Stroke merupakan penyakit neurologis yang sering dijumpai dan harus ditangani secara cepat dan tepat. Stroke merupakan kelainan fungsi otak yang timbul secara mendadak yang disebabkan karena terjadinya gangguan peredaran darah otak dan bisa terjadi pada siapa saja dan kapan saja (Muttaqin, 2012). Stroke dibagi menjadi dua jenis, yaitu stroke hemoragik dan stroke non hemoragik. Stroke hemoragik adalah stroke yang terjadi akibat pecahnya pembuluh darah pada otak, sedangkan stroke non hemoragik adalah terjadinya penyumbatan pembuluh darah ke otak (Suiraoka, 2012).
Berdasarkan laporan World Health Organization (2016) secara global,
penyakit degenerative yang menjadi penyebab kematian dan diperkirakan akan mengalami peningkatan terus-menerus dan menjadi urutan kedua setelah penyakit jantung adalah stroke. Di seluruh dunia, sebanyak 3 juta perempuan dan 2,5 juta laki-laki meninggal akibat terserang stroke di setiap tahunnya (CDC, 2015). Setiap tahunnya, lebih dari 795.000 orang di Amerika menderita stroke dan rata-rata terserang setiap 40 detik (Stroke Association, 2015). Dari 795.000 orang, 610.000 orang diantaranya terserang stroke untuk pertama kali dan 185.000 orang lainnya pernah mengalami stroke sebelumnya (Mozaffarian, 2015).
Di Asia termasuk Indonesia stroke masih menduduki peringkat pertama
penyebab kecacatan dan nomor dua sebagai penyebab kematian (Pudiastuti, 2011). Prevalensi stroke di Indonesia berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan sebesar 7 per mil dan yang terdiagnosis tenaga kesehatan atau gejala sebesar 12,1 per mil. Prevalensi Stroke berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan tertinggi di Sulawesi Utara (10,8%), diikuti DI Yogyakarta (10,3%), Bangka Belitung dan DKI Jakarta masing-masing 9,7 per mil. Prevalensi Stroke berdasarkan terdiagnosis tenaga kesehatan dan gejala tertinggi terdapat di Sulawesi Selatan (17,9%), DI Yogyakarta (16,9%), Sulawesi Tengah (16,6%), diikuti Jawa Timur sebesar 16 per mil. Pada wilayah Kalimantan Selatan prevalensi penderita stroke yang terdiagnosis tenaga kesehatan sebanyak 9,2% dan yang terdiagnosis tenaga kesehatan dan gejala sebanyak 14,5% (Riskesdas, 2013).
Prevalensi penyakit stroke pada kelompok yang didiagnosis tenaga
kesehatan serta yang didiagnosis tenaga kesehatan atau gejala meningkat seiring dengan bertambahnya umur, tertinggi pada umur ≥75 tahun (43,1% dan 67,0%). Prevalensi stroke yang terdiagnosis tenaga kesehatan maupun berdasarkan diagnosis atau gejala sama tinggi pada laki-laki dan perempuan. Prevalensi stroke cenderung lebih tinggi pada masyarakat dengan pendidikan rendah baik yang didiagnosis tenaga kesehatan (16,5%) maupun diagnosis tenaga kesehatan atau gejala (32,8%). Prevalensi stroke di kota lebih tinggi dari di desa, baik berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan (8,2%) maupun berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan atau gejala (12,7%). Prevalensi lebih tinggi pada masyarakat yang tidak bekerja baik yang didiagnosis tenaga kesehatan (11,4%) maupun yang didiagnosis tenaga kesehatan atau gejala (18%) (Riskesdas, 2013).
