Anda di halaman 1dari 19

ILMU BEDAH KHUSUS

FRAKTUR FEMUR

NAMA : MARIA MARSINIANI MOI

NIM : 1509010022

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

UNIVERSITAS NUSA CENDANA

KUPANG

2018
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Fraktur adalah gangguan kontinuitas tulang dengan atau tanpa perubahan letak fragmen
tulang yang mengakibatkan tulang yang menderita tersebut kehilangan kontinuitasnya atau
keseimbangannya (Kumar, 1997). Fraktur merupakan salah satu kasus yang sering terjadi pada
hewan kesayangan terutama anjing dan kucing. Fraktur pada hewan, umumnya disebabkan oleh
trauma seperti terbentur benda keras, tertabrak kendaraan dan jatuh dari tempat yang tinggi.
Kasus fraktur sampai saat ini masih banyak dijumpai di tempat praktek dokter hewan, Klinik
Hewan maupun Rumah Sakit Hewan. Sebagian besar hewan mengalami fraktur pada tulang
panjang seperti tulang femur, humerus, radius, ulna, tibia dan fibula.

Prinsip penanganan fraktur adalah mengembalikan posisi tulang patah ke posisi semula
(reposisi) kemudian mempertahankan posisi tersebut sambil menunggu proses penyembuhan
patah tulang (immobilisasi) agar tulang tersebut dapat tersambung dengan baik dan benar.
Kesembuhan fraktur secara spesifik menghasilkan perbaikan pada struktur dan fungsi jaringan
tulang, berbeda dengan kesembuhan jaringan otot atau kulit, yang tidak dapat memperbaharui
kerusakan tanpa adanya pembentukan jaringan parut (Dimittriou et al., 2011). Reduksi dan
imobilisasi yang tepat dengan teknik reduksi spesifik menggunakan instrument bedah serta
penggunaan implan ortopedi diperlukan untuk mencapai kesembuhan tulang yang optimal dalam
perbaikan fraktur (Vertenten et al., 2010).

1.2 Tujuan
Tujuan pembuatan makalah ini adalah untuk mengetahui pengertian, indikasi, persiapan
operasi, pertimbangan anastesi, teknik operasi, dan perawatan post operasi pada fraktur
femur hewan.
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Definisi Fraktur Femur


Fraktur femur adalah hilangnya struktur dari tulang femur (Mansjoer, 2000). Sedangkan
menurut Sjamsuhidajat (2004) fraktur femur adalah fraktur pada tulang femur yang disebabkan
oleh benturan atau trauma langsung maupun tidak langsung. Fraktur femur juga didefinisikan
sebagai hilangnya kontinuitas tulang paha, kondisi fraktur femur secara klinis bisa berupa fraktur
femur terbuka yang disertai adanya kerusakan jaringan lunak (otot, kulit, jaringan saraf dan
pembuluh darah) dan fraktur femur tertutup yang dapat disebabkan oleh trauma langsung pada
paha.

Berdasarkan ada tidaknya hubungan dengan udara luar, fraktur dibedakan menjadi fraktur
tertutup dan fraktur terbuka. Fraktur tertutup, apabila ujung tulang yang patah masih tertutup
oleh otot dan kulit, tidak ada hubungan dengan udara luar. Fraktur terbuka yaitu apabila ujung
tulang yang patah berhubungan dengan udara luar, di sini kulit terbuka sehingga ujung tulang
yang patah tampak dari luar. (Kumar, 1997).

Berdasarkan tingkat kerusakan tulang, fraktur dibedakan menjadi fraktur complete dan
fraktur incomplete. Fraktur complete adalah fraktur yang ditandai dengan adanya kerusakan pada
2 fragmen dan perubahan letak dari fragmen tersebut. Sedangkan fraktur incomplete adalah
fraktur yang biasanya terjadi pada hewan muda dan ditandai dengan hilangnya kontinuitas dan
perubahan letaknya minimal, misalnya pada fraktur greenstick dan fraktur fissura (Kumar, 1997).

Sedangkan berdasarkan arah patahan dan lokasi, fraktur dibagi menjadi tujuh yaitu
fraktur transversal jika arah patahannya tegak lurus dengan sumbu panjang tulang. Apabila
dilakukan reposisi atau reduksi, fragmen tulang tersebut mempunyai kedudukan yang cukup
stabil sehingga mempunyai pengaruh yang baik untuk kesembuhan. Kemudian fraktur oblique
(miring) adalah fraktur dengan arah patahan miring membentuk sudut melintasi tulang yang
bersangkutan, fraktur spiral jika arah patahannya bentuk spiral disertai terpilinnya ekstremitas.
Fraktur impaktive adalah fraktur dimana salah satu ujung tulang masuk ke fragmen yang lain.
Fraktur comminutive adalah fraktur dimana tulang terpecah menjadi beberapa bagian. Fraktur
epiphyseal adalah fraktur pada titik pertemuan epiphysis pada batang tulang dan fraktur
condyloid adalah fraktur dimana bagian condylus yang patah terlepas dari bagian yang lain
(Kumar, 1997).

