Anda di halaman 1dari 34

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Lupus Eritematosus Sistemik (LES) merupakan penyakit inflamasi autoimun

sistemik yang ditandai dengan temuan autoantibodi pada jaringan dan kompleks imun

sehingga mengakibatkan manifestasi klinis diberbagai sistem organ., Faktor genetik,

imunologik dan hormonal serta lingkungan berperan dalam patofisiologi penyakit

LES.1.2

Dalam 30 tahun terakhir, LES telah menjadi salah satu penyakit rematik utama

di dunia. Di Amerika Serikat dilaporkan prevalensi LES yaitu 52 kasus per 100.000

penduduk dengan insidensi per tahunnya sekitar 5,1 kasus per 100.000 penduduk. Di

Asia, prevalensi LES yaitu sekitar 4,3 – 37,7 kasus per 100.000 penduduk dimana

negara Cina memiliki insidensi terbanyak yaitu 3,1 kasus per 100.000 penduduk.1.3.4

Data tahun 2002 di RSUP Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta, didapatkan

1,4% kasus LES dari total kunjungan pasien di poliklinik Reumatologi Penyakit

Dalam, sementara pada tahun 2010 di RS Hasan Sadikin Bandung terdapat 291 pasien

(10,5%) dari total pasien yang berobat ke poliklinik reumatologi.3

90% pasien LES adalah perempuan usia muda dengan insiden puncak pada usia

15 - 40 tahun selama masa reproduksi. Rasio penyakit LES pada perempuan dan

lakilaki adalah 9 : 1. Angka morbiditas dan mortalitas pasien LES masih cukup tinggi.

Dilaporkan survival rate 5 tahun pasien LES di RSCM adalah 88% dari pengamatan

108 orang pasien yang berobat dari tahun 1990-2002.3

Perjalanan penyakit LES bersifat fluktuatif dan memiliki risiko kematian yang

tinggi, oleh karena itu diperlukan upaya pengenalan dini serta penatalaksanaan yang

tepat.

1
Untuk menegakkan diagnosis LES dilakukan melalui kriteria yang ditetapkan

oleh American College of Rheumatology (ACR) revisi tahun 1997, ditegakkan bila

ditemukan 4 dari 11 kriteria.1

Penatalaksanaan LES dilaksanakan secara komprehensif meliputi non medika

mentosa dan medika mentosa. Untuk penatalaksanaan awal pasien LES yang baru

terdiagnosis, penyuluhan dan intervensi psikologis sangat diperlukan. Sedangkan

untuk pemilihan terapi ditentukan berdasarkan derajat beratnya LES dengan tujuan

terapi yaitu untuk mengontrol serangan akut, severe flare, dan mengontrol gejala

sehingga bisa ditoleransi oleh pasien.1.2

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Menurut kamus kedokteran Dorland, Lupus Eritematosus Sistemik adalah

gangguan jaringan penyambung generalisata kronik yang dapat bersifat ringan hingga

fulminans dimana adanya temuan autoantibodi yang menyerang komponen sitoplasma

dan inti sel, ditandai oleh adanya erupsi kulit, atralgia, arthritis, nefritis, pleuritis,

pericarditis, leucopenia atau trombositopenia, anemia hemolitik, lesi organ, manifestasi

neurologik, limfadenopati, demam dan berbagai gejala konstitusional lainnya.

Perjalanan penyakit LES bersifat fluktuatif yang ditandai dengan periode tenang dan

eksaserbasi.5.6

Kata “lupus” dalam bahasa latin berarti serigala, ”erythro” berasal dari bahasa

yunani yang berarti merah, sehingga lupus digambarkan sebagai daerah merah sekitar

hidung dan pipi, yang dikenal dengan butterfly - shaped malar rash.4

2.2 Epidemiologi

Dalam 30 tahun terakhir, LES telah menjadi salah satu penyakit rematik

utama di dunia dan dalam 40 tahun terakhir ini, insidensi LES meningkat tiga kali

lipat karena kemajuan ilmu kedokteran bidang reumatologi dalam mendiagnosis

LES melalui kriteria ACR. Di Amerika Serikat dilaporkan prevalensi LES yaitu 52

kasus per 100.000 penduduk dengan insidensi per tahunnya sekitar 5.1 kasus per

100.000 penduduk. Di negara Asia-Pasifik, prevalensi LES yaitu sekitar 4.3-45.3

kasus per 100.000 penduduk dengan Australia sebagai negara dengan prevalensi

tertinggi yaitu 45.3 kasus per 100.000 penduduk. Di Asia, prevalensi LES yaitu

3
sekitar 4.3-37.7 kasus per 100.000 penduduk dimana negara Cina memiliki insidensi

terbanyak yaitu 3.1 kasus per 100.000 penduduk.1.4.7

Di Indonesia belum ada data epidemiologi LES yang mencakup seluruh

wilayah Indonesia. Beberapa data di Indonesia dari pasien yang dirawat di

Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

ditemukan 37,7 % kasus LES pada tahun 1998-1990. Data tahun 2002 di RSUP

Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta, didapatkan 1.4% kasus LES dari total

kunjungan pasien di poliklinik Reumatologi Penyakit Dalam, sementara pada tahun

2010 di RS Hasan Sadikin Bandung terdapat 291 pasien (10.5%) dari total pasien

yang berobat ke poliklinik Reumatologi.1.3

Onset penyakit LES 65% terjadi antara usia 16-55 tahun, 20% sebelum usia

16 tahun dan 15% setelah usia 55 tahun dimana 90% pasien LES adalah perempuan

usia muda dengan insiden puncak pada usia 15-40 tahun selama masa reproduksi.

