Saraf ini tidak diperiksa secara rutin, tetapi harus dikerjakan jika terdapat riwayat tentang hilangnya rasa
pengecapan dan penciuman, kalau penderita mengalami cedera kepala sedang atau berat, dan atau
dicurigai adanya penyakit-penyakit yang mengenai bagian basal lobus frontalis. Pemeriksaan saraf
cranialis I bertujuan untuk mendeteksi adanya gangguan penghidu, selain itu juga untuk mengetahui
apakah gangguan tersebut disebabkan oleh gangguan saraf atau penyakit hidung lokal.Untuk menguji
saraf olfaktorius digunakan bahan yang tidak merangsang seperti kopi, tembakau, parfum atau rempah-
rempah. Jangan menggunakan zat yang dapat merangsang mukosa hidung (nervus V) seperti mentol,
amoniak, alkohol, dan cuka. Cara pemeriksaannya yaitu letakkan salah satu bahan-bahan tersebut di
depan salah satu lubang hidung orang tersebut sementara lubang hidung yang lain kita tutup dan pasien
menutup matanya. Kemudian pasien diminta untuk memberitahu saat mulai terhidunya bahan tersebut
dan kalau mungkin mengidentifikasikan bahan yang di hidu. Interpretasi dari hasil pemeriksaan ini yaitu
normosmia, hiposmia, hiperosmia, parosmia (tidak dapat mengenali bau-bauan, salah hidu), kakosmia
(mempersepsi adanya bau busuk, padahal tidak ada), dan halusinasi penciuman. Normosmia yaitu
kemampuan penghidu normal, tidak terganggu. Hiposmia yaitu kemampuan menghidu menurun.
Hiperosmia : meningkatnya kemampuan menghidu, dapat dijumpai pada penderita hiperemis gravidarum
atau pada migren. Halusinasi penciuman : biasanya terbentuk bau yang tidak sedap, dapat dijumpai pada
serangan epilepsi yang berasal dari girus unsinat pada lobus temporal, dan sering disertai gerak
mengecap-ngecap (epilepsi jenis parsial kompleks). Penyebab gangguan penghidu disebabkan karena
penyebab gangguan penghidu yang sering dijumpai dan penyebab gangguan menghidu yang jarang
dijumpai. Penyebab yang sering dijumpai meliputi penyakit inflamasi akut atau kronis di hidung perokok
berat dan trauma kepala. Penyebab gangguan menghidu yang jarang dijumpai meliputi tumor intrakranial
yang menekan bulbus atau traktus olfaktorius dan inflamasi selaput otak yang kronik.
1. Mengukur ketajaman penglihatan (visus) dan menentukan apakah kelainan pada visus disebabkan oleh
Pemeriksaan meliputi penglihatan sentral (Visual acuity), penglihatan perifer (visual field), refleks pupil,
pemeriksaan fundus okuli serta tes warna.
i. Pemeriksaan penglihatan sentral (visual acuity)
Penglihatan sentral diperiksa dengan kartu snellen, jari tangan, dan gerakan tangan.
• Kartu snellen
Pada pemeriksaan kartu memerlukan jarak enam meter antara pasien dengan tabel, jika tidak terdapat
ruangan yang cukup luas, pemeriksaan ini bisa dilakukan dengan cermin. Ketajaman penglihatan normal
bila baris yang bertanda 6 dapat dibaca dengan tepat oleh setiap mata (visus 6/6)
• Jari tangan
Normal jari tangan bisa dilihat pada jarak 3 meter tetapi bisa melihat pada jarak 2 meter, maka perkiraan
• Gerakan tangan
Normal gerakan tangan bisa dilihat pada jarak 2 meter tetapi bisa melihat pada jarak 1 meter berarti
Pemeriksaan penglihatan perifer dapat menghasilkan informasi tentang saraf optikus dan lintasan
Penglihatan perifer diperiksa dengan tes konfrontasi atau dengan perimetri / kompimetri.
• Tes Konfrontasi
– Objek yang digunakan (2 jari pemeriksa / ballpoint) di gerakan mulai dari lapang pandang kahardan kiri
(lateral dan medial), atas dan bawah dimana mata lain dalam keadaan tertutup dan mata yang diperiksa
harus menatap lurus kedepan dan tidak boleh melirik kearah objek tersebut.
dari penglihatan, yaitu batas sampai mana benda dapat dilihat, jika mata difiksasi pada satu titik. Sinar
yang datang dari tempat tempat fiksasi jatuh di makula, yaitu pusat melihat jelas (tajam), sedangkan yang
datang dari sekitarnya jatuh dibagian perifer retina. Lapangan pandang yang normal mempunyai bentuk
tertentu, dan tidak sama ke semua jurusan, misalnya ke lateral kita dapat melihat sampai sudut 90-100
derajat dari titik fiksasi, ke medial 60 derajat, ke atas 50-60 derajat dan kebawah 60-75 derajat.
Pemeriksaan lapang pandang dapat dilakukan dengan menggunakan kampimeter dan perimeter.
Kampimeter yaitu papan hitam yang diletakan di depan penderita pada jarak 1-2meter, dan sebagai benda
pengui (test objek) digunakan bundaran kecil berdiameter 1-3 mm. Mata pasien difiksasi ditengah dan
benda penguji di gerakan dari perifer ke tengah dari segala jurusan . Perimeter adalah setengah lingkaran
yang dapat diubah-ubah letaknya pada bidang meridianya. Cara pemakaiannya serta cara melaporkan
Saraf aferen berasal dari saraf optikal sedangkan saraf aferennya dari saraf occulomotorius.
Pakailah senter kecil, arahkan sinar dari samping (sehingga pasien tidak memfokus pada cahaya dan tidak
berakomodasi) ke arah salah satu pupil untuk melihat reaksinya terhadap cahaya. Inspeksi kedua pupil
dan ulangi prosedur ini pada sisi lainnya. Pada keadaan normal pupil yang disinari akan mengecil.
Jika pada pupil yang satu disinari maka secara serentak pupil lainnya mengecil dengan ukuran yang sama.
Digunakan alat oftalmoskop. Putar lensa ke arah O dioptri maka fokus dapat diarahkan kepada fundus,
kekeruhan lensa (katarak) dapat mengganggu pemeriksaan fundus. Bila retina sudah terfokus carilah
terlebih dahulu diskus optikus. Caranya adalah dengan mengikuti perjalanan vena retinalis yang besar ke
v. Tes warna
1. Ptosis
Pada keadaan normal bila seseorang melihat ke depan maka batas kelopak mata atas akan memotong iris
pada titik yang sama secara bilateral. Ptosis dicurigai bila salah satu kelopak mata memotong iris lebih
rendah dari pada mata yang lain, atau bila pasien mendongakkan kepal ke belakang / ke atas (untuk
kompensasi) secara kronik atau mengangkat alis mata secara kronik pula.
