Skripsi
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)
Oleh :
Hasyim Asy’ari
NIM : 106043101297
DAFTAR ISI…………………………………........................................... vi
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang………………..………………….. 1
D. Kajian Pustaka……………………………………. 9
F. Sistematika Penulisan…………………………….. 13
viii
B. Biografi Majelis Ulama Indonesia…………………... 33
ISLAM
Islam………………………………………………… 54
MUI………………………………………………… 60
dan MUI…………………………………………… 65
BAB V : PENUTUP
A. Kesimpulan………………………………………… 70
ix
B. Saran………………………………………………. 72
LAMPIRAN............................................................................................... 75
x
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
rohani. Dalam memilih makanan yang baik, hendaknya sebagai umat muslim
memilih makanan yang sehat menurut Islam. Dalam ajaran Islam banyak
yang halal dan haram, etika (adab) makanan, sampai mengatur idealitas dan
kuantitas makanan di dalam perut. Salah satu peraturan yang terpenting ialah
yang haram atau belum di ketahui kehalalannya akan berakibat serius, baik di
dunia maupun di akhirat kelak sebagaimana hadis Nabi yang artinya, “Setiap
halal lagi baik dan menyehatkan tidak lain adalah demi tercapainya
1
2
Artinya; “Hai sekalian umat manusia, makanlah yang halal lagi baik dari
nyata bagimu’’.(Al-Baqarah:168)
انّ اﷲ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﻃﯿّﺐ ﻻ ﯾﻘﺒﻞ اﻻ ﻃﯿّﺎ: ﻗﺎل رﺳﻮل اﷲ: ﻋﻦ اﺑﻰ ھﺮﯾﺮة ﻗﺎل
Artinya; “Sesungguhnya Allah itu baik dan menyukai hal-hal yang baik-baik
Hikmah di balik perintah itu adalah agar agama, jiwa, akal serta
keturunan, dan harta dapat terjaga dan terpelihara dengan baik. Dengan
berbagai varian dalam hal barang dan jasa yang dapat diperoleh dan
terutama sekali terlihat pada hal makanan dengan berbagai cara pengelolaan
dan pembuatannya. Agar hasil olahannya terlihat baik, tahan lama, dan unggul
dari kompetitifnya dunia perdagangan tetapi praktis dan dengan biaya murah,
berupa pewarna, perasa, dan pengawet makanan, tanpa banyak berpikir dan
kesehatan.
makanan.
dalam jangka waktu yang lama dapat menyebabkan kanker, kerusakan hati,
ini sekarang. Setelah sekian lama produsen nakal ini tanpa pengawasan telah
Selain Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai organisasi para ulama yang
sertifikat halal pada setiap produk makanan di Indonesia. (bagi produsen yang
mengajukan permohonan).
yang akan diteliti karena proses kimiawi dan biologi strukturnya berubah.
dengan segala perangkat hukum yang ada. Sudah barang tentu konsep
penerapannya pun berbeda. Hanya saja yang jadi permasalahan ini adalah
Terkait dengan makanan yang haram dalam Islam ada dua jenis:
tersebut memang sudah haram, seperti: bangkai, darah, babi, anjing dan
selainnya.
2. Ada yang diharamkan karena suatu sebab yang tidak berhubungan dengan
menjadi haram karena adanya sebab yang tidak berkaitan dengan makanan
tersebut. Misalnya: makanan dari hasil mencuri, upah perzinaan dan lain
sebagainya.
Berkenaan dengan makanan halal dan haram dalam Islam, ulama juga
Rasulullah supaya dibunuh maka tidak ada sembelihan baginya, karena Rasul
7
yang dimakan”.1
sama dengan minhaj yang ditempuh oleh Daud al-Dzahiri yang di dalam
meletakkan hukum banyak berbeda dengan ulama pada umumnya. Hal ini
tentang perilaku konsumsi yang baik dalam pandangan Islam dan secara
khusus dalam pandangan Ibnu Hazm, maka dari itu penulis tertarik untuk
1
Abu Muhammad Ali bin Ahmad bin Said bin Hazm al-Andalusi, al-Muhalla bi al-
ini berkisar tentang perilaku konsumsi makanan dan minuman yang halal
dan pandangan Ibnu Hazm tentang sertifikasi halal dalam konsumsi, serta
kajian persamaan dan perbedaan sertifikasi halal menurut MUI dan Ibnu
Hazm.
halal?
Ibnu Hazm dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) tentang sertifikasi halal.
Penulis pun berharap, dengan penulisan skripsi ini maka akan mampu
2. Secara praktis, dapat dijadikan sebagai dasar atau bandingan bagi para
D. Kajian pustaka
Dalam penelitian yang telah lalu, ada penulisan skripsi yang terkesan
pengawet makanan.
yang digunakan oleh Ibnu Hazm dan MUI dalam menetapkan hukum,
E. Metode Penelitian
1. Jenis penelitian
2. Pendekatan Penelitian
3. Jenis Data
Jenis data yang digunakan dalam skripsi ini adalah data sekunder,
4
Sudarman Danim, Menjadi Peneliti Kualitatif (Bandung: Pusaka Setia, 2002), h. 51
12
4. Pengumpulan Data
sebagai berikut:
tolak dari data yang bersifat khusus kemudian ditarik atau diambil
6. Teknik Penulisan
memakai acuan dari ”Pedoman menulis skripsi, yang diterbitkan oleh UIN
F. Sistematika Penulisan
Bab I ; Bab ini mengenai pendahuluan yang memuat latar belakang masalah,
Bab II ; Bab ini tentang biografi umum tentang Ibn Hazm dan MUI. Diawali
dengan riwayat hidup Ibn Hazm, karya-karya Ibn Hazm, situasi politik,
intelektual dan sosial pada masa Ibn Hazm, metode Ibn Hazm, sejarah
terbentuknya MUI, matode fatwa MUI, serta mekanisme Kerja Komisi Fatwa
MUI.
kriteria halal dan haram, dampak makanan halal dan haram terhadap perilaku
konsumsi.
Bab V ; Penutup yang disertai kesimpulan dan saran yang dibagian akhir
BAB II
Ibnu Hazm lahir pada hari terakhir bulan ramadhan 384 H / 994 M di
Manta Lisyam (Cordova). Nama lengkapnya adalah Abu Muhammad ‘ali Ibn
Ahmad Ibn Sa’id Ibn Hazm Ibn Galib Ibn Saleh Ibn Khalaf Ibn Mu’az Ibn Sufyan
Ibn Yazid.1 Ibn Hazm merupakan keturunan Persia dari nenek moyangnya yaitu
Maula Yazid Ibn abi Sufyan al-Umawi.2 Masa lahir beliau adalah masa yang
tragis dan krisis bagi umat Islam di Spanyol. Meskipun pada masa itu budaya dan
ilmu pengetahuan sudah cukup maju. Cordova sebagai tempat kelahiran Ibnu
Hazm sebagai Ibu Kota Spanyol telah berkembang menjadi kota administrasi dan
universitas Cordova.
lingkungan keluarga yang serba kecukupan baik dari harta, kehormatan, dan
Khalifah al-Mansur dan al-Muhaffar. Dengan didasari semangat yang tinggi Ibnu
1
Faruq Abdul Mu’ti,Ibnu Hazm az-zhahiri (Beirut: Dar al-kutub al-‘Ilmiyyah, 1992),
h.7.
2
Ibn Kasir, Al-Bidayah wa an-Nihayah (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.), Juz 1, h. 2-3.
