Anda di halaman 1dari 23

SMF/LaboratoriumIlmu Kesehatan Anak Tutorial

Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman

Acute Kidney Injury

Disusun Oleh:
Spicakent Dinyanti
1710029067

Pembimbing:
dr.Sherly Yuniarchan, Sp.A

SMF/LABORATORIUM ILMU KESEHATAN ANAK


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MULAWARMAN
SAMARINDA
2018

1
LEMBAR PENGESAHAN

TUTORIAL

Acute Kidney Injury


Diajukan dalam Rangka Tugas Ilmiah Kepaniteraan Klinik di Bagian Ilmu
Kesehatan Anak

Oleh:
Spicakent Dinyanti NIM. 1710029067

Pembimbing:

dr. Sherly Yuniarchan, Sp.A

SMF/LABORATORIUM ILMU KESEHATAN ANAK


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MULAWARMAN
SAMARINDA
2018

2
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Tuhan Yang Maha Esa atas petunjuk dan hidayah-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan tutorial yang berjudul Acute Kidney Injury.
Tutorial ini disusun sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan kepaniteraan
klinik di bagian Laboratorium Ilmu Kesehatan Anak di RSUD Abdul Wahab
Sjahranie Samarinda.
Penulisan referat ini dapat terselesaikan atas bantuan berbagai pihak, maka
pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih dan penghargaan
yang sebesar-besarnya kepada:
1. dr. Ika Fikriah, M.Kes selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas
Mulawarman.
2. dr. Soehartono, Sp.THT-KL selaku Ketua Program Pendidikan Profesi
Pendidikan Dokter Umum Fakultas Kedokteran Universitas
Mulawarman.
3. dr. Hendra, Sp.A selaku kepala Laboratorium Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Abdul Wahab Sjahranie Samarinda.
4. dr. Sherly Yuniarchan, Sp.A, selaku kepala SMF Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Abdul Wahab Sjahranie Samarinda dan sebagai pembimbing dalam
penyusunan tugas referat ini yang telah memberikan banyak waktu dan
kesempatan untuk memberikan bimbingan.
5. Kedua orang tua tercinta serta teman-teman dokter muda yang telah
mendukung, membantu, dan sudah berjuang bersama selama ini.
Penulis menyadari bahwa penulisan tutorial ini sangat jauh dari
kesempurnaan. Oleh karena itu, segala kritik dan saran sangat penulis harapkan
demi kesempurnaan tutorial ini, semoga referat ini dapat bermanfaat bagi banyak
pihak.
Samarinda, November 2018

Penulis

3
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL............................................................................................ i
LEMBAR PERSETUJUAN............................................................................... ii
KATA PENGANTAR ......................................................................................... iii
DAFTAR ISI ....................................................................................................... iv
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................... 1
BAB II LAPORAN KASUS ............................................................................... 2
BAB III TINJAUAN PUSTAKA ....................................................................... 9
3.1 Definisi dan Kriteria Diagnosid....................................................................... 9
3.2 Etiopatogenesis ............................................................................................... 9
3.4 Diagnosis......................................................................................................... 13
3.5 Penatalaksanaan .............................................................................................. 16
3.6 Prognosis ........................................................................................................ 22
BAB IV PEMBAHASAN .................................................................................. 23
BAB V KESIMPULAN ...................................................................................... 25
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 26

1 1
v
BAB I

PENDAHULUAN

Gangguan ginjal akut atau Acute Kidney Injury (AKI) dapat diartikan
sebagai penurunan cepat dan tiba-tiba atau parah pada fungsi filtrasi ginjal.
Kondisi ini biasanya ditandai oleh peningkatan konsentrasi kreatinin serum atau
azotemia (peningkatan konsentrasi BUN). Akan tetapi biasanya segera setelah
cedera ginjal terjadi, tingkat konsentrasi BUN kembali normal, sehingga yang
menjadi patokan adanya kerusakan ginjal adalah penurunan produksi urin
(Sudoyo AW, 2006).

Insidens di negara berkembang, khususnya di komunitas, sulit didapatkan


karena tidak semua pasien AKI datang ke rumah sakit. Diperkirakan bahwa
insidens nyata pada komunitas jauh melebihi angka yang tercatat. Peningkatan
insidens AKI antara lain dikaitkan dengan peningkatan sensitivitas kriteria
diagnosis yang menyebabkan kasus yang lebih ringan dapat terdiagnosis
(Lameire, 2006; Waikar, 2006). Beberapa laporan dunia menunjukkan insidens
yang bervariasi antara 0,5-0,9% pada komunitas, 0,7-18% pada pasien yang
dirawat di rumah sakit, hingga 20% pada pasien yang dirawat di unit perawatan
intensif (ICU), dengan angka kematian yang dilaporkan dari seluruh dunia
berkisar 25% hingga 80% (Sinto R, 2010).

