Anda di halaman 1dari 15

  6

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka

1. Ciplukan (Physalis angulata L.)

Berikut ini akan dijelaskan deskripsi dari ciplukan (Physalis angulata

L.) meliputi klasifikasi, nama daerah, habitat, daerah asal dan persebaran,

morfologi, jenis-jenis, kandungan kimia/nutrisi dan kegunaan ciplukan.

a. Klasifikasi

Menurut Backer dan Bakhuizen (1965) klasifikasi dari tumbuhan

ciplukan adalah sebagai berikut :

Divisi : Spermatophyta

Sub divisi : Angiospermae

Kelas : Dicotyledoneae

Ordo : Solanales

Familia : Solanaceae

Genus : Physalis

Spesies : Physalis angulata L.

b. Nama daerah

Cancer Chemoprevention Research Center (CCRC) Fakultas

Farmasi Universitas Gadjah Mada (UGM) (2009) menyebutkan bahwa di

Indonesia, Physalis angulata L. sering dikenal dengan nama ciplukan.


  7

Tumbuhan tersebut juga memiliki nama daerah di antaranya ceplukan

(Jawa), cecendet (Sunda), yor-yoran (Madura), lapinonat (Seram).

c. Habitat ciplukan

Ciplukan dapat tumbuh di darat dengan kondisi air yang cukup

tersedia dan tumbuh secara liar di kebun, tegalan, tempat-tempat

pembuangan sampah, tepi jalan, dan tepi hutan (Backer dan Bakhuizen,

1965), di tanah kosong, pekarangan, tempat-tempat yang tidak tergenang

(Dalimartha, 2006), dataran rendah, gurun dan hutan tropis (Sultana dkk.,

2008). Tumbuhan ini dapat tumbuh di daerah dengan ketinggian antara 1

sampai 1.550 meter di atas permukaan laut (m dpl) (Backer dan

Bakhuizen, 1965).

d. Daerah asal dan persebaran

Ciplukan merupakan tumbuhan asli Amerika yang terdistribusi

sangat luas di beberapa negara yang terletak di daerah subtropis dan tropis

(Guimarães dkk., 2009) termasuk Indonesia. Persebaran tumbuhan ini

dimungkinkan terjadi setelah masa akhir penjejakan Columbus di Amerika

(Rahayu, 2001). Tumbuhan ini banyak tersebar luas di daerah Jawa Barat,

Jawa Tengah dan Jawa Timur (Backer dan Bakhuizen, 1965).

e. Morfologi ciplukan

Ciplukan adalah tumbuhan herba annual (semusim) yang tumbuh

tegak dengan tinggi 0,3-1 m. Akar tunggang, bentuk bulat, memanjang;

batang bersudut di bagian ujung, warna hijau, permukaan berambut tipis

dan pendek; daun tunggal, berwarna hijau, panjang 5-15 cm, lebar 2,5-10,5
  8

cm, bulat telur sampai lanset, ujung runcing, tepi bergerigi, permukaan

atas dan bawah berambut halus, tangkai 2-11 cm; bunga tunggal, kelopak

berlekatan, jumlah daun kelopak 5, runcing, hijau; mahkota bunga

berbentuk lonceng, jumlah daun mahkota 5, panjang mahkota 8-23 mm,

berwarna kuning muda; benang sari lima, tangkai sari kuning, kepala sari

biru pucat; putik satu berwarna putih; buah buni, bulat, berwarna hijau

kekuningan bila masih muda, bila sudah tua berwarna kecoklatan, buah

ciplukan dilindungi kelopak tambahan (epicalyx), diameter buah 14-18

mm, kelopak buah hijau atau kuning; biji bulat, pipih, kecil, kuning

(Backer dan Bakhuizen, 1965; Gönen dkk., 2000; Pitojo, 2002; Sudarsono

dkk., 2002; Dalimartha, 2006). Morfologi ciplukan ditunjukkan oleh

Gambar 1.

A B C

D E

Gambar 1. Morfologi ciplukan: (A) Habitus; (B) Daun; (C) Bunga; (D) Buah
dengan epicalyx; (E) Buah tanpa epicalyx (Dokumentasi pribadi)

f. Jenis-jenis ciplukan

Ada 3 jenis ciplukan yang telah dikenal di Indonesia yaitu Physalis

angulata L., Physalis minima L., dan Physalis peruviana L. (Backer dan

Bakhuizen, 1965; Steenis, 2006).


