PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Penyakit Jantung Koroner (PJK) atau penyakit kardiovaskular saat ini
merupakan salah satu penyebab utama dan pertama kematian di negara maju
dan berkembang, termasuk Indonesia. Pada tahun 2010, secara global
penyakit ini akan menjadi penyebab kematian pertama di negara berkembang,
menggantikan kematian akibat infeksi. Diperkirakan bahwa diseluruh dunia,
PJK pada tahun 2020 menjadi pembunuh pertama tersering yakni sebesar
36% dari seluruh kematian, angka ini dua kali lebih tinggi dari angka
kematian akibat kanker. Di Indonesia dilaporkan PJK (yang dikelompokkan
menjadi penyakit sistem sirkulasi) merupakan penyebab utama dan pertama
dari seluruh kematian, yakni sebesar 26,4%, angka ini empat kali lebih tinggi
dari angka kematian yang disebabkan oleh kanker (6%). Dengan kata lain,
lebih kurang satu diantara empat orang yang meninggal di Indonesia adalah
akibat PJK.
Berbagai faktor risiko mempunyai peran penting timbulnya PJK mulai
dari aspek metabolik, hemostasis, imunologi, infeksi, dan banyak faktor lain
yang saling terkait. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) melaporkan satu dari
tiga orang di seluruh dunia pada tahun 2001, meninggal karena penyakit
kardiovaskular. Sementara, sepertiga dari seluruh populasi dunia saat ini
berisiko tinggi untuk mengalami major cardiovascular events. Pada tahun
yang sama, WHO mencatat sekitar 17 juta orang meninggal karena penyakit
ini dan melaporkan bahwa sekitar 32 juta orang mengalami serangan jantung
dan stroke setiap tahunnya. Diperkirakan pada tahun 2001 di seluruh dunia
terjadi satu serangan jantung setiap 4 detik dan satu stroke setiap 5 detik.
Dilaporkan juga, pada tahun 2001 tercatat penyakit kardiovaskular lebih
banyak menyerang wanita dibanding pria, yang sebelumnya penyakit
kardiovaskular lebih banyak menyerang para pria ( Anwar,2007).
Perkembangan terkini memperlihatkan, penyakit kardiovaskular telah
menjadi suatu epidemi global yang tidak membedakan pria maupun wanita,
serta tidak mengenal batas geografis dan sosio-ekonomis. Sindrom Koroner
Akut (SKA) adalah salah satu manifestasi klinis Penyakit Jantung Koroner
(PJK) yang utama dan paling sering mengakibatkan kematian. SKA
menyebabkan angka perawatan rumah sakit yang sangat besar dalam tahun
2003 di Pusat Jantung Nasional dan merupakan masalah utama saat ini.
SKA, merupakan PJK yang progresif dan pada perjalanan penyakitnya,
sering terjadi perubahan secara tiba-tiba dari keadaan stabil menjadi keadaan
tidak stabil atau akut. Mekanisme terjadinya SKA adalah disebabkan oleh
karena proses pengurangan pasokan oksigen akut atau subakut dari miokard,
yang dipicu oleh adanya robekan plak aterosklerotik dan berkaitan dengan
adanya proses inflamasi, trombosis, vasokonstriksi dan mikroembolisasi.
Manifestasi klinis SKA dapat berupa angina pektoris tidak stabil/APTS, Non-
ST elevation myocardial infarction / NSTEMI, atau ST elevation myocardial
infarction / STEMI. SKA merupakan suatu keadaan gawat darurat jantung
dengan manifestasi klinis berupa keluhan perasaan tidak enak atau nyeri di
dada atau gejala-gejala lain sebagai akibat iskemia miokard. Pasien APTS dan
NSTEMI harus istirahat di ICCU dengan pemantauan EKG kontinu untuk
mendeteksi iskemia dan aritmia (Anonim, 2006).
B. Tujuan
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Deskripsi penyakit
1. Definisi
Gagal jantung adalah sindrom klinis yang disebabkan oleh
ketidakmampuan jantung dalam memompa darah pada jumlah yang cukup
bagi kebutuhan metabolisme tubuh. Gagal jantung dapat disebabkan oleh
gangguan yang mengakibatkan terjadinya pengurangan pengisian ventrikel
dan / atau kontraktilitas miokardial
Heart failure (HF) is a clinical syndrome caused by the inability of the
heart to pump sufficient blood to meet the metabolic needs of the body.
Heart failure can result from any disorder that reduces ventricular filling
(diastolic dysfunction) and/or myocardial contractility (systolic
dysfunction).