AKI telah menarik perhatian dengan adanya pengakuan bahwa perubahan


kecil dalam fungsi ginjal mungkin memiliki efek yang serius dalam diagnosa
akhir. Meskipun kemajuan dalam diagnosis dan staging AKI dengan emergensi
biomarker menginformasikan kepada kita tentang mekanisme dan jalur dari AKI,
tetapi kita belum bisa tahu bagaimana AKI berkontribusi terhadap peningkatan
mortalitas dan morbiditas pada pasien rawat inap (Mehta R.L, 2011).
Perkembangan deteksi dini dan manajemen AKI telah sangat ditingkatkan melalui
pengembangan definisi universal dan spektrum staging. Cedera AKI berubah dari
bentuk kurang parah menjadi staging severe injury, dimana gagal ginjal akut
mungkin memerlukan terapi pengganti ginjal (Sedgewick J, 2011).
BAB II

PEMBAHASAN

3.1 Definisi dan Kriteria Diagnosis


Secara konseptual AKI adalah penurunan cepat (dalam jam hingga minggu) laju
filtrasi glomerulus (LFG) yang umumnya berlangsung reversibel, diikuti kegagalan ginjal
untuk mengekskresi sisa metabolisme nitrogen, dengan/ tanpa gangguan keseimbangan
cairan dan elektrolit. Acute Dialysis Quality Initia- tive (ADQI) yang beranggotakan para
nefrolog dan intensivis di Amerika pada tahun 2002 sepakat mengganti istilah ARF
menjadi AKI. Penggantian istilah renal menjadi kidney diharapkan dapat membantu
pemahaman masyarakat awam, sedangkan penggantian istilah failure menjadi injury
dianggap lebih tepat menggambarkan patologi gangguan ginjal (Sinto R, 2010).

Evaluasi dan manajemen awal pasien dengan cedera ginjal akut (AKI) harus
mencakup: 1) sebuah assessment penyebab yang berkontribusi dalam cedera ginjal, 2)
penilaian terhadap perjalanan klinis termasuk komorbiditas, 3) penilaian yang cermat
pada status volume, dan 4) langkah-langkah terapi yang tepat yang dirancang untuk
mengatasi atau mencegah memburuknya fungsional atau struktural abnormali ginjal.
Penilaian awal pasien dengan AKI klasik termasuk perbedaan antara prerenal, renal, dan
penyebab pasca-renal (Himellfarb J, 2008).

Akut kidney injury (AKI) ditandai dengan penurunan mendadak fungsi ginjal yang
terjadi dalam beberapa jam sampai hari. Diagnosis AKI saat ini dibuat atas dasar adanya
kreatinin serum yang meningkat dan blood urea nitrogen (BUN) dan urine output yang
menurun, meskipun terdapat keterbatasan. Perlu dicatat bahwa perubahan BUN dan
serum kreatinin dapat mewakili tidak hanya cedera ginjal, tetapi juga respon normal dari
ginjal ke deplesi volume ekstraseluler atau penurunan aliran darah ginjal (Akcay A,
2010).

Cedera ginjal akut didefinisikan ketika salah satu dari kriteria berikut terpenuhi :
(Lewington A, 2011)

 Serum kreatinin naik sebesar ≥ 26μmol / L dalam waktu 48 jam atau

 Serum kreatinin meningkat ≥ 1,5 kali lipat dari nilai referensi, yang diketahui

2
atau dianggap telah terjadi dalam waktu satu minggu atau

 Output urine <0.5ml/kg/hr untuk> 6 jam berturut-turut

ADQI mengeluarkan sistem klasifikasi AKI dengan kriteria RIFLE yang terdiri dari 3
kategori (berdasarkan peningkatan kadar Cr serum atau penurunan LFG atau kriteria UO)
yang menggambarkan beratnya penurunan fungsi ginjal dan 2 kategori yang menggam-
barkan prognosis gangguan ginjal (Sinto R, 2010).

Tabel 1. Perbandingan antara kriteria diagnosis RIFLE dan AKIN (Ackay R, 2010).

RIFLE GFR Criteria Urine output criteria


Criteria
Class
R-Risk Creatinin increase x 1,5 or GFR loss > 0,5 < ml/kg/hour > 6 hours
25%
I-Injury Creatinin increase x 2 or GFR loss > 50 % 0,5 <ml/kg/hour >12 hours
F-Failure Creatinin increase x 3 or GFR loss > 75% Creatinin increase x 4 0,5 <
mg/dl (acute increase >0,5 mg/dl) ml/kg/hour
> 12 hours
L-Loss Persistent loss of kidney function >4weeks
AKIN
E-ESKD Serum
ESKD >Creatinin
3 monthsCriteria Urine Output criteria
Ceriteria
Stage
1 Creatinin increase x 1,5 or creatinine 0,5 < mg/kg/hour x >6 hours
increase > 0,3 mg/dl
2 Creatinine increase x 2 0,5 < mg/kg/hour x >12 hours