  9

Jenis Physalis angulata L. lebih populer dan telah banyak diteliti di

Indonesia dibandingkan dengan dua jenis ciplukan yang lain, di antaranya

sebagai hepatoprotektor (Amalia, 2008), antidiabetes pada mencit

(Sutjiatmo dkk., 2011), dan obat tradisional bagi penderita diabetes

mellitus (Mulyati, 2010). Populasi jenis ini lebih banyak ditemukan

khususnya di Jawa Tengah (Backer dan Bakhuizen, 1965).

g. Kandungan kimia/nutrisi

Kandungan kimia dari daun ciplukan umumnya adalah glikosida

flavonoid (Sudarsono dkk., 2002). Flavonoid dapat digunakan sebagai

pelindung mukosa lambung, antioksidan, dan mengobati gangguan fungsi

hati (Robinson, 1995 dalam Amalia, 2008). Senyawa-senyawa aktif yang

terkandung dalam ciplukan antara lain saponin, flavonoid, polifenol,

fisalin A-I, fisagulin A-G, withangulatin A dan withanolid T. Komposisi

detail pada beberapa bagian tanaman, antara lain herba mengandung

fisalin B, Fisalin D, Fisalin F, Withangulatin A; pada akar terkandung

alkaloid; tunas mengandung flavonoid dan saponin sedangkan daunnya

mengandung glikosida flavonoid (luteolin); pada biji mengandung 12-25%

protein, 15-40% minyak dengan komponen utama asam palmitat dan asam

stearat (Rahayu, 2001; CCRC Farmasi UGM, 2009).

h. Kegunaan

CCRC Farmasi UGM (2009) menyatakan akar tumbuhan ciplukan

pada umumnya digunakan sebagai obat cacing dan demam. Daunnya

digunakan untuk penyembuhan tulang patah, busung air, bisul, borok,


  10

penguat jantung, keseleo, nyeri perut, dan kencing nanah. Buah ciplukan

sering dimakan dan digunakan untuk mengobati epilepsi, sulit kencing,

dan penyakit kuning. Herba ciplukan digunakan untuk mengatasi radang

saluran nafas, radang gusi, herpes, hepatitis akut dan disentri (Dalimartha,

2006).

Withanolid dan fisalin yang diisolasi dari tumbuhan ciplukan

menunjukkan aktivitas antitumor (Rahayu, 2001). Fisalin F dari ekstrak

ciplukan memiliki potensi sebagai antileishmania yang diujikan secara in

vivo dan in vitro pada mencit (Guimarães dkk., 2009).

2. Ciri morfologi

Morfologi tumbuhan merupakan ilmu yang mengkaji mengenai

bentuk dan susunan tubuh tumbuhan, menentukan fungsi masing-masing

bagian dalam kehidupan tumbuhan dan mengetahui dari mana asal bentuk

susunan tubuh (Tjitrosoepomo, 1998).

Pengamatan terhadap ciri morfologi dilakukan dengan kegiatan

deskripsi (pertelaan). Pertelaan berisi sifat-sifat beserta cirinya, yang sebagian

besar bersumber pada sifat-sifat morfologi tumbuhan. Sifat-sifat tersebut

kemudian digunakan untuk mendeterminasi suatu tumbuhan. Determinasi

tumbuhan dilakukan dengan mempelajari ciri morfologi tumbuhan seperti

posisi, bentuk, ukuran serta jumlah bagian-bagian daun, bunga, buah dan lain-

lainnya. Langkah yang dapat dilakukan adalah membandingkan atau

mempersamakan ciri-ciri tumbuhan tadi dengan tumbuhan lainnya yang


  11

sudah dikenal identitasnya atau dengan menggunakan ingatan, bantuan

spesimen acuan maupun pustaka (Rifai, 1976).

Penggunaan ciri morfologi dalam kegiatan identifikasi tanaman telah

banyak dilakukan untuk mengetahui keragaman maupun jauh dekatnya

hubungan kekerabatan antar jenis ataupun kultivar dalam rangka untuk

memperoleh bibit dengan kualitas unggul. Meskipun metode identifikasi

tanaman telah sampai pada tingkat molekuler, akan tetapi ciri morfologi

masih banyak digunakan (Suskendriyati dkk., 2000; Hadipoetyanti dan

Wahyuni, 2004; Purwantoro dkk., 2005; Hadipoetyanti dan Wahyuni, 2008).

Ciri morfologi menurut Rifai (1976) masih akan terus menjadi tumpuan

utama dalam praktek kegiatan identifikasi tanaman karena ciri lain seperti

anatomi, embriologi, sitologi, dan biokimia, tidak merata dan kurang lengkap

sehingga jika digunakan untuk menyusun suatu sistem hubungan kekerabatan

secara umum akan kurang efisien karena sukar mengoordinasikannya.

