Anda di halaman 1dari 50

SKENARIO “KEJANG DISERTAI DENGAN DEMAM”

KELOMPOK : B-06

KETUA : Muhammad Fahmi Syah P. (1102015145)

SEKERTARIS : Salma Nara Fadhilla (1102015212)

ANGGOTA : Mahirrokhman Difa (1102013161)

Yongki Cappala (1102014287)

Monica Octafiani (1102015140)

Octavina Nurul Fadila (1102015174)

Rara Elvira Glarica N. (1102015189)

Tuffahati Sacharissa S. (1102015241)

Virta Andhika (1102015245)

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS YARSI

2017
I. SKENARIO 1

Kejang Disertai dengan Demam

Laki – laki berusia 56 tahun, saat sedang melaksanakan umrah tiba – tiba
mengalami kejang selama 5 menit kemudian tidak sadarkan diri. Dari alloanamnesis
dengan anggota jamaah lainnya didapatkan informasi bahwa pasien telah mengalami
demam disertai nyeri kepala sejak 3 hari yang lalu. Pada riwayat penyakit dahulu
didapatkan keluhan kejang demam saat usia 3 tahun. Pada pemeriksaan fisik didapatkan
GCS (Glasgow Coma Scale) E3M5V2 dan tanda rangsang meningeal kaku kuduk (+).
Dokter setempat mendiagnosis pasien dengan meningoensefalitis suspek bakterial.
Untuk membantu menegakkan diagnosis, dokter melakukan lumbal pungsi setelah
sebelumnya memastikan tidak adanya peningkatan tekanan intracranial melalui
funduskopi. Jamaah lain mempertanyakan bagaimana keabsahan ibadah umrah pasien
tersebut.

1
II. BRAINSTORMING

Kata Sulit
1. Kaku Kuduk
Rasa kaku dibelakang leher, biasanya ada tanda Brudzinski 1 dan 2. Untuk
mendeteksi inflamasi meningeal dan menilai kekakuan otot leher dengan cara
gerakan fleksi dan rotasi kepala kearah sternum. Apabila (+) > 3 cm.
2. GCS
Skala yang dipakai untuk menilai tingkat kesadaran pasien. Yang dinilai adalah
eye, verbal dan motorik.
3. Meningoensefalitis
Peradangan pada meningeal dan otak akibat mikroorganisme yang menimbulkan
kejang demam.
4. Lumbal Pungsi
Pengambilan cairan serebrospinal dengan memasukkan jarum pada vertebra
lumbal 3, 4, dan 5
5. Alloanamnesis
Wawancara medis yang dilakukan dokter langsung ke orang-orang sekitar
pasien.
6. Tekanan intracranial
Tekanan yang diakibatkan cairan serebrospinal dalam ventrikel otak.

III. Pertanyaan
1. Kenapa kejang disertai dengan demam? Kenapa pasien tiba-tiba kejang?
2. Kontraindikasi dilakukan lumbal pungsi?
3. Apa yang menyebabkan pasien tidak sadarkan diri setelah mengalami kejang?
4. Mengapa pasien di diagnosis sebagai Meningoensefalitis suspek bakterial?
5. Apa hubungan riwayat kejang sejak dulu dengan kejang saat ini?
6. Kenapa meningoensefalitis disertai kaku kuduk?
7. Apakah pertolongan pertama yang dilakukan saat kejang?
8. Apa yang dimaksud E3M5V2 hasil pemeriksaan GCS?
9. Apa saja faktor risiko penyebab kejang?
10. Bagaimana tatalaksana untuk meningoensefalitis?
11. Bagaimana pencegahan meningoensefalitis?
12. Bagaimana keabsahan umrah pasien?

IV. Jawaban
1. Inflamasi demam Potensial aksi karena Kejang
Na-K-ATP-ase terganggu

Toksik dari bakteri menyerang Blood brain barrier


2. Kontraindikasi dilakukan lumbal pungsi:
a. Peningkatan tekanan intracranial,
b. Syok
c. Adanya infeksi di sekitar lumbal
3. Peningkatan tekanan intracranial menekan batang otak (pusat kesadaran),
menyebabkan pasien tidak sadarkan diri.
4. Dilihat dari kaku kuduk, demam, keluhan pasien, penurunan kesadaran, dan
poin GCS nya.

2
5. Tergantung etiologinya, bisa karena infeksi bakteri terdahulu yang belum
diobati sempurna.
6. Karena adanya efek inflamasi di subarachnoid
7. Jika kejang maka ditatalaksana sesuai kejangnya:
a. Oksigenasi,
b. Menurunkan tekanan intracranial,
c. Diazepam.
8.
EYE MOTORIK VERBAL
4 = Mata terbuka 6 = Perintah bisa diikuti 5 = ditanya nama, waktu,
3 = Dipanggil lalu bisa 5 = saat rangsang nyeri dan tempat. Orientasi
membuka mata bisa melokalisasi nyeri baik
2 = Rangsang nyeri baru 4 = saat rangsang nyeri 4 = disorientasi
bisa membuka mata tangan bisa fleksi tapi 3 = kata – katanya salah
1 = tidak ada respon tidak sampai ke pusat ketika menjawab
nyeri 2 = saat rangsang nyeri,
3 = saat rangsang nyeri, hanya mengerang
tangan fleksi abnormal 1 = tidak ada respon
2 = saat rangsang nyeri
tangan ekstensi
1 = tidak ada respon
9. Hipoglikemia, hypokalemia, hipoksia, hypernatremia.
10. Antibiotik untuk bakteri, antiinflamasi, dan antipiretik.
11. Vaksin dan pola makan sehat.
12. Sah jika rukun umrahnya telah terpenuhi.

3
Hipotesis

Meningoensefalitis disebabkan oleh inflamasi, dapat terjadi karena baktei,


virus, maupun parasit. Meningoensefalitis menyebabkan kejang dan kaku kuduk karena
inflamasi yang terjadi di subarachnoid dan mengines mengakibatkan teganggunya
potensial aksi di Na-K-ATP-ase. Tatalaksana yang dilakukan yaitu ABC, dan
pemberian obat tergantung dengan etiologinya, serta pemberian antipiretik dan
antiinflamasi.

4
SASARAN BELAJAR

LI.1. Memahami dan Menjelaskan Anatomi Meninges dan Ventrikulus


LO.1.1. Anatomi Makroskopis
LO.1.2. Anatomi Mikroskopis
LI.2. Memahami dan Menjelaskan Fisiologi Liquor Cerebro Spinalis
LI.3. Memahami dan Menjelaskan Kejang Demam
LO.3.1. Definisi Kejang Demam
LO.3.2. Epidemiologi Kejang Demam
LO.3.3. Etiologi Kejang Demam
LO.3.4. Klasifikasi Kejang Demam
LO.3.5. Patofisiologi dan Patogenesis Kejang Demam
LO.3.6. Manifestasi Klinik Kejang Demam
LO.3.7. Diagnosis dan Diagnosis Banding
LO.3.8. Penatalaksanaan Kejang Demam
LO.3.9. Komplikasi Kejang Demam
LO.3.10. Pencegahan Kejang Demam
LO.3.11. Prognosis Kejang Demam
LI.4. Memahami dan Menjelaskan Meningoensefalitis
LO.4.1. Definisi Meningoensefalitis
LO.4.2. Epidemiologi Meningoensefalitis
LO.4.3. Etiologi Meningoensefalitis
LO.4.4. Klasifikasi Meningoensefalitis
LO.4.5. Patofisiologi dan Patogenesis Meningoensefalitis
LO.4.6. Manifestasi Klinik Meningoensefalitis
LO.4.7. Diagnosis dan Diagnosis Banding
LO.4.8. Penatalaksanaan Meningoensefalitis
LO.4.9. Komplikasi Meningoensefalitis
LO.4.10. Pencegahan Meningoensefalitis
LO.4.11. Prognosis Meningoensefalitis
LI.5. Memahami dan Menjelaskan Lumbal Pungsi
LI.6. Memahami dan Menjelaskan Keabsahan Umrah

5
LI.1. Memahami dan Menjelaskan Anatomi Meninges dan Ventrikulus

LO.1.1. Anatomi Makroskopis

1.1.1. Meninges
Meninges berfungsi untuk melindungi otak atau medulla spinalis dari benturan
atau pengaruh gravitasi. Fungsi ini diperkuat oleh LCS yang terdapat dalam spatium
subarachnoidea.
Meninges terdiri dari:
A. Duramater (Dura = keras, mater = ibu)

Merupakan pembungkus SSP plaing luar yang terdiri dari jaringan ikat
padat. Dalam otak membentuk 5 sekat:
1. Falx cerebri
2. Tentorium cerebelli
3. Falx cerebelli
4. Diphragma sellae
5. Kantung Meckelli
Ditempat tertentu, antara lapisan luar dan dalam dura terbentuk ruang yaitu
sinus (venosus) duraematris yang termasuk dalam sistem pembuluh darah bail.
Berdasarkan bagian SSP yang dibungkusnya, dibedakan atas:
1) Duramater Encephali
a. Lapisan luar (lapisan endosteal = lapisan periosteal)
Melekat erat ke periosteum tengkorak (terkuat pada sutura dan basis
cranii). Terdapat jonjot jaringan ikat dan vasa ke periosteum. Melekat
erat pada foramen magnum dan tidak berhubungan dengan lapisan luar
medulla spinalis. Pada tempat tertentu, celah yang terbentuk antara
lapisan duramater dengan periosteum dinamakan cavum epidural.
Isi cavum epidural encephali tidak berhubungan dengan cavum
epidural spinalis, isi cavum epidural:
 Jaringan ikat jarang
 Sedikit lemak
 Plexus venosus
 Vena
 Arteri
 Vasa lymphatica

6
Antara lapisan dalam dan luar dapat terjadi:
1. Pembentukan celah sinus (venosus) duramatris
2. Pembentukan sekat:
 Falx cerebri:
Memisahkan kedua hemispaherum cerebri yang melekat mulai
dari sutura sagitalis  memasuki fissura longitudinalis  melekat
pada crista galli didepan  ke protuberantia occipitale interna 
dilanjtkan sebagai tentorium cerebelli.
Sinus (venosus dura) yang dibentuk adalah:
1. Pada tepi atas sinus sagitalis superior
2. Pada tepi bawah sinus sagitalis inferior
3. Pada lanjutan ke tentorium cerebelli ikut membentuk sinus
rectus
 Tentorium cerebelli
Memisahkan cerebellum dengan bagian occipitale hemicerebri
dan ke atas menyambung menjadi falx cerebri. Pada tepi depan
terdapat lobang yang ditembus oleh mesencephalon. Sinus dura
yang dibentuk adalah:
1. Kelateral dan belakang  sinus transvesus
2. Kedepan  sinus petrosus superior
 Falx cerebelli
Berbentuk segitiga, memisahkan haemispaherum cerebeli kiri
dan kanan.
 Diphragma sellae
Membentang sepanjang processus clinoidea menutupi hypofisis
yang terletak pada cekungan sella turcica
Ditengahnya terdapat lobang tempat keluarnya infundibulum
hypofisis yang dikelilingi oleh sinus cavernosa atau sinus circularis
 Kantung Meckelli: Membungkus ganglion semilunare N.
Trigeminus
b. Lapisan dalam
 Menghadap ke arachnoidea
 Dilapisi mesotel (sama dengan mesotel pleura, pericardium pars
serosa dan peritoneum). Menghasilkan serosa yang berfungsi untuk
lubrikasi permukaan dalam duramater dengan permukaan luar
arachnoid sehingga gesekan keduanya dapat diredam dan mencegah
kerusakan
 Lanjut menjadi lapis dalam duramater spinalis
 Antara duramater dengan arachnoid terdapat cavum subdura,
mengandung:
 Cairan serosa  untuk meredam
 Bridging nein  menghubungkan antara vena cerebri superior
ke sinus sagitalis superior
2) Duramater spinalis
a. Lapisan luar melekat pada:
 Foramen occipitale magnum, lanjut menjadi dura encephali
 Perioceum vertebra cervicalis 2-3
 Lig. Longitudinale posterius

7
b. Cavum epidural dan subdural
c. Setinggi os sacrale 2, dura spinalis membungkus fillim terminale dan
akhirnya melekat pada os. Coccygeus
d. Antara L2 dengan S2 cavum epidural diisi oleh cauda equina yang
merupakan untaian Nn. Spinalis sebelum keluar melalui foramen
intervertebralis yang sesuai. Perlu diketahui, ujung paling bawah
medulla spinalis adalah setinggi vertebra lumnal 2 sehingga banyak
sekali Nn. Spinalis yang terbentuk diatas dan harus turun untuk
mencapai foremen intervertebralis yang sesui.
e. Ruang subarachnoid mempunyai pelebaran-pelebaran yang disebut
sisterna. Salah satu pelebaran terbesar adalah sisterna.
ASPEK KLINIS
1. Benturan benda keras  bridging vein putus  perdarahan  Hematoma
subdural
2. Pada ruang ekstradural/epidural (antara dura dan tulang tengkorak) terdapat
alur-alur A. Meningea media, anterior dan posterior. Jika fraktur melintasi
salah satu alur  merusak A. Meningea (paling banyak A. Meningea
media)  hematoma ekstradural/epidural
3. Pembuluh darah yang menembus jaringan otak  darah masuk ke jaringan
otak  perdarahan intraserebral.
Tambahan:
Kulit kepala yang melekat pada tengkorak merupakan jaringan ikat padat
fibrosa yang dapat bergerak dengan bebas disebut “galea aponeurotika” yang
membantu meredam kekuatan trauma eksternal.
Diatas galea terdapat lapisan membran, yang mengandung pembuluh darah,
lapisan lemak, kulit dan rambut.
Antara galea dan permukaan luar tengkorak terdapat ruang subaponeurotika
yang berisi V. Diploika dan V. Emisaria yang bertindak sebagai suatu
pengaman apabila terjadi peningkatan intrakranial. Vena ini juga merupakan
tempat potensial untuk infeksi intrakranial.
B. Arachnoidea
Arachnoidea yaitu selaput tipis yang membentuk sebuah balon yang berisi
cairan otak meliputi seluruh susunan saraf sentral, otak, dan medulla spinalis.
Arachnoidea berada dalam balon yang berisi cairan. Ruang sub arachnoid pada
bagian bawah serebelum merupakan ruangan yang agak besar disebut
sistermagna. Ruangan tersebut dapat dimasukkan jarum kedalam melalui
foramen magnum untuk mengambil cairan otak, atau disebut fungsi sub
oksipitalis.
1) Arachnoidea Encephali
 Permukaan yang menghadap kearah piamater punya pita-pita fibrotik
halus : TRABEKULA ARACHNOIDEA
 Pada beberapa tempat menonjol ke sinus daramater : VILLI
ARACHNOIDEA
2) Arachnoidea Spinalis
 Struktur sama dengan arachnoidea encephali
 Ke kranial melalui foramen occipetale magnum lanjut mejdai
arachnoidea encephali
 Kaudal ikt membentuk filum terminale
3) Cavum subarachnoidea encephali

8
C. Piameter
Merupakan selaput tipis yang terdapat pada permukaan jaringan otak.
Piameter berhubungan dengan arachnoid melalui struktur jaringan ikat. Tepi
flak serebri membentuk sinus longitudinal inferior dan sinus sagitalis inferior
yang mengeluarkan darah dari flak serebri tentorium memisahkan serebrum
dengan serebelum.
1) Piamater Encephali
 Membungkus seluruh permukaan otak dan cerebelum termasuk sulci
dan gyri.
2) Piameter spinalis

1.1.2. Ventrikulus

Terdiri dari :
A. Ventrikulus lateralis
 Berbentuk huruf C panjang dan menempati hemisphareum cerebri.
 Berhubungan dengan ventrikulus tertius melalui foramen
interventricular(Monroi) yang terletak di bagian depan dinding medial
ventrikulus.
 Dibedakan :
 Corpus : dalam lobus parietalis
 Cornu anterior (cornu frontalis)
 Cornu posterior (cornu occipitalis)
 Cornu inferior (cornu temporalis)
 Atrium s. Trigonus : bagian yang terletak dekat splenulum
B. Ventrikulus tertius
Antara dua thalamus kanan dan kiri. Berhubungan dengan ventrikulus quartus
melalui aquaeductus cerebri (Sylvii).
C. Ventrikulus quartus
 Antara pons, medula oblongata bagian atas dengan cerebellum.
 Kebawah melanjutkan diri ke canalis centralis di dalam medula spinalis.
 Keatas ke cavum subarachnoidea melalui 3 lubang diatas ventriculus
quartus yaitu 1 foramen magendi dan 2 foramen luscka.

