Anda di halaman 1dari 16

Kelainan Tumbuh Kembang Pada Dentocraniomaxillofacial

A. Definisi
Anomali kraniofasial adalah suatu penyimpangan morfologi dari
keadaan normal pada kompleks kraniofasial akibat gangguan tumnuh
kembang, pada umumnya merupakan kelainan kongenital berupa cacat
bawaan yang sudah tampak sejak lahir
B. Jenis
1. Malformasi
Malformasi adalah suatu proses kelainan yang disebabkan oleh
kegagalan atau ketidaksempurnaan dari satu atau lebih proses
embriogenesis. Perkembangan awal dari suatu jaringan atau organ
tersebutberhenti,melambat atau menyimpang sehingga
menyebabkanterjadinya suatu kelainan struktur yang menetap.
Kelainan ini mungkin terbatas hanya pada satu daerah anatomi,
mengenai seluruh organ, atau mengenai berbagai sistem tubuh yang
berbeda.
Malformasi adalah gangguan atau defek struktur utama dari
organ atau bagian organ yang diakibatkan oleh abnormalitas selama
perkembangan. Adanya malformasi menunjukkan bahwa pada masa
awal embrio terdapat suatu jaringan atau organ tertentu yang berhenti
atau salah arah (misdirection) dalam perkembangannya. Kebanyakan
malformasi pada satu organ diturunkan secara multifaktorial. Hal
tersebut menggambarkan interaksi beberapa gen dengan faktor-faktor
lingkungan. Contoh: VSD, ASD, sumbing bibir/palatum, NTD
(anencephaly; myelo-meningocele)
2. Disrupsi
Defek struktur juga dapat disebabkan oleh destruksi pada
jaringan yang semula berkembang normal. Berbeda dengan deformasi
yang hanya disebabkan oleh tekanan mekanik, disrupsi dapat
disebabkan oleh iskemia, perdarahan atau perlekatan. Kelainan akibat
disrupsi biasanya mengenai beberapa jaringan yang berbeda. Perlu

1
ditekankan bahwa bahwa baik deformasi maupun disrupsi biasanya
mengenai struktur yang semula berkembang normal dan tidak
menyebabkan kelainan intrinsik pada jaringan yang terkenaIstilah
disrupsi (disruption) mengacu pada struktur abnormal pada organ atau
jaringan sebagai akibat dari faktor eksternal yang mengganggu proses
perkembangan normal. Proses ini dikenal sebagai malformasi sekunder
atau malformasi ekstrinsik. Faktorfaktor ekstrinsik yang dapat
mengganggu proses perkembangan normal diantaranya adalah
ischemia, infeksi, dan trauma.
Berdasarkan definisinya, disrupsi tidak disebabkan oleh faktor
genetik. Tetapi kadang-kadang faktor genetik dapat menjadi
predisposisi terjadinya disrupsi. Misalnya beberapa kasus amniotic
band dapat disebabkan oleh faktor genetik yang menyebabkan
kerusakan kolagen sehingga melemahkan amnion dan menjadikan
amnion lebih mudah robek dan ruptur secara spontan. Contoh:
amniotic band.
3. Deformasi
Deformasi terbentuk akibat adanya tekanan mekanik yang
abnormal sehingga mengubah bentuk, ukuran atau posisi sebagian dari
tubuh yang semula berkembang normal, misalnya kaki bengkok atau
mikrognatia(mandibula yang kecil). Tekanan ini dapat disebabkan oleh
keterbatasan ruang dalam uterus ataupun faktor ibu seperti
primigravida, panggul sempit, abnormalitas uterus seperti uterus
bikornus, kehamilan kembar.
Deformasi adalah kerusakan yang disebabkan kekuatan
mekanik abnormal yang menyebabkan penyimpangan struktur normal.
Contoh: dislokasi panggul dan talipes ringan (club foot). Kedua kasus
tersebut dapat disebabkan oleh oligohidramnion atau ruang intrauterina
yang sempit karena bayi kembar atau struktur uterus yang abnormal.
Deformasi seringkali terjadi pada kehamilan lanjut dan memiliki
prognosis yang baik apabila diberikan treatment yang sesuai

