Anda di halaman 1dari 23

ASITES

PENDAHULUAN

Asites adalah peningkatan jumlah cairan intra peritoneal. Penyebab asites terbanyak adalah
gangguan hati kronis tetapi dapat pula disebabkan penyakit lain.

PATOGENESIS

Asites dapat terjadi melalui beberapa mekanisme, diantaranya :

 Peningkatan tekanan hidrostatik : Sirosis, oklusi vena hepatika (sindrom


Budd-Chiari),obstruksi vena cava inferior, perikarditis konstriktif,
penyakit jantung kongestif.
 Penurunan tekanan osmotik koloid : Penyakit hati stadium lanjut dengan
gangguan sintesis protein, sindrom nefrotik, malnutrisi, protein lossing
enteropathy
 Peningkatan permeabilitas kapiler peritoneal : Peritonitis TB,
peritonitis bakteri, penyakit keganasan pada peritonium.
 Kebocoran cairan di cavum peritoneal:Bile ascites, pancreatic ascites
(secondary to a leaking pseudocyst), chylous ascites, urine ascites.
 Micellanous : Myxedema, ovarian disease (Meigs' syndrome), chronic
hemodialysis

GEJALA KLINIS

Derajat  Asites dapat ditentukan secara semikuantitatif sebagai berikut :

 Tingkatan 1  : bila terdeteksi dengan pemeriksaan fisik yang sangat teliti.


 Tingkatan 2 : mudah diketahui dengan pemeriksaan fisik biasa tetapi dalam jumlah cairan
yang minimal.
 Tingkatan 3 :  dapat dilihat tanpa pemeriksaan fisik khusus akan tetapi permukaan
abdomen  tidak tegang.
 Tingkatan 4 : asites permagna.

DIAGNOSIS

Pemeriksaan fisik :

 Distensi abdomen
 Bulging flanks
 Timpani pada puncak asites
 Fluid wave
 Shifting dulness
 Puddle sign

Foto thorax  dan  foto polos abdomen (BOF)


 Elevasi diaphragma, pada 80% pasien dengan asites, tepi lateral hepar terdorong ke sisi
medial dinding abdomen (Hellmer sign). Terdapat akumulasi cairan dalam rongga
rectovesical dan menyebar pada fossa paravesikal, menghasilkan densitas yang sama
pada kedua sisi kandung kemih. Gambaran ini disebut ”dog’s ear” atau  “Mickey
Mouse” appearance. Caecum dan colon ascenden tampak terletak lebih ke medial dan 
properitoneal fat line terdorong lebih ke lateral merupakan gambaran yang tampak pada
lebih dari 90% pasien dengan asites.

Ultrasonografi

 Volume cairan asites kurang dari 5-10 mL dapat terdeteksi.


 Dapat membedakan penyebab asites oleh karena infeksi, inflamasi atau keganasan.

CT scan

 Asites minimal dapat diketahui dengan jelas pada pemeriksaan CT scan. Cairan asites
dalam jumlah sedikit akan terkumpul di ruang perihepatik sebelah kanan. Ruang
subhepatic bagian posterior (kantung Morison), dan kantung Douglas.

Parasentesis abdomen

Analisis cairan asites dilakukan pada onset awal asites, tindakan tersebut memerlukan rawat inap
untuk observasi.

Analisis cairan asites :


1. Perbedaan kadar albumin serum-asites  (SAAG)
2. Kadar amilase, meningkat pada asites gangguan pankreas.
3. Kadar trigliserida meningkat pada chylous asites.
4. Lekosit lebih dari 350/mikroliter merupakan tanda infeksi. Dominasi polimorfonuklear,
kemungkinan infeksi bakteri. Dominasi mononuklear, kemungkinan infeksi tuberkulosis
atau jamur.
5. Eritrosit lebih dari 50.000/mikroliter menimbulkan dugaan malignancy, tuberkulosis atau
trauma.
6. Pengecatan gram dan pembiakan untuk konfirmasi infeksi bakterial.
7. Apabila pH < 7: tanda suatu infeksi bakterial.
8. Pemeriksaan sitologis pada keganasan.
SAAG(perbedaan kadar albumin serum-kadar albumin asites) berhubungan langsung dengan
tekanan portal: bila lebih besar atau sebesar 1.1 g/dl, hipertensi portal (transudative ascites);
SAAG kurang dari 1.1 g/dl bukan hipertensi portal (exudative ascites).

DIAGNOSA BANDING

Tipe asites sesuai dengan SAAG


Tinggi ( > or = 1.1 g/dl) Rendah ( < 1.1 g/dl)
Sirosis  Hepatitis alkohol  Gagal jantung Tumor peritonium  Asites pankreas  Asites bilier
  TBC peritonium
  Gagal hati fulminan
  Sindrom nefrotik
  Trombosis vena porta
  Obstruksi usus

TERAPI

Penanganan asites tergantung dari penyebabnya, diuretik dan diet rendah garam sangat efektif
pada asites karena hipertensi portal. Pada asites karena inflamasi atau keganasan tidak memberi
hasil. Restriksi cairan diperlukan bila kadar natrium turun hingga < 120 mmol perliter.

Obat
Kombinasi spironolakton dan furosemid sangat efektif untuk mengatasi asites dalam waktu
singkat. Dosis awal untuk spironolakton adalah 1-3 mg/kg/24 jam dibagi 2-4 dosis  dan
furosemid sebesar 1-2 mg/kgBB/dosis 4 kali/hari, dapat ditingkatkan sampai 6 mg/kgBB/dosis.
Pada asites yang tidak  memberi respon dengan pengobatan diatas dapat dilakukan cara berikut :
1. Parasentesis
2. Peritoneovenous shunt LeVeen atau Denver
3. Ultrafiltrasi ekstrakorporal dari cairan asites dengan reinfus
Paracentesis
Pengambilan cairan untuk mengurangi asites masif yang aman untuk anak adalah sebesar 50
cc/kg berat badan. Disarankan pemberian 10 g albumin intravena untuk tiap 1 liter cairan yang
diaspirasi untuk mencegah penurunan volume plasma dan gangguan keseimbangan elektrolit.