Dari beberapa penjelasan tentang fraktur femur di atas, dapat disimpulkan bahwa fraktur
femur merupakan suatu keadaan dimana terjadi kehilangan kontinuitas tulang femur yang dapat
disebabkan oleh trauma langsung maupun trauma tidak langsung dengan adanya kerusakan
jaringan lunak (Kumar, 1997).

2.2 Etiologi
Patah pada tulang femur dapat disebabkan oleh trauma. Secara umum penyebab fraktura
dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu penyebab ekstrinsik gangguan langsung seperti trauma
yang merupakan penyebab utama terjadinya fraktura, misalnya tertabrak, jatuh dari ketinggian.
Gangguan tidak langsung: bending, perputaran, kompresi. Penyebab intrinsik ,yaitu kontraksi
dari otot yang menyebabkan avulsion fraktur, seperti fraktur yang sering terjadi pada hewan
yang belum dewasa. Fraktur patologis seperti penyakit sistemik, seperti neoplasia, cyste tulang,
ricketsia, osteoporosis, hyperparatyroidism, osteomalacia (Simbardjo, 2008).

Adapun faktor-faktor yang menunjang terjadinya fraktura os femur diantaranya adalah


Umur : Hewan yang berumur muda lebih mudah mengalami faktura dibandingkan hewan tua.
Hal ini disebabkan tulang hewan muda lebih lunak konsistensinya dan masih banyak
mengandung zat perekat. Sedangakan hewan tua mempunayai zat perekat sedikit sehingga
konsistensi tulangtulangnya menjadi keras (Simbardjo, 2008).
Gizi : Hewan yang begizi jelek akan lebih mudah mengalami fraktura dibandingkan hewan yang
bergizi baik. Disamping pembentukan urat daging yang baik dari karbohidrat, protein dan lemak,
pertumbuhan tulangnya juga akan lebih baik dengan cukupnya mineral dan vitamin yang
dikonsumsi. Hewan yang kekurangan mineral, terutama yang berfungsi untuk komponen tulang
seperti kalsium dan fosfor, maka tulangnya menjadi rapuh(Simbardjo, 2008).

Tempat terjadinya trauma : Lebih mudah terjadi pada bagian tubuh hewan yang tidak diselaputi
atau sedikit sekali diselaputi urat daging dibandingkan tulang pada bagian tubuh yang dilindungi
oleh urat daging yang tebal (Simbardjo, 2008).
2.3 Indikasi Fraktur Femur
Indikasi fraktur femur pada prinsipnya adalah operasi yang dilakukan pada hewan-hewan
kesayangan, seperti kucing dan anjing. Biasanya pada keadaan trumatik termasuk kecelakaan,
jatuh dari ketinggian, tembakan, berkelahi dengan binatang lain serta karena suatu penyakit
seperti tumor ganas tulang dan radang tulang yang berat. Karena fraktur sering terjadi
disebabkan oleh trauma, maka sebaiknya hewan harus diperiksa untuk menentukan keparahan
luka juga luka sekunder lainnya (Fossum, 2002).
2.4 Gejala klinis
Hewan yang mengalami patah tulang femur memperlihatkan gejala klinis, pincang,
pembengkakan, anemia, krepitasi, Rasa nyeri. Pincang, terjadi karena persembuhan pada patah
tulang yang tidak sempurna. Pincang pada hewan liar atau hewan piara yang tidak mendapat
perhatian dari pemiliknya, biasanya terjadi karena fraktura ringan dan dapat sembuh dengan
sendirinya. Anemia, Suatu fraktura yang terbuka yang diikuti oleh perdarahan hebat, sehingga
menyebabkan hewan kehilangan banyak darah. Demam, adanya kerusakan dalam tenunan dapat
menggertak pusat pengatur panas sehingga dapat menimbulkan demam (fibris) (Dimittriou et al.,
2011).
Gejala lain yang mengikuti biasanya lesu, frekuensi nadi meningkat dan nafsu makan
berkurang. Krepitasi, adalah suara-suara yang dihasilkan oleh gesekan-gesekan dari segmen-
segmen. Krepitasi dapat dipakai untuk menentukan diagnosa suatu fraktura os femur.
Pembengkakan, terjadi akibat adanya reaksi tubuh terhadap fraktura. Di daerah terjadinya
fraktura terdapat perdarahan dan kerusakan jaringan tubuh. Sehingga terjadi reaksi pertahanan
tubuh karena kepingan-kepingan di daerah tesebut dianggap benda asing atau adanya infeksi
sekunder oleh kumankuman. Rasa nyeri, akan timbul dengan spontan bila bagian yang
mengalami fraktura digerakkan, sehingga hewan yang mengalami patah tulang biasanya malas
bergerak, karena kalau ia bergerak akan terasa sakit atau nyeri. Rasa nyeri tersebut juga berguna
untuk menentukan lokasi fraktura (Dimittriou et al., 2011).