2
C. Akromegali
1. Definisi
Akromegali merupakan penyakit kronis yang ditandai oleh pertumbuhan
tulangekstremitas, muka, rahang, dan jaringan lunak secara berlebihan
sesudah terjadi penutupanlempeng epifisis (Sudiono. 2007)
Akromegali merupakan gangguan pertumbuhan somatik dan proporsi
yang pertama kali dideskripsikan oleh Marie pada tahun 1886.
Peningkatan kadar GH an IGF-1 merupakan petanda pada sindroma
ini. Ketika Marie menggambarkan sindroma ini pada pasiennya,
pertumbuhan hipofisis yang berlebih merupakan penyebab atau
refleksi dari Visceromegaly pada pasien-pasien ini. Pada tahun 1909,
Harvey Cushing melaporkan remisi gejala klinis dari akromegali
setelah dilakukan hipofisektomi parsial, yang mengindikasikan etiologi
penyakit dan penatalaksaan yang potensial.
Akromegali berasal dari istilah Yunani yaitu akron (ekstremitas)
dan megale (besar), yang didasarkan atas salah satu temuan klinis
akromegali, yaitu pembesaran tangan dan kaki. Sebagian besar (98%)
kasus akromegali disebabkan oleh tumor hipofisis. Gejala klinis yang
dijumpai pada pasien akromegali disebabkan oleh massa tumor dan
hipersekresi hormon pertumbuhan (growth hormone) yang terjadi
setelah lempeng peftrmbuhan tulang menutup.
2. Etiologi
Akromegali disebabkan oleh sekresi GHRH yang berlebih
dengan akibat hyperplasia somatotrof. Pelepasan hormon pertumbuhan
berlebihan hampir selalu disebabkan oleh tumor hipofisa jinak
(adenoma). Sebagian besar (98%) kasus akromegali disebabkan oleh
tumor hipofisis. Gejala klinis yang dijumpai pada pasien akromegali
disebabkan oleh massa tumor dan hipersekresi hormon pertumbuhan
(growth hormone) yang terjadi setelah lempeng pertumbuhan tulang
menutup. (U.S. Department of Health and Human Services, 2008)
Dalam Akromegali, hipofisis terus melepaskan GH dan mengabaikan
sinyal-sinyal dari hipotalamus. Dalam hati, hormone pertumbuhan

3
menyebabkan produksi hormon yang disebut insulin-seperti
pertumbuhan faktor 1 (IGF-1), yang bertanggung jawab untuk
pertumbuhan seluruh tubuh. Ketika hipofisis menolak untuk
menghentikan memproduksi GH, tingkat IGF-1 juga mencapai
abnormal puncak. Tulang, jaringan lunak, dan organ di seluruh tubuh
mulai untuk memperbesar, dan tubuh perubahan kemampuannya untuk
proses dan nutrisi digunakan seperti gula dan lemak. Acromegali
selain disebabkan oleh tumor hipofisis bisa juga disebabkan oleh
tumor pankreas, paru-paru, dan bagian lain dari otak. Tumor ini juga
mengakibatkan kelebihan GH, baik karena mereka menghasilkan GH
diri sendiri atau, lebih sering, karena mereka menghasilkan GHRH,
hormon yang merangsang pituitari untuk membuat GH. (U.S.
Department of Health and Human Services, 2008)
3. Epidemiologi
Angka prevalensi akromegali diperkirakan mencapai 70 kasus
dari satu juta penduduk, sementara angka kejadian akromegali
diperkirakan mencapai 3-4 kasus setiap tahunnya dari satu juta
penduduk. Frekuensi akromegali sama pada laki-laki dan perempuan.
Usia rerata pasien yang terdiagnosis akromegali adalah 40-45 tahun.
4. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis akromegali yang muncul perlahan selama
bertahun-tahun menyebabkan terdapatnya rentang waktu yang lama
antara diagnosis dengan waktu timbulnya gejala nntuk pertama kali,
yaitu berkisar antara 5-32 tahun. Pada hampir 70% kasus saat
diagnosis akromegali ditegakkan, ukuran tumor telah mencapai >10
mm (makroadenoma). Penekanan terhadap kiasma optikum terjadi
pada 70-73% kasus. 2,3,5,6 Manifestasi klinis yang ditemukan
bervariasi dari sekedar pembesaran akral, pembengkakan jaringan
lunak, hingga terjadinya osteoartritis, diabetes mellitus, dan hipertensi.
Dari seri kasus empat pasien akromegali di Rumah Sakit Cipto
Mangunkusumo, didapatkan manifestasi klinis berupa sakit kepala,
pembesaran akral, serta perubahan maksilofasial. Keempat kasus

