Anda di halaman 1dari 26

LAPORAN KASUS

TINEA KRURIS

Disusun oleh :
Tannia Pradnya Paramitha
030.12.267

Pembimbing :
dr. Nadiah, Sp.KK, M.Kes

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN


RUMAH SAKIT UMUM KARDINAH TEGAL
PERIODE 1 OKTOBER – 2 NOVEMBER 2018
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
JAKARTA

1
LEMBAR PENGESAHAN

Laporan kasus dengan judul


“TINEA KRURIS”

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat menyelesaikan Kepanitraan Klinik Ilmu Penyakit
Kulit dan Kelamin di RSU Kardinah Tegal 1 Oktober – 2 November 2018

Disusun oleh:
Tannia Pradnya Paramitha
030.12.267

Telah diterima dan disetujui oleh dr. Nadiah, Sp.KK, M.Kes selaku dokter pembimbing
Departemen Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin RSU Kardinah Tegal

Tegal, Oktober 2018


Mengetahui,

dr. Nadiah, Sp.KK, M.Kes


2
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Allah SWT, karena berkat rahmat dan hidayah-Nya saya dapat
menyelesaikan makalah ini.
Laporan Kasus ini disusun dalam rangka memenuhi tugas kepaniteraan klinik bagian
Penyakit Kulit dan Kelamin Studi Pendidikan Dokter Universitas Trisakti di RSU Kardinah
Tegal.
Saya mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam
penyelesaian makalah ini, terutama :
1. dr. Nadiah, Sp.KK, M.Kes selaku pembimbing dalam penyusunan makalah.
2. Teman-teman yang turut membantu penyelesaian makalah ini.
3. Serta pihak-pihak lain yang bersedia meluangkan waktunya untuk membantu saya.
Saya menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangan. Saya mengharapkan kritik
dan saran yang dapat membangun dan bertujuan untuk ikut memperbaiki makalah ini agar dapat
bermanfaat untuk pembaca dan masyarakat luas.

Tegal, Oktober 2018

Penyusun

3
DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN JUDUL ............................................................................................... 1
HALAMAN PENGESAHAN CASE ..................................................................... 2
KATA PENGANTAR ............................................................................................ 3
DAFTAR ISI ........................................................................................................... 4
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................... 5
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 6
BAB II LAPORAN KASUS .................................................................................. 8
BAB III PEMBAHASAN .................................................................................... 15
BAB IV TINJAUAN PUSTAKA .........................................................................16
4.1 Definisi Tinea kruris ..........................................................................16
4.2 Epidemiologi ...................................................................................... 16
4.3 Etiologi............................................................................................... 16
4.4 Patogenesis......................................................................................... 16
4.5 Gejala klinis ....................................................................................... 17
4.6 Penegakkan diagnosis ........................................................................18
4.7 Diagnosis banding..............................................................................22
4.8 Penatalaksanaan ................................................................................. 22
4.9Prognosis ............................................................................................. 25
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ 26

4
DAFTAR GAMBAR
“Laporan Kasus”

Halaman
Gambar 1 Regio gluteus dextra dan sinistra .........................................................11
Gambar 2. Regio pubis dextra dan sinistra ............................................................12

5
BAB I
PENDAHULUAN

Mikosis merupakan penyakit yang disebabkan oleh jamur, yang dibagi menjadi
mikosis profunda dan mikosis superfisialis. Insidens mikosis superfisialis cukup tinggi di
Indonesia karena menyerang masyarakat luas. Mikosis superfisialis cukup banyak diderita
penduduk negara tropis. Indonesia merupakan salah satu negara beriklim tropis yang
memiliki suhu dan kelembaban tinggi yang merupakan suasana baik bagi pertumbuhan
jamur, sehingga jamur dapat ditemukan hampir di semua tempat. Mikosis superfisialis
diklasifikasikan menjadi dermatofitosis dan nondermatofitosis.(1,2)
Dermatofitosis atau yang dikenal dengan tinea, ringworm, kurap, herpes sirsinata,
teigne adalah penyakit pada jaringan yang mengandung zat tanduk, misalnya stratum
korneum pada epidermis, rambut dan kuku, yang disebabkan oleh golongan jamur
dermatofita. Golongan jamur dermatofita mempunyai sifat mencernakan keratin dan
menggunakannya sebagai sumber nutrisi untuk membentuk kolonisasi, yang dibagi dalam 3
genus yaitu; Microsporum, Trichophyton dan Epidermphyton. (4,5)
Pembagian dermatofitosis yang banyak dianut adalah berdasarkan lokasi, yaitu tinea
kapitis (dermatofitosis pada kulit dan rambut kepala), tinea barbe (dermatofitosis pada dagu
dan jenggot), tinea kruris (dermatofitosis pada daerah genitokrural, sekitar anus, bokong,
kadang sampai perut bagian bawah), tenia pedis et manum (dermatofitosis pada kaki dan
tangan), tinea unguium (dermatofitosis pada kuku jari dan kaki), dan tinea korporis
(dermatofitosis pada bagian lain yang tidak termasuk bentuk dari 5 tinea yang telah
disebutkan).(1,2,5)
Tinea kruris atau juga dikenal eczema marginatum, dhobie itch, jockey itc, ringworm
of the groin, merupakan penyakit kulit yang disebabkan oleh jamur superfisial golongan
dermatofita yang menyerang daerah pada lipat paha, daerah perineum, dan sekitar anus. Lesi
kulit dapat terbatas pada daerah genito-krural saja, atau meluas ke daerah sekitar anus,
daerah gluteus dan perut bagian bawah, atau bagian tubuh yang lain.(1,6)