14
15
Hazm diarahkan untuk menjadi pengarang yang handal. Setiap ilmu selalu
Qur’an, menghafal sya’ir, sastra, menulis ilmu mantik, dan filsafat. Sampai dengan
kehidupan keluarga Ibnu Hazm berganti suasana, yakni terjadi bentrokan antara
keturunan Umayyah, hingga jatuhlah kekuasaan Ahmad (ayah Ibnu Hazm). Dalam
situasi itu. Ayahnya berjuang di pihak al-Mahdi untuk mengusir orang-orang Siav
Tetapi keadaan ini tidak dapat dibendung lagi, karena keluarganya mendapat
tekanan politik sehingga ayahnya meninggal dunia (402 H/ 1012 M). Di saat itulah
Ibnu Hazm pada majlis ilmu yang terdapat di masjid Cordova. Beliau bertatap
3
Ibn Hazm az-zahiri, al-Ihkam fi Usul al-Ahkam, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah,
t.t.h.) Juz I, h.2-3.
4
Ibn Hazm, An-Nubz fi Usul al-Fiqh az-Zahiri (ttp.: Dar Ibn Hazm, 1993), h. 8.
5
Harun nasution, Ensklopedi Islam, (Jakarta: Depag, 1933), h. 391.
16
muka dan berdialog dengan beberapa gurunya.6 Berbagai macam disiplin ilmu dan
berbagai orang guru telah membentuk kerangka berfikir Ibnu Hazm yang
dan Valencia. Keadaan inilah yang membentuk dan mengubah karakter Ibnu
Adapun anak-anak Ibnu Hazm adalah Abu Rafi’ al-Fadl, Abu Usamah
Ya’qub, abu Sulaiman al-Mus’ab, mereka ini telah belajar kepada ayahnya
berbagai macam ilmu. Mereka termasuk sebagai orang yang alim dan termasuk
muridnya yang terkenal yakni Muhammad Ibn Futuh bin ‘Aid dan Abu “Abdullah
al-Milal wa al-Ahwa’ an-Nihal yang ditulis oleh Ibnu Khalikan, dinyatakan bahwa
6
Adapun guru-guru Ibn Hazm yairu: Abu Qasim ‘Abdurrahman ibn Abi Yazid al-Azdi,
beliau guru dalam bidang ilmu hadis, nahwu, cara menyusun kamus, logika, dan ilmu kalam.
Sedangkan Abu Khiyar al-Lugawi adalah gurunya dalam bidang fiqh dan peradilan. Kemudian
Abu Sa’id al-Fata al-Ja’fari adalah gurunya mengenai komentar atau usulan sya’ir. Dibidang hadis
beliau belajar kepada Ahmad bin Muhammad Ibn al-Jasar, mengenai tafsir ia membaca tafsir yang
ditulis Abi Abdurrahman Baqi ibn Muqallid, baik dalam bidang filsafat, purbakala dan masih
banyak lagi ilmu yang dipelajari oleh Ibn hazm, ibid.
7
Ibn Hazm, Juz I, h. 4.
17
jumlah karangan Ibnu Hazm meliputi bidang fiqh, ushul fiqh, hadis, mustala al-
apologetik yang berjumlah sekitar 400 jilid yang terdiri dari 80.000 lembar yang
ditulis dengan tangan sendiri.8 Tetapi karya-karya Ibnu Hazm tidak dapat
penguasa dinasti al-Mu’tadi al-Qadi ‘An al-Qasim Muhammad Ibn Isma’il Ibn
‘Ibad.
mazhab resmi yang di akui oleh pemerintah Spanyol pada waktu itu adalah
mazhab Maliki, sedangkan Ibnu Hazm seorang pelopor mazhab az-Zahiri, oleh
karena itu Ibnu Hazm dan pengikut-pengikutnya tidak restui di kalangan penguasa
pada masa itu. Dan secara politis Ibnu Hazm dan karya-karyanya tidak dapat hak
hidup dan berkembang di Spanyol. Kedua, secara politik Ibnu Hazm pendukung
utama dinasti Umayyah dan berkali-kali menjabat menteri, keadaan ini yang
mengundang kecurigaan berat dari penguasa baru (al-Mu’tadi). Ketiga, Ibnu Hazm
peristiwa politik Spanyol pada waktu itu dinilai sangat berbahaya karena
1. Tauq al-Hamamah
8
Ibn Hazm, al-Fisal fi al-Milal wa al-Ahwa’wa an-Nihal (Beirut: t.p., 1897), Juz I, h. 1.
9
Harun Nasution, h.392.
18
Umayyah di Andalusia di awal abad ke-14 H. Pada masa kekuasaan an-Nasir ini
19
termasuk Perancis yang juga tunduk dan takut kepada kekuatan Islam Spanyol.10
hanya memerintah 16 tahun, tidak seperti ayahnya yang menjadi raja dan khalifah
selama 50 tahun. Setelah al-Hakam wafat, ia digantikan oleh putranya yang masih
kekuasaan apapun. Pada masa inilah kedua orang tua Ibnu Hazm hidup. Setelah al-
terhadap kaum Nasrani ketika mereka baru pertama kali menaklukan Spanyol.
Kaum Kristen yang dilindungi dan dipercaya tersebut seperti duri terpendam
umat Islam dan setiap ada kesempatan digunakan sebaik-baiknya yakni setelah
10
Faruq ‘Abdul Mu’ti, h. 52-54.
20
panglima perang adalah Ibnu Abi Mansur al-‘Amin ( putra Abu Mansur ). Ibnu
yang cerdik dan bijaksana. Ibnu Mansur mempunyai ambisi merebut kekuasaan
sebagai khalifah. Ulah mereka tidak berhenti sampai disini, mereka juga
tentara Barbar sendiri. Perbuatan Barbar ini bertujuan untuk memecah belah
dinasti Umayyah. Kemudian al-Musta’in diusir dari Cordova dan begitu pula al-
al-Muayyad.
orang-orang Barbar pada tahun 403 H. dan membunuh Hisyam secara diam-diam.
umat Islam di Andalusia. Masa mudanya dipenuhi dengan kekacauan dan bencana
11
Ibid., h. 57.
21
politik sampai dia wafat. Meskipun demikian, karena rasa cinta dan tanggung
jawab terhadap Negara ia pernah terjun dalam bidang politik (seperti orang
berhenti dari kiprah politiknya dan menyibukkan diri dalam bidang ilmu. Dan pada
Ibnu Hazm meskipun terjadi krisis politik. Masa Ibnu Hazm merupakan masa
kejayaan ilmu di Andalusia. Pada masa itu muncul pakar-pakar yang berwawasan
luas yang tidak membatasi kajian pada mazhab-mazhab fiqh, disamping itu
mereka menguasai sastra dan sejarah seperti Abu ‘Amr Ibn Abdul Bar (sahabat
Ibnu Hazm) dan Abu al-Wal’id al-Baji (musuh Ibnu hazm dalam perdebatan
berkembang pada masa al-Ma’mun dan mencakup semua bidang ilmu Yunani,
setelah itu muncul banyak filosof Islam seperti Ibnu Rusyd dan Ibnu Bajah. Pada
mereka, begitu pula ulama-ulama Andalusia pergi ke timur untuk menuntut ilmu.12
Nasir yang memerintah selama 50 tahun (300-350) dia dijuluki Amir al-Mu’minin,
pasar untuk ilmu dan ulama, yang barang dagangannya didatangkan dari berbagai
penjuru. Ulama Anadalusia pada masa itu merupakan kumpulan ulama pada abad
ke-4 dan ke-5 H dan mereka mengadakan forum-forum ilmiah dan menyatukan
Hal ini mendukung Ibnu Hazm menjadi seorang yang alim, ia tumbuh dan
berkembang diantara sumber-sumber ilmu. Sejak kecil dia bergaul dengan syeh-
Masyarakat pada zaman Ibnu Hazm heterogen yang terdiri dari berbagai
macam agama dan bangsa. Terjadi pula akulturasi dan interaksi sosial antara orang
12
Faruq Abdul Mu’ti, h. 62-63.