4
tersebut disebabkan oleh makroadenoma dengan ukuran diameter
terbesar antara 25-34 mm. Penyakit penyerta yang ditemukan adalah
hipertensi (tiga pasien), diabetes mellitus (dua pasien), serta stroke
(satu orang). Berbagai manifestasi klinis akromegali menurut
kepustakaan dapat dilihat pada gambar 3 dan tabel 2

5. Diagnosis
Diagnosis akromegali ditegakkan berdasarkan atas temuan
klinis, laboratorium, dan pencitraan. Secara klinis akan ditemukan
gejala dan tanda akromegali. Berdasarkan pemeriksaan laboratorium
ditemukan peningkatan kadar hormon pertumbuhan. Selain itu, dari
penilaian terhadap efek perifer hipersekresi hormon pertumbuhan

5
didapatkan peningkatan kadar insulin like growth factor-I (IGF-I).
Oleh karena sekresinya yang bervariasi sepanjang hari, pemeriksaan
hormon pertumbuhan dilakukan 2 jam setelah pembebanan glukosa 75
gram. Pemeriksaan magnetic resonance imaging (MRI) dengan kontras
diperlukan untuk mengonfirmasi sumber sekresi hormon pertumbuhan.
Pemeriksaan MRI dapat memperlihatkan tumor kecil yang berukuran 2
mm. Secara ringkas alur diagnosis pasien akromegali dapat dilihat
pada gambar 3
6. Perawatan
Pasien akromegali memiliki angka mortalitas dan morbiditas
dua hingga empat kali lebih tinggi dibandingkan populasi normal. Tata
laksana yang adekuat dapat menurunkan angka mortalitas tersebut.
Tujuan tata laksana pasien akromegali adalah mengendalikan
pertumbuhan massa tumor, menghambat sekresi hormon pertumbuhan,
dan normalisasi kadar IGF-I. Terdapat tiga modalitas terapi yang dapat
dilakukan pada kasus akromegali, yaitu pembedahan, medikamentosa
dan radioterapi. Masing-masing modalitas memiliki keuntungan dan
kelemahan, tetapi kombinasi berbagai modalitas yang ada diharapkan
dapat menghasilkan tata laksanayang optimal
a. Pembedahan
Tindakan pembedahan diharapkan dapat mengangkat
seluruh massa tumor sehingga kendali terhadap sekresi hormon
perturnbuhan dapat tercapai. Tindakan ini menjadi pilihan pada
pasien dengan keluhan yang timbul akibat kompresi tumor. Ukuran
tumor sebelum pembedahan mempengaruhi angka keberhasilan
terapi. Pada pasien dengan mikroadenoma (ukuran tumor <10
mm), angka normalisasi IGF-I mencapai 75-95%, sementara pada
makroadenoma angka normalisasi hormonal lebih rendah yaitu 40-
68%. Selain ukuran tumor, faktor lain yang menentukan
keberhasilan tindakan operasi adalah pengalaman dokter bedah dan
kadar hormon sebelum operasi. Teknik pembedahan yang kini
dikerjakan di Indonesia adalah transfenoid per endoskopi. Teknik

