Anda di halaman 1dari 8

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Stroke merupakan penyakit neurologis yang sering dijumpai dan harus
ditangani secara cepat dan tepat. Stroke merupakan kelainan fungsi otak yang
timbul secara mendadak yang disebabkan karena terjadinya gangguan
peredaran darah otak dan bisa terjadi pada siapa saja dan kapan saja
(Muttaqin, 2012). Stroke dibagi menjadi dua jenis, yaitu stroke hemoragik dan
stroke non hemoragik. Stroke hemoragik adalah stroke yang terjadi akibat
pecahnya pembuluh darah pada otak, sedangkan stroke non hemoragik adalah
terjadinya penyumbatan pembuluh darah ke otak (Suiraoka, 2012).

Berdasarkan laporan World Health Organization (2016) secara global,


penyakit degenerative yang menjadi penyebab kematian dan diperkirakan
akan mengalami peningkatan terus-menerus dan menjadi urutan kedua setelah
penyakit jantung adalah stroke. Di seluruh dunia, sebanyak 3 juta perempuan
dan 2,5 juta laki-laki meninggal akibat terserang stroke di setiap tahunnya
(CDC, 2015). Setiap tahunnya, lebih dari 795.000 orang di Amerika menderita
stroke dan rata-rata terserang setiap 40 detik (Stroke Association, 2015). Dari
795.000 orang, 610.000 orang diantaranya terserang stroke untuk pertama kali
dan 185.000 orang lainnya pernah mengalami stroke sebelumnya
(Mozaffarian, 2015).

Di Asia termasuk Indonesia stroke masih menduduki peringkat pertama


penyebab kecacatan dan nomor dua sebagai penyebab kematian (Pudiastuti,
2011). Prevalensi stroke di Indonesia berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan
sebesar 7 per mil dan yang terdiagnosis tenaga kesehatan atau gejala sebesar
12,1 per mil. Prevalensi Stroke berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan
tertinggi di Sulawesi Utara (10,8%), diikuti DI Yogyakarta (10,3%), Bangka
Belitung dan DKI Jakarta masing-masing 9,7 per mil.
Prevalensi Stroke berdasarkan terdiagnosis tenaga kesehatan dan gejala
tertinggi terdapat di Sulawesi Selatan (17,9%), DI Yogyakarta (16,9%),
Sulawesi Tengah (16,6%), diikuti Jawa Timur sebesar 16 per mil. Pada
wilayah Kalimantan Selatan prevalensi penderita stroke yang terdiagnosis
tenaga kesehatan sebanyak 9,2% dan yang terdiagnosis tenaga kesehatan dan
gejala sebanyak 14,5% (Riskesdas, 2013).

Prevalensi penyakit stroke pada kelompok yang didiagnosis tenaga


kesehatan serta yang didiagnosis tenaga kesehatan atau gejala meningkat
seiring dengan bertambahnya umur, tertinggi pada umur ≥75 tahun (43,1%
dan 67,0%). Prevalensi stroke yang terdiagnosis tenaga kesehatan maupun
berdasarkan diagnosis atau gejala sama tinggi pada laki-laki dan
perempuan. Prevalensi stroke cenderung lebih tinggi pada masyarakat
dengan pendidikan rendah baik yang didiagnosis tenaga kesehatan (16,5%)
maupun diagnosis tenaga kesehatan atau gejala (32,8%). Prevalensi stroke
di kota lebih tinggi dari di desa, baik berdasarkan diagnosis tenaga
kesehatan (8,2%) maupun berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan atau
gejala (12,7%). Prevalensi lebih tinggi pada masyarakat yang tidak bekerja
baik yang didiagnosis tenaga kesehatan (11,4%) maupun yang didiagnosis
tenaga kesehatan atau gejala (18%) (Riskesdas, 2013).