Pasien diminta untuk melihat dan mengikuti gerakan jari atau ballpoint ke arah medial, atas, dan bawah,
sekaligus ditanyakan adanya penglihatan ganda (diplopia) dan dilihat ada tidaknya nistagmus. Sebelum
pemeriksaan gerakan bola mata (pada keadaan diam) sudah dilihat adanya strabismus (juling) dan deviasi
3. Pupil
Meliputi pemeriksaan :
Bila seseorang melihat benda didekat mata (melihat hidungnya sendiri) kedua otot rektus medialis akan
berkontraksi. Gerakan kedua bola mata ini disebut konvergensi. Bersamaan dengan gerakan bola mata
tersebut maka kedua pupil akan mengecil (otot siliaris berkontraksi) (Tejuwono) atau pasien disuruh
memandang jauh dan disuruh memfokuskan matanya pada suatu objek diletakkan pada jarak ± 15 cm
didepan mata pasien dalam keadaan normal terdapat konstriksi pada kedua pupil yang disebut reflek
akomodasi.
Pemeriksaan meliputi
2. strabismus konvergen
3. diplopia
1. Sensibilitas
Ada tiga cabang sensorik, yaitu oftalmik, maksila, mandibula. Pemeriksaan dilakukan pada ketiga cabang
saraf tersebut dengan membandingkan sisi yang satu dengan sisi yang lain. Mula-mula tes dengan ujung
yang tajam dari sebuah jarum yang baru. Pasien menutup kedua matanya dan jarum ditusukkan dengan
lembut pada kulit, pasien ditanya apakah terasa tajam atau tumpul. Hilangnya sensasi nyeri akan
menyebabkan tusukan terasa tumpul. Daerah yang menunjukkan sensasi yang tumpul harus digambar
dan pemeriksaan harus di lakukan dari daerah yang terasa tumpul menuju daerah yang terasa tajam. Juga
dilakukan dari daerah yang terasa tumpul menuju daerah yang terasa tajam. Juga lakukan tes pada daerah
di atas dahi menuju belakang melewati puncak kepala. Jika cabang oftalmikus terkena sensasi akan timbul
kembali bila mencapai dermatom C2. Temperatur tidak diperiksa secara rutin kecuali mencurigai
siringobulbia, karena hilangnya sensasi temperatur terjadi pada keadaan hilangnya sensasi nyeri, pasien
tetap menutup kedua matanya dan lakukan tes untuk raba halus dengan kapas yang baru dengan cara
yang sama. Pasien disuruh mengatakan “ya” setiap kali dia merasakan sentuhan kapas pada kulitnya.
2. Motorik
Pemeriksaan dimulai dengan menginspeksi adanya atrofi otot-otot temporalis dan masseter. Kemudian
pasien disuruh mengatupkan giginya dan lakukan palpasi adanya kontraksi masseter diatas mandibula.
Kemudian pasien disuruh membuka mulutnya (otot-otot pterigoideus) dan pertahankan tetap terbuka
sedangkan pemeriksa berusaha menutupnya. Lesi unilateral dari cabang motorik menyebabkan rahang
3. Refleks
– Refleks kornea
a. Langsung
Pasien diminta melirik ke arah laterosuperior, kemudian dari arah lain kapas disentuhkan pada kornea
mata, misal pasien diminta melirik kearah kanan atas maka kapas disentuhkan pada kornea mata kiri dan
lakukan sebaliknya pada mata yang lain. Kemudian bandingkan kekuatan dan kecepatan refleks tersebut
kanan dan kiri saraf aferen berasal dari N. V tetapi eferannya (berkedip) berasal dari N.VII.
Sentuhan kapas pada kornea atas akan menimbulkan refleks menutup mata pada mata kiri dan sebaliknya
kegunaan pemeriksaan refleks kornea konsensual ini sama dengan refleks cahaya konsensual, yaitu untuk
– Refleks masseter
Untuk melihat adanya lesi UMN (certico bultar) penderita membuka mulut secukupnya (jangan terlalu
lebar) kemudian dagu diberi alas jari tangan pemeriksa diketuk mendadak dengan palu refleks. Respon
normal akan negatif yaitu tidak ada penutupan mulut atau positif lemah yaitu penutupan mulut ringan.
Sebaliknya pada lesi UMN akan terlihat penutupan mulut yang kuat dan cepat.
maksimal bila memandang ke sisi yang terkena dan bayangan yang timbul letaknya horizonatal dan
sejajar satu sama lain.
Pemeriksaan saraf fasialis dilakukan saat pasien diam dan atas perintah (tes kekuatan otot) saat pasien
diam diperhatikan :
• Asimetri wajah
Kelumpuhan nervus VIII dapat menyebabkan penurunan sudut mulut unilateral dan kerutan dahi
menghilang serta lipatan nasolabial, tetapi pada kelumpuhan nervus fasialis bilateral wajah masih tampak
simetrik
• Gerakan-gerakan abnormal (tic facialis, grimacing, kejang tetanus/rhisus sardonicus tremor dan
seterusnya ).
2. Menutup mata sekuatnya (perhatikan asimetri) kemudian pemeriksa mencoba membuka kedua mata
Pemeriksaan dengan rasa manis, pahit, asam, asin yang disentuhkan pada salah satu sisi lidah.
– Hiperakusis
Jika ada kelumpuhan N. Stapedius yang melayani otot stapedius maka suara-suara yang diterima oleh
telinga pasien menjadi lebih keras intensitasnya.
Ada dua macam pemeriksaan yaitu pemeriksaan pendengaran dan pemeriksaan fungsi vestibuler
1) Pemeriksaan pendengaran
Inspeksi meatus akustikus ekternus dari pasien untuk mencari adanya serumen atau obstruksi lainnya dan
membrana timpani untuk menentukan adanya inflamasi atau perforasi kemudian lakukan tes pendengaran
dengan menggunakan gesekan jari, detik arloji, dan audiogram. Audiogram digunakan untuk
membedakan tuli saraf dengan tuli konduksi dipakai tes Rinne dan tes Weber.
– Tes Rinne
Garpu tala dengan frekuensi 256 Hz mula-mula dilakukan pada prosesus mastoideus, dibelakang telinga,
dan bila bunyi tidak lagi terdengar letakkan garpu tala tersebut sejajar dengan meatus akustikus oksterna.
Dalam keadaan normal anda masih terdengar pada meatus akustikus eksternus. Pada tuli saraf anda
masih terdengar pada meatus akustikus eksternus. Keadaan ini disebut Rinne negatif.