Rasio penyakit LES pada perempuan dan laki-laki adalah 9 : 1. Berdasarkan hasil

penelitian yang dilakukan oleh Rupert W.Jakes, dilaporkan prevalensi LES pada

perempuan yaitu sekitar 7.7-68.4 kasus per 100.000 penduduk dengan insidensi 1.4-

5.4 kasus, sedangkan prevalensi LES pada laki-laki 0.8-7.0 kasus per 100.000

penduduk dengan insidensi 0.4-0.8 kasus tiap tahunnya.1.3.4.7

Angka morbiditas dan mortalitas pasien LES masih cukup tinggi, dimana

angka kematian pasien LES hampir 5 kali lebih tinggi dibandingkan dengan

populasi umum. Dilaporkan survival rate 5 tahun pasien LES di RSCM adalah 88%

dari pengamatan 108 orang pasien yang berobat dari tahun 1990-2002.3 Sedangkan

berdasarkan usia, angka survival rate SLE untuk 1-5, 5-10, 10-15, 15-20, dan 20

tahun adalah 93-97%, 84-95%, 70-85%, 64-80%, dan 53-64%.3 Hasil studi yang

4
dilakukan oleh Rupert W.Jakes tahun 2012 menyatakan survival rate LES 93-98%

dalam 1 tahun, 60-97% dalam 5 tahun, dan 70-94% dalam 10 tahun.

Pada tahun-tahun pertama mortalitas SLE berkaitan dengan aktivitas

penyakit dan infeksi (termasuk infeksi M. tuberculosis, virus, jamur dan protozoa),

sedangkan dalam jangka panjang berkaitan dengan penyakit vaskular aterosklerosis

Penyebab tingginya angka morbiditas dan mortalitas pada LES di negara Asia-

Pasifik yaitu 30-80% karena infeksi, 19-95% penyakit LES yang aktif, 6-40%

keterlibatan kardiovaskular, dan 7-36% karena adanya abnormalitas ginjal.3.4

2.3 Etiologi

Faktor genetik, imunologis, lingkungan dan hormon dianggap sebagai etiologi

LES, yang mana keempat faktor ini saling terkait. Faktor lingkungan dan hormon

berperan sebagai pencetus penyakit pada individu peka genetik. Faktor lingkungan

yang dianggap sebagau pencetus antara lain yaitu infeksi, sinar ultraviolet, pemakaian

obat-obatan, stress mental maupun fisik.8

a) Antibodi Antinuklear (ANA)9

ANA diarahkan untuk melawan beberapa antigen nucleus dan dapat

dikelompokkan menjadi empat kategori:

1. Antibodi terhadap DNA

2. Antibodi terhadap histon

3. Antibodi terhadap protein nonhiston yang terikat pada RNA

4. Antibodi terhadap antigen nucleolus

b) Faktor Genetik 7,9

1. Terdapat indeks yang tinggi (25%) pada kembar monozigotik dan kembar

dizigotik (1-3%).

5
2. Anggota keluarga mempunyai risiko yang meningkat untuk menderita LES dan

hingga 20% pada kerabat tingkat pertama yang secara klinis tidak terkena dapat

menunjukkan adanya autoantibodi. Ikatan saudara kandung memiliki risiko 30

kali lebih besar untuk menderita penyakit LES.

3. Pada populasi kulit orang putih di Amerika Utara terdapat hubungan positif antara

LES dengan gen HLA kelas II, terutama pada lokus HLA-DQ.

Beberapa pasien LES sekitar 6% mengalami defisiensi komponen komplemen

yang diturunkan.

c) Faktor Lingkungan 2,7,9

Adanya sindrom menyerupai lupus pada pasien yang meminum obat tertentu,

seperti prokainamid dan hidralazin. Obat-obat ini mengganggu ekspresi dari sel T

CD4+ dengan menghambat metilasi DNA dan menstimulus ekspresi antigen LFA-1

sehingga memicu autoreaktivasi pada LES. Oleh karena itu, sebagian besar penderita

yang diobati dengan prokainamid selama lebih dari 6 bulan akan menghasilkan ANA

disertai gambaran LES yang muncul 15% - 20% pada pasien tersebut.

Pajanan sinar ultraviolet merupakan faktor lingkungan lain yang dapat

memperburuk penyakit tersebut pada banyak individu. Sekitar 70% pasien LES akan

mengalami flare ketika terpajan dengan sinar ultraviolet. Sinar ultraviolet dapat

meningkatkan apoptosis keratinosit, merusak DNA dan meningkatkan jejas jaringan

yang akan melepaskan pembentukan kompleks imun DNA / anti-DNA yang dapat

menstimulus respon autoimun pada LES.

6
Infeksi Epstein-Barr Virus (EBV) merupakan faktor yang dapat meningkatkan

terjadinya LES. EBV akan mengaktivasi sel limfosit B dan menstimulus interferon α

(IFN α) untuk produksi sel plasmasitoid dendirtik yang akan memicu respon imun.

Selain itu, EBV juga memiliki untaian asam amino yang menyerupai untaian asam

amino manusia yang akan menstimulus respon autoimun pada LES.

d) Faktor Imunologis 9

Bermacam-macam kelainan imunologis baik pada sel T maupun sel B pada

pasien LES sulit untuk mengidentifikasi setiap salah satunya sebagai penyebab. Analisi

molekular terhadap antibodi anti-DNA untai ganda member petunjuk bahwa antibodi

tersebut tidak dihasilkan oleh susunan acak sel B aktif poliklonal, tetapi lebih banyak

berasal dari respon sel-B oligoklonal yang lebih selektif terhadap antigennya sendiri.

