Pendahuluan
Insiden gestational trophoblastic disease (GTD) cukup luas dan tergantung pada
usia maternal, riwayat kehamilan tropoblastik sebelumnya dan faktor diet. Insiden
GTD di Amerika dan Eropa diperkirakan 1 per 1000 kehamilan, Inggris sekitar
1,5 per 1000 kelahiran, Jepang memiliki insiden dua kali lebih tinggi dan Cina
mungkin tujuh kali lebih tinggi, sedangkan di Indonesia 10 dari 1000 kehamilan
(1-4). Peningkatan insiden GTD ditemukan pada usia maternal lanjut. Studi
menunjukkan kemungkinan GTD terjadi pada wanita berusia lebih dari 40 tahun.
Riwayat sebelumnya mengalami GTD merupakan faktor resiko yang kuat.
Kehamilan mola hidatidosa merupakan salah satu bentuk kehamilan GTD. Pasien
dengan riwayat mola hidatidosa sebelumnya diperkirakan memiliki resiko 10 kali
untuk dapat kembali berulang (1,2).
Aktivitas tiroid selama kehamilan trimester pertama ditemukan meningkat,
dikarenakan stimulasi reseptor tyroid stimulating hormone (TSH) oleh Human
chorionic gonadotropin (hCG) (5). hCG merupakan hormon glikoprotein yang
secara struktural memiliki kemiripan dengan TSH (5,6). Ketika level hCG sangat
tinggi, terutama pada pasien dengan GTD atau tumor tropoblastik baik itu mola
hidatidosa ataupun choriocarcinoma, maka level serum TSH akan menjadi sangat
rendah (< 0.5 µIU/mL) yang akan menyebabkan peningkatan sekresi T4 dan T3.
Mola hidatidosa ini akan mensekresikan hCG dalam jumlah yang besar sebanding
dengan massa dari tumor itu sendiri (6). Hal ini akan memicu keadaan
hipertiroidisme pada pasien yang menderita tumor tropoblastik. Prevalensi
hipertiroidisme selama kehamilan mola ditemukan sekitar 7% (3). The New
1
2
Kasus
Seorang perempuan 43 tahun Suku Flores datang ke Poliklinik Obstetri
Ginekologi RSUP Sanglah pada tanggal 13 Oktober 2015 dengan keluhan utama
muncul benjolan di perut bawah sejak dua minggu yang lalu. Bersamaan dengan
munculnya benjolan di perut bawah penderita juga mengeluh muncul flek merah
kehitaman pervaginam. Penderita sempat mengira dirinya sedang hamil dengan
benjolan di perut bawah tersebut yang disertai keluhan mual dan muntah.
Dikatakan keluhan mual dan muntah sekitar ± 2-3 kali sehari. Riwayat abortus
disangkal. Riwayat haid satu bulan yang lalu dikatakan siklus tidak teratur, lama
haid 3-4 hari. Penderita menggunakan alat kontrasepsi berupa pil KB namun
diminum tidak teratur. Penderita sudah memiliki tiga orang anak lahir normal.
Selain keluhan diatas semenjak kehamilan ini, penderita juga merasakan
jantungnya sering berdebar sejak satu bulan yang lalu. Kedua tangan penderita
juga dikatakan sering gemetar. Riwayat penurunan berat badan disangkal
penderita. Penderita mengatakan tidak pernah mengalami keluhan seperti ini saat
hamil sebelumnya. Riwayat penyakit gondok, hipertensi, kencing manis, alergi,
penyakit jantung, penyakit ginjal, kanker disangkal penderita. Riwayat penyakit
yang sama pada keluarga disangkal.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum penderita sakit sedang,
kesadaran compos mentis, dengan status gizi cukup (berat badan 52 kg, tinggi
badan 150 cm, indeks massa tubuh 23,1 kg/m2), tekanan darah 150/90 mmHg,
denyut nadi 110 kali/menit reguler isi cukup, laju napas 18 kali/menit reguler,
temperatur aksila 36,4 0C, dengan visual analog scale (VAS) 0. Pada pemeriksaan
mata ditemukan konjungtiva palpebra kedua mata pucat, tidak ditemukan tanda-
tanda ikterus. Pada pemeriksaan leher JVP PR±0 cmH2O, tidak ditemukan
3
pemeriksaan fisik dihitung indeks Wayne pada penderita dan didapatkan hasil 22,
yang menandakan pasien dicurigai mengalami hipertiroidisme. Sehingga
direncanakan untuk dilakukan pemeriksaan fungsi tiroid, TSH dan FT4.