6
Tinea kruris dapat ditemui diseluruh dunia dan paling banyak terjadi di daerah tropis.
Angka kejadian lebih sering pada orang dewasa, terutama laki-laki dibandingkan
perempuan. Insiden meningkat pada kelembapan udara yang tinggi, karena dermatofita
tumbuh optimal pada suhu 15- 35°C pada kulit manusia yang hangat dan lembab, sehingga
umumnya dermatofitosis lebih banyak ditemukan didaerah tropis dan subtropis.(4,6,7)
Penyebab utama dari tinea kruris adalah Trichopyhton rubrum (90%) dan
Epidermophython fluccosum, Trichophyton mentagrophytes (4%), Trichophyton tonsurans
(6%).(5)
Variasi klinis tinea kruris dapat berupa lesi berbatas tegas, peradangan pada tepi lebih
nyata daripada daerah tengahnya. Efloresensi terdiri atas macam-macam bentuk yang primer
dan sekunder (polimorfi). Bila penyakit ini menjadi menahun, dapat berupa bercak hitam,
disertai sedikit sisik. Erosi dan keluarnya cairan biasanya akibat garukan.(1)
Diagnosa pasien, ditegakkan berdasarkan: anamnesa didapatkan rasa gatal hebat pada
daerah kruris (lipat paha), lipat perineum, bokong dan dapat ke genitalia, ruam kulit berbatas
tegas, eritematosa dan bersisik, semakin hebat jika banyak berkeringat dan pemeriksaan
laboratorium (kerokan kulit dengan KOH 20% untuk kulit bila sensitif memperlihatkan
elemen jamur berupa hifa, sebagai dua garis sejajar, terbagi oleh sekat dan bercabang,
maupun spora berderet (artrospora) pada kelainan kulit lama dan atau sudah diobati.
Penatalaksanaan secara umum perlu diberikan edukasi kepada pasien untuk meningkatkan
kebersihan badan dan menghindari pakaian yang tidak menyerap keringat, dan
penatalaksanaan secara khusus meliputi sistemik dan topikal. (1,4,6)

7
BAB II
LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny.D
Jenis Kelamin : Perempuan
Usia : 32 tahun
Pekerjaan : IRT
Status : Menikah
Agama : Islam

II. ANAMNESIS
Autoanamnesis dilakukan pada tanggal 8 Oktober 2018 pukul 10.00 WIB di Poliklinik
Kulit dan Kelamin RSUD Kardinah Tegal.

Keluhan Utama:
Rasa gatal pada daerah bokong dan selangkangan sejak ± 1 bulan SMRS.

Keluhan Tambahan :
Bercak kemerahan daerah bokong dan selangkangan.

Riwayat Penyakit Sekarang:


Sejak ± 1 bulan yang lalu, awalnya timbul bercak kemerahan yang terasa gatal pada
daerah bokong dan selangkangan, gatal semakin bertambah apabila saat cuaca panas dan
pasien berkeringat, tetapi tidak segera mengganti pakaiannya. Apabila terasa gatal, pasien
sering menggaruknya sehingga timbul seperti luka. Bercak tersebut hanya terdapat didaerah
bokong dan selangkangan.

8
Riwayat mandi dan ganti pakaian 2 kali sehari, handuk dipakai bersama dengan
suaminya dan gatal yang tidak berkurang, akhirnya pasien memutuskan untuk berobat ke
Poliklinik Kulit-Kelamin RSUD Kardinah Tegal pada tanggal 8 Oktober 2018.
Riwayat Penyakit Dahulu:
 Pasien tidak pernah mengalami keluhan yang serupa sebelumnya
 Riwayat Alergi (-)
 Riwayat Hipertensi (-)
 Riwayat Diabetes mellitus (-)

Riwayat Penyakit Keluarga:


 Keluarga pasien (suami) memiliki keluhan yang sama.
 Riwayat Alergi (-)
 Riwayat Hipertensi (-)
 Riwayat Diabetes mellitus (-)

Riwayat kebiasaan:
 Pasien tidak mempunyai kebiasaan merokok dan jarang berolahraga.