Sebagai contoh, antibodi anti-DNA pathogen pada pasien LES adalah kationik,

sedangkan antibodi yang dihasilkan oleh sel B yang teraktivasi secara poliklonal

adalah anionik dan nonpatogen. Oleh sebab itu, tanggung jawab autoimunitas pada

LES telah beralih ke sel T helper CD4+.

e) Faktor Hormonal 2

Perempuan memiliki respon antibodi lebih tinggi daripada laki-laki. Hal ini

disebabkan oleh efek estrogen yang bermanfaat terhadap sintesis antibodi. Perempuan

yang mengkonsumsi kontrasepsi oral yang terdapat kandungan estrogen atau yang

menggunakan hormone replacement therapy memiliki risiko 2 kali lipat terkena LES.

Estradiol akan berikatan pada reseptor sel T dan sel limfosit B, meningkatkan aktivasi

sel T dan sel limfosit B tersebut.

7
2.4 Gejala klinis

Gejala klinis dan perjalanan penyakit SLE sangat bervariasi. Penyakit dapat

timbul mendadak disertai tanda-tanda terkenanya berbagai sistem dalam tubuh. Dapat

juga menahun dengan gejala pada satu sistem yang lambat laun diikuti oleh gejala

terkenanya sistem imun.12

Waktu yang dibutuhkan antara onset penyakit dan diagnosis adalah 5 tahun.

Penyakit ini mempunyai ciri khas terdapatnya eksaserbasi dan remisi. Onset penyakit

dapat spontan atau didahului oleh faktor presipitat seperti kontak dengan sinar

matahari, infeksi virus/bakteri, obat misalnya golongan sulfa. 12

A. Gejala Konstitusional

Manifestasi yang timbul dapat bervariasi. Pada anak-anak yang paling

sering adalah anorexia, demam, kelelahan, penurunan berat badan, limfadenopati

dan irritable. Gejala dapat berlangsung intermiten atau terus-menerus. 13

B. Gejala Muskuloskeletal

Pada anak-anak gejala yang paling sering ditemukan dapat berupa

athralgia (90%) dan sering mendahului gejala-gejala lainnya. Yang paling sering

terkena adalah sendi interfalangeal proksimal diikuti oleh lutut, pergelangan

tangan, metakarpophalangeal, siku dan pergelangan kaki. Artritis dapat terjadi

pada lebih dari 90% anak, umumnya simetris, terjadi pada beberapa sendi besar

maupun kecil. Biasanya sangat responsif terhadap terapi dibandingkan dengan

kelainan organ yang lain pada LES. Arthritis pada tangan dapat menyebabkan

kerusakan ligament dan kekakuan sendi yang berat. Osteonecrosis umum terjadi

dan dapat timbul belakangan setelah dalam pengobatan kortikosteroid. 13

8
C. Gejala Mukokutan

Kelainan kulit atau selaput lendir ditemukan pada 55% kasus LES.

1). Lesi Kulit Akut

Ruam kulit yang paling dianggap khas adalah ruam kulit berbentuk

kupu-kupu (butterfly-rash) berupa eritema yang sedikit edematus pada hidung

dan kedua pipi. Karakteristik malar atau ruam kupu-kupu termasuk jembatan

hidung dan bervariasi dari merah pada erythematous epidermis hingga

penebalan scaly patches. Ruam mungkin akan fotosensitif dan berlaku untuk

semua daerah terkena sinar matahari. Lesi-lesi tersebut penyebarannya bersifat

sentrifugal dan dapat bersatu sehingga berbentuk ruam yang tidak beraturan.

Dengan pengobatan yang tepat, kelainan ini dapat sembuh tanpa bekas.13

Gambar 1 Lupus eritematosus kutaneus akut

9
2). Lesi Kulit Sub Akut

Gambar 2 Lesi kulit sub akut yang khas berbentuk anular.

3). Lesi Diskoid

Sebesar 2 sampai 2% lesi discoid terjadi pada usia di bawah 15 tahun.

Sekitar 7 % lesi discoid akan menjadi LES dalam waktu 5 tahun, sehingga perlu

di monitor secara rutin. Hasil pemeriksan laboratorium menunjukkan adanya

antibodi antinuclear (ANA) yang disertai peningkatan kadar IgG yang tinggi dan

lekopeni ringan. Ruam diskoid adalah ruam pada kulit leher, kepala, muka,

telinga, dada, punggung, dan ekstremitas yang menimbul dan berbatas tegas,

dengan diameter 5-10 mm, tidak gatal maupun nyeri.14

Berkembangnya melalui 3 tahap, yaitu erithema, hiperkeratosis dan

atropi. Biasanya tampak sebagai bercak eritematosa yang meninggi, tertutup

oleh sisik keratin disertai oleh adanya penyumbatan folikel. Kalau sudah

berlangsung lama akan terbentuk sikatrik. Lesi diskoid tidak biasa di masa

kanak-kanak. Namun, mereka terjadi lebih sering sebagai manifestasi dari LES

daripada sebagai diskoid lupus erythematosis (DLE) saja; 2-3% dari semua DLE

terjadi di masa kanak-kanak.14

10
Gambar 3 Facial discoid

4). Livido Retikularis

Suatu bentuk vaskulitis ringan, sering ditemukan pada SLE. Vaskulitis

kulit dapat menyebabkan ulserasi dari yang berbentuk kecil sampai yang besar.

