IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. Tuti
Umur : 24 tahun
Tempat/ tanggal lahir : Bogor / 30 Mei 1994
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : Kp. Cihanjawar RT 5 RW 2, Megamendung
Agama : Islam
Suku : Jawa
Ruang : Teratai A
No.RM : 67.76.58
Jaminan : BPJS/ Kelas III
I. ANAMNESIS
Tanggal : 25 November 2018 Pukul : 08.30 WIB
Keluhan utama:
Nyeri perut sejak 1 bulan yang lalu
Riwayat Pengobatan:
Riwayat mengkonsumsi obat penurun panas namun tidak kunjung turun.
Auskultasi
o Bunyi napas Bunyi nafas vesikuler, ronki (+/+) di basal,
wheezing (-/-)
o Bunyi jantung Bunyi jantung I dan II regular, murmur (-), gallop
(-)
Abdomen
Inspeksi Tampak cembung, striae (-), dilatasi vena (-)
Palpasi Tegang, hepar dan lien tidak teraba, nyeri tekan
pada semua kuadran abdomen (+), shifting
dullness (-)
Perkusi Timpani pada semua kuadran, chessboard
phenomenom (+)
Auskultasi Bising usus normal
Anggota gerak Akral hangat, CRT < 2 detik,
Edema (-), sianosis( -)
Pemeriksaan columna Skoliosis (-), lordosis (-), kifosis (-)
vertebralis
Kulit Turgor menurun (-), sianosis (-), warna kulit
coklat
Kelenjar getah bening Tidak teraba pembesaran kelenjar getah bening
III. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Kimia
GDS 85 80 – 120 mg/dL
Ureum 24.4 10 – 50 mg/dL
Kreatinin 0.64 0.60 – 1.30 mg/dL
SGOT 21 0 – 35 U/L
SGPT 14 0 – 35 U/L
Natrium 134 135 – 145 mmol/L
Kalium 3.7 3.5 – 5.3 mmol/L
Clorida 103 95 – 106 mmol/L
LED 77 0 – 20 mm/jam
Rontgen thorax :
Cor : ukuran kesan tak membesar
Pulmo :
- bronchovascular pattern kasar
- sinus phrenicocostalis kanan kiri tajam
- diafragma dan tulang tulang baik
Kesan : TB paru
USG abdomen :
- Perlekatan bowel disertai fluid collection di kavum abdomen sampai kavum
pelvis – bisa merupakan gambaran peritonitis TB
- Hepar/GB/Pankreas/Lien/Kedua Ren/Buli – buli tak tampak kelainan
IV. RESUME
Telah dilakukan pemeriksaan pada Ny. Tuti usia 24 tahun, didapatkan dari anamnesa,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang yaitu :
Anamnesa : 1. Nyeri seluruh perut sejak 1 bulan SMRS dan memberat sejak 2 minggu SMRS
2. Demam sejak 1 bulan
3. Batuk sejak 1 minggu lalu
4. Penurunan berat badan 1 bulan terakhir sebanyak 5kg, keringat malam (+)
5. Riwayat pengobatan paru 5 tahun yang lalu selama 2 bulan dan tidak tuntas
Pemeriksaan fisik : ronkhi (+/+) di basal, pada abdomen cembung, tegang, nyeri tekan perut
seluruh kuadran (+), BU (+) normal, chessboard phenomenom (+)
Pemeriksaan Penunjang : leukositosis, LED ↑
- Rontgen thorax : TB paru
VII. EVALUASI
- Monitor keadaan umum dan tanda – tanda vital
- Evaluasi nyeri
VIII. EDUKASI
- Memberitahukan kepada pasien dan keluarga pasien mengenai penyakit yang di derita
pasien
- Memberitahukan bahwa harus meminum obat secara teratur dan sampai pengobatan
tuntas
- Memberitahukan bagaimana sikap batuk dan membuang dahak yang benar
- Gunakan masker
- Di rumah :
Perbaikan sanitasi lingkungan
Memastikan seluruh ruangan rumah terkena sinar matahari
IX. PROGNOSIS
- Quo ad vitam : ad bonam
- Quo ad functionam : ad bonam
- Quo ad sanationam : ad bonam
X. PERJALANAN PENYAKIT
Tanggal 9 Juni 2018 10 Juni 2018 11 Juni 2018
Jam 05.45 WIB 11.00 WIB 06.30 WIB
nyeri perut (+), bab cair
ampas (+) lemdir (-)
darah (-) 4 – 5x/hari, Diare 6x (+), muntah (+), BAB 5x (+) lembek,
Keluhan
mual (+), batuk (+), demam (-) muntah (-), demam (-)
demam (-) sesak (-),
BAK + tak
I. TUBERKULOSIS
a. Definisi
b. Epidemiologi
c. Etiologi
d. Klasifikasi
Klasifikasi penyakit dan tipe pasien tuberkulosis meliputi empat hal, yaitu:
1) Lokasi atau organ tubuh yang sakit: paru atau ekstra paru
4) Status HIV
TB ekstra paru: tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru
seperti pleura, kelenjar getah bening (termasuk mediastinum dan atau hilus),
abdomen, traktus genitourinarius, kulit, sendi, tulang, selaput otak, selaput
jantung (pericardium).
2) Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis:
- Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA (+) dan kultur
biakan M.tuberculosis positif
- Satu atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3 spesimen dahak
SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada
perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.
Bila BTA (-) atau biakan negatif tetapi gambaran radiologi dicurigai lesi
aktif atau perburukan dan terdapat gejala klinis maka harus dipikirkan
beberapa kemungkinan:
Kasus defaulted atau drop out adalah pasien yang telah menjalani
pengobatan ≥ 1 bulan dan tidak meminum obat 2 bulan berturut-turut atau
lebih sebelum masa pengobatannya selesai.
Kasus gagal adalah pasien BTA positif yang masih tetap positif atau
kembali menjadi positif pada akhir bulan ke-5 atau akhir pengobatan.
4) Status HIV
e. Patofisiologi
1) Tuberkulosis primer
Penularan tuberkulosis paru terjadi karena kuman dibatukkan atau dibersinkan
keluar menjadi droplet nuclei dalam udara sekitar. Partikel infeksi ini dapat
menetap dalam udara bebas selama 1-2 jam, tergantung pada ada tidaknya sinar
ultraviolet, ventilasi yang buruk dan kelembaban. Bila partikel infeksi ini terisap
oleh orang sehat, ia akan menempel pada saluran napas atau jaringan paru.
Partikel dapat masuk ke alveolar bila ukuran partikel < 5 mikrometer. Kuman
akan dihadapi pertama kali oleh neutrofil, kemudian oleh makrofag. Kebanyakan
partikel ini akan mati atau dibersihkan oleh makrofag keluar dari percabangan
trakeobronkial bersama gerakan silia dengan sekretnya. Bila kuman menetap di
jaringan paru, berkembangbiak dalam sitoplasma makrofag. Disini ia dapat
terbawa masuk ke organ tubuh lainnya. Kuman yang bersarang di jaringan paru
akan berbentuk sarang tuberkulosis pneumonia kecil dan disebut sarang primer
atau afek primer atau sarang (fokus) Ghon. Sarang primer dapat terjadi di setiap
bagian jaringan paru. Bila menjalar sampai ke pleura, maka terjadi efusi pleura.
Kuman dapat juga masuk ke saluran gastrointestinal, jaringan limfe, orofaring,
kulit, terjadi limfadenopati regional kemudian bakteri masuk ke dalam vena dan
menjalar ke seluruh organ seperti paru, otak, ginjal, tulang. Bila masuk ke arteri
pulmonalis maka terjadi penjalaran ke seluruh bagian paru menjadi TB milier.
Kemudian akan terlihat peradangan saluran getah bening menuju hilus
(limfangitis lokal). Peradangan tersebut diikuti oleh pembesaran kelenjar getah
bening di hilus (limfadenitis regional). Afek primer bersama-sama dengan
limfangitis regional dikenal sebagai kompleks primer. Kompleks primer ini akan
mangalami:
Meninggal
2) Tuberkulosis postprimer
- Sarang tersebut akan meluas dan segera terjadi proses penyembuhan dengan
penyerbukan jaringan fibrosis. Selanjutnya akan terjadi pengapuran dan akan
sembuh dalam bentuk perkapuran. Sarang tersebut dapat menjadi aktif
kembali dengan membentuk jaringan keju dan menimbulkan kaviti bila
jaringan keju dibatukkan keluar.
Bersih dan menyembuh yang disebut open healed cavity, atau kaviti
yang menyembuh dengan membungkus diri dan akhirnya mengecil.