III. PEMERIKSAAN FISIK


 Keadaan Umum : Tampak Sakit Sedang
 Kesadaran : Compos Mentis
 Tensi : 120/80 mmHg
 Nadi : 87x/menit
 Pernafasan : 20x/menit
 Suhu : 36.5˚C

1. Status Generalis
Kepala : Normosefali, simetris, tidak ada deformitas, rambut hitam dan distribusi
merata.
Wajah : Wajah simetris, tidak ada oedem, luka, ataupun jaringan parut

9
Mata : Tidak tampak konjuntiva anemis dan sklera ikterik.
Telinga : Normotia, liang telinga lapang, tidak ada nyeri tekan
Hidung : Bentuk simetris, tidak ada nafas cuping dan deviasi septum
Bibir : Mukosa tidak tampak sianosis dan pucat
Mulut : Tidak tampak Trismus, oral hygiene baik, arcus palatum simetris dengan
mukosa palatum berwarna merah muda
Lidah : Normoglosia, mukosa berwarna merah muda, tidak hiperemis
Tenggorokan : Tonsil T1-T1, tidak hiperemis, arcus faring tidak hiperemis, uvula
terletak ditengah
Leher : Terdapat penebalan kulit disertai batas tegas dan kemerahan pada leher bagian
kanan.
Thoraks :
 Jantung
Inspeksi : iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : iktus kordis teraba pada ICS V linea midclavikularis sinistra
Perkusi :
 Batas atas jantung ICS III parasternalis sinistra
 Batas kanan jantung ICS III sampai V linea parastenalis dekstra
 Batas kiri jantung ICS V linea axilaris anterior sinistra
Auskultasi : BJ I & BJ II regular, tidak terdengar murmur dan gallop
 Paru-paru
Inspeksi : Bentuk thoraks simetris , gerak dinding dada simetris kanan dan
kiri, tidak tampak retraksi dinding dada.
Palpasi : Tidak ada nyeri tekan dan benjolan, gerak napas simetris kanan
dan kiri
Perkusi : Sonor dikedua lapang paru
Auskultasi : Suara napas vesikuler dikedua lapang paru, tidak didapatkan
rhonki dan wheezing di kedua lapang paru.

Abdomen :
Inspeksi : perut datar (-), smiling umbilicus (-)
Auskultasi : Bising usus 3x/menit
10
Perkusi : Timpani seluruh lapang perut
Palpasi : Supel, tidak terdapat nyeri tekan
Genitalia : Jenis kelamin perempuan dalam batas normal
Kelenjar getah bening :
Preaurikuler : tidak teraba membesar
Postaurikuler : tidak teraba membesar
Submandibula : tidak teraba membesar
Supraclavicula : tidak teraba membesar
Axilla : tidak teraba membesar
Inguinal : tidak teraba membesar

Ekstremitas atas dan bawah :


Inspeksi : Simetris, tidak terdapat kelainan pada bentuk tulang, tidak sianosis, tidak
edema pada ekstremitas bawah.
Palpasi : Akral hangat pada keempat ekstremitas
Kulit : Warna kecoklatan, tidak tampak ikterik, tidak sianosis, terdapat eritema dan
lesi kulit (status Dermatologis)
2. Status Dermatologis
Status Dermatologis
1. Regio Gluteal dextra dan sinista
Skuama

Tepi aktif
Tepi aktif

Gambar 1. Regio Gluteal dextra dan sinistra


Plak
eritematosa Eksoriasi

11
 Tampak plak eritematosa, ukuran plakat, tidak teratur, sirkumskrip dengan tepi
aktif dan disertai dengan skuama diatasnya dan terdapat eksoriasi.

2. Regio pubis dextra dan sinistra

Tepi aktif
Plak eritematosa

Skuama
Skuama

Gambar 2. Regio pubis dextra dan sinistra Plak eritematosa


 Tampak plak eritematosa, numular, tidak teratur, sirkumskrip dengan tepi aktif dan
disertai dengan skuama diatasnya.

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG


 Pemeriksaan penunjang tidak dilakukan.

V. RESUME
Ny D datang dengan keluhan rasa gatal pada daerah bokong dan selangkangan sejak
± 1 bulan SMRS. Sejak ± 1 bulan yang lalu, awalnya timbul bercak kemerahan yang
terasa gatal pada daerah bokong dan selangkangan, gatal semakin bertambah apabila saat
cuaca panas dan pasien berkeringat, tetapi tidak segera mengganti pakaiannya. Apabila
terasa gatal, pasien sering menggaruknya sehingga timbul seperti luka. Bercak tersebut
hanya terdapat didaerah bokong dan selangkangan. Sebelumnya pasien mengaku handuk

12
dipakai bersama dengan suaminya. Riwayat keluarga (suami) memiliki keluhan yang
sama.
Pemeriksaan fisik pada pasien ini meliputi pemeriksaan secara umum dan
pemeriksaan dermatologis. Pada pasien ini, secara umum tidak ada keluhan. Pada status
dermatologis, efloresensi tampak plak eritema, ukuran plakat, numular, regular,
sirkumskrip dengan tepi aktif dan disertai dengan skuama diatasnya. Eflrosensi ini
didapatkan pada regio gluteus dextra dan sinistra dan regio pubis dextra dan sinistra.
Pada pemeriksaan penunjang belum didapatkan hasil karna belum dilakukan
pemeriksaan sehingga disarankan untuk melakukan pemeriksaan lanjutan seperti
pemeriksaan lampu wood, pemeriksaan KOH 10-20% dan pemeriksaan biakan jamur.

VI. DIAGNOSIS BANDING


 Eritrasma
 Dermatitis seboroik
 Cutaneous candidiasis
 Psoriasis intertriginosa

VII. DIAGNOSIS KERJA


Tinea Kruris

VIII. PEMERIKSAAN ANJURAN


 Pemeriksaan lampu wood
 Pemeriksaan KOH 10-20%
 Pemeriksaan biakan jamur

IX. PENATALAKSANAAN
Non- Medikamentosa
 Edukasi
o menjelaskan kepada pasien tentang penyakit dan penatalaksanaannya.
o menganjurkan untuk menjaga daerah lesi tetap kering.