2. Penyebab
Causes of Heart Failure
Systolic Dysfunction (Decreased Contractility)
- Reduction in muscle mass (e.g., myocardial infarction)
- Dilated cardiomyopathies
- Ventricular hypertrophy
- Pressure overload (e.g., systemic or pulmonary hypertension,
aortic or pulmonic valve stenosis)
- Volume overload (e.g., valvular regurgitation, shunts,
high-output states)
Diastolic Dysfunction (Restriction in Ventricular Filling)
- Increased ventricular stiffness
- Ventricular hypertrophy (e.g., hypertrophic cardiomyopathy,
other examples above)
- Infiltrative myocardial diseases (e.g., amyloidosis, sarcoidosis,
endomyocardial fibrosis)
- Myocardial ischemia and infarction
- Mitral or tricuspid valve stenosis
- Pericardial disease (e.g., pericarditis, pericardial tamponade)
B. Patofisiologi
Penyebab disfungsi sistolik ( penurunan kontraktilitas) adalah penurunan
massa otot (misalnya infark miokardial), kardiomiopati yang terdilasi serta
hipertropi ventrikel. Hipertropi ventrikel dapat disebabkan oleh tingginya
tekanan darah (misalnya karena hipertensi sistemik atau pulmonari, maupun
stenosis pada katup aortik atau pulmonik) atau tingginya volum darah
(misalnya regurgitasi katup).
Penyebab disfungsi diastolik 9 restriksi pada pengisian ventrikel) adalah
peningkatan kekakuan ventrikel, hipertropi ventrikel, penyakit-penyakit
miokardial yang bersifat infiltratif, iskemi maupun infark miokardial, stenosis
pada katup mitral maupun trikuspidalis dan penyakit-penyakit perikardial
( misalnya perikarditis, hemoperikardium).
Penyebab gagal jantung paling umum adalah penyakit jantung iskemik,
hipertensi atau keduanya. Faktor-faktor lain yang berperan dalam
memperparah gagal jantung pda pasien misalnya ketidakpatuhan pada
medikasi, iskemik koroner, penggunaan medikasi yang kurang tepat dan
infeksi pulmonary. Obat dapat mempeparah gagal jantung karena sifat
inotropik negatif. Kardiotoksik , maupun sifat retensi natrium yang
dimilikinya.
C. Diagnosis
A diagnosis of HF should be considered in patients exhibiting
characteristic signs and symptoms. A complete history and physical
examination with appropriate laboratory testing are essential in the initial
evaluation of patients suspected of having HF.
Ventricular hypertrophy can be demonstrated on chest x-ray or
electrocardiogram (ECG).
The New York Heart Association (NYHA) Functional Classification
System is intended primarily to classify symptomatic HF patients
according to the physician's subjective evaluation. Functional class (FC)-I
patients have no limitation of physical activity, FC-II patients have slight
limitation, FC-III patients have marked limitation, and FC-IV patients are
unable to carry on physical activity without discomfort.
The recent American College of Cardiology/American Heart Association
(ACC/AHA) staging system provides a more comprehensive framework
for evaluating, preventing, and treating HF (Figure 8-1).
D. Terapi PJK
1. Tujuan Terapi
Target terapi gagal jantung kronis adalah meminimalisir hingga
menghilangkan timbulnya gejala, peningkatan kualitas hidup,
mengurangi angka rawat inap, memperlambat peningkatan keparahan
penyakit, serta memperpanjang ketahanan
2. TERAPI NON FARMAKOLOGI
TREATMENT OF CHRONIC HEART FAILURE
GENERAL PRINCIPLES
The first step in managing chronic HF is to determine the etiology or
precipitating factors. Treatment of underlying disorders (e.g.,
anemia, hyperthyroidism) may obviate the need for treatment of HF.
Nonpharmacologic interventions include cardiac rehabilitation and
restriction of fluid intake (maximum 2 L/day from all sources) and
dietary sodium (approximately 1.5 to 2 g of sodium per day).
Stage A: The emphasis is on identifying and modifying risk factors
to prevent development of structural heart disease and subsequent
HF. Strategies include smoking cessation and control of
hypertension, diabetes mellitus, and dyslipidemia according to
current treatment guidelines. ACE inhibitors should be strongly
considered for antihypertensive therapy in patients with multiple
atherosclerotic vascular risk factors.
Stage B: In these patients with structural heart disease but no
symptoms, treatment is targeted at minimizing additional injury and
preventing or slowing the remodeling process. In addition to
treatment measures outlined for stage A, patients with a previous MI
should receive both ACE inhibitors and β blockers regardless of the
ejection fraction (EF). Patients with reduced EFs (less than 40%)
should also receive both agents, regardless of whether they have had
an MI.
