritoneal terjadi pada 4-10% pasien tuberkulosis ekstra paru


(TBEP). Tubercular peritonitis dapat terjadi melalui penyebaran langsung
tuberkulosis dari organ intra-abdominal dan kelenjar getah bening yang ruptur,
atau secara hematogen. Keterlibatan Peritoneal mungkin dalam bentuk
perlekatan peritoneal atau cairan eksudatif dalam rongga peritoneum (ascites).

Tuberkulosis limfadenitis ditemukan pada sekitar 25% kasus TB ekstra paru.


Penyakit ini terutama sering terjadi di kelompok usia muda dan lebih sering pada
pasien yang terinfeksi HIV. Terutama disebabkan oleh M.bovis, namun sekarang
sebagian besar disebabkan oleh M.tuberculosis. KGB yang terlibat terutama di
daerah mesenterika atau retro-peritoneal. itu Kelenjar getah bening dapat
menunjukkan kaseasi atau pengapuran. TB pada intestinal, KGB, dan peritoneal
mungkin juga terjadi dalam berbagai permutasi dan kombinasi.

d. Manifestasi Klinis

Tuberkulosis abdominal biasanya bermanifestasi sebagai TB limfadenitis, TB


peritonitis, dan TB hepatosplenic atau pankreas. Pada anak-anak, bentuk TB
peritoneal dan TB limfadenitis lebih umum daripada TB intestinal.

Presentasinya dapat bervariasi dari tanpa gejala (tidak sengaja ditemukan pada
laparotomi) sampai ke akut, akut pada penyakit kronis atau penyakit kronis
menahun. Manifestasi klinis tergantung pada lokasi dan organ yang terlibat.
Gejalanya terutama mencakup (i) Gejala konstitusional (demam, malaise, anemia,
keringat malam, kehilangan berat badan, lemas), dan (ii) gejala dan tanda-tanda
lokal sesuai dengan lokasi dan organ yang terlibat. Presentasi klinis TB intestinal
dapat dilihat pada Tabel II.1.
Pemeriksaan fisik abdomen dapat menunjukkan tanda-tanda asites, benjolan di
perut, atau visible peristaltic dengan pelebaran usus. Namun, pemeriksaan abdomen
ini tidak memberikan gambaran pasti apakah hal tersebut diakibatkan oleh TB
abdominal.

Karena manifestasi klinisnya bervariasi, tuberkulosis abdominal dapat


menyerupai salah satu dari hal berikut:

1) Neoplasma ganas, misalnya limfoma, karsinoma

2) Radang usus

3) Sirosis hati terutama pada TB peritoneal

4) Massa ileocaecal dapat meniru benjolan apendiks atau


keganasan caecum atau kondisi lainnya.

Kecurigaan yang tinggi dengan penggunaan modalitas diagnostik yang tepat


akan membantu dalam mendiagnosis penyakit ini.

e. Diagnosis

Isolasi BTA merupakan gold standard untuk mendiagnosis TB paru tetapi sulit
untuk menetapkan diagnosis dari berbagai bentuk tuberkulosis abdominal. Sejauh
ini, diagnosis TB abdominal didapat dengan ditemukannya TB pada jaringan secara
histologis (misalnya ditemukan tuberkel dengan kaseasi atau kuman BTA dalam
lesi) atau temuan operasi sugestif TB atau inokulasi pada hewan atau kultur jaringan
yang menghasilkan pertumbuhan M. tuberculosis. Sekarang, dengan semakin
majunya tehnik radio-imaging, Lingenfelser menetapakan kriteria baru untuk
mendiagnosis TB abdominal:

(i) Manifestasi klinis yang menunjukkan TB;

(ii) Hasil radio-imaging mengindikasikan TB abdominal;

(iii) Bukti histopatologi atau mikrobiologis TB dan;

(iv) Merespon terapi pengobatan.

PEMERIKSAAN PENUNJANG

1) Pemeriksaan darah didapatkan anemia, leukopenia, dan meningkatnya LED;

2) Biokimia serum, kadar albumin serumnya rendah. Transaminase serum normal.


Fosfatase alkali serum dapat meningkat pada TB hati.

3) PPD test / Mantoux, menjadi bukti pendukung dalam mendiagnosis tuberculosis


abdominalis pada 55-70% pasien jika positif. Namun, hasil yang negatif juga
mungkin didapatkan pada sepertiga pasien.

Tes Mantoux yang negatif pada pasien TB dapat disebabkan oleh:

a) Imunosupresi atau malnutrisi

b) TB luar biasa baru atau TB milier

c) Mononuclear adherent cell menekan limfosit T yang tersensitasi dalam darah


perifer atau

d) Penekanan PPD-reaktif T-limfosit.