2.5 Diagnosis dan Terapi

Diagnosis fraktur dilakukan dengan anamnesis, inspeksi, pergerakan, pengukuran, palpasi


dan pemeriksaan foto rontgent. Anamnesis dilakukan untuk mengetahui fraktur, penyebab, kapan
terjadinya sehingga dapat membantu diagnosis. Inspeksi dilakukan dengan seksama pada
anggota gerak, apakah ada kepincangan, pembengkakan, kekakuan gerak, perubahan warna,
kebiruan, pucat dan sebagainya. Pengukuran dilakukan dengan cara membandingkan bagian kaki
yang sehat dengan yang sakit, apakah terlihat simetris. Palpasi dilakukan dengan cara yang hati–
hati untuk mengetahui untuk mengetahui adanya krepitasi, oedema, rasa sakit, dan lain-lain.
Diagnosis paling tepat adalah dengan foto rontgent. Pemotretan fraktur harus diambil dari 2 sisi
yang saling tegak lurus sehingga diperoleh gambaran kedudukan tulang yang mengalami fraktur
secara jelas sehingga akan membantu terapinya (Mayer et al., 1959).

Cara penanganan fraktur pada dasarnya ditempuh dengan 2 tahapan yaitu reposisi atau
mengembalikan fragmen tulang pada kedudukan semula, kemudian dilanjutkan dengan fiksasi
atau immobilisasi yaitu mempertahankan keadaan hasil reposisi tersebut sampai fungsinya dapat
normal kembali (Mayer et al., 1959). Sedangkan menurut Kumar (1997), prinsip dasar
penanganan fraktur adalah aposisi dan immobilisasi serta perawatan setelah operasi yang baik.
Pertimbangan-pertimbangan awal saat menangani kasus fraktur adalah menyelamatkan jiwa
penderita yang kemungkinan disebabkan oleh banyaknya cairan tubuh yang keluar dan kejadian
shock, kemudian baru menormalkan kembali fungsi jaringan yang mengalami kerusakan.

Penanganan fraktur menggunakan konsep 4 R yaitu rekognisi, reduksi, retensi dan


rehabilitasi (Kumar, 1997). Untuk reduksi atau reposisi dilakukan secara terbuka yaitu
pembedahan. Kemudian rotasi atau fiksasi dilakukan dengan pin intramedullar yang dimasukkan
dengan intramedullar drill (Kumar, 1997). Menurut Nunamaker (1985), penggunaan pin
intrameduler sering dilakukan pada kasus fraktur pada tulang panjang, dimana penggunaan
fiksasi ini lebih efektif, murah dan resiko yang ditimbulkan rendah dibandingkan fiksasi dengan
jenis lain. Menurut Olmstead (1995), bermacam-macam teknik fiksasi dapat diterapkan pada
fraktur femur, termasuk pin intramedullar tertutup, pemasangan plate tulang, dan fiksasi
eksternal. Beberapa fraktur dapat difiksasi cukup dengan satu teknik, beberapa kasus dapat juga
dengan teknik khusus. Fraktur tranversal cukup stabil setelah difiksasi dengan pin intramedullar.

2.6 Obat dan Anastetika

Premedikasi dan Anestesi

Anestesi adalah substansi yang apabila diberikan akan menyebabkan hilangnya kesadaran
dan respon motorik terhadap rangsangan yang merugikan. Penggunaan anastetika untuk tujuan
operasi ditujukan untuk individu yang sehat dan dalam kondisi fisiologis normal, hal ini
disebabkan atas kenyataan bahwa setiap agen anestesi dapat digunakan dan atau mengganggu
fungsi normal dari organ atau beberapa sistem dalam tubuh (Brander et al.,1991). Semua zat
anastetik umum menghambat SSP secara bertahap, mula-mula dari fungsi yang kompleks akan
dihambat dan yang terakhir dihambat adalah medulla oblongata dimana terletak pusat pernafasan
yang vital.