Kalimantan Selatan sebagai salah satu provinsi di Indonesia, menempati
urutan ke-5 prevalensi stroke tertinggi di Indonesia. Prevalensi stroke di Kalimantan Selatan diperkirakan sebesar 9,2 per mil (Riskesdas, 2013). Cukup tingginya angka prevalensi stroke di Kalimantan Selatan kecenderungan berkaitan dengan mengkonsumsi makanan yang berlemak, bersantan dan asin yang menjadi salah satu faktor pemicu tingginya angka penderita stroke (Antara Kalsel, 2016). Menurut Jaya (2015) berbagai penyakit fisik terutama penyakit kronis dapat menyebabkan stress pada diri seseorang, sebagai contoh misalnya penyakit jantung, stroke, kanker, dan lain sebagainya. Apabila seseorang tidak dapat menerima maka akan menimbulkan stress pada penderitanya. Ketika respon stress diaktivasi oleh ancaman yang dirasakan, maka akan disertai dengan kegelisahan/ansietas (O’Brien et al., 2014). Menurut Nasir & Muhith (2011) ansietas menupakan kecemasan yang berlebihan seperti kecemasan akan harga diri dan kecemasan akan masa depan. Faktor yang memicu terjadinya ansietas yaitu adanya ancaman kematian, ancaman terhadap suatu perubahan dalam status peran dan status kesehatan (Fitria et al., 2012). Sutanto (2010) menyatakan bahwa stroke dapat menyebabkan depresi atau ketidakmampuan untuk mengendalikan emosi, depresi pasca- stroke merupakan kelainan neuropsikologis yang paling sering dijumpai setelah serangan stroke, beratnya depresi yang terjadi memberikan dampak negatif terhadap penyembuhan stroke.
Wardhana (2016) menyatakan bahwa stroke merupakan penyebab utama
untuk kecacatan jangka panjang berupa kelumpuhan atau keterbatasan gerak, gangguan sensorik, gangguan bicara, perubahan kepribadian, perubahan mental, dan perubahan emosi, bahkan tidak menutup kemungkinan dapat menyebabkan kematian. Ada kemungkinan penderita stroke tidak siap mental untuk menerima kenyataan akan menderita cacat (kelumpuhan dan lain sebagainya) akibat serangan stroke yang pada umumnya sulit disembuhkan, sehingga bisa menyebabkan penderita mengalami gangguan mental seperti gelisah, stress dan depresi.
Gangguan psikomotor dan psikologis seperti gelisah, stress, depresi dan
ketidaknyamanan atau ketegangan psikologis yang sering berkaitan dengan kecemasan menurut Widodo (2014) merupakan tanda gejala dari perilaku agitasi. Agitasi sendiri didefinisikan sebagai gangguan psikomotor akibat ketidaknyamanan dan ketegangan psikologis yang ditandai dengan peningkatan aktivitas motorik dan psikologis yang biasanya berupa bangun gelisah dengan gerakan-gerakan berlebihan dan berulang-ulang yang non produktif dan ini sering berkaitan dengan kecemasan atau delirium. Delirium adalah gangguan kesadaran berupa perhatian tidak fokus, fikiran tidak tertata dan gangguan persepsi yang berubah-ubah dalam waktu yang singkat. Delirium dan kecemasan adalah penyebab agitasi yang paling sering terjadi di rumah sakit pada umumnya, terutama di ruang ICU (Widodo,2014). Menurut Deli., et al (2017) Agitasi adalah gangguan yang ditandai dengan gerakan yang tidak disengaja, tanpa tujuan, kegelisahan dan sering disertai dengan tekanan emosional. Menurut Widodo (2014) dalam kasus yang lebih parah, agitasi dapat menjadi berbahaya bagi individu, untuk melindungi pasien dengan perilaku agitasi parah yaitu dengan menggunakan alat-alat pengaman, pagar bed, kaki tangan diikat dengan pengikat lunak.
SCCM (Society of Critical Care Medicine) merekomendasikan untuk
secara rutin memonitor perilaku agitasi pada pasien-pasien di ICU, yaitu salah satunya dengan menggunakan alat ukur the Richmond Agitation- Sedation Scale (RASS) (Anonim,2017). Pengukuran status agitasi dengan RASS dilakukan dengan observasi aktivitas fisik pasien, ekspresi wajah dan respon fisiologis yang muncul. Sedangkan untuk mengukur tingkat keparahan dan gangguan neurologis pada pasien stroke menurut Helleberg (2014) yaitu dengan menggunakan National Institues Health of Stroke Scale (NIHSS). NIHSS adalah suatu instrumen yang digunakan untuk menilai gangguan neurologis dan menilai tingkat keparahan penderita stroke yang telah distandari.