3 Creatinin increase x 3 or creatinine 0,5 < mg/kg/hour x >24 hours


increase > 4 mg/dl (acute increase > 0,5 or Anuria > 12 hours
mg/dl

3.2 Klasifikasi Etiologi dan pathogenesis

Etiologi AKI dibagi menjadi 3 kelompok utama berdasarkan patogenesis AKI, yakni
(1) penyakit yang menyebabkan hipoperfusi ginjal tanpa menyebabkan gangguan pada
parenkim ginjal (AKI prarenal,~55%); (2) penyakit yang secara langsung menyebabkan

3
gangguan pada parenkim ginjal (AKI renal/intrinsik,~40%); (3) penyakit yang terkait
dengan obstruksi saluran kemih (AKI pascarenal,~5%). Angka kejadian penyebab AKI
sangat tergantung dari tempat terjadinya AKI. Salah satu cara klasifikasi etiologi AKI
dapat dilihat pada tabel (Sinto R, 2010).

Gambar 1: Kriteria RIFLE yang dimodifikasi (Markum, 2009)

Patogenesis AKI adalah kompleks. Iskemia dan toxin merupakan faktor utama yang
memicu cedera, dan meskipun kejadian awal mungkin berbeda, respon cedera berikutnya
kemungkinan melibatkan jalur yang sama. Sebagai contoh, AKI oleh karena iskemia
disebabkan oleh penurunan aliran darah ginjal dibawah batas autoregulasi aliran darah.
Berbagai tanggapan molekul yang "maladaptif" dan stereotip kemudian terjadi. Respon
ini menyebabkan cedera sel endotel dan epitel setelah timbulnya reperfusi. Faktor-faktor
patogen seperti vasokonstriksi, leukostasis, vascular congestion , apoptosis, dan kelainan

4
pada modulator kekebalan tubuh dan faktor pertumbuhan telah membentuk dasar rasional
terapi intervensi (Jo S.K, 2007).

Tabel 2 . Beberapa penyebab AKI yang dikelompokkan dalam AKI prarenal, AKI Renal,
dan AKI pascarenal (Sinto R, 2010)

Diperlukan pendekatan klinis untuk menentukan etiologi dari AKI. Dapat


berupa anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang (Akcay A, 2010).

1. Prerenal Azotemia

Ada empat kriteria yang diperlukan untuk diagnosis azotemia prerenal: 1)


peningkatan akut BUN dan / atau serum kreatinin, 2) penyebab hipoperfusi
ginjal, 3) sedimen urin hambar (tidak adanya sel dan gips selular) atau eksresi
natrium (FE) kurang dari 1%, dan 4) Kembalinya keadaaan fungsi ginjal yang

5
normal dalam 24-48 jam setelah keadaan hipoperfusi diatasi.

2. Postrenal Azotemia

Obstruksi aliran urin di kedua ureter, kandung kemih, atau uretra atau
obstruksi dari ginjal soliter dapat menyebabkan AKI pasca-renal. Penyebab
dari azotemia akut dalam keadaan ini adalah obstruksi aliran urin. Pasien yang
paling berisiko untuk azotemia akut postrenal adalah pria tua dengan hipertrofi
prostat atau kanker prostat. Pemeriksaan pelvis wajib dalam evaluasi azotemia
postrenal, karena pasien dengan karsinoma serviks atau endometrium atau
endometriosis dapat hadir dengan azotemia sekunder karena obstruksi saluran
kemih bilateral. Ultra-sonografi ginjal akan mendeteksi dilatasi pelvicalyceal
sekunder untuk obstruksi pada lebih dari 90% pasien.

3. Setelah azotemias prerenal dan postrenal telah disingkirkan, diagnosis AKI


intrarenal dapat dipertimbangkan.

3.3 Diagnosis

1) Pemeriksaan Klinis

Petunjuk klinis AKI prarenal antara lain adalah gejala haus, penurunan UO
dan berat badan dan perlu dicari apakah hal tersebut berkaitan dengan penggunaan
OAINS, penyekat ACE dan ARB. Pada pemeriksaan fisis dapat ditemukan tanda
hipotensi ortostatik dan takikardia, penurunan jugular venous pressure (JVP),
penurunan turgor kulit, mukosa kering, stigmata penyakit hati kronik dan hipertensi
portal, tanda gagal jantung dan sepsis. Kemungkinan AKI renal iskemia menjadi
tinggi bila upaya pemulihan status hemodinamik tidak memperbaiki tanda AKI.
Diagnosis AKI renal toksik dikaitkan dengan data klinis penggunaan zat-zat
nefrotoksik ataupun toksin endogen (misalnya mioglobin, hemoglobin, asam urat).
Diagnosis AKI renal lainnya perlu dihubungkan dengan gejala dan tanda yang
menyokong seperti gejala trombosis, glomerulonefritis akut, atau hipertensi
maligna. AKI pascarenal dicurigai apabila terdapat nyeri sudut kostoverebra atau
suprapubik akibat distensi pelviokalises ginjal, kapsul ginjal, atau kandung kemih.
Nyeri pinggang kolik yang menjalar ke daerah inguinal menandakan obstruksi
ureter akut. Keluhan terkait prostat, baik gejala obstruksi maupun iritatif, dan