– Tes Weber
Garpu tala 256 Hz diletakkan pada bagian tengah dahi dalam keadaan normal bunyi akan terdengar pada
bagian tengah dahi pada tuli saraf bunyi dihantarkan ke telinga yang normal pada tuli konduktif bunyi
Pemeriksaan N. IX dan N X. karena secara klinis sulit dipisahkan maka biasanya dibicarakan bersama-
sama, anamnesis meliputi kesedak / keselek (kelumpuhan palatom), kesulitan menelan dan disartria(khas
bernoda hidung / bindeng). Pasien disuruh membuka mulut dan inspeksi palatum dengan senter
perhatikan apakah terdapat pergeseran uvula, kemudian pasien disuruh menyebut “ah” jika uvula terletak
ke satu sisi maka ini menunjukkan adanya kelumpuhan nervus X unilateral perhatikan bahwa uvula
Sekarang lakukan tes refleks muntah dengan lembut (nervus IX adalah komponen sensorik dan nervus X
adalah komponen motorik). Sentuh bagian belakang faring pada setiap sisi dengan spacula, jangan lupa
menanyakan kepada pasien apakah ia merasakan sentuhan spatula tersebut (N. IX) setiap kali dilakukan.
Dalam keadaaan normal, terjadi kontraksi palatum molle secara refleks. Jika konraksinya tidak ada dan
sensasinya utuh maka ini menunjukkan kelumpuhan nervus X, kemudian pasien disuruh berbicara agar
dapat menilai adanya suara serak (lesi nervus laringeus rekuren unilateral), kemudian disuruh batuk , tes
juga rasa kecap secara rutin pada sepertinya posterior lidah (N. IX).
Pemeriksaan saraf asesorius dengan cara meminta pasien mengangkat bahunya dan kemudian rabalah
massa otot trapezius dan usahakan untuk menekan bahunya ke bawah, kemudian pasien disuruh
memutar kepalanya dengan melawan tahanan (tangan pemeriksa) dan juga raba massa otot sternokleido
mastoideus.
Pemeriksaan saraf Hipoglosus dengan cara; Inspeksi lidah dalam keadaan diam didasar mulut, tentukan
adanya atrofi dan fasikulasi (kontraksi otot yang halus iregular dan tidak ritmik). Fasikulasi dapat
unilateral atau bilateral. Pasien diminta menjulurkan lidahnya yang berdeviasi ke arah sisi yang lemah
(terkena) jika terdapat lesi upper atau lower motorneuron unilateral.
Kelainan pada nervus olfaktorius dapat menyebabkan suatu keadaan berapa gangguan penciuman sering
dan disebut anosmia, dan dapat bersifat unilateral maupun bilateral. Pada anosmia unilateral sering
pasien tidak mengetahui adanya gangguan penciuman. Proses penciuman dimulai dari sel-sel olfakrorius
di hidung yang serabutnya menembus bagian kribiformis tulang ethmoid di dasar di dasar tengkorak dan
mencapai pusat penciuman lesi atau kerusakan sepanjang perjalanan impuls penciuman akan
mengakibatkan anosmia.
Kelainan yang dapat menimbulkan gangguan penciuman berupa:
Sembuhnya rhinitis berarti juga pulihnya penciuman, tetapi pada rhinitis kronik, dimana mukosa ruang
• Destruksi bulbus olfaktorius dan traktus akibat kontusi “countre coup”, biasanya disebabkan karena
jatuh pada belakang kepala. Anosmia unilateral atau bilateral mungkin merupakan satu-satunya bukti
• Sinusitas etmoidalis, osteitis tulang etmoid, dan peradangan selaput otak didekatnya.
• Tumor garis tengah dari fosa kranialis anterior, terutama meningioma sulkus olfaktorius (fossa
etmoidalis), yang dapat menghasilkan trias berupa anosmia, sindr foster kennedy, dan gangguan
kepribadian jenis lobus orbitalis. Adenoma hipofise yang meluas ke rostral juga dapat merusak
penciuman.
• Penyakit yang mencakup lobus temporalis anterior dan basisnya (tumor intrinsik atau ekstrinsik).
Pasien mungkin tidak menyadari bahwa indera penciuman hilang sebaliknya, dia mungkin mengeluh
tentang rasa pengecapan yang hilang, karena kemampuannya untuk merasakan aroma, suatu sarana yang
Kelainan pada nervus optikus dapat menyebabkan gangguan penglihatan. Gangguan penglihatan dapat
dibagi menjadi gangguan visus dan gangguan lapangan pandang. Kerusakan atau terputusnya jaras
penglitan dapat mengakibatkan gangguan penglihatan kelainan dapat terjadi langsung pada nevrus
optikus itu sendiri atau sepanjang jaras penglihatan yaitu kiasma optikum, traktus optikus, radiatio
optika, kortek penglihatan. Bila terjadi kelainan berat makan dapat berakhir dengan kebutaan.
Orang yang buta kedua sisi tidak mempunyai lapang pandang, istilah untuk buta ialah anopia atau
anopsia. Apabila lapang pandang kedua mata hilang sesisi, maka buta semacam itu dinamakan
hemiopropia.Berbagai macam perubahan pada bentuk lapang pandang mencerminkan lesi pada susunan
saraf optikus.
1. Trauma Kepala
Misalnya pada trombosis arteria katotis maka pangkal artera oftalmika dapat ikut tersumbat jug.
Papiledema ialah sembab pupil yang bersifat non-infeksi dan terkait pada tekanan intrakkranial yang
meninggi, dapat disebabkan oleh lesi desak ruang, antara lain hidrocefalus, hipertensi intakranial benigna,
b. Atrofi optik
Dapat disebabkan oleh papiledema kronik atau papilus, glaukoma, iskemia, famitral, misal: retinitis
Kelainan berupa paralisis nervus okulomatorius menyebabkan bola mata tidak bisa bergerak ke medial, ke
atas dan lateral, kebawah dan keluar. Juga mengakibatkan gangguan fungsi parasimpatis untuk kontriksi
pupil dan akomodasi, sehingga reaksi pupil akan berubah. N. III juga menpersarafi otot kelopak mata
untuk membuka mata, sehingga kalau lumpuh, kelopak mata akan jatuh ( ptosis)
1. Ptosis, disebabkan oleh paralisis otot levator palpebra dan tidak adanya perlawanan dari kerja otot
2. Fiksasi posisi mata, dengan pupil ke arah bawah dan lateral, karena tak adanya perlawanan dari kerja
Jika seluruh otot mengalami paralisis secara akut, kerusakan biasanya terjadi di perifer, paralisis otot
Penyebab kerusakan diperifer meliputi; a). Lesi kompresif seperti tumor serebri, meningitis basalis,
karsinoma nasofaring dan lesi orbital. b). Infark seperti pada arteritis dan diabetes.
Kelainan berupa paralisis nervus troklearis menyebabkan bola mata tidak bisa bergerak kebawah dan
kemedial.
Ketika pasien melihat lurus kedepan atas, sumbu dari mata yang sakit lebih tinggi daripada mata yang
lain. Jika pasien melihat kebawah dan ke medial, mata berotasi diplopia terjadi pada setiap arah tatapan
kecuali paralisis yang terbatas pada saraf troklearis jarang terjadi dan sering disebabkan oleh trauma,
biasanya karena jatuh pada dahi atau verteks.