Menurut Soma (1971) tahap-tahap dalam anestesi umum dibagi kedalam 4 stadium. Menurut
Hall (1978) tanda-tanda anestesi pada hewan adalah : (1) Stadium I adalah stadium induksi atau
dikenal sebagai stadium eksitasi bebas atau stadium analgesia. Pada tahap ini hewan masih sadar
dan dapt melawan pemberian anastetikum pernafasan thorako-abdominal. Frekuensi pulsus dan
nafas meningkat, dilatasi pupil, hewan sering urinasi dan defekasi. (2) Stadium II merupakan
stadium eksitasi tak bebas atau delirium. Memasuki stadium ini hewan hilang kesadarannya,
nafas tidak teratur, reflek pedal sangat kuat reflek meNelan, muntah dan batuk mash ada.
Stadium I dan II dapt dilewati dengan cara pemberian separuh dosis anastetika secara cepat
kemudian sisanya diteruskan secara perlahan-lahan dengan terus memonitor denyut jantung serta
frekuensi pernafasannya sampai tercapai keadaan anestesi yanf diinginkan. (3) Stadium III,
merupakan stadium yang tepat untuk dilakukan operasi. Stadium ini dibagi menjadi tiga
tingkatan atau plane, yaitu plane dangkal, sedang dan dalam. Pada plane dangkal ditandai oleh
pernafasan yang teratur dengan tipe thorako-abdominal, otot anggota gerak relaksasi, reflek
pedal, palpebrae, batuk masih ada, bola mata bergerak dari lateral ke medial, sedangkan reflek
kornea dan konjunctiva terdepres. Anestesi pada tahap ini dapat dilaksanakan operasi yang
bersifat ringan dan untuk keperluan diagnostik. Plane sedang ditandai dengan pernafasan
thorako-abdominal, reflek batuk dan menelan masih ada, reflek pedal melemah, bola mata
bergerak ke ventromedial, otot relaksasi kecuali otot abdominal. Anestesi pada tahap ini dapat
digunakan untuk semua operasi, kecuali operasi di daerah perut. Pada plane dalam, pernafasan
abdominal semua reflek batuk, menelan, pedal dan palpebrae hilang, otot seluruh tubuh relaksasi,
bola mata ditengah, serta tekanan rahang hilang. (4) Stadium IV adalah stadium overdosis atau
stadium paralisis. Pada tahap ini diaphragma masih aktif tetapi otot dada mengalami paralisis
sempurna, pulsus cepat tapi lemah, pupil melebar, sekresi lakrimalis terhenti, nafas tersengal-
sengal, pernafasan melemah dan berhenti.

Pemberian anestesi pada dasarnya bertujuan untuk mengurangi bahkan menghilangkan


rasa nyeri baik disertai atau tanpa disertai hilangnya kesadaran. Obat-obat anastetik yang
diberikan pada hewan akan membuat hewan tersebut tidak peka terhadap rasa sakit sehingga
hewan menjadi lebih tenang, dengan demikian pembedahan dapat dilaksanakan lebih aman dan
lancer (Sardjana,2004).

Persiapan hewan sebelum pemberian obat anastetik diberikan obat-obat preanastetik atau biasa
disebut premedikasi. Premedikasi diberikan dengan tujuan membuat hewan lebih tenang dan
terkendali, mengurangi dosis anatesi, mengurangi efek-efek otonomik yang tidak diinginkan,
mengurangi nyeri preoperasi (Sardjana, 2004). Menurut Kumar (1997), premedikasi adalah suatu
substansi yang terdiri dari sedativa atau transquilizer sebagai penenang dan substansi
antikolinergik. Tujuan dari pemberian premedikasi adalah untuk mengurangi kecemasan,
mengurangi keadaan gawat anestesi, memperlancar injeksi, mengurangi timbulnya hipersalivasi,
bradikardia dan muntah sesudah atau selama anestesi, serta membuat hewan menjadi lebih
tenang, mengurangi irritabilitas saraf pusat sehingga menaikkan efek anestesi.

Obat premedikasi digolongkan dalam 5 bagian yaitu: analgesik narkotik, sedativa barbiturat dan
non-barbiturat, antikolinergik dan penenang. Obat ini sebaiknya diberikan secara oral sebelum
anestesi, kecuali pada keadaan gawat (Hall dkk, 1983).

Atropin Sulfat
Atropin merupakan alkaloid yang penting dari tanaman Atropa belladona dan digunakan
dalam anestesi sebagai sulfat yang larut air (Brander et al.,1991). Atropin sulfat merupakan
anticholinergik yang paling sering digunakan sebagai premedikasi. Dosis untuk premedikasi
pada anjing dan kucing yaitu 0.02 - 0.04 mg/kg SC or SQ (Muir, 1987).

Atropine, seperti agen antimuskarinik lainnya, secara kompetitif menghambat asetilkolin


atau stimulan kolinergik lain pada neuroefektor parasimpatik postganglionik. Pada dosis tinggi
dapat memblok reseptor nikotinik pada ganglia otonom dan pada junction neuromuskular. Efek
farmakologik tergantung pada dosis yang digunakan. Pada dosis rendah salivasi, sekresi
bronkial, dan keringat (tidak pada kuda) dapat dihambat. Pada dosis menengah, atropine
mendilatasi dan menghambat akomodasi pupil, dan meingkatkan denyut jantung. Dosis tinggi
akan menurunkan motilitas traktus gastrointestinal dan urinarius. Pada dosis yang sangat tinggi
akan menghambat sekresi gastrium (Plumb, 1999).

Atropine sulfate diabsorbsi dengan baik setelah pemberian oral, injeksi IM, inhalasi, atau
administrasi endotracheal. Setelah administrasi IV, efek puncak yaitu pada denyut jantung terjadi
dalam waktu 3-4 menit. Atropin didistribusikan dengan baik ke seluruh tubuh dan samapi CNS,
melewati plasenta, dan dapat didistribusikan dalam jumlah sedikit lewat air susu. Atropine
dimetabolisme di hati dan diekskresikan lewat urin. Sekitar 30-50% dari dosis diekskresikan
tanpa mengalami perubahan lewat urin. Half-life pada plasma manusia dilaporkan sekitar 2-3
jam (Plumb, 1999).