9
D. Ventrikulus terminalis : Ujung paling bawah caudalis sentralis yang sedikit
melebar.

LCS
 Letak : systema ventriculi cerbri,cavun subarachnoidea dan canalis centralis.
 Pembentuk : plexus choroidalis dari systema ventriculi cerebri dan sebagian
kecil berasal dari cairan jaringan otak.
ASPEK KLINIS
1. Jika terjadi sumbatan terjadi di hub venticuli cerebri bisa terjadi bendungan LCS
dalam sistem ventrivuli  hidrocephalus.
2. Lumbal punksi(Dx LCS spinalis)  di linea mediana posterior antara
Proc.spinosi VL 3 dan VL 4. Tusukan ini tidak akan mencederai medula spinalis
karena medula spinalis berakhir setinggi VL 1 atau VL 2.
3. Sisterna punksi(Dx LCS otak) jarum ditusuk diantara atlas dan os.occipitalis
sehingga mencapai cisterna cerbeloomedularis cisterna magna.
4. Anastesi spinalis utk memblok rasa sakit yang disarafi Nn.spinales lumbales
et sacrales. Cairan anastesi dimasukkan ke cavum subarachnoidea spinalis.

LO.1.2. Anatomi Mikroskopis


1.2.1. Meninges

A. Duramater
Terdiri dari lapisan luar dan lapisan dalam. Lapisan luar atau disebut juga
lapisan endosteum merupakan jaringan ikat padat dengan banyak pembuluh
darah dan saraf. Lapisan dalam atau lapisan fibrosa kurang mengandung
pembuluh darah, dilapisi epitel selapis gepeng di mesoderm.

10
B. Arachnoid
 Membran tipis, halus non vaskuler yang melapisi dura
 Membran arachnoid dan trabekulanya, tersusun dari serat-serat kolagen
halus dan serat elastis
 Semua permukaan dilapisi oleh lapisan yang kontinyu terdiri dari epitel
selapis gepeng.
C. Piamater
Lapisan piamater yang lebih superfisial, tersusun dari anyaman-anyaman
jaring serat kolagen, yang berhubungan dengan arachnoid dan lebih nayat pada
medulla spinalis. Lapisan dalam terdiri dari serat-serat retikular dan elastin yang
halus, lapisan tersebut memberi septum median posterior yang fobrosa ke dalam
subtansia medulla spinalis. Permukaan piamater tertutup epitel selapis gepeng,
yang melanjutkan diri menjadi sel-sel yang melapisi jaringan arachnoid.

1.2.2. Ventriculus
• Sel ependim  Melapisi dinding rongga ventriculus di otak dan kanalis
sentralis medula spinalis
• Plexus Choroidalis  Merupakan lipatan-lipatan invaginasi piamater yg
menembus ventrikel. Terdiri dari jaringan penyambung Piamater, dilapisi oleh
epitel selapis kuboid atau torak rendah yang berasal dari neural tube.
Menghasilkan cairan cerebrospinalis (LCS)

11
LI.2. Memahami dan Menjelaskan Fisiologi Liquor Cerebro Spinalis
Cerebrospinal Fluid (CSF) merupakan cairan yang mengelilingi ruang
subarakhnoid sekitar otak dan medulla spinalis, serta mengisi ventrikel dalam otak.
Cerebrospinal Fluid merupakan cairan tidak berwarna yang melindungi otak dan spinal
cord dari cedera yang disebabkan oleh faktor kimia dan fisika. Cairan ini mengangkut
oksigen, glukosa, dan bahan kimia yang dibutuhkan dari darah ke neuron dan neuroglia.
Volume total dari CSF adalah 80-150ml.
Cairan CSF dibentuk rata-rata sekitar 500 ml setiap hari. Sebanyak 2/3 CSF
dihasilkan dari plexus choroideus dan 1/3-nya dihasilkan dari sel ependim yang ada di
permukaan ventrikel. Darah yang masuk ke dalam otak mengalami ultrafiltrasi pada
plexus choroid dan diubah menjadi CSF.
CSF dihasilkan oleh :
1. Plexus choroid : jaring-jaring kapiler berbentuk bunga kol yang menonjol dari
piamater pada ventrikel ke-3 dan ke-4.
2. Disekresikan oleh sel-sel ependimal : single layer yang mengitari pembuluh darah
cerebral dan melapisi kanal sentral medulla spinalis. Sel-sel ependimal ini pun
menutupi choroid plexus sebagai blood-brain barrier sehingga berfungsi untuk
mengatur komposisi CSF.
A. Fungsi
 Sebagai pemberi makanan terhadap SSP
 Menyediakan keseimbangan dalam sistem saraf. Unsur-unsur pokok pada CSS
berada dalam keseimbangan dengan cairan otak ekstraseluler, jadi
mempertahankan lingkungan luar yang konstan terhadap sel-sel dalam sistem
saraf.
 Sebagai bumper anatara SSP dan tulang sekitar. Mengakibatkan otak dikelilingi
cairan, mengurangi berat otak dalam tengkorak dan menyediakan bantalan
mekanik, melindungi otak dari keadaan/trauma yang mengenai tulang
tengkorak
 Media pembuang sisa metabolisme neuron. Mengalirkan bahan-bahan yang
tidak diperlukan dari otak, seperti CO2,laktat, dan ion Hidrogen. Hal ini penting
karena otak hanya mempunyai sedikit sistem limfatik. Dan untuk memindahkan
produk seperti darah, bakteri, materi purulen dan nekrotik lainnya yang akan
diirigasi dan dikeluarkan melalui villi arakhnoid.
 Bertindak sebagai saluran untuk transport intraserebral. Hormon- hormon dari
lobus posterior hipofise, hipothalamus, melatonin dari fineal dapat dikeluarkan
ke LCS dan transportasi ke sisi lain melalui intraserebral.
 Pengatur volume otak. Mempertahankan tekanan intrakranial. Dengan cara
pengurangan LCS dengan mengalirkannya ke luar rongga tengkorak, baik
dengan mempercepat pengalirannya melalui berbagai foramina, hingga
mencapai sinus venosus, atau masuk ke dalam rongga subarakhnoid lumbal
yang mempunyai kemampuan mengembang sekitar 30%.
B. Komposisi dan Volume
Pada orang dewasa normal, volume total CSS adalah sekitar 150 mL, yang 25
% nya terdapat di dalam system ventrikel. CSS terbentuk dengan kecepatan sekitar
20 mL/jam, yang mengisyaratkan bahwa perputaran CSS terjadi tiga sampai empat
kali sehari. Pembentukan CSS tetap berlangsung walaupun tekanan intrakranial
meningkat, kecuali apabila tekanan tersebut sangat tinggi. Dengan demikian, harus
terjadi penyerapan cairan untuk mengakomodasi volume CSS yang dibentuk setiap
hari.Cairan serebrospinal dibentuk dari kombinasi filtrasi kapiler dan sekresi aktif

12
dari epitel. CSS hampir meyerupai ultrafiltrat dari plasma darah tapi berisi
konsentrasi Na, K, bikarbonat, Cairan, glukosa yang lebih kecil dan konsentrasi Mg
dan klorida yang lebih tinggi. Ph CSS lebih rendah dari darah.
Cairan serebrospinal yang berada di ruang subarakhnoid merupakan salah satu
proteksi untuk melindungi jaringan otak dan medula spinalis terhadap trauma atau
gangguan dari luar. Pada orang dewasa volume intrakranial kurang lebih 1700 ml,
volume otak sekitar 1400 ml, volume cairan serebrospinal 52-162 ml (rata-rata 104
ml) dan darah sekitar 150 ml. 80% dari jaringan otak terdiri dari cairan, baik ekstra
sel maupun intra sel. Rata-rata cairan serebrospinal dibentuk sebanyak 0,35
ml/menit atau 500ml/hari, sedangkan total volume cairan serebrospinal berkisar 75-
150 ml dalam sewaktu. Ini merupakan suatu kegiatan dinamis, berupa
pembentukan, sirkulasi dan absorpsi. Untuk mempertahankan jumlah cairan
serebrospinal tetap dalam sewaktu, maka cairan serebrospinal diganti 4-5 kali
dalam sehari. Perubahan dalam cairan serebrospinal dapat merupakan proses dasar
patologi suatu kelainan klinik. Pemeriksaan cairan serebrospinal sangat membantu
dalam mendiagnosa penyakit-penyakit neurologi. Selain itu juga untuk evaluasi
pengobatan dan perjalanan penyakit, serta menentukan prognosa penyakit.
Tabel 1. Perbandingan komposisi normal cairan serebrospinal lumbal dan serum
CSS Serum
Osmolaritas 295 mOsm/L 295 mOsm/L
Natrium 138 mM 138 mM
Klorida 119 mM 102 mM
PH 7,33 7,41 (arterial)
Tekanan CONCUSSION 6,31 kPa 25,3 kPa
Glukosa 3,4 mM 5,0 mM
Total Protein 0,35 g/L 70 g/L
Albumin 0,23 g/L 42 g/L
Ig G 0,03 g/L 10 g/L

Tabel 2. Karakteritik CSF Dewasa Normal


Relatif terhadap Kadar
Kadar CSF
Plasma
Tekanan 75-200
pH mmH2O Sedikit lebih rendah
Protein total 7,32-7,35 0,2-0,5 %
Imunoglobin 15-45 mg/dl < 0,1 %
Albumin / globulin 0,75-3,5 mg/dl 3-4 kali lebih tinggi
Glukosa 8:1 50-80 % dari kadar dalam
40-70 mg/dl darah 30-60 menit
sebelumnya
Asam Laktat Hampir sama
Urea (sebagai nitrogen 10-20 mg/dl Hampir sama
urea) 10-15 mg/dl Hampir sama
Glutamin < 20 mg/dl
Limfosit 2-5/ml

13
C. Pembentukan, Sirkulasi dan Absorpsi Cairan Serebrospinal (CSS)
Cairan serebrospinal (CSS) dibentuk terutama oleh pleksus khoroideus, dimana
sejumlah pembuluh darah kapiler dikelilingi oleh epitel kuboid/kolumner yang
menutupi stroma di bagian tengah dan merupakan modifikasi dari sel ependim,
yang menonjol ke ventrikel. Pleksus khoroideus membentuk lobul-lobul dan
membentuk seperti daun pakis yang ditutupi oleh mikrovili dan silia. Tapi sel epitel
kuboid berhubungan satu sama lain dengan tigth junction pada sisi aspeks, dasar sel
epitel kuboid terdapat membran basalis dengan ruang stroma diantaranya. Ditengah
villus terdapat endotel yang menjorok ke dalam (kapiler fenestrata). Inilah yang
disebut sawar darah LCS. Gambaran histologis khusus ini mempunyai karakteristik
yaitu epitel untuk transport bahan dengan berat molekul besar dan kapiler fenestrata
untuk transport cairan aktif.
Pembentukan CSS melalui 2 tahap, yang pertama terbentuknya ultrafiltrat
plasma di luar kapiler oleh karena tekanan hidrostatik dan kemudian ultrafiltrasi
diubah menjadi sekresi pada epitel khoroid melalui proses metabolik aktif.
Mekanisme sekresi CSS oleh pleksus khoroideus adalah sebagai berikut:
Natrium dipompa/disekresikan secara aktif oleh epitel kuboid pleksus khoroideus
sehingga menimbulkan muatan positif di dalam CSS. Hal ini akan menarik ion-ion
bermuatan negatif, terutama clorida ke dalam CSS. Akibatnya terjadi kelebihan ion
di dalam cairan neuron sehingga meningkatkan tekanan somotik cairan ventrikel
sekitar 160 mmHg lebih tinggi dari pada dalam plasma. Kekuatan osmotik ini
menyebabkan sejumlah air dan zat terlarut lain bergerak melalui membran
khoroideus ke dalam CSS. Bikarbonat terbentuk oleh karbonik anhidrase dan ion
hidrogen yang dihasilkan akan mengembalikan pompa Na dengan ion penggantinya
yaitu Kalium. Proses ini disebut Na-K Pump yang terjadi dgn bantuan Na-K-ATP
ase, yang berlangsung dalam keseimbangan. Obat yang menghambat proses ini
dapat menghambat produksi CSS. Penetrasi obat-obat dan metabolit lain tergantung
kelarutannya dalam lemak. Ion campuran seperti glukosa, asam amino, amin
danhormon tyroid relatif tidak larut dalam lemak, memasuki CSS secara lambat
dengan bantuan sistim transport membran. Juga insulin dan transferin memerlukan
reseptor transport media. Fasilitas ini (carrier) bersifat stereospesifik, hanya
membawa larutan yang mempunyai susunan spesifik untuk melewati membran
kemudian melepaskannya di CSS.
Natrium memasuki CSS dengan dua cara, transport aktif dan difusi pasif.
Kalium disekresi ke CSS dgnmekanisme transport aktif, demikian juga keluarnya
dari CSS ke jaringan otak. Perpindahan Cairan, Mg dan Phosfor ke CSS dan
jaringan otak juga terjadi terutama dengan mekanisme transport aktif, dan
konsentrasinya dalam CSS tidak tergantung pada konsentrasinya dalam serum.
Perbedaan difusi menentukan masuknya protein serum ke dalam CSS dan juga
pengeluaran CO2. Air dan Na berdifusi secara mudah dari darah ke CSS dan juga
pengeluaran CO2. Air dan Na berdifusi secara mudah dari darah ke CSS dan ruang
interseluler, demikian juga sebaliknya. Hal ini dapat menjelaskan efek cepat
penyuntikan intervena cairan hipotonik dan hipertonik.
Ada 2 kelompok pleksus yang utama menghasilkan CSS: yang pertama dan
terbanyak terletak di dasar tiap ventrikel lateral, yang kedua (lebih sedikit) terdapat
di atap ventrikel III dan IV. Diperkirakan CSS yang dihasilkan oleh ventrikel lateral
sekitar 95%. Rata-rata pembentukan CSS 20 ml/jam. CSS bukan hanya ultrafiltrat
dari serum saja tapi pembentukannya dikontrol oleh proses enzimatik.
CSS dari ventrikel lateral melalui foramen interventrikular monroe masuk ke
dalam ventrikel III, selanjutnya melalui aquaductus sylvii masuk ke dlam ventrikel