Sering juga tampak perdarahan dan eritema periungual.13

Gambar 4 A) Livido retikularis B) eritema periungual.

11
5). Urtikaria

Biasanya menghilang perlahan-lahan beberapa bulan setelah penyakit

tenang secara klinis dan serologis.14

D. Kelainan pada Ginjal

Pada sekitar 2/3 dari anak dan remaja LES akan timbul gejala lupus

nefritis. Lupus nefritis akan diderita sekitar 90% anak dalam tahun pertama

terdiagnosanya LES. Berdasarkan klasifikasi WHO, jenis lupus nefritis adalah:

Kelas I: minimal mesangial lupus nephritis

Kelas II: mesangial proliferative lupus nephritis

Kelas III: focal lupus nephritis

Kelas IV: diffuse lupus nephritis

Kelas V: membranous lupus nephritis

Kelas VI: advanced sclerotic lupus nephritis

Kelainan ginjal ditemukan 68% kasus LES. Manifestasi paling sering

ialah proteinuria dan atau hematuria. Ada 2 macam kelainan patologis pada

ginjal yaitu nefritis lupus difus dan nefritis lupus membranosa. Nefritis lupus

difus merupakan kelainan yang paling berat. Klinis tampak sebagai sindrom

nefrotik, hipertensi, serta gangguan fungsi ginjal sedang sampai berat. Nefritis

membranosa lebih jarang ditemukan. Ditandai dengan sindroma nefrotik,

gangguan fungsi ginjal ringan serta perjalanan penyakit yang mungkin

berlangsung cepat atau lambat tapi progresif.2,13

12
E. Serositis (pleuritis dan perikarditis)

Gejala klinisnya berupa nyeri waktu inspirasi dan pemeriksaan fisik dan

radiologis menunjukkan efusi pleura atau efusi parikardial. Efusi pleura lebih

sering unilateral, mungkin ditemukan sel LE dalam cairan pleura. Biasanya efusi

menghilang dengan pemberian terapi yang adekuat.13

F. Pneuminitis Interstitial

Merupakan hasil infiltrasi limfosit. Kelainan ini sulit dikenali dan sering

tidak dapat diidentifikasi. Biasanya terdiagnosa setelah mencapai tahap lanjut.13

G. Gastrointestinal

Dapat berupa rasa tidak enak di perut, mual ataupun diare. Nyeri akut

abdomen, muntah dan diare mungkin menandakan adanya vaskulitis intestinalis.

Gejala menghilang dengan cepat bila gangguan sistemiknya mendapat

pengobatan yang adekuat. 13

H. Hati dan Limpa

Hepatosplenomegali mungkin ditemukan pada anak-anak, tetapi jarang

disertai ikterus. Umumnya dalam beberapa bulan akan menghilang atau kembali

normal. 13

I. Kelenjar Getah Bening dan Kelenjar Parotis

Pembesaran kelenjar getah bening ditemukan pada 50% kasus. Biasanya

berupa limfadenopati difus dan lebih sering pada anak-anak. Kelenjar parotis

membesar pada 60% kasus LES. 13

J. Susunan Saraf Tepi

Neuropati perifer yang terjadi berupa gangguan sensorik dan motorik.

Biasanya bersifat sementara. 15

13
K. Susunan Saraf Pusat

Gejala SSP bervariasi mulai dari disfungsi serebral global dengan

kelumpuhan dan kejang sampai gejala fokal seperti nyeri kepala dan kehilangan

memori. Diagnosa lupus SSP ini membutuhkan evaluasi untuk mengeksklusi

ganguan psikososial reaktif, infeksi, dan metabolik. Trombosis vena serebralis

bisanya terkait dengan antibodi antifosfolipid. Bila diagnosa lupus serebralis

sudah diduga, CT Scan perlu dilakukan.

Gangguan susunan saraf pusat terdiri dari 2 kelainan utama, yaitu

psikosis organik dan kejang-kejang. Penyakit otak organik biasanya ditemukan

bersamaan dengan gejala aktif LES pada sistem-sistem lainnya. Pasien

menunjukkan gejala delusi/halusinasi disamping gejala khas kelainan organik

otak.10 Kejang-kejang yang timbul biasanya termasuk tipe grandmal. Kelainan

lain yang mungkin ditemukan ialah korea, paraplegia karena mielitis transversal,

hemiplegia, afasia, psikosis, pseudotumor cerebri, aseptic meningitis, chorea,

defisit kognitif global, melintang myelitis, neuritis perifer dan sebagainya.

Mekanisme terjadinya kelainan susunan saraf pusat tidak selalu jelas. Faktor-

faktor yang memegang peranan antara lain vaskulitis, deposit gamma globulin di

pleksus koroideus. 15

L. Hematologi

Kelainan hematologi yang sering terjadi adalah limfopenia, anemia,

Coombs-positif anemia hemolitik, anemia penyakit kronis trombositopenia,

dan lekopenia. 13

14
M. Fenomena Raynaud

Ditandai oleh keadaan pucat, disusul oleh sianosis, eritema dan

kembali hangat. Terjadi karena disposisi kompleks imun di endotelium

pembuluh darah dan aktivasi komplemen lokal. 13

N. Kardiovaskuler

LES dapat menyebabkan terjadinya aterosklerosis yang pada akhirnya

dapat mengakibatkan terjadi infark miokard. Gagal jantung dan angina pektoris,

valvulitis, vegetasi pada katup jantung merupakan beberapa manifestasi

lainnya.13


Derajat Berat Ringannya LES

 Kriteria untuk dikatakan SLE ringan adalah:

1. Secara klinis tenang

2. Tidak terdapat tanda atau gejala yang mengancam nyawa

3. Fungsi organ normal atau stabil, yaitu: ginjal, paru, jantung, gastrointestinal,

susunan saraf pusat, sendi, hematologi dan kulit.