Ketamin HCl

Ketamin HCl merupakan derivat sikloheksason yang menimbulkan keadaan yang disebut
anestesi disosiatif. (Brander, et al., 1991). Ketamin adalah larutan yang tidak berwarna, stabil
pada suhu kamar dan relatif aman (batas keamanan lebar). Ketamin mempunyai sifat anlgesik,
anastetik dan kataleptik dengan kerja singkat. Sifat analgesiknya sangat kuat untuk sistem
somatik, tetapi lemah untuk sistem visceral. Tidak menyebabkan relaksasi otot lurik, bahkan
kadang-kadang tonusnya sedikit meninggi (Kumar, 1997).

Ketamin merupakan anestetik umum yang bekerja cepat yang juga mempunyai aktivitas
analgesik dan efek depresan kardiopulmonary yang kurang. Diperkirakan ketamin menginduksi
anestesia dan amnesia dengan menghambat secara fungsional dengan mengganggu CNS dengan
cara over stimulasi CNS atau menginduksi status kataleptik. Ketamin menghambat GABA, dan
juga mungkin memblok serotonin, norepinefrin, dan dopamin di CNS. Sistem
thalamoneurokortikal didepres sedangkan sistem limbik diaktifkan. Ketamin menginduksi
stadium anestesi I dan II, tapi tidak stadium III. Efek pada tonus otot bervariasi, tapi biasanya
ketamin menyebabkan tidak ada perubahan tonus otot atau dapat meningkatkan tonus otot.
Ketamin tidak menghilangkan refleks pinnal dan pedal, maupun refleks photik, korneal,
laryngeal, atau faringeal. Efek ketamin pada sistem kardiovaskuler termasuk peningkatan cardiac
output, denyut jantung, tekanan aortik, tekanan arteri pulmonari, dan central venous pressure.
Ketamin tidak menyebabkan depresi respirasi secara sinifikan pada dosis biasa, tapi pada dosis
yang lebih tinggi dapat menyebabkan respiratory rate menurun (Plumb, 1999).

Ketamin sebagian besar mengalami dealkilasi dan hidrolisis dalam hati kemudian
diekskresikan terutama dalam bentuk metabolit dan sedikit dalam bentuk utuh. Dosis yang
digunakan pada anjing adalah 10-20 mg/kg berat badan secara intra muscular akan memberikan
pengaruh anestesi selama 20-60 menit (Kumar, 1997).

Ketika digunakan sebagai obat tunggal, ketamin tidak menghasilkan relaksasi muskulus
skeletal yang baik, dan dapat mencapai recovery dengan segera dan biasanya dapat
menyebabkan konvulsi pada anjing dan terkadang kucing. Untuk catatan dalam pemberian
ketamin-xylazine pada anjing, bahwa obat ini dapat menyebabkan kardiak aritmia, edema
pulmoner, dan depresi respirasi. Sehingga sebelum diberikan, perlu diberikan premedikasi
misalnya atropine sulfat 0.044 mg/kg IM, 15 menit kemudian diberi xylazine (1.1 mg/kg) IM, 5
menit kemudian diberikan ketamine (22 mg/kg) IM (Plumb, 1999).

Ketamin sebagai produk analgesia memiliki sangat sedikit yang fungsi dalam memblokir
visceral pain. Konsekuensinya ketamin seharusnya tidak diberikan secara intraabdominal atau
intratorasikal, kecuali diberikan dengan kombinasi nitrous oxside atau agen inhalasi yang lain.
Peningkatan pada tekanan intra okuler dihasilkan oleh peningkatan pulsasi otot ekstra okuler,
penggunaan ketamin terbatas pada operasi mata. Obat ini seharusnya tidak diberikan pada kucing
dengan kelainan jantung dan beberapa penyakit lainnya seperti takhikardia, penyakit ginjal atau
obstruksi urinari kronis (Donalds, C.S., 1982).
Narkotik, barbiturat, atau diazepam dapat memperpanjang waktu rekoveri dan efek
stimulatori kardiak pada ketamin dapat hambat. Kloramfenikol (parenteral) dapat
memperpanjang aksi anestetik ketamin (Plumb, 1999).

Xylazine HCl (Rompun)

Xylazine merupakan sedativa yang efektif untuk ruminansia dan kuda, sedangkan pada
anjing dan kucing dengan pemberian 1-3 mg/kg berat badan dapat menyebabkan vomitus dan
defekasi (Brander et al.,1991). Merupakan sedativa non narkotik yang poten dan analgesik dan
merupakan relaksan muskulus yang baik. Efek sedativa dan analgesia bekerja mendepres sistem
syaraf pusat, relaksasi muskulus karena terhambatnya tranmisi intraneural dari impuls pada
syaraf pusat (Lumb and Jones, 1984). Menurut Kumar (1997), xylazine merupakan obat yang
berfungsi sebagai muskulorelaxan. Hal ini akan menyebabkan tekanan pada vasomotor dan pusat
pernafasan. Pada pemberian lokal anastetika yang disuntikkan pada otot atau sekitar nervus akan
menghasilkan muskulorelaxan pada tepi.