Namun, uji tuberkulin yang dilakukan berikutnya (setelah 6-8 minggu) akan
selalu positif pada pasien-pasien ini.

4) Tehnik Pencitraan:

Plain X-ray abdomen and chest

Plain X-ray abdomen (posisi tegak dan terlentang) berguna sebagai


pemeriksaan penunjang sederhana. Tehnik pencitraan ini dapat menunjukkan
adanya multiple airfluid dan pelebaran dari usus jika ada obstruksi usus akut
maupun subakut. Kalsifikasi KGB abdominalis juga menunjukkan adanya suatu
TB.

X-ray dada yang dilakukan secara bersamaan, dapat mengungkapkan


adanya TB paru sembuh maupun aktif pada 22-80% kasus.

Barium Studies

Studi kontras barium berguna dalam mendiagnosis TB intestinal. Barium


meal follow through adalah yang terbaik untuk mendiagnosis adanya lesi
intestinal. Lesi intestinal yang sangat mungkin merupakan suatu TB biasanya
menunjukkan multiple stricture distended pada caecum atau ileum terminal,
mucosal irregularity, segmentation of barium column (pola malabsorpsi),
pembesaran KGB abdominalis, serta adhesi usus.

Pada TB intestinal di daerah ileosekal biasanya ditemukan adanya


penebalan katup ileosekal dengan triangle appereance, pelebaran saecum dan/
atau katup yang lebar menganga dengan penyempitan dari terminal ileum (an
inverted umbrella sign, dikenal sebagai Fleischner sign)
Ultrasound

Ultrasonografi (USG) bermanfaat dalam mendiagnosis TB ekstraintestinal


(peritoneal, kelenjar getah bening). USG abdomen biasanya menunjukkan
adanya massa di dalam usus kecil dengan penebalan dinding, omentum yang
menggulung, dan loculated ascites. Kadang tampak adanya puing-puing
echogenic (dilihat sebagai untaian halus) dalam TB ascites, karena kandungan
fibrin yang tinggi pada cairan asites eksudatif. Pada TB peritoneum biasanya
ditemukan penebalan peritoneal dan KGB.

Computed Tomography (CT)

CT scan abdomen lebih baik dari USG untuk mendeteksi high density
ascites, limfadenopati dengan kaseasi, penebalan dinding usus dan irregular soft
tissue density di daerah omentum. Limfadenopati merupakan manifestasi paling
umum TB yang sering ditemukan pada CT scan.
Endoscopy

Endoskopi memvisualisasikan lesi TB secara langsung, oleh karenanya


pemeriksaan ini berguna dalam mendiagnosis TB kolon dan gastro-duodenum,
serta membantu mengkonfirmasi diagnosis dengan mendapatkan bukti
histopatologi tuberkulosis. Pada TB colon biasanya tampak mucosal nodul dan
berbagai ukuran ulcers yang patognomonik Temuan colonoscopic lainnya
termasuk hyperemic mucosa, pseudopolyps dan cobblestone appereance.

Laparoscopy

Pemeriksaan laparoskopi merupakan metode yang efektif dalam


mendiagnosis TB peritonitis karena (i) secara langsung memvisualisasi
peritoneum yang meradang dan menebal bertabur tuberkel milier kuning
keputihan dan (ii) biopsi peritoneum akan menegakkan diagnosis. Laparoskopi
dapat menegakkan diagnosis yang akurat pada 80-90% pasien. Hati, limpa dan
omentum juga dapat diperiksa pada laparoskopi, organ-organ tersebut juga
dipenuhi dengan tuberkel pada TB hepatosplenic
Ascitic Tap (Parasentesis)

Cairan asites dalam kasus TB biasanya bersifat eksudatif (protein > 3 g%)
dengan gradien serum albumin asites <1,1 g%.

Adanya aktivitas adenosine deaminase (ADA) dalam cairan asites


merupakan penanda sensitif dan spesifik untuk tuberculosis. ADA adalah enzim
yang terdapat pada T-limfosit dan makrofag, oleh karena itu, enzim ini akan
meningkat karena stimulasi limfosit T dalam merespon antigen mikobakterium.
ADA dapat ditemukan bernilai false negative pada individu dengan
immunocompromised.

Interferon-γ (INF-γ) merupakan immuneregulator penting yang


diproduksi oleh T-limfosit yang terstimulasi saat merespon antigen spesifik,
mampu mengaktifkan makrofag, dan meningkatkan aktivitas bakterisidanya
terhadap M. tuberculosis. Tingginya kadar INF-γ dapat ditemukan pada cairan
ascites akibat tuberkulosis non-tubercular. Ditemukannya ADA dan INF-γ dalam
cairan asites meningkatkan sensitivitas dan spesifisitas estimasi diagnosis TB
asites.