Kemungkinan berakhir sebagai kaviti yang terbungkus dan menciut
sehingga kelihatan seperti bintang (stellate shaped).
f. Diagnosis
GAMBARAN KLINIS
Gambaran klinis tuberkulosis dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu gejala lokal
dan gejala sistemik, bila organ yang terkena adalah paru maka gejala lokal adalah
gejala respiratori.
1) Gejala respiratori
Batuk ≥ 2 minggu
Batuk darah
Sesak napas
Nyeri dada
Gejala respiratori ini sangat bervariasi, mulai dari tidak ada gejala sampai
yang cukup berat tergantung luas lesi. Kadang pasien terdiagnosis pada saat
medical check up. Bila bronkus belum terlibat dalam proses penyakit, pasien
belum ada gejala batuk. Batuk yang pertama terjadi karena iritasi bronkus,
selanjutnya batuk diperlukan untuk membuang dahak keluar.
2) Gejala sistemik
Demam
Gejala sistemik lain: malaise, keringat malam, anoreksia dan berat badan
menurun.
3) Gejala TB ekstraparu
Pada pemeriksaan fisik kelainan yang akan dijumpai tergantung dari organ yang
terlibat.
Pada TB paru, kelainan tergantung luas kelainan struktur paru. Pada permulaan
(awal) perkembangan penyakit umumnya tidak (atau sulit sekali) menemukan kelainan.
Kelainan paru pada umumnya terletak didaerah lobus superior bagian apeks dan segmen
posterior (S1 dan S2), serta daerah apeks lobus inferior (S6). Pada pemeriksaan fisik
dapat ditemukan suara napas bronkial, amforik, suara napas melemah, ronki basah, tanda-
tanda penarikan paru, diafragma dan mediastinum.
Pada pleuritis TB, kelainan pemeriksaan fisik tegantung dari banyaknya cairan di
rongga pleura. Pada perkusi ditemukan redup atau pekak, pada auskultasi suara napas
yang melemah sampai tidak terdengar pada sisi yang terdapat cairan.
PEMERIKSAAN BAKTERIOLOGI
1) Bahan pemeriksaan
Cara pengambilan dahak 2 kali dengan minimal satu kali dahak pagi hari atau
dengan cara pengambilan dahak 3 kali (SPS):
Sewaktu/ spot (dahak sewaktu saat kunjungan)
Spesimen dahak yang ada dalam pot (jika pada gelas objek dimasukkan ke dalam
kotak sediaan) yang akan dikirim ke laboratorium, harus dipastikan tertulis
identitas pasien yang sesuai dengan formulir permohonan pemeriksaan
laboratorium. Bila lokasi fasilitas laboratorium berada jauh dari klinik atau tempat
pelayanan pasien, specimen dahak dapat dikirim dengan kertas saring melalui jasa
pos.
Pemeriksaan bakteriologi dari spesimen dahak dan bahan lain (cairan pleura,
liquor cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung, BAL, urin, feses, dan
jaringan biopsy, termasuk BJH) dapat dilakukan dengan cara:
Mikroskopis
Biakan
Pemeriksaan mikroskopis:
- Ditemukan 1-9 BTA dalam 100 lapang pandang, ditulis jumlah kuman
yang ditemukan
1) Biakan:
- BACTEC
2) Uji molekular:
- Spoligotyping
- PGRS RFLP
Lowenstein-Jensen
PEMERIKSAAN RADIOLOGI
Pada sebagian besar TB paru, diagnosis terutama ditegakkan dengan pemeriksaan dahak
secara mikroskopis dan tidak memerlukan foto toraks. Namun pada kondisi tertentu pemeriksaan
foto toraks perlu dilakukan dengan indikasi:
1) Hanya 1 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif. Hal ini diperlukan untuk
mendukung diagnosis TB
2) Ketiga specimen dahak hasilnya tetap negatif setelah 3 spesimen dahak SPS pada
pemeriksaan sebelumnya BTA negatif dan tidak ada perbaikan setelah pemberian
antibiotika non OAT.