Contoh LES dengan manifestasi arthritis dan kulit.

 Penyakit LES dengan tingkat keparahan sedang ditemukan:

1. Nefritis ringan sampai sedang ( Lupus nefritis kelas I dan II)

2. Trombositopenia (trombosit 20-50x103/mm3)

3. Serositis mayor

 Penyakit SLE berat atau mengancam nyawa apabila ditemukan keadaan

sebagaimana tercantum di bawah ini, yaitu:

1. Jantung: endokarditis Libman-Sacks, vaskulitis arteri koronaria,

miokarditis,tamponade jantung, hipertensi maligna.

15
2. Paru-paru: hipertensi pulmonal, perdarahan paru, pneumonitis, emboli

paru,infark paru, ibrosis interstisial, shrinking lung.

3. Gastrointestinal: pankreatitis, vaskulitis mesenterika.

4. Ginjal: nefritis proliferatif dan atau membranous.

5. Kulit: vaskulitis berat, ruam difus disertai ulkus atau melepuh (blister)

6. Neurologi: kejang, acute confusional state, koma, stroke, mielopati transversa,

mononeuritis, polineuritis, neuritis optik, psikosis, sindroma demielinasi.

mononeuritis, polineuritis, neuritis optik, psikosis, sindroma demielinasi.

7. Hematologi: anemia hemolitik, neutropenia (leukosit <1.000/mm3),

trombositopenia < 20.000/mm3, purpura trombotik trombositopenia,

thrombosis vena atau arteri.

8. Fungsi organ normal atau stabil, yaitu: ginjal, paru, jantung, gastrointestinal,

susunan saraf pusat, sendi, hematologi dan kulit.

Contoh LES dengan manifestasi arthritis dan kulit.

16
2.5 Patogenesis

Kelainan mendasar pada LES adalah kegagalan mempertahankan toleransi-diri.

Akibatnya terdapat autoantibodi dalam jumlah besar yang dapat merusak jaringan

secara langsung ataupun dalam bentuk endapan kompleks imun. Antibodi tersebut

melawan komponen nuclear dan sitoplasma sel host yang tidak spesifik terhadap

organ.9 Proses ini diawali dengan faktor pencetus yang ada dilingkungan, dapat berupa

infeksi, sinar ultraviolet atau bahan kimia.

Hal ini menimbulkan abnormalitas respon imun di dalam tubuh yaitu 8:

1. Sel T dan sel B menjadi autorektif

2. Pembentukan sitokin yang berlebihan

3. Hilangnya regulasi kontrol pada sistem imun, antara lain :

a. Hilangnya kemampuan membersihkan antigen di kompleks imun maupun

sitokin di dalam tubuh

b. Menurunnya kemampuan mengendalikan apoptosis

c. Hilangnya toleransi imun dimana sel T mengenali molekul tubuh sebagai

antigen kerena adanya mimikri molekuler

17
Gambar 5 Model pathogenesis LES

Akibat proses tersebut, maka

terbentuk berbagai macam antibodi di dalam

tubuh yang disebut autoantibodi. Selanjutnya

antibodi tersebut akan membentuk kompleks

imun. Kompleks imun tersebut akan

terdeposisi pada jaringan atau organ yang

akhirnya. Menimbulkan gejala inflamasi atau

kerusakan jaringan.8

18
Karakteristik patogenesis dari LES

yaitu sistem imun yang menyerang nuklear

endogen yang dianggap sebagai

autoantigen. Autoantigen dikeluarkan oleh

sel yang mengalami apoptosis kemudian

akan dipresentasikan oleh sel dendritik ke

sel T. Sel T mensekresikan sitokin yaitu

interleukin 10 (IL10) dan IL23 yang

mengaktivasi sel B untuk memproduksi

antibodi.

Nukleosome endogen dapat

berikatan dengan molekular patogen

reseptor dan dapat menstimulus

pengeluaran interferon α (IFN α) sehingga

memicu terjadinya inflamasi. Selain itu

juga nucleosome dapat berikatan dengan

reseptor permukaan sel seperti BCR (B

cell antigen reseptor) dan TLR (Toll like

reseptor). Pada pasien dengan SLE yang

aktif terdapat peningkatan ekspresi TLR9.7

Gambar 6 Tiga tahap patogenesis

19
Pada LES sebagian besar autoantibodi yang dihasilkan akan langsung

menyerang kompleks DNA/protein atau RNA/protein seperti nukleosome, nukleolar

RNA, spliceosomal RNA. Saat terjadi apoptosis, antigen tersebut bermigrasi ke

permukaan sel dan mengaktivasi sistem imun untuk produksi autoantibodi.