6
pembesaran prostat pada pemeriksaan colok dubur menyokong adanya obstruksi
akibat pembesaran prostat. Kandung kemih neurogenik dapat dikaitkan dengan
pengunaan antikolinergik dan temuan disfungsi saraf otonom (Sinto R, 2010).

2) Pemeriksaan Penunjang

Dari pemeriksaan urinalisis, dapat ditemukan berbagai penanda inflamasi


glomerulus, tubulus, infeksi saluran kemih, atau uropati kristal. Pada AKI prarenal,
sedimen yang didapatkan aselular dan mengandung cast hialin yang transparan.
AKI pascarenal juga menunjukkan gambaran sedimen inaktif, walaupun hematuria
dan piuria dapat ditemukan pada obstruksi intralumen atau penyakit prostat. AKI
renal akan menunjukkan berbagai cast yang dapat mengarahkan pada penyebab
AKI, antara lain pigmented “muddy brown” granular cast, cast yang mengandung
epitel tubulus yang dapat ditemukan pada ATN; cast eritrosit pada kerusakan
glomerulus atau nefritis tubulointerstitial; cast leukosit dan pigmented “muddy
brown” granular cast pada nefritis interstitial (Schrier R.W, 2004).

Hasil pemeriksaan biokimiawi darah (kadar Na, Cr, urea plasma) dan urin
(osmolalitas urin, kadar Na, Cr, urea urin) secara umum dapat mengarahkan pada
penentuan tipe AKI (Brady H.R, 2005).

Pada keadaan fungsi tubulus ginjal yang baik, vasokonstriksi pembuluh darah
ginjal akan menyebabkan peningkatan reabsorbsi natrium oleh tubulus hingga mencapai
99%. Akibatnya, ketika sampah nitrogen (ureum dan kreatinin) terakumulasi di dalam
darah akibat vasokonstriksi pembuluh darah ginjal dengan fungsi tubulus yang masih
terjaga baik, fraksi ekskresi natrium (FENa = [(Na urin x Cr plasma)/(Na plasma x Cr
urin)] mencapai kurang dari 1%, FEUrea kurang dari 35%. Sebagai pengecualian, adalah
jika vasokonstriksi terjadi pada seseorang yang menggunakan diuretik, manitol, atau
glukosuria yang menurunkan reabsorbsi Na oleh tubulus dan menyebabkan peningkatan
FENa. Hal yang sama juga berlaku untuk pasien dengan PGK tahap lanjut yang telah
mengalami adaptasi kronik dengan pengurangan LFG. Meskipun demikian, pada
beberapa keadaan spesifik seperti ARF renal akibat radiokontras dan mioglobinuria,
terjadi vasokonstriksi berat pembuluh darah ginjal secara dini dengan fungsi tubulus
ginjal yang masih baik sehingga FENa dapat pula menunjukkan hasil kurang dari 1%.

Pemeriksaan yang cukup sensitif untuk menyingkirkan AKI pascarenal adalah

7
pemeriksaan urin residu pascaberkemih. Jika volume urin residu kurang dari 50 cc,
didukung dengan pemeriksaan USG ginjal yang tidak menunjukkan adanya dilatasi
pelviokalises, kecil kemungkinan penyebab AKI adalah pascarenal. Pemeriksaan
pencitraan lain seperti foto polos abdomen, CT-scan, MRI, dan angiografi ginjal dapat
dilakukan sesuai indikasi. Pemeriksaan biopsi ginjal diindikasikan pada pasien dengan
penyebab renal yang belum jelas, namun penyebab pra- dan pascarenal sudah berhasil
disingkirkan. Pemeriksaan tersebut terutama dianjurkan pada dugaan AKI renal non- ATN
yang memiliki tata laksana spesifik, seperti glome- rulonefritis, vaskulitis, dan lain lain
(Schrier R.W, 2004).

3.4 Penatalaksanaan

Menurut definisi, AKI prerenal adalah reversibel pada koreksi kelainan utama
hemodinamik, dan AKI postrenal dengan menghilangkan obstruksi. Sampai saat ini, tidak
ada terapi khusus untuk mendirikan AKI intrinsik renal karena iskemia atau
nefrotoksisitas. Manajemen gangguan ini harus fokus pada penghapusan hemodinamik
kelainan penyebab atau toksin, menghindari penghinaan tambahan, dan pencegahan dan
pengobatan komplikasi. Pengobatan khusus dari penyebab lain dari AKI renal tergantung
pada patologi yang mendasari (Brady H.R, 2005).