3) Pasien tersebut diduga mengalami komplikasi sesak napas berat yang memerlukan
penanganan khusus (seperti: pneumotoraks, pleuritis eksudatif, efusi perikarditis, atau
efusi pleura) dan pasien yang mengalami hemoptisis berat (untuk menyingkirkan
bronkiektasis dan aspergiloma)
Pemeriksaan standar ialah foto toraks PA. Pemeriksaan lain atas indikasi: foto lateral,
top-lordotik, oblik, CT-Scan. Pada pemeriksaan foto toraks, tuberkulosis dapat memberi
gambaran bermacam-macam bentuk (multiform). Gambaran radiologi yang dicurigai
sebagai lesi TB aktif:
Bayangan berawan atau nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas paru dan
segmen superior lobus bawah
Kaviti, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak berawan atau
nodular.
- Fibrotik
- Kalsifikasi
Luas lesi yang tampak pada foto toraks untuk kepentingan pengobatan dapat dinyatakan
sebagai berikut (terutama pada kasus BTA negatif):
Lesi minimal, bila proses mengenai sebagian dari satu atau dua paru dengan luas
tidak lebih dari sela iga 2 depan (volume paru yang terletak di atas chondrostemal
junction dari iga kedua depan dan prosesus spinosus dari vertebra torakalis 4 atau
korpus vertebra torakalis 5) serta tidak dijumpai kaviti.
Pemeriksaan analisis cairan pleura dan uji Rivalta cairan pleura perlu dilakukan pada
pasien efusi pleura untuk membantu menegakkan diagnosis. Interpretasi hasil analisis
yang mendukung diagnosis tuberkulosis adalah uji Rivalta positif dan kesan cairan
eksudat, serta pada analisis cairan pleura terdapat sel limfosit dominan dan glukosa
rendah.
- Biopsi aspirasi dengan jarum halus (BJH) kelenjar getah benih (KGB).
- Biopsi pleura (melalui torakoskopi atau dengan jarum abram, Cope dan Veen
Silverman)
- Biopsi jaringan paru (trans bronchial lung biopsy / TBLB) dengan bronkoskopi,
trans thoracal needle aspiration/ TTNA, biopsi paru terbuka).
- Biopsi atau aspirasi pada lesi organ di luar paru yang dicurigai TB
- Otopsi
Pada pemeriksaan biopsi sebaiknya diambil dua sediaan, satu sediaan
dimasukkan ke dalam larutan salin dan dikirim ke laboratorium mikrobiologi
untuk dikultur serta sediaan yang kedua difiksasi untuk pemeriksaan histologi.
3) Pemeriksaan Darah
Hasil pemeriksaan darah rutin kurang menunjukkan indikator yang spesifik untuk
tuberculosis. Laju endap darah (LED) jam pertama dan kedua dapat digunakan sebagai
indikator penyembuhan pasien. LED sering meningkat pada proses aktif, tetapi laju
endap darah yang normal tidak menyingkirkan tuberculosis. Limfositpun kurang spesifik.
4) Uji tuberkulin
Uji tuberkulin yang positif menunjukkan ada infeksi tuberkulosis. Di Indonesia dengan
prevalens tuberkulosis yang tinggi, uji tuberculin sebagai alat bantu diagnostik penyakit
kurang berarti pada orang dewasa. Uji ini akan mempunyai makna bila didapatkan
konversi, bula atau apabila kepositifan dari uji yang didapat besar sekali. Pada malnutrisi
dan infeksi HIV uji tuberkuin dapat memberikan hasil negatif.
Gambar 2. Skema alur diagnosis TB paru pada orang dewasa
g. Penatalaksanaan
- Mencegah kekambuhan
Prinsip pengobatan TB
- OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam
jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Jangan
gunakan OAT tunggal (monoterapi). Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis tetap
(OAT KDT) lebih menguntungkan dan sangat dianjurkan
Pada tahap awal (intensif) pasien mendapat obat setiap hari dan perlu
diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat
Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat,
biasanya pasien menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2
minggu
Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun
dalam jangka waktu yang lebih lama
Pada umumnya lama pengobatan adalah 6-8 bulan. Panduan obat yang
digunakan terdiri dari panduan obat utama dan tambahan.
Kategori 1:
o 2RHZE/4R3H3
o 2RHZE/4RH
o 2RHZE/6HE
Kategori 2:
o 2RHZES/RHZE/5R3H3E3
o 2RHZES/RHZE/5RHE
Kategori 3:
o 2RHZ/4R3H3
o 2RHZ/4RH
o 2RHZ/6HE
Paduan OAT yang digunakan oleh Progran Nasional Penanggulangan
Tuberkulosis di Indonesia:
o Kategori 1 : 2RHZE/4R3H3
o Kategori 2 : 2RHZES/RHZE/5R3H3E3
Disamping kedua kategori ini, disediakan paduan OAT sisipan: RHZE dan OAT
anak: 2RHZ/4RH.