Monitoring

Rawat inap diperlukan untuk memantau peningkatan berat badan serta pemasukan dan
pengeluaran cairan. Pemantauan keseimbangan natrium dapat diperkirakan dengan monitoring
pemasukan (diet, kadar natrium dalam obat dan cairan infus) dan produksi urin. Keseimbangan
Na negatif adalah prediktor dari penurunan berat badan. Keberhasilan manajemen pasien dengan
asites tanpa edema perifer adalah keseimbangan Na negatif dengan penurunan berat badan
sebesar 0,5 kg per hari.
Asites (Cairan Dalam Rongga Perut)

Asites adalah penumpukan cairan dalam rongga perut. Cairan itu terjadi karena berbagai penyakit kronik
yang mendasarinya. Penyakit kronik yang paling sering adalah penurunan fungsi liver yang kronik (sirosis
hati). Penyakit lain yang dapat menimbulkan asites ini adalah penyakit yang menyebabkan kadar protein
albumin turun dari dalam darah, gagal jantung, kuman tuberkulosa dalam rongga perut,kanker yang
menyebar ke dalam rongga perut.
Keluahan yang dirasakan pada penderita dengan asites ini sangat bergantung pada jumlah ciran
asitesnya, bila masih sedikit tidak ada keluhan, tetapi bila sudah dalam jumlah banyak mulai timbul
keluhan yakni rasa perut berat, sesak dan tegang permukaan perut.
Pemeriksaan yang dilakukan untuk mendeteksi adanya asites ini cukup sederhana yakni dengan
pemeriksaan fisik tangan seorang dokter biasanya sudah ketahuan, bila asitesnya sangat sedikit dengan
bantuan alat USG baru terdeteksi.
Pengobatan asites ini adalah dengan cara dikeluarkan cairan tersebut sekaligus dilakukan analisa cairan
asites untuk mendeteksi sel, kultur kuman dan analisa kimia (kadar protein-nya). Cara mengeluarkan
cairan asites adalah dengan pungsi (dialirkan cairan dari dalam perut dengan bantuan jarum suntik).
Pengobatan definitif adalah dengan mengobati penyakit yang mendasari terjadinya asites.

Terapi Albumin pada Asites Refraktori


GERAI - Edisi September 2006 (Vol.6 No.2)

Pemberian albumin pada tindakan paracentesis meningkatkan respon terhadap pemberian


diuretika pada pasien asites refraktori.
 
Asites adalah satu kondisi dimana terdapat akumulasi cairan berlebih yang mengisi rongga
peritoneal. Diperkirakan sekitar 85 % pasien asitesadalah pasien sirosis hati atau karena penyakit
hati lainnya yang parah. “Hampir 60 % pasien sirosis hati akan menjadi asitesdalam masa 10
tahun,” jelas Prof. Dr. H.M. Sjaifoellah Noer SpPD-KGEH dari divisi Hepatologi, Departemen
Penyakit Dalam FKUI, Jakarta dalam Liver Up Date 2006 di Hotel Borobudur Jakarta, 28-30 Juli
lalu.  Namun, sekitar 15 % pasien asitestidak disebabkan oleh gangguan fungsi hati retensi
cairan. Asitesyang terjadi dapat berupa asitestransudatif atau eksudatif.
 
Asites pada sirosis merupakan prognosis yang buruk karena menyebabkan kematian sebesar 50
% dalam waktu tiga tahun jika tanpa transplantasi liver. Dari prevalensi ascites, 10 % nya adalah
asites refraktori yang umumnya diterapi dengan pemberian diuretika. “Asitesdikategorikan
refraktori bila tidak bisa dimobilisasi atau dicegah dengan terapi medis. Gejala umum pada asites
refraktori adalah asites mengalami kekambuhan sesudah tindakan paracentesis, meningkatnya
risiko sindroma hepatorenal, dan prognosis yang buruk,” tambahnya lagi.
 
Dalam melakukan terapi pada asites refraktori perlu diperhatikan mengenai durasi pengobatan,
respon yang lambat, kekambuhan asitesyang cepat, serta komplikasi yang dipicu oleh pemberian
diuretika. Pilihan terapi untuk asites refraktoriadalah, terapi paracentesis, TIPS (transjugular
intrahepatic portosystemic shunting), peritoneovenus shunts, dan transplantasi hati.
 
Terapi paracentesis merupakan pengobatan lini pertama untuk asites refraktori karena
penerimaannya yang luas di kalangan medis. Prosedur ini merupakan pengulangan pemberian
large volume paracentesis (LVP) ditambah albumin. Pemberian LVP 5 L/hari dengan infus
albumin (6-8 g/l ascites yang dibuang) lebih efetif mengeliminasi asites dan menghasilkan
komplikasi yang minimal jika dibandingkan dengan terapi diuretika.
 
Kombinasi paracentesis dengan infus albumin ini juga menyingkat masa perawatan di rumah
sakit. Tindakan paracentesis dapat dilakukan tiap 2 hingga 4 pekan tanpa keharusan opname.
Namun tindakan ini tidak berarti menghilangkan kebutuhan akan diuretic (spironolakton atau
furosemida), karena kekambuhan asites bisa ditunda pada pasien yang menerima diuretik
pascaparacentesis. Hipovolemia pascaparacentesis efektif bisa dicegah dengan pemberian
albumin dibandingkan pemberian plasma sintetik ekspander.  
 
Sesudah paracentesis, pasien harus melakukan diet sodium rendah (70-90 mmol/hari). Pasien
yang menerima diuretika dosis tinggi harus mengecek kadar sodium pada urine, jika kurang dari
30 mEq/hari maka pemberian diuretika harus dihentikan. Komplikasi pada asites refraktori yang
tidak diintervensi dengan pengobatan akan berkembang menjadi infeksi SBP (spontaneous
bacterial peritonitis), sindrom hepatorenal, hepatic encephalopathy, dan kerusakan fungsi
sirkulasi.                              
 
“Kondisi hipoalbuminemia kerap dijumpai pada sirosis hati. Hal ini disebabkan oleh  penurunan 
mekanisme sintesa karena disfungsi liver atau diet protein rendah, peningkatan katabolisme
albumin, serta adanya asites. Albumin sendiri disintesa secara lengkap pada organ hati,”lanjut
Prof. H.M Sjaifoellah.
 
Indikasi terapi albumin pada sirosis hati adalah adanya asites, sindrom hepatorenal, adanya SBP,
dan kadar albumin di bawah 2,5 g%. Penggunaan albumin dimaksudkan untuk memelihara
colloid oncotic pressure (COP), mengikat dan menyalurkan obat, dan sebagai penangkap radikal
bebas. Albumin juga memiliki efek antikoagulan, efek prokoagulatori, efek permeabilitas
vaskular, serta ekspansi volume plasma.

Asites
Patofisiologi asites

Asites adalah penimbunan cairan yang abnormal di rongga peritoneum. Asites dapat disebabkan
oleh berbagai penyakit, namun yang terutama adalah sirosis hati dan hipertensi porta.
Patofisiologi asites belum sepenuhnya dipahami dan diduga melibatkan beberapa mekanisme
sekaligus. Teori yang diterima saat ini ialah teori vasodilatasi perifer.