14
IV. Tiga buah lubang dalam ventrikel IV yang terdiri dari 2 foramen ventrikel
lateral (foramen luschka) yang berlokasi pada atap resesus lateral ventrikel IV dan
foramen ventrikuler medial (foramen magendi) yang berada di bagian tengah atap
ventrikel III memungkinkan CSS keluar dari sistem ventrikel masuk ke dalam
rongga subarakhnoid. CSS mengisi rongga subarakhnoid sekeliling medula spinalis
sampai batas sekitar S2, juga mengisi keliling jaringan otak. Dari daerah medula
spinalis dan dasar otak, CSS mengalir perlahan menuju sisterna basalis, sisterna
ambiens, melalui apertura tentorial dan berakhir dipermukaan atas dan samping
serebri dimana sebagian besar CSS akan diabsorpsi melalui villi arakhnoid (granula
Pacchioni) pada dinding sinus sagitalis superior. Yang mempengaruhi alirannya
adalah: metabolisme otak, kekuatan hidrodinamik aliran darah dan perubahan
dalam tekanan osmotik darah. CSS akan melewati villi masuk ke dalam aliran darah
vena dalam sinus. Villi arakhnoid berfungsi sebagai katup yang dapat dilalui CSS
dari satu arah, dimana semua unsur pokok dari cairan CSS akan tetap berada di
dalam CSS, suatu proses yang dikenal sebagai bulk flow. CSS juga diserap di
rongga subrakhnoid yang mengelilingi batang otak dan medula spinalis oleh
pembuluh darah yang terdapat pada sarung/selaput saraf kranial dan spinal. Vena-
vena dan kapiler pada piameter mampu memindahkan CSS dengan cara difusi
melalui dindingnya.
Perluasan rongga subarakhnoid ke dalam jaringan sistem saraf melalui
perluasaan sekeliling pembuluh darah membawa juga selaput piametr disamping
selaput arakhnoid. Sejumlah kecil cairan berdifusi secara bebas antara cairan
ekstraselluler dan css dalam rongga perivaskuler dan juga sepanjang permukaan
ependim dari ventrikel sehingga metabolit dapat berpindah dari jaringan otak ke
dalam rongga subrakhnoid. Pada kedalaman sistem saraf pusat, lapisan pia dan
arakhnoid bergabung sehingga rongga perivaskuler tidak melanjutkan diri pada
tingkatan kapiler.

15
Keterangan:
Cairan bergerak dari ventrikel lateral  melalui foramen interventrikular (Munro) →
menuju ventrikel ke-3 otak (tempat cairan semakin banyak karena ditambah oleh
plexus koroid) → melalui aquaductus cerebral (Sylvius)  menuju ventrikel ke-4
(tempat cairan ditambahkan kembali dari pleksus koroid) → melalui tiga lubang pada
langit-langit ventrikel ke-4 → bersirkulasi melalui ruang subarakhnoid, di sekitar
otak dan medulla spinalis → direabsorsi di vili arakhnoid (granulasi) → ke dalam
sinus vena pada duramater  kembali ke aliran darah tempat asal produksi cairan
tersebut.
D. Aliran LCS
 Aliran LCS:
1. Pada otak : ventriculus lateralisforamen interventricularis
(monroi)ventriculus IIIaquaductus sylviiventriculus IVforamen
magendi(tengah/median) dan foramen Luscka (pinggir/lateral)cavum
subarachnoid ,cisternae basalis (penghubung ruangan subarachnoid
spinalis dan subarachnoid cerebralis)
2. Pada medula spinalis : sebagian besar LCS di cavum subarachnoid
diabsorbsi oleh villi arachnoidale  vena ,sebagian kecil di celah
perineuralis dr Nn Craniales et spinales dan berakhir di sal.limfe. Aliran
LCS dimungkinkan akibat denyut nadi vasa craniales et spinales dan
gerakan columna vertebrae
 Sirkulasi

E. Pemeriksaan Makro dan Mikro LCS


Keadaan normal dan beberapa kelainan cairan serebrospinal dapat diketahui
dengan memperhatikan:
1. Warna
Normal cairan serebrospinal warnamya jernih dan patologis bila berwarna:
kuning,santokhrom, cucian daging, purulenta atau keruh. Warna kuning muncul
dari protein. Peningkatan protein yang penting danbermakna dalam perubahan
warna adalah bila lebih dari 1 g/L. Cairan serebrospinal berwarna pink berasal
dari darah dengan jumlah sel darah merah lebih dari 500 sdm/cm3. Sel darah
merah yang utuh akan memberikan warna merah segar. Eritrosit akan lisis
dalam satu jam danakan memberikan warna cucian daging di dalam cairan
serebrospinal. Cairan serebrospinal tampak purulenta bila jumlah leukosit lebih
dari 1000 sel/ml.
2. Tekanan
Tekanan CSS diatur oleh hasil kali dari kecepatan pembentukan cairan dan
tahanan terhadap absorpsi melalui villi arakhnoid. Bila salah satu dari keduanya

16
naik, maka tekanan naik, bila salah satu dari keduanya turun, maka tekanannya
turun. Tekanan CSS tergantung pada posisi, bila posisi berbaring maka tekanan
normal cairan serebrospinal antara 8-20 cm H2O pada daerahh lumbal, siterna
magna dan ventrikel, sedangkan jika penderita duduk tekanan cairan
serebrospinal akan meningkat 10-30 cm H2O. Kalau tidak ada sumbatan pada
ruang subarakhnoid, maka perubahan tekanan hidrostastik akan ditransmisikan
melalui ruang serebrospinalis. Pada pengukuran dengan manometer, normal
tekanan akan sedikit naik pada perubahan nadi dan respirasi, juga akan berubah
pada penekanan abdomen dan waktu batuk.
Bila terdapat penyumbatan pada subarakhnoid, dapat dilakukan
pemeriksaan Queckenstedt yaitu dengan penekanan pada kedua vena jugularis.
Pada keadaan normal penekanan vena jugularis akan meninggikan tekanan 10-
20 cm H2O dan tekanan kembali ke asal dalam waktu 10 detik. Bila ada
penyumbatan, tak terlihat atau sedikit sekali peninggian tekanan. Karena
keadaan rongga kranium kaku, tekanan intrakranial juga dapat meningkat, yang
bisa disebabkan oleh karena peningkatan volume dalam ruang kranial,
peningkatan cairan serebrospinal atau penurunan absorbsi, adanya masa
intrakranial dan oedema serebri. Kegagalan sirkulasi normal CSS dapat
menyebabkan pelebaran ven dan hidrocephalus. Keadaan ini sering dibagi
menjadi hidrosefalus komunikans dan hidrosefalus obstruktif. Pada
hidrosefalus komunikans terjadi gangguan reabsorpsi CSS, dimana sirkulasi
CSS dari ventrikel ke ruang subarakhnoid tidak terganggu. Kelainan ini bisa
disebabkan oleh adanya infeksi, perdarahan subarakhnoid, trombosis sinus
sagitalis superior, keadaan-keadaan dimana viscositas CSS meningkat
danproduksi CSS yang meningkat. Hidrosefalus obstruktif terjadi akibat adanya
ganguan aliran CSS dalam sistim ventrikel atau pada jalan keluar ke ruang
subarakhnoid. Kelainan ini dapat disebabkan stenosis aquaduktus serebri, atau
penekanan suatu msa terhadap foramen Luschka for Magendi ventrikel IV, aq.
Sylvi dan for. Monroe. Kelainan tersebut bis aberupa kelainan bawaan atau
didapat.
3. Jumlah sel
Jumlah sel leukosit normal tertinggi 4-5 sel/mm3, dan mungkin hanya
terdapat 1 sel polymorphonuklear saja, Sel leukosit junlahnya akan meningkat
pada proses inflamasi. Perhitungan jumlah sel harus sesegera mungkin
dilakukan, jangan lebih dari 30 menit setelah dilakukan lumbal punksi. Bila
tertunda maka sel akan mengalami lisis, pengendapan dan terbentuk fibrin.
Keadaaan ini akan merubah jumlah sel secara bermakna. Leukositosis ringan
antara 5-20 sel/mm3 adalah abnormal tetapi tidak spesifik. Pada meningitis
bakterial akut akan cenderung memberikan respon perubahan sel yang lebih
besar terhadap peradangan dibanding dengan yang meningitis aseptik. Pada
meningitis bakterial biasanya jumlah sel lebih dari 1000 sel/mm3, sedang pada
meningitis aseptik jarang jumlah selnya tinggi. Jika jumlah sel meningkat secara
berlebihan (5000-10000 sel /mm3), kemungkinan telah terjadi rupture dari
abses serebri atau perimeningeal perlu dipertimbangkan. Perbedaan jumlah sel
memberikan petunjuk ke arah penyebab peradangan. Monositosis tampak pada
inflamasi kronik oleh L. monocytogenes. Eosinophil relatif jarang ditemukan
dan akan tampak pada infeksi cacing dan penyakit parasit lainnya termasuk
Cysticercosis, juga meningitis tuberculosis, neurosiphilis, lympoma susunan
saraf pusat, reaksi tubuh terhadap benda asing.

17
4. Glukosa
Normal kadar glukosa berkisar 45-80 mg%. Kadar glukosa cairan
serebrospinal sangat bervariasi di dalam susunan saraf pusat, kadarnya makin
menurun dari mulai tempat pembuatannya di ventrikel, sisterna dan ruang
subarakhnoid lumbar. Rasio normal kadar glukosa cairan serebrospinal lumbal
dibandingkan kadar glukosa serum adalah >0,6. Perpindahan glukosa dari darah
ke cairan serebrospinal secara difusi difasilitasi transportasi membran. Bila
kadar glukosa cairan serebrospinalis rendah, pada keadaan hipoglikemia, rasio
kadar glukosa cairan serebrospinalis, glukosa serum tetap terpelihara.
Hypoglicorrhacia menunjukkan penurunan rasio kadar glukosa cairan
serebrospinal, glukosa serum, keadaan ini ditemukan pada derjat yang
bervariasi, dan paling umum pada proses inflamasi bakteri akut, tuberkulosis,
jamur dan meningitis oleh carcinoma. Penurunan kadar glukosa ringan sering
juga ditemukan pada meningitis sarcoidosis, infeksi parasit misalnya,
cysticercosis dan trichinosis atau meningitis zat khemikal. Inflamasi pembuluh
darah semacam lupus serebral atau meningitis rhematoid mungkin juga
ditemukan kadar glukosa cairan serebrospinal yang rendah. Meningitis viral,
mump, limphostic khoriomeningitis atau herpes simplek dapat menurunkan
kadar glukosa ringan sampai sedang.
5. Protein
Kadar protein normal cairan serebrospinal pada ventrikel adalah 5-15 mg%.
pada sisterna 10-25 mg% dan pada daerah lumbal adalah 15-45 ,g%. Kadar
gamma globulin normal 5-15 mg% dari total protein. Kadar protein lebih dari
150 mg% akan menyebabkan cairan serebrospinal berwarna xantokrom, pada
peningkatan kadar protein yang ekstrim lebih dari 1,5 gr% akan menyebabkan
pada permukaan tampak sarang laba-laba (pellicle) atau bekuan yang
menunjukkan tingginya kadar fibrinogen. Kadar protein cairan serebrospinal
akan meningkat oleh karena hilangnya sawar darah otak (blood barin barrier),
reabsorbsi yang lambat atau peningkatan sintesis immunoglobulin loka. Sawar
darah otak hilang biasanya terjadi pada keadaan peradangan,iskemia baktrial
trauma atau neovaskularisasi tumor, reabsorsi yang lambat dapat terjadi pada
situasi yang berhubungan dengan tingginya kadar protein cairan serebrospinal,
misalnya pada meningitis atau perdarahan subarakhnoid. Peningkatan kadar
immunoglobulin cairan serebrospinal ditemukan pada multiple sklerosis, acut
inflamatory polyradikulopati, juga ditemukan pada tumor intra kranial dan
penyakit infeksi susunan saraf pusat lainnya, termasuk ensefalitis, meningitis,
neurosipilis, arakhnoiditis dan SSPE (sub acut sclerosing panensefalitis).
Perubahan kadar protein di cairan serebrospinal bersifat umum tapi bermakna
sedikit, bila dinilai sendirian akan memberikan sedikit nilai diagnostik pada
infeksi susunan saraf pusat.
6. Elektrolit
Kadar elektrolit normal CSS adalah Na 141-150 mEq/L, K 2,2-3,3 mRq, Cl
120-130 mEq/L, Mg 2,7 mEq/L. Kadar elektrolit ini dalam cairan serebrospinal
tidak menunjukkan perubahan pada kelainan neurologis, hanya terdpat
penurunan kadar Cl pada meningitis tapi tidak spesifik.
7. Osmolaritas
Terdapat osmolaritas yang sama antara CSS dan darah (299 mosmol/L0. Bila
terdapat perubahan osmolaritas darah akan diikuti perubahan osmolaritas CSS.

18
8. PH
Keseimbangan asam bas harus dipertimbangkan pada metabolik asidosis
dan metabolik alkalosis. PH cairan serebrospinal lebih rendah dari PH darah,
sedangkan PCO2 lebih tinggi pada cairan serebrospinal. Kadar HCO3 adalah
sama (23 mEg/L). PH CSS relatif tidak berubah bila metabolik asidosis terjadi
secara subakut atau kronik, dan akan berubah bila metabolik asidosis atau
alkalosis terjadi secara cepat.
F. Perubahan performa CSF karena infeksi

1. Infeksi bakteri  bakteri mengeluarkan zat kimia yang sesuai dengan reseptor
pada neutrofil  neutrofil tertarik  kadar neutrofil dalam CSF meningkat
2. Infeksi bakteri  bakteri menggunakan glukosa sebagai bahan bakar energi 
kadar glukosa dalam CSF menurun
3. Infeksi bakteri  terjadi peradangan  permeabilitas sawar darah otak
terganggu  protein berukuran besar dapat masuk  terjadi peningkatan kadar
protein dalam CSF
4. Infeksi bakteri  terjadi pendarahan  warna CSF akan berubah

LI.3. Memahami dan Menjelaskan Kejang Demam


LO.3.1. Definisi Kejang Demam
Kejang demam adalah kejang yang terjadi pada suhu badan yang tinggi yang
disebabkan oleh kelainan ekstrakranial. Derajat tinggi suhu yang dianggap cukup untuk
diagnosa kejang demam adalah 38oC atau. Kejang terjadi akibat loncatan listrik
abnormal dari sekelompok neuron otak yang mendadak dan lebih dari biasanya, yang
meluas ke neuron sekitarnya atau dari substansia grasia ke substansia alba yang
disebabkan oleh demam dari luar otak).
LO.3.2. Epidemiologi Kejang Demam
 Kejang demam terjadi pada 2-4% populasi anak usia 6 bln-5thn
 Kejang demam sederhana: 80-90%
 Kejang demam kompleks: 20%
 Lama berlangsung: >15 menit: 8% kasus
 Berulang dalam 24 jam: 16% kasus

LO.3.3. Faktor Resiko Kejang Demam


Faktor - faktor yang berperan dalam risiko kejang demam yaitu, faktor demam,
usia dan riwayat keluarga (faktor risiko utama), dan riwayat prenatal (usia saat ibu
hamil), riwayat perinatal (asfiksia, usia kehamilan, dan bayi berat lahir rendah).