13
Ibid., h. 63-66.
23
Arab dengan peradabannya, mereka memunculkan seorang ahli sastra dan pemikir.
keributan, tetapi yang terdidik ada pula yang menjadi satrawan. Interaksi Muslim
dan Nasrani semakin kuat, ketika pemerintah Muslim melemah. Orang muslim
mempunyai sifat dan kekhasan yang berbeda-beda. Orang Arab terkenal dengan
jiwanya, murah hati, dan mencegah diri dari hal-hal yang rendah. Orang-orang
Hindia terkenal dengan perhatiannya yang besar terhadap ilmu, mereka menekuni
kebunnya. Mereka adalah orang-orang yang ahli dalam bidang pertanian, orang
yang paling sabar dalam menekuni pekerjaan untuk menghasilkan yang terbaik,
paling pandai bermain kuda, dan paling sabar dalam menghadapi cobaan. Orang
lain, tetapi mereka membuat lemah bidang politik, sehingga politik pada masa itu
mengalami krisis, meskipun dalam bidang ilmu, seni, perindustrian dan agama
berbahasa Arab. Hal yang unik di Andalusia adalah banyaknya sastrawan dan
penyair perempuan.
untuk mengetahui harus menggunakan akal dan panca indera, akal berfungsi
memahami perintah dan larangan Allah SWT, menetapkan kebenaran Allah dan
tetap berpegang pada nas dan Ibnu Hazm memahaminya secara tekstual (zahir). Ia
14
Hal ini disebabkan karena Ibn Hazm menolak qiyas, az-Zari’ah istihsan, istinbat
dengan ra’yu dan ta’wil.
15
Ibn Hazm, Al-Ihkam fi Usul al-Ahkam, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah t.t), Jilid 1.
H. 29-65.
25
tidak memperbolehkan ta’wil.16 Pada nas-nas yang bersifat aqidah ataupun ta’lil17
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah rasul (nya),
dan Ulil Amri diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat
Ayat tersebut mengandung arti bahwa ada tiga sumber hukum bagi
16
Ta’wil adalah menafsirkan dengan lafaz tidak sesuai dengan teks zahirnya dan
mengalihkannya pada makna lain. Jika pena’wilan yang dilakukan sahih dengan argumen-argumen
tertentu maka bisa dikatakan benar, tetapi jika salah maka berarti salah, Ibid, h. 24.
17
Ta’lil adalah mencari persamaan ‘illat antara peristiwa atau kejadian yang salah satu
dari keduanya mempunyai dalil nasnya, sedangkan yang lainnya tidak. Ta’lil berkaitan dengan
Qiyas, Ibid, Jilid 2, h. 616.
18
Faruq Abdul Mu’ti, h. 89.
26
Ijma’ ( )و أوﻟﻰ اﻻﻣﺮIbnu Hazm menambahkan satu sumber hukum lagi yaitu dalil,
dan diamalkan kandungan isinya, yang diriwayatkan secara shahih dan tidak
diragukan lagi, telah ditulis dalam mushaf, dan wajib dijadikan pedoman. Perintah
dan larangan yang ada dalam Al-Qur’an harus dipahami secara tekstual dan
memahaminya sebagai hukum wajib tidak pada pena’wilan lain seperti sunnah.
lahir karena mustahil ada ayat yang mempunyai pengertian bathin tanpa ada
(banyak) pada setiap tingkatan periwayat sampai kepada Nabi, khabar ini
b. Khabar ahad, yang diriwayatkan oleh satu orang pada tiap tingkatan. Jika
19
Ibn Hazm, Juz I, h. 95 dan 70
27
satu, yang berasal dari Allah SWT, dan keduanya tidak saling
hal-hal yang ghaib yang ditetapkan berdasarkan hadis ahad dan tidak
Sumber hukum yang ketiga adalah ijma’, menurut Ibn Hazm ijma’ hanya
dapat diterima melalui tauqif, dan arena para sahabat tersebut mencakup orang-
orang mukmin pada masa itu tidak ada satu mukmin pun selain mereka. Maka
dapat dikatakan bahwa ijma’ mereka adalah ijma’ orang-orang mukmin. Adapun
ijma’ yang terjadi pada masa setelah para sahabat adalah kesepakatan sebagian
mukmin tersebut tidak dikatakan sebagai ijma’. Lebih lanjut Ibn Hazm bahwa
ijma’ terbagi dua yakni: (1). Ijma’ dalam sesuatu yang tidak diragukan lagi
meskipun dalam satu orang Islam, bagi yang tidak sepakat dalam hal tersebut
maka berarti ia bukan orang muslim, seperti bersaksi bahwa tiada Tuhan selain
Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, wajibnya shalat lima waktu, puasa
ramadhan, haramnya bangkai, darah, dan babi, meyakini Al-Qur’an dan wajibnya
zakat. (2). Segala sesuatu yang disaksikan oleh seluruh sahabat tentang perilaku
28
Rasulullah atau diyakini bahwa Rasulullah telah memberikan sikap beliau kepada
memahami nas (Al-Qur’an dan Sunnah) dan Ijma’, sebenarnya dalil-dalil tersebut
adalah makna-makna teks yang tunduk tidak keluar dari teks. Menurutnya dalil
)ﺣﺮام
Artinya: “setiap yang memabukan adalah khamar dan setiap khamar itu
adalah haram”.(HR.Muslim)
Sabda rasul terdiri dari dua pernyataan tersebut merupakan dalil burhani
20
Ibid, h. 555.
21
Dalam hal ini Ibn Hazm menolak istilah Isthilal ( )ﻃﻠﺐ اﻟﺪﻟﯿﻞkarena isthilal bukanlah
dalil karena terkadang orang melakukan isthilal tidak berdasarkan dalil ( artinya malah keluar dari
dalil itu sendiri), Ibid, h.102
22
Ibid, h. 100-101.
23
Muslim, Sahih Muslim., (Beirut : Dar al-fikr, 1983), Juz 7, h. 172.
29
Al-Anfal/8 : 38)
3. Makna yang difahami dari suatu lafadz, maka makna tersebut dapat
Maka dari sini dapat dipahami bahwa Ibrahim bukanlah orang yang jelek
akhlaknya.
4. Segala sesuatu hanya punya satu hukum. Sesuatu yang diharamkan maka
sesuatu yang tidak haram dan tidak wajib maka hukumnya mubah.
utama dari Umar dan Umar lebih utama dari Usman”. Maka berarti Abu
maka ini juga berarti bahwa sebagian yang haram adalah memabukan.
Maka berarti Zaid, Hindun dan segala sesuatu yang beryawa akan
mati.
Menurutnya yang halal dan yang haram itu sudah jelas dan hal-hal
yang syubhat bukanlah berarti haram, dan yang bukan haram berarti
24
Ibid., h. 183.