6
tersebut memiliki keunggulan dalam visualisasi lapangan operasi
serta angka kesakitan yang lebih rendah dibandingkan teknik per
mikroskopik. Tidak semua kasus akromegali dapat diatasi hanya
dengan pembedahan.Pada keadaan ini dapat dipilih terapi alternatif
pilihan yaitu pembedahan debulking dengan terapi medikamentosa
atau radioterapi pascapembedahan. Tata laksana medikamentosa
juga dapat menjadi pilihan pertama pada kasus tersebut.
b. Medikamentosa
Terapi medikamentosa pada akromegali terdiri atas tiga
golongan, yakni agonis dopamin, analog somatostatin, dan
antagonis reseptor hormon pertumbuhan.
1) Dopamin agonis (DA)
Dopamin agonis terdiri atas bromokriptin dan
cabergoline. Monoterapi dengan cabergoline memiliki efikasi
antara l0-35% dalam menormalisasi kadar IGF-I. Pada serial 64
pasien dengan akromegali yang ditatalaksana dengan
cabergoline selama 3 sampai 40 bulan dengan dosis 1,0-1,75
mg/minggu menurunkan kadar GH dan IGF-I pada 40%
pasien.7 Pasien yang menolak tindakan operasi dan pemberian
obat injeksi dapat menggunakan obat golongan ini, mengingat
dopamin agonis merupakan satu-satunya golongan obat dalam
tata laksana akromegali yang dapat dikonsumsi secara oral.
2) Analog somatostatin (SSA)
Analog somatostatin bekerja menyerupai hormon
somatostatin yaitu menghambat sekresi hormon pertumbuhan.
Obat golongan ini memiliki efektivitas sekitar 70% dalam
menormalisasi kadar IGF-I dan hormon pertumbuhan.
Efektivitasnya yang tinggi menjadikan obat golongan analog
somatostatin sebagai pilihan pertama dalam terapi
medikamentosa. Studi yang menilai efektivitas obat golongan
ini memperlihatkan bahwa normalisasi IGF-I tercapai pada
51% subjek setelah pernberian analog somatostatin kerja

7
panjang selama 36 bulan. Pada 32% subjek penelitian terjadi
reduksi IGF-1 sekitar lebih dari 50%. Selain menormalisasi
kadar IGF-I, terapi analog somatostatin juga dapat mengecilkan
ukuran tumor (80%), perbaikan fungsi jantung, tekanan darah,
serta profil lipid. Kendala utama yang dihadapi hingga saat ini
adalah mahalnya biaya yang harus dikeluarkan. Terdapat dua
preparat SSA kerja panjang yang efektif : intramuscular
ocreotide long acting release (LAR), dan deep sc lanreotide
depot/autogel yang diberikan setiap bulan. Lanreotide
depot/autogel dapat disuntikkan sendiri atau oleh orang lain.
Dosis awal ocreotide LAR yang disetujui adalah 20 mg/bulan
dengan titrasi dosis setiap 3-6 bulan turun hingga 10 mg atau
naik hingga 40 mg/bulan. Lanreotide autogel/depot dosis
awalnya yang disetujui 90 mg/bulan dosis dititrasi turun hingga
60 mg/bulan atau naik hingga 120 mg/bulan. Ocerotide sc yang
kerja cepat juga tersedia yang diberikan secara injeksi subkutan
beberapa kali dalam sehari
3) Antagonis reseptor hormon pertumbuhan (GH Receptor
Antagonist)
Antagonis reseptor hormon pertumbuhan merupakan
kelas baru dalam terapi medikamentosa akromegali.
Pegvisomant merupakan rekombinan analog hormon
pertumbuhan manusia yang bekerja sebagai selektif antagonis
reseptor GH. Obat golongan ini direkomendasikan pada kasus
akromegali yang tidak dapat dikontrol dengan terapi
pembedahan, pemberian agonis dopamin, maupun analog
somatostatin. Antagonis reseptor hormon pertumbuhan dapat
menormalisasi kadar IGF-I pada 90% pasien. Sebuah studi
yang menilai efektivitas serta keamanan terapi obat golongan
ini sebagai monoterapi atau kombinasi dengan analog
somatostatin memperlihatkan efektivitas masing-masing
sebesar 56% dan 62% dalam menormalisasi kadar IGF- I.

