Anda di halaman 1dari 6

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kesehatan bukan saja keadaan yang bebas dari penyakit, cacat dan

kelemahan, tetapi merupakan kesejahteraan yang bersifat fisik, mental, dan

sosial yang memungkinkan seseorang hidup secara produktif dan harmonis.

Demikian pula kesehatan jiwa sebagai bagian integral dari kesehatan,

merupakan kondisi yang memungkinkan perkembangan seseorang baik fisik,

intelektual dan emosional secara optimal dan selaras dengan orang lain.

Dapat dikatakan kesehatan jiwa yang baik adalah kondisi yang bebas dari

gangguan jiwa, mempunyai daya tahan terhadap stress dan perkembangan

yang harmonis dalam hidupnya (Depkes, 2000).

Skizofrenia adalah kekacauan jiwa yang serius ditandai dengan

kehilangan kontak pada kenyataan (psikosis), halusinasi, khayalan

(kepercayaan yang salah), pikiran yang abnormal dan mengganggu kerja

dan fungsi sosial. Skizofrenia ditandai dengan gejala-gejala positif dan

negatif, gejala positif seperti pembicaraan kacau, halusinasi, gangguan

kognitif (gangguan perhatian, memori dan fungsi yang berhubungan dengan

psikososial) dan persepsi gejala negatif seperti avolisi (menurunnya minat

dan dorongan), berkurangnya keinginan bicara dan miskinnya isi

pembicaraan ( Setiadi , 2006).

Angka gangguan kesehatan jiwa (selanjutnya disebut gangguan jiwa)

di Indonesia cukup memprihatinkan. Berdasarkan hasil Survei Kesehatan

Mental Rumah Tangga (SKMRT), tahun 1995 ditemukan 185 per 1000

1
2

penduduk dewasa menunjukan adanya gangguan kesehatan jiwa. Angka

perbandingan ini melebihi batas yang ditetapkan WHO, yaitu 1 - 3 per 1000

penduduk (Hasanat, dkk, 2004).

Prevalensi penderita skizofrenia pada tahun 2007 di Amerika Serikat

dilaporkan bervariasi antarai 1 sampai 1,5% (Luana, 2007). Prevalensi

penderita skizofrenia di Indonesia pada tahun 2006 adalah 0,3 sampai 1 %

dan biasanya timbul pada usia sekitar 18 sampai 45 tahun. Apabila

penduduk Indonesia sekitar 200 juta jiwa, maka diperkirakan sekitar 2 juta

jiwa menderita skizofrenia (Setiadi, 2006).

Angka prevelensi penderita skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa Daerah

(RSJD) Surakarta pada tahun 2009 adalah 71% dari pasien yang dirawat di

bagian rawat jalan. Skizofrenia menempati urutan pertama dalam 10

penyakit terbesar di RSJD Surakarta (Catatan Medik RSJD Surakarta,

2009).

Paradigma pelayanan kesehatan jiwa yang berkesinambungan dan

berjangka panjang yang diutamakan pada ruang lingkup keluarga dan

lingkungan masyarakat semakin menekankan pentingnya peranan aktif

anggota keluarga penderita atau relasi yang berperan sebagai care giver

sebagai pendukung dalam penatalaksanaan skizofrenia yang optimum.

Penderita skizofrenia umumnya cenderung memerlukan bantuan dan

pertolongan orang lain dalam memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari,

khususnya ketergantungan pada anggota keluarga maupun relasi lainnya

yang peduli terhadapnya (Djatmiko, 2004).

Gejala kekacauan jiwa yang diderita, higienis yang rendah, dan kondisi

sosial ekonomi yang biasanya rendah bisa mengakibatkan malnutrisi pada


3

penderita skizofrenia (Kusumawardhani, 2004). Kurang gizi pada orang

dewasa akan berdampak pada menurunnya produktivitas kerja dan derajat

kesehatan, sehingga menyebabkan rentan terhadap penyakit (Almatsier,

2009). Hasil survei awal diketahui status gizi pasien skizofrenia rawat jalan,

dari 30 pasien didapatkan 23% pasien yang memiliki status gizi kurang.

Status gizi adalah tanda-tanda atas penampilan fisiologis yang

diakibatkan oleh keseimbangan asupan gizi dan penggunaannya oleh

organisme (Gibson, 1990). Faktor-faktor yang mempengaruhi status gizi

dibagi menjadi dua yaitu secara langsung dan tidak langsung. Faktor yang

secara langsung mempengaruhi status gizi adalah penyakit infeksi dan

tingkat konsumsi, sedangkan faktor yang secara tidak langsung

mempengaruhi status gizi adalah tingkat pendidikan dan pengetahuan gizi

(Suharjo, 2003., Depkes, 2000).