13
o menganjurkan untuk menjaga kebersihan badan.
o menghindari pakaian yang panas dan tidak menyerap keringat,
menggunakan pakaian yang menyerap keringat seperti katun, tidak ketat
dan diganti setiap hari.
o menghindari garukan apabila gatal, karena garukan dapat menyebabkan
infeksi.
Medikamentosa
- Sistemik:
 Griseofulvin tablet dosis 1 x 500 mg.
 Cetrizine tablet dosis 1 x 10 mg.
- Topikal
Krim Mikonazol Nitrat 2%, 2 kali sehari selama 2 minggu, dioleskan tipis – tipis
pada lesi.

X. PROGNOSIS
 Quo ad Vitam : ad bonam
 Quo ad fungtionam : ad bonam
 Quo ad sanationam : ad bonam

14
BAB III
PEMBAHASAN

Pada kasus ini ditegakkan diagnosa tinea kruris bedasarkan anamnesis, pemeriksaan
fisik dan pemeriksaan dermatologic. Dari anamnesis diketahui, Ny D perempuan (32
tahun) sejak ± 1 bulan yang lalu timbul bercak kemerahan , kemudian melebar yang disertai
rasa gatal pada bokong kanan dan kiri dan bagian kemaluan, rasa gatal bertambah apabila
berkeringat dan pasien sering menggaruknya. Dari keluhan yang disampaikan oleh pasien,
merupakan gejala klinis dari dermatofitosis yaitu gejala subjektif berupa rasa gatal terutama
jika berkeringat dan gejala objektif yaitu plak eritema, makula dengan tepi yang lebih aktif.
Oleh karena gatal dan digaruk, lesi akan meluas terutama pada daerah yang lembab.1,2,4,6,7
Pembagian dermatofitosis berdasarkan lokasi lesi yang timbul, pada pasien ini yaitu
dibokong dan bagian kemaluan digolongkan sebagai tinea kruris, karena tempat predileksi
tinea ini menyerang daerah lipat paha, genital, area pubis, perineum dan sekitar anus.1,2,6
Pasien mengatakan sering berkeringat banyak tetapi tidak segera mengganti
pakaiannya, merupakan salah satu faktor predisposisi karena penyakit ini tergantung pada
faktor lingkungan seperti iklim yang panas, kebersihan perseorangan, jamur lebih cepat
berkembang pada daerah yang lembab. 1,2,4,8
Pemeriksaan fisik pada pasien ini secara umum tidak ada keluhan. Pada status
dermatologis, efloresensi tampak plak eritema, ukuran plakat, numular, regular, sirkumskrip
dengan tepi aktif dan disertai dengan skuama diatasnya. Eflrosensi ini didapatkan pada regio
gluteus dextra dan sinistra dan regio pubis dextra sinistra. Hal ini sesuai dengan efloresensi
yang terdapat pada tinea kruris yaitu lesi dapat berbentuk makula/ plak eritema/, berbatas
tegas dengan tepi aktif atau peradangan pada tepi lebih nyata daripada daerah tengahnya dan
timbulnya kelainan pada kulit ini disebabkan oleh dermatofit melepaskan enzim keratolitik
yang berdifusi ke jaringan epidermis menimbulkan peradangan. Respon terhadap inflamasi
dapat berupa eritema, papulasi, dan kadang vesikulasi. Karena pertumbuhan jamur dengan
pola radial di dalam stratum korneum menyebabkan timbulnya lesi kulit dengan batas yang
jelas dan meninggi. 1,2,4,6,7,8

15
BAB IV
TINJAUAN PUSTAKA

4.1 Definisi
Tinea kruris adalah penyakit infeksi jamur dermatofita di daerah lipat paha, genitalia
dan sekitar anus yang dapat meluas ke bokong dan perut bagian bawah. Tinea kruris disebut
juga eczema marginatum, dhobie itch, ringworm of groin. Kelainan ini dapat bersifat akut
atau menahun, bahkan dapat merupakan penyakit yang berlangsung seumur hidup. Tinea
kruris merupakan salah satu bentuk klinis yang sering di lihat di Indonesia.(1)

4.2 Epidemiologi
Tinea kruris dapat ditemui di seluruh dunia dan paling banyak di daerah tropis.
Angka kejadian lebih sering pada orang dewasa, terutama pada laki-laki. Tidak ada
kematian yang berhubungan dengan tinea kruris. Jamur ini sering terjadi pada orang yang
kurang memperhatikan kebersihan diri atau lingkungan sekitar yang kotor dan lembab.(8)

4.3 Etiologi
Dermatofitosis adalah infeksi jamur yang disebabkan oleh jamur dermatofita yaitu
Epidermophyton, Mycrosporum dan Trycophyton.(1)
Penyebab utama dari tinea kruris Trichopyhton rubrum, Epidermophython
fluccosum, Trichophyton mentagrophytes, dan Trichopyhton tonsurans. Dimana E.
floccosum merupakan spesies yang paling sering menyebabkan terjadinya epidemi.(9)