1) AKI Prarenal

Komposisi cairan pengganti untuk pengobatan GGA prerenal akibat


hipovolemia harus disesuaikan sesuai dengan komposisi cairan yang hilang.
Hipovolemia berat akibat perdarahan harus dikoreksi dengan packed red cells,
sedangkan saline isotonik biasanya pengganti yang sesuai untuk ringan sampai
sedang perdarahan atau plasma loss (misalnya, luka bakar, pankreatitis).
Cairan kemih dan gastrointestinal dapat sangat bervariasi dalam komposisi
namun biasanya hipotonik. Solusi hipotonik (misalnya, saline 0,45%) biasanya
direkomendasikan sebagai pengganti awal pada pasien dengan GGA prerenal
akibat meningkatnya kehilangan cairan kemih atau gastrointestinal, walaupun
salin isotonik mungkin lebih tepat dalam kasus yang parah. Terapi berikutnya
harus didasarkan pada pengukuran volume dan isi ionik cairan yang
diekskresikan. Kalium serum dan status asam-basa harus dimonitor dengan
hati-hati. Gagal jantung mungkin memerlukan manajemen yang agresif

8
dengan inotropik positif, preload dan afterload mengurangi agen, obat
antiaritmia, dan alat bantu mekanis seperti pompa balon intraaortic.
Pemantauan hemodinamik invasif mungkin diperlukan untuk memandu terapi
untuk komplikasi pada pasien yang penilaian klinis fungsi jantung dan volume
intravaskular sulit.

2) AKI intrinsic renal

AKI akibat lain penyakit ginjal intrinsik seperti glomerulonefritis akut


atau vaskulitis dapat merespon glukokortikoid, alkylating agen, dan / atau
plasmapheresis, tergantung pada patologi primer. Glukokortikoid juga
mempercepat remisi pada beberapa kasus interstitial nefritis alergi. Kontrol
agresif tekanan arteri sistemik adalah penting penting dalam membatasi cedera
ginjal pada hipertensi ganas nephrosclerosis, toxemia kehamilan, dan penyakit
pembuluh darah lainnya. Hipertensi dan AKI akibat scleroderma mungkin
sensitif terhadap pengobatan dengan inhibitor ACE

3) AKI postrenal
Manajemen AKI postrenal membutuhkan kerjasama erat antara
nephrologist, urologi, dan radiologi. Gangguan pada leher uretra atau kandung
kemih biasanya dikelola awalnya oleh penempatan transurethral atau
suprapubik dari kateter kandung kemih, yang memberikan bantuan sementara
sedangkan lesi yang menghalangi diidentifikasi dan diobati secara definitif.
Demikian pula, obstruksi ureter dapat diobati awalnya oleh kateterisasi
perkutan dari pelvis ginjal. Memang, lesi yang menghalangi seringkali dapat
diterapi perkutan (misalnya, kalkulus, sloughed papilla) atau dilewati oleh
penyisipan stent ureter (misalnya, karsinoma). Kebanyakan pasien mengalami
diuresis yang tepat selama beberapa hari setelah relief obstruksi. Sekitar 5%
dari pasien mengembangkan sindrom garam-wasting sementara yang mungkin
memerlukan pemberian natrium intravena untuk menjaga tekanan darah.
Pada dasarnya tata laksana AKI sangat ditentukan oleh penyebab AKI
dan pada tahap apa AKI ditemukan. Jika ditemukan pada tahap prarenal dan
inisiasi (kriteria RIFLE R dan I), upaya yang dapat dilakukan adalah tata
laksana opti- mal penyakit dasar untuk mencegah pasien jatuh pada tahap AKI
berikutnya. Upaya ini meliputi rehidrasi bila penyebab AKI adalah

9
prarenal/hipovolemia, terapi sepsis, penghentian zat nefrotoksik, koreksi
obstruksi pascarenal, dan meng- hindari penggunaan zat nefrotoksik.
Pemantauan asupan dan pengeluaran cairan harus dilakukan secara rutin.4,17
Selama tahap poliuria (tahap pemeliharaan dan awal perbaikan), beberapa
pasien dapat mengalami defisit cairan yang cukup berarti, sehingga
pemantauan ketat serta pengaturan keseimbangan cairan dan elektrolit harus
dilakukan secara cermat. Substitusi cairan harus diawasi secara ketat dengan
pedoman volume urin yang diukur secara serial, serta elektrolit urin dan serum
(Sinto R, 2010).

1. Terapi Nutrisi

Kebutuhan nutrisi pasien AKI bervariasi tergantung dari penyakit


dasarnya dan kondisi komorbid yang dijumpai. Sebuah sistem klasifikasi
pemberian nutrisi berdasarkan status katabolisme diajukan oleh Druml pada
tahun 2005 (Sinto R, 2010).