31
ﻋﻦ اﻟﻨﻌﻤﺎن ﺑﻦ ﺑﺸﯿﺮ ﻗﺎل ﺳﻤﻌﺘﮫ ﯾﻘﻮل ﺳﻤﻌﺖ رﺳﻮل اﷲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﯿﮫ وﺳﻠﻢ ﯾﻘﻮل
إن اﻟﺤﻼل ﺑﯿﻦ و إن اﻟﺤﺮام ﺑﯿﻦ و ﺑﯿﻨﮭﻤﺎ ﻣﺸﺘﺒﮭﺎت ﻻ ﯾﻌﻠﻤﮭﻦ ﻛﺜﯿﺮ ﻣﻦ اﻟﻨﺴﺎء ﻓﻤﻦ
اﺗﻘﻰ اﻟﺸﺒﮭﺎت اﺷﺘﺒﺮأ ﻟﺪﯾﻨﮫ و ﻋﺮﺿﮫ و ﻣﻦ وﻗﻊ ﻓﻰ اﻟﺸﺒﮭﺎت وﻗﻊ ﻓﻰ اﻟﺤﺮام
ﻛﺎﻟﺮاﻋﻰ ﺣﻮل اﻟﺤﻤﻰ ﯾﻮﺷﻚ أن ﯾﺮﺗﻊ ﻓﯿﮫ اﻻوان ﻟﻜﻞ ﻣﻠﻚ ﺣﻤﻰ اﻷوان ﺣﻤﻰ اﷲ
25
(ﻣﺤﺎرﻣﮫ ) أﺧﺮﺟﮫ ﻣﺴﻠﻢ
Artinya: “Dari Nu’man Bin Basyir berkata: aku mendengar Rasulullah SAW
bersabda: “Sesungguhnya yang halal sudah jelas dan yang haram pun
sudah jelas. Diantara keduanya itu ada beberapa perkara yang belum
jelas (Syubhat), banyak orang yang tidak tahu, apakah dia itu masuk
bagian yang halal ataukah yang haram?, maka barang siapa yang
menjauhinya karena hendak membersihkan agama dan kehormatannya
maka dia akan selamat, dan barang siapa yang mengerjakan sedikit pun
daripadanya hampir-hampir dia akan jatuh kedalam haram,
sebagaimana orang menggembala kambing disekitar daerah larangan,
dia hampir-hampir akan jatuh kepadanya. Ingatlah bahwa tiap-tiap raja
mempunyai daerah larangan, ingat pula bahwa daerah larangan Allah
itu semua yang di haramkan”. (HR. Muslim)
seperti yang dilakukan oleh Malikiyah dan Hanafiah. Karena menurutnya segala
sesuatu harus berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah (yang ini merupakan ijma’ yang
diyakini oleh setiap orang muslim), dan istihsan tidaklah diperintahkan Allah
SWT.26 Begitu pula ia menolak metode qiyas, menurutnya dalam agama hanya ada
hukum wajib, haram, dan mubah, semua hukum agama adalah ushul bukan furu’
25
Muslim, Shahih Muslim bi Syarh an-Nawawi (Beirut: Dar al-Fikr, 983), juz 4, h. 228.
26
Ibn Hazm, Juz 2, h. 232.
32
yang semuanya telah ada dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Ia juga mengecam ikhtilaf
dan taqlid, karena menurutnya segala sesuatu hukum ada dalam Al-Qur’an, setiap
imam lain misalnya pendapatnya tentang: (1). Bahwa orang yang sakit keras
mempunyai kewajiban yang sama seperti orang sehat. (2). Seorang istri boleh
bersedekah dengan harta suaminya. (3). Hakim boleh melaksanakan wasiat kepada
sebagian kerabat yang lemah dari orang yang meninggal yang mereka tidak
mempunyai hak waris. Ibnu Hazm (seperti yang dijelaskan diatas) juga berbeda
dengan imam-imam empat mazhab yang lain dalam metode istidlal.28 Seperti
ijma’, asy-Syafi’I menggunakan qiyas, Abu Hanifah, Malik dan Ibnu Hanbal
para ulama, zu’ama dan cendekiawan muslim yang mempunyai tugas sebagai
27
Ibid, h. 61 dan 233.
28
Faruq Abdul Mu’ti, Ibn Hazm az-Zahiri, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, t.t). h. 108-
109
33
pengayom bagi seluruh umat muslim Indonesia untuk menjawab setiap masalah
internasional, atau bila ada tamu dari luar negeri yang ingin bertukar pikiran
dengan ulama Indonesia. Disisi lain, Majelis Ulama Indonesia adalah sebuah
erat kaitannya dengan peran para ulama pada waktu itu. Pada masa revolusi
(1945-1949) para ulama menjalankan peranan yang sangat penting dalam aksi
komandan kaum gerilya yang bertempur berasal dari para ulama dari berbagai
peranan politik para ulama menjadi makin penting, karena sebagian besar partai
politik berdasarkan keagamaan dan dipimpin oleh para prmuka agama. Jadi,
rapat dikatakan bahwa dalam kurun waktu tersebut, para ulama bukan hanya
sebagai pemimpin dalam soal keagamaan saja tetapi juga dalam soal politik.
politik harus berdasarkan kepada ideologi negara yaitu, Pancasila. Sehingga hal
34
ini telah menghambat para ulama dari kepemimpinan partai politik dan
membuat mereka mundur dari kegiatan politik. Mereka pun lebih memilih
timbulah sebuah gagasan untuk mencari bentuk peranan baru bagi para ulama
dalam masyarakat. Gagasan ini bermula pada konferensi para ulama di Jakarta
yang diselenggarakan oleh Pusat Dakwah Islam Indonesia (PDII)30 pada tanggal
majelis bagi para ulama Indonesia yang akan diberi tugas untuk memberikan
fatwa-fatwa.
Namun, saran tersebut baru mendapat tanggapan pada tahun 1974 ketika
Pusat Dakwah Islam Indonesia (PDII) mengadakan letak nasional bagi juru
majelis ulama harus diprakasai ditingkat daerah. Dan hal ini mendapat
29
Mudzar, Fatwa-fatwa Majelis Ulama Indonesia: Sebuah Studi Tentang Pemikiran
Hukum Islam di Indonesia 1975-1988, Penerjemah Soedarso Soekarno, (Jakarta: INIS, 1993), h.
54.
30
Lembaga ini berdiri tanggal 8 september 1969 di Jakarta dengan ketua Letnan Jenderal
Sudirman, Badan ini merupakan badan setengah resmi di mana tokoh-tokohnya berasal dari
pemerintah, organisasi Islam serta ilmuwan. Dibentuk atas dasar keputusan suatu seminar da’wah
bulan Juni 1969 di Fakultas Ushuludin IAIN Jakarta. Lih. Deliar Noer, Administrasi Islam di
Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 1983), h. 135.
35
dan adanya kesadaran bahwa masalah yang dihadapi bangsa tidak dapat
seluruh daerah dari 26 propinsi di Indonesia.31 Akhirnya pada masa orde baru
jelas. Pada tanggal 1 Juli 1975, pemerintah dengan diwakili Departemen Agama
ulama tingkat nasional. Panitia itu terdiri dari Jenderal (Purn) H. Sudirman,
selaku ketua, dan tiga orang ulama selaku penasihat, yitu : Dr. Hamka, K.H.
