Anda di halaman 1dari 7

KESAKSIAN RUKYAH NON MUSLIM

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Problematika Fiqh Sains

Pengampu : Drs. H. Slamet Hambali, M.Si

Oleh:

Afrizal Muhammad Fauzi

NIM. 1600028002

PRODI S2 ILMU FALAK FAKULTAS SYARIAH

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO

S E MARANG
2017
A. Pendahuluan

Rukyah al hilal merupakan hal yang sangat diperlukan untuk


dilakukan sebelum umat islam menjalankan ibadah terutama ibadah Puasa
Ramadhan, Hari Raya idul Fitri dan Idul Adha sebagaimana Hadits Nabi
yang berbunyi

‫ص للىَّ ال ل هع ععلعني نه عوعس لعم أعنلهع ذععكنعر عرعم ع‬


، ‫ضاَعن‬ ‫اللبن يي ع‬
‫ععن ابننن ععمر ر ن‬
َ‫ عع نن ن‬، َ‫ض عي ال ل هع عع ننَنعهعما‬ ‫عع ع‬ ‫ن‬

، ‫ فعننإنن أعنغنمنعي ععلعنيعكننم‬، ‫ عوعل تعننفنطنعروا عحتلنىَّ تعنعرنوهع‬، ‫صوُعموُا عحلتىَّ تعنعرنوا الننهعلعل‬
‫ " عل تع ع‬: ‫فعنعقاَعل‬

‫عفاَقنندعروا لعهع‬
Artinya : dari ibn ‘Umar r.a (diriwayatkan) bahwa Rasululloh SAW
menyebut Ramadhan dan bersabda : Janganlah kamu berpuasa sebelum
melihat hilal dan janganlah kamu beridulfitri sebelum melihat hilal; Jika
Bulan terhalang oleh awan terhadapmu maka perkirakanlah.
Imam Nawawi menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan melihat
(rukyah) di sini adalah rukyah yang dilakukan oleh sebagian umat muslim,
dan tidak mensyaratkan untuk semua umat islam harus melihat hilal, tetapi
cukup diwakilkan oleh dua orang islam yang adil saja 1. Untuk berpuasa
cukup dengan persaksian seorang yang adil tetapi untuk idul fitri tidak
boleh hanya menggunakan persaksian seorang saja. Ini merupakan
pendapat mayoritas ulama’ kecuali Abu Tsaur yang cukup dengan
persaksian seorang saksi yang adil saja.
Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa pada zaman dahulu
seorang saksi terutama dalam hal rukyah diharuskan seorang yang muslim
dan adil. Tetapi zaman semakin berkembang dan teknologi semakin
berkembang termasuk di dalamnya teknologi untuk melakukan rukyah.
Ilmuwan yang tertarik untuk melakukan penelitian dan pengamatan

1 Al Nawawi, Muhyiddin abu Zakaria Yahya bin Syarif Bin Muri, tt, al Minhaj Syarhu al Nawawi
‘ala muslim, Baitul Ifkar, hal 681

2
tentang hilal tidak lah hanya dari kalangan muslim tetapi juga dari
kalangan non muslim dengan tujuan yang berbeda-beda.
Kejadian ini menimbulkan sedikit permasalahan yaitu bagaimana
jika menyaksikan hilal dan berani disumpah adalah dari golongan non
muslim. Apakah kesaksian itu diterima atau ditolak. Berangkat dari
masalah ini perlulah dikaji lebih dalam terkait bagaimana ulama fiqh
memandang kesaksian rukyah orang non muslim dalam penentuan awal
bulan kamariyah.

B. Pembahasan
1. Pengertian Rukyah

Kata Rukyah berasal dari Bahasa Arab ‫ رؤين ننة‬- ‫ راء – ين ننرى‬yang
artinya melihat2. Maksudnya melihat bulan secara fisik dengan mata. Hilal

merupakan kata tunggal dari Ahillah atau Ahalil3 atau Bulan baru
merupakan salah satu fenomena alam yang berbentuk piringan kecil
Bulan, bagian dari proses perubahan penampakan wajah Bulan di langit.
Penampakan wajah Bulan di langit mempunyai siklus yang beraturan,
yang mana tahapan perubahan tersebut secara teknis dinamakan fase
Bulan sinodis. Rukyatul hilal adalah melihat (bulan baru/sabit) setelah
ijmak (konjungsi) dan setelah wujud atau muncul di atas ufuk pada akhir
bulan dengan mata telanjang atau melalui alat.
2. Pengertian saksi
Menurut kamus besar bahasa Indonesia saksi adalah orang yang
melihat atau mengetahui sendiri suatu peristiwa (kejadian). Dalam kitab-
kitab fiqh, saksi diutarakan dalam kata “kesaksian” sebagaimana berikut:
Kesaksian adalah ibarat dari pembuktian seseorang yang benar di depan
pengadilan dengan ucapan kesaksian untuk menetapkan suatu hak orang

2 Ahmad Warson Munawir, Kamus Munawir, Pustaka Progressif, Surabaya 1996, hal. 640

3 Hans Wehr, t.t, Arabic- English Dictionary (New York: Spoken Language Service), h. 1616

3
lain.4 Kesaksian adalah pemberitahuan yang benar untuk menetapkan
suatu hak dengan ucapan kesaksian di depan sidang pengadilan.5