19
1. Umur
Batas umur yang umum adalah 6 bulan – 5 tahun. Kejang yang terjadi sebelum
usia 5 bulan lebih dikenal sebagai akibat dari infeksi pada sistem saraf pusat.
2. Demam
Infeksi pernapasan atas, otitis media, gastroenteritis dan infeksi saluran kemih
adalah penyebab utama kejang demam. Penyebab lainnya adalah imunisasi
pertusis dan campak. Kejang biasanya terjadi selama 24 jam pertama demam.
3. Faktor Keturunan
Kejang demam dengan riwayat pada keluarga memegang peranan penting untuk
terjadinya kejang demam.
Ada beberapa faktor lain yang berperan terhadap terjadinya kejang, antara lain
yaitu :
 Efek produk toksik daripada mikroorganisme (kuman, virus) terhadap otak.
 Respons alergik atau keadaan imun yang abnormal oleh karena infeksi.
 Perubahan keseimbangan cairan atau elektrolit.
 Ensefalitis viral (radang otak akibat virus) yang ringan yang tidak diketahui
atau ensefalopati toksisk sepintas.

LO.3.4. Klasifikasi Kejang Demam


1. Kejang demam sederhana (Simple febrile seizure)
Kejang demam yang berlangsung singkat, kurang dari 15 menit, dan
umumnya akan berhenti sendiri. Kejang berbentuk umum tonik dan atau klonik,
tanpa gerakan fokal. Kejang tidak berulang dalam waktu 24 jam. Kejang demam
sederhana merupakan 80% di antara seluruh kejang demam.
2. Kejang demam kompleks (Complex febrile seizure)
Kejang demam kompleks Kejang demam dengan salah satu ciri berikut ini:
a. Kejang lama > 15 menit
b. Kejang fokal atau parsial satu sisi, atau kejang umum didahului kejang
parsial
c. Berulang atau lebih dari 1 kali dalam 24 jam
Penjelasan
 Kejang lama adalah kejang yang berlangsung lebih dari 15 menit atau kejang
berulang lebih dari 2 kali dan di antara bangkitan kejang anak tidak sadar.
Kejang lama terjadi pada 8% kejang demam.
 Kejang fokal adalah kejang parsial satu sisi, atau kejang umum yang didahului
kejang parsial.
 Kejang berulang adalah kejang 2 kali atau lebih dalam 1 hari, di antara 2
bangkitan kejang anak sadar. Kejang berulang terjadi pada 16% di antara anak
yang mengalami kejang demam.

LO.3.5. Patofisiologi dan Patogenesis Kejang Demam


Untuk mempertahankan hidupnya, sel otak membutuhkan energi yaitu senyawa
glukosa yang didapat dari proses metabolisme sel. Sel - sel otak dikelilingi oleh
membran yang dalam keadaan normal membran sel neuron dapat dilalui dengan mudah
oleh ion Kalium (K+) dan sangat sulit dilalui oleh ion Natrium (Na+) dan elektrolit lain
kecuali Clorida (Cl-). Akibatnya konsentrasi ion K+ di dalam sel neuron tinggi dan
konsentrasi ion Na+ rendah. Keadaan sebaliknya terjadi di luar sel neuron. Karena
perbedaan jenis dan konsentrasi ion di dalam dan di luar sel tersebut maka terjadi beda
potensial yang disebut “Potensial Membran Sel Neuron”.

20
Untuk menjaga keseimbangan potensial membran sel diperlukan energi dan
enzim Na-K-ATP ase yang terdapat di permukaan sel. Keseimbangan potensial
membran ini dapat diubah oleh :
• Perubahan konsentrasi ion di ruang ekstraselular
• Rangsangan yang datang mendadak misalnya mekanisme, kimiawi atau aliran
listrik dari sekitarnya
• Perubahan patofisiologi dari membran sendiri karena penyakit atau keturunan

Sebuah potensial aksi akan terjadi akibat adanya perubahan potensial membran
sel yang didahului dengan stimulus membrane sel neuron. Saat depolarisasi, channel
ion Na+ terbuka dan channel ion K+ tertutup. Hal ini menyebabkan influx dari ion Na+,
sehingga menyebabkan potensial membran sel lebih positif, sehingga terbentuklah
suatu potensial aksi.
Dan sebaliknya, untuk membuat keadaan sel neuron repolarisasi, channel ion
K+ harus terbuka dan channel ion Na+ harus tertutup, agar dapat terjadi efluks ion K+
sehingga mengembalikan potensial membran lebih negatif atau ke potensial membrane
istirahat.
Renjatan listrik akan diteruskan sepanjang sel neuron. Dan diantara 2 sel
neuron, terdapat celah yang disebut sinaps, yang menghubungkan akson neuron pre-
sinaps dan dendrite neuron post sinaps. Untuk menghantarkan arus listrik pada sinaps
ini, dibutuhkan peran dari suatu neurotransmitter.

Gambar Celah Sinaps

21
Ada dua tipe neurotransmitter, yaitu :
1. Eksitatorik, neurotransmiter yang membuat potensial membran lebih positif dan
mengeksitasi neuron post sinaps
2. Inhibitorik, neuritransmiter yang membuat potensial membrane lebih negatif
sehingga menghambat transmisi sebuah impuls. Sebagai contoh : GABA
(Gamma Aminobutyric Acid). Dalam medis sering digunakan untuk
pengobatan epilepsi dan hipertensi.
Kejang terjadi akibat lepas muatan paroksismal yang berlebihan dari sebuah
fokus kejang atau dari jaringan normal yang terganggu akibat suatu keadaan patologik.
Aktivitas kejang sebagian bergantung kepada lokasi lepas muatan yang berlebihan
tersebut. Lesi di otak tengah, talamus, dan korteks serebri kemungkinan besar bersifat
epileptogenik sedangkan lesi di serebelum dan batang otak umumnya tidak memicu
kejang. Ditingkat membran sel, fokus kejang memperlihatkan beberapa fenomena
biokimiawi, termasuk yang berikut :
• Instabilitas membran sel saraf, sehingga sel lebih mudah mengalami
pengaktifan.
• Neuron - neuron hipersensitif dengan ambang untuk melepaskan muatan
menurun dan apabila terpicu akan melepaskan muatan secara berlebihan.
• Kelainan polarisasi (polarisasi berlebih, hipopolarisasi, atau selang waktu
dalam repolarisasi) yang disebabkan oleh kelebihan asetilkolin atau defisiensi
GABA.
Pada keadaan demam, kenaikan suhu 1o C akan mengakibatkan kenaikan
metabolisme basal 10-15% dan peningkatan kebutuhan oksigen sampai 20%. Jadi pada
kenaikan suhu tertentu dapat terjadi perubahan keseimbangan dari membran dan dalam
waktu yang singkat terjadi difusi ion Kalium dan Natrium melalui membran sel, dengan
akibat lepasnya muatan listrik yang demikian besar sehingga dapat meluas ke seluruh
sel maupun ke membran sel tetangga dengan bantuan neurotransmitter dan terjadilah
kejang.
Pada anak dengan ambang kejang yang rendah kenaikan suhu sampai 38o C
sudah terjadi kejang, Namun pada anak dengan ambang kejang yang tinggi, kejang baru
terjadi pada suhu diatas 40o C. Terulangnya kejang demam lebih sering terjadi pada
anak dengan ambang kejang rendah.
Kejang demam yang berlangsung singkat umumnya tidak berbahaya dan tidak
meninggalkan gejala sisa. Tetapi kejang demam yang berlangsung lama (>15 menit)
biasanya disertai dengan apneu, meningkatnya kebutuhan oksigen dan energi untuk
kontraksi otot skeletal yang mengakibatkan hipoksemia, hiperkapneu, dan asidosis
laktat. Hipotensi arterial disertai dengan aritmia jantung dan kenaikan suhu tubuh
disebabkan meningkatnya aktivitas berakibat meningkatnya metabolisme otak.
Tabel 3. Efek Fisiologis Kejang
Awal (< 15 menit) Lanjut (15-30 menit) Berkepanjangan (>1jam)

Meningkatnya kecepatan Menurunnya tekanan Hipotensi disertai


denyut jantung darah berkurangnya aliran darah
Meningkatnya tekanan Menurunnya gula darah serebrum sehingga terjadi
darah hipotensi serebrum
Meningkatnya kadar Disritmia Gangguan sawar darah
glukosa otak yang menyebabkan
edema serebrum

22
Meningkatnya suhu pusat Edema paru nonjantung
tubuh
Meningkatnya sel darah
putih
Rangkaian kejadian di atas adalah faktor penyebab terjadinya kerusakan neuron
otak pada kejang yang lama. Faktor yang terpenting adalah gangguan peredaran darah
yang mengakibatkan hipoksia sehingga berakibat meningkatnya permeabilitas vaskular
dan udem otak serta kerusakan sel neuron. Kerusakan anatomi dan fisiologi yang
bersifat menetap bisa terjadi di daerah medial lobus temporalis setelah ada serangan
kejang yang berlangsung lama. Hal ini diduga kuat sebagai faktor yang bertanggung
jawab terhadap terjadinya epilepsi.

LO.3.6. Manifestasi Klinik Kejang Demam


Kebanyakan kejang demam berlangsung singkat, bilateral, serangan berupa
klonik atau tonik-klonik. Umumnya kejang berhenti sendiri. Begitu kejang berhenti
anak tidak memberi reaksi apapun untuk sejenak, tetapi setelah beberapa detik atau
menit anak terbangun dan sadar kembali tanpa adanya kelainan saraf. Kejang demam
dapat berlangsung lama dan atau parsial. Pada kejang yang unilateral kadang-kadang
diikuti oleh hemiplegi sementara (Todd’s hemiplegia) yang berlangsung beberapa jam
atau bebarapa hari. Kejang unilateral yang lama dapat diikuti oleh hemiplegi yang
menetap.
Menurut Behman (2000: 843) kejang demam terkait dengan kenaikan suhu
yangtinggi dan biasanya berkembang bila suhu tubuh mencapai 39oC atau lebih ditanda
dengan adanya kejang khas menyeluruh tonik klonik lama beberapa detik sampai 10
menit. Kejang demam yang menetap > 15 menit menunjukkan penyebab organik
seperti proses infeksi atau toksik selain itu juga dapat terjadi mata terbalik ke atas
dengan disertai kekakuan dan kelemahan serta gerakan sentakan terulang.
 Demam (terutama demam tinggi atau kenaikan suhu tubuh yang tejradi secara
tiba-tiba)
 Kejang tonik-klonik atau grand mal
 Pingsan yang berlangsung selama 30 detik-5 menit (hampir selalu terjadi pada
anak-anak yang mengalami kejang demam)
 Postur tonik (kontraksi dan kekakuan otot menyeluruh yang biasanya
berlangsung selama 10-20 detik)
 Gerakan klonik (kontraksi dan relaksasi otot yang kuat dan berirama, biasanya
berlangsung selama 1-2 menit)
 Lidah atau pipinya tergigit
 Gigi atau rahangnya terkatup rapat
 Inkontinensia (mengeluarkan air kemih atau tinja diluar kesadarannya)
 Gangguan pernafasan
 Apneu (henti nafas)
 Kulitnya kebiruan.

23
LO.3.7. Diagnosis dan Diagnosis Banding
Diagnosis:
1. Anamnesis
 Adanya kejang, jenis kejang, kesadaran sebelum dan sesudah kejang , lama
kejang
 Suhu sebelum / saat kejang, frekuensi dalam 24 jam, interval kejang,
keadaan anak pasca kejang, penyebab demam di luar infeksi susunan saraf
pusat ( gejala infeksi saluran napas akut / ISPA, infeksi saluran kemih (ISK),
otitis media akut (OMA) dll,
 Riwayat perkembangan, riwayat kejang demam dan epilepsi dalam
keluarga,
 Kesadaran sebelum dan sesudah kejang (menyingkirkan diagnosis
meningoensefalitis)
 Singkirkan penyebab kejang yang lain ( misalkan diare, muntah yang
mengakibatkan gangguan elektrolit, sesak yang mengakibatkan hipoksemia,
asupan kurang yang dapat menyebabkan hipoglikemik.
2. Pemeriksaan Fisik
 Tanda vital terutama suhu
 Manifestasi kejang yang terjadi, misal : pada kejang multifokal yang
berpindah-pindah atau kejang tonik, yang biasanya menunjukkan adanya
kelainan struktur otak.
 Kesadaran tiba-tiba menurun sampai koma dan berlanjut dengan
hipoventilasi, henti nafas, kejang tonik, posisi deserebrasi, reaksi pupil
terhadap cahaya negatif, dan terdapatnya kuadriparesis flasid mencurigakan
terjadinya perdarahan intraventikular.
 Pada kepala apakah terdapat fraktur, depresi atau mulase kepala berlebihan
yang disebabkan oleh trauma. Ubun –ubun besar yang tegang dan
membenjol menunjukkan adanya peninggian tekanan intrakranial yang
dapat disebabkan oleh pendarahan sebarakhnoid atau subdural. Pada bayi
yang lahir dengan kesadaran menurun, perlu dicari luka atau bekas tusukan
janin dikepala atau fontanel enterior yang disebabkan karena kesalahan
penyuntikan obat anestesi pada ibu.
 Terdapatnya stigma berupa jarak mata yang lebar atau kelainan kraniofasial
yang mungkin disertai gangguan perkembangan kortex serebri.
 Ditemukannya korioretnitis dapat terjadi pada toxoplasmosis, infeksi
sitomegalovirus dan rubella. Tanda stasis vaskuler dengan pelebaran vena
yang berkelok – kelok di retina terlihat pada sindom hiperviskositas.
 Transluminasi kepala yang positif dapat disebabkan oleh penimbunan
cairan subdural atau kelainan bawaan seperti parensefali atau hidrosefalus.
 Pemeriksaan umum penting dilakukan misalnya mencari adanya sianosis
dan bising jantung, yang dapat membantu diagnosis iskemia otak.
 Pemeriksaan untuk menentukan penyakit yang mendasari terjadinya demam
(ISPA, OMA, GE)
 Pemeriksaan refleks patologis
 Pemeriksaan tanda rangsang meningeal (menyingkirkan diagnosis
meningoensefalitis)