Pengaruh pemberian akan tampak setelah 10-15 menit secara intramuskuler ditandai
dengan respirasi dan denyut jantung akan menurun dan terjadi perubahan sementara pada
konduktivitas jantung. Dosis yang digunakan untuk anjing adalah 1-2 mg/kg berat badan
(Brander et al, 1991).

Efek xylazine pada anjing dan kucing adalah terjadinya muntah, pada pemberian secara
intravena atau intramuskuler sering terjadi distensi abdomen akut (Brander et al, 1991). Kontra
indikasi dari xylazine sebagai sedativa adalah menginduksi bradikardia pada level 2 memblok
arteri. Jika anjing agresif maka pemberian xylazine harus dikombinasikan dengan atropin secara
simultan (Donald, C.S., 1982).

Ketamine-Xylazine

Kombinasi antara ketamin dan xylazine merupakan kombinasi terbaik bagi kedua agen
ini untuk menghasilkan analgesia. Banyak hewan yang teranestesi secara baik dengan
menggunakan kombinasi ini. Anestesi dengan ketamin xylazine memiliki efek lebih pendek jika
dibandingkan dengan pemberian ketamin saja, tetapi kombinasi ini menghasilkan relaksasi
muskulus yang baik tanpa konvulsi. Emesis sering terjadi pasca pemberian ketamin-xylazine,
tetapi hal ini dapat diatasi dengan pemberian atropin 15 menit sebelum pemberian ketamin-
xylazine (Jones and Lumb, 1984). Efek sedasi xylazine akan muncul maksimal 20 menit setelah
pemberian secara intramuskuler dan akan berakhir setelah 1 jam, sedangkan efek anestesi
ketamin HCl akan berlangsung selama 30-40 menit dan untuk recovery dibutuhkan waktu 5-8
jam (Sardjana dan Kusumawati, 2004)

2.7 Persiapan pre Operasi

 Persiapan alat-alat operasi


Peralatan operasi dicuci dengan air sabun, disikat dan dibilas air lebih kurang 10 kali
dengan air hangat kemudian dikeringkan dengan lap bersih dan steril. Lalu dimasukkan ke
wadah alat, ditutup kain dan disterilkan menggunakan autoclave 121 0C selama 15 menit atau
100 0C selama 1 jam. Pakaian dan perlengkapan operasi lainnya bersih dan dilipat lalu dibungkus
kain dan dimasukkan ke dalam autoclave 60 0C selama 30 menit.
 Persiapan Tempat Operasi
Tempat operasi yang digunakan harus bersih. Serta sudah di disinfeksi. Cahaya dalam
ruangan harus terang agar operasi berjalan lancar.
 Persiapan hewan
Hewan diperiksa lebih dahulu keadaan fisiknya. Lalu dibius menggunakan ketamin 10%
dan xylazin 2% secara intra muskular pada m. semitendinosus dan m. semimembranosus.
 Persiapan Operator dan Co-operator
Sebelum melakukan operasi, operator dan co-operator mencuci tangan dari ujung jari
sampai kesiku dengan sabun dan dibilas dengan air bersih. Tangan dibersihkan dengan handuk
bersih kemudian desinfeksi dengan alcohol 70 % lalu operator dan co-operator mengenakan
sarung tangan dan pakaian untuk bedah. Keadaan asepsi tersebut dipertahankan hingga operasi
selesai.
2.8 Teknik pembedahan
Beberapa pendekatan dalam teknik pembedahan yang dapat dilakukan pada operasi
penanganan kasus fraktura os femur. Pendekatan ini dipilih berdasarkan tempat terjadinya patah
pada os femur tersebut.
1. Fraktura os femur
Kulit pada daerah lateral femur disayat mengikuti sumbu panjang os femur kira-kira 5-7 cm.
Pembedahan dilakukan dari sebelah lateral dengan membuat sayatan tepat dari trochanter mayor
condylus lateralis, kemudian juga disayat fascia femoris dengan m. tensor fascia lata. M. biceps
femoris ditarik ke kaudal dan m. vastus lateralis yang terletak diprofundal dari m. tensor fascia
latae ditarik ke cranial, maka sebagian besar dari os femur akan nampak. Dengan demikian
pemasangan aparat fiksasi dapat dilakukan.
Bone pin dimasukkan ke dalam sumsum tulang (medulla) femur ke bagian atas terlebih
dahulu, lalu dilakukan toggling untuk memasukkan bone pin ke dalam medulla os femur bagian
bawah dari fraktur. Sebelum digunakan, pin diukur untuk menentukan kedalaman tulang agar
tidak terlalu pendek maupun menembus tulang.
Setelah os femur mengalami reposisi dan fiksasi dilakukan penjahitan pada bagian otot yang
tersayat dengan benang vycryl 3-0 menggunakan pola jahitan terputus. Subcutan dijahit dengan
benang plain catgut 3-0 menggunakan pola jahitan menerus. Kulit dijahit dengan benang non
absorbable menggunakan pola jahitan terputus. Bekas sayatan diberikan iodium tincture 3% dan
antibiotic tabur lalu ditutup dengan kasa steril. Kemudian hewan diinjeksi antibiotic dan
antiradang.
Setelah penutupan selesai, dilakukan x-ray untuk melihat kedalaman pin yang telah
terpasang. Apabila pin yang dipasang sudah tepat, maka pin yang ada diluar tubuh dipotong
dengan menggunakan pin cutter (Simbardjo, 2008).
Gambar 2. X-ray setelah pemasangan pin