Abdullah Syafi’i dan K.H. Syukri Ghazali. Tepat pada tanggal 21-27 Juli
peserta terdiri wakil-wakil majelis ulama daerah yang baru dibentuk, para wakil
pengurus pusat sepuluh organisasi Islam yang ada di Indonesia, sejumlah ulam
bebas (yang tidak mewakili organisasi tertentu) dan empat orang wakil
rohaniawan Islam ABRI. Dan pada akhir Muktamar, tanggal 26 Juli 1975
31
Mudzhar, Fatwa-fatwa Majelis Ulama Indonesia: Sebuah Studi Tentang Pemikiran
Hukum Islam di Indonesia 1975-1988, Penerjemah Soedarso Soekarn, h. 54-55.
36
Ketika itu ada dua alasan mengapa Hamka menerima baik kedudukan
komunis Indonesia, orang harus menggunakan ideologi yang lebih kuat, yakni
Islam. Untuk mencapai hal ini, umat Islam seharusnya dapat bekerja sama
MUI, maka keadaan demikian akan dapat diperbaiki. Akan tetapi pernyataan
Hamka ini, tidak semua orang Islam setuju. Sehingga sejumlah pemuda Islam
oleh Golkar, telah mengecewakan umat Islam. Apalagi partai Islam terbesar
akibat dari pemilu yang kurang sehat itu hanya memperoleh suara 26% dari 360
kursi, sedangkan Golkar mendapatkan 65 % dan ini menjadi pukulan yang amat
32
Ibid, h. 56.
33
Ibid., h. 56-57.
37
kemunculan Majelis Ulama itu dapat dimaklumi jika kemudian penolakan dan
tersebut.
Dalam ilmu ushul fiqh, fatwa berarti pendapat yang dikemukakan seorang
mujtahid atau faqih atas jawaban yang diajukan peminta fatwa dalam suatu
kasus yang sifatnya tidak mengikat. Fatwa yang dikemukakan mujtahid atau
faqih tidak mesti diikuti oleh orang yang meminta fatwa, dan fatwa tersebut
tidak mempunyai daya ikat.35 Hal ini disebabkan, fatwa seorang mufti atau
ulama di suatu tempat bisa saja berbeda darifatwa ulama lain di tempat yang
34
Ibid., h. 58-62.
35
Abdul Azis Dahlan, dkk, ed., Ensiklopedia Hukum Islam, jilid I, cet III, (Jakarta: PT.
Ichtiar Baru Van Hoeve, 1993), h. 326.
38
isi fatwa itu sendiri belum tentu dinamis, tetapi minimal responsif.36
Fatwa muncul karena adanya suatu perkara dan juga bisa disebabkan
akibat dari perkembangan sosial yang dihadapi oleh umat. Karena itu, fatwa
Tindakan memberi fatwa disebut futya atau ifta’, suatu istilah yang
merujuk pada frofesi pemberi nasehat. Pihak yang memberi fatwa disebut mufti,
sedangkan pihak yang meminta disebut al-Mustfti. Peminta Fatwa bisa berupa
pendapat mujtahid yang masih hidup, dengan syarat mufti tersebut mengetahui
Sejak berdirinya tahun 1975 sampai saat ini, MUI telah banyak
36
Kafrawi Ridwan, dkk, ed., Ensiklopedia Islam, jilid II cet. IV, (Jakarta: PT, Ichtiar
Baru Van Hoeve, 2001), h. 16.
37
M. B. Hooker, Islam Mazhab Indonesia; Fatwa-Fatwa dan Perubahan Sosial,
Penerjemah Iding Rosyidin Hasan, (Jakarta: Teraju, 2002), h. 16.
38
Ibid., h. 21.
39
Kafrawi Ridwan, dkk, ed., Ensiklopedi Islam, jilid II cet. IV, (Jakarta: PT, Ichtiar Baru
Van Hoeve, 2001), h. 16.
39
sebagai berikut:40
kemashlahatan umat.
hukum yang lain, seperti Istihsan, Masalah Mursalah, dan sadd az-
Zari’ah.
40
Bagian Proyek Sarana dan Prasarana Produk Halal, Himpunan Fatwa Majelis Ulama
Indonesia, (Jakarta: Departemen Agama, 2003), h. 4-5.
40
dapat diambil kesimpulan bahwa yang digunakan oleh MUI dalam menetapkan
fatwanya adalah pertama dengan merujuk kepada Kitabullah dan Sunnah Rasul.
Apabila tidak ditemukan dalil-dalil dari Kitabullah dan Sunnah Rasul, maka
MUI merujuk kepada ijma, qiyas, istihsan, mashalah mursalah, dan sadd az-
Setelah melewati itu semua baru diambil pandangan tenaga ahlidalam bidang
masalah yang akan diambil keputusan fatwanya. Tenaga ahli yang dimaksud
kemaslahatan umat, dengan merujuk kepada metode para alim ulama terdahulu.
atau sebagai refleksi dari perkembangan sosial pada masa itu. Sidang Komisi
Fatwa juga akan diadakan, apabila terdapat permintaan atau pertanyaan dari
41
masyarakat yang oleh Dewan Pimpinan MUI dianggap perlu untuk dibahas dan
PENYELEKSIAN MASALAH
1. Setiap surat masuk ke Komisi Fatwa yang berisi permintaan fatwa atau
klasifikasinya;
41
Ibid., h. 6.
42
Ibid., h. 9-10.
42
6. Tim Khusus terdiri dari ketua, sekretaris, dan anggota yang berasal
sebagaimana terlampir.
Setelah surat yang berisi permintaan fatwa masuk dan diseleksi oleh
Komisi Fatwa MUI, maka diadakanlah rapat oleh Komisi Fatwa. Dalam hal ini,
Ketua Komisi Fatwa, atau melalui rapat Komisi, berdasarkan pertimbangan dari
tim khusus menetapkan prioritas masalah yang dibahas dalam rapat Komisi
Ketua Komisi atau melalui rapat Komisi, dapat menunjuk salah seorang
atau lebih anggota Komisi untuk membuat makalah mengenai masalah yang
akan dibahas. Kemudian undangan rapat, pokok masalah yang akan dibahas,
43
serta makalah (jika ada) sudah harus diterima oleh anggota Komisi dan peserta
rapat lain (jika ada) selambat-lambatnya tiga hari sebelum tanggal rapat.
Peserta rapat Komisi Fatwa terdiri atas anggota Komisi dan peserta
lainnya yang dipandang perlu. Sedangkan rapat Komisi dipimpin oleh Ketua
Komisi atau Wakilnya. Rapat Komisi dinyatakan sah apabila dihadiri oleh
MUI untuk kemudian ditanfizkan dalam bentuk Surat Keputusan Fatwa MUI.
terkait dan seluruh anggota Komisi Fatwa, serta MUI daerah Tingkat I,
bentuk artikel.43
tersebut dirapatkan oleh Ketua dan anggota Komisi Fatwa MUI dan para ahli
dibidangnya (jika diperlukan). Estimasi peserta rapat, adalah dari peserta rapat.
43
Ibid., h. 12.