24
3. Pemeriksaan Penunjang
 Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium tidak dikerjakan secara rutin pada kejang
demam, tetapi dapat dikerjakan untuk mengevaluasi sumber infeksi
penyebab demam, atau keadaan lain misalnya gastroenteritis dehidrasi
disertai demam. Pemeriksaa laboratorium yang dapat dikerjakan misalnya
darah perifer, elektrolit dan gula darah.
 Pungsi lumbal
Pungsi lumbal adalah pemeriksaan cairan serebrospinal yang dilakukan
untuk menyingkirkan menigitis terutama pada pasien kejang demam
pertama. Sangat dianjurkan pada anak berusia di bawah 12 bulan,
dianjurkan pada anak usia 12 - 18 bulan, dan dipertimbangkan pada anak di
atas 18 bulan yang dicurigai menderita meningitis
• Bayi < 12 bulan: diharuskan
• Bayi antara 12-18 bulan: dianjurkan
• Bayi > 18 bulan: tidak rutin, kecuali bila ada tanda-tanda menigitis
 CT Scan atau MRI
Jarang sekali dikerjakan, tidak rutin dan hanya diindikasikan pada keadaan:
a. Adanya riwayat dan tanda klinis trauma kepala.
b. Kemungkinan adanya lesi struktural diotak (mikrosefali, spastik).
c. Adanya tanda peningkatan tekanan intrakranial (kesadaran menurun,
muntah berulang, fontanel anterior menonjol, paresis saraf otak VI,
edema papil)
 EEG (Electro Encephalography)
EEG adalah pemeriksaan gelombang otak untuk meneliti ketidak normalan
gelombang dan dipertimbangkan pada kejang demam kompleks.
Pemeriksaan ini tidak dianjurkan untuk dilakukan pada kejang demam yang
baru terjadi sekali tanpa adanya defisit neurologis, EEG ini tidak dapat
memprediksi berulangnya kejang tau memperkirakan kemungkinan
kejadian epilepsi pasien kejang demam.
Diagnosis Banding
Menghadapi seorang anak yang menderita demam dengan kejang, harus
dipikirkan apakah penyebab kejang itu di dalam atau diluar susunan saraf pusat.
Kelainan di dalam otak biasanya karena infeksi, misalnya meningitis, ensefalitis, abses
otak, dan lain-lain. Oleh sebab itu perlu waspada untuk menyingkirkan dahulu apakah
ada kelainan organis di otak.
Tabel 4. Diagnosa Banding
No Kriteri Banding Epilepsi Meningitis Kejang Demam
Ensefalitis
1. Demam Tidak berkaitan Salah satu Pencetusnya
dengan demam gejalanya demam
demam
2. Kelainan Otak (+) (+) (-)
3. Kejang berulang (+) (+) (+)
4. Penurunan kesadaran (-) (+) (+)

25
LO.3.8. Penatalaksanaan Kejang Demam

Pengobatan simptomatis:
a. Menghentikan kejang
 Diazepam 0,2-0,5 mg/KgBB/dosis IV atau 0,4-0,6 mg/KgBB/dosis
REKTAL SUPPOSITORIA, kemudian dilanjutkan dengan,
 Phenytoin 5 mg/KgBB/hari IV/PO dibagi dalam 3 dosis atau,
 Phenobarbital 5-7 mg/Kg/hari IM/PO dibagi dalam 3 dosis.
b. Menurunkan panas
 Antipiretika: Paracetamol 10 mg/KgBB/dosis PO atau Ibuprofen 5-10
mg/KgBB/dosis PO diberikan 3-4 kali sehari atau setaminofen 10-15
mg/kgbb/4-5 kali/hari.
 Kompres air hangat/biasa.
c. Bila etiologi telah diketahui pengobatan terhadap penyakit primer segera
dilakukan.
d. Bila terdapat hipogikemia, beri larutan glukosa 20 % dengan dosis 2 - 4 ml/kg
BB secara intravena dan perlahan kemudian dilanjutkan dengan larutan glukosa
10 % sebanyak 60 - 80 ml/kg secara intravena. Pemberian Ca - glukosa
hendaknya disertai dengan monitoring jantung karena dapat menyebabkan
bradikardi. Kemudian dilanjutkan dengan peroral sesuai kebutuhan. Bila secara
intravena tidak mungkin, berikan larutan Ca glukosa 10 % sebanyak 10 ml per
oral setiap sebelum minum susu.
e. Bila kejang tidak hilang, harus pikirkan pemberian magnesium dalam bentuk
larutan 50% Mg SO4 dengan dosis 0,2 ml/kg BB (IM) atau larutan 2-3 % mg
SO4 (IV) sebanyak 2 – 6 ml. Hati-hati terjadi hipermagnesemia sebab gejala
hipotonia umum menyerupai floppy infant dapat muncul.

26
f. Pengobatan dengan antikonvulsan dapat dimulai bila gangguan metabolik
seperti hipoglikemia atau hipokalsemia tidak dijumpai. Obat konvulsan pilihan
utama untuk bayi baru lahir adalah Fenobarbital (Efek mengatasi kejang,
mengurangi metabolisme sel yang rusak dan memperbaiki sirkulasi otak
sehingga melindungi sel yang rusak karena asfiksia dan anoxia). Fenobarbital
dengan dosis awal 20 mg/kg BB IV berikan dalam 2 dosis selama 20 menit.
Pemberian bersama diazepam dengan fenobarbital akan mempengaruhi pusat
pernafasan karena zat pelarut diazepam mengandung natrium benzoat yang
dapat menghalangi peningkatan bilirubin dalam darah.
g. Pengobatan suportif
 Cairan intravena
 Oksigen. Usahakan agar konsentrasi O2 berkisar antara 30-50%.
Perawatan:
a. Pada waktu kejang:
 Longgarkan pakaian, bila perlu dibuka
 Hisap lendir
 Kosongkan lambung untuk menghindari muntah dan aspirasi
 Hindarkan penderita dari rudapaksa (misalnya jatuh)
b. Bila penderita tidak sadar lama:
 Beri makanan melalui sonde
 Cegah dekubitus dan pnemonia ortostatik dengan merubah posisi penderita
sesering mungkin, minimal ke kiri dan ke kanan setiap 6 jam
 Cegah kekeringan kornea dengan boorwater/salep antibiotika
c. Bila mengalami inkontinensia urin lakukan pemasangan kateter
d. Bila mengalami inkontinensia alvi lakukan lavement
e. Pemantauan ketat:
 Tekanan darah
 Pernafasan
 Nadi
 Produksi air kemih
 Faal hemostasis untuk mengetahui secara dini ada DIC
 Fisioterapi dan rehabilitasi

LO.3.9. Komplikasi Kejang Demam


1. Kerusakan sel otak.
2. Penurunan IQ pada kejang demam yang berlangsung lama lebih dari 15 menit
dan bersifat unilateral.
3. Kelumpuhan.

LO.3.10. Pencegahan Kejang Demam


a. Pencegahan berkala (intermiten)
Untuk kejang demam sederhana dengan Diazepam 0,3 mg/KgBB/dosis
PO dan antipiretika pada saat anak menderita penyakit yang disertai demam.
b. Pencegahan kontinu
Untuk kejang demam komplikata dengan Asam Valproat 15-40
mg/KgBB/hari PO dibagi dalam 2-3 dosis.

27
LO.3.11. Prognosis Kejang Demam
Dengan penanggulangan yang tepat dan cepat, perjalanan penyakitnya baik dan
tidak menimbulkan kematian.Kejang demam pada umumnya dianggap tidak berbahaya
dan sering tidak menimbulkan gejala sisa, akan tetapi bila kejang berlangsung lama
sehingga menimbulkan hipoksia pada jaringan SSP, dapat menyebabkan adanya gejala
sisa di kemudian hari. Dan apabila tidak diterapi dengan baik, kejang demam dapat
berkembang menjadi:
a) Kejang demam berulang (rekurensi). Faktor resiko kejang demam berulang:
• Usia < 15 bulan saat kejang demam pertama
• riwayat kejang demam pada keluarga
• riwayat adanya demam yang sering
• kejang pertama adalah CPS
• kejang demam terjadi segera setelah mulai demam/saat suhu sudah relatif
normal
b) Epilepsi
c) Kelainan motorik
d) Gangguan mental

LI.4. Memahami dan Menjelaskan Meningoensefalitis


LO.4.1. Definisi Meningoensefalitis
Meningoensefalitis adalah suatu radang infeksi yang mengenai selaput atau
meninges dan jaringan parenkim otak.
Meningitis adalah radang umum pada arakhnoid dan piamater yang dapat
terjadi secara akut dan kronis. Meningitis sering terjadi pada anak usia 1 bulan – 2
tahun. Dan jarang terjadi pada dewasa kecuali jika memiliki factor khusus. Meningitis
bakterial adalah infeksi purulen akut dalam ruang subarachnoid. Hal ini terkait dengan
reaksi inflamasi SSP yang dapat mengakibatkan kesadaran menurun, kejang,
peningkatan tekanan intrakranial (ICP), dan stroke. Meninges, ruang subarachnoid, dan
parenkim otak sering terlibat dalam reaksi inflamasi (meningoencephalitis).
Sedangkan ensefalitis adalah radang jaringan otak. Encephalitis adalah suatu
proses inflamasi pada parenkim otak yang biasanya merupakan suatu proses akut,
namun dapat juga terjadi postinfeksi encephalomyelitis, penyakit degeneratif kronik,
atau slow viral infection. Encephalitis merupakan hasil dari inflamasi parenkim otak
yang dapat menyebabkan disfungsi serebral. Encephalitis sendiri dapat bersifat difus
atau terlokalisasi. Organisme tertentu dapat menyebabkan encephalitis dengan satu dari
dua mekanisme yaitu (1). Infeksi secara langsung pada parenkim otak atau (2) sebuah
respon yang diduga berasal dari sistem imun (an apparent immune-mediated response)
pada sistem saraf pusat yang biasanya bermula pada beberapa hari setelah munculnya
manifestasi ekstraneural.

LO.4.2. Epidemiologi Meningoensefalitis


Menurut WHO (1996) bahwa di klinik Bucharest, Rumania telah terjadi
peningkatan kasus meningoensefalitis sejak bulan Agustus tahun 1996 dan terdapat 281
kasus virus meningitis yang terjadi dari 1 Agustus sampai 2 September, dengan usia
rata-rata pasien adalah 47 tahun dan 53% dari pasien dengan usia di atas 50 tahun
(WHO, 1996). Di Amerika Serikat tahun 2001 terdapat 66 kasus dengan penyebab
Virus West Nile (64 orang di antaranya dengan infeksi meningoensefalitis sedangkan
2 orang dengan gejala demam West Nile yang ringan). Di antara 64 orang dengan
penyebab West Nile Virus tersebut dengan usia rata-rata 68 tahun dengan interval umur

28
9-90 tahun. Di New York terdapat 13 kasus meningoensefalitis dengan penyebab West
Nile Virus, 12 kasus di New Jersey dan 12 kasus di Florida (CDC, 2002). Hasil
surveilens tahun 2006 dari 6 sentinel laboratorium di Cambodia, terdapat 47 dari 275
(17,1%) kasus meningoensefalitis dengan penyebab adalah Ensefalitis Jepang (Touch
S, dkk, 2009)
Centers for Diaseases Control and Prevention (CDC) melaporkan bahwa pada
tahun 1998-2007 di Amerika Serikat dilaporkan 33 kasus Primary Amebic
Meningoencephalitis (PAM) dan merupakan penyebab kematian pada 23 orang pada
tahun 1995-2004 dan 6 orang di tahun 2007 (Chandra SP, 2011). Di Mozambique pada
tanggal 13 Juli tahun 2009 terdapat 103 kasus meningoensefalitis dan 14 kematian
(CFR=13,6%) (EHA/AFRO team, 2009). WHO (2011) melaporkan bahwa Case
Fatality Rate (CFR) dari meningoensefalitis di Asia yang disebabkan oleh Togavirus
adalah sekitar 20% (WHO, 2011).
Di Indonesia, meningitis/ensefalitis merupakan penyebab kematian pada semua
umur dengan urutan ke 17 (0,8%) setelah malaria. Meningitis/ensefalitis merupakan
penyakit menular pada semua umur dengan proporsi 3,2%. Sedangkan proporsi
Meningitis/ensefalitis merupakan penyebab kematian bayi pada umur 29 hari-11 bulan
dengan urutan ketiga yaitu (9,3%) setelah diare (31,4%) dan pneumoni (23,8%).
Proporsi Meningitis/Ensefalitis penyebab kematian pada umur 1-4 tahun yaitu (8,8%)
dan merupakan urutan ke-4 setelah Necroticans Entero Colitis (NEC) yaitu (10,7%)
(Riskesdas, 2007).

LO.4.3. Etiologi Meningoensefalitis


Meningoencephalitis dapat disebabkan oleh bakteri, virus, atau beberapa kasus yang
jarang disebabkan oleh jamur.
Tabel 5. Etiologi Meningoensefalitis
UMUR ORGANISME PENYEBAB YANG UMUM
Neonatus Streptococcus Group B atauD
Streptococcus non Group B
Escherichia coli, L. Monocytogenes.
Infant & anak-anak H. Influenzae (48%)
S. Pneumoniae (13%).
N. Meningitidis, Diplococcus pneumonia
Dewasa S. pneumoniae (30-50%), H. Influenzae (1-3%),
N. meningitidis (10-35%), Basil gram negative (1-10%),
Staphylococcus (5-15%), Streptococcus (5%),
Species Listeria (5%).

a. Bakteri
Bakteri yang sering menyebabkan meningoencephalitis bacterial sebelum
ditemukannya vaksin Hib : S.pneumoniae, dan N. meningitidis. Bakteri yang
menyebabkan meningoencephalitis neonatus adalah bakteri yang sama yang
menyebabkan sepsis neonatus. Resiko meningoencephalitis bacterial
meningkat pada keadaan penyalahgunaan alcohol, telah menjalani splenektomi
dan penderita dengan infeksi telinga hidung menahun.

29
Tabel 6. Bakteri penyebab meningoencephalitis
Bakteri yang paling sering
Golongan Bakteri yang jarang menyebabkan
menyebabkan
usia meningoencephalitis
meningoencephalitis
Neonatus Group B streptococcus Staphylococcus aureus
Escherichia coli Coagulase-negative staphylococci
Klebsiella Enterococcus faecalis
Enterobacter Citrobacter diversus
Salmonella
Listeria monocytogenes
Pseudomonas aeruginosa
Haemophilus influenzae types a, b, c,
d, e, f, dan nontypable
>1 bulan Streptococcus pneumonia H. influenzae type b
Neisseria meningitides Group A streptococci
Gram-negatif bacilli
L. monocytogenes

b. Virus
Virus yang menyebabkan meningoencephalitis pada prinsipnya adalah virus
golongan enterovirus dimana termasuk didalamnya adalah coxsackieviruses,
echovirus dan pada pasien yang tidak vaksinasi (poliovirus). Virus golongan
enterovirus dan arbovirus (St. Louis, LaCrosse, California vencephalitis
viruses) adalah golongan virus yang paling sering menyebabkan
meningoencephalitis. Selain itu virus yang dapat menyebabkan
meningoencephalitis yaitu HSV, EBV, CMV lymphocytic
choriomeningoencephalitis virus, dan HIV. Virus mumps adalah virus yang
paling sering menjadi penyebab pada pasien yang tidak tervaksinasi
sebelumnya. Sedangkan virus yang jarang menyebabkan meningoencephalitis
yaitu Borrelia burgdorferi (lyme disease), B. hensalae (cat-scratch virus), M.
tuberculosis, Toxoplasma, Jamus (cryptococcus, histoplasma, dan coccidioides),
dan parasit (Angiostrongylus cantonensis, Naegleria fowleri, Acanthamoeba).
Virus adalah penyebab utama pada infeksi encephalitis akut. Encephalitis
juga dapat merupakan hasil dari jenis lain seperti infeksi dan metabolik, toksik
dan gangguan neoplastik.
Tabel 7. Virus penyebab meningoencephalitis
Akut Subakut
Adenoviruses HIV
1. Amerika utara JC virus
 Eastern equine encephalitis Prion-associated encephalopathies
 Western equine encephalitis (Creutzfeldt-Jakob disease, kuru)

30
 St. Louis encephalitis
 California encephalitis
 West Nile encephalitis
 Colorado tick fever
2. Di luar amerika utara
 Venezuelan equine
encephalitis
 Japanese encephalitis
 Tick-borne encephalitis
 Murray Valley encephalitis

Enteroviruses
Herpesviruses
 Herpes simplex viruses
 Epstein-Barr virus
 Varicella-zoster virus
 Human herpesvirus-6
 Human herpesvirus-7
HIV
Influenza viruses
Lymphocytic
choriomeningoencephalitis virus
Measles virus (native atau vaccine)
Mumps virus (native atau vaccine)
Virus rabies
Virus rubella

c. Jamur
Jamur patogen, termasuk Coccidioides immitis, Blastomyces dermatitidis,
dan Histoplasma capsulatum, dapat menyebabkan meningoencephalitis. Invasi
oportunistik dengan Cryptococcus neoformans dan Aspergillus spp juga telah
dijelaskan dalam beberapa spesies mamalia. Terkadang, jamur lain, seperti
Candida spp, Cladosporium trichoides, Paecilomyces variotii,
Chryseobacterium meningosepticum, dan Geotrichum candidum,
menyebabkan meningoencephalitis.

