HMI, PMII, IMM. Dalam Pusaran Radikalisme Agama

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 6

HMI, PMII, IMM Dalam Pusaran

Radikalisme Agama

Mahasiswa yang tergabung dalam Pro Demokrasi Mahasiswa membakar ban


bekas saat berunjuk rasa di depan kampus Universitas Muhammadiyah (Unismuh)
Makassar, Sulawesi Selatan, Kamis (17/9). Dalam aksi tersebut mereka mendesak
pemerintah agar serius mengatasi darurat asap dan penegakan hukum terhadap
perusahaan pembakaran lahan. ANTARA FOTO/Abriawan Abhe

Akhir-akhir ini, kampus sebagai ruang pergulatan intelektual


disebut sebagai medan tempur penyebaran paham radikalisme.
Belum kering dalam ingatan kita, ketika Kepala Badan Intelijen
Negara (BIN) Budi Gunawan menyatakan sekitar 39% mahasiswa
dari sejumlah perguruan tinggi telah terpapar radikalisme.
Dikatakan, ada 24% mahasiswa dan 23,3% pelajar SMA setuju
dengan jihad untuk tegaknya negara Islam. Lebih mengejutkan
lagi ketika BNPT menyampaikan hampir semua kampus negeri di
Jawa, dari Barat ke Timur dan juga sejumlah Universitas di luar
Jawa terpapar radikalisme.

Mengapa Radikalisme di Kampus Cukup


Masif?
Banyak faktor tumbuhnya paham radikalisme. Namun dalam
konteks radikalisme di kalangan mahasiswa, patut direnungkan
pandangan yang dilontarkan Prof. Azyumardi Azra yang menilai
bahwa berkembangnya paham radikalisme di kampus
diantaranya disebabkan oleh dominasi kelompok-kelompok
gerakan kemahasiswaan yang sangat dekat dengan radikalisme
atau gagasan khilafah.

Menurut Azra, sejak adanya NKK-BKK, kampus tidak boleh lagi


dimasuki oleh organisasi kemahasiswaan Islam moderat
seperti HMI, PMII dan IMM. Akibatnya, panggung
kemahasiswaan banyak didominasi oleh kelompok mahasiswa
yang dekat dengan gagasan khilafah. Bahkan dalam
pengamatannya, BEM sekarang sudah banyak dikuasai oleh
kelompok Islamis bahkan hampir mendekati Jihadis. Demikian
penuturan Prof. Azra dalam wawancaranya di Kompas TV.

Dalam kegelisahannya tersebut, mantan Rektor UIN Jakarta ini


mengatakan, “Kembalikan organisasi ekstra mahasiswa seperti
HMI, PMII, dan IMM ke dalam kampus, sehingga mengurangi
dominasi organisasi Islam “kanan”.
Apa yang dikatakan Prof. Azra ini dapat dimaknai bahwa
pendekatan struktural-kekuasaan semata oleh pemerintah tidak
lantas akan mematikan penyebaran paham radikalisme di
kalangan mahasiswa. Maka, pendekatan kultural, intelektual dan
ideologis adalah penting dilakukan tanpa harus ditodong oleh
pistol kekuasaan. Dalam istilah BNPT disebut kontra narasi,
kontra ideologi ataupun deradikalisasi. Dalam istilah yang lebih
tepat lagi perlu membumikan moderasi Islam atau Islam
Wasathiyah. Lalu siapa yang dapat memainkan peran ini?

Otokritik untuk HMI, PMII, IMM dan Universitas

Maraknya radikalisme agama di kampus merupakan tamparan


keras bukan saja untuk pihak universitas, tetapi juga bagi
organisasi mahasiswa Islam moderat seperti HMI (lahir tahun
1947), PMII (lahir tahun 1960) dan IMM (lahir tahun 1964).
Bahkan dapat disebut suatu “kegagalan” organisasi-organisasi ini
dalam menghadapi arus pemikiran radikalisme agama yang
dihembuskan oleh kelompok Islam “kanan” meminjam istilah
Azra. Berkembangnya radikalisme agama di kalangan mahasiswa
merupakan otokritik bagi organisasi-organisasi ini.

Keberadaan dan peran ketiga organisasi mahasiswa Islam


moderat ini sesungguhnya dapat membendung penyebaran
paham radikalisme di lingkungan mahasiswa, khususnya kepada
mahasiswa baru. Menggigat, penetrasi organisasi Islam
transnasional yang menyebarkan paham khilafah, mengkafirkan
Indonesia dan seterusnya masuk ke kampus dengan begitu
sangat cepat penyebarannya adalah tantangan tersendiri bagi
organisasi-organisasi ini ditengah kesulitan eksistensial yang
menempanya.
Bagi mahasiswa yang belum bersentuhan dengan diskursus
keislaman, apalagi mahasiswa baru, provokasi dan doktrinasi
tentang Negara khilafah dan kebencian terhadap perbedaan
keyakinan serta pengkafiran terhadap ideologi atau sistem
kenegaraan di Indonesia begitu sangat mudah diterima.
Mengapa?