Tabel 3. Klasifikasi dan Kebutuhan Nutrisi pada pasien AKI (Sinto R, 2010)

Manajemen nutrisi untuk AKI tidak jauh berbeda untuk pasien sakit kritis,
tetapi lebih rumit karena rejimen tersebut harus dirancang dengan tetap melihat

10
perubahan kompleks dalam sisa metabolisme dan nutrisi yang terjadi dengan
hilangnya fungsi ginjal akut. Selain dukungan nutrisi harus dikoordinasikan dengan
terapi pengganti ginjal (RRT). Masalah utama dalam pengelolaan AKI adalah retensi
air dan produk dari Asam Amino karena gangguan fungsi ekskresi yang membatasi
pemberian cairan dan elektrolit (Saxena A, 2012).

Tujuan utama terapi nutrisi tidak semata-mata untuk menggantikan kebutuhan


gizi makro dan mikro, tetapi dukungan nutrisi adalah dukungan kualitatif dari
intervensi metabolik yang bertujuan untuk memodulasi keadaan inflamasi,
memperbaiki kebutuhan oksigen sistem radikal, dan memperbaiki Imunokompetensi.
Tergantung pada tingkat keparahan penyakit, kebutuhan nutrisi dapat bervariasi antara
pasien dan fase penyakit kritis (Saxena A, 2012).

Tabel 4. Kebutuhan nutrisi pada pasien AKI (Saxena A, 2012)

2. Terapi Farmakologis

11
Dalam pengelolaan AKI, terdapat berbagai macam obat yang sudah
digunakan selama berpuluh-puluh tahun namun kesahihan penggunaannya bersifat
kontoversial. Obat-obatan tersebut antara lain diuretik, manitol, dan dopamin.
Diuretik yang bekerja menghambat Na+/K+-ATPase pada sisi luminal sel,
menurunkan kebutuhan energi sel thick limb Ansa Henle. Selain itu, berbagai
penelitian melaporkan prognosis pasien AKI non-oligourik lebih baik dibandingkan
dengan pasien AKI oligourik. Atas dasar hal tersebut, banyak klinisi yang berusaha
mengubah keadaan AKI oligourik menjadi non-oligourik, sebagai upaya
mempermudah penanganan ketidakseimbangan cairan dan mengurangi kebutuhan
dialisis. Namun, penelitian dan meta-analisis yang ada tidak menunjukkan kegunaan
diuretik untuk pengobatan AKI (menurunkan mortalitas, kebutuhan dialisis, jumlah
dialisis, proporsi pasien oligouri, masa rawat inap), bahkan penggunaan dosis tinggi
terkait dengan peningkatan risiko ototoksisitas. Meskipun demikian, pada keadaan
tanpa fasilitas dialisis, diuretik dapat menjadi pilihan pada pasien AKI dengan
kelebihan cairan tubuh (Sinto R, 2010).

Beberapa hal yang harus diperhatikan pada penggunaan diuretik sebagai


bagian dari tata laksana AKI adalah:

 Pastikan volume sirkulasi efektif sudah optimal, pastikan pasien tidak


dalam keadaan dehidrasi. Jika mungkin, dilakukan pengukuran CVP atau
dilakukan tes cairan dengan pemberian cairan isotonik 250-300 cc dalam
15- 30 menit. Bila jumlah urin bertambah, lakukan rehidrasi terlebih
dahulu.

 Tentukan etiologi dan tahap AKI. Pemberian diuretik tidak berguna pada
AKI pascarenal. Pemberian diuretik masih dapat berguna pada AKI tahap
awal (keadaan oligouria kurang dari 12 jam).

Pada awalnya, dapat diberikan furosemid i.v. bolus 40 mg. Jika manfaat
tidak terlihat, dosis dapat digandakan atau diberikan tetesan cepat 100-250 mg/kali
dalam 1-6 jam atau tetesan lambat 10-20 mg/kgBB/hari dengan dosis maksimum 1
gram/hari. Usaha tersebut dapat dilakukan bersamaan dengan pemberian cairan
koloid untuk meningkatkan translokasi cairan ke intravaskuler. Bila cara tersebut
tidak berhasil (keberhasilan hanya pada 8-22% kasus), harus dipikirkan terapi lain.

12
Peningkatan dosis lebih lanjut tidak bermanfaat bahkan dapat menyebabkan
toksisitas (Ho K.M, 2009)

Secara hipotesis, manitol meningkatkan translokasi cairan ke intravaskuler


sehingga dapat digunakan untuk tata laksana AKI khususnya pada tahap oligouria.
Namun kegu- naan manitol ini tidak terbukti bahkan dapat menyebabkan kerusakan
ginjal lebih jauh karena bersifat nefrotoksik, menyebabkan agregasi eritrosit dan
menurunkan kecepatan aliran darah. Efek negatif tersebut muncul pada pemberian
manitol lebih dari 250 mg/kg tiap 4 jam. Penelitian lain menunjukkan sekalipun
dapat meningkatkan produksi urin, pemberian manitol tidak memperbaiki prognosis
pasien (Sinto R, 2010).