LO.4.4. Klasifikasi Meningoensefalitis


Berdasarkan penelitian Febriani N., di RSUP Dr. Kariadi Semarang pada tahun
2005-2010 pada penderita HIV dengan jenis penyakit saraf yang diderita yaitu
ensefalitis CMV sebanyak 6 kasus (9%), meningitis TB sebanyak 5 kasus (7,50%),
meningoensefalitis sebanyak 2 kasus (2,90%), meningitis kriptokokal sebanyak 1 kasus
(1,50%) (Febriani N, 2010).
Klasifikasi Meningitis/ Meningoencephalitis
1. Berdasarkan letak anatomisnya :
a) Pakimeningitis : infeksi pada duramater
b) Leptomeningitis : infeksi pada arachnoid dan piamater
2. Menurut Brunner & Suddath
a. Meningoencephalitis asepsis mengacu pada salah satu meningoencephalitis
virus yang menyebabkan iritasi meningens yang disebabkan oleh abses
otak, ensefalitis, limfoma, leukemia, atau darah di ruang subarachnoid.

31
b. Meningoencephalitis sepsis menunjukkan meningoencephalitis yang
disebabkan oleh organisme bakteri seperti meningokokus, stafilokokus atau
basilus influenza.
c. Meningoencephalitis tuberkulosa disebabkan oleh basillus tuberkel.
3. Menurut Ronny Yoes
a. Meningoencephalitis serosa/tuberkulosa adalah radang selaput otak
arachnoid dan piamater yang disertai cairan otak jernih. Penyebab
terseringnya adalah Mycobacterium tuberculosa. Seperti semua jenis infeksi
TB, infeksi SSP dimulai dari inhalasi partikel infektif. Pada penderita
dengan daya tahan tubuh lemah, fokus infeksi primer TB akan mudah ruptur
dan menyebabkan TB ekstra paru yang dapat menjadi TB milier dan dapat
menyerang meningen.
b. Meningoencephalitis purulen adalah radang bernanah arachnoid dan
piamater yang meliputi otak dan medula spinalis. Penyebabnya antara lain :
Diplococcus pneumoniae, Neisseria meningitidis, Streptococcus
haemolyticus, Staphylococcus aureus, Haemophilus influenza, Escerichia
coli, Klebsiella pneumoniae, Pseudomonas aeruginosa
4. Meningitis Kriptikokus
Meningitis yang disebabkan oleh jamur kriptokokus. Jamur ini bisa masuk ke
tubuh kita saat kita menghirup debu atau kotoran burung yang kering.
Kriptokokus ini dapat menginfeksikan kulit, paru, dan bagian tubuh lain.
Meningitis Kriptokokus ini paling sering terjadi pada orang dengan CD4 di
bawah 100. Diagnosis: Darah atau cairan sumsum tulang belakang dapat dites
untuk kriptokokus dengan dua cara. Tes yang disebut ‘CRAG’ mencari antigen
(protein) yang dibuat oleh kriptokokus. Tes ‘biakan’ mencoba menumbuhkan
jamur kriptokokus dari contoh cairan. Tes CRAG cepat dilakukan dan dapat
memberi hasi l pada hari yang sama. Tes biakan membutuhkan waktu satu
minggu atau lebih untuk menunjukkan hasil positif. Cairan sumsum tulang
belakang juga dapat dites secara cepat bila diwarnai dengan tinta India.

LO.4.5. Patofisiologi dan Patogenesis Meningoensefalitis

32
Ada jalur utama dimana agent infeksi (bakteri, virus, fungi, parasit) dapat
mencapai system saraf pusat (CNS) dan menyebabkan penyakit meningeal. Awalnya,
agent infeksi berkolonisasi atau membentuk suatu fokal infeksi pada tuan rumah.
Kolonisasi ini bisa berbentuk infeksi pada kulit, infeksi telinga, gigi, nasopharynx,
traktus respiratorius, traktus gastrointestinal atau traktus urinarius. Kebanyakan
pathogen meningeal ditransmisikan melewati rute respiratorik.
Dari area kolonisasi ini, organism menembus submucosa melawan pertahanan
tuan rumah (misalnya, barier fisik, imunitas lokal, fagosit/makrofag) dan mencapai
akses ke system saraf pusat melalui (1) invasi kedalam sirkulasi darah (bakteremia,
viremia, fungemia, dan parasitemia) dan selanjutnya secara hematogenous dilepaskan
ke system saraf pusat, dimana ini merupakan mode yang penyebaran yang paling sering
untuk kebanyakan agent (misalnya, meningokokkus, cryptococcal, syphilitic, dan
pneumococcal meningoencephalitis); (2) kerusakan neuronal (misalnya, nervus
olfactory dan peripheral) dengan agent penyebab misalnya, Naegleria fowleri,
Gnathostoma spinigerum; atau (3) kontak langsung (misalnya, sinusitis, otitis media,
congenital malformations, trauma, inokulasi langsung selama manipulasi intrakranial).
Sekali berada di dalam system saraf pusat, agent-agent infeksi ini akan dapat
bertahan hidup oleh karena pertahanan tuan rumah (misalnya, immunoglobulin,
neutrophil, komponen komplement) terbatas dalam kompartemen tubuh ini. Adanya
agent dan replikasi yang dilakukan tidak terkontrol dan mendorong terjadinya suatu
cascade inflamasi meningeal. Kunci patofisiologi dari meningoencephalitis termasuk
peran penting dari cytokines (mis, tumor necrosis factor-alpha [TNF-alpha], interleukin
[IL]–1), chemokines (IL-8), dan molekul proinflamasi lain dalam pathogenesis
pleocytosis dan kerus akan neuronal selama bakterial meningoencephalitis.
Peningkatan konsentrasi TNF-alpha, IL-1, IL-6, dan IL-8 dalam cairan serebrospinal
adalah temuan khas pasien meningoencephalitis bakterial.

33
Port de entry: kebanyakan masuk melewati rute respiratorik sehingga
menyebabkan infeksi pada traktus respiratorik. Rute gastrointestinal atau traktus
urinarius juga menjadi rute infeksi. Selanjutnya terjadi fokal infeksi. Dari fokal infeksi
akan menembus submukosa dan mencapai susunan saraf pusat melalui: invasi kedalam
sirkulasi darah, dari saraf yang rusak misalnya nervus olfactorius dan perifer. Port de
entry yang lain adalah kontak langsung dari fokal infeksi sinusitis, otitis media, atau
dari malformasi congenital, trauma, inokulasi langsung saat operasi kepala.

LO.4.6. Manifestasi Klinik Meningoensefalitis


Temuan pada pemeriksaan fisik bervariasi berdasarkan pada usia dan organisme
penyebab infeksi. Penting untuk diingat bahwa anak muda, jarang menunjukan gejala
spesifik.
- Pada bayi muda temuan yang pasti mengarah ke meningitis jarang spesifik:
a. Hipotermia atau mungkin bayi demam
b. Ubun-ubun membumbung, diastasis (pemisahan) pada sutura jahitan, dan
kaku kuduk tapi biasanya temuan ini muncul lambat.
- Saat anak tumbuh lebih tua, pemeriksaan fisik menjadi lebih mudah dicari.
a. tanda-tanda meningeal lebih mudah di amati (misalnya, kaku kuduk, tanda
kernig positif dan Brudzinski juga positif)
b. tanda fokal neurologis dapat ditemukan sampai dengan 15% dari pasien
yang berhubungan dengan prognosis yang buruk
c. Kejang terjadi pada 30% pasien dengan meningitis bakteri
d. Kesadaran berkabut (obtundation) dan koma terjadi pada 15-20 % dari
pasien dan lebih sering dengan meningitis pneumokokus.

34
Dapat ditemukan tanda peningkatan tekanan intrakranial dan pasien akan
mengeluhkan sakit kepala, diplopia, dan muntah. Ubun-ubun menonjol, ptosis, saraf
cerebral keenam, anisocoria, bradikardia dengan hipertensi, dan apnea adalah tanda-
tanda tekanan intrakranial meningkat dengan herniasi otak. Papilledema jarang terjadi,
kecuali ada oklusi sinus vena, empiema subdural, atau abses otak

LO.4.7. Diagnosis dan Diagnosis Banding


Diagnosis
1. Anamnesis
Dapat dilakukan dengan autoanamnesis atau alloanamnesis bila pasien tidak
koperatif
2. Pemeriksaan fisik
Perhatikan tanda rangsang meningeal positif: Kaku kuduk, Kernig sign dan
Burdzinsky. Papil edema, gejala neurologis fokal, terutama ggn pd saraf
kranialis III, IV, VI, VII  10-20% Px. Infeksi ekstrakranial sbg sumber, misal:
OMP, dll. Artritis, terutama bila N. meningitidis sbg penyebab, kejang,
penurunan kesadaran  koma
3. Pemeriksaan Penunjang

a. Laboratorium darah: darah lengkap: HB, HT, LED, eritrosit, leukosit,


elektrolit darah.
b. Pungsi lumbal untuk pemeriksaan LCS (indikasi infeksi: peningkatan sel
darah putih, protein, tekanan CSF > 180 mmHg, dan penurunan glukosa).
Deficit fokal dengan kenaikan jumlah hitung sel dari 250 sampai
100.000 sel per mm3, tetapi biasanya 1.000 sampai 10.000 sel/mm3.
Neutrophil mendominasi (85-95% dari total hitung sel), tetapi kenaikan dari
sel mononuclear ditemukan selama infeksi berlanjut, terutama pada
meningitis yang terobati tidak tuntas. Jika hasil hitung sel >50.000 sel/mm3
meningkatkan kemungkinan abses otak hingga rupture ke dalam ventrikel.
Hitung jenis WBC pada CSF dapat meningkat selama 18-36 jam oleh karena
awal pemakaian obat.
Konsentrasi glukosa CSF normalnya lebih rendah dari serum.
Konsentrasi glukosa dalam CSF berkisar antara 45-80 mg/dl pada pasien
dengan glukosa serum 70-120 mg/dl, atau kira-kira 65% dari glukosa serum.
Glukosa serum dibawah 40% menunjukkan hasil abnormal. Hiperglikemia
meningkatkan konsentrasi glukosa CSF dan keberadaannya dapat
menyamarkan penurunan konsentrasi glukosa CSF. Sehingga penentuan
konsentrasi glukosa CSF lebih baik dengan cara membandingkan rasio

35
glukosa CSF dan serum. Rasio normal adalah 0,6. Rasio yang kurang dari
0,40 sangat kuat dugaan untuk bacterial meningitis.
Kenaikan konsentrasi protein CSF dapat ditemukan pada kasus
meningitis bacterial, tetapi konsentrasi protein CSF akan meningkat pada
setiap proses yang mengganggu permeabilitas dari blood-brain-barrier.
Konsentrasi asam laktat CSF telah dianjurkan untuk digunakan melihat
proses penyembuhan. Kosentrasi yang lebih besar sama dengan 35mg/dl
dapat diprediksi kemungkinan adanya bacterial meningitis atau tubercular
origin.
Konsentrasi awal asam laktat CSF juga didemonstrasikan untuk
mengetahui prognosis signifikan pada pasien dengan bakterial meningitis.
Pasien dengan asam laktat tinggi cenderung meninggal atau sembuh dengan
defisit neurologis.
Tabel 8. Hasil Pungsi Lumbal Meningoensefalitis
Protein Glukosa
Kondisi Tekanan Leukosit (/μL) Keterangan
(mg/dL) (mg/dL)
Normal 50-180 < 4; 60-70% 20-45 > 50 atau
mm H2O limfosit, 75% glukosa
30-40% darah
monosit,
1-3% neutrofil
Meningo- Biasanya 100-60,000 +; 100-500 Terdepresi Organisme
encephal- meningkat biasanya apabila dapat dilihat
itis beberapa ribu; dibandingkan pada Gram
bakterial PMNs dengan stain dan
akut mendominasi glukosa kultur
darah;
biasanya <40
Meningo- Normal 1-10,000; >100 Terdepresi Organisme
encephal- atau didominasi atau normal normal
itis meningkat PMNs tetapi dapat
bakterial mononuklear dilihat;
yang sel biasa pretreatment
sedang mungkin dapat
menjalani mendominasi menyebab-
pengobat Apabila kan CSF
-an pengobatan steril
sebelumnya
telah lama
dilakukan
Tubercu- Biasanya 10-500; PMNs 100-500; <50 usual; Bakteri
lous meningkat mendominasi lebih menurun tahan asam
meningo- : dapat pada awalnya tinggi khususnya mungkin
encephal- sedikit namun khususnya apabila dapat
itis meningkat kemudian saat terjadi pengobatan terlihat pada
karena limfosit dan blok tidak adekuat pemeriksaan
bendu- monosit cairan usap CSF;
ngan mendominasi serebrospi
cairan pada akhirnya -nal

36
serebrospi
-nal pada
tahap
tertentu
Fungal Biasanya 25-500; PMNs 20-500 <50; Budding
meningkat mendominasi menurun yeast dapat
pada awalnya khususnya terlihat
namun apabila
kemudian pengobatan
monosit tidak adekuat
mendominasi
pada akhirnya
Viral Normal PMNs 20-100 Secara umum
meningo- atau mendominasi normal; dapat
encephal- meningkat pada awalnya terdepresi
itis tajam namun hingga 40
kemudian pada
monosit beberapa
mendominasi infeksi virus
pada akhirnya ; (15-20% dari
jarang lebih mumps)
dari 1000 sel
kecuali pada
eastern equine
Abses Normal 0-100 PMNs 20-200 Normal Profil
(infeksi atau kecuali pecah mungkin
parameni meningkat menjadi CSF normal
ngeal)

c. Kultur darah.
Deficit fokal dengan kenaikan jumlah hitung sel dari 250 sampai
100.000 sel per mm3, tetapi biasanya 1.000 sampai 10.000 sel/mm3.
Neutrophil mendominasi (85-95% dari total hitung sel), tetapi kenaikan dari
sel mononuclear ditemukan selama infeksi berlanjut, terutama pada
meningitis yang terobati tidak tuntas. Jika hasil hitung sel >50.000 sel/mm3
meningkatkan kemungkinan abses otak hingga rupture ke dalam ventrikel.
Hitung jenis WBC pada CSF dapat meningkat selama 18-36 jam oleh karena
awal pemakaian obat.
d. Biopsi
Biopsi otak mungkin diperlukan untuk diagnosis definitif dari penyebab
ensefalitis, terutama pada pasien dengan temuan neurologik fokal. Biopsi
otak mungkin cocok untuk pasien dengan ensefalopati berat yang tidak
menunjukkan perbaikan klinis jika diagnosis tetap tidak jelas. Lesi kulit
petechial, jika ada, harus dibiopsi. Ruam hasil meningococcemia dari
dermal pembenihan organisme dengan kerusakan endotel vaskular, dan
biopsi dapat mengungkapkan organisme pada Gram stain.Untuk melihat ada
lesi desak ruang akibat progresi inflamasi seperti abses, dan penumpukan
cairan LCS (hidrosefalus).