Kalimantan Selatan sebagai salah satu provinsi di Indonesia, menempati


urutan ke-5 prevalensi stroke tertinggi di Indonesia. Prevalensi stroke di
Kalimantan Selatan diperkirakan sebesar 9,2 per mil (Riskesdas, 2013).
Cukup tingginya angka prevalensi stroke di Kalimantan Selatan
kecenderungan berkaitan dengan mengkonsumsi makanan yang berlemak,
bersantan dan asin yang menjadi salah satu faktor pemicu tingginya angka
penderita stroke (Antara Kalsel, 2016).
Menurut Jaya (2015) berbagai penyakit fisik terutama penyakit kronis
dapat menyebabkan stress pada diri seseorang, sebagai contoh misalnya
penyakit jantung, stroke, kanker, dan lain sebagainya. Apabila seseorang
tidak dapat menerima maka akan menimbulkan stress pada penderitanya.
Ketika respon stress diaktivasi oleh ancaman yang dirasakan, maka akan
disertai dengan kegelisahan/ansietas (O’Brien et al., 2014). Menurut Nasir
& Muhith (2011) ansietas menupakan kecemasan yang berlebihan seperti
kecemasan akan harga diri dan kecemasan akan masa depan. Faktor yang
memicu terjadinya ansietas yaitu adanya ancaman kematian, ancaman
terhadap suatu perubahan dalam status peran dan status kesehatan (Fitria et
al., 2012). Sutanto (2010) menyatakan bahwa stroke dapat menyebabkan
depresi atau ketidakmampuan untuk mengendalikan emosi, depresi pasca-
stroke merupakan kelainan neuropsikologis yang paling sering dijumpai
setelah serangan stroke, beratnya depresi yang terjadi memberikan dampak
negatif terhadap penyembuhan stroke.

Wardhana (2016) menyatakan bahwa stroke merupakan penyebab utama


untuk kecacatan jangka panjang berupa kelumpuhan atau keterbatasan
gerak, gangguan sensorik, gangguan bicara, perubahan kepribadian,
perubahan mental, dan perubahan emosi, bahkan tidak menutup
kemungkinan dapat menyebabkan kematian. Ada kemungkinan penderita
stroke tidak siap mental untuk menerima kenyataan akan menderita cacat
(kelumpuhan dan lain sebagainya) akibat serangan stroke yang pada
umumnya sulit disembuhkan, sehingga bisa menyebabkan penderita
mengalami gangguan mental seperti gelisah, stress dan depresi.

Gangguan psikomotor dan psikologis seperti gelisah, stress, depresi dan


ketidaknyamanan atau ketegangan psikologis yang sering berkaitan dengan
kecemasan menurut Widodo (2014) merupakan tanda gejala dari perilaku
agitasi. Agitasi sendiri didefinisikan sebagai gangguan psikomotor akibat
ketidaknyamanan dan ketegangan psikologis yang ditandai dengan
peningkatan aktivitas motorik dan psikologis yang biasanya berupa bangun
gelisah dengan gerakan-gerakan berlebihan dan berulang-ulang yang non
produktif dan ini sering berkaitan dengan kecemasan atau delirium.
Delirium adalah gangguan kesadaran berupa perhatian tidak fokus, fikiran
tidak tertata dan gangguan persepsi yang berubah-ubah dalam waktu yang
singkat. Delirium dan kecemasan adalah penyebab agitasi yang paling
sering terjadi di rumah sakit pada umumnya, terutama di ruang ICU
(Widodo,2014). Menurut Deli., et al (2017) Agitasi adalah gangguan yang
ditandai dengan gerakan yang tidak disengaja, tanpa tujuan, kegelisahan
dan sering disertai dengan tekanan emosional. Menurut Widodo (2014)
dalam kasus yang lebih parah, agitasi dapat menjadi berbahaya bagi
individu, untuk melindungi pasien dengan perilaku agitasi parah yaitu
dengan menggunakan alat-alat pengaman, pagar bed, kaki tangan diikat
dengan pengikat lunak.

SCCM (Society of Critical Care Medicine) merekomendasikan untuk


secara rutin memonitor perilaku agitasi pada pasien-pasien di ICU, yaitu
salah satunya dengan menggunakan alat ukur the Richmond Agitation-
Sedation Scale (RASS) (Anonim,2017). Pengukuran status agitasi dengan
RASS dilakukan dengan observasi aktivitas fisik pasien, ekspresi wajah
dan respon fisiologis yang muncul. Sedangkan untuk mengukur tingkat
keparahan dan gangguan neurologis pada pasien stroke menurut Helleberg
(2014) yaitu dengan menggunakan National Institues Health of Stroke
Scale (NIHSS). NIHSS adalah suatu instrumen yang digunakan untuk
menilai gangguan neurologis dan menilai tingkat keparahan penderita
stroke yang telah distandari.

Sebuah penelitian yang telah dilakukan di Rumah Sakit Stroke Nasional


(RSSN) Bukit Tinggi menunjukkan bahwa dari 35 responden yang menderita
stroke ≥ 6 bulan, terdapat 26 pasien (74,3%) mengalami depresi pasca stroke,
dan 9 pasien (25,7%) yang tidak mengalami depresi (Hayulita & Sari, 2014).
Berdasarkan data penelitian (Zulfira & Devi, 2017) menunjukkan bahwa dari
81 orang (100%) pasien stroke yang mengalami kecemasan sedang/berat,
terdapat 68 (84,0%) pasien stroke yang juga mempersepsikan kualitas
hidupnya kurang.