Kelainan pada paralisis nervus abdusens menyebabkan bola mata tidak bisa bergerak ke lateral, ketika
pasien melihat lurus ke atas, mata yang sakit teradduksi dan tidak dapat digerakkan ke lateral, ketika
pasien melihat ke arah nasal, mata yang paralisis bergerak ke medial dan ke atas karena predominannya
Jika ketiga saraf motorik dari satu mata semuanya terganggu, mata tampak melihat lurus keatas dan tidak
dapat digerakkan kesegala arah dan pupil melebar serta tidak bereaksi terhadap cahaya (oftalmoplegia
totalis). Paralisis bilateral dari otot-otot mata biasanya akibat kerusakan nuklear. Penyebab paling sering
dari paralisis nukleus adalah ensefelitis, neurosifilis, mutiple sklerosis, perdarahan dan tumor.
Penyebab yang paling sering dari kelumpuhan otot-otot mata perifer adalah meningitis, sinusistis,
trombosis sinus kavernosus, aneurisma arteri karotis interva atau arteri komunikantes posterior, fraktur
basis kranialis.
Kelainan yang dapat menimbulkan gangguan pada nervus trigeminus antara lain : Tumor pada bagian fosa
posterior dapat menyebabkan kehilangan reflek kornea, dan rasa baal pada wajah sebagai tanda-tanda
dini. Gangguan nervus trigeminus yang paling nyata adalah neuralgia trigeminal atau tic douloureux yang
menyebabkan nyeri singkat dan hebat sepanjang percabangan saraf maksilaris dan mandibularis dari
nervus trigeminus. Janeta (1981) menemukan bahwa penyebab tersering dari neurolgia trigeminal
dicetuskan oleh pembuluh darah. Paling sering oleh arteri serebelaris superior yang melingkari radiks
saraf paling proksimal yang masih tak bermielin. Kelainan berapa lesi ensefalitis akut di pons dapat
menimbulkan gangguan berupa trismus, yaitu spasme tonik dari otot-otot pengunyah. Karena tegangan
abnormal yang kuat pada otot ini mungkin pasien tidak bisa membuka mulutnya.
• Lesi LMN :
– Pada fosa posterior, meliputi neuroma akustik, meningioma, dan meningitis kronik.
– Pada pars petrosa os temporalis dapat terjadi Bell’s palsy, fraktur, sindroma Rumsay Hunt, dan otitis
media.
• Penyebab kelumpuhan fasialis bilateral antara lain Sindrom Guillain Barre, mononeuritis multipleks, dan
• Penyebab hilangnya rasa kecap unilateral tanpa kelainan lain dapat terjadi pada lesi telinga tengah yang
meliputi Korda timpani atau nervus lingualis, tetapi ini sangat jarang.
Gangguan nervus fasialis dapat mengakibatkan kelumpuhan otot-otot wajah, kelopak mata tidak bisa
ditutup, gangguan air mata dan ludah, gangguan rasa pengecap di bagian belakang lidah serta gangguan
pendengaran (hiperakusis). Kelumpuhan fungsi motorik nervus fasialis mengakibatkan otot-otot wajah
satu sisi tidak berfungsi, ditandai dengan hilangnya lipatan hidung bibir, sudut mulut turun, bibir tertarik
kesisi yang sehat. Pasien akan mengalami kesulitan mengunyah dan menelan. Air ludah akan keluar dari
sudut mulut yang turun. Kelopak mata tidak bisa menutup pada sisi yang sakit, terdapat kumpulan air
mata di kelopak mata bawah (epifora). Refleks kornea pada sisi sakit tidak ada.
8) Saraf Vestibulokoklearis
Kelainan pada nervus vestibulokoklearis dapat menyebabkan gangguan pendengaran dan keseimbangan
(vertigo).
Kelainan yang dapat menimbulkan gangguan pada nervus VIII antara lain:
a. Tuli saraf dapat disebabkan oleh tumor, misal neuroma akustik. Degenerasi misal presbiaksis. Trauma,
misal fraktur pars petrosa os temporalis, toksisitas misal aspirin, streptomisin atau alkohol, infeksi misal,
b. Tuli konduktif dapat disebabkan oleh serumen, otitis media, otoskleroris dan penyakit Paget.
a. Pada labirin meliputi penyakit meniere, labirinitis akut, mabuk kendaraan, intoksikasi streptomisin.
b. Pada vestibuler meliputi semua penyebab tuli saraf ditambah neuronitis vestibularis.
c. Pada batang otak meliputi lesi vaskuler, tumor serebelum atau tumor ventrikel IV demielinisasi.
d. Pada lobus temporalis meliputi epilepsi dan iskemia.
Gangguan pada komponen sensorik dan motorik dari N. IX dan N. X dapat mengakibatkan hilangnya
refleks menelan yang berisiko terjadinya aspirasi paru. Kehilangan refleks ini pada pasien akan
menyebabkan pneumonia aspirasi, sepsis dan adult respiratory distress syndome (ARDS) kondisi demikian
bisa berakibat pada kematian. Gangguan nervus IX dan N. X menyebabkan persarafan otot-otot menelan
menjadi lemah dan lumpuh. Cairan atau makanan tidak dapat ditelan ke esofagus melainkan bisa masuk
Gangguan N. XI mengakibatkan kelemahan otot bahu (otot trapezius) dan otot leher (otot
sterokleidomastoideus). Pasien akan menderita bahu yang turun sebelah serta kelemahan saat leher
berputar ke sisi kontralateral. Kelainan pada nervus asesorius dapat berupa robekan serabut saraf, tumor
dan iskemia akibatnya persarafan ke otot trapezius dan otot stemokleidomastoideus terganggu.
Kerusakan nervus hipoglossus dapat disebabkan oleh kelainan di batang otak, kelainan pembuluh darah,
tumor dan syringobulbia. Kelainan tersebut dapat menyebabkan gangguan proses pengolahan makanan
dalam mulut, gangguan menelan dan gangguan proses pengolahan makanan dalam mulut, gangguan
menelan dan gangguan bicara (disatria) jalan nafas dapat terganggu apabila lidah tertarik ke belakang.
Pada kerusakan N. XII pasien tidak dapat menjulurkan, menarik atau mengangkat lidahnya. Pada lesi
unilateral, lidah akan membelok kearah sisi yang sakit saat dijulurkan. Saat istirahat lidah membelok ke
sisi yang sehat di dalam mulut.(12)
C. PEMERIKSAAN MOTORIK
– posisi tubuh
– gerakan involunter
– tonus otot
– kekuatan otot
Lesi UMN (upper motor neuron) ditandai oleh: kelemahan, kekakuan (spasticity), hiper refleks, refleks
primitif (meliputi grasp, suck,snout reflex). Lesi LMN (lower motor neuron ditandai oleh kelemahan,
Fasikulasi adalah gerakan halus otot dibawah kulit dan menandakan adanya LMN. Fasikulasi disebabkan
oleh denervasi pada seluruh motor unit yang diikuti oleh hiper sensitif terhadap asetilcolin pada otot yang
mengalami denervasi. Atrofi otot yang timbul biasanya bersamaan dengan fasikulasi. Fibrilasi adalah
kontraksi spontan pada serabut otot secara individu sehingga tidak teramati oleh mata telanjang.