Sirosis (pembentukan jaringan parut) di hati akan menyebabkan vasokonstriksi dan fibrotisasi
sinusoid. Akibatnya terjadi peningkatan resistensi sistem porta yang berujung kepada hipertensi
porta. Hipertensi porta ini dibarengi dengan vasodilatasi splanchnic bed (pembuluh darah
splanknik) akibat adanya vasodilator endogen (seperti NO, calcitone gene related peptide,
endotelin dll). Dengan adanya vasodilatasi splanchnic bed tersebut, maka akan menyebabkan
peningkatan aliran darah yang justru akan membuat hipertensi porta menjadi semakin menetap. 
Hipertensi porta tersebut akan meningkatkan tekanan transudasi terutama di daerah sinusoid dan
kapiler usus. Transudat akan terkumpul di rongga peritoneum dan selanjutnya menyebabkan
asites.

Selain menyebabkan vasodilatasi splanchnic bed, vasodilator endogen juga akan mempengaruhi
sirkulasi arterial sistemik sehingga terjadi vasodilatasi perifer dan penurunan volume efektif
darah (underfilling relatif) arteri. Sebagai respons terhadap perubahan ini, tubuh akan
meningkatkan aktivitas sistem saraf simpatik dan sumbu sistem renin-angiotensin-aldosteron
serta arginin vasopressin. Semuanya itu akan meningkatkan reabsorbsi/penarikan garam (Na)
dari ginjal dan diikuti dengan reabsorpsi air (H20) sehingga menyebabkan semakin banyak cairan
yang terkumpul di rongga tubuh.
Penyakit yang mendasari asites

Asites dapat terjadi pada peritoneum yang normal atau peritoneum yang mengalami kelainan
patologis. Jika peritoneum normal (tidak ada kelainan), maka penyebab asites adalah hipertensi
porta dan hipoalbuminemia. Sedangkan pada peritoneum yang mengalami kelainan patologis,
penyebab asites antara lain infeksi (peritonitis bakterial/TBC/fungal, peritonitis terkait HIV dll),
keganasan/karsinoma peritoneal dll.

Diagnosa asites

Dalam menegakkan suatu diagnosa selalu meliputi tiga hal yaitu anamnesis, pemeriksaan fisik,
serta pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis dapat digali hal-hal sebagai berikut:

-          Pasien mengeluh adanya pertambahan ukuran lingkar perut

-          Konsumsi alkohol, adanya riwayat hepatitis, penggunaan obat intravena, lahir/hidup di
lingkungan endemik hepatitis, riwayat keluarga, dll

-          Obesitas, hiperkolesterolemia, diabetes melitus tipe 2, atau penyakit-penyakit yang dapat
berkembang menjadi sirosis dll.

Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan hal-hal sebagai berikut:

-          Adanya kelainan/gangguan di hati dapat dilihat dari jaundice, eritema palmaris atau spider
angioma

-          Adanya hepatosplenomegali pada saat dipalpasi

-          Shifting dullnes, pudle sign

-          Peningkatan tekanan vena jugularis, dll.

Pada pemeriksaan penunjang, dapat digunakan metode pencitraan (USG) atau parasentesis
(pengambilan cairan). Apabila dilakukan parasentesis, selain dapat mendiagnosa adanya asites,
juga bermanfaat untuk melihat penyebab asites. Pada cairan yang diambil tersebut dapat
dilakukan pemeriksaan sbb:

-          Gambaran makroskopik: cairan yang hemoragik dihubungkan dengan keganasan,  warna
kemerahan dapat dijumpai pada ruptur kapiler peritoneum dll.

-          Gradien nilai albumin serum dan asites: gradien tinggi (>1.1 gr/dl) terdapat pada
hipertensi porta pada asites transudat, dan sebaliknya pada asites eksudat. Konsentrasi protein
yang tinggi (>3 gr/dl) menunjukkan asites eksudat, sebaliknya (<3 gr/dl) menunjukkan asites
transudat.

-          Hitung sel: peningkatan jumlah lekosit menunjukkan adanya inflamasi. Untuk menilai
asal infeksi dapat digunakan hitung jenis sel.

-          Biakan kuman dan pemeriksaan sitologi.

Tatalaksana asites
Dalam menatalaksana asites transudat (akibat hipertensi porta) terdapat beberapa hal yang dapat
dilakukan yaitu:

-          Tirah baring untuk memperbaiki efektifitas diuretika. Tirah baring akan menyebabkan
aktivitas simpatis dan sistem renin-angiotensin-aldosteron menurun. Pada tirah baring, pasien
tidur telentang dengan kaki sedikit diangkat selama beberapa jam setelah minum diuretika

-          Diet rendah garam ringan sampai sedang untuk membantu diuresis.

-          Pemberian diuretika yang bekerja sebagai antialdosteron, misalnya spironolakton. Dengan
pemberian diuretika diharapkan berat badan dapat turun 400-800 gr/hari.

-          Terapi parasentesis, yaitu mengeluarkan cairan asites secara mekanis. Untuk setiap liter
cairan asites yang dikeluarkan sebaiknya diikuti dengan substitusi albumin sebanyak 6-8 gram.

-          Pengobatan terhadap penyakit yang mendasari terjadinya asites seperti penyakit hati dll

Komplikasi

Asites yang jika tidak dikelola dengan baik dapat berdampak komplikasi yaitu peritonitis
(mengancam nyawa), sindrom hepatorenal (vasokonstriksi renal akibat aktivitas penarikan garam
dan cairan dari ginjal), malnutrisi, hepatik-ensefalopati, serta komplikasi lain yang dikaitkan
dengan penyakit penyebab asites.

14 Januari 2009
SIROSIS HEPATIS
OLEH : ERFANDI

A. PENGERTIAN
Sirosis Hepatis adalah penyakit yang ditandai oleh adanya peradangan difus dan menahun pada hati,
di ikuti dengan proliferasi jaringan ikat, degenerasi dan regenerasi sel-sel hati, sehingga timbul
kekacauan dalam susunan parenkim hati
(Mansjoer Arief, 1999).
Sirosis Hepatis adalah suatu penyakit hati dimana sirkulasi mikro, anatomi pembuluh darah besar dan
seluruh sistem arsitektur hati mengalami perubahan, menjadi tidak teratur dan terjadinya pertambahan
jaringan (fibrosis) di sekitar parenkim hati yang mengalami regenerasi (Soeparman, 1987)

B. ETIOLOGI
Penyebab sirosis hati biasanya tidak dapat diketahui hanya berdasarkan pada klasifikasi morfologis hati
yang mengalami sirosis. Dua penyebab yang sampai saat sekarang masih dianggap paling sering
menyebabkan sirosis ialah hepatitis virus dan alkoholisme. Penyebab lain sirosis hati akan disebutkan
secara singkat pada bab klasifikasi