44
Hasil dari rapat tersebut, kemudian dipublikasikan kepada publik dalam bentuk
BAB III
beberapa waktu lalu tidak pernah dikenal, atau bahkan tidak pernah terbayangkan,
kini hal itu menjadi kenyataan. Di sisi lain, kesadaran keberagamaan umat Islam di
tumbuh subur dan meningkat. Sebagai konsekuensi logis, setiap timbul persoalan,
penemuan, maupun aktifitas baru sebagai produk dari kemajuan tersebut, umat
menkomsumsi yang halal, suci, dan baik merupakan perintah agama dan
44
45
hukumnya adalah wajib. Cukup banyak ayat dan hadis menjelaskan hal ini sesuai
Artinya : ”Hai sekalian manusia! Makanlah yang halal lagi baik dari apa yang
Berdasarkan ayat tersebut, telah kita ketahui bahwa sebagai manusia yang
hidup di muka bumi ini, sebagai salah satu makhluk ciptaan Allah yang
mempunyai akal sudah seharusnya kita memilih dan mengetahui makanan yang
baik serta halal bagi jiwa, raga dan kesehatan kita sendiri. Dan janganlah kita
memakan makanan yang haram dan tidak baik bagi jiwa maupun kesehatan kita,
karena itu merupakan langkah syaitan dan tidak dianjurkan oleh sang pencipta,
1
Majelis Ulama Indonesia, Himpunan Fatwa majelis ulama indonesia (Jakarta: majelis
ulama indonesia, 2010) hlm. 9-10 .
46
sebagaimana kita ketahui bahwa syaitan adalah makhluk halus yang tidak di
Kata halalan, bahasa Arab, berasal dari kata halla, yang berarti ‘lepas’
atau ‘tidak terikat’ secara etimologi kata halalan berarti hal-hal yang boleh dan
dapat dilakukan karena bebas atau tidak terikat dengan ketentuan-ketentuan yang
melarangnya. Atau diartikan sebagai segala sesuatu yang bebas dari bahaya
paling utama, dalm konteks makanan kata thayyib berarti makanan yang tidak
kotor dari segi zatnya atau rusak (kadaluarsa), atau tercampur benda najis. Ada
juga yang mengartikan sebagai makanan yang mengundang selera bagi yang akan
menkonsumsinya yang tidak membahayakan fisik serta akalnya. Juga ada yang
mengenai halal, di dalam Al-Qur’an selalu diikuti oleh kata thayyib. Karena itu
dalam bab ini, terlebih dahulu akan dibahas makna halal dan thayyib dalam ayat-
dan berakhir dengan pengaruh halal dan thayyib terhadap rohani dan jasmani.
2
Prof. Dr. Hj. Aisjah Girindra, Dari sertifikasi Menuju Labelisasi Halal (Jakarta:
pustaka Jurnal Halal, 2008), hlm. 13.
47
menjadi dua, haram li-zatih dan haram li-gairih. Kelompok pertama, substansi
benda tersebut diharamkan oleh agama; sedang yang kedua, substansi bendanya
halal (tidak haram) namun cara penanganan atau memperolehnya tidak dibenarkan
oleh ajaran Islam. Dengan demikian, benda haram jenis kedua terbagi menjadi
dua. Pertama, bendanya halal tapi cara penaganannya tidak dibenarkan oleh ajaran
Islam; misalnya kambing yang tidak di potong secara syar’i; sedang yang kedua,
bendanya halal tapi diperoleh dengan jalan atau cara yang dilarang oleh agama,
Dalam sebuah sumber buku yang disusun oleh Kantor Menteri Negara
kriteria makanan yang dapat dikonsumsi oleh manusia. Secara umum dikatakan
dalam al-Qur’an bahwa umat Islam hendaknya memakan makanan yang halal dan
thayyib. Makanan dinyatakan halal apabila tidak dinyatakan secara jelas dalam al-
Qur’an atau hadits bahwa makanan tersebut dilarang. Larangan itu dimaksudkan
agar umat Islam tidak memakan makanan yang akan membawa dampak yang tidak
baik bagi perkembangan fisik dan jiwanya. Dengan kata lain, Islam mengatur
lain mengatakan bahwa ”makanan halal menurut hukum Islam yaitu makanan
yang halal pada zatnya, halal dalam pengadaannya ataupun cara memperolehnya,
3
Majelus Ulama Indonesia, Himpunan Fatwa majelis ulama indonesia (Jakarta: majelis
ulama indonesia, 2010), hlm. 17.
48
dan halal dalam proses pengolahannya.” Dengan kata lain makanan itu harus halal
mutlak. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT sebagai berikut:4
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta
Dari ayat diatas, dapat diketahui bahwa Allah SWT menganjurkan kepada
umat Islam untuk memakan segala sesuatu (makanan) yang halal, yang
perolehannya pun dengan cara yang halal bukan dengan cara yang bathil, salah
4
Prof. Dr. H. Masthu, MED, Makanan Indonesia dalam Pandangan Islam, (Jakarta:
Kantor Menteri Negara Urusan Pangan Republik Indonesia, 1995), h. 55 dan 106.
49
Makanan halal dalam hukum Islam dapat diartikan pula sebagai makanan
yang thayyib,yakni makanan yang mempunyai cita rasa yang lezat, bergizi cukup
dan seimbang serta tidak membawa dampak yang buruk pada tubuh orang yang
memakannya, baik fisik maupun akalnya. Adapun konsep thayyib dalam ajaran
Islam sesuai dengan hasil penemuan dan penelitian para ahli ilmu gizi adalah
sebagai berikut:5
1. Sehat; makanan sehat adalah makanan yang mempunyai zat gizi yang
manusia. Misalnya janin dan bayi atau balita serta remaja perlu
penyakit. Tetapi sebaliknya, apabila makanan itu tidak sehat atau tidak
5
Prof. Dr. H. Masthu, MED, Makanan Indonesia dalam Pandangan Islam,… h. 58-86
50
kepada kematian.
Menurut para ahli, di antara pengaruh makanan (dalam hal ini, termasuk
masing anggota atau organ tubuh itu tersusun pula atas jaringan-
jaringan dan sel-sel. Pada lingkup sel tubuh, ada bagian yang disebut
pertumbuhan janin.
muka bumi ini adalah untuk beribadah dan mengabdi kepada Allah
[51]:56).
akan dapat diterima oleh Allah swt, jika makanan dan minumannya
Oleh karena itu, agar ibadah dan doa kita dapat diterima oleh
Allah swt, maka jelas kita harus berusaha semaksimal mungkin agar
halal dan thoyyib, maka insya Allah ia akan selamat, dan di masukan
bila diniatkan dengan penuh ikhlas karena Allah, demi mencapai dan
ibadah karena Allah, maka insya Allah kita pun akan memperoleh
53
dilakukan itu.6
3. Semua bahan asal hewan harus berasal dari hewan halal yang
alat transportasi untuk produk halal tidak boleh digunakan untuk babi
atau barang tidak halal lainnya. Jika pernah digunakan untuk babi atau
tidak halal lainnya dan kemudian akan digunakan untuk produk halal,
maka terlebih dahulu harus dibersihkan sesuai dengan cara yang diatur
6
Dr. Ir. M. Nadratunzzaman Hosen, Halal Sebagai Tema da’wah (Jakarta :Pustaka
Jurnal Halal thn, 2008), hal. 7-13.
54
tersebut tidak mengandung babi, khamar, dan bahan-bahan lain yang diharamkan
oleh agama islam, selain itu, makanan berasal dari hewan yang di sembelih sesuai
ajaran agama islam, dan tempat proses makanan halal (penjualan, penyimpanan,
babi dan barang yang diharamkan lainnya. Ternyata dibalik aturan-aturan Islam itu
terdapat hikmah yang luar biasa besar. Penyembelihan hewan yang sesuai dengan
syariat Islam akan menghasilkan daging yang berkualitas, higenis, dan yang lebih
7
Prof. Dr. Hj. Aisjah Girindra, Pengukir Sejarah Sertifikasi Halal (Jakarta: LP POM
MUI, 1998), hlm. 124-125.