37
e. Neuroimaging
Hampir semua pasien dengan meningoencephalitis bakteri akan
memiliki neuroimaging studi yang dilakukan selama mereka sakit. MRI
lebih disukai daripada CT karena sifatnya superioritas dalam menunjukkan
daerah edema serebral dan iskemia. Pada pasien dengan
meningoencephalitis bakteri, difus peningkatan meningeal sering terlihat
setelah administrasi gadolinium. Peningkatan meningeal tidak diagnostik
meningoencephalitis, tetapi terjadi dalam SSP penyakit yang berhubungan
dengan peningkatan permeabilitas BBB.
Diagnosis Banding
Beberapa diagnosis banding untuk meningoencephalitis adalah Kejang demam,
Encephalitis, Intracranial abscess, Sekuele dari edema otak, Infark cerebral, Perdarahan
cerebral, Vaskulitis, Measles, Mumps.
Tabel 9. Diagnosis Banding berdasarkan Analisis LCS
Tekanan
Protein Glukosa
Warna SCC Eritrosit Leukosit
(mg/dL) (mg/dL)
(mmH2O)
Normal Jernih 70 – 180 o 0–5 < 50 50 – 75
limfosit
0 PMN
Traumatik Darah (+), Normal Sesuai 4 mg/
supernatan dengan dL per
jernih RBC 5000
RBC
SAH Darah (+), atau O atau (+) Normal
supernatant akibat
xantokrom meningitis
iritatif
sekunder
Meningitis Keruh atau o (PMN)
Bakterial purulent
Meningitis Normal o Normal
TBC atau atau
purulent (mono-
nuclear)
Meningitis Normal Normal o Normal Normal Normal
Viral atau atau atau
(mono-
nuclear)

LO.4.8. Penatalaksanaan Meningoensefalitis


Dilakukan sedini mungkin setelah diagnosa pasti.
a. Terapi umum : Tirah baring total. Dan perawatan 5B  jangan sampai terjadi
dekubitus.
b. Terapi spesifik : Antibiotika sesuai dgn hasil pemeriksaan LP. Bila ada kontra
indikasi LP  diberikan Antibiotika sesuai dgn Antibiotika empiris. Lama
pemberian Antibiotika sesuai dgn jenis bakteri. Pemberian Antiviral, Anti
Jamur dan OAT.

38
Tabel 10. Antibiotik
KUMAN ANTIBIOTIKA
NEONATUS Streptococcus grup B atau Ampicillin + Cefotaxime
D, E. Coli, L. Ampicillin + Gentamycin
monocytogenes Acyclovir  H. simplex encephalitis
INFANT Ampicillin + Cefotaxime/ Ceftriaxone.
Chloramphenicol + Gentamycin
+ Vancomycin.
+ Dexamethason.
3 bln – 7 th S. pneumoniae, N. Cefotaxime / Ceftriaxone.
meningitidis, H. Influenzae + Vancomycin pd S. pneumoniae
resistent Cephalosporin.
Chloramphenicol + Vancomycin.
+ Dexamethason.
Anak- S. pneumoniae, N. Cefotaxime/ Ceftriaxone+Ampicillin
Dewasa meningitidis, L. Chloramphenicol+Trimethoprim/sulfam
7 thn – 50 thn monocytogenes ethoxazole.
Bila prevalensi S. pneumonia resistent
cephalosporin > 2% diberikan:
Cefotaxime/ Ceftriaxone+Vancomycin
Chloramphenicol/ Clindamycin/
Meropenem.
Dewasa > 50 S. pneumoniae, H. Cefotaxime/ Ceftriaxone + Ampicillin
thn influenzae, spesies Bila prevalensi S. pneumonia resistent
Listeria, Pseudomonas cephalosporin > 2% diberikan:
aeruginosa, N. Cefotaxime/ Ceftriaxone+Vancomycin.
meningitidis. Ceftazidime.

Tabel 11. Dosis Pemberian Antibiotik


ANTIBIOTIKA ANAK-ANAK DEWASA INTERVAL
(mg/kg/hr) (gram/ hari) PEMBERIAN
(Jam)
INTRAVENOUS : 200.000 Unit/hr 20 juta Unit/hr 2-4
Penicillin G 150-300 12-18 4
Ampicillin 300 8-12 4
Nafcillin 300 10-15 4
Piperacillin 100-225 8-12 4
Cefotaxime 100 6-8 4
Ceftazidime 20-40 2-3 6
Vancomycin 5-8 4-6 6
Chloramphenicol 5-8 3-5 mg/kg/hr 8
Tobramycin / Gentamycin 10 30 mg/kg/hr 8
Amikacin TMP : 15 mg/kg/hr 8
Bactrim
INTRATEKAL : 2,5 mg/hr 8 mg/hr
Tobramycin 5 mg/hr 20 mg/hr
Amikacin

39
Terapi Tambahan
1. Deksamethason
Menghambat reaksi inflamasi, karena lisis bakteri dalam ruang subarachnoid.
Digunakan pada penyakit resiko tinggi, edema otak, TIK . Dapat menyebabkan
Perbaikan BBB   penetrasi AB ke dlm CSS. Terapi ini direkomendasikan
terutama pada pasien meningoencephalitis dewasa akibat pneumococcus atau pada
pasien dengan tingkat keparahan sedang-berat (GCS ≤ 11). Pemberian dilanjutkan
lebih dari 4 hari hanya jika pewarnaan gram CSS menunjukkan hasil diplococcus
gram – negatif, atau jika kultur darah atau CSS positif S. Pneumoniae. Efek
samping: perdarahan GI, supresi imun   fungsi imun seluler. Diberikan sebelum
pemberian antibiotika pertama (10-15 menit).
2. Immunoglobulin
Diberikan sedini mungkin. Untuk menetralkan endotoksin, krn † bakteri. Tidak
menyebabkan supresi imun. Pilihan : lebih baik yang dapat menembus BBB  pilih
molekul kecil, Dosis : 1-3 ml/kg BB secara intravena, diberikan per infus dengan
kecepatan 150-225 ml/jam atau 40-60 tetes/menit.
3. Peningkatan Tekanan Intra Kranial (TIK)
Letak kepala 30 derajat dari tempat tidur. Beri obat hiperosmoler : manitol atau
gliserol. Hiperventilasi  pCO2 dipertahankan : 27-30 mmHg. Barbiturat  
kebutuhan metabolik otak.
4. Pemeriksaan CSS ulang
Harus dilakukan pada setiap pasien yang tidak berespon secara klinis setelah
pemberian terapi antimikroba selama 48 jam.
5. Terapi rawat jalan
Kriteria terapi rawat jalan untuk meningoencephalitis bakterialis antara lain :
a. Telah mendapat terapi antimikroba di RS ≥ 6 hari
b. Tidak ada demam minimal selama 24 – 48 jam
c. Tidak ada disfungsi neurologi, kelainan fokal atau aktivitas bangkitan bermakna
d. Kondisi klinis stabil atau membaik
e. Mampu makan per oral
f. Kondisi kesehatan rumah yang layak
Management Meningoencephalitis Jamur
Obat yang sering dipakai pada penanganan meningitis jamur diantaranya:
1. Amfoterisin B untuk terapi infeksi kriptokokal, antifungal spektrum luas.
2. Flusitosin efektif untuk infeksi jamur pada SSP yang disebabkan oleh
Candida dan Cryptococcus sp. Penetrasi ke cairan serebrospinal baik, mencapai
75% konsentrasi serum. Diberikan sebagai kombinasi dengan Amfoterisin B
atau Flukonasol, tidak diberikan sebagai obat tunggal, mudah terjadi resistensi.
3. Flukanosol  Triazol spektrum luas yang digunakan untuk terapi kriptokokal
meningoencephalitis dan infeksi Candida. Dapat melalui sawar darah otak
dengan mudah dan memiliki waktu paruh tinggi dalam cairan serebrospinal.
4. Vorikonasol Triasol baru yang mempunyai aktivitas antifungal. Obat pilihan
untuk infeksi Aspergillus, Fusarium, Scedosporium yang sulit diterapi dengan
Amfoterisin.
5. Kombinasi Obat
Dengan tujuan memperbaiki efikasi dan meminimalkan toksisitas
a. Amfoterisin B 0,7 mg/kgBB/hari iv + Flusitosin 100 mg/kgBB/hari per oral
semala 2 minggu dilanjutkan Flukonasol 400-800 mg/hari per oral selama 8-10

40
minggu lalu dilanjutkan Flukonasol 200 mg/hari per oral, baik untuk infeksi
oleh Cryptococcus neoformans.
b. Amfoterisin B 0,5 – 0,7 mg/kgBB/hari iv selama 4 minggu diteruskan
Flukonasol 400-800 mg/hari per oral seumur hidup untuk infeksi Coociodes
immitis.
c. Amfoterisin B 0,7 mg/kgBB/hari iv + Flusitosin 100 mg/kgBB/hari per oral
semala 2 minggu dilanjutkan Flukonasol 400-800 mg/hari per oral atau iv
selama 4-6 minggu untuk infeksi karena Candida Albicans.
Management Meningoencephalitis TB
1. Pengobatan umum  sama dengan meningitis bakterial akut.
2. Pengobatan spesifik, digunakan kombinasi tuberkulostatika :
a. INH.
b. Ethionamid/ Pyrazynamid.
c. Streptomycin.
d. Rifampicyn.
Management Meningoencephalitis Viral
1. Penatalaksanaan umum (5B)
2. Penatalaksanaan khusus: Tidak perlu antibiotic. Diberikan Acyclovir 10
mg/kgBB setiap 8 jam selama 3 minggu

LO.4.9. Komplikasi Meningoensefalitis


Neurologi :
1. Gangguan cerebrovaskuler (15,1%)  infark  nekrosis otak.
2. Edema otak (14%).
3. Hidrosefalus (11,6%).
4. Perdarahan otak (2,3%).
5. Kejang-kejang.
6. Efusi subdural  sering terjadi pd anak
7. Parese nervi cranialis (N. III, VI, VII, VIII)
Non Neurologi :
1. Septik shok (11,6%).
2. Respiratory distress syndrome (3,5%).
3. DIC (8,1%).
4. Pneumonia.
5. Miokarditis, endokarditis.

LO.4.10. Pencegahan Meningoensefalitis


Vaksin Meningitis
Vaksin IPD PCV-7 merupakan vaksin kombinasi yang merupakan gabungan
beberapa antigen tunggal menjadisatu jenis produk antigen untuk mencegah penyakit
yang berbeda serta diberikan dalam satu suntikan (7 in one). PCV- 7 memiliki T-cell
dependent yang bersifat immunogenic bagi anak-anak berusia < 2 tahun.
T cell helper berperan merangsang B cell membentuk antibodi, sehingga
membentuk memori jangka panjang. Jika suatu saat akan diberikan booster PCV-7,
maka sel memori akan meningkatkan antibodi kembali. Dengan keunggulan ini, maka
PCV-7 efektif memberikan proteksi IPD bagi anak-anak berusia < 2 tahun.

41
Pencegahan lain
Kebersihan menjadi kunci utama proses pencegahan terjangkit virus atau
bakteri penyebab meningitis. Ajarilah anak-anak dan orang-orang sekitar untuk selalu
cuci tangan, terutama sebelum makan dan setelah dari kamar mandi. Usahakan pula
untuk tidak berbagi makanan, minuman atau alat makan, untuk membantu mencegah
penyebaran virus. Selain itu lengkapi juga imunisasi si kecil, termasuk vaksin-vaksin
seperti HiB, MMR, dan IPD. (Japardi, Iskandar., 2002)
Pencegahan pada penyakit meningitis:
1) Penderita diisolasi
2) Vaksinasi, seperti;
 Vaksi meningokokus yang telah diizinkan di AS mencakup polisakarida
grup A, C, W153 dan Y, dan digunakan terutama perekrutan militer. Vaksin
ini mungkin menguntungkan bagi beberapa orang yang mengunjungi daerah
yang mengalami epidemik penyakit meningokokus. Vaksinasi juga harus
dipertimbangkan sebagai tambahan antibiotik kemoprofilaksis untuk
beberapa orang yang tinggal dengan pasien yang mengalami infeksi
meningokokus.
 Vaksin polisakarida (Haemophilus b polysaccharide vaccine) melawan
masuknya Haemophilus influenzae tipe b yang telah diizinkan
penggunaannya di AS dan sekarang digunakan rutin untuk pencegahan
meningitis pada pediatrik.
3) Diberi obat-obatan
 Untuk meningokokus diberi obat Rifampisin, sulfadiazine.
 Untuk Hemofilus influenza diberi obat, Rifampisin

LO.4.11. Prognosis Meningoensefalitis


Prognosis bergantung pada penegakan diagnosis secara dini, penentuan
organisme penyebab serta pemberian obat yang tepat dan segera. Angka kematian bisa
mencapai 50% atau bahkan lebih tinggi lagi.Penderita meningoencephalitis dapat
sembuh, baik sembuh dengan cacat motorik atau mental atau meninggal tergantung :
a. Umur penderita.
b. Jenis kuman penyebab
c. Berat ringan infeksi
d. Lama sakit sebelum mendapat pengobatan
e. Kepekaan kuman terhadap antibiotic yang diberikan
f. Adanya dan penanganan penyakit.

LI.5. Memahami dan Menjelaskan Lumbal Pungsi


LO.5.1. Definisi Lumbal Pungsi
Lumbar pungsi adalah upaya pengeluaran cairan serebrospinal dengan
memasukan jarum ke dalam ruang subarakhnoid. Lumbar pungsi dilakukan oleh dokter
menggunkan jarung dengan teknik aseptic. Jarum punksi lumbal dimasukan diantara
vertebra lumbal ke-3 dan ke-4 atau ke-4 dan ke-5 hingga mencapai ruang subarachnoid
dibawah medulla spoinalis di bagian causa equine. Manometer dipasang diujung jarum
via dua jalan dan cairan serebrospinal memungkinkan mengalir ke manometer untuk
mengetahui tekanan intraspinal.