C. KLASIFIKASI ETIOLOGIS
1. Sirosis yang diakibatkan penyakit genetik
Dapat disebutkan disini misalnya galaktosemia, penyakit glycogen storage, defisiensi alfa-1 antitripsin,
penyakit hemokromatosis, dan lain-lain.
2. Sirosis karena bahan kimia
Kerusakan karena bahan kimia ada 2 macam :
1) kerusakan yang hampir pasti terjadi oleh suatu macam obat, dose dependent.
2) Kerusakan yang tidak dapat di duga sebelumnya, not-dose dependent.
3. Sirosis alkoholik
Secara morfologis, sirosis alkoholik ini bisa mikronodular, makronodular atau campuran
4. Sirosis karena infeksi
Disebabkan oleh hepatitis virus B atau NANB.
Morfologis bisa berupa mikronodular, makronodular atau incomplete septal
5. Sirosis karena gangguan nutrisi
Secara morfologis tidak dapat dibedakan dengan sirosis karena alkohol
6. Sirosis bilier sekunder
Diakibatkan oleh ikterus obstruktif
7. Sirosis kongestif
Pada penyakit jantung yang disertai bendungan
8. Sirosis kriptogenik
Etiologi sirosis tidak dapat ditentukan. Sering disertai manifestasi autoimun, seperti demam, artralgi,
kemerahan pada kulit, gejala ginjal dan lain-lain. Gambaran morfologis bisa mikronodular, makronodular
atau campuran
9. Sirosis bilier primer
Penyebab tidak diketahui
10. Sirosis Indian Childhood
Ditemukan pada anak-anak di India
11. Sirosis sarkoid (granulomatosis)
Penyebab tidak diketahui
D. PATOGENESIS
1. Proses Sirosis Hepatis Karena Virus
Mekanisme terjadinya proses yang berlangsung terus, mulai dari hepatitis virus menjadi sirosi hati
belum jelas. Ada 2 kemungkinan patogenesis, yaitu : (1) mekanis, (2) imunologis atau (3) kombinasi
keduanya. Pada setiap teori, yang penting harus terjadi proses aktivasi fibroblas dan pembentukan
komponen jaringan ikat.

a. Teori Mekanis
Teori mekanis menerangkan proses kelanjutan hepatitis virus menjadi sirosis hati dengan
mengemukakan bahwa pada daerah dimana terjadi nekrosis confluent, maka kerangka retikulum lobul
yang mengalami collaps akan berlaku sebagai kerangka untuk terjadinya daerah parut yang luas. Dengan
perkataan lain, proses kolagenesis kerangka retikulum fibrosis hati diduga merupakan dasar proses
sirosis. Dalam kerangka jaringan ikat ini, bagian parenkim hati yang bertahan hidup, berkembang
menjadi nodul regenerasi. Istilah yang dipakai untuk sirosis hati jenis ini ialah jenis pasca nekrotik. Istilah
ini menunjukkan bahwa nekrosis sel hati yang terjadi merupakan penyebab sirosis.
Thaler menegaskan bahwa dalam patogenesis sirosis pasca hepatitis memperlihatkan bahwa regenerasi
parenkim hati sesudah serangan hepatitis virus dan kelangsungan hidup hepatosit sekitar hepatic venule
merupakan hal yang sangat esensial. Jika hepatosit di daerah tersebut mengalami kerusakan, maka
daerah ini akan menjadi terpecah-pecah (fragmented), sehingga terjadi kerusakan yang sifatnya
confluent dan akhirnya pseudolobulasi berkembang.

b. Teori Imunologis
Walaupun hepatitis akut dengan nekrosis confluent dapat berkembang menjadi sirosis hati, namun
nampaknya proses tersebut harus melalui tingkat hepatitis kronik (agresif terlebih dahulu). Kelompok
hepatitis kronik dibagi menjadi 2 kelompok yaitu kronik persisten dan kronik aktif. Kelompok yaitu
kronik persisten pada umumnya akan membaik. Sebaliknya sebagian penderita hepatitis kronik agresif,
akan berkembang menjadi fibrosis dan kemudian sirosis. Tanda yang kira-kira dapat dipakai ialah jika
pada biopsi hati ditemukan tanda-tanda nekrosis bridging. Mekanisme imunologis agaknya mempunyai
peranan penting dalam hepatitis kronik. Ada 2 bentuk hepatitis kronik : 1) Hepatitis kronik tipe B, 2)
Hepatitis kronik autoimun atau tipe NANB.
Proses respon imunologis pada sejumlah kasus tidak cukup untuk menyingkirkan virus atau hepatosit
yang terinfeksi, dan sel yang mengandung virus ini merupakan rangsangan untuk terjadinya proses
imunologis yang berlangsung terus sampai terjadi kerusakan sel hati. Dari kasus-kasus yang dapat
dilakukan biopsi hati berulang-ulang pada penderita hepatitis kronik aktif ternyata bahwa proses
perjalanan hepatitis kronis bisa berlangsung sangat lama, bisa lebih dari 10 tahun.

2. Proses Sirosis Hepatis Karena Alkohol


Sirosis alkohol juga, disebut “Sirosis Laennec“, terjadi setelah penyalahgunaan alkohol bertahun-tahun.
Produk akhir pencernaan yang dihasilkan dihati pada seorang pecandu alkohol, bersifat toksik terhadap
hepatosit. Nutrisi yang buruk, yang sering dijumpai pada pecandu alkohol, juga berperan menyebabkan
kerusakan hati, mungkin dengan merangsang hati secara berlebihan untuk melakukan Glokuneogenesis
atau metabolisme protein. Sirosis alkohol ini memiliki 3 stadium, yaitu :
• PENYAKIT PERLEMAKAN HATI adalah stadium pertama. Kelainan ini bersifat reversibel dan ditandai
oleh penimbunan Trigliserida di hepatosit. Alkohol dapat menyebabkan penimbunan Trigliserida di hati
dengan bekerja sebagai bahan bakar untuk pembentukan energi sehingga asam lemak tidak lagi
diperlukan. Produk-produk akhir alkohol, terutama Asetaldehida, juga mengganggu fosfolarisasi
oksidatif asam-asam lemak oleh mitokondria hepatosit, sehingga asam-asam lemak tersebut
terperangkap di dalam hepatosit. Infiltrasi oleh lemak bersifat refersibel apabila ingesti alkohol
dihentikan.

• HEPATITIS ALKOHOL adalah stadium kedua sirosis alkohol. Hepatitis adalah peradangan sel-sel hati.
Pada para pecandu alkohol, peradangan sebagian sel dan nekrosis yang diakibatkannya biasanya timbul
setelah minum alkohol dalam jumlah besar, (kemungkinan timbulnya hepatitis alkoholik kecil sekali pada
penderita yang minum kurang dari 60 gram etanol sehari (6 oz whisky atau ¾ liter anggur) atau jika
etanol kuarang dari 20% kalori per hari). Lebih dari 80% kasus dengan hepatitis alkoholik terjadi setelah
minum alkohol selama 5 tahun lebih sebelum timbul gejala dan keluhan.
Kerusakan hepatosit mungkin disebabkan oleh toksisitas produk-produk akhir metabolisme alkohol,
terutama asetaldehida dan ion hidrogen. Stadium ini juga dapat reversibel apabila ingesti alkohol
dihentikan.