2. Fraktura os femur proksimalis


Metode operasi yang digunakan adalah pemasangan bone pin dan bone wire. Pertama-tama
sayatan dilakukan pada kulit di daerah paha lateral. Sayatan dilakukan sejajar dengan os femur,
dengan panjang sayatan lebih kurang 3 cm. Setelah kulit terbuka, otot-otot yang berada
dibawahnya seperti M. biceps femoris dikuakkan tepat diatas os femur, hal ini dilakukan untuk
meminimalisir kerusakan jaringan. Setelah dikuakkan, dicari posisi tulang yang mengalami
fraktur. Setelah tulang yang mengalami fraktur terlihat, tulang dikuakkan dengan pengungkit.
Pada kedua sisi oblique tulang yang fraktur dilakukan sedikit pemotongan untuk meratakan
permukaan tulang sehingga mudah disatukan kembali kedua sisinya. Bone pin terlebih dahulu
dimasukkan dalam lumen os femur bagian distal, harus dipastikan bahwa bone pin benar-benar
terfiksasi kuat didalam lumen tulang. Selanjutnya bagian ujung bone pin yang telah dimasukkan
ke dalam os femur distal disatukan dengan os femur proksimal dengan cara toggling. Mengingat
bentuk patahan tulang yang tidak beraturan perlu dilakukan bone wire untuk lebih memperkuat
fiksasi os femur. Bone wire dilakukan di dua lokasi os femur yang mengalami fraktura.
Setelah os femur mengalami reposisi dan fiksasi dilakukan penjahitan pada bagian otot
yang tersayat dengan benang vycryl 3-0 menggunakan pola jahitan terputus. Subcutan dijahit
dengan benang plain catgut 3-0 menggunakan pola jahitan menerus. Kulit dijahit dengan benang
non absorbable menggunakan pola jahitan terputus. Bekas sayatan diberikan iodium tincture 3%
dan antibiotic tabur lalu ditutup dengan kasa steril. Kemudian hewan diinjeksi antibiotic dan
antiradang.
Setelah penutupan selesai, dilakukan x-ray untuk melihat kedalaman pin yang telah
terpasang. Apabila pin yang dipasang sudah tepat, maka pin yang ada diluar tubuh dipotong
dengan menggunakan pin cutter (Simbardjo, 2008).
Gambar 3. Kombinasi fiksasi menggunakan pin dan wire

2.9 Perawatan Post operasi

Untuk perawatan post operasi hewan disimpan pada kandang yang bersih dan kering serta
diberi neurobion 0,5 mg/hari secara IM dan diberikan antibiotik berupa amoksisilin dalam
bentuk sirup amoxan sebanyak 5 ml per pemberian 3 kali sehari selama 5 hari dan pemberian
asam mefenamat tablet sebanyak ¼ tablet selama 5 hari. Pemberian neurobion dilakukan untuk
memperkuat kerja syaraf sedangkan pemberian antibiotic dilakukan untuk mencegah infeksi
sekunder. Pasang Elisabeth colar pada hewan untuk menghindari hewan menjilat dan menggigiti
lukpasca amputasi. Hewan diletakkan pada kandang yang bersih dan kering. Makanan yang
diberikan pada hewan harus bergizi dan banyak mengandung kalsium untuk
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Fraktur femur merupakan jenis fraktur yang sering terjadi pada anjing terutama akibat
kecelakaan lalu lintas. Patah pada tulang femur dapat disebabkan oleh trauma. Fraktura karena
trauma dapat dibedakan menjadi dua, (1) fraktura os femur directa yaitu fraktura yang terjadi
tepat di tempat trauma tersebut datang. (2) Fraktura os femur indirecta yaitu fraktur yang terjadi
tidak tepat di tempat trauma tersebut datang. Secara umum penyebab fraktura dapat dibagi
menjadi dua macam yaitu penyebab ekstrinsik dan penyebab intrinsic.
Diagnosis fraktur dilakukan dengan anamnesis, inspeksi, pergerakan, pengukuran, palpasi
dan pemeriksaan foto rontgent. Anastesi yang digunakan adalah anastesi umum inhalasi.teknik
operasi melalui dua pendekatan yakni fraktur os femur dan pendekatan fraktur os femur
proksimalis.Stadium persembuhan terhadap kasus fraktura dibagi enjadi tiga tahapan yakni
Stadium callus primer, Stadium callus sekunder (regenerasi),dan Stadium konsolidasi atau
ossifikasi.
Daftar Pustaka

Archibald, J. 1974. Canine Surgery 2nd Edition. America Veterinary Publication. Amerika.