3. Bukti Serbuk Sari

Serbuk sari memiliki ciri yang khas untuk suatu spesies tumbuhan

tinggi. Ciri morfologi serbuk sari seperti ukuran, bentuk, struktur dinding dan

bagian dalam dari serbuk sari dapat menempatkan suatu tanaman dalam

kedudukan taksa yang tepat (Ahmad dkk., 2010). Ciri tersebut juga dapat

digunakan untuk membedakan antar spesies maupun kultivar suatu tanaman

baik pada tingkat individu ataupun populasi (Evrenosoğlu dan Misirli, 2009).
  12

Zafar dkk. (2007) menyebutkan bahwa palinologi berhubungan secara

langsung dengan bidang pertanian, kehutanan, dan kegiatan persilangan.

Variasi bukti serbuk sari seperti ukuran, ornamentasi dan apertura sangat

berguna dalam kegiatan pemuliaan tanaman hubungannya dengan ketahanan

serbuk sari terhadap lingkungan dan kecepatan perkecambahan pada saat

penyerbukan (Dajoz dkk. 1993; Afshari dkk., 2008).

Hesse dkk. (2009) menyebutkan bahwa sifat dan ciri morfologi serbuk

sari yang penting untuk identifikasi antara lain :

a. Polaritas dan Simetri

Polaritas merupakan kecenderungan bentuk serbuk sari

berdasarkan panjang aksis polar dan bidang ekuatorial. Aksis polar

merupakan garis yang menghubungkan dua kutub serbuk sari sedangkan

aksis ekuatorial adalah garis yang tegak lurus terhadap aksis polar. Aksis

ekuatorial tersebut membagi serbuk sari menjadi daerah proksimal dan

distal. Jika kedua daerah dibagi secara simetri disebut isopolar, sedangkan

jika pembagiannya tidak simetri disebut heteropolar (Hesse dkk., 2009).

Gambar 2 menunjukkan polaritas dan simetri serbuk sari.

Gambar 2. Polaritas dan simetri serbuk sari: (P) aksis polar (E) aksis
ekuatorial (Hesse dkk., 2009)
  13

b. Apertura

Apertura merupakan bagian dari dinding serbuk sari yang

berhubungan dengan proses perkecambahan. Serbuk sari yang tidak

memiliki apertura disebut inaperturat. Apertura dapat berbentuk sirkular

(bulat), memanjang dan/atau gabungan antara keduanya. Tipe apertura

ditentukan oleh bentuk dan posisi apertura tersebut pada serbuk sari.

Apertura dengan bentuk sirkular disebut porus jika pada posisi ekuatorial

dan disebut ulcus jika pada posisi distal. Apertura yang memanjang

disebut kolpus jika pada posisi ekuatorial dan disebut sulcus jika pada

posisi distal (Hesse dkk., 2009).

Hesse dkk. (2009) juga menyebutkan kombinasi dari porus dan

kolpus disebut kolporus. Apertura dengan bentuk elips dan tepi yang

kurang jelas disebut poroid. Beberapa serbuk sari dengan lebih dari tiga

apertura di bidang ekuator disebut stefanoaperturat (stefanoporat,

stefanokolpat, stefanokolporat). Serbuk sari dengan apertura menyebar

disebut pantoaperturat. Jenis-jenis apertura dapat dilihat pada gambar 3.

Gambar 3. Jenis-jenis apertura (Simpson, 2006)


  14

c. Ornamentasi dan Dinding Serbuk sari

Ornamentasi adalah struktur yang terdapat pada permukaan

dinding serbuk sari yang dapat digunakan sebagai ciri penting dalam

mendeskripsikan suatu serbuk sari. Jenis ornamentasi pada dinding serbuk

sari antara lain areolat, verukat, perforat, granulat, ekinat, psilat, dan

sebagainya. Ornamentasi pada dinding serbuk sari sering kali merupakan

kombinasi dari jenis-jenis tersebut (gambar 4). (Hesse dkk., 2009).

a b c

d e
Gambar 4. Jenis ornamentasi serbuk sari: (a) Areolat; (b) Verukat-granulat; (c)
verukat-perforat; (d) ekinat-perforat; (e) psilat (Hesse dkk., 2009)

Dinding serbuk sari terdiri dari dua lapisan yaitu eksin dan intin.