4.4 Patogenesis
Tinea kruris disebabkan oleh infeksi jamur golongan dermatofita. Dermatofita adalah
golongan jamur yang menyebabkan dermatofitosis. Menurut Budimulja tahun 2010, dermatofita
termasuk kelas Fungi imperfecti, yang terbagi dalam tiga genus, yaitu Microsporum,
Trichophyton, dan Epidermophyton, mempunyai sifat mencerna keratin.1 Penyebab tersering
tinea kruris adalah Epidermophyton floccosum, diikuti Tricophyton rubrum dan Tricophyton
mentagrophytes.2,4

16
Infeksi dermatofita melalui tiga proses, yaitu perlekatan ke keratinosit, penetrasi melewati
dan di antara sel, dan perkembangan respon pejamu.5 Pertama adalah berhasil melekatnya
artrokonidia, spora aseksual yang dibentuk dari hasil fragmentasi hifa, ke permukaan jaringan
berkeratin setelah melewati beberapa pertahanan pejamu, antara lain asam lemak yang dihasilkan
oleh kelenjar sebasea yang bersifat fungistatik dan kompetisi dengan flora normal.2 Dalam
beberapa jam, secara in vitro 2 jam setelah terjadinya kontak, pertumbuhan dan invasi spora
mulai berlangsung.2,4
Proses kedua adalah invasi spora ke lapisan yang lebih dalam. Tahap ini dibantu oleh
sekresi proteinase, lipase dan enzim musinolitik, yang menjadi nutrisi bagi jamur. Trauma dan
maserasi juga membantu penetrasi jamur ke keratinosit. Selain itu, manans, suatu zat yang
terkandung dalam dinding sel dermatofita ini, dapat menghalangi proliferasi dari keratinosit dan
respon imunitas seluler yang memperlambat penyembuhan epidermis.2,8
Proses ketiga adalah perkembangan respon pejamu. Derajat inflamasi di pengaruhi oleh
status imun penderita dan organisme yang terlibat. Reaksi hipersensitivitas tipe IV, atau Delayed
Type Hipersensitivity (DHT) memegang peranan yang sangat penting dalam melawan
dermatofita. Respon inflamasi dari reaksi hipersensitivitas ini berkaitan dengan penyembuhan
pasien. Respon imunitas seluler yang rusak akan mengakibatkan proses penyakit yang kronis dan
berulang. Pengaruh adanya atopi dan kadar IgE yang tinggi juga diduga berpengaruh terhadap
kronisitas.2,3
Terdapat hipotesis menyatakan bahwa antigen dermatofita diproses oleh sel Langerhans
epidermis dan dipresentasikan dalam limfosit T di nodus limfe. Sel Langerhans bekerja sebagai
Antigen Presenting Cell (APC) yang mampu melakukan fungsi fagosit, memproduksi IL-1,
mengekspresikan antigen, reseptor Fe dan reseptor C3. Sel Langerhans berkumpul di dalam kulit
membawa antigen ke dalam pembuluh getah bening dan mempertemukannya dengan limfosit
yang spesifik. Selain oleh sel Langerhans, peran serupa dilakukan pula oleh sel endotel
pembuluh darah, fibroblast, dan keratinosit. Limfosit T yang telah aktif ini kemudian
menginfiltrasi tempat infeksi dan melepaskan limfokin. Limfokin inilah yang mengaktifkan
makrofag sehingga mampu membunuh jamur patogen.5,9
Faktor host yang berperan pada dermatofitosis yaitu genetik, jenis kelamin, usia, obesitas,
penggunaan kortikosteroid dan obat-obat imunosupresif. Kulit di lipat paha yang basah dan
tertutup menyebabkan terjadinya peningkatan suhu dan kelembaban kulit sehingga memudahkan

17
infeksi. Penjalaran infeksi dari bagian tubuh lain juga dapat menyebabkan terjadinya tinea kruris,
misalnya tinea pedis pada daerah kaki. Faktor lingkungan, berupa higiene sanitasi dan lokasi
geografis beriklim tropis, merupakan faktor predisposisi terjadinya penyakit jamur.2,4

4.5 Gejala Klinis


Efloresensi terdiri atas macam-macam bentuk (polimorfik), baik primer maupun sekunder.1
Tinea kruris mempunyai lesi yang khas berupa plak eritematosa berbatas tegas meluas dari lipat
paha hingga ke paha bagian dalam dan seringkali bilateral (Gambar 1). Skrotum biasanya jarang
terlibat.3 Lesi disertai skuama selapis dengan tepi yang meninggi.2

Gambar 1. Terdapat plak eritematosa berbatas tegas dan skuama di daerah inguinal dan pubis.
Apapun penyebab tinea kruris, keluhan gatal merupakan salah satu gejala umum yang
menonjol. Nyeri juga sering dirasakan pada daerah yang terjadi maserasi dan infeksi sekunder. 2,5
Peradangan di bagian tepi lesi lebih terlihat dengan bagian tengah tampak seperti menyembuh
(central clearing). Pada tepi lesi dapat disertai vesikel, pustul, dan papul, terkadang terlihat erosi
disertai keluarnya serum akibat garukan. Pada lesi kronis dapat ditemukan adanya likenifikasi
disertai skuama dan hiperpigmentasi (Gambar 2).1,3,10

Gambar 2. Lesi berbatas tegas, polisiklis, polimorfis dengan tepi aktif.