Kemasan
*Pasien berusia lebih dari 60 tahun tidak bisa mendapatkan dosis lebih dari 500mg perhari
30-37 2 2 2 2 2
38-54 3 3 3 3 3
55-70 4 4 4 4 4
>71 5 5 5 5 5
Penentuan dosis terapi KDT 4 berdasarkan rentang dosis yang telah ditentukan
WHO, merupakan dosis yang efektif atau masih termasuk dalam batas dosis terapi dan
non toksik.
Pada kasus yang mendapat obat KDT tersebut, bila mengalami efek samping
serius harus dirujuk ke rumah sakit atau dokter spesialis paru yang mampu
menanganinya.
Bila ada fasilitas biakan dan uji resistensi, pengobatan disesuaikan dengan
hasil uji resistensi.
Sebelum ada hasil uji resistensi dapat diberikan 2RHZES/1RHZE. Fase lanjutan
sesuai dengan hasil uji resistensi. Bila tidak terdapat hasil uji resistensi, dapat
diberikan obat RHE selama 5 bulan. → 2RHZES/1RHZE/5RHE
Sebelum ada hasil uji resistensi seharusnya diberikan obat lini 2 (contoh paduan: 3-6
bulan kanamisin, ofloksasin, etionamid, sikloserin, dan dilanjutkan 15-18 bulan
ofloksasin, etionamid, sikloserin). Dalam keadaan tidak memungkinkan pada fase
awal dapat diberikan 2 RHZES/1RHZE. Fase lanjutan sesuai dengan hasil uji
resistensi. Bila tidak terdapat hasil uji resistensi dapat diberikan obat RHE selama 5
bulan.
Pasien TB paru kasus lalai berobat, akan dimulai pengobatan kembali sesuai kriteria:
1. Berobat ≥ 4 bulan
Klinis dan radiologi tidak aktif atau ada perbaikan maka pengobatan OAT
dihentikan. Bila gambaran radiologi aktif, lakukan analisis lebih lanjut untuk
memastikan diagnosis TB dengan pertimbangan penyakit paru lain. Bila
terbukti TB maka pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat yang
lebih kuat dan jamgka waktu lebih lama.
Pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat yang lebih kuat dan jangka
waktu lebih lama.
- BTA positif: pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat yang lebih
kuat dan jangka waktu pengobatan lebih lama.
- Jika belum ada hasil uji resistensi, berikan RHZES. Jika sudah ada hasil uji
resistensi , sesuaikan dengan hasil uji resistensi (minimal terdapat 4 macam OAT
yang masih sensitif) ditambah dengan obat lini 2 seperti: kuinolon, betalaktam,
makrolid. Pengobatan minimal 18 bulan.
II Kambuh 2RHZES/1RHZE/5RHE
Gagal pengobatan 3-6bulan (kanamisin,ofloksasin, etionamid, Bila
sikloserin) dilanjutkan streptomisin
15-18bulan (ofloksasin,etionamid, alergi dapat
sikloserin)atau 2RHZES/1RHZE/5RHE diganti
II Putus obat Sesuai lama pengobatan sebelumnya, lama kanamisin
berhenti minum obat, klinis, bakteriologi &
radiologi saat ini atau:
*2RHZES/1RHZE/5R3H3E3
III Kasus baru, BTA (-), 2RHZE/4RH atau 6 RHEatau
lesi minimal *2RHZE/4R3H3
IV Kronik RHZES/sesuai hasil uji resistensi (min.
OAT yang sensitif)+ obat lini 2 (kuinolon,
betalaktam, makrolid). Pengobatan minimal
18 bulan.
Paduan OAT kategori 1 dan kategori 2 disediakan dalam bentuk paket berupa obat
Kombinasi Tetap (OAT-KDT), sedangkan kategori anak tersedia dalam bentuk OAT kombipak.
Tablet OAT-KDT terdiri dari kombinasi 2 atau 4 jenis obat dalam 1 tablet. Dosisnya disesuaikan
dengan berat badan pasien. Paduan ini di kemas dalam satu paket untuk satu pasien dalam satu
masa pengobatan.