Stage C: Patients with structural heart disease and previous or
current HF symptoms may also have their symptoms classified
according to the NYHA
Stage D: Patients with symptoms at rest despite maximal medical
therapy should be considered for specialized therapies, including
mechanical circulatory support, continuous positive inotropic
therapy, cardiac transplantation, or hospice care.
E. Terapi farmakologi
1. ACE inhibitor
ACE inhibitor bekerja dengan cara menurunkan angiotensin II dan
aldosteron, mempengaruhi efek negatif yang ditimbulkan oleh senyaw-
senyawa tersebut, diantaranya dapat mereduksi remodeling ventrikuler,
fibrosis miokardial, hipertropi kardiak, pelepasan norepinefrin,
vasokontriksi dan retensi nsstrium dan air. Efek hemodinamik dapat
diamati dengan terapi jangka panjang, termasuk diantaranya peningkatan
secara signifikan pada indeks kardiak.
Nama Contoh
Dosis
generik nama paten
Captopril 6,25 mg, 3 x 1 sehari Capoten
Enalopril 2,5 – 5 mg, 2 x 1 sehari Meipril
Lisinopril 2,5 – 5 mg, 4 x 1 sehari Interpril
Quinapril 10 mg , 2 x 1 sehari
Ramipril 1,25 – 2,5 mg, 2 x 1 Tenapril
sehari
Fosinopril 5-10 mg, 4 x 1 sehari Acenor M
Trandolapril 0,5 – 1 mg, 4 x 1 sehari
2. Beta-blocker
Efek menguntungkan dari penggunaan senyawa beta bloker dapat
ditunjukkan melalui perlambatan atau pembalikan dari detrimental
ventricular remodeling yang disebabkan oleh stimulasi simaptik.
Dari penelitian, terdapat hasil yang membuktikan bahwa pasien yang
dalam keadaan stabilnya diberikan perlakuan inisiasi dengan senyawa
betabloker berdosis rendah dengan peningkatan dosis secara perlahan
selama beberapa minggu menunjukkan penurunan progres
pengembangan penyakit dan menurunkan angka kematian maupun
perawatan rumah sakit.
Dapat direkomendasikan penggunaan senyawa beta bloker pada
semua pasien gagal jantung dengan sistolik stabil, kecuali apabila
terdapat kontraindikasi atau telah ditunjukkan secara jelas bahwa terdapat
riwayat intoleransi terhadap senyawa beta bloker. Pasien tetap harus
ditangani dengan pemberian beta bloker bahkan jika gejala yang timbul
telag diatasi dengan ACE inhibitor dan diuretik karena mereka tetap
berada dalam resiko tingkat keparahan.
Nama Contoh
Dosis
generik nama paten
Bisoprolol 5- 10 mg, 1x/hr Concor
Atenolol 25-100 mg, 1x/hr Tensinorm
Propanolol 40-160 mg 2x/hr Farmadral
Metropolol 50-200 mg, l-2x/hr Lopresor
Asebutolol 200-800 mg, 2x/hr Sectrar
3. Diuretik
Pada gagal jantung, berkurangnya volume darah arterial menyebabkan
ginjal menahan air dan garam. Sistem renin-angiotensin-aldosteron pun
dipacu sehingga terbentuk angiotensin-2 yang merangsang sekresi
aldosteron. Aldosteron menambah retensi natrium disertai pembuangan
kalium. Semua ini tang menyebabkan retensi cairan pada penderita gagal
jantung. Diuretik memacu ekskresi NaCl dan air sehingga beban
berkurang dan gejala bendungan paru dan bendungan sistemik berkurang.
Diuretik juga mengurangi volume ventrikal dan tegangan dindingnya
sehingga retensi perifer menurun. Diuretik merupakan pilihan pertama
pada gagal jantung kronik yang ringan dengan irama sinus. Pada gagal
jantung yang lebih berat, penggunaan diuretik harus lebih hati-hati dan
pengaruhnya terhadap gangguan elektrolit yang sudah ada sebelumnya
harus dipertimbangkan.
Diuretik dibagi menjadi 5 golongan, yaitu:
1. Diuretik osmotik
Golongan obatnya: manitol untuk sediaan intravena digunakan
larutan 5- 25% dengan volume antara 50 sampai 100ml (otsu
manitol), isosorbid dinitrat diberikan secara oral sebelum tindakan
optamologi dengan tujuan menurunkan tekanan intraokuler dosis
berkisar antara 1-3 g/kgBB, 2 - 4 kali sehari.