42
LO.5.2. Indikasi Lumbal Pungsi
a. Kejang
b. Paresis atau paralisis termasuk paresis Nervus VI
c. Pasien koma
d. Ubun – ubun besar menonjol
e. Kaku kuduk dengan kesadaran menurun
f. Tuberkolosis milier

LO.5.3. Kontra Indikasi


1. Adanya peninggian tekanan intra kranial dengan tanda-tanda nyeri kepala,
muntah dan papil edema
2. Penyakit kardiopulmonal yang berat
3. Ada infeksi lokal pada tempat Lumbal Punksi

LO.5.4. Persiapan dan Prosedur Lumbal Pungsi :


1. Periksa gula darah 15-30 menit sebelum dilakukan LP
2. Jelaskan prosedur pemeriksaan, bila perlu diminta persetujuan pasien/keluarga
terutama pada LP dengan resiko tinggi
Alat dan Bahan :
1. Sarung tangan steril
2. Duk berlubang
3. Kassa steril, kapas, dan plester
4. Jarum pungsi lumbal no. 20 dan 22 beserta stylet
5. Antiseptik: povidon iodine dan alkohol 70%
6. Tabung reaksi untuk menampung cairan serebrospinal
Prosedur :
1. Pasien dalam posisi miring pada salah satu sisi tubuh. Leher fleksi maksimal
(dahi ditarik ke arah lutut), ektremitas bawah fleksi maksimum (lutut ditarik ke
arah dahi), dan sumbu kraniospinal (kolumna vertebralis) sejajar dengan tempat
tidur.

2. Tentukan daerah pungsi lumbal di antara vertebra L4 dan L5 yaitu dengan


menemukan garis potong sumbu kraniospinal (kolumna vertebralis) dan garis
antara kedua spina iskhiadika anterior superior (SIAS) kiri dan kanan. Pungsi
dapat pula dilakukan antara L4 dan L5 atau antara L2 dan L3 namun tidak boleh
pada bayi.

43
3. Lakukan tindakan antisepsis pada kulit di sekitar daerah pungsi radius 10 cm
dengan larutan povidon iodin diikuti dengan larutan alkohol 70% dan tutup
dengan duk steril di mana daerah pungsi lumbal dibiarkan terbuka.
4. Tentukan kembali daerah pungsi dengan menekan ibu jari tangan yang telah
memakai sarung tangan steril selama 15-30 detik yang akan menandai titik
pungsi tersebut selama 1 menit.

5. Tusukkan jarum spinal/stylet pada tempat yang telah ditentukan. Masukkan


jarum perlahan-lahan menyusur tulang vertebra sebelah proksimal dengan
mulut jarum terbuka ke atas sampai menembus duramater. Jarak antara kulit
dan ruang subarakhnoid berbeda pada tiap anak tergantung umur dan keadaan
gizi. Umumnya 1,5-2,5 cm pada bayi dan meningkat menjadi 5 cm pada umur
3-5 tahun. Pada remaja jaraknya 6-8 cm. (gambar di bawah ini.)
6. Lepaskan stylet perlahan-lahan dan cairan keluar. Untuk mendapatkan aliran
cairan yang lebih baik, jarum diputar hingga mulut jarum mengarah ke kranial.
Ambil cairan untuk pemeriksaan.
7. Cabut jarum dan tutup lubang tusukan dengan plester
LO.5.5. Komplikasi Lumbal Pungsi :
1. Sakit kepala: Biasanya dirasakan segera sesudah lumbal punksi, ini timbul
karena pengurangan cairan serebrospinal
2. Backache, biasanya di lokasi bekas punksi disebabkan spasme otot
3. Infeksi
4. Herniasi
5. Intrakranial subdural hematom
6. Hematom dengan penekanan pada radiks
7. Tumor epidermoid intraspinal
LO.5.6. Keuntungan Lumbal Pungsi :
LP sangat penting untuk alat diagnosa. Prosedur ini memungkinkan melihat
bagian dalam seputar medulla spinalis, yang mana memberikan pandangan pada fungsi
otak juga. Prosedur ini relative mudah untuk dilaksanakan dan tidak begitu mahal.
Dokter yang berpengalaman, LP akan menurunkan angka komplikasi. Ia akan
melakukannya dengan cepat dan dilaksanakan di tempat tidur pasien.

44
LI.6. Memahami dan Menjelaskan Keabsahan Umrah
a. Syarat Umrah
1. Muslim
Melaksanakan ibadah umroh hanya boleh dilakukan oleh umat penganut
agama Islam, jika agama selain islam maka haram baginya melaksanakan
ibadah umroh.
2. Berakal
Untuk melaksanakan sebuah ibadah tentunya orang tersebut harus berakal.
Jika tidak berakal maka tidak ada tugas atasnya untuk melaksanakan ibadah
umroh.
3. Baligh
Baliq atau dewasa bagi laki-laki salah satunya ditandai dengan mimpi basah
sementara perempuan ditandai dengan menstruasi.
4. Mampu
Mampu dalam arti mampu biaya dan mampu dalam keadaan fisik atau
kesehatan, terdapat kendaraan yang siap mengantar umroh dan juga
keamanan dalam arti keselamatan jiwa.
b. Rukun Umrah
1. Ihram

Bagi kaum muslim yg hendak menunaikan ibadah haji atau umroh di


Tanah suci Mekah wajib menggunakan pakaian ihram. Pakaian ihram
berbeda dengan pakaian yang seperti biasanya, pakaian ihram yaitu kain
putih tanpa jahitan yang hanya dililitkan di tubuh dan kadang disebut juga
dengan pakaian suci.
Mengucapkan niat haji atau umroh atau kedua-duanya, sebaiknya
dilakukan setelah shalat, setelah berniat untuk manasik. Namun jika berniat
ketika telah naik kendaraan, maka itu juga boleh sebelum sampai di miqot.
Jika telah sampai miqot namun belum berniat, berarti dianggap telah
melewati miqot tanpa berihram.
Wajib ihram mencakup:
1. Ihram dari miqot.
2. Tidak memakai pakaian berjahit (yang menunjukkan lekuk badan atau
anggota tubuh). Laki-laki tidak diperkenankan memakai baju, jubah,
mantel, imamah, penutup kepala, khuf atau sepatu (kecuali jika tidak
mendapati khuf). Wanita tidak diperkenankan memakai niqob (penutup
wajah) dan sarung tangan.
3. Bertalbiyah.

45
Sunnah ihram:
 Mandi.
 Memakai wewangian di badan.
 Memotong bulu kemaluan, bulu ketiak, memendekkan kumis,
memotong kuku sehingga dalam keadaan ihram tidak perlu
membersihkan hal-hal tadi, apalagi itu terlarang saat ihram.
 Memakai izar (sarung) dan rida’ (kain atasan) yang berwarna putih
bersih dan memakai sandal. Sedangkan wanita memakai pakaian apa
saja yang ia sukai, tidak mesti warna tertentu, asalkan tidak menyerupai
pakaian pria dan tidak menimbulkan fitnah.
 Berniat ihram setelah shalat.
 Memperbanyak bacaan talbiyah.
Larangan saat melaksanakan ihram
 Tidak diperbolehkan memotong dan mencabut sebagian atau keselruhan
rambut, tidak boleh memotong kuku, tidak boleh menggaruk kulit
sampai terkelupas dan mengeluarkan darah.
 Tidak diperbolehkan mengenakan parfum, termasuk parfum yang
terdapat pada sabun mandi.
 Tidak diperbolehkan membikin gaduh, seperti bertengkar.
 Tidak diperbolehkan bermesraan meskipun dalam ikatan yang resmi.
 Tidak diperbolehkan bersetubuh antar pasangan resmi.
 Tidak diperbolehkan berkata-kata kotor.
 Tidak diperbolehkan melakukan pernikahan.
 Tidak diperbolehkan berburu binatang atau membantu berburu binatang
liar.
 Tidak diperbolehkan membunuh binatang liar atau pun binatang
pelliharaan (kecuali mengancam jiwa), memotong atau mencabut
tumbuh-tumbuhan yang masih hidup dan segala hal yang mengganggu
kehidupan mahluk.
 Tidak diperbolehkan memakai make-up.
 Pria tidak diperbolehkan: memakai penutup kepala (topi, sorban,dsb),
memakai pakaian yang terdapat jahitannya dan tidak boleh memakai
alas kaki yang menutup mata kaki.
 Wanita tidak diperbolehkan: menutup wajah dan tidak boleh menutup
telapak tangan mengenakan apa pun.
3. Tawaf (Mengitari Ka’bah sebanyak 7 putaran).
Thowaf adalah mengitari Ka’bah sebanyak tujuh kali. Dalilnya adalah
firman Allah Ta’ala,

ِ ‫ت ْالعَتِي‬
‫ق‬ ِ ‫ط َّوفُوا بِ ْالبَ ْي‬
َّ َ‫َو ْلي‬
“Dan hendaklah mereka melakukan melakukan thawaf sekeliling rumah
yang tua itu (Baitullah).” (QS. Al Hajj: 29)
Syarat-syarat thowaf:
Berniat ketika melakukan thowaf.
 Suci dari hadats (menurut pendapat mayoritas ulama).
 Menutup aurat karena thowaf itu seperti shalat.
 Thowaf dilakukan di dalam masjid walau jauh dari Ka’bah.
 Ka’bah berada di sebelah kiri orang yang berthowaf.
 Thowaf dilakukan sebanyak tujuh kali putaran.

46
 Thowaf dilakukan berturut-turut tanpa ada selang jika tidak ada hajat.
 Memulai thowaf dari Hajar Aswad.
4. Sai (berlarian kecil Shafa – Marwah sebanyak tujuh kali).
Sa’i adalah berjalan antara Shofa dan Marwah dalam rangka ibadah. Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
‫ى‬ َّ ‫َب َعلَ ْي ُك ُم ال‬
َ ‫س ْع‬ َّ ‫ا ْسعَ ْوا إِ َّن‬
َ ‫َّللاَ َكت‬
“Lakukanlah sa’i karena Allah mewajibkan kepada kalian untuk
melakukannya.” (HR. Ahmad 6: 421. Syaikh Syu’aib Al Arnauth
mengatakan bahwa hadits tersebut hasan).
Syarat sa’i:
 Niat.
 Berurutan antara thowaf, lalu sa’i.
 Dilakukan berturut-turut antara setiap putaran. Namun jika ada sela
waktu sebentar antara putaran, maka tidak mengapa, apalagi jika benar-
benar butuh.
 Menyempurnakan hingga tujuh kali putaran.
 Dilakukan setelah melakukan thowaf yang shahih.
5. Tahallul (mencukur rambut kepala atau memotong sebagian).
6. Tertib.
c. Wajib Umrah
Wajib Umrah adalah hanya Ihram dari miqat
 Sebelum berangakat menaiki pesawat, mandi telebih dahulu kemudian
mengenakan wangi-wangian.
 Bagi pria memakai kain ihram yang sudah ditentukan, dua helai kain yang
tidak dijahit mengurung, satu helai kain untuk pengganti celana, yang
sehelai lagi untuk selendang. Bagi perempuan pakaian ihramnya biasa saja.
 Menjelang tiba di miqat (Qarnulmanazil), lakukan shalat sunnah dua rakaat
(sunat at au wajib).
 Tepat di Qarnulmanazil (miqat), kurang lebih 25 menit sebelum pesawat
mendarat di Lapangan Terbang King Abdul Aziz Jeddah, kita mulai
berihram, dengan niat umroh yang ikhlas dan tulus tanpa ada paksaan serta
mengucapkan talbiyah.

47
DAFTAR PUSTAKA

Annegers JF, Hauser W, Shirts SB, Kurland LT. Factors prognostic of unprovoked
seizures after febrile convulsions. NEJM 1987; 316:493-8.
Baehr M, Frotscher M. 2010. Diagnosis Topik Neurologi DUUS. Jakarta: EGC.
Doenges, Marilynn E. (1999). Rencana Asuhan Keperawatan. EGC. Jakarta
Baehr M, Frotscher M. 2010. Diagnosis Topik Neurologi DUUS. Jakarta: EGC.
Balitbangkes Departemen Kesehatan RI. 2008. Riskesdas 2007.
CDC. 2002. Morbidity and Mortality Weekly Report, Vol. 51. No. 23. United States.
http://www.cdc.gov/mmwr/PD F/wk/mm5123.pdf.
Febriani, N. 2010. Pola Penyakit Saraf Pada Penderita HIV/AIDS di RSUP. Dr. Kariadi
Semarang. Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, Semarang.
FKUI. 1999. Kapita Selekta Kedokteran FKUI. Jakarta: Media Aesculapius.
Harsono, 2003. Kapita Selekta Neurologi. Edisi Kedua, Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta. Japardi, Iskandar. 2002. Meningitis Meningococcus. USU
http://www.alshaumroh.com/2017/02/pengertian-umroh.html#Syarat-Umroh.
(Diakses pada 3 Desember 2017 Pukul 19.02 WIB)
http://www.ncbi.NLM.nih.gov/pubmedhealth/PMH0001700/ (Diakses pada 3
Desember 2017 Pukul 17.00 WIB)
http://www.OHSU.edu/XD/Health/Services/doernbecher/Research-Education/
Education/Med-Education/upload/bacterial-meningitis.pdf (Diakses pada 3 Desember
2017 Pukul 17.20 WIB).
https://aet.co.id/umroh/syarat-dan-rukun-umroh-sebagi-panduan-ibadah (Diakses pada
3 Dsember 2017 pukul 18.00 WIB).
IDAI. 2006. Konsensus penatalaksanaan kejang demam.
ILAE, Commission on Epidemiology and Prognosis. Epilepsia 1993; 34:592-8.
Stafstrom CE. The incidence and prevalence of febrile seizures. Dalam: Baram TZ,
Shinnar S, eds, febrile seizures, San Diego: Academic Press 2002. h. 1-20.
Longo et al. 2012. Harrison’s Priciples of Internal Medicine 18th Edition.
McGraw-Hill Mescher, A.L. 2013. Junqueira’s Basic Histology Text and Atlas
13th Edition. McGraw-Hill
Nelson KB, Ellenberg JH. Prognosis in Febrile seizure. Pediatr 1978; 61:720-7. UKK
Neurologi 3 Berg AT, Shinnar S. Complex febrile seizure. Epilepsia 1996; 37:126-33.
Nelson, W.E. (2000), “Ilmu Kesehatan Anak, Edisi 15”. Jakarta. Penerbit Buku
Kedokteran EGC
Nelson. Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta: EGC
Paulsen, F. and Waschke, J. 2010. Sobotta Atlas of Human Anatomy 15th Edition.
Elsevier Urban Fischer

48
Price S. 2004. Patofisiologi. Jakarta: EGC.
Pusponegoro HD, dkk. 2006. Konsensus Pentalaksanaan Kejang Demam. UKK
Neurologi IDAI. Sherwood L. 2002. Fisiologi Manusia: dari sel ke sistem. Jakarta:
EGC
Sherwood L. 2002. Fisiologi Manusia: dari sel ke sistem. Jakarta: EGC
Shinnar S. Febrile seizures Dalam: Swaiman KS, Ashwal S, eds. Pediatric Neurology
principles and practice. St Lois: Mosby 1999. h. 676-82.
Touch, Souk, dkk. 2009. The Rationale for Integrated Chilhood Meningoencephalitis
Surveillance: A Case Study From Cambodia. Bulletin of the World Health
Organization. Vol. 87. No. 4:245-324
Uddin, Jurnalis. 2007. Anatomi Sistem Saraf Manusia. Jakarta : Universitas Yarsi. P:
27 – 86).
WHO (1996). Global Alert and Respons (GAR). hhtp://www.who.int/csa/dan/19
96_09_02a/en/.

49

Anda mungkin juga menyukai