Paket kombipak
Adalah paket obat lepas yang terdri dari Isoniazid, Rifampisin, Pirazinamid, Etambutol yang
dikemas dalm bentuk blister
1. Dosis obat dapat disesuaikan dengan berat badan sehingga menjamin efektifitas obat dan
mengurangi efek samping
3. Jumlah tablet yang ditelan jauh lebih sedikit sehingga pemberian obat menjadi sederhana
dan meningkatkan kepatuhan pasien.
Paduan OAT dan peruntukannya
a.) Kategori 1
- Pasien TB ekstraparu
b.) Kategori 2
Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA (+) yang telah diobati sebelumnya:
- Pasien kambuh
- Pasien gagal
Catatan:
- Untuk pasien yang berumur 60 tahun ke atas dosis maksimal untuk streptomisin adalah
500mg tanpa memperhatikan BB.
Paduann OAT ini diberikan kepada pasien BTA positif yang pada akhir pengobatan
intensif masih tetap BTA positif. Paket sisipan KDT adalah sama seperti paduan paket
untuk tahap intensif kategori 1 yang diberikan selama sebulan (28 hari)
Jumlah
Tablet Kaplet Tablet Tablet
Tahap Lama hari/kali
Isoniazid Rifampisin Pirazinamid Etambutol
pengobatan pengobatan menelan
@300mg @450mg @500mg @250mgr
obat
Tahap
intensif
1 bulan 1 1 3 3 28
(dosis
harian)
Catatan: TB paru kasus gagal pengobatan dirujuk ke dokter spesialis paru sedangkan kasus TB-
MDR dirujuk ke pusat rukukan TB-MDR
Sebagian besar pasien TB dapat menyelesaikan pengobatan tanpa efek samping. Namun
sebagian kecil dapat mengalami efek samping, oleh karena itu pemantauan kemungkinan
terjadinya efek samping sangat penting dilakukan selama pengobatan.
1. Isoniazid (INH)
Efek samping ringan : tanda-tanda keracunan pada saraf tepi, kesemutan, rasa terbakat di
kaki dan nyeri otot. Efek ini dapat dikurangi dengan pemberian piridoksin dosis 100mg
perhari atau vitamin B kompleks. Pada keadaan tersebut pengobatan dapat diteruskan.
Kelainan lain ialah menyerupai defisiensi piridoksin (sindrom pellagra)
Efek samping berat: hepatitis imbas obat yang timbul pada 0,5% pasien. Bila terjadi
hepatitis imbas obat atau ikterik, hentikan OAT dan pengobatan sesuai pedoman TB pada
keadaan khusus.
2. Rifampisin
- Sindrom perut: sakit perut, mual, tidak nafsu makan, muntah, diare
- Hepatitis imbas obat atau ikterik, bila terjadi hal tersebut OAT harus distop dan
pentalaksaan sesuai pedomam TB pada keadaan khusus
- Purpura, anemia hemolitik yang akut, syok dan gagal ginjal. Bila salah satu dari
gejala ini terjadi, rifampisin harus segera dihentikan dan jangan diberikan lagi
Rifampisin dapat menyebabkan warna merah pada air seni, keringat, air mata dan air liur.
Warna merah tersebut terjadi karena metabolisme obat dan tidak berbahaya.
3. Pirazinamid
Efek samping utama ialah hepatitis imbah obat. Nyeri sendi juga dapat terjadi (beri
aspirin) dan terkadang dapat menyebabkan serangan arthritis Gout, hal ini karena
berkurangnya ekskresi dan penimbunan asam urat. Kadang-kadang terjadi reaksi demam,
mual, kemerahan.
4. Etambutol
5. Streptomisin
Efek samping utama adalah kerusakan syaraf kedelapan yang berkaitan dengan
keseimbangan dan pendengaran. Resiko meningkat seiring dengan dosis yang digunakan
dan umur pasien juga pada gangguan fungsi ekskresi ginjal. Gejala efek samping yang
terlihat adalah telinga mendenging (tinitus), pusing dan kehilangan keseimbangan.
Keadaan ini dapat dipulihkan bila obat dihentikan atau dosisnya dikurangi 0,25 gr.
Reaksi hipersensitivitas terjadi berupa demam yang timbul tiba-tiba, disertai sakit kepala,
muntah dan eritema pada kulit. Efek samping sementara dan ringan seperti kesemutan
disekitar mulut dan telinga yang mendenging dapat terjadi segera setelah suntikan. Bila
hal ini mengganggu dosis dapat dikurangi 0,25 gr
Streptomisin dapat menembus sawar plasenta sehingga tidak boleh diberikan pada
perempuan hamil sebab dapat merusak syaraf pendengaran janin.