2. Penghambat karbonik anhidrase
Asetazolamid dosis antara 250 – 500mg per kali.
Diklofenamid dosis 250 mg sehari.
3. Benzotiadiazid
Tiazid
klorotiazid
4. Diuretik hemat kalium
Nama generik Dosis (mg/hari) Contoh obat paten
Klorotiazid 500-2000
Hidroklortiazid 25-100 Irtan Plus, Tenazide
Hidroflumetiazid 25-200
Bendroflumetiazid 5-20
Politiazid 1-4
Metiklotiazid 2,5 -10
Klortalidon 25-100
Kuinetazon 50-200
Indapamid 2,5 – 5
5. Diuretik kuat
- Asam etakrinat. Dosis 50-200 mg per hari, sediaan iv berupa
Natrium etakrinat, dosisnya 50 mg, atau 0,5-1 mg/kgBB.
- Furosemid. Umumnya pasien membutuhkan kurang darim600
mg/hari. Dosis anak 2 mg/kgBB, bila perlu dapat ditingkatkan
menjadi 6 mg/kgBB.
- Bumetanid. Dosis dewasa 0,5-2 mg sehari. Dosis maksimal perhari
10 mg. Tersedia dalam bentuk bubuk injeksi dengan dosis iv atau IM
dosis awal antar 0,5-1 mg; dosis diulang 2-3 jam maksimum 10
mg/hari.
6. Xantin
Diantara kelompok xantin, teofilin memperlihatkan efek diuresis
yang paling kuat.
4. Digoksin
Pada pasien dengan gagal jantung takiaritmia supraventrikuler,
pemberian digoksin dapat dipertimbangkan pada tahap awal terapi untuk
membantu mengontrol laju respon ventrikel.
Pada pasien dengan ritme sinus yang normal, pemberian digoksin
tidak meningkatkan survival. Namun efek inotropik positif kemampuan
mereduksi gejala, serta memperbaiki kualitas hidup yang dimilikinya
dapat digunakan untuk pasien dengan tingkat keparahan gagal jantung
antara rendah hingga parah. Oleh karena itu pemberian digoksin harus
dibarengi dengan pemberian obat standar dalam terapi gagal jantung.
Hasil maksimal dari penggunaan digoksin dicapai pada pemakaian
pada konsentrasi plasma rendah. Umumnya konsentrasi plasma dari
digoksin yang ditargetkan adalah sekitar 0,5-1ng/ml. Contoh nama obat
paten yang beredar fargoxin, Goxinal, Lanoxin.
S 1 dd 1 malam
S 1dd 1
S 1-0-1
S 1 dd 1
S 0-0-1
B. Keabsahan dan Kelengkapan Resep
Evaluasi Uraian Keterangan
Keabsahan Resep
a. Nama Dokter
b. No. SIP Dokter
c. Tanda Tangan Dokter
Kelengkapan Resep
a. Inscriptio
Nama Tempat
Tanggal, Bulan, dan
Tahun Penulisan Resep
No. telp
b. Superscription
- Tanda resep
c. Prescription
Nama Obat
Jumlah Obat
d. Signatura
Aturan Pakai
Nama Pasien
Umur Pasien
e. Subscriptio
Tanda Tangan Dokter
C. DATA OBAT
1. Glucophage (MIMS Indonesia petunjuk konsultasi edisi 9 2009/2010 hal.
287)
Komposisi : Metformin HCl
Indikasi : Pengobatan awal untuk NIDDM dengan BB lebih
atau normal dan diet gagal. Terapi tunggal pada
kegagalan sulfonylurea primer dan sekunder. Terapi
kombinasi dengan sulfonylurea. Terapi tambahan
pada IDDM untuk menurunkan dosis insulin yang
dibutuhkan.
Aturan Pakai : Tab 500 mg : 1 tab 3 x sehari
Tab 850 mg : 1 tab 2 x sehari
Kontra Indikasi : DM dengan koma, ketoasidosis, kerusakan fungsi
ginjal serius, penyakit hati kronik, gagal jantung,
infark miokard, alkoholisme, penyakit kronik dan
akut yang berhubungan dengan hipoksia jaringan,
riwayat yang berhubungan dengan asidosis laktat,
syok, hipersensitifitas.
Perhatian : Fungsi ginjal yang kurang sempurna. Monitor
fungsiginjal secara teratur. Hamil dan menyusui
hentikan terapi 2-3 hari sebelum operasi. Kondisi
yang dapat menyebabkan dehidrasi, penderita dengan
infeksi serius atsu trauma.
Efek Samping : Gangguan GI, asidosis laktat.