Dopamin dosis rendah (0,5-3 μg/kgBB/menit) secara historis digunakan


dalam tata laksana AKI, melalui kerjanya pada reseptor dopamin DA1 dan DA2 di
ginjal. Dopamin dosis rendah dapat menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah
ginjal, menghambat Na+/K+-ATPase dengan efek akhir peningkatan aliran darah
ginjal, LFG dan natriuresis. Sebaliknya, pada dosis tinggi dopamin dapat
menimbulkan vasokonstriksi. Faktanya teori itu tidak sesederhana yang diperkirakan
karena dua alasan yaitu terdapat perbedaan derajat respons tubuh terhadap pemberian
dopamin, juga tidak terdapat korelasi yang baik antara dosis yang diberikan dengan
kadar plasma dopamin. Respons dopamin juga sangat tergantung dari keadaan klinis
secara umum yang meliputi status volume pasien serta abnormalitas pembuluh darah
(seperti hipertensi, diabetes mellitus, aterosklerosis), sehingga beberapa ahli
berpendapat sesungguhnya dalam dunia nyata tidak ada dopamin “dosis renal”
seperti yang tertulis pada literatur. Dalam penelitian dan meta-analisis, penggunaan
dopamin dosis rendah tidak terbukti bermanfaat bahkan terkait dengan efek samping
serius seperti iskemia miokard, takiaritmia, iskemia mukosa saluran cerna, gangren
digiti, dan lain-lain. Jika tetap hendak digunakan, pemberian dopamin dapat dicoba
dengan pemantauan respons selama 6 jam. Jika tidak terdapat perubahan klinis,
dianjurkan agar menghentikan penggunaannya untuk menghindari toksisitas.
Dopamin tetap dapat digunakan untuk pengobatan penyakit dasar seperti syok, sepsis
(sesuai indikasi) untuk memperbaiki hemodinamik dan fungsi ginjal. Obat-obatan
lain seperti agonis selektif DA1 (fenoldopam) dalam proses pembuktian lanjut
dengan uji klinis multisenter untuk penggunaannya dalam tata laksana AKI. ANP,

13
antagonis adenosin tidak terbukti efektif pada tata laksana AKI (Kumar V.S, 2000).

Terapi Pengganti Ginjal ( RRT )

Dengan adanya komplikasi AKI seperti misalnya hipervolemia, edema paru


akut atau keseimbangan cairan besar kumulatif positif, hiperkalemia, asidosis
metabolik (pH kurang dari 7,1) dan gejala uremik (mual dan muntah persisten, peri-
karditis, neuropati, atau tidak jelas penyebabnya penurunan status mental) dialisis
harus dipertimbangkan sebagai terapi andalan. Modalitas RRT termasuk hemodialisis
intermiten (IHD), terapi pengganti ginjal berkelanjutan (CRRTs), dan terapi hybrid,
seperti berkelanjutan rendah efisiensi dialisis (SLED). Meskipun teknik ini
bervariasi, angka kematian pada pasien dengan AKI tetap lebih besar dari 50% pada
pasien sakit berat. Ada kemungkinan bahwa variasi dalam waktu inisiasi, modalitas,
dan / atau dosis dari RRT dapat mempengaruhi hasil klinis, khususnya kelangsungan
hidup (Akcay A, 2010).

Beberapa indikasi utama untuk melakukan terapi pengganti Ginjal adalah


sebagai berikut : (Dube S et al, 2007)

 Fluid overload
 Metabolic acidosis
 Oliguria (urine output <200 mL/12 h)
 Anuria /extreme oliguria (urine output <50 mL/12 h)
 Hyperkalemia ([K] >6.5 mEq/L)
 Clinically significant organ (especially pulmonary) edema
 Uremic encephalopathy
 Uremic pericarditis
 Uremic neuropathy/myopathy
 Severe dysnatremia ([Na] <115 or >160 mEq/L)
 Hyperthermia
 Drug overdose with filterable toxin (lithium, vancomycin, procainamide, etc)
 Imminent or ongoing massive blood product administration

3.5 Prognosis

14
Mortalitas akibat GGA bergantung keadaan klinik dan derajat gagal ginjal. Perlu
diperhatikan faktor usia, makin tua makin jelek prognosanya, adanya infeksi yang menyertai,
perdarahan gastrointestinal, penyebab yang berat akan memperburuk prognosa. Penyebab
kematian tersering adalah infeksi (30-50%), perdarahan terutama saluran cerna (10-20%),
jantung (10-20%), gagal nafas (15%), dan gagal multiorgan dengan kombinasi hipotensi,
septikemia, dan sebagainya. Pasien dengan GGA yang menjalani dialysis angka kematiannya
sebesar 50-60%, karena itu pencegahan, diagnosis dini, dan terapi dini perlu ditekankan.