Paralisis atau kelemahan/ kelumpuhan tampak pada posisi tubuh abnormal. Lesi di sentral biasanya
menyebabkan kelemahan/ kelumpuhan yang lebih besar pada otot ekstensor daripada otot fleksor di
ekstremitas superior, sebaliknya pada ektremitas inferior kelemahan/ kelumpuhan lebih besar pada otot
fleksor.
Berikut ini pemerikaan tic, tremor dan fasikulasi. Catat lokasi dan kualitasnya, catat pula jika ada
hubungan dengan posisi tubuh tertentu (spesifik) atau keadaan emosi. Periksalah secara sistematik semua
3 Pasien mampu melawan gravitasi, tapi tidak mampu terhadap tahanan ringan dari pemeriksa
Normal: 5
Beberapa klinisi membagi lagi dalam sub dengan: menambah +/- menjadi 3+, atau 5-
Dimulai dari deltoid, minta pasien untuk mengangkat ledua lengan atas ke anterior simultan dengan
tahanan yang diberikan pemeriksa. Bandingkan kanan dan kiri. m. Deltoid disarafi oleh C5 melalui N.
Axillaris
Minta pasien untuk untuk ekstensi antebrachiumdan anterofleksi seperti membawa nampan (supinasi).
minta pasien untuk memejamkan mata dan bertahan dalam posisi tersibut selama 10 hitungan. Normal
mampu bertahan. Bila ada kelemahan ekstremitas superior, mata akan pronasi (pronator drift) dan jatuh.
Pronator drift merupakan indikator kelumpuhan/ kelemahan UMN. Pada UMN otot supinator ekstemitas
superior lebih lemah dari pronator, sehingga cenderung pronasi. Tes ini juga baik untuk menguji
konsistensi interna, sebab pasien yang pura-pura akan selalu menjatuhkan tangan tanpa disertai pronasi.
Periksa kekuatan fleksi lengan bawah dengan memegang pergelangan tangan dan memberi tahanan pada
penderita dari sisi atas, minta pasien untuk fleksi lengan bawah. Ulangi dan bandingkan dengan lengan
yang lain. Tes ini untuk memeriksa m. biseps brachii yang disarafi oleh C5&6 melalui N musculocutaneus.
Mintalah pasien untuk ekstensi lengan bawah melawan tahan yang diberikan pemeriksa. Mulailah dari
posisi fleksi maksimal, posisi ini sangat sensitif untuk mengetahui penurunan kekuatan. Bandingkan
dengan sisi kontra lateral. Tes ini untuk memeriksa m. triseps brachii yang disarafi oleh C6&7 melalui
nervus radialis.
Periksa kekuatan ekstensi tangan dengan meminta pasien ekstensi pergelangan tangan melawan tahanan
dari pemeriksa. Bandingkan dengan sisi kontralateral. Tes ini untuk memeriksa otot ekstensor lengan
bawah yang disarafi oleh C6&7 melalui N radialis. N radialis merupakan saraf otot extensor lengan,
mensarafi semua otot ekstensor pada lengan atas dan lengan bawah.
Periksalah genggaman pasien dengan meminta penderita menggenggam jari pemeriksa sekuatnya dan
tidak melepas genggaman saat memeriksa mencoba menarik jarinya. Normal pemeriksa tidak dapat
menarik jari dari genggaman pasien. Bandingkan dengan sisi kontra lateral. Tes ini untuk memeriksa
kekuatan otot fleksor lengan bawah dan otot intrinsik tangan.
Periksalah otot intrinsik tangan sekali lagi, dengan meminta pasien abduksi pada semua jari dan melawan
tekanan/ tahanan pemeriksa. Normal pasien dapat menahan tekanan pemeriksa. Otot abduksi jari disarafi
oleh T1 melalui N ulnaris.
Periksalah kekuatan oposisi ibujari dengan meminta pasien menyentuhkan ujung ibujari dengan jari
jelunjuknya sendiri dan melawan tahanan pemeriksa.bandingkan dengan sisi kontra lateral.
Oposisi ibujari disarafi oleh C8&T1 melalui N. medianus.
Periksalah fleksi sendi panggul. Pasien dalam posisi berbaring. Mintalah pasien mengangkat tungkai
dengan fleksi sendi panggul melawan tahanan pemeriksa. Bandingkan dengan sisi kontra lateral. Tes ini
memeriksa m. iliopsoas
Fleksi panggul disarafi olef L2&3 melalui N femoralis.
Periksalah adduksi tungkai dengan meletakkan tangan pemeriksa pada sisi dalam paha dan mintalah
Periksalah abduksi tungkai dengan meletakkan tangan pemeriksa pada sisi luar paha dan mintalah
Periksalah ekstensi panggul dengan meminta pasien menekan tungkai kebawah melawan tahanan tangan
pemeriksa yang ada di bawah tungkai. Bandingkan dengan sisi kontra lateral. Tes ini memeriksa m.
gluteus maksimus.
Ekstensi panggul disarafi oleh L4&5 melalui N. gluteus
Periksalah ekstensi lutut dengan meletakkan tangan pemeriksa di bawah lutut dan pergelangan kaki,
mintalah pasien ektensi lutut melawan tahan pemeriksa, bandingkan dengan sisi kontra lateral. Tes ini
Periksalah fleksi lutut dengan memegang lutut dan memberikan tahanan pada pergelangan kaki. Mintalah
pasien menarik tumit kearah pantat sekuat mungkin (fleksi) melawan tahanan pemeriksa. Bandingkan
dengan sisi kontra lateal. Tes ini memeriksa otot hamstring, yang disarafi oleh L5 &S1 melalui Nsciatica
Periksalah dorsofleksi dengan meminta pasien dorsofleksi kaki sekuat mungkin melawan tahanan
pemeriksa. Bandingkan sisi kontra lateral. Tes ini memeriksa kompartemen anterior cruris. Dorsofleksi
kaki disarafi oleh L4&5 melalui N peroneus.
Periksalah plantar fleksi dengan meminta pasien plantar fleksi sekuat mungkin melawan tahanan
pemeriksa. Bandingkan dengan sisi kontra lateral. Tes ini memeriksa m. gastroknemius dan soleus di
Mintalah pasien ekstensi ibu jari kaki melawan tahanan pemeriksa. Tes ini memeriksa m. ekstensor halucis
longus yang disarafi oleh L5.
Pasien dengan kelainan otot primer (seperti: polymiositis), kelainan pada neuromuscula junction
(miastenia gravis), biasanya kelemahan/ kelumpuhan berkembang pada kelompok otot proksimal.