8
Pegvisomant diberi secara subkutan dengan dosis 10, 15, atau
20 mg/hari. Pada uji pivotal, normalisasi IGF-I bersifat dose
dependent dan dapat dicapai pada pasien yang mendapat dosis
hingga 40 mg/hari
4) Terapi Kombinasi Pada pasien yang memberi respon biokimia
parsial terhadap pemberian SSA, penambahan cabergoline atau
pegvisomant dapat dipertimbangkan.
a) Kombinasi SSA dan cabergoline Beberapa studi yang
dipublikasi mengindikasikan bahwa DA seperti cabergoline
bermanfaat sebagai tambahan terhadap SSAs pada pasien
yang resisten terhadap SSAs. Pada suatu studi dari 19
pasien dengan respon parsial terhadap SSA, penambahan
Cabergoline menghasilkan normalisasi kadar IGF-I pada 8
pasien (42%). Pada studi ini, adanya tumor
immunocytochemistry yang positif untuk prolaktin atau
hiperprolaktinemia tidak berhubungan dengan reduksi IGF-
I dan GH. Oleh karena itu, kombinasi cabergoline dengan
SSA efektif walaupun tidak dijumpai hiperprolaktinemia.
b) Kombinasi SSA dan Pegvisomant Kombinasi dua obat ini
tampaknya lebih efektif dalam menurunkan IGF-I
dibandingkan dengan SSA atau Pegvisomant saja.
Penambahan Pegvisomant setiap minggu pada dosis rata-
rata 60 mg/minggu selama 42 minggu terhadap pasien yang
resisten terhaap SSA menghasilkan normalisasi IGF-I pada
95% pasien. Tidak ada pembesaran tumor hipofisis, tetapi
peningkatan ringan enzim hati dijumpai pada 38%
c. Radioterapi
Radioterapi umumnya tidak digunakan sebagai terapi lini
pertama pada kasus akromegali karena lamanya rentang waktu
tercapainya terapi efektif sejak pertama kali dimulai. Radioterapi
konvensional dengan dosis terbagi memerlukan waktu 10-20 tahun
untuk mencapai terapi yang efektif, sementara beberapa teknik

9
radioterapi yang baru, yaitu gamma knife, proton beam, linac
stereotactic radiotherapy dapat memberikan remisi yang lebih
cepat. Studi yang menilai efektivitas stereotactic radiotherapy
terhadap para pasien yang tidak berhasil dengan radioterapi
konvensional memperlihatkan penurunan kadar IGF-I sebesar 38%
dua tahun pascaterapi. Saat ini di Indonesia modalitas stereotactic
radiotherapy telah digunakan pada kasus akromegali.

D. Gigantisme
1. Definisi
Gigantisme adalah pertumbuhan abnormal, terutama dalam
tinggi badan (melebihi 2,14 m), akibat kelebihan growth hormone pada
anak sebelum fusi epififis. (Brooker, 2009). Gigantisme hipofisis
seringkali terjadi sebagai akibat dari sekresi GH berlebihan sebagai
akibat tumor hipofisis dengan onset terjadinya pada anak-anak
sebelum epifisis menutup. Gigantisme biasanya menyerang pada anak-
anak umur 6-15 tahun.
Gigantisme merupakan peningkatan hormon protein dalam
banyak jaringan, meningkatkan penguraian asam lemak dan jaringan
adipose dan kadar glukosa darah. Gigantisme terjadi pada periode
anak-anak ketika skeleton masih berpotensi untuk tumbuh, atau pada
pra pubertas. Gigantisme disebabkan oleh sekresi GH yang berlebihan.
Keadaan ini dapat diakibatkan tumor hipofisis yang menyekresi GH
atau karena kelainan hipotalamus yang mengarah pada pelepasan GH
secara berlebihan.
Gigantisme dapat terjadi bila keadaan kelebihan hormone
pertumbuhan terjadi sebelum lempeng epifisis tulang menutup atau
masih dalam masa pertumbuhan. Penyebab kelebihan produksi
hormone pertumbuhan terutama adalah tumor pada sel-sel somatrotop
yang menghasilkan hormone pertumbuhan. Penyebab gigantisme yang
paling sering adalah adenoma kelenjar pituitary, tetapi gigantisme
telah di amati pada anak laki-laki berusia 2,5 tahun dengan tumor