8
Prof. Dr. Hj. Aisjah Girinda “Dari Sertifikat Menuju Labelisasi Halal”
(Jakarta:Pustaka Jurnal Halal, 2008), h. 25.
55
BAB IV
akal dalam kajian-kajiannya.1 Karena menurutnya yang halal dan yang haram itu
sudah jelas dan hal-hal yang shubhat bukanlah berarti haram, dan yang bukan
haram berarti halal.2 Selain itu juga, ia mengatakan bahwa untuk mengetahuinya
harus menggunakan akal dan pancaindra, akal berfungsi memahami perintah dan
larangan Allah swt, menetapkan kebenaran Allah dan kebenaran risalah Nabi
Muhammad dan kemujizatannya.3 Tetapi semuanya itu tetap berpegang pada Nas
ta’wil pada Nas-Nas yang bersifat aqidah ataupun ta’lil pada Nas-Nas syar’i.4
dan Hadist untuk menyatakan kehalalan makanan sebagai bukti yang sudah jelas,
1
Hal ini disebabkan karna Ibn Hazm menolak qiyas, az- zari’ah ihtisan, istinbath
dengan ra’yu dan ta’wil.
2
Ibid., h. 183.
3
Ibnu Hazm, Al-Ihkam fi Usul Al-Ahkam , (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah t.t), Jilid 1.
H. 29-65
4
Faruq Abdul Mu’ti, h. 89
55
56
karena sesuatu yang sudah jelas dan tampak halal, maka boleh untuk
dikonsumsinya. Hal ini berdasarkan seperti penjelasan yang terdapat dalam surat
lain sebagainya.
c. Semua bahan yang berasal dari hewan halal yang disembelih harus di
d. Tidak halal memakan dari suatu makanan yang tampak darah mengalir
5
Abu Muhammad Ali Ibn Ahmad Ibn Said Ibn Hazm Andalusi, Almuhalla Bil Atsar Juz
6 (Beirut: Libanon, Darul Kutub Al-A’lamiyah,) hlm. 55-56.
58
digunakan untuk babi barang yang tidak halal lainnya terlebih dahulu
harus dibersihkan dengan tata cara yang diatur dalam Syari’at Islam.
kecuali yang diharamkan Allah adalah bangkai, darah, babi, dan hewan yang
6
Prof. Dr. Hj. Aisjah Girinda “Dari Sertifikasi Menuju Labelisasi Halal” (Jakarta:
Pustaka Jurnal Halal, 2008), h.99.
59
menyatakan tentang halal atau haramnya sesuatu. Menurut Ma’ruf Amin, ketua
agamanya. Demikian pula dengan fatwa kehalalan suatu produk. Melalui fatwa
tersebut umat Islam memiliki panduan atau pedoman berbagai produk yang dapat
ia konsumsi. Sehingga fatwa halal tentang suatu produk berperan sangat penting
menkomsumsi suatu produk.”7 Namun hal yang terpenting adalah bahwa fatwa ini
Adapun mengenai sertifikat halal adalah fatwa yang ditulis oleh Majelis
Ulama Indonesia untuk menyatakan kehalalan suatu produk sesuai syari’at Islam.
Sertifikat Halal ini merupakan syarat untuk mendapatkan ijin pencantuman label
halal pada kemasan produk dari instansi pemerintah yang berwenang,. Tujuan
7
Ma’ruf Amin, “Pengurusan Fatwa di Indonesia,” dalam kolej Universitas Islam
Malaysia, ed., Prinsip dan Pengurusan Fatwa di Negara-Negara ASEAN, cet I, (Institut
Pengurusan dan Penyelidikan Fatawa Se-Dunia KUIM, 2006), h. 81.
60
dihasilkan.8
penelitian dan audit ke pabrik atau perusahaan yang telah mengajukan permohonan
sertifikasi halal. Suatu produk yang masih mengandung bahan yang diragukan
tidak transparan oleh rapat komisi, dikembalikan kepada lembaga pemeriksa untuk
yang telah diyakini kehalalannya oleh rapat komisi, jelas ma’ruf, diputuskan fatwa
halalnya oleh rapat komisi. Kemudian hasil rapat dituangkan dalam surat
keputusan fatwa produk halal yang ditandatangani oleh Ketua dan Sekretaris
Komisi Fatwa. Setelah itu sertifikat halal yang ditandatangani oleh Ketua Komisi
makanan mengenai kehalalan suatu produk makanan menurut MUI harus sesuai
8
Prof. Dr. Hj. Aisjah Girindra,“Dari Sertifikasi Menuju Labelisasi Halal” (Jakarta:
pustaka jurnal halal, 2008), h. 99-100.
9
http:/www.halalguide.info/content/view/401/138 . diakses pada 1 Juni 2008
61
tentang benda-benda haram menurut syari’at Islam , dalam hal ini benda
haram li-zatih dan haram li-gairih yang karena cara penanganannya tidak
sejalan dengan syari’at Islam. Dengan arti kata, para auditor harus
unsur hewan.
haram.
satu kali; dan tidak jarang pula auditor (LP. POM) menyarankan bahkan
kehalalannya atau bersitifikat halal dari MUI atau lembaga yang lebih
berkompenten.
dalam sebuah berita, dan kemudian Berita Acara itu diajukan ke Komisi
isi Berita Acara, dan kemudian dibahas secara teliti dan mendalam oleh
Sidang Komisi.
bersangkutan.
produk yang telah mendapat Sertifikat Halal diharuskan pula membaharui atau
yang tampak (dzahir) yang dianggap sudah najis, maka tidak boleh dikonsumsinya.
Dalam hal ini penulis berpendapat bahwa metode istinbath Ibnu Hazm
dan MUI tentang kriteria makanan halal terdapat persamaan yang signifikan, yakni
Ibnu Hazm dan MUI sama-sama beristidlal kepada al-Quran, Sunnah dan Ijma
dalam menetapkan hukum, begitu juga dalam hal penetapan kehalalan makanan.
Perbedaannya adalah bahwa Ibnu Hazm menempatkan Dalil sebagai dalil keempat
setelah al-Quran, Sunnah dan Ijma. Sedangkan MUI selain beristidlal kepada al-
Quran, Sunnah dan Ijma ulama juga beristidlal dengan qiyas, istihsan, mashalah
terdahulu. Dalam masalah yang terjadi khilafiyyah di kalangan mazhab, maka yang
10
Majelis Ulama Indonesia, Himpunan Fatwa majelis ulama indonesia (Jakarta, majelis
ulama Indonesia, 2010) hlm. 19-20
64
pentarjihan. Setelah melewati itu semua baru diambil pandangan tenaga ahli
dalam bidang masalah yang akan diambil keputusan fatwanya. Tenaga ahli yang
keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa MUI dengan Komisi Fatwanya ketika
kemaslahatan umat, dengan merujuk kepada metode para alim ulama terdahulu.
tentang makanan halal tidak tepat dan bahkan mempunyai kecenderungan yang
Permasalahan yang timbul tentang kehalalan makanan sering sekali tidak dapat
terselesaikan dengan hanya beristidlal dengan Al-Qur’an, Sunnah, Ijma, dan dalil.
dijelaskan secara eksplisit didalam Al-Qur’an dan Sunnah, maka tidak hanya
Ijma dan dalil. Hal ini sering menimbulkan kerancuan, dan dapat mengakibatkan
makanan yang tidak dijelaskan secara terperinci dalam Nash yang tidak diketahui
Selain itu, penulis juga berpendapat bahwa ketika Ibnu Hazm tidak
menggunakan Ta’wil dan Ta’lil dalam menetapkan hukum maka akan ditemukan
semakin kompleks dan tidak dirumuskan secara ekplisit dalam al-Quran dan
Sunnah.