• SIROSIS itu sendiri adalah stadium akhir sirosis alkohol dan bersifat ireversibel. Pada stadium ini, sel-sel
hati yang mati diganti oleh jaringan parut. Peradangan kronik menyebabkan timbulnya pembengkakan
dan edema intertisium yang dapat menyebabkan kolapsnya pembuluh-pembuluh darah kecil dan
meningkatkan resistensi terhadap aliran darah melalui hati. Selain itu, akibat respon peradangan
terbentuk pita-pita fibrosa yang melingkari dan melilit hepatosit-hepatosit yang masih ada. Terjadi
hipertensi portal dan acites. Biasanya timbul varises oesofagus, rektum dan abdomen serta ikterus
hepatoselular. Resistensi terhadap aliran darah yang melintasi hati meningkat secara progresif dan funsi
hati semakin memburuk

E. MANIFESTASI KLINIK
Gejala terjadi akibat perubahan morfologis dan lebih menggambarkan beratnya kerusakan yang terjadi
dari pada etiologinya. Didapatkan gejala dan tanda sebagai berikut
• Gejala-gejala gastrointestinal yang tidak khas seperti anoreksia, mual, muntah dan diare
• Demam, berat badan turun, lekas lelah
• Acites, hidrothorak dan edema
• Ikterus, kadang-kadang urin menjadi lebih tua warnanya atu kecoklatan
• Hepatomegali, bila telah lanjut hati dapat mengecil karena fibrosis. Bila secara klinisdidapati adanya
demam, iktrus, dan acites, dimana demam bukan oleh sebab-sebab lain, dikatan sirosis dalam keadaan
aktif. Hati-hati akan kemungkinan timbulnya prekoma dan koma hepatikum.
• Kelainan pembuluh darah seperti kolateral-kolateral di dinding abdomen da thoraks, kaput medusa,
wasir dan varises oesofagus
• Kelainan endokrin yang merupakan tanda dari hiper estrogenisme, yaitu :
a. Impotensi, atrofi testis, ginekomastia, hilanya rambut axila dan pubis.
b. Amenore, hiperpigmentasi areola mammae
c. Spider nevi dan eritema
d. Hiperpigmentasi
• Jari tubuh

F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan fungsi hepar abnormal :
Adanya anemia, gangguan faal hati (penurunan kadar albumin serum, peninggian kadar globulin serum,
peninggian kadar bilirubin direk dan indirek), penurunan enzim kolinesterse, serta peninggian SGOT dan
SGPT.
- Peningkatan bilirubin serum (disebabkan oleh kerusakan metabolisme bilirubin)
- Peningkatan kadar amonia darah (akibat dari kerusakan metabolisme protein)
- Peningkatan alkalin fosfat serum, ALT dan AST (akibat dari destruksi jaringan hepar)
- PT memanjang (akibat dari kerusakan sintesis protrombin dan faktor pembekuan)
Biopsi hepar dapat memastikan diagnosis bila pemeriksaan serum dan pemeriksaan radiologis tak
dapat menyimpulkan
Ultrasound, skan CT atau MRI dilakukan untuk mengkaji ukuran hepar, derajat obstruksi dan aliran
darah hepatik
 Elektrolit serum menunjukkan hipokalemia, alkalosis dan hiponatremia (disebabkan oleh peningkatan
sekresi aldosteron pada respon terhadap kekurangan volume cairan ekstraselular sekunder terhadap
acites)
 JDL menunjukkan penurunan SDM, hemoglobin, hematokrit, trombosit dan SDP (hasil dari depresi
sumsum sekunder terhadap kegagalan ginjal dan kerusakan metabolisme nutrien)
Urinalisis menunjukkan bilirubinuria

G. KOMPLIKASI
Hematemesis melena dan koma hepatikum

H. PROGNOSIS
Prognosis tergantung pada luasnya kerusakan hati/kegagalan hepatoselular, beratnya hipertensi portal
dan timbulnya komplikasi lain

I. PENATALAKSANAAN UMUM
Istirahat di tempat tidur sampai terdapat perbaikan ikterus, acites dan demam
 Diet rendah protein (diet hati III : protein 1 g/kg BB, 55 g protein, 2000 kalori). Bila ada acites diberikan
rendah garam II (600-800 mg) atau III (1000-2000 mg). Bila proses tidak aktif, diperlukan diet tinggi
kalori (2000-3000 kalori) dan tinggi protein (80-125 g/hari). Bila ada tanda-tanda pre koma hepatikum,
jumlah protein dalam makanan dihentikan (diet hati I) untuk kemudian diberikan kembali sedikit demi
sedikit sesuai toleransi dan kebutuhan tubuh. Diet yang baik dengan protein yang cukup perlu
diperhatikan.
Mengatasi infeksi dengan antibiotik. Diusahakan memakai obat-obatan yang jelas tidak hepatotoksik
Memperbaiki keadaan gizi, bila perlu dengan pemberian asam amino esensial berantai cabang dan
glukosa
Roboransia. Vitamin B kompleks. Dilarang makan dan minum bahan yang mengandung alkohol.

Sirosis Hepatis
Posted on 15 January 2009. Tags: Medical

Sirosis Hepatis adalah penyakit hati kronis yang tidak diketahui penyebabnya dengan pasti.
Telah diketahui bahwa penyakit ini merupakan stadium terakhir dari penyakit hati kronis dan
terjadinya pengerasan dari hati (Sujono H, 2002).

Menurut SHERLOCK : secara anatomis Sirosis Hepatis ialah terjadinya fibrosis yang sudah
meluas dengan terbentuknya nodul-nodul pada semua bagian hati dan terjadinya fibrosis tidak
hanya pada satu lobulus saja.

Patogenesis

Mekanisme terjadinya proses yang berlangsung terus mulai dari hepatitis virus menjadi Sirosis
Hepatis belum jelas. Patogenesis yang mungkin terjadi yaitu :

1. Mekanis
2. Immunologis
3. Kombinasi keduanya

Namun yang utama adalah terjadinya peningkatan aktivitas fibroblast dan pembentukan jaringan
ikat.

Mekanis

Pada daerah hati yang mengalami nekrosis konfluen, kerangka reticulum lobul yang mengalami
kolaps akan berlaku sebagai kerangka untuk terjadinya daerah parut yang luas. Dalam kerangka
jaringan ikat ini, bagian parenkim hati yang bertahan hidup berkembang menjadi nodul
regenerasi.

Teori Imunologis
Sirosis Hepatis dikatakan dapat berkembang dari hepatitis akut jika melalui proses hepatitis
kronik aktif terlebih dahulu. Mekanisme imunologis mempunyai peranan penting dalam hepatitis
kronis. Ada 2 bentuk hepatitis kronis :

-       Hepatitis kronik tipe B

-       Hepatitis kronik autoimun atau tipe NANB

Proses respon imunologis pada sejumlah kasus tidak cukup untuk menyingkirkan virus atau
hepatosit yang terinfeksi, dan sel yang mengandung virus ini merupakan rangsangan untuk
terjadinya proses imunologis yang berlangsung terus sampai terjadi kerusakan sel hati.