18
4.6 Penegakkan Diagnosis
Penegakan diagnosis tinea kruris ditegakkan berdasarkan anamnesis, gejala klinis dan
pemeriksaan penunjang. Dari anamnesis, tinea kruris umumnya ditandai dengan adanya keluhan
gatal. Sifat keluhan dapat terjadi secara akut, namun umumnya subakut atau kronis, bahkan dapat
merupakan penyakit yang berlangsung seumur hidup.
Gejala klinis tinea kruris yang khas adalah gatal yang meningkat saat berkeringat, dengan
bentuk lesi polisiklik/bulat berbatas tegas, efloresensi polimorfik, dan tepi lebih aktif. Dari
pemeriksaan penunjang, terdapatnya hifa pada sediaan mikroskopis pemeriksaan elemen jamur
dengan KOH. Dan pemeriksaan metode kultur jamur dapat dilakukan, namun membutuhkan
waktu yang lama.
Untuk menegakkan diagnosis tinea kruris dibutuhkan uji diagnostik untuk mengisolasi dan
mengidentifikasi jamur. Gambaran klinis tinea kruris berupa kelainan kulit yang berbatas tegas
disertai peradangan dengan bagian tepi lebih nyata daripada bagian tengah.
1. Pemeriksaan elemen jamur
Spesimen kerokan kulit diambil dari daerah pinggir lesi yang meninggi atau aktif. Hasil
pemeriksaan mikroskopik secara langsung dengan KOH 10-20% didapatkan hifa (dua
garis lurus sejajar transparan, bercabang dua/dikotom dan bersepta) dengan atau tanpa
artrospora (deretan spora di ujung hifa) yang khas pada infeksi dermatofita (Gambar
3). Pemeriksaan mikroskopik langsung untuk mengidentifikasi struktur jamur
merupakan teknik yang cepat, sederhana, terjangkau, dan telah digunakan secara luas
sebagai teknik skrining awal. Teknik ini hanya memiliki sensitivitas hingga 40% dan
spesifisitas hingga 70%. Hasil negatif palsu dapat terjadi hingga pada l5% kasus,
bahkan bila secara klinis sangat khas untuk dermatofitosis.9,12

19
Gambar 3. Gambaran hifa (tanda panah biru) disertai spora (tanda panah merah) 3

2. Pemeriksaan kultur
Kultur jamur merupakan metode diagnostik yang lebih spesifik namun membutuhkan
waktu yang lebih lama dan memiliki sensitivitas yang rendah, harga yang lebih mahal
Pemeriksaan kultur tidak rutin dilakukan pada diagnosis dermatofitosis. Biasanya
digunakan hanya pada kasus yang berat dan tidak berespon pada pengobatan sistemik.
Kultur dilakukan untuk mengetahui golongan ataupun spesies dari jamur penyebab tinea
kruris. Kultur perlu dilakukan untuk menentukan spesiesnya karena semua spesies
dermatofita tampak identik pada sediaan langsung. Media biakan yang digunakan
adalah agar dekstrosa Sabourraud yang ditambah antibiotik, contohnya kloramfenikol,
dan sikloheksimid untuk menekan pertumbuhan jamur kontaminan/ saprofit (contohnya
jamur non-Candida albicans, Cryptococcus, Prototheca sp., P.werneckii, Scytalidium
sp., Ochroconis gallopava), disimpan pada suhu kamar 25-30oC selama tujuh hari,
maksimal selama empat pekan dan dibuang jika tidak ada pertumbuhan.9,12

20
Tabel 1. Morfologi dan gambaran mikroskopis jamur penyebab tersering tinea kruris 2
Morfologi Koloni Gambaran Keterangan
Mikroskopis
T. rubrum
Beberapa mikrokonidia berbentuk air mata,
makrokonidia jarang berbentuk pensil.

E. floccosum
Tidak ada mikrokonidia, beberapa dinding tipis dan
tebal. Makrokonidia berbentuk gada.

T. interdigitale

Mikrokonidia yang bergerombol, bentuk cerutu


yang jarang, terkadang hifa spiral.

Untuk menentukan spesies penyebab dilakukan identifikasi makroskopis dan


mikroskopis. Secara makroskopis, tampak gambaran gross koloni dengan tekstur,
topografi dan pigmentasinya, sedangkan identifikasi mikroskopi dibuat preparat dengan
penambahan lactophenol cotton blue (LPCB) dan diperiksa di bawah mikroskop dengan
pembesaran objektif 40 x. Gambaran mikroskopis yang harus diperhatikan adalah
morfologi hifa, pigmentasi dinding sel jamur, dan karakteristik sporulasi (makronidia
dan mikronidia) (Tabel 1).2,9
3. Pemeriksaan histopatologi
Biopsi dan pemeriksaan histopatologi tidak dilakukan pada gambaran lesi yang khas.
Biopsi dilakukan untuk penegakan diagnosis yang memerlukan terapi sistemik pada lesi
yang luas. Dengan pewarnaan hematoksilin dan eosin, hifa akan terlihat pada stratum
korneum. Pewarnaan yang paling sering digunakan adalah dengan periodic acid-Schiff