Umumnya berdasarkan pengalaman penulis bersentuhan dengan


kelompok ini, pada mulanya, kepada mahasiswa yang direkrut itu
mereka mengajarkan tertib ibadah yang baik, kesholehan dalam
beragama, dan akhlak dalam bergaul dengan cukup baik, hal ini
positif sebetulnya, namun tidak berhenti pada tataran itu. Setelah
itu semua, masuklah kepada doktrin bahwa satu-satunya solusi
untuk kejayaan Islam dan menyelamatkan Indonesia adalah
dengan mendirikan khilafah Islamiyah versi mereka.

Logika yang mereka konstruksi ibarat iklan “teh botol sosro”,


apapun masalahnya solusinya adalah khilafah. Masalah sumber
daya alam yang dikuasai asing, masalah kemiskinan, masalah
korupsi, masalah pendidikan, masalah kesejahteraan dan
seterusnya yang mendera Indonesia, mereka kampanyekan
kerusakan itu semua akibat dari sistem yang sesat. Solusinya
adalah khilafah. Dan memperjuangkannya adalah jalan dakwah
yang mulia atau jihad fii sabilillah yang pahalanya cukup besar.

Bagi mahasiswa baru utamanya, apalagi yang baru semangat


berislam dengan pemahaman keislaman seadanya, tentu saja
mereka tergiur dengan godaan nalar instan ini. Sebuah kredo
tentang mimpi kebahagiaan di dunia jika khilafah ditegakkan, dan
surga bagi yang memperjuangkannya. Sehingga mahasiswa yang
kemasukan doktrin ini, mereka dengan semangat berapi-api
mendakwahkannya ke mahasiswa lainnya, hitung-hitung untuk
investasi amal di dunia dan akhirat.
Sekarang ini HTI sudah dibubarkan, tentu organisasi semacam
Gema Pembebasan yang merupakan sayapnya di kampus tak
dapat eksis lagi secara organisatoris. Namun dakwah dan
pemikirannya terus berjalan. Selain Gema Pembebasan, ada pula
organisasi yang cukup eksis, mendominasi LDK, BEM, masjid
kampus, dan komunitas-komunitas kajian. Organisasi yang dekat
dengan pemikiran dan perjuangan Ikhwanul Muslimin, atau
disebut Azra dekat dengan paham radikalisme bahkan hampir
jihadis. Penulis tidak ingin menyebutkan nama organisasi ini,
biarkanlah pemerintah yang akan mengungkapkanya dengan
data BIN yang cukup.

Optimalisasi Peran HMI, PMII, dan IMM


Peran HMI, PMII, dan IMM sangat penting dan signifikan dalam
membendung paham radikalisme. Untuk itu, tiga organisasi
mahasiswa Islam moderat ini juga perlu mengevaluasi pola
pembinaan dan strategi dakwahnya di kampus.

Adanya kritik bahwa kader HMI, PMII dan IMM jauh dari masjid
kampus, kurang kajian keislaman yang menitiberatkan kepada
pembinaan kesholehan beragama, terlalu sibuk dengan politik
kampus dan saling gesekan antar sesama dan sederet kritik
lainnya dapat menjadi refleksi kendati tidak sepenuhnya benar.

Organisasi-organisasi kemahasiswaan Islam moderat ini


harus back to masjid, mendominasi LDK, membumikan kajian-
kajian keislaman di kampus yang tidak hanya untuk kadernya,
tetapi juga melibatkan mahasiswa secara umum. Ruang-ruang
dakwah yang belakangan sepi dari kader-kader HMI, PMII, dan
IMM harus diisi kembali secara dominan oleh kader-kader ketiga
organisasi ini. Termasuk di dalamnya BEM tanpa harus berdarah-
darah saling menyingkirkan, berbagi saja untuk memperkuat
dakwah bersama.

Kader ketiga organisasi ini, perlu membumikan kajian keislaman


dan keindonesiaan yang moderat, inklusif, transformatif dan kritis
di mana dimensi keislaman, kebangsaan dan kemanusiaan
berada dalam tarikan nafas yang satu.

Peran HMI, PMII, dan IMM diharapkan menghidupkan nalar kritis


mahasiswa. Sebab, kurangnya keterampilan berpikir kritis dan
logis di kalangan mahasiswa, dapat memudahkan mereka
terpapar radikalisme. Meminjam istilah Yudi Latif, radikalisme
lahir karena “miskin wawasan kemanusiaan, miskin pemahaman
keagamaan, dan miskin pengalaman bergaul lintas
kultural.” Wallahu’alam.

Anda mungkin juga menyukai