Dari kasus-kasus yang dapat dilakukan biopsy hati berulang pada penderita hepatitis kronik aktif
ternyata bahwa proses perjalanan hepatitis kronis bisa berlangsung sangat lama. Bisa lebih dari
10 tahun.

Patofisiologi

Ada 2 faktor yang mempengaruhi terbentuknya asites pada penderita Sirosis Hepatis, yaitu :

-       tekanan koloid plasma yang biasa bergantung pada albumin di dalam serum. Pada keadaan
normal albumin dibentuk oleh hati. Bilamana hati terganggu fungsinya, maka pembentukan
albumin juga terganggu, dan kadarnya menurun, sehingga tekanan koloid osmotic juga
berkurang. Terdapatnya kadar albumin kurang dari 3 gr % sudah dapat merupakan tanda kritis
untuk timbulnya asites.

-       Tekanan vena porta. Bila terjadi perdarahan akibat pecahnya varises esophagus, maka kadar
plasma protein dapat menurun, sehingga tekanan koloid osmotic menurun pula, kemudian
terjadilah asites. Sebaliknya bila kadar plasma protein kembali normal, maka asitesnya akan
menghilang walaupun hipertensi portal tetap ada (Sujono Hadi). Hipertensi portal
mengakibatkan penurunan volume intravaskuler sehingga perfusi ginjal pun menurun. Hal ini
meningkatkan aktifitas plasma rennin sehingga aldosteron juga meningkat. Aldosteron berperan
dalam mengatur keseimbangan elektrolit terutama natrium . dengan peningkatan aldosteron
maka terjadi terjadi retensi natrium yang pada akhirnya menyebabkan retensi cairan.

Klasifikasi

SHERLOCK secara morfologi membagi Sirosis Hepatis berdasarkan besar kecilnya nodul,
yaitu :

-       Makronoduler (Irreguler, multinoduler)

-       Mikronoduler (regular, monolobuler)


-       Kombinasi keduanya

Etiologi

Penyebab yang pasti dari Sirosis Hepatis sampai sekarang belum jelas.

1. Faktor keturunan dan malnutrisi

WATERLOO (1997) berpendapat bahwa factor kekurangan nutrisi terutama kekurangan protein
hewani menjadi penyebab timbulnya Sirosis Hepatis. Menurut CAMPARA (1973) untuk
terjadinya Sirosis Hepatis ternyata ada bahan dalam makanan, yaitu kekurangan alfa 1-
antitripsin.

1. Hepatitis virus

Hepatitis virus sering juga disebut sebagai salah satu penyebab dari Sirosis Hepatis. Dan secara
klinik telah dikenal bahwa hepatitis virus B lebih banyak mempunyai kecenderungan untuk lebih
menetap dan memberi gejala sisa serta menunjukkan perjalanan yang kronis bila dibandingkan
dengan hepatitis virus A. penderita dengan hepatitis aktif kronik banyak yang menjadi sirosis
karena banyak terjadi kerusakan hati yang kronis.

Sebagaimana kita ketahui bahwa sekitar 10 % penderita hepatitis virus B akut akan menjadi
kronis. Apalagi bila pada pemeriksaan laboratories ditemukan HBs Ag positif dan menetapnya e-
Antigen lebih dari 10 minggu disertai tetap meningginya kadar asam empedu puasa lebih dari 6
bulan, maka mempunyai prognosis kurang baik (Sujono Hadi).

1. Zat hepatotoksik

Beberapa obat-obatan dan zat kimia dapat menyebabkan terjadinya kerusakan fungsi sel hati
secara akut dan kronik. Kerusakan hati secara akut akan berakibat nekrosis atau degenerasi
lemak. Sedangkan kerusakan kronik akan berupa Sirosis Hepatis. Pemberian bermacam obat-
obatan hepatotoksik secara berulang kali dan terus menerus. Mula-mula akan terjadi kerusakan
setempat, kemudian terjadi kerusakan hati yang merata, dan akhirnya dapat terjadi Sirosis
Hepatis. Zat hepatotoksik yang sering disebut-sebut adalah alcohol. Efek yang nyata dari etil-
alkohol adalah penimbunan lemak dalam hati (Sujono Hadi).

1. Penyakit Wilson

Suatu penyakit yang jarang ditemukan, biasanya terdapat pada orang-orang muda dengan
ditandai Sirosis Hepatis, degenerasi ganglia basalis dari otak, dan terdapatnya cincin pada kornea
yang berwarna coklat kehijauan disebut Kayser Fleiscer Ring. Penyakit ini diduga disebabkan
defisiensi bawaan dan sitoplasmin.

1. Hemokromatosis
Bentuk sirosis yang terjadi biasanya tipe portal. Ada 2 kemungkinan timbulnya hemokromatosis,
yaitu :

a. sejak dilahirkan, penderita mengalami kenaikan absorpsi dari Fe.

b. kemungkinan didapat setelah lahir (aquisita), misalnya dijumpai pada penderita dengan
penyakit hati alkoholik. Bertambahnya absorpsi dari Fe, kemungkinan menyebabkan timbulnya
Sirosis Hepatis.

      6.   Sebab-sebab lain

a. kelemahan jantung yang lama dapat menyebabkan timbulnya sirosis kardiak.      Perubahan


fibrotik dalam hati terjadi sekunder terhadap anoksi dan nekrosis sentrilibuler.

b. sebagai akibat obstruksi yang lama pada saluran empedu akan dapat menimbulkan sirosis
biliaris primer. Penyakit ini lebih banyak dijumpai pada kaum wanita.

c. penyebab Sirosis Hepatis yang tidak diketahui dan digolongkan dalam sirosis kriptogenik.
Penyakit ini banyak ditemukan di Inggris (menurut Reer 40%, Sherlock melaporkan 49%).
Penderita ini sebelumnya tidak menunjukkan tanda-tanda hepatitis atau alkoholisme, sedangkan
dalam makanannya cukup mengandung protein.

Gambaran klinik

Menurut Sherlock, secara klinis, Sirosis Hepatis dibagi atas 2 tipe, yaitu :

-       sirosis kompensata atau latent chirrosis hepatic

-       sirosis dekompensata atau active chirrosis hepatic

Atau

-       Sirosis Hepatis tanpa kegagalan faal hati dan hipertensi portal. Sirosis Hepatis ini mungkin
tanpa gejala apapun, tapi ditemukan secara kebetulan pada hasil biopsy atau pemeriksaan
laparoskopi

-       Sirosis Hepatis dengan kegagalan faal hati dan hipertensi portal. Pada penderita ini sudah
ada tanda-tanda kegagalan faal hati misalnya ada ikterus, perubahan sirkulasi darah, kelainan
laboratirim pada tes faal hati. Juga ditemukan tanda-tanda hipertensi portal, misalnya asites,
splenomegali, venektasi di perut.