Eksin mengandung zat yang disebut sporopolenin yang tahan terhadap

kerusakan. Intin terdiri dari selulosa dan pektin. Biasanya dinding serbuk

sari di daerah apertura mengalami reduksi dari eksin dan terdiri dari dua

lapis intin. Eksin dibagi menjadi ekteksin yang terdiri dari lapisan basal,

infratektum serta tektum dan endeksin yang terdiri dari satu lapisan (Hesse

dkk., 2009). Gambar 5 berikut ini menunjukkan struktur dinding serbuk

sari.
  15

Gambar 5. Struktur dinding serbuk sari (Simpson, 2006)

d. Bentuk dan Ukuran Serbuk Sari

Bentuk serbuk sari ditentukan oleh rasio panjang aksis polar (P)

dan diameter ekuatorial (E) atau disingkat P/E. Serbuk sari dengan ukuran

aksis polar dan diameter ekuatorial sama panjang disebut sferoidal atau

isodiametris. Bentuk prolat apabila aksis polar lebih panjang dari diameter

ekuatorial sedangkan bila diameter ekuatorial lebih panjang dari aksis

polar disebut oblat (Hesse dkk., 2009). Gambar 6 berikut menunjukkan

bentuk dan ukuran serbuk sari.

Gambar 6. Bentuk dan ukuran serbuk sari berdasarkan indeks P/E (Simpson,
2006)
  16

Bentuk serbuk sari berdasarkan indeks P/E dibagi menjadi 7

kelompok yaitu perprolat (P/E >2,00); prolat (P/E 1,3-2,00); subprolat

(P/E 1,14-1,33); sferoidal dibagi menjadi 3 yaitu sferoid (P/E 1,00), prolat

sferiodal (1,01-1,14) dan oblat sferoidal (P/E 0,88-0,99); suboblat (P/E

0,75-0,88); oblat (P/E 0,50-0,75) dan peroblat (P/E < 0,50) (Erdtman,

1952).

Ukuran serbuk bervariasi mulai dari <10 μm. Ukuran dapat disebut

sangat kecil (<10 μm), kecil (10–25 μm), medium (26–50 μm), besar (51–

100 μm) dan sangat besar (>100 μm) (Hesse dkk., 2009).

4. Pola Pita Isozim

Isozim merupakan kelompok enzim yang terdiri dari molekul-molekul

aktif yang memiliki struktur kimia yang berbeda tetapi mengkatalisis reaksi

kimia yang sama (Salisbury dan Ross, 1995).

Isozim yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi tanaman antara

lain esterase dan peroksidase. Esterase (EST) berada di sitosol, merupakan

enzim hidrolitik yang berfungsi melakukan pemotongan ester sederhana pada

asam organik, asam anorganik, dan fenol serta mempunyai berat molekul

yang rendah dan mudah larut. Peroksidase (PER) terdapat di dinding sel dan

merupakan anggota enzim oksidoreduktase (Cahyarini dkk., 2004; Șișecioǧlu

dkk., 2010) yang berperan dalam proses lignifikasi dan mekanisme

pertahanan terhadap kerusakan fisik pada tanaman (Diao dkk., 2011).


  17

Isozim dapat dipisahkan menggunakan alat yang disebut

elektroforesis. Prinsip dasar elektroforesis yaitu bahwa setiap enzim atau

protein suatu tumbuhan mempunyai muatan dan berat molekul yang berbeda

sehingga kecepatan bergerak pada media gel juga berbeda yang akan

menghasilkan pola pita (Sudarmono, 2006). Pola pita tersebut dianalisis

melalui pewarnaan. Warna yang muncul adalah hasil dari reaksi enzimatik

dari substrat dengan protein yang diamati (Cahyarini dkk., 2004).

Warna yang muncul pada pola pita esterase disebabkan karena adanya

reaksi antara senyawa ester yang terhidrolisis dengan garam diazonium

sedangkan warna yang muncul pada pola pita peroksidase disebabkan karena

adanya senyawa 3-amino-9 etil karbazole yang dioksidasi oleh oksigen hasil

reduksi peroksidase terhadap senyawa dihidrogen peroksida (H2O2)

(Manchenko, 2003).

Isozim dapat dipisahkan dengan metode elektroforesis pada gel pati

maupun gel poliakrilamid. Gel poliakrilamid merupakan medium yang dipilih

dalam mengelektroforesis sebagian besar protein. Gel tersebut memiliki

keuntungan antara lain stabil pada kisaran pH, suhu, dan arus listrik tertentu

serta jernih sehingga memudahkan dalam pengamatan (Hames dan

Rickwood, 1990). Hasil dari elektroforesis berupa zimogram pola pita yang

diperoleh setelah dilakukan pewarnaan. Zimogram hasil elektroforesis

bercorak khas sehingga dapat digunakan sebagai ciri untuk mencerminkan

perbedaan genetik (Indriani dkk., 2008).