Hari kedua perawatan (16 Oktober 2015) hasil pemeriksaan fungsi tiroid
didapatkan TSH < 0.005 µIU/mL (normal: 0,5-5,5 µIU/mL), FT4 2,67 ng/dL
(normal: 0,7-2,0 ng/dL) menunjukkan penderita mengalami tanda hipertiroidisme.
Hasil pemeriksaan serum iron (SI) 83,8 µg/dL (normal: 40–155 µg/dL); TIBC 271
µg/dL (normal: 240-450 µg/dL); ferritin 97,35 ng/mL (normal: 11-307 ng/mL)
masih dalam batas normal sehingga anemia akibat defisiensi besi dapat
disingkirkan. Hasil pemeriksaan hapusan darah tepi didapatkan gambaran eritrosit
hipokromik mikrositer, leukosit kesan normal tidak ditemukan sel muda,
trombosit jumlah menurun sehingga disimpulkan gambaran bisitopenia. Hasil
rontgen dada didapatkan dalam batas normal. Sehingga penderita didiagnosis
dengan mola hidatidosa disertai hipertiroidisme curiga diakibatkan oleh β-hCG,
anemia hipokromik mikrositer curiga akibat penyakit kronik dan flek pervaginam,
trombositopenia curiga akibat reaktif, hipoalbuminemia curiga akibat inflamasi
kronik, hipertensi stage II. Dari penyakit dalam menambahkan terapi PTU 2 x 100
mg per oral, propanolol 1 x 10 mg per oral, dan terapi antihipertensi dilanjutkan
sedangkan pemberian tablet besi dan vitamin c dihentikan. Penderita direncanakan
untuk dilakukan pemeriksaan USG regio colli dan dikonsulkan ke divisi endokrin
ilmu penyakit dalam.
Gambar 2. Foto rontgen dada penderita pada hari pertama MRS (15/10/2015)
Hari ketiga perawatan (17 Oktober 2015) dari divisi endokrin ilmu
penyakit dalam menyarankan terapi hipertiroidisme berupa PTU ditingkatkan
menjadi 3 x 100 mg per oral, propanolol 3 x 10 mg per oral dan pemberian lugol 4
tetes setiap 6 jam, namun persedian lugol di depo obat kosong maka pemberian
6
ditunda. Hari keempat perawatan (18 Oktober 2015) pasien telah melakukan USG
regio colli dengan hasil tidak ditemukan kelainan pada regio colli. Penderita
mendapatkan tranfusi PRC sampai dengan target Hb 10 gr/dL sampai hari
kedelapan perawatan sebelum dilakukan tindakan kuretase. Sedangkan untuk
terapi farmakologi lainnya dilanjutkan.
33,0 g/dL, HCT 26,7%, PLT 50 x 103/µL, Albumin 2,91 g/dL, SGOT 36 U/L,
SGPT 34 U/L, BUN 20,8 mg/dL, SC 0,80 mg/dL, Na 135 mmol/L, K 3,1 mmol/L,
GDS 90 mg/dL, B-hCG# 74.867,51 mIU/mL. Penderita datang kontrol dengan
membawa hasil pemeriksaan patologi anatomi uterus didapatkan hasil mola
hidatidosa tipe parsial. Keluhan yang sebelumnya saat rawat inap seperti berdebar,
tremor, keringat berlebih sudah dirasakan berkurang. Terapi hipertensi dan
hipertiroid dilanjutkan.