Hiperreaktivitas dari sel T dan sel limfosit B pada LES ditandai dengan meningkatnya

ekspresi molekul HLA-D dan CD40L. Hasil akhir dari ini yaitu produksi autoantibodi

dan pembentukan kompleks imun yang terdeposisi di jaringan sehingga membuat

sequestrasi dan destruksi sel-sel yang diselubungi Ig yang beredar di sirkulasi, fiksasi

dan cleaving komplemen, pengeluaran kemotoksin, peptide vasoaktif, dan enzim-

enzim yang mendestruksi jaringan.2

2.6 Patofisiologi

Abnormalitas imun pada LES terbagi menjadi 2 fase yaitu (a) meningkatnya

serum antinuklear dan autoantibodi anti-glomerular, (b) terbentuknya kompleks

imun pada organ target yang menyebabkan kerusakan organ. Defek mekanisme

regulasi imun seperti klirens apoptosis dan kompleks imun merupakan kontributor

pada LES. LES ditandai dengan adanya produksi autoantibodi, terbentuknya

kompleks imun, dan aktivasi komplemen yang tidak terkendali. LES disebabkan

oleh interaksi antara gen dan faktor lingkungan sehingga menghasilkan respon imun

yang abnormal. Respon tersebut terdiri dari hiperaktivitas sel T helper sehingga

terjadi hiperaktivitas sel B. Terjadi gangguan mekanisme downregulating yang

menimbulkan respon imun abnormal. 2.11

20
Gambar 7 Patofisiologi LES

Pada LES penanganan pada komplek imun terganggu, dapat berupa gangguan

klirens kompleks imunt, gangguan pemprosesan kompleks imun dalam hati dan

penurun uptake kompleks imun pada limpa. Gangguan-gangguan ini memungkinkan

terbentuknya deposit kompleks imun di luar sistem fagosit mononuklear. Kompleks

imun ini akan mengendap pada berbagai macam organ dan terjadi fiksasi komplemen

pada organ tersebut. Peristiwa ini menyebabkan aktivasi komplemen yang

menghasilkan substansi penyebab timbulnya reaksi inflamasi. Reaksi inflamasi inilah

yang menyebabkan timbulnya keluhan atau gejala pada organ atau tempat yang

bersangkutan seperti ginjal, sendi, pleura, kulit dan sebagainya.2

21
2.7 Faktor Resiko

Faktor genetik, imunologis, lingkungan dan hormon dianggap sebagai etiologi

LES, yang mana keempat faktor ini saling terkait. Faktor lingkungan dan hormon

berperan sebagai pencetus penyakit pada individu peka genetik. Faktor lingkungan

yang dianggap sebagau pencetus antara lain yaitu infeksi, sinar ultraviolet, pemakaian

obat-obatan, stress mental maupun fisik.8

2.8 Diagnosis dan Pemeriksaan Penunjang

Keurigaan akan penyakit LES perlu dipikirkan bila dijumpai 2 atau lebih

kriteria sebagaimana tercantum dibawah ini, yaitu :

 Wanita muda dengan keterlibatan dua organ atau lebih.

 Gejala konstitusional; kelelahan, demam (tanpa bukti infeksi) dan penurunan

berat badan.

 Muskuloskeletal; artritis, arthralgia, myositis.

 Kulit; ruam kupu kupu (butterfly atau malar rash), fotosensitivitas, lesi membrane

mukosa, alopesia, fenomena Raynaud, purpura, urtikaria, vasculitis.

 Ginjal: hematuria, proteinuria, silinder, sindrom nefrotik.

 Gastrointestinal: mual, muntah, nyeri abdomen.

 Paru – paru: pleurisy, hipertensi pulmonal, lesi parenkim paru.

 Jantung: pericarditis, endocarditis, myocarditis.

 Retikulo – endotel: organomegali (limfadenopati, splenomegali, hepatomegali).

 Hematologi: anemia, leukopenia, dan trombositopenia.

 Neuropsikiatri: psikosis, kejang, sindrom otak organik, myelitis transversa,

gangguan kognitif neuropati kranial dan perifer.

22
Kecurigaan tersebut dilanjutkan dengan melakukan eksklusi terhadap

penyakit lainnya. Diagnosis SLE dapat ditegakan berdasarkan gambaran klinik dan

laboratorium. American college of Rheumatology (ACR), pada tahun 1982,

mengajukan 11 kriteria untuk klasifikasi SLE, dimana bila didapatkan 4 kriteria maka

diagnosis SLE dapat ditegakkan.

Kriteria Definisi
No
1 Bercak malar Eritema datar atau menimbul yang menetap di daerah pipi,
(butterfly rash) cenderung menyebar ke lipatan nasolabial
2 Bercak diskoid Bercak eritema yang menimbul dengan adherent keratotic
scaling dan follicular plugging, pada lesi lama dapat
terjadi parut atrofi
3 Fotosensitif Bercak di kulit yang timbul akibat paparan sinar matahari,
pada anamnesis atau pemeriksaan fisik
4 Ulkus mulut Ulkus mulut atau nasofaring, biasanya tidak nyeri
5 Artritis Artritis nonerosif pada dua atau lebih persendian perifer,
ditandai dengan nyeri tekan, bengkak atau efusi
6 Serositif a. Pleuritis
Riwayat pleuritic pain atau terdengar pleural friction
rub atau terdapat efusi pleura pada pemeriksaan fisik.
atau
b. Perikarditis
Dibuktikan dengan EKG atau terdengar pericardial
friction rub atau terdapat efusi perikardial pada
pemeriksaan fisik
7 Gangguan ginjal a. Proteinuria persisten > 0,5 g/hr atau pemeriksaan +3
jika pemeriksaan kuantitatif tidak dapat dilakukan. atau
b.Cellular cast: eritrosit, Hb, granular, tubular atau
campuran

8 Gangguan saraf Kejang


Tidak disebabkan oleh obat atau kelainan metabolik
(uremia, ketoasidosis atau ketidakseimbangan elektrolit)