Serodiagnosis

Polymerase chain reaction (PCR) assay untuk mendeteksi M. tuberculosis


dalam spesimen biopsi endoskopi menunjukkan hasil yang menjanjikan.

Soft Tissue Biopsy and Culture

Prosedur diagnostik invasif pada kasus yang dicurigai suatu TB


abdominal, dilakukan pada organ yang terlibat (kelenjar getah bening, usus,
peritoneum, hati), aspirasi sumsum tulang untuk kultur mungkin berguna dan
memiliki hasil diagnostik yang baik pada kasus TB milier, terutama pada pasien
yang terinfeksi HIV.
f. Penatalaksanaan

Pengobatan tuberkulosis abdominal sama seperti tuberkulosis paru, berupa terapi


antitubercular selama minimal 6 bulan, 2 bulan awal HREZ (isoniazid, rifampisin,
etambutol dan pirazinamid) diikuti oleh 4 bulan HR direkomendasikan pada semua
pasien dengan TB adbdominal Sebelumnya, terapi antitubercular pada kasus TB
abdomen diperpanjang sampai 8-12 bulan, tetapi penelitian baru-baru ini
menemukan bahwa terapi 6 bulan sama efektifnya dengan terapi rejimen 12 bulan.

Sebelumnya, kortikosteroid digunakan untuk menurunkan fibrosis selama


penyembuhan, mencegah perkembangan obstruksi, tapi sekarang sudah jarang
digunakan karena dapat menunda penyembuhan dan merupakan factor predisposisi
perforasi atau obstruksi lebih lanjut. Penelitaan saat ini menunjukkan bahwa lesi
usus bahkan dapat berhasil diobati dengan obat antitubercular tanpa operasi.

Terapi pembedahan dilakukan untuk mengelola komplikasi seperti obstruksi,


perforasi (tanpa atau dengan akses atau fistula) dan perdarahan masif yang tidak
merespon terapi konservatif. Pada kasus striktur dapat dilakukan stricturoplasty atau
reseksi segmen dari usus yang terlibat. Pada kasus perforasi dikelola dengan reseksi
dan anastomosis, bukan dengan penutupan sederhana (simple closure) untuk
menghindari pembentukan fistula.
DAFTAR PUSTAKA

1. Fativah Isbaniyah, dkk. TUBERKULOSIS Pedoman Diagnosis dan Penatalaksaan di


Indonesia. Jakarta: PDPI. 2011: 1-64.

2. SN Chugh dan Vinesh Jain. Abdominal Tuberculosis – Current Concepts in Diagnosis


and Managemet. In: Medicine Update. [database on apiindia.org] 2007: 600-607 [cite on
Oct 26, 2014]. Available from:

http://www.apiindia.org/pdf/medicine_update_2007/102.pdf

3. Depkes RI. 2008. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis Cetakan ke-2.


Jakarta; 616.995.24/Ind/P

4. Zulkifli Amin, Asril Bahar. Tuberkulosis Paru. Dalam :Sudoyo A.W, Setiyohadi B, Alwi
I, dkk, editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi V Jilid III. Jakarta: Interna
Publishing. 2009: 2230-2239.

5. V.K. Kapoor. Abdominal Tuberculosis in Elsevier Journal. [database on Sciencedirect]


2007. [cite on Nov 2, 2014]. Available from: http://ac.els-
cdn.com.ezp.lib.unimelb.edu.au/S1357303907000539/1-s2.0-S1357303907000539-
main.pdf?_tid=a7ce71a2-70d8-11e4-9e6f-
00000aab0f6b&acdnat=1416503835_6ba34c25ee287d40a740606f56f79ccc

6. D.K. Bhargava. Abdominal Tuberculosis: Current Status in Elsevier Journal. [database


on Sciencedirect] 2207. [cite on Nov 2, 2014]. Available from: http://ac.els-
cdn.com.ezp.lib.unimelb.edu.au/S0976001611604638/1-s2.0-S0976001611604638-
main.pdf?_tid=4a9c89a0-70d9-11e4-ab76-
00000aab0f01&acdnat=1416504109_662d2188031005aed78bbba3866bd6fa

7. WHO. Treatment of Tuberculosis: Guidelines for National Programmes 4th Edition.


Geneva. 2009. WHO/HTM/TB/2009.420

Anda mungkin juga menyukai