Interaksi Obat : Sulfonilurea, insulin menyebabkan hipoglikemiakan.
Alcohol meningkatkan resiko asidosis laktat. Absopsi
vitamin B 12 terganggu. Perlu penyesuaian dosis
antikoagulan, simetidin menurunkan bersihan ginjal.
Harga :
D. PERHITUNGAN DOSIS
a. Glucophage 500 mg
Metformin HCL 500 mg
Dosis Lazim (DL) : 3 dd 1 500 mg
2 dd 1 850 mg
DL 1x = 500 mg.
DL 1 hari = 3 x 500 mg
= 1500 mg
Dosis dalam resep:
DR/ 1x = 500 mg (DR/ = DL)
DR/ 1 hari = 3 x 500 mg
= 1500 mg (DR/ = DL)
b. Concor 2,5 mg
Bisoprolol fumarate
Dosis Lazim (DL) =
DL 1x =
DL 1 hari =
Dosis dalam resep:
DR/ 1x = (DR/ DL)
DR/ 1 hari = x
= (DR/ DL)
c. Norvask
Amlodipine besylate
Dosis Lazim (DL) :
DL 1x =
DL 1 hari = x
=
Dosis dalam resep:
DR/ 1x = mg (DR/ DL)
DR/ 1 hari = x
= mg (DR/ DL)
d. Simarc-2
Warfarin Na 2 mg
Dosis Lazim (D) :
DL 1x =
DL 1 hari = x
=
Dosis dalam resep:
DR/ 1x = (DR/ DL)
DR/ 1 hari = x mg
= mg (DR/ DL)
e. Micardis 40 mg
Telmisatran 40 mg
Dosis Lazim (DL) :
DL 1x =
DL 1 hari = x
=
Dosis dalam resep:
DR/ 1x = (DR/ DL)
DR/ 1 hari= x mg
= mg (DR/ DL)
F. PERHITUNGAN HARGA
Harga obat yang ada di apotek Kimia Farma 291 Galaxy merupakan HJA
apotek Kimia Farma 291 Galaxy
HJA (per
Obat Jumlah Harga yang harus dibayar
satuan)
Glucophage 30 tablet Rp. Rp x 30 = Rp
Concor 30 tablet Rp. Rp. x 15 = Rp.
Norvask 30 tablet Rp. Rp x 30 = Rp
Simarc-2 30 tablet Rp. Rp x 30 = Rp
Micardis 40 mg 30 tablet Rp. Rp. x 30 = Rp.
Total Rp.
G. KERASIONALAN RESEP
a. Tepat Indikasi
- Glucophage :
- Concor :
- Norvask :
- Simarc-2 :
- Micardis 40 mg :
Kesimpulan :
b. Tepat Dosis
- Glucophage :
kesimpulan :
- Concor :
kesimpulan :
- Norvask :
kesimpulan :
- Simarc-2 :
kesimpulan :
- Micardis 40 mg :
kesimpulan :
c. Tepat Harga
d. Interaksi Obat
Kesimpulan :
H. CARA PENGERJAAN
a. Terima resep dan analisis resep (periksa keabsahan dan kelengkapan resep).
b. Cek persediaan obat.
c. Hitung harga.
d. Informasikan harga kepada pasien.
e. Pasien membayar.
f. Pasien diberi no. resep, no. yang sama tempel pada resep.
g. Siapkan obat
1. Resep 1
a. Siapkan bahan
b. Diambil 30 tablet glucophage 500 mg
c. Tulis etiket pada plastik klip
d. Dimasukkan kedalam plastik klip
2. Resep 2
a. Siapkan bahan
b. Diambil 15 tablet Concor
c. Tulis etiket pada plastik klip
d. Dimasukkan kedalam plastik klip
3. Resep 3
a. Siapkan bahan
b. Diambil 30 tablet Norvask
c. Tulis etiket pada plastik klip
d. Dimasukkan kedalam plastik klip
4. Resep 4
a. Siapkan bahan
b. Diambil 30 tablet Simarc-2
c. Tulis etiket pada plastik klip
d. Dimasukkan kedalam plastik klip
5. Resep 5
a. Siapkan bahan
b. Diambil 30 tablet Micardis 40 mg
c. Tulis etiket pada plastik klip
d. Dimasukkan kedalam plastik klip
h. Lakukan pengecekan ulang.
i. Serahkan obat pada pasien.
Minta no. resep; cocokkan dengan no. yang ditempel pada resep,
nama pasien, dan nama dokter.
Beri informasi yang diperlukan.
Bisa disertai salinan resep dan kuitansi bila pasien meminta.
IX. ETIKET