10
hipotalamus yang mugkin mensekresi GHRH, terutama pada pancreas
yg telah mensekresi dengan sejumlah besar GHRH (Arvin, 2000).
2. Etiologi
Gigantisme disebabkan oleh sekresi GH yang berlebihan.
Keadaan ini dapat diakibatkan tumor hipofisis yang menyekresi GH
atau karena kelainan hipotalamus yang mengarah pada pelepasan GH
secara berlebihan. Gigantisme dapat terjadi bila keadaan kelebihan
hormone pertumbuhan terjadi sebelum lempeng epifisis tulang
menutup atau masih dalam masa pertumbuhan. Penyebab kelebihan
produksi hormone pertumbuhan terutama adalah tumor pada sel-sel
somatrotop yang menghasilkan hormone pertumbuhan. Adenoma
hipofisis merupakan penyebab yang paling sering.
Tumor pada umumnya dijumpai di sayap lateral sella tursica,
tetapi gigantisme telah diamati pada anak laki-laki berusia 2,5 tahun
dengan tumor hipotalamus yang mungkin mensekresi GHRH.
Gigantisme terbanyak disebabkan oleh adenoma hipofisis yang
mensekresi GH. Insiden hipersekresi GH dibagi menjadi 2 kategori
yaitu primer pada hipofisis dan peningkatan Growth hormone-
Realasing Hormon (GHRH) atau disregulasi. Kebanyakan insiden
gigantisme karena adenoma hipofisis yang mensekresi GH atau karena
hyperplasia. Gigantisme tampak juga pada keadaan lain seperti:
multiple endokrin neoplasma (MEN) tipe satu, MC Cune-albright
syndrome (MAS), Neurofibromatosis, sklerosis tuberrosistas atau
kompleks carney. (Eugster & Pescuvitz, 1998)
3. Epidemiologi
Frekuensi gigantisme di Amerika Serikat sangat jarang,
diperkirakan ada 100 kasus yang dilaporkan hingga saat ini. Tidak ada
predileksi ras pada gigantisme. Insiden kejadian gigantisme tidak jelas.
(Eugster & Pescovitz, 2002). Gigantisme biasa terjadi di Negara barat
karena di Negara barat gigantisme bisa terdiagnosis secara dini,
sedangkan di Afrika, amerika selatan dan asia jarang terdiagnosis
secara dini. (Herder, 2008). Hubungan antara gigantisme dan GH telah