Laboratorium

Urine
Dalam urin terdapat urobilinogen, juga terdapat bilirubin bila penderita ada ikterus. Pada
penderita dengan asites, maka ekskresi natrium berkurang, dan pada penderita yang berat
ekskresinya kurang dari 3 meq (0,1).

Tinja

Mungkin terdapat kenaikan sterkobilinogen. Pada penderita ikterus ekskresi pigmen empedu
rendah.

Darah

Biasanya dijumpai normositik normokromik anemia yang ringan, kadang-kadang dalam bentuk
makrositer, yang disebabkan kekurangan asam folat dan vitamin B12 atau karena splenomegali.
Bilamana penderita pernah mengalami perdarahan gastrointestinal, maka akan terjadi
hipokromik anemia. Juga dijumpai leukopeni bersama trombositopeni. Waktu protombin
memanjang dan tidak dapat kembali normal walaupun telah diberi pengobatan dengan vitamin
K. gambaran sumsum tulang terdapat makronormoblastik dan terjadi kenaikan plasma sel pada
kenaikan kadar globulin dalam darah.

Tes faal hati

Penderita sirosis banyak mengalami gangguan tes faal hati, lebih-lebih lagi bagi penderita yang
sudah disertai tanda-tanda hipertensi portal. Hal ini tampak jelas menurunnya kadar serum
albumin <3,0% sebanyak 85,92%, terdapat peninggian serum transaminase >40 U/l sebanyak
60,1%. Menurunnya kadar tersebut di atas adalah sejalan dengan hasil pengamatan jasmani,
yaitu ditemukan asites sebanyak 85,79%.

Komplikasi

            Komplikasi yang sering timbul pada penderita Sirosis Hepatis diantaranya adalah:

1. Perdarahan Gastrointestinal

            Setiap penderita Sirosis Hepatis dekompensata terjadi hipertensi portal, dan timbul
varises esophagus. Varises esophagus yang terjadi pada suatu waktu mudah pecah, sehingga
timbul perdarahan yang massif. Sifat perdarahan yang ditimbulkan adalah muntah darah atau
hematemesis biasanya mendadak dan massif tanpa didahului rasa nyeri di epigastrium. Darah
yang keluar berwarna kehitam-hitaman dan tidak akan membeku, karena sudah tercampur
dengan asam lambung. Setelah hematemesis selalu disusul dengan melena (Sujono Hadi).
Mungkin juga perdarahan pada penderita Sirosis Hepatis tidak hanya disebabkan oleh pecahnya
varises esophagus saja. FAINER dan HALSTED pada tahun 1965 melaporkan dari 76 penderita
Sirosis Hepatis dengan perdarahan ditemukan 62% disebabkan oleh pecahnya varises esofagii,
18% karena ulkus peptikum dan 5% karena erosi lambung.
2. Koma hepatikum

            Komplikasi yang terbanyak dari penderita Sirosis Hepatis adalah koma hepatikum.
Timbulnya koma hepatikum dapat sebagai akibat dari faal hati sendiri yang sudah sangat rusak,
sehingga hati tidak dapat melakukan fungsinya sama sekali. Ini disebut sebagai koma hepatikum
primer. Dapat pula koma hepatikum timbul sebagai akibat perdarahan, parasentese, gangguan
elektrolit, obat-obatan dan lain-lain, dan disebut koma hepatikum sekunder.

Pada penyakit hati yang kronis timbullah gangguan metabolisme protein, dan berkurangnya
pembentukan asam glukoronat dan sulfat. Demikian pula proses detoksifikasi berkurang. Pada
keadaan normal, amoniak akan diserap ke dalam sirkulasi portal masuk ke dalam hati, kemudian
oleh sel hati diubah menjadi urea. Pada penderita dengan kerusakan sel hati yang berat, banyak
amoniak yang bebas beredar dalam darah. Oleh karena sel hati tidak dapat mengubah amoniak
menjadi urea lagi, akhirnya amoniak menuju ke otak dan bersifat toksik/iritatif pada otak.

3. Ulkus peptikum

            Menurut TUMEN timbulnya ulkus peptikum pada penderita Sirosis Hepatis lebih besar
bila dibandingkan dengan penderita normal. Beberapa kemungkinan disebutkan diantaranya
ialah timbulnya hiperemi pada mukosa gaster dan duodenum, resistensi yang menurun pada
mukosa, dan kemungkinan lain ialah timbulnya defisiensi makanan.

4. Karsinoma hepatoselular

            SHERLOCK (1968) melaporkan dari 1073 penderita karsinoma hati menemukan 61,3 %
penderita disertai dengan Sirosis Hepatis. Kemungkinan timbulnya karsinoma pada Sirosis
Hepatis terutama pada bentuk postnekrotik ialah karena adanya hiperplasi noduler yang akan
berubah menjadi adenomata multiple kemudian berubah menjadi karsinoma yang multiple.

5. Infeksi

            Setiap  penurunan kondisi badan akan mudah kena infeksi, termasuk juga penderita
sirosis, kondisi badannya menurun. Menurut SCHIFF, SPELLBERG infeksi yang sering timbul
pada penderita sirosis, diantaranya adalah : peritonitis, bronchopneumonia, pneumonia, tbc paru-
paru, glomeluronefritis kronik, pielonefritis, sistitis, perikarditis, endokarditis, erysipelas maupun
septikemi.

GEJALA dan TANDA KELAINAN GASTROHEPATOLOGI

Posted by: rhezvolution on: June 23, 2008

 In: Medical
 Comment!
DISTENSI ABDOMEN

Distensi abdomen mungkin berkaitan dengan peningkatan gas di dalam saluran cerna atau ada asites. Peningkatan
gas dapat disebabkan oleh malabsorpsi, kolon iritabel, atau aerofagia. Asites dapat disebabkan oleh berbagai
macam penyebab, seperti sirosis, GJK, hipertensi portal, peritonitis, atau neoplasia.

Distensi gas yang berkaitan dengan makan bersifat intermiten dan hilang dengan flatus atau bersendawa. Pasien
dengan asites mengalami peningkatan lingkaran perut secara tidak kentara yang terlihat pada bertambahnya
ukuran ikat pinggang secara progresif. Hilangnya selera makan sering dikaitkan dengan sirosis dan keganasan,
meskipun stadium akhir GJK mungkin menimbulkan gejala ini pula.