Kelemahan terberat pada otot gelang panggul dan gelang bahu. Kelemahan ini tampak/ manifes pada
kesulitan saat berdiri dari kursi tanpa bantuan otot lengan. Pasien biasanya mengeluh kesulitan keluar dari
mobil, atau sulit menyisir rambut.(3)
Palpasi tonus: (flaccid, clonic, spastik normal) (flaccid, clonic, spastik normal)
D. REFLEK FISIOLOGIS
1. Reflek bisep :
b. Lengan rileks, posisi antara fleksi dan ekstensi dan sedikit pronasi, lengan diletakkan di atas lengan
pemeriksa
c. Ibu jari pemeriksa diletakkan diatas tendo bisep, lalu pukullah ibu jari tadi dengan palu reflek
2. Reflek trisep
3. Reflek brakhioradialis :
a. Lengan bawah sedikit di fleksikan pada sendi siku dan tangan sedikit di pronasikan
a. Lengan bawah sedikit di fleksikan pada siku, sikap tangan antara supinasi dan pronasi
1. Reflek patela :
e. Respon : pemeriksa akan merasakan kontraksi otot kuadrisep, ekstensi tungkai bawah. (5)
2. Reflek Kremaster :
3. Reflek Plantar :
4. Reflek Gluteal :
Secara umum reflek adalah respon motorik spesifik akibat rangsang sensorik spesifik. Ada 3 unsur yang
berperan yaitu jaras aferen, busur sentral, dan jaras eferen.Perubahan ketiga komponen tersebut akan
mengakibatkan perubahan dalam kualitas maupun kuantitas dari reflek. Intergritas dari arcus reflek akan
terganggu jika terdapat malfungsi dari organ reseptor,nercus sensorik, ganglion radiks posterior, gray
matter medula spinal, radik anterior, motor end plate, atau organ efektor.Pengetahuan tentang reflek
dapat digunakan untuk menentukan jenis kerusakan yang terjadi pada sistem persyarafan. Ada beberapa
1. Brainstem reflek
0 : absent
2 : normal
3 : hiperativity
a. stadium akut
b. reflek abdominal / dinding perut dan reflek kremaster akan menurun baik lesi UMN atau LMN
2. Reflek tidak akan dipengaruhi pada lesi CNS yang mengenai sistem sensorik, cerebelar, atau ganglia
basalis
3. Setelah stadium akut umumnya lesi cerebelar lebih cepat menimbulkan reflek yang meningkat dari pada
lesi spinal.
4. Adanya asimetri reflek bila disertai tanda-tanda lain berupa defisit motorik dan sensorik pada satu sisi,
maka pada satu sisi yang mengalami defisit motorik atau sensorik tersebut adalah abnormal /patologi
5. Reflek kornea tidak dipengaruhi oleh lesi UMN.(10)
Pembagian reflek
a. reflek pupil
c. cornea reflek
d. jaw reflek
a. biceps
b. triceps
c. patela
d. ankle jerk
e. dll
3. reflek superficial
a. dinding perut
b. cremaster
c. anal
d. dll
4. reflek primitif
a. snouting
b. palmo mental
c. glabela
d. dll
5. reflek abnormal/ patologi /
a. babinsky
b. hoffmann
c. gordon
d. dll (8)
Berikut akan disampaikan reflek yang terkait dengan reflek patologik dan reflek primitif.
Tangan pasien ditumpu oleh tangan pemeriksa, kemusian ujung jari tangan pemeriksa yang lain
disentilkan ke ujung jari tengah tangan penderita. Kita lihat respon jari tangan penderita, yaitu fleksi jari-
jari yang lain, aduksi dari ibu jari. Reflek positif bilateral bisa dijumpai pada 25 % orang normal,
2. Grasping reflek
Gores palmar penderita dengan telunjuk jari pemeriksa diantara ibujari dan telunjuk penderita. Maka
timbul genggaman dari jari penderita, menjepit jari pemeriksa. Jika reflek ini ada maka penderita tidak
dapat membebaskan jari pemeriksa. Normal masih terdapat pada anak kecil. Jika positif ada pada dewasa,
3. Reflek palmomental
Garukan pada telapak tangan pasien menyebabkan kontraksi muskulus mentali ipsilateral. Reflek
patologis ini timbul akibat kerusakan lesi UMN di atas inti saraf VII kontralateral.
a. Ketukan hammer pada tendo insertio m. Orbicularos oris, maka akan menimbulkan reflek menyusu.
b. Menggaruk bibir dengan tingue spatel maka akan timbul reflek menyusu.
Normal pada bayi, jika positif pada dewasa menandakan lesi UMN bilateral.
5. Mayer reflek
Fleksikan jari manis di sendi metacarpophalangeal, secara firmly normal akan timbul adduksi dan aposisi
dari ibu jari. Absennya respon ini menandakan lesi di tractus pyramidalis.
6. Reflek Babinski
Lakukan goresan pada telapak kaki dari arah tumit ke arah jari melalui sisi lateral, orang normal akan
memberikan respon fleksi jari-jari kaki dan penarikan tungkai. Pada lesi UMN maka akan timbul respon
jempol kaki akan dorsofleksi, sedangkan jari-jari lain akan menyebar atau membuka.
7. Reflek Oppenheim
Lakukan goresan pada sepanjang tepi depan tulang tibia dari atas ke bawah, dengan kedua jari telunjuk
dan tengah., jika posistif maka akan timbul reflek seperti babinski
8. Reflek gordon
Lakukan goresan / memencet otot gastrocnemius, jika posistif maka akan timbul reflek seperti babinski
9. Reflek schaefer
Lakukan pemencetan pada tendo achiles. Jika positif maka akan timbul reflek seperti babinski
Lakukan goresan sepanjang tepi lateral punggung kaki di luar telapak kaki, dari tumit ke depan. Jika
Pukulkan hammer reflek pada dorsal kaki pada tulang cuboid. Reflek akan terjadi fleksi jari-jari kaki.
A. Anamnesis
• modalitas sensorik normal tetapi tidak bias mengenal benda pada perabaan tangan (astereognosis)
• lain-lain keluhan
Keluhan positif semacam parestesi, disestesi dan nyeri biasanya dapat dilokalisir, tetapi gejala-gejala
d. Sifat keluhan.
Penderita diminta menggambarkan sifat keluhan. Pada keluhan nyeri perlu juga diketahui derajat rasa
Apakah ada kejadian-kejadian yang memicu terjadinya keluhan. Misalnya pada HNP, penderita merasakan
ischialgia pada waktu mengangkat benda berat, dan nyeri meningkat pada keadaan-keadaan yang
menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial, misalnya batuk, mengejan, bersin), dan lain-lain.
f. Kelainan neurologis yang menyertai.