21
(PAS), jamur akan tampak merah muda dan methenamine silver stains, jamur akan
tampak coklat atau hitam.2,12

4.7 Diagnosis banding


Gambaran klinis tinea kruris dapat menyerupai infeksi oleh Candida albicans. Namun,
pada kandidosis, lebih sering ditemukan pada wanita dan lesi yang ditemukan lebih meradang
dan lembab disertai sejumlah lesi satelit (makula dan pustul putih) yang berukuran kecil dan
banyak.3,5
Lokasi di lipat paha, tinea kruris dapat didiagnosis banding dengan eritrasma, dermatitis
seboroik, pemfigus vegetans, dan psoriasis intertriginosa. Eritrasma dapat dibedakan dari
pemeriksaan penunjang menggunakan lampu Wood yang akan memberikan warna merah bata
yang dihasilkan oleh bakteri Corynebacterium minutissimum. Sedangkan, pada infeksi jamur
golongan dermatofita, biasanya tidak menampakkan floresensi pada pemeriksaan lampu
Wood.3,10,13 Dermatitis seboroik bisa mengenai lipat paha, dan terkadang meluas hingga ke
daerah lain yang banyak mengandung kelenjar sebasea, seperti dada dan ketiak. Psoriasis
intertriginosa menunjukkan gambaran skuama dan pustul pada tepi lesi. Namun, pada psoriasi
intertriginosa, lesi yang khas juga dapat ditemukan di bagian tubuh lain. Biopsi dapat dilakukan
untuk psoriasis dengan lesi yang kurang khas.3,5
Eritema intertrigo dan dermatitis kontak juga dapat terjadi di lipat paha. Eritema intertrigo
disebabkan oleh kolonisasi bakteri di lipat paha. Biasanya ditemukan pada pasien dengan
obesitas, baik perempuan maupun laki-laki. Lesi berbatas tegas dengan maserasi di bagian
tengah lesi. Dermatitis kontak (alergi/iritan) yang muncul di lipat paha mungkin dapat
disebabkan oleh bahan pakaian dan juga akibat pemakaian deodaran.5,11

4.8 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan tinea kruris dibagi menjadi dua, yaitu tatalaksana umum dan khusus.
Tatalaksana khusus tinea kruris juga dibagi menjadi dua, yaitu tatalaksana topikal dan sistemik.
Tatalaksana Umum
Secara umum, tatalaksana tinea kruris berupa edukasi untuk mencegah infeksi berulang.
Daerah yang terinfeksi dijaga agar tetap kering dan terhindar dari sumber infeksi serta mencegah
pemakaian peralatan mandi bersama.4,5,10 Pengurangan keringat dan penguapan dari daerah lipat

22
paha, seperti penggunaan pakaian yang menyerap keringat dan longgar juga penting dalam
pencegahan agar daerah lipat paha tetap kering. Daerah lipat paha harus benar-benar dikeringkan
setelah mandi dan diberikan bedak. Pencucian rutin pakaian, sprei, handuk yang terkontaminasi
dan penurunan berat badan pada seorang dengan obesitas juga dapat dilakukan. Infeksi berulang
pada tinea kruris dapat terjadi melalui proses autoinokulasi reservoir lain yang mungkin ada di
tangan dan kaki (tinea pedis, tinea unguium) sehingga penting untuk dilakukan eradikasi.4,11
Tatalaksana Khusus
Untuk lesi yang ringan dan tidak luas cukup diberikan terapi topikal saja. Terapi sistemik
diberikan untuk lesi yang lebih luas dan meradang, sering kambuh dan tidak sembuh dengan obat
topikal yang sudah adekuat.9,10 Beberapa pilihan obat antijamur topikal dapat dilihat pada Tabel
2.
Tabel 2. Pilihan obat antijamur topikal1,10,11
Golongan Imidazol Golongan Alilamin Golongan Golongan lain
Naftionat
mikonazol 2% naftitin 1% tolnaftat 1% siklopiroksolamin 1%
klotrimazol 1% terbinafin 1% tolsiklat salep Whitfield
ekonazol 1% butenafin 1% salep 2-4/3-10
isokonazol vioform 3%
sertakonazol
tiokonazol 6,5%
ketokonazol 2%
bifonazol
oksikonazol 1%

Lama pengobatan tinea kruris menggunakan antijamur topikal umumnya sampai 1-2
pekan. Untuk pengobatan topikal dengan antijamur yang bersifat fungistatik, pengobatan
dilanjutkan 1-2 pekan setelah lesi hilang/sembuh. Hal ini bertujuan untuk mencegah terjadinya
kekambuhan sehingga pengobatan diberikan selama sekurang-kurangnya 3-4 pekan. Untuk
pengobatan topikal dengan antijamur yang bersifat fungisidal, pengobatan cukup diberikan
selama 1-2 pekan, tidak perlu diteruskan 1-2 pekan setelah lesi hilang/ sembuh.11,12