11
diketahui pertama kali sejak tahun 1886 oleh seorang neurolist
perancis, Pierre Marie yang mengatakan sebagai penyakit kronis
endokrin. (Eugster & Pescuvitz, 1998)
4. Manifestasi Klinis
Manifestasi Klinis Beberapa penderita memiliki masalah
penglihatan dan perilaku. Pada kebanyakkan kasus yang terekam
Pertumbuhan abnormal menjadi nyata pada masa pubertas, tetapi
keadaan ini telah ditegakkan seawal masa bayi baru lahir pada seorang
anak dan pada usia 1 bulan. Pada gigantisme, jaringan lunak seperti
otot dan lainnya tetap tumbuh. Gigantisme dapat disertai gangguan
penglihatan bila tumor membesar hingga menekan khiasma optikum
yang merupakan jalur saraf mata. Berikut ini adalah gejala gigantisme
yang disebabkan oleh kelebihan sekresi GH: 1. Tanda-tanda intoleransi
glukosa. 2. Hidung lebar, lidah membesar dan wajah kasar 3.
Mandibula tumbuh berlebihan 4. Gigi menjadi terpisah-pisah 5. Jari
dan ibu jari tumbuh menebal 6. Kelelehan dan kelemahan 7.
Kehilangan penglihatan pada pemeriksaan lapang pandang secara
seksama karena khiasma optikum saraf mata tertekan.
5. Diagnosis
Pemeriksaan Diagnostik Diagnosis gigantisme ditegakkan
berdasarkan atas temuan klinis, laboratorium, dan pencitraan. Secara
klinis akan ditemukan gejala dan tanda gigantisme . Berdasarkan
pemeriksaan laboratorium ditemukan peningkatan kadar hormon
pertumbuhan. Selain itu, dari penilaian terhadap efek perifer
hipersekresi hormon perfumbuhan didapatkan peningkatan kadar
insulin like growth factor-I (IGF-I). Oleh karena sekresinya yang
bervariasi sepanjang hari, pemeriksaan hormon pertumbuhan
dilaknkan 2 jam setelah pembebanan glukonTi gram. Pemeriksaan
magnetic resonance imaging (MRI) dengan kontras diperlukan untuk
mengonfirmasi sumber sekresi hormon pertumbuhan. Pemeriksaan
MRI dapat memperlihatkan tumor kecil yang berukuran 2 mm.
a. Pemeriksaan fisik Tinggi tubuh abnormal

12
b. CT Scan dan MRI kelenjar hipofisis
Setelah gigantisme telah didiagnosis dengan mengukur kadar
GH atau IGF-I, Magnetic Resonance Imaging (MRI) scan dari
hipofisis digunakan untuk mencari dan mendeteksi ukuran tumor yang
menyebabkan kelebihan produksi GH. MRI adalah teknik pencitraan
yang paling sensitif, namun computerized tomography (CT) scan dapat
digunakan jika pasien tidak dapat menjalani MRI. Misalnya, pada
pasien yang memakai alat pacu jantung atau jenis implan yang
mengandung logam tidak harus memiliki scan MRI karena mesin MRI
mengandung magnet kuat.
a. Pemeriksaan kadar GHJika pasien diduga gigantisme, kadar GH
pasien harus diperiksa untuk menentukan apakah terjadi
perubahan. Namun, pengukuran tunggal dari tingkat darah GH
tidak cukup untuk mendiagnosis gigantisme: Karena GH
disekresikan oleh pituitari dalam impuls, atau dalam jumlah
banyak, sehingga konsentrasi GH dalam darah dapat berubah-ubah
dari menit ke menit. Pada saat tertentu, seseorang dengan
gigantisme mungkin memiliki kadar GH normal, sedangkan kadar
GH pada orang yang sehat bahkan mungkin lima kali lebih tinggi.
b. Pemeriksaan kadar IGF-1Dokter juga dapat mengukur kadar IGF-I
yang meningkat sebagai akibat kenaikan kadar GH pada orang
dengan gigantisme. Karena kadar IGF-I jauh lebih stabil daripada
kadar GH, IGF-1 lebih sering digunakan untuk memastikan
diagnosis pada gigantisme. Peningkatan kadar IGF-I hampir selalu
menunjukkan gigantisme
6. Perawatan
a. Operasi
Operasi adalah pilihan utama yang dianjurkan pada
kebanyakan pasien gigantisme, karena termasuk dalam pengobatan
yang cepat dan efektif. Operasi dilakukan dengan melakukan insisi
melalui hidung atau melalui bibir bagian atas. dengan alat khusus
dokter bedah menghilangkan jaringan tumor. Operasi ini biasanya