Pembahasan
A. Gestational trophoblastic disease (GTD)
Gestational trophoblastic disease (GTD) muncul dari proliferasi jaringan fetal
dan dapat menjadi metastasis, terdiri dari empat bentuk klinikopatologi, mola
hidatidosa (partial hydatidiform mole/PHM dan complete hydatidoform
mole/CHM), mola invasif, koriokarsinoma, dan placental site trophoblastic tumor
(PSTT) (1,2,8,9-11). Mola hidatidosa merupakan kehamilan abnormal yang
dikarakteristikkan dengan berbagai derajat proliferasi tropoblastik (baik
sitotropoblas dan sinsitiotropoblas) dan pembengkakan vesikular vili plasenta
berkaitan dengan ketidakberadaan atau abnormalitas embrio/fetus (11).
8
CHM muncul dari fertilisasi pada ovum yang kosong. Sperma haploid
paternal kemudian menduplikasikan kromosomnya sendiri. Fenomena ini disebut
dengan androgenesis, dengan pola kromosom menjadi 46 XX. Pada CHM tidak
ada jaringan embrionik yang muncul (1). Plasenta mengalami edema sekunder
sampai terbentuk villi korionik hidropik yang membesar dan pada sebagian besar
kasus, tidak ditemukan fetus, cord dan membran amnion (2,10,11). PHM
merupakan bentuk GTD yang jarang terjadi, menghasilkan konseptus triploid.
Pada tipe mola hidatiforme ini, dapat teridentifikasi struktur abnormal fetus atau
embrio. Pola kromosom tersering adalah 69 XXX, 69 XXY, dan 69 XYY, semua
jenis tersebut berasal dari paternal (1,2,10).
keluhan mual muntah yang hebat namun didapatkan tekanan darah pasien yang
tinggi dibandingkan dengan sebelum kehamilannya saat ini. Pasien sebelumnya
tidak memiliki riwayat hipertensi.
Pemeriksaan ultrasound dapat membantu dalam menegakkan diagnosis
GTD. Pemeriksaan ini dapat dilakukan secara transabdominal, namun
pemeriksaan ultrasound melalui transvaginal lebih akurat dalam mendiagnosis
kehamilan molar. Pemeriksaan ini noninvasif, mudah dan terpercaya (1,8).
Karakteristik “snow pattern” dapat terlihat pada GTD dengan menggunakan
pencitraan ultrasound. Pola ini dsebabkan oleh echo multipel yang dibentuk pada
pertemuan antara villi molar dan jaringan disekitar, biasanya tanpa disertai fetus
(1,2,11). Pada pemeriksaan ultrasound Obstetri Ginekologi tanggal 13 Oktober
2015 didapatkan gambaran snow pattern.
Setiap GTD menghasilkan kuantitas β-hCG (Human Chorionic
Gonadotropin) yang berbeda dengan progresitas konsentrasi dari mola hidatidosa
(paling sedikit) sampai PSTT (paling banyak) (8). Tidak ditemukan perbedaan
antara kehamilan normal dengan GTD pada stadium awal dari perkembangan
penyakit ini. Sebagian besar gejala dan tanda akan mucul pada akhir trimester
pertama dan selama trimester kedua (1).
Klinisi mungkin akan terkecoh dengan kehamilan multipel yang juga
menghasilkan β-hCG yang tinggi pada awal kehamilan. Untuk itu tidak
disarankan membuat diagnosis hanya menggunakan pemeriksaan β-hCG. Hasil
terbaik akan diperoleh melalui kombinasi pemeriksaan level β-hCG dan
ultrasound. Misalnya diagnosis GTD didukung kuat jika level β-hCG melebihi
80.000 mIU/mL dan pencitraan ultrasound menunjukkan material echogenik
intrauterine dan tidak ada denyut jantung bayi. Setelah diagnosis kehamilan molar
tegak maka harus segera dilakukan terminasi (1). Pada pasien saat pertama kali
kontrol ke poliklinik obstetri ginekologi didapatkan hasil β-hCG# >225.000
mIU/mL (normal < 5 mIU/mL).
Penanganannya berupa dilatation and suction evacuation uterus yang
diikuti dengan kuretase atau histerektomi (1,6). Untuk mengurangi resiko
perdarahan, pemberian oksitosin harus dimulai pada awal prosedur atau setelah
sejumlah jaringan disingkirkan. Vesikel mola hidatidiform hasil evakuasi
10
Gambar 6. Pola perubahan TSH dan hCG sesuai dengan usia kehamilan normal. (2).