Berdasarkan pemaparan diatas maka peneliti tertarik untuk mengetahui


hubungan tingkat keparahan dengan perilaku agitasi pada pasien stroke di
RSUD Ulin Banjarmasin.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang, maka rumusan masalah yang peneliti kemukakan
adalah apakah ada hubungan tingkat keparahan dengan perilaku agitasi pada
pasien stroke di RSUD Ulin Banjarmasin.

1.3 Tujuan Penelitian


1.3.1 Tujuan Umum
Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengetahui hubungan
tingkat keparahan dengan perilaku agitasi pada pasien stroke di RSUD
Ulin Banjarmasin.
1.3.2 Tujuan khusus
Beberapa tujuan yang ingin dicapai dan akan dilaksanakan adalah:
1.3.2.1 Mengidentifikasi tingkat keparahan pada pasien stroke di RSUD
Ulin Banjarmasin.
1.3.2.2 Mengidentifikasi perilaku agitasi pada pasien stroke di RSUD
Ulin Banjarmasin.
1.3.2.3 Menganalisis hubungan tingkat keparahan dengan perilaku
agitasi pada pasien stroke di RSUD Ulin Banjarmasin.

1.4 Manfaat Penelitian


1.4.1 Manfaat teoritis
Secara Teoritis penelitian ini dapat memberikan masukan yang
bermanfaat bagi perkembangan ilmu keperawatan dengan memberikan
tambahan data empiris yang teruji secara statistik, baik hipotesis
tersebut terbukti ataupun tidak.
1.4.2 Manfaat Praktis
1.4.2.1 Bagi rumah sakit
Diharapkan hasil penelitian dapat dijadikan sebagai bahan
acuan rumah sakit khususnya untuk perawat ICU dan Stroke
Center dalam menangani pasien stroke dengan perilaku agitasi.
1.4.2.2 Bagi Institusi Pendidikan
Bagi institusi pendidikan, penelitian ini dapat menjadi bahan
acuan dalam pemberian materi tentang tingkat keparahan
dengan perilaku agitasi pada pasien stroke, serta sumber
informasi untuk penelitian berikutnya.
1.4.2.3 Peneliti
Penelitian ini dapat menjadi sebagai pengalaman berharga bagi
peneliti dalam menerapkan ilmu metode penelitian dan
menambah wawasan pengetahuan tentang tingkat keparahan
dengan perilaku agitasi pada pasien stroke, serta menjadi
bahan acuan untuk penelitian selanjutnya.
1.4.2.4 Pasien dan Keluarga
Penelitian ini dapat memberi masukan kepada pasien dan
keluarga yang mengalami stroke tentang penanganan perilaku
agitasi.
1.4.2.5 Peneliti Selanjutnya
Sebagai bahan referensi untuk melakukan penelitian terkait
tentang hubungan tingkat keparahan dengan perilaku agitasi.
1.5 Penelitian Terkait
1.5.1 Zulfira ananda & Devi (2017) ”Kecemasan Dengan Kualitas Hidup
Pada Pasien Stroke di Poliklinik Saraf Rumah Sakit Umum Daerah dr.
Zainoel Abidin Banda Aceh”, jenis penelitian deskriptif korelatif
dengan metode penelitian menggunakan cross sectional study, melalui
uji statistik dengan Fisher’s Exact Test, didapatkan bahwa nilai p-value
= 0,000. Kesimpulannya p-value <0,05 sehingga Ho ditolak dan Ha
diterima yang berarti ada hubungan antara kecemasan dengan kualitas
hidup pada pasien stroke di Poliklinik Saraf Rumah Sakit Umum
Daerah dr. Zainoel Abidin Banda Aceh.
1.5.2 Ridwan Kustiawan & Rani Hasriani (2014) “Gambaran Tingkat
Kecemasan Pada Pasien Stroke Iskemik Di Ruang V Rumah Sakit
Umum Kota Tasikmalaya”, jenis penelitian yang digunakan adalah
penelitian deskriptif dengan metode penelitian menggunakan alat
pengukuran berupa angket atau kuesioner, melalui uji statistik dengan
analisa univariat didapatkan bahwa hasil penelitian ini memberi
gambaran bahwa dari 39 responden pasien stroke yang mengalami
tingkat kecemasan sedang yaitu 28 responden (71,8 %), tingkat
kecemasan berat 7 responden (17,9 %) dan kecemasan ringan 4
responden (10,3%).

Anda mungkin juga menyukai