Dapat berupa kelemahan/gangguan motorik, gangguan bahasa, kejang, gangguan defekasi dan miksi,
dan gangguan saraf otonom.
B. Pemeriksaan fisik
1. Pemeriksaan modalitas
Modalitas primer dari sensasi somatik (seperti rasa nyeri, raba, posisi, getar dan suhu) diperiksa lebih dulu
Nyeri merupakan sensasi yang paling baik untuk menentukan batas gangguan sensorik. Alat yang
Cara pemeriksaan:
c. Tekanan terhadap kulit penderita seminimal mungkin, jangan sampai menimbulkan perlukaan.
d. Rangsangan terhadap terhadap kulit dilakukan dengan ujung runcing dan ujung tumpul secara
bergantian. Penderita diminta menyatakan sensasinya sesuai yang dirasakan. Penderita jangan ditanya:
e. Bandingkan daerah yang abnormal dengan daerah normal yang kontralateral tetapi sama (misalnya:
f. Penderita juga diminta menyatakan apakah terdapat perbedaan intensitas ketajaman rangsang di daerah
yang berlainan.
g. Apabila dicurigai daerah yang sensasinya menurun/meninggi maka rangsangan dimulai dari daerah tadi
Pemeriksaan dilakukan dengan cara menekan tendo Achilles, fascia antara jari tangan IV dan V atau testis.
Alat yang dipakai adalah kapas, tissue, bulu, kuas halus, dan lain-lain. Cara pemeriksaan :
c. Stimulasi harus seringan mungkin, jangan sampai memberikan tekanan terhadap jaringan subkutan.
Tekanan dapat ditambah sedikit bila memeriksa telapak tangan atau telapak kaki yang kulitnya lebih tebal.
d. Mulailah dari daerah yang dicurigai abnormal menuju daerah yang normal. Bandingkan daerah yang
abnormal dengan daerah normal yang kontralateral tetapi sama (misalnya: lengan bawah volar kanan
dengan kiri)
e. Penderita diminta untuk mengatakan “ya” atau “tidak” apabila merasakan adanya rangsang, dan
sekaligus juga diminta untuk menyatakan tempat atau bagian tubuh mana yang dirangsang.
• Pemeriksaan sensasi getar/vibrasi
Alat yang digunakan adalah garpu tala berfrekuensi 128 atau 256 Hz.
Cara pemeriksaan:
b. Kemudian pangkal garpu tala diletakkan pada daerah dengan tulang yang menonjol seperti ibu jari
kaki, pergelangan tangan, maleolus lateralis/medialis, procc. spinosus vertebrae, siku, bagian lateral
e. Untuk penentuan lebih cermat, garpu tala kemudian dipindahkan pada bagian tubuh yang sama pada
pemeriksa. Apabila pemeriksa masih merasakan getaran, berarti rasa getar penderita sudah menurun.
Gambar 1
Tujuannya adalah memperoleh kesan penderita terhadap gerakan dan pengenalan terhadap arah gerakan,
kekuatan, lebar atau luas gerakan (range of movement) sudut minimal yang penderita sudah mengenali
adanya gerakan pasif, dan kemampuan penderita untuk menentukan posisi jari dalam ruangan. Tidak
diperlukan alat khusus.
Cara pemeriksaan:
c. Penderita diminta mempertahankan posisi tersebut. Pada kelemahan otot satu sisi atau gangguan
Modifikasi dari tes ini adalah dengan menaik turunkan kedua tangan dan penderita diminta menanyakan
Kedua tes di atas dapat dikombinasi dengan modifikasi tes Romberg. Caranya: penderita diminta berdiri
dengan tumit kanan dan jari-jari kaki kiri berada pada satu garis lurus dan kedua lengan ekstensi ke
depan. Kemudian penderita diminta menutup matanya. Bila ada gangguan proprioseptik pada kaki maka
b. Jari-jari penderita harus benar-benar dalam keadaan relaksasi dan terpisah satu sama lain sehingga
tidak bersentuhan.
c. Jari penderita digerakkan secara pasif oleh pemeriksa, dengan sentuhan seringan mungkin sehingga
tekanan terhadap jari-jari tersebut dapat dihindari, sementara itu jari yang diperiksa tidak boleh
melakukan gerakan aktif seringan apapun.
d. Penderita diminta untuk menyatakan apakah ada perubahan posisi jari atau adakah gerakan pada
jarinya.
Cara lain adalah dengan menempatkan jari-jari salah satu penderita pada posisi tertentu dan meminta
Alat yang dipakai adalah tabung berisi air bersuhu 5-10ºC untuk sensasi dingin dan air 40-45ºC untuk
sensasi panas.
Cara pemeriksaan:
c. Tabung ditempelkan pada kulit penderita dan penderita diminta menyatakan apakah terasa dingin atau
panas.
Syarat pemeriksaan ini adalah fungsi sensorik primer (raba, posisi) harus baik dan tidak ada gangguan
tingkat kesadaran, kadang-kadang ditambah dengan syarat harus mampu memanipulasi objek atau tidak
Gangguan ini diperiksa dengan dua rangsangan tumpul pada dua titik di anggota gerak secara serempak,
bisa memakai jangka atau calibrated two point esthesiometer. Pada anggota gerak atas biasanya diperiksa
pada ujung jari. Orang normal bisa membedakan dua rangsangan pada ujung jari bila jarak kedua
rangsangan tersebut lebih besar dari 3 mm. Ketajaman menentukan dua rangsangan tersebut sangat
bergantung pada bagian tubuh yang diperiksa, yang penting adalah membandingkan kedua sisi tubuh.
(Gambar 2)
Gambar 2
b. gangguan graphesthesia
Pemeriksaan graphesthesia dilakukan dengan cara menulis beberapa angka pada bagian tubuh yang
berbeda-beda dari kulit penderita. Pasien diminta mengenal angka yang digoreskan pada bagian tubuh
tersebut sementara mata penderita ditutup. Besar tulisan tergantung luas daerah yang diperiksa. Alat yang
digunakan adalah pensil atau jarum tumpul. Bandingkan kanan dengan kiri. (Gambar 3)
Gambar 3
Gambar 4
benda dengan rabaan disebut sebagai tactile anogsia atau astereognosis. Syarat pemeriksaan, sensasi
Kemampuan pasien untuk melokalisasi rangsangan raba pada bagian tubuh tertentu. Syarat pemeriksaan,
Membedakan berat antara dua benda, sebaiknya diusahakan bentuk dan besar bendanya kurang lebih
sama tetapi beratnta berbeda. Syarat pemeriksaan, rasa gerak dan posisi sendi harus baik.
Anosognosia adalah penolakan atau tidak adanya keasadaran terhadap bagian tubuh yang lumpuh atau
hemiplegia. Bila berat, pasien akan menolak adanya kelumpuhan tersebut dan percaya bahwa dia dapat
menggerakkan bagian-bagian tubuh yang lupuh tersebut.