23
Sebelum dioles, daerah yang akan diolesi obat dibersihkan dan dikeringkan. Obat dioles di
atas lesi menjadi satu lapisan tipis yang menutupi paling sedikit sampai 3 cm ke arah luar lesi.
Obat digunakan 2 kali sehari, kecuali butenafin, terbinafin, sertakonazol hanya dioles 1 kali
sehari. Hasil maksimal bila lesi dijaga tetap bersih, kering dan sejuk, misalnya dengan
menggunakan celana yang tidak sempit dan menyerap keringat.11
Untuk terapi sistemik, beberapa pilihan obat antijamur yang dapat digunakan dapat dilihat
pada Tabel 2.
Tabel 2. Pilihan obat antijamur sistemik1,10,11
Golongan Sediaan dan dosis
Alilamin
- terbinafin - Bersifat fungisidal, paling efektif untuk infeksi jamur dematofita
- Sediaan: Tablet 250 mg
- Dosis: 250 mg/hari selama 2 pekan (Dewasa)
- Dosis: 3-6 mg/kgBB/hari selama 2 pekan (Anak)

Imidazol
- itrakonazol - Bersifat fungistatik
- Interaksi dengan obat lain cukup banyak
- Sediaan: Kapsul 100 mg, solusio oral 10mg/ml
- Dosis: 100 mg/hari selama 2 pekan (Dewasa)
- Dosis: 5 mg/kgBB/hari selama 1 pekan (Anak)

- flukonazol - Bersifat fungistatik


- Sediaan: Tabel 100, 150, 200 mg, suspensi oral 10 dan 40 mg/ml,
injeksi 400 mg
- Dosis: 150 mg/pecan selama 4-6 pekan

- Bersifat fungistatik
- ketokonazol
- Dikonsumsi dengan makanan atau minuman bersoda
- Bersifat hepatotoksik
- Sediaan: Tablet 200 mg
- Dosis: 200 mg/hari selama 10-14 hari

- Bersifat fungistatik, aktif untuk golongan dermatofita


Griseofulvin
- Efek samping: sefalgia, gejala gastrointestinal, fotosensitivitas
- Dikonsumsi dengan makanan berlemak

24
- Sediaan:
- Micronized: Tabel 250 dan 500 mg, oral suspensi 125mg/
sendok teh
- Ultramicronized: Tablet 165 dan 330 mg
- Dosis: 500 mg/hari selama 2-6 pekan (Dewasa)
- Dosis: 10-20 mg (ultramicronized)/kgBB/hari selama 6 pekan
(Anak)

4.9 Prognosis
Umumnya baik, jika pasien dapat menjaga hygiene dengan baik dan ,menjalani
pengobatan secara terartur.

25
DAFTAR PUSTAKA
1. Djuanda Adhi, Hamzah Mochtar dan Aisyah Siti. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Ed.6.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2010.p89-100.
2. Schieke SM, Garg A. Fungal disease: superficial fungal infection. In: Goldsmith LA,
Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, Wolf K, eds. Fitzpatrick’s Dermatology in
General Medicine. 8th Ed: Volume 2. New York: McGraw-Hill; 2012. p.2277-97
3. Wolff K, Johnson RA, Suurmond D. Cutaneus Fungal Infection. Fitzpatrick’s Color Atlas
and Synopsis of Clinical Dermatology. The McGraw Hill Company; 2007.
4. Sobera JO, Elewski BE. Infections, investations, and bites: fungal disease. In: Bolognia,
Jean L, Jorizzo JL, Rapini RP. eds. Dermatology. 2nd Ed: Volume 1. Philadelphia:
Churchill Livingstone Elsevier. p.1135-62
5. Hay JR, Ashbee HR. Mycology: superficial mycoses. Burns T, Breathnach S, Cox N,
Griffiths C, eds. In: Rook’s Textbook of Dermatology. 8th Ed: Volume 2. Australia:
Blackwell Publishing. p 36.20-34
6. Budimuldja U. Mycotic diseases in Indonesia, with emphasis on skin fungal infection.
Kor J Med Mycol, 4(1); 1999. Hal. 1-5
7. Konsil Kedokteran Indonesia. Standar Kompetensi Dokter Indonesia. Edisi Ke-2. Jakarta:
Konsil Kedokteran Indonesia; 2012.
8. Kurniati CRSP. Etiopatogenesis dermatofitosis. Berkala Ilmu Kesehatan Kulit dan
Kelamin, 20(3):2008, Hal 243-50
9. Mulyaningsih S. Tingkat kekambuhan tinea kruris dengan pengobatan krim ketokonasol
2% sesuai lesi klinis dibandingkan dengan sampai 3 cm di luar batas lesi klinis (Laporan
Penelitian). Semarang: Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro; 2004
10. Wolff K, Johnson RA. Fungal infection of the skin and hair. In: Fitzpatrick’s Color Atlas
and Synopsis of Clinical Dermatology. 6th Ed. New York: McGraw Hill; 2009.
11. Siswati AS, Ervianti E. Tinea korporis dan tinea kruris. Dalam. Bramono, Kusmarinah,
dkk. (Editor). Dermatomikosis Superfisialis. Edisi ke-2. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia; 2013. Hal. 58-74
12. Yosella T. Diagnosis and treatment of tinea cruris. J MAJORITY, 4(2): 2015. Hal. 122-
28
13. Kelly BP, Superficial fungal infections. Pediatrics in Review, 33(4): 2012. p.22-37

26

Anda mungkin juga menyukai