Psikosis
Tidak disebabkan oleh obat atau kelainan metabolik
(uremia, ketoasidosis atau ketidakseimbangan elektrolit)
9 Gangguan darah Terdapat salah satu kelainan darah
Anemia hemolitik à dengan retikulositosis
Leukopenia < 4000/mm3 pada > 1 pemeriksaan
Limfopenia < 1500/mm3 pada > 2 pemeriksaan
Trombositopenia < 100.000/mm3 tanpa adanya intervensi
obat
10 Gangguan Terdapat salah satu kelainan
imunologi Anti ds-DNA diatas titer normal

23
Anti-Sm(Smith) (+)
Antibodi fosfolipid (+) berdasarkan
kadar serum IgG atau IgM antikardiolipin yang abnormal
antikoagulan lupus (+) dengan menggunakan tes standar
tes sifilis (+) palsu, paling sedikit selama 6 bulan dan
dikonfirmasi dengan ditemukannya Treponema palidum
atau antibodi treponema
11 Antibodi Tes ANA (+)
antinuklear

Peningkatan titers ANA sering terjadi pada anak-anak dengan lupus aktif. Ini

adalah alat penyaringan yang sangat baik, meskipun ANA dapat ditemukan tanpa

penyakit atau dapat dikaitkan dengan kondisi rematik dan lainnya. Tingkat anti-DNA

rantai ganda, yang lebih spesifik untuk lupus, mencerminkan tingkat aktivitas

penyakit. Tingkat serum dari total hemolitik komplemen (CH50), C3, dan C4 akan

menurun pada penyakit aktif dan memberikan ukuran kedua aktivitas penyakit. 4

2.9 Diagnosis Banding

 Artritis Reumatika. Otot dan kekakuan sendi biasanya paling sering di pagi

hari. Pola karakteristik dari persendian yang terkena adalah mulai pada

persendian kecil di tangan, pergelangan, dan kaki. Awitannya biasanya akut,

bilateral, dan simetris. Persendian dapat teraba hangat, bengkak, kaku pada pagi

hari berlangsung selama lebih dari 30 menit.14

 Sklerosis Sistemik. Penyakit ini disebut juga skleroderma sistemik.

Skleroderma merupakan kolagenosis kronis dengan gejala khas bercak-bercak

putih kekuning-kuningan dan keras yang seringkali mempunyai halo ungu

disekitarnya. Sklerosis sistemik seperti skleroderma sirkumskripta tetapi secara

berturut-turut mengenai alat-alat viseral.12

24
 Dermatomiositis. Penyakit mulai dengan perubahan khas pada muka (terutama

pada palpebra) yakni terdapat eritema dan edema berwarna merah ungu kadang-

kadang juga livid. Pada palpebra terdapat telangiektasis, disertai paralisi otot-

otot ekstraokular. Pada fase berikutnya timbul perubahan-perubahan kutan yang

menetap dan menyerupai Lupus Eritematosus. Kelainan di muka menjalar ke

leher, toraks, lengan bawah, dan lutut. Manifestasi patognomonik ialah papul

Gottron yaitu papul keunguan di bagian dorsolateral sendi interfalangeal dan

atau metakarpofalangeal. Fase ini disertai demam intermiten, takikardi,

hiperhidrosis, dan penurunan berat badan.12

 Purpura Trombositopenik. Penyakit ini juga dikenal sebagai sindrom

Moschowite dengan trias : trombositopenia, anemia hemolitik, dan gangguan

susunan saraf pusat. Gejala yang timbul adalah demam, purpura berupa

ekimosis, ikterus, pembesaran limpa, disfungsi ginjal, artritis, pleuritis,

fenomena Raynaud, nyeri perut, dan pembesaran hati.15

2.10 Penatalaksanaan

a. Pengobatan LES Ringan

Pilar pengobatan pada LES ringan dijalankan secara bersamaan dan

berkesinambungan serta ditekankan pada beberapa hal yang penting agar tujuan di atas

tercapai, yaitu:

- Penghilang nyeri seperti paracetamol 3 x 500 mg, bila diperlukan.

- Obat anti inflamasi non steroidal (OAINS), sesuai panduan diagnosis dan

pengelolaan nyeri dan inflamasi.

- Glukokortikoid topikal untuk mengatasi ruam (gunakan preparat dengan potensi

ringan)

25
- Klorokuin basa 3,5-4,0 mg/kg BB/hari (150-300 mg/hari) (1 tablet klorokuin 250

mg mengandung 150 mg klorokuin basa) catatan periksa mata pada saat awal akan

pemberian dan dilanjutkan setiap 3 bulan, sementara hidroksiklorokuin dosis 5- 6,5

mg/kg BB/ hari (200-400 mg/hari) dan periksa mata setiap 6-12 bulan.

- Kortikortikosteroid dosis rendah seperti prednison < 10 mg / hari atau yang setara

- Tabir surya: Gunakan tabir surya topikal dengan sun protection faktor sekurang-

kurangnya 15 (SPF 15).3

b. Pengobatan LES Sedang

Pilar penatalaksanaan LES sedang sama seperti pada LES ringan kecuali pada

pengobatan. Pada LES sedang diperlukan beberapa rejimen obat-obatan tertentu serta

mengikuti protokol pengobatan yang telah ada. Misal pada serosistis yang refrakter: 20

mg / hari prednison atau yang setara.

c. Pengobatan SLE Berat atau Mengancam Nyawa

Pilar pengobatan sama seperti pada LES ringan kecuali pada penggunaan obat-

obatannya. Pada LES berat atau yang mengancam nyawa diperlukan obat-obatan

sebagaimana tercantum pada bagan .3

Kortikortikosteroid digunakan sebagai pengobatan utama pada pasien dengan SLE.