Alat yang digunakan adalah kapas, kepala jarum atau ujung jari. Cara pemeriksaan adalah dengan
merangsang secara serentak pada kedua titik di anggota gerak kanan dan kiri yang letaknya setangkup,
sementara itu mata ditutup. Mula-mula diraba punggung tangan pasien dan pasien diminta menggenal
tempat yang diraba. Kemudian rabalah pada titik yang satangkup pada sisi tubuh yang berlawanan dan
ulangi perintah yang sama. Setelah itu dilakukan perabaan pada kedua tempat tersebut dengan tekanan
yang sama secara serentak. Bila ada extinction phenomen maka pasien hanya akan merasakan rangsangan
pada sisi tubuh yang sehat saja.
• Tinel’s sign
Umumnya digunakan untuk tes saraf medianus pada sindroma Carpal-Tunnel. Tepukan ujung jari pada
saraf medianus di tengah-tengah terowongan carpal akan menimbulkan disesthesi (rasa paresthesi dan
nyeri yang menjalar mulai dari tempat rangsang ke jari-jari telunjuk, tengah dan manis yang mirip aliran
listrik).
• Perspiration test
Prinsip: adanya keringat akan bereaksi dengan amilum/tepung yang diberi yosium, sehingga memberikan
warna biru.
Cara pemeriksaan :
a. Bagian depan tubuh (leher ke bawah) disapu dengan tepung yang mengandung yodium.
b. Kemudian tubuh penderita ditutup dengan semacam sungkup supaya cepat berkeringat (bila perlu
diberi obat antipiretik).
c. Setelah 1-2 jam sungkup dibuka dan dicatat bagian tubuh yang tetap putih (tidak ada produksi
keringat).
Tes ini adalah tes yang obyektif dan digunakan pada kasus-kasus paraplegia untuk menentukan batas
lesinya. Koordinasi adalah penggunaan normal dari faktor-faktor motorik, sensorik dan sinergik dalam
diperiksa dengan:
a. Tes Romberg
Penderita diminta berdiri dengan kedua tumit saling merapat. Pertama kali dengan mata terbuka
kemudian penderita diminta menutup matanya. Pemeriksa menjaga jangan sampai penderita jatuh tanpa
menyentuh penderita. Hasil positif didapatkan apabila penderita jatuh pada satu sisi.
Penderita diminta berjaln pada satu garis lurus di atas lantai, dengan cara menempatkan satu tumit
langsung di depan ujung jari kaki yang berlawanan, baik dengan mata terbuka atau tertutup. (Gambar 5)
Gambar 5
Gambar 6
2. Gangguan non equilibratory coordination (pergerakan yang disengaja dari anggota gerak, terutama
a. Finger-to-nose test.
Bisa dilakukan dengan posisi pasien berbaring, duduk atau berdiri. Dengan posisi abduksi dan ektensi
secara komplit, mintalah pada pasien untuk menyentuh ujung hidungnya sendiri dengan ujung jari
telunjuknya. Mula-mula dengan gerakan perlahan kemudian dengan gerakan cepat, baik dengan mata
b. Nose-finger-nose-test
Serupa dengan finger to nose test, tetapi setelah menyentuh hidungnya, pasien diminta menyentuh ujung
jari pemeriksa dan kembali menyentuh ujung hidungnya. Jari pemeriksa dapat diubah-ubah baik dalam
c. Finger-to-finger test
Penderita diminta mengabduksikan lengan pada bidang horizontal dan diminta untuk menggerakkan
kedua ujung jari telunjuknya saling bertemu tepat ditengah-tengah bidang horizontal tersebut. Pertama
dengan gerakan perlahan kemudian dengan gerakan cepat, dengan mata ditutup dan dibuka.
d. Diadokokinesis
Penderita diminta untuk menggerakan kedua tangannya bergantian pronasi dan supinasi dengan posisi
siku diam, mintalah gerakan tersebut secepat mungkin dengan mata terbuka atau mata tertutup.
Diadokokinesis pada lidah dapat dikerjakan dengan meminta penderita menjulurkan dan menarik lidah
Tapping test merupakan variasi test diadokokinesis, dilakukan dengan menepuk pinggiran meja/paha
dengan telapak tangan secara berselingan bagian volar dan dorsal tangan dengan cepat atau dengan
tepukan cepat jari-jari tangan ke jempol. (Gambar 8)
Gambar 7
Gambar 8
e. Heel-to-knee-to-toe test
Penderita diminta untuk menggerakkan tumit kakinya ke lutut kontralateral, kemudian diteruskan dengan
mendorong tumit tersebut lurus ke jari-jari kakinya. (Gambar 9) Variasi dari test ini adalah toe-finger test,
yaitu penderita diminta untuk menunjuk jari penderita dengan jari-jari kakinya atau dengan cara membuat
lingkaran di udara dengan kakinya. (Gambar 10)
Gambar 9
Gambar 10
f. Rebound test
Penderita diminta adduksi pada bahu, fleksi pada siku dan supinasi lengan bawah, siku
difiksasi/diletakkan pada meja periksa/alas lain, kemudian pemeriksa menarik lengan bawah tersebut dan
penderita diminta menahannya, kemudian dengan mendadak pemeriksa melepaskan tarikan tersebut
tetapi sebelumnya lengan lain harus menjaga muka dan badan pemeriksa supaya tidak terpukul oleh
lengan penderita sendiri bila ada lesi cerebellum.
DAFTAR PUSTAKA
1. Lippincott Williams and Wilkins. Bates’ Guide Physical Examination and History Taking Eight Editiom.
3. http//endeavor.med.nyu.edu//neurosurgery.
4. Sidharta P. Tata Pemeriksaan Klinis dalan Neurologi. 4th ed. Jakarta : Dian Rakyat. 1999; 429-40.
5. Laboratorium Ketrampilan Keperawatan Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran
Universitas Gadjah Mada. Skills Lab pendidikan ketrampilan keperawatan program B semester I.
Yogyakarta : Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada. 2002; 28-38.
http://medinfo.ufl.edu/year1/bes/clist/neuro.html.Accessed .
7. Satyanegara M.D. Ilmu Bedah Saraf, Ed. 3, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2000.
8. Juwono T. Dr, Pemeriksaan Klinik Neurologik dalam Praktek, EGC, Jakarta, 1996.
9. Talley, Nicholas J, O’Connor Simon, Pemeriksaan Klinis. Pedoman Diagnosis Fisik, Binarupa Aksara,
Jakarta, 1994.
10. Mardjono, Mahar Prof. Dr, Sidharta Prigura Prof. Dr, Neurologi Klinis Dasar, Dian Rakyat, Jakarta, 2000.
11. Delf H. Mohlan, Manning T. Robert, Major Diagnosis Fisik. Ed. 9, EGC, Jakarta, 1996.
12. Aman A. Renindra dr. Sp. Bs, Gangguan saraf Kranialis, Balai Penerbitan FKUI, 2003.