13
disebut operasi transsphenoidal. Prosedur ini mengurangi tekanan
pada daerah otak sekitarnya dan dengan cepat menurunkan kadar
GH. Jika operasi ini berhasil penampilan wajah dan pembengkakan
jaringan akan kembali membaik pada beberapa hari. Pembedahan
berhasil baik pada kebanyakan pasien dengan kadar GH dalam
darah dibawah 45 ng/mg sebelum operasi dan jika diameter tumor
hipofisis belum mencapai 10mm. Komplikasi yang mungkin
terjadi saat pembedahan adalah kerusakan jaringan di sekitar
hipofisis yang normal sehingga pasien memerlukan menggunaan
hormon hipofisis dalam waktu yang lama. Bagian dari hipofisis
menyimpan antidiuretik hormon yang penting dalam balance
cairan yang mungkin secara sementara maupun permanen
membahayakan kesehatan pasien sehingga pasien membutuhkan
terapi medis. Komplikasi yang lain yaitu meningitis.
b. Terapi Medikasi
Terapi medis sering digunakan jika pembedahan tidak
berhasil dengan baik Tiga kelompok obat yang digunakan untuk
pengobatan akromegali gigantisme:
1) Somatostatin analogs (SSAs) berefek pada penurunan
produksi GH dan efektif menurunkan kadar GH dan IGF-I
pada 50-70% pasien. SSAs juga mengurangi ukuran tumor
sekitar 0-50% pasien tp hanya pada tingkat yang kecil.
Beberapa penelitian menunjukkan SSAs aman dan efektif
digunakan dalam jangka panjang dalam pengobatan pasien
dengan akromegali gigantisme yang tidak disebabkan tumor
hipofisis
2) GH reseptor antagonist (GHRAs) Kelompok obat yang kedua
adalah antagonis reseptor GH (GHRAs), yang mengganggu
kerja GH dan menormalkan kadar IGF-I di lebih dari 90
persen pasien. Diinjeksikan sehari sekali, GHRAs biasanya
ditoleransi dengan baik oleh pasien. Efek jangka panjang

14
pada pertumbuhan tumor masih diteliti. Efek sampingny
antara lain sakit kepala, fatig dan gangguan fungsi hati.
c. Radioterapi
Terapi radiasi biasanya diperuntukkan bagi pasien yang
mempunyai sisa-sisa tumor paska pembedahan. Karena radiasi
menyebabkan hanya sedikit penurunan kadar GH dan IGF-I pasien
yang menjalani terapi radiasi juga menerima medikasi untuk
menurunkan kadar hormon. Tujuan dari penatalaksanaan
gigantisme ini adalah:
1) Mengurangi tekanan karena pertambahan masa tumor hipofisis
yang dapat menekan area otak di sekitar tumor.
2) Mengembalikan funsi normal hipofisis dan menangani
terjadinya kekurangan hormon.
3) Menangani gejala gigantisme
4) Mengurangi peroduksi hormon berlebih menjadi normal

15
Daftar Pustaka

Hayati, Retno. 2000. Anomali Kraniofasial Akibat Gangguan Tumbuh Kembang.


FKG UI. 7:195-201

Dewi, Safrina. Dkk. 2013. Modul Pembelajaran Kelainan Kongenital. Fakultas


Kedokteran universitas Brawijaya. Malang.

Roeslan, Budi Oetomo, 2002, Imunologi Oral, Kelainan di dalam rongga mulut,
Balai Penerbit FKGUI, Jakarta.

Narendra,Moersintowarti, ddk. 2002. Buku Ajar Tumbuh Kembang Anak dan


Remaja
Edisi I. Jakarta:

Ikatan Dokter Anak Indonesia Sagung Seto dalam Neonatologi IDAI (2008)

Muslihan, Nur Wafi. 2010. Asuhan Neonatus Bayi dan Balita. Yogyakarta:
Fitramaya

Syafril, Santi. Dkk. 2014. Akromegali dan Gigantisme. Departemen Ilmu


penyakit Dalam. Universitas Sumatera Utara. Medan.

Guyton,. Hall. 2010. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran edisi 11. Jakarta : EGC

Behrman, Richard. 2008. Ilmu Kesehatan Anak edisi 15 Vol.3. Jakarta : EGC

Robbins, dkk. 2009. Buku Ajar Patologiedisi 7 vol.2. Jakarta : EGC

16

Anda mungkin juga menyukai