FLATULENSI
Flatulensi (perut kembung) adalah meningkatnya jumlah gas dalam saluran pencernaan. Udara adalah gas yang
dapat tertelan bersama makanan. Menelan sedikit udara adalah normal tetapi secara tidak sadar, beberapa orang
menelan udara dalam jumlah banyak, terutama bila terjadi kecemasan. Sebagian besar udara yang masuk
kemudian dikeluarkan lagi melalui sendawa. Sehingga hanya sebagian kecil saja yang melewati lambung menuju ke
saluran pencernaan berikutnya. Masuknya sejumlah besar udara menyebabkan seseorang merasa penuh dan
orang tersebut akan bersendawa atau mengeluarkannya melalui anus (kentut/flatus).

Gas-gas yang lain juga dihasilkan di dalam saluran pencernaan:

1. Hidrogen, metan dan karbon dioksida berasal dari metabolisme makanan oleh bakteri dalam usus,
terutama setelah makan makanan tertentu seperti kacang dan kol.
2. Kekurangan enzim pemecah gula tertentu, juga cenderung menghasilkan gas jika penderita memakan
makanan yang mengandung gula tersebut.
3. Kekurangan laktase, sariawan tropikal dan insufisiensi pankreas juga dapat menyebabkan produksi gas
yang berlebihan.

Tubuh akan mengeluarkan gas tersebut melalui sendawa, penyerapan gas melalui dinding saluran pencernaan ke
dalam darah dan mengeluarkannya melalui paru-paru, anus (kentut). Bakteri-bakteri pada saluran pencernaan juga
ikut memetabolisme beberapa gas.

Flatulensi biasanya menyebabkan nyeri perut, kembung, sendawa dan banyak kentut. Tetapi
hubungan antara flatulensi dan beberapa gejala ini tidak diketahui. Beberapa orang tampaknya
peka terhadap pengaruh gas dalam saluran pencernaan, sedangkan yang lainnya bisa mentolerir
sejumlah besar gas tanpa menimbulkan gajala-gejala. Flatulen bisa menyebabkan sendawa yang
berulang-ulang. Dalam keadaan normal, pengeluaran gas melalui anus terjadi lebih dari 10 kali
dalam sehari, pada flatulensi, pengeluaran gas lebih sering terjadi. Bayi dengan kram perut
kadang-kadang mengeluarkan gas dalam jumlah yang berlebihan.
Perut kembung dan sendawa memang sulit untuk dihilangkan. Jika terus bersendawa merupakan masalah yang
utama, bisa dibantu dengan mengurangi jumlah udara yang masuk/tertelan. Tetapi hal ini sulit, karena udara
sering tertelan tanpa disadari. Mungkin bisa dibantu dengan makan perlahan dan santai dan menghindari
mengunyah permen karet. Orang yang sering bersendawa atau mengeluarkan gas secara berlebihan harus
mengubah pola makannya dengan menghindari makanan yang sulit dicerna. Bila diketahui makanan penyebabnya,
maka harus mengurangi konsumsi makanan tersebut. Bisa dimulai dengan menghindari susu dan produk
olahannya, kemudian buah segar, sayuran tertentu dan makanan lainnya. Sendawa juga bisa disebabkan oleh
minuman bersoda atau antasid (misalnya baking soda).

Kembung perut dapat terjadi akibat kita terlalu banyak mengonsumsi kacang-kacangan yang mengandung
oligosakarida. Konsumsi oligosakarida yang berlebih dapat menyebabkan timbulnya gejala flatulensi, yaitu suatu
keadaan menumpuknya gas dalam lambung. Oligosakarida terdiri dari komponen-komponen verbaskosa, stakiosa,
dan rafinosa. Oligosakarida dari famili rafinosa tidak dapat dicerna karena mukosa usus mamalia tidak mempunyai
enzim pencernanya, yaitu alfa-galaktosidase, sehingga tidak dapat diserap oleh tubuh.

Bakteri-bakteri yang terdapat dalam saluran pencernaan (terutama pada bagian usus halus) akan
memfermentasi rafinosa menghasilkan berbagai macam gas, seperti karbondioksida, hidrogen,
dan sejumlah kecil metan. Gas-gas tersebutlah yang menyebabkan flatulensi. Meskipun tidak
bersifat toksik, flatulensi dapat berakibat serius. Peningkatan tekanan gas dalam rektum dapat
menyebabkan tanda-tanda patologis, seperti sakit kepala, pusing, penurunan daya konsentrasi,
atau sedikit perubahan mental dan Edema. Flatulensi juga dapat berakibat pada timbulnya
dipepsi dan konstipasi usus serta diare.

Minum beberapa obat kadang membantu untuk mengurangi pembentukan gas, meskipun secara umum tidak
efektif. Simethicone yang terdapat pada beberapa jenis antasid dan juga bisa diberikan secara terpisah, bisa
mengurangi gejalanya. Kadang-kadang obat lain (antasid lainnya, metoclopramide dan betanecol) juga dapat
membantu. Pada beberapa penderita, makanan yang lebih banyak mengandung serat bisa membantu, tetapi pada
penderita lainnya hal ini akan memperburuk keadaannya.

SPIDER NEVI

Sinonim dari spider nevi adalah Spider angioma, Spider nevus, Vascular spider, Nevus araneus, Arterial spider.
Spider nevi berupa arteriol sentral dengan pembuluh-pembuluh tipis yang menyebar seperti laba-laba. Awalnya
arteriol normal akan membuat cabang-cabang dan kemudian akan mengisinya dengan darah. TD pada arteriol kecil
ini sekitar 50-70 mmHg dan suhunya lebih tinggi 2-3oC dari kulit disekitarnya.

Spider nevi mungkin benigna atau indikasi terhadap penyakit tertentu, seperti tirotoksikosis, RA, dan wanita pada
kontrasepso oral. Namun yang paling sering adalah pada kelainan hati, terutama pada pasien dengan Hepatitis C.
Pada dewasa, spider nevi ditemukan pada wajah, leher, dada atas, lengan, membran mukosa pada hidung, mulut
atau faring. Pada pasien dengan sirosis, ditemukan pada daerah pleura maupun subpleura (dengan autopsi
mikroskopik). Sirosis hati berhubungan dengan sirkulasi hiperdinamik dan spider nevi merupakan manifestasi kulit
dari sirkulasi ini. Hal ini dibuktikan dengan arteriografi dan analisa gas darah yang diaspirasi dari arteri spider nevi
pada pasien dengan sirosis hati.

Perlu dilakukan pada pasien:

1. riwayat konsumsi alkohol (durasi dan jumlah konsumsi)


2. pada pasien wanita apakah menggunakan suplemen hormonal atau kontrasepsi oral
3. riwayat mengkonsumsi obat hepatotoksik
4. evaluasi lab: pemeriksaan gas darah

Kemunculan spider nevi sangat erat kaitannya dengan penyakit hati. Spider nevi dengan trombositopenia,
splenomegali, dan hipoalbuminemia sangat berguna untuk memprediksi fibrosis hati pada pasien dengan infeksi
hepatitis C. Spider nevi yang disertai dispnea perlu dicurigai akan sindrom hepatopulmoner

Anda mungkin juga menyukai