Ketika Ibnu Hazm hanya menghukumi sesuatu yang tampak saja dari
makanan, maka penulis berpendapat bahwa hal itu akan menghasilkan pendapat
hukum yang tidak tepat. Seperti makanan yang tampak halal tetapi bisa saja
teknologi yang semakin canggih, terkadang penetapan hukum tidak hanya cukup
dengan menggunakan sesuatu yang tampak saja tetapi sangat perlu menggunakan
metode yang sistematis, terukur dan terarah seperti yang diterapkan oleh MUI
kehalalan makanan yang dihadapi sudah semakin canggih. Sebab itu, penulis
MUI.
tidak dijelaskan secara eksplisit dalam Al-Qur’an dan Sunnah, maka diperlukan
dikota-kota besar menyebabkan perubahan pula dalam jenis dan bentuk makanan
yang diminta oleh konsumen. Di kota-kota besar dimana penduduknya padat dan
Dengan IPTEK semua yang diingini tadi dapat disediakan. Dalam hal ini
ini dapat dibuat secara kimiawi, atau secara bioteknologi tetapi dapat juga di
makanan dari halal menjadi tidak halal, yaitu jika bahan tambahan berasal dari
tidak halal. Pengaruh IPTEK ini juga dapat melanda makanan secara tradisional.
Kue mangkok yang disajikan oleh orang tua kita sekian tahun yang lalu misalnya,
tidak sama dengan kue mangkok yang diperoleh dipasar swalayan masa kini yang
mungkin telah diberi pemanis buatan, pewarna yang tidak alami dan lain-lain,
bahan yang sesuai permintaan konsumen. Lain dari pada yang diungkap diatas
sering terjadi, beberapa zat pemberi aroma, zat pemberi rasa, zat pewarna, dan
lain-lain sering tidak bisa larut dalam air, karena itu dilarutkan dalam alkohol.
Pada produk akhir minuman, alkohol ini sering masih bisa terdeteksi, hal ini
dirumuskan oleh MUI lebih efektif dan efisien dari pendapat Ibn Hazm tentang
kehalalan makanan. Hal ini mengingat dalam arus IPTEK masa kini masalah
kehalalan makanan banyak berubah dan sulit untuk dilacak. Bagi ummat Islam
semua hal ini menyebabkan sukar membedakan antara yang halal dan yang haram.
Apalagi jika makanan itu sudah mengalami proses setengah jadi atau siap untuk
dimakan.
Hazm maka akan dapat menghasilkan ketetapan hukum makanan yang tidak tepat
dan bahkan cenderung hanya menampung aspirasi masyarakat saja. Oleh karena
itu, umat Islam sangat berkepentingan untuk mendapat ketegasan tentang status
hukum produk-produk tersebut, sehingga apa yang mereka konsumsi tidak akan
BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN
sertifikasi makanan halal dalam perspektif Ibnu Hazm dan MUI, maka penulis dapat
1. Pandangan dan metode istinbath hukum Majelis Ulama Indonesia (MUI) tentang
a. Setiap keputusan fatwa harus mempunyai dasar atas Kitabullah dan Sunnah
b. Jika tidak terdapat dalam Kitabullah dan Sunnah Rasul sebagaimana ditentukan
ijma’, Qiyas, yang mu’tabar, dan dalil-dalil hukum yang lain, seperti Istihsan,
para imam mazhab terdahulu, baik yang berhubungan dengan dalil-dalil hukum
maupun yang berhubungan dengan dalil yang dipergunakan oleh pihak yang
berbeda pendapat.
d. Pandangan tenaga ahli dalam bidang masalah yang akan diambil keputusan
fatwanya dipertimbangkan.
69
70
2. Pandangan dan metode istinbath hukum Ibnu Hazm tentang sertifikasi makanan
halal yaitu ada empat sumber hukum yang berdasarkan Al-Qur’an ( )أﻃﯿﻌﻮا اﷲ
3. Perbedaan pandangan dan metode istinbath hukum Ibnu Hazm dan Majelis Ulama
Indonesia (MUI) tentang sertifikasi makanan halal yaitu dalam pandangan Ibnu
tidak menggunakan ta’wil. Dalam hal ini penulis berpendapat bahwa metode
istinbath Ibnu Hazm dan MUI tentang kriteria makanan halal terdapat persamaan
yang signifikan. Ibnu Hazm dan MUI sama-sama beristidlal kepada Al-Quran,
Sunnah dan Ijma dalam menetapkan hukum, begitu juga dalam hal penetapan
sebagai dalil keempat setelah al-Quran, Sunnah dan Ijma. Sedangkan MUI selain
beristidlal kepada al-Quran, Sunnah dan Ijma ulama juga beristidlal dengan qiyas,
muqaran yang berhubungan dengan pentarjihan. Setelah melewati itu semua baru
diambil pandangan tenaga ahli dalam bidang masalah yang akan diambil
keputusan fatwanya. Tenaga ahli yang dimaksud adalah para pakar dalam
B. SARAN-SARAN
mengkaji persoalan tentang criteria sertifikasi makanan halal bagi umat muslim,
1. Para Ulama; Adanya perbedaan ulama dalam metode istinbath hukum menujukan
hukum. Ini semua merupakan sebuah rahmat bagi umat muslim yang patut kita
kenyataan yang selalu akan kita hadapi dalam hidup ini. Jadi, sikap yang elegan
dengan tidak menyalahkan bahkan dengan mudah mengkafirkan orang lain yang
paling benar dengan menafikan pendapat orang lain. Toleransi adalah solusi
2. Umat muslim pada umumnya; sudah saatnya umat Islam dalam menetapkan
hukum tentang kehalalan makanan tetap bersandar kepada metode yang baru, baik
dan tidak bertentangan dengan syariat Islam dengan tetap mempertahankan hal-
hal yang lama, sehingga hukum Islam tetap dinamis dan relevan disetiap zaman.
Sikap jumud dan taklid buta hanya akan membuat umam Islam mundur dan
Daftar Pustaka
2000.
Ali, Abu Muhammad bin Ahmad bin Said bin Hazm al-Andalusi, al-Muhalla bi al-
Dahlan, Abdul Azis, dkk, ed., Ensiklopedia Hukum Islam, jilid I, cet III. Jakarta: PT.
Girindra, Aisjah, Dari sertifikasi Menuju Labelisasi Halal. Jakarta: pustaka Jurnal
Halal, 2008.
Girindra, Aisjah, Pengukir Sejarah Sertifikasi Halal. Jakarta: LP POM MUI, 1998
Hazm, Ibn, Al-Fisal fi al-Milal wa al-Ahwa’wa an-Nihal, Juz 1. Beirut: t.p., 1897.
Hazm, Ibn, Al-Ihkam fi Usul al-Ahkam. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah t.t.
Hazm, Ibn, An-Nubz fi Usul al-Fiqh az-Zahiri. Beirut: Dar Ibn Hazm, 1993.
73
Mu’ti, Faruq Abdul,Ibn Hazm az-zhahiri. Beirut: Dar al-kutub al-‘Ilmiyyah, 1992.
Ridwan, Kafrawi, dkk, ed., Ensiklopedia Islam, jilid II cet. IV. Jakarta: PT, Ichtiar