Konsumsi makanan berpengaruh terhadap status gizi seseorang.

Kondisi status gizi baik dapat dicapai bila tubuh memperoleh cukup zat-zat

gizi yang akan digunakan secara efisien, sehingga memungkinkan terjadinya

pertumbuhan fisik, perkembangan otak, kemampuan kerja untuk mencapai

tingkat kesehatan optimal (Depkes RI, 2003 ).

Tingkat pendidikan juga mempunyai hubungan yang eksponensial

dengan tingkat kesehatan. Semakin tinggi tingkat pendidikan semakin

mudah menerima konsep hidup sehat secara mandiri, kreatif dan

berkesinambungan. Tingkat pendidikan itu sangat mempengaruhi

kemampuan penerimaan informasi gizi. Masyarakat dengan tingkat

pendidikan yang rendah akan lebih baik mempertahankan tradisi-tradisi yang

berhubungan dengan makanan, sehingga sulit menerima informasi baru


4

bidang gizi (Suhardjo,2003). Tingkat pendidikan ikut menentukan atau

mempengaruhi mudah tidaknya seseorang menerima suatu pengetahuan,

semakin tinggi pendidikan maka seseorang akan lebih mudah menerima

informasi - informasi gizi. Dengan pendidikan gizi tersebut diharapkan

tercipta pola kebiasaan makan yang baik dan sehat, sehingga dapat

mengetahui kandungan gizi, sanitasi dan pengetahuan yang terkait dengan

pola makan lainnya (Handayani, 1994).

Pengetahuan merupakan faktor yang sangat penting untuk

terbentuknya tindakan seseorang, perilaku yang didasari oleh pengetahuan

akan lebih langgeng dari pada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan

(Notoatmodjo, 2003). Hasil penelitian oleh Wulansih dan Widodo (2006)

menunjukkan pengetahuan keluarga tentang perawatan pasien skizofrenia

adalah sedang yaitu sebanyak 60% sedangkan sikap keluarga mengenai

perawatan pasien skizofrenia bersikap baik sebesar 88%.

Mengingat pentingnya peranan pendidikan dan pengetahuan gizi care

giver dalam menunjang kesembuhan pasien skizofrenia, maka peneliti

tertarik untuk meneliti lebih mendalam tentang ”Hubungan Antara Tingkat

Pendidikan Care Giver dan Tingkat Pengetahuan Gizi Care Giver dengan

Status Gizi Penderita Skizofrenia Rawat Jalan di RSJD Surakarta.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang penelitian, masalah yang akan dikaji

dalam penelitian adalah apakah ada hubungan antara tingkat pendidikan

dan tingkat pengetahuan gizi care giver dengan dengan status gizi penderita

skizofrenia rawat jalan di Rumah Sakit Jiwa Daerah Surakarta?


5

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Menganalisis hubungan antara tingkat pendidikan dan tingkat

pengetahuan gizi care giver dengan status gizi penderita skizofrenia

rawat jalan di Rumah Sakit Jiwa Daerah Surakarta.

2. Tujuan khusus

a. Mendeskripsikan tingkat pendidikan gizi care giver penderita

skizofrenia rawat jalan di Rumah Sakit Jiwa Daerah Surakarta.

b. Mendeskripsikan tingkat pengetahuan gizi care giver penderita

skizofrenia rawat jalan di Rumah Sakit Jiwa Daerah Surakarta.

c. Mengukur status gizi penderita skizofrenia rawat jalan di Rumah

Sakit Jiwa Daerah Surakarta.

d. Menganalisis hubungan antara tingkat pendidikan care giver dengan

status gizi penderita Skizofrenia rawat jalan di Rumah Sakit Jiwa

Daerah Surakarta.

e. Menganalisis hubungan tingkat pengetahuan gizi care giver dengan

status gizi penderita Skizofrenia rawat jalan di Rumah Sakit Jiwa

Surakarta.

D. Manfaat Penelitian

1. Bagi Instansi Kesehatan

a. Memberikan gambaran kepada petugas kesehatan khususnya

petugas gizi tentang status gizi penderita skizofrenia rawat jalan.

b. Dapat digunakan untuk mengambil tindakan perencanan pelayanan

gizi terhadap penderita skizofrenia yang mempunyai masalah gizi.


6

2. Bagi Masyarakat

Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan masukan bagi

keluarga penderita skizofrenia untuk memperbaiki status gizi penderita

Skizofrenia.

Anda mungkin juga menyukai