Dari beberapa pengertian di atas jika dikaitkan dengan rukyah berarti saksi
adalah orang yang melihat atau mengetahui sendiri bahwa hilal sudah
berada di atas ufuk sebagai penanda telah masuk bulan baru pada tahun
Hijriyah.
3. Kesaksian rukyah Non Muslim Dalam Pandangan Ulama
Maliki dan Hanabila
A. Madzhab Maliki
Ulama malikiyah mensyaratkan rukyah diterima dengan
tiga kemungkinan yang pertama adalah jika disaksikan oleh dua
orang yang adil. Satu saksi bisa diterima dengan syarat saksi
tersebut haruslah laki-laki yang adil, merdeka, baligh, berakal dan
tidak pernah melakukan dosa besar maupun dosa kecil yang
diulang-ulang6. Kemungkinan yang kedua rukyah akan diterima
jika yang melihat itu orang banyak yang menutup kemungkinan
untuk berbuat bohong. Pada kondisi ini malikiyah tidak
mengharuskan yang rukyah adalah orang laki, merdeka maupun
adil7. Kemungkinan yang ketiga apabila yang melihat hanya ada
satu orang dan orang disekelilingnya tidak mengerti tentang hilal,
tetapi jika orang disekitarnya mengerti tentang hilal dan tidak bisa
memutuskan hasil rukyah tersebut maka kewajiban puasa hanya
berlaku pada yang melihat hilal saja bukan berlaku secara umum8.
Dari syarat di atas ulama malikiyah tidak mensyaratkan
seorang islam tapi harus merupakan orang yang adil. Tetapi

4 Muhammad Salam Madzkur, al- Qadlu fii al_islam, Kairo:Darul Nahdatul Arabiyah, 1964, h.
83.

5 Ibnu Hamman, Syarah Fathul Qarib, Mesir: Mustafa al-Babil Halabi, 1970, juz IV, h. 415.

6 Abdur rahman Al Jaziri, Fiqh Ala Madzahib Al Arba’ah, TT, Juz 1, hal 869

7 ibid

8 ibid

4
seseorang dikatakan adil adalah jika orang tersebut adalah seorang
muslim yang selalu bertakwa dan menjaga kehormatannya9. Maka
secara tersirat mengharuskan saksi beragama islam karena tidak
mungkin orang kafir bertakwa dan menjalankan syariat Allah
dengan sungguh – sungguh.
Ulama malikiyah memberi sedikit kelonggaran kepada
saksi tidak mengharuskan orang yang adil tetapi yang melihat
harus haruslah orang yang banyak yang menyebabkan mereka
semua tidak bisa bersepakat untuk berbohong. Jadi saksi
nonmuslim masih bisa diterima jika saksi tersebut berada diantara
saksi muslim lainnya yang juga sama-sama melihat hilal.
B. Madzhab Hambali
Rukyah diterima hanya oleh orang yang adil dan sudah
mukallaf. Jadi tidak akan diterima rukyah seorang anak yang sudah
mumayyiz. Tetapi adil di sini tidak membedakan baik orang itu
laki-laki atau perempuan, maupun merdeka atau budak. Ulama
hanabila juga tidak mensyaratkan mengucapkan “saya bersaksi”.
Maka semua orang yang sudah mendengar berita ini diwajibkan
untuk melakukan puasa.
Sedangkan menurut ulama hanabila lebih sempit lagi
dengan mengharuskan saksi adalah minimal dua orang saksi yang
adil dan mukallaf. Secara tidak langsung persaksian dari
nonmuslim secara tegas ditolak oleh ulama hanabila. Tetapi tidak
baik saksi tersebut laki-laki maupun perempuan keduanya bisa
menjadi saksi asalkan mereka adalah seorang yang adil
sebagaimana pengertian adil yang sudah dijelaskan dalam
pembahasan di atas.

9 Abu fadhli ahmad bin ali bin muhammad bin ali bin hajar al asqalani, nazhadun nadhri fi
taudhii nahbati fikr fi mushtholah ahli atsr, riyadh : mathba’ah safir, 1422 H, hal 69

5
C. Penutup

Demikian makalah ini. Semoga dapat memberikan pembaharuan


keilmuan dalam diri kita masing-masing serta membentuk keinginan untuk
senantiasa mengkaji hal tersebut lebih mendalam. Tentunya dalam penyajian
makalah ini terdapat banyak kekurangan, baik dari segi substansi maupun
penulisan yang tidak sesuai dengan tata penulisan yang baik dan benar. Hal itu
disebabkan kurangnya pemahaman dan pengetahuan penulis. Semoga
berkenan untuk memaafkan. Dan semoga ada hal lain yang dapat menambah
khazanah keilmuan Islam. Aamiin.

6
DAFTAR PUSTAKA

Al Nawawi, Muhyiddin abu Zakaria Yahya bin Syarif Bin Muri, tt, al Minhaj
Syarhu al Nawawi ‘ala muslim, Baitul Ifkar, hal 681

Ahmad Warson Munawir, Kamus Munawir, Pustaka Progressif, Surabaya 1996,

Hans Wehr, t.t, Arabic- English Dictionary (New York: Spoken Language
Service),

Muhammad Salam Madzkur, al- Qadlu fii al_islam, Kairo:Darul Nahdatul


Arabiyah, 1964, Ibnu Hamman, Syarah Fathul Qarib, Mesir: Mustafa al-
Babil Halabi, 1970, juz IV,

Abdur rahman Al Jaziri, Fiqh Ala Madzahib Al Arba’ah, TT, Juz 1

Abu fadhli ahmad bin ali bin muhammad bin ali bin hajar al asqalani, nazhadun
nadhri fi taudhii nahbati fikr fi mushtholah ahli atsr, riyadh : mathba’ah
safir, 1422 H, hal 69

Anda mungkin juga menyukai