Level sirkulasi hCG yang tinggi dengan kemampuan aktivitas seperti TSH
pada trimester pertama mungkin akan menyebabkan penurunan yang rendah pada
TSH dan peningkatan konsentrasi FT4. Braunstein dan Hersman melaporkan
bahwa terdapat hubungan terbalik antara TSH dan hCG pada minggu ke 10-12
kehamilan, waktu puncak level hCG. Harada menunjukkan peningkatan FT4 dan
FT3 berkaitan dengan puncak hCG. Level TSH serum terutama antara minggu ke
7 dan 12 kehamilan jatuh pada titik nadir dan muncul sebagai bayangan cerminan
dari nilai puncak hCG. Studi kasus menunjukkan level serum hCG > 100.000
mIU/L biasanya menimbulkan gejala tiroksikosis (2,4). Hal ini berkaitan dengan
kesatuan klinis yang dikenal sebagai transient non autoimune hypertyroidism in
early pregnancy dimana hCG menjadi mediator utama pada hipertiroidisme (2).
Pasien dengan hipertiroid yang diakibatkan oleh tropoblas tidak ditandai
dengan gambaran khas yang berkaitan dengan penyakit grave (penyakit optalmik,
miksedem pretibial, dan acropachy) karena penyakit ini biasanya dalam durasi
yang pendek (8). Gejala klinis yang muncul pada hipertiroidisme akibat
tropoblastik diantaranya rasa lemah, penurunan berat badan, kelemahan otot,
keringat berlebih, rasa tegang atau gugup, intoleransi panas, takikardi, tremor,
palpitasi, sulit tidur, hipertensi, dan pembesaran minimal dari kelenjar tiroid
(2,7,14). Pada pasien didapatkan gejala dan tanda yang mengarah ke
hipertiroidisme berupa dada terasa berdebar, perasaan gugup yang muncul tiba-
tiba, tangan gemetar, sering merasa letih tanpa sebab yang jelas, badan dirasakan
lebih ringan dibandingkan dengan sebelum sakit, sering berkeringat dan terasa
lebih nyaman jika menggunakan kipas angin atau ditempat yang sejuk. Telapak
tangan penderita dikatakan terasa lebih hangat dari biasanya semenjak perutnya
membesar dan terkadang basah karena berkeringat, nafsu makan penderita pun
dikatakan lebih tinggi dibandingkan dengan biasanya. Namun tanpa disertai tanda
hipertiroidisme khas seperti penyakit optalmik, mixedeme pretibia, dan
acropachy. Dari hasil penghitungan indeks Wayne pada penderita dan didapatkan
hasil 22, yang menandakan pasien dicurigai mengalami hipertiroidisme.
14
Ringkasan
Telah dilaporkan seorang perempuan 43 tahun, Suku Flores dengan
hipertiroidisme yang diakibatkan oleh gestational trophoblastic disease mola
hidatidosa. Diagnosis ini dibuat berdasarkan anamnesis, riwayat, gejala dan tanda
klinis penderita serta hasil pemeriksaan penunjang. Kasus ini menarik untuk
diangkat karena selain termasuk kejadian yang jarang, penting untuk melakukan
deteksi dini dengan pemeriksaan fungsi tiroid pada pasien dengan penyakit
kehamilan tropoblastik serta penatalaksanaan yang tepat dan pemantauan fungsi
tiroid secara berkala untuk mencegah terjadinya komplikasi dapat diakibatkan
oleh hipertiroidisme.
Daftar Pustaka
5. Ogueh O, Hawkins AP, Abbas A, Carter GD, Nicolaides KH, Johnson MR.
Maternal thyroid function in multifetal pregnancies before and after fetal
reduction. Journal of Endocrinology 2000;164:7-11.
10. Almeida CED, Curi EF, Almeida CRD, Vieira DF. Thyrotoxic Crisis
Associated with Gestational Trophoblastic Disease. Rev Bras Anestesiol
2011;61(5):604-609.
15. Meister LHF, Hauck PR, Graf H, Carvalho GA. Hyperthyroidism Due to
Secretion of Human Chorionic Gonadotropin in a Patient With Metastatic
Choriocarcinoma. Arq Bras Endocrinol Metab 2005;49(2):319-322.