  18

Isozim sebagai penanda molekuler sering digunakan untuk

mengetahui keragaman genetik tumbuhan, di antaranya gandum (Al-Jibouri

dkk., 1992), Ranunculus triplodontus (Suranto, 2000), nanas (Hadiati dan

Sukmadjaja, 2002; Hadiati dkk., 2002), jarak pagar (Yunus, 2007), kapas

(Sulistyowati dkk., 2009), Sansevieria trifasciata (Dewatisari, 2010), dan

kedelai (Cahyarini dkk., 2004; Valentini dkk., 2011).

5. Hubungan Kekerabatan

Kekerabatan dalam sistematika tumbuhan dapat diartikan sebagai pola

hubungan atau total kesamaan antara kelompok tumbuhan berdasarkan sifat

atau ciri tertentu dari masing-masing kelompok tumbuhan tersebut.

Berdasarkan jenis data yang digunakan untuk menentukan jauh dekatnya

kekerabatan antara dua kelompok tumbuhan, maka kekerabatan dapat

dibedakan atas kekerabatan fenetik dan kekerabatan filogenetik (Arrijani,

2003).

Kekerabatan fenetik didasarkan pada persamaan sifat-sifat yang

dimiliki masing-masing kelompok tumbuhan tanpa memperhatikan sejarah

keturunannya, sedangkan kekerabatan filogenetik didasarkan pada asumsi-

asumsi evolusi sebagai acuan utama. Kekerabatan fenetik lebih sering

digunakan dari pada kekerabatan filogenetik dalam praktek penentuan

hubungan kekerabatan. Hal tersebut disebabkan karena adanya kesulitan

untuk menemukan bukti-bukti evolusi pendukung sebagai penunjang dalam


  19

menerapkan klasifikasi secara filogenetik (Stuessy, 1990; Davis dan

Heywood, 1973 dalam Arrijani, 2003).

Keragaman suatu individu atau populasi menyebabkan tiap individu

atau populasi tersebut dapat dilihat hubungan kekerabatannya. Semakin

banyak persamaan ciri-ciri yang dimiliki semakin dekat hubungan

kekerabatannya. Sebaliknya, semakin sedikit persamaan ciri-ciri yang

dimiliki maka akan semakin jauh hubungan kekerabatannya (Sofro, 1994).

Penentuan parental dalam kegiatan persilangan merupakan aspek

yang perlu diperhatikan untuk merakit varietas unggul. Dalam penentuan

parental hibridisasi atau persilangan, diperlukan informasi mengenai

hubungan kekerabatan. Semakin jauh kekerabatan antar tetua, maka peluang

dihasilkan kultivar baru akan menjadi besar. Sebaliknya, hibridisasi antar

tetua yang berkerabat dekat mengakibatkan rendahnya variabilitas genetik

(Stansfield, 1983 dalam Hadiati dkk., 2002).

B. Kerangka Pemikiran

Ciplukan merupakan salah satu tumbuhan liar yang dapat dimanfaatkan

sebagai bahan untuk produksi obat. Hal ini menyebabkan perlunya studi mengenai

keragaman populasi ciplukan terutama pada variasi ciri morfologi, bukti serbuk

sari dan pola pita isozim khususnya di wilayah eks-karesidenan Surakarta. Dengan

demikian pemanfaatan ciplukan dapat dioptimalkan menjadi tanaman budidaya

dan menjadi dasar pemuliaan ciplukan untuk mendapatkan sifat-sifat unggul

dalam pemenuhan kebutuhan bahan baku obat herbal dan peningkatan


  20

kesejahteraan manusia. Informasi awal mengenai variasi ciri morfologi, bukti

serbuk sari, dan pola pita isozim ciplukan juga dapat dijadikan sebagai referensi

dalam mempelajari ilmu taksonomi. Kerangka pemikiran penelitian disajikan pada

gambar 7 berikut ini.

Potensi ciplukan sebagai tanaman obat

Eksplorasi dan penelitian terhadap ciplukan

Koleksi sampel di wilayah eks-karesidenan Surakarta

Studi ciri morfologi Studi bukti serbuk Studi Pola pita


sari isozim

Isozim Esterase Isozim


Peroksidase

Variasi ciri morfologi Variasi bukti serbuk Variasi pola pita isozim
sari

Analisis hubungan kekerabatan

Dasar pemuliaan tanaman

Pemenuhan kebutuhan Referensi ilmu


bahan baku obat taksonomi

Gambar 7. Bagan alir kerangka pemikiran

Anda mungkin juga menyukai