Evaluasi pasien meliputi evaluasi klinis, bakteriologi, radiologi, dan efek samping obat, serta
evaluasi keteraturan berobat.
1. Evaluasi klinis
Pasien dievaluasi setiap 2 minggu pada 1 bulan pertama pengobatan selanjutnya setiap
1 bulan
Evaluasi: respons pengobatan dan ada tidaknya efek samping obat serta ada tidaknya
komplikasi penyakit
a. Definisi
TB Abdominal merupakan kasus yang paling umum dari TB ekstra paru, yang
terdiri dari tuberkulosis dari saluran pencernaan, peritoneum, omentum, mysentery,
dan kelenjar getah bening, serta organ abdomen lainnya seperti hati, limpa, dan
pankreas. Kasus TB ekstra paru melibatkan 11-16% dari semua pasien tuberkulosis
yang mana 3-4% diantaranya merupakan kasus dengan TB abdominal.
TB Abdominal dapat meniru berbagai kondisi perut lainnya dan hanya tingkat
kecurigaan yang tinggi yang dapat membantu dalam diagnosis, jika tidak segera
terjawab atau tertunda dapat mengakibatkan morbiditas tinggi dan kematian.
b. Epidemiologi
Oleh karena banyak menyerang usia produktif, tentu hal ini akan sangat
menimbulkan masalah bagi suatu negara.
c. Patofisiologi
1) Saluran cerna
d. Manifestasi Klinis
Presentasinya dapat bervariasi dari tanpa gejala (tidak sengaja ditemukan pada
laparotomi) sampai ke akut, akut pada penyakit kronis atau penyakit kronis
menahun. Manifestasi klinis tergantung pada lokasi dan organ yang terlibat.
Gejalanya terutama mencakup (i) Gejala konstitusional (demam, malaise, anemia,
keringat malam, kehilangan berat badan, lemas), dan (ii) gejala dan tanda-tanda
lokal sesuai dengan lokasi dan organ yang terlibat. Presentasi klinis TB intestinal
dapat dilihat pada Tabel II.1.
Pemeriksaan fisik abdomen dapat menunjukkan tanda-tanda asites, benjolan di
perut, atau visible peristaltic dengan pelebaran usus. Namun, pemeriksaan abdomen
ini tidak memberikan gambaran pasti apakah hal tersebut diakibatkan oleh TB
abdominal.
2) Radang usus
e. Diagnosis
Isolasi BTA merupakan gold standard untuk mendiagnosis TB paru tetapi sulit
untuk menetapkan diagnosis dari berbagai bentuk tuberkulosis abdominal. Sejauh
ini, diagnosis TB abdominal didapat dengan ditemukannya TB pada jaringan secara
histologis (misalnya ditemukan tuberkel dengan kaseasi atau kuman BTA dalam
lesi) atau temuan operasi sugestif TB atau inokulasi pada hewan atau kultur jaringan
yang menghasilkan pertumbuhan M. tuberculosis. Sekarang, dengan semakin
majunya tehnik radio-imaging, Lingenfelser menetapakan kriteria baru untuk
mendiagnosis TB abdominal:
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Namun, uji tuberkulin yang dilakukan berikutnya (setelah 6-8 minggu) akan
selalu positif pada pasien-pasien ini.
4) Tehnik Pencitraan:
Barium Studies
CT scan abdomen lebih baik dari USG untuk mendeteksi high density
ascites, limfadenopati dengan kaseasi, penebalan dinding usus dan irregular soft
tissue density di daerah omentum. Limfadenopati merupakan manifestasi paling
umum TB yang sering ditemukan pada CT scan.
Endoscopy
Laparoscopy
Cairan asites dalam kasus TB biasanya bersifat eksudatif (protein > 3 g%)
dengan gradien serum albumin asites <1,1 g%.
Serodiagnosis
http://www.apiindia.org/pdf/medicine_update_2007/102.pdf
4. Zulkifli Amin, Asril Bahar. Tuberkulosis Paru. Dalam :Sudoyo A.W, Setiyohadi B, Alwi
I, dkk, editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi V Jilid III. Jakarta: Interna
Publishing. 2009: 2230-2239.