Meski dihubungkan dengan munculnya banyak laporan efek samping,

kortikosteroid tetap merupakan obat yang banyak dipakai sebagai anti inflamasi dan

imunosupresi. Dosis kortikosteroid yang digunakan juga bervariasi. Indikasi

Pemberian Kortikortikosteroid ; Pembagian dosis kortikosteroid membantu kita

dalam menatalaksana kasus rematik. Dosis rendah sampai sedang digunakan pada

SLE yang relatif tenang. Dosis sedang sampai tinggi berguna untuk SLE yang aktif.

Dosis sangat tinggi dan terapi pulse diberikan untuk krisis akut yang berat seperti pada

vaskulitis luas, nephritis lupus, lupus cerebral.Efek samping kortikortikosteroid

26
tergantung kepada dosis dan waktu, dengan meminimalkan jumlah kortikortikosteroid,

akan meminimalkan juga risiko efek samping.3

Obat Imunosupresan atau Sitotoksik Terdapat beberapa obat kelompok

imunosupresan / sitotoksik yang biasa digunakan pada SLE, yaitu azatioprin,

siklofosfamid, metotreksat, siklosporin, mikofenolat mofetil. Pada keadaan tertentu

seperti lupus nefritis, lupus serebritis, perdarahan paru atau sitopenia, seringkali

diberikan gabungan antara kortikortikosteroid dan imunosupresan /sitotoksik karena

memberikan hasil pengobatan yang lebih baik.3

 Pencegahan17

Penderita harus menghindarkan trauma fisik, sinar matahari, lingkungan yang

sangat dingin dan stress emosional. Antara pencegahan yang dapat dilakukan adalah:


Memakai krim (sunscreen) apabila keluar dari rumah

Memakai pakaian yang menutup ekstremitas

Mengelakkan pemberhentian penggunaan kortikosteroid secara tiba-tiba.

Istirahat

Jika penderita menderita demam atau ada tanda-tanda infeksi maka harus diobati

dengan segera.

Mengkonsumsi vitamin antioksidan untuk mengurangkan efek daripada stress

oksidatif

Perubahan gaya hidup untuk meningkatnya daya imun.

Kelelahan bisa karena sakitnya atau penyakit lain, seperti anemi, demam infeksi,

gangguan hormonal, komplikasi pengobatan, atau stres emosional. Upaya

mengurangi kelelahan disamping obat ialah cukup istirahat, pembatasan aktivitas

yang berlebih, dan mampu mengubah gaya hidup.



Hindari Merokok

27

Hindari perubahan cuaca karena mempengaruhi proses inflamasi

Hindari stres dan trauma fisik

Diet sesuai kelainan, misalnya hyperkolestrolemia

Hindari pajanan sinar matahari, khususnya UV pada pukul 10.00 sampai 15.00

Hindari pemakaian kontrasespsi atau obat lain yang mengandung hormon estrogen.

2.11 Komplikasi

Komplikasi LES meliputi: 2,3

 Hipertensi (41%)

 Gangguan pertumbuhan (38%)

 Gangguan paru-paru kronik (31%)

 Abnormalitas mata (31%)

 Kerusakan ginjal permanen (25%)

 Gejala neuropsikiatri (22%)

 Kerusakan muskuloskeleta (9%)

 Gangguan fungsi gonad (3%).

2.12 Prognosis

SLE pada awalnya dipandang sebagai penyakit fatal seragam. Dengan

kemajuan dalam diagnosis dan perawatan, 5-yr survival rate lebih besar dari 90%..

Penyebab utama kematian pada pasien dengan lupus saat ini termasuk infeksi, nefritis,

penyakit SSP, perdarahan paru-paru, dan infark miokard; yang terakhir mungkin

komplikasi akibat administrasi kortikosteroid kronis dalam pengaturan kekebalan

penyakit kompleks. 1

28
BAB III

KESIMPULAN

Lupus Eritematosus Sistemik didefinisikan sebagai penyakit inflamasi

autoimun sistemik, dimana sistem tubuh menyerang jaringannya sendiri. Etiologi

penyakit LES merupakan interaksi antara faktor genetik, faktor imunologis, faktor

lingkungan, dan faktor hormonal. Pada LES interaksi antar keempat faktor tersebut

merespon tubuh untuk membentuk autoantibodi, selanjutnya membentuk kompleks

imun yang terdeposisi pada jaringan atau organ yang akhirnya menimbulkan gejala

inflamasi atau kerusakan jaringan.

Gejala klinis dan perjalanan penyakit LES sangat bervariasi. Penyakit dapat

timbul mendadak disertai tanda-tanda terkenanya berbagai sistem dalam tubuh.

Diagnosis LES menurut American College of Rheumatology (ACR) ditegakkan bila

terdapat paling sedikit 4 dari 11 kriteria ACR tersebut, meliputi : butterfly rash, bercak

diskoid, fotosensitf, ulkus mulut, arthritis, serositif, gangguan ginjal, gangguan saraf,

gangguan darah, gangguan imunologi dan gangguan antinuklear.

Penatalaksanaan LES dilaksanakan secara komprehensif meliputi non medika

mentosa dan medika mentosa. Tujuan dari terapi LES yaitu untuk meningkatkan

kesintasan dan kualitas hidup pasien LES melalui pengenalan dini dan pengobatan

yang paripurna.

29
30
31
32
33
34

34

Anda mungkin juga menyukai