Arif, Mansjoer,dkk.2000.Kapita Skeleta Kedokteran, Edisi 3,Medica Aesculpalsu, FKUI, Jakarta

Artmeier, P.1972. The Use of Rompun in Small Animal Practice. Vet. Med. Rev. ¾ : 259-263

Benjamin, Maxine M. 1981. Outline of Veterinary Clinical Pathology Third edition. Iowa: The
Iowa State University Press.

Bistner, S.l and Kirk, R.W. 1985. Hand Book of Veterinary Procedures and Emergency
Treatment 4th. W.B. Saunders Company, Philadelpia.

Boden, Edward. 2005. Black Veterinary Dictionary 21st Edition. Soho Square, London.

Black, Joyce M.1993. Medical Surgical Nursing . W.B.Sainders Company Philadelphia.


Brander, G.C.D.M. Pugh and R.J.Bywates. 1991. Veterinary Apllied Pharmacology and
Therapeutics 5th ed Baillere Tindal Limited, London

Coles, E.H., 1986, Veterinary Clinical Pathology, 4th ed., W.B Saunders Company, Piladelphia
London, pp 64-65, 68-69.Columbus, Ohio.

Donald, C.S., 1982, The Practice of Small Animal Anasthesia. WB Saunders Company,
Philadelphia.

Donald L.P, D.V.M., Ph.D., 1993. An Atlas of Surgical Approaches to the Bones and Joints of
the Dog and Cat, Third edition. W.B Saunders Company. Philadelphia, Pennsylvania.

Dukes, H.H., 1957, The Physiology of Domestic Anima, 6th ed., Camstock Publishing
Associates, Ithaca New York, pp 48, 392-396, 406-425.

Fossum, T.W.2002. Small Animal Surgery. Second Edition. Mosby, USA.

Frandson, 1986, Anatomy and Physiology Farm Animal, 4th Ed., LEA and Febiger, Philadelphia.

Guyton dan Hall, 1987. Fisiologi Kedokteran. W.B. Saunder Company. Phyladelphia.

Hall, L.W., dan Charke, K.W., 1978, Veterinary Anasthesia, 8th ed., English Language Book
Society and Bailehere Tindall, London.

Hariono, B., 2005. Buku Panduan Kuliah Patologi Klinik : Hematologi. Laboratorium Patologi
Klinik. Yogyakarta: Fakultas Kedokteran Hewan. Universitas Gadjah Mada.
Kirk, R. W. And Bistner, S. J. 1985. Handbook of Veterinary Procedures and Emergency
Treatment. 3th edition. Philadelphia: W. B. Sounders Co.

Kumar, A. 1997.Veterinary Surgical Technique 1st. Vikas Publishing, New Delhi.

Lumb, W.V., dan Jones, E.W., 1984, Veterinary Anasthesia, 2nd ed., Lea and Febriger,
Philadelphia.

Meyer, K., Lacroix, J. V. And Hoskins, H. P., 1962. Canine Medicine 2th edition. American
Veterinary Publication Inc. Santa Barbara, California.

Mitruka, B. M., and Rawnsley, H. M., 1981. Clinical Biochemical and Hematological Reference
Values in Normal Experimental Animals and Normal Humans Second edition. Year Book
Medical Publisher Inc.

Muir, W.W., 1987. An Outline of Veterinary Anesthesia. Columbus: Anesthesia Dept., Dept. of
Veterinary Clincical Sciences, Ohio State University.

Permattei D.L., Gretchen L. F., Charles E.D., 2006. Brinker, Permattei and Flo’s Handbook of
Small Animal Orthopedics and Fracture Repair, 4th Edition. Saunders Elsevier. St.
Louis, Missouri.

Plumb, DC., 1999. Veterinary Drugs Handbook 3rd Edition, Iowa State University Press. Ames.

Birchard, Stephen J and Sherding, Robert G. 2000. Saunders Manual of Small Animal Practice.
2nd ed. W.B. Saunders Company. Philadelphia

Johnson Ann L. 2005. Atlas of Orthopedic Surgical Procedure of The Dog and Cat. Elserier Inc.
USA

Ticer J.W. 1975. Radigraphic Technique in Small Animal Practise. W.B. Saunders Company.
Kanada
Hickman, J.&R.G Walker 1980. AnAtlas Veterinary Surgery Second Edition. John Wrigh &
Son. Ltd. Philadelphia.
Irwandi Yusuf, Drh. Msc. 1995. Penuntun Praktikum & Penuntun Koasistensi. FKH UNSYIAH
Darussalam. Banda Aceh.
Reksoprodjo,S. 2002. Kumpulan Ilmu Bedah. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Simbardjo,O. 2008. Fraktur Batang Femur. Dalam Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah. Bagian Bedah.
FKUI.
Sjamsuhhidajat R,Wim de Jong, 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi 2, Jakarta EGC
Tilley,P.L&F.W.K.Smith. 2000. The Five Minute Veterinary Consult Canine and Feline. Second
Edition. Lippicont Philadelphia.

Anda mungkin juga menyukai