15
BAB V

Kesimpulan

AKI adalah penurunan cepat (dalam jam hingga minggu) laju filtrasi glomerulus
(LFG) yang umumnya berlangsung reversibel, diikuti kegagalan ginjal untuk
mengekskresi sisa metabolisme nitrogen, dengan/ tanpa gangguan keseimbangan cairan
dan elektrolit.
Perkembangan deteksi dini dan manajemen AKI telah sangat ditingkatkan melalui
pengembangan definisi universal dan spektrum staging. Cedera AKI berubah dari bentuk
kurang parah menjadi staging severe injury, dimana gagal ginjal akut mungkin
memerlukan terapi pengganti ginjal.
Mortalitas akibat GGA bergantung keadaan klinik dan derajat gagal ginjal. Perlu
diperhatikan faktor usia, makin tua makin jelek prognosanya, adanya infeksi yang
menyertai, perdarahan gastrointestinal, penyebab yang berat akan memperburuk prognosa.
Penyebab kematian tersering adalah infeksi (30-50%), perdarahan terutama saluran cerna
(10-20%), jantung (10-20%), gagal nafas (15%), dan gagal multiorgan dengan kombinasi
hipotensi, septikemia, dan sebagainya.

16
DAFTAR PUSTAKA

Akcay A, Turkmen A, Lee D, Edelstein C.L, 2010, Update on the diagnosis and
management of acute kidney injury, International Journal of Nephrology and
Renovascular Disease, vol 3 :129–140

Brady HR, Brenner BM. Acute renal failure. Dalam Kasper DL,Fauci AS, Longo DL,
Braunwald E, Hauser SL, Jameson JL, edi- tor. Harrison’s principle of internal medicine.
Ed 16. New York: McGraw-Hill, Inc; 2005.p.1644-53

Dube S, Sharman V.K, 2009, Renal Replacement Therapy in Intensive Care Unit, Journal of
the Assocation of Physician of India, Vol 57

Himellfarb J, Joannidis M, Molitoris B, Schietz M, Okusa M.D et al, 2008, Evaluation and
Initial Mangement of Acute Kidney Injury, Clin J Am Soc Nephrol, Vol 3: 962–967

Ho K.M, Power BM, 2009, Benefits and Risks of Furosemid in Acute Kidney Injury, Journal
of the Assocation of Anaesthetists of Great Britain and Ireland, Vol 65: 283-293

Jo S.K, Rosner M.H, Okusa M.D, 2007, Pharmacologic Treatment of Acute Kidney Injury:
Why Drugs Haven’t Worked and What Is on the Horizon, Clin J Am Soc Nephrol 2: 356–
365.

KDIGO Clinical Pratice of Acute Kidney Injury, 2012, Official Journal of the International
Society of Nephrology, Vol 2: 1

Kumar VS. Renal dose dopamine in acute renal failure, 2000, Indian J Urol, Vol 16:175

Lameire N, Biesen WV, Vanholder R, 2006, The rise of prevalence and the fall of mortality of
patients with acute renal failure: what the analysis of two databases does and does not tell
us. J Am Soc Nephrol. Vol 17:923-5.

Lewington A, Kanagasundaram A, 2011, AKI: Definition, epidemiology, and outcomes,


Clinical Pratice AKI Guidline

Markum H.M.S, 2009, Gangguan Ginjal Akut, Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Ed 2,
editor, Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrta MK Setiati S, Jakarta: Interna
Publishing, Vol II: 1041-1058

17
Mehta R.L, 2011, Management of Acute Kidney Injury: It’s the Squeaky Wheel That Gets the
Oil!, Clin J Am Soc Nephrol, Vol 6: 2102–2104

Saxena A, 2012, Dietary Management in Acute Kidney Injury, Clinical Queries: Nephrology
0101: 58–69

Schrier RW, Wang W, Poole B, Mitra A, 2004, Acute renal failure: definitions, diagnosis,
pathogenesis, and therapy. J. Clin. Invest, Vol 114:5-14.

Sedgewick J, 2011, Invited editorial.Acute kidney injury: responding to the deficits in


management and care. Renal Society of Australasia Journal, 7(2), 53-54.

Sinto R, Nainggolan G, 2010, Acute Kidney Injury: Pendekatan Klinis dan Tata Laksana, Maj
Kedokt Indon, Volume 60:2

Waikar SS, 2006, Declining mortality in patients with acute renal fail- ure, 1988 to 2002. J
Am Soc Nephrol. Vol 17:1143-50.

18
19

Anda mungkin juga menyukai