Sebuah penelitian yang telah dilakukan di Rumah Sakit Stroke Nasional
(RSSN) Bukit Tinggi menunjukkan bahwa dari 35 responden yang menderita stroke ≥ 6 bulan, terdapat 26 pasien (74,3%) mengalami depresi pasca stroke, dan 9 pasien (25,7%) yang tidak mengalami depresi (Hayulita & Sari, 2014). Berdasarkan data penelitian (Zulfira & Devi, 2017) menunjukkan bahwa dari 81 orang (100%) pasien stroke yang mengalami kecemasan sedang/berat, terdapat 68 (84,0%) pasien stroke yang juga mempersepsikan kualitas hidupnya kurang.
Berdasarkan pemaparan diatas maka peneliti tertarik untuk mengetahui
hubungan tingkat keparahan dengan perilaku agitasi pada pasien stroke di RSUD Ulin Banjarmasin.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang, maka rumusan masalah yang peneliti kemukakan adalah apakah ada hubungan tingkat keparahan dengan perilaku agitasi pada pasien stroke di RSUD Ulin Banjarmasin.
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengetahui hubungan tingkat keparahan dengan perilaku agitasi pada pasien stroke di RSUD Ulin Banjarmasin. 1.3.2 Tujuan khusus Beberapa tujuan yang ingin dicapai dan akan dilaksanakan adalah: 1.3.2.1 Mengidentifikasi tingkat keparahan pada pasien stroke di RSUD Ulin Banjarmasin. 1.3.2.2 Mengidentifikasi perilaku agitasi pada pasien stroke di RSUD Ulin Banjarmasin. 1.3.2.3 Menganalisis hubungan tingkat keparahan dengan perilaku agitasi pada pasien stroke di RSUD Ulin Banjarmasin.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat teoritis Secara Teoritis penelitian ini dapat memberikan masukan yang bermanfaat bagi perkembangan ilmu keperawatan dengan memberikan tambahan data empiris yang teruji secara statistik, baik hipotesis tersebut terbukti ataupun tidak. 1.4.2 Manfaat Praktis 1.4.2.1 Bagi rumah sakit Diharapkan hasil penelitian dapat dijadikan sebagai bahan acuan rumah sakit khususnya untuk perawat ICU dan Stroke Center dalam menangani pasien stroke dengan perilaku agitasi. 1.4.2.2 Bagi Institusi Pendidikan Bagi institusi pendidikan, penelitian ini dapat menjadi bahan acuan dalam pemberian materi tentang tingkat keparahan dengan perilaku agitasi pada pasien stroke, serta sumber informasi untuk penelitian berikutnya. 1.4.2.3 Peneliti Penelitian ini dapat menjadi sebagai pengalaman berharga bagi peneliti dalam menerapkan ilmu metode penelitian dan menambah wawasan pengetahuan tentang tingkat keparahan dengan perilaku agitasi pada pasien stroke, serta menjadi bahan acuan untuk penelitian selanjutnya. 1.4.2.4 Pasien dan Keluarga Penelitian ini dapat memberi masukan kepada pasien dan keluarga yang mengalami stroke tentang penanganan perilaku agitasi. 1.4.2.5 Peneliti Selanjutnya Sebagai bahan referensi untuk melakukan penelitian terkait tentang hubungan tingkat keparahan dengan perilaku agitasi. 1.5 Penelitian Terkait 1.5.1 Zulfira ananda & Devi (2017) ”Kecemasan Dengan Kualitas Hidup Pada Pasien Stroke di Poliklinik Saraf Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin Banda Aceh”, jenis penelitian deskriptif korelatif dengan metode penelitian menggunakan cross sectional study, melalui uji statistik dengan Fisher’s Exact Test, didapatkan bahwa nilai p-value = 0,000. Kesimpulannya p-value <0,05 sehingga Ho ditolak dan Ha diterima yang berarti ada hubungan antara kecemasan dengan kualitas hidup pada pasien stroke di Poliklinik Saraf Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin Banda Aceh. 1.5.2 Ridwan Kustiawan & Rani Hasriani (2014) “Gambaran Tingkat Kecemasan Pada Pasien Stroke Iskemik Di Ruang V Rumah Sakit Umum Kota Tasikmalaya”, jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif dengan metode penelitian menggunakan alat pengukuran berupa angket atau kuesioner, melalui uji statistik dengan analisa univariat didapatkan bahwa hasil penelitian ini memberi gambaran bahwa dari 39 responden pasien stroke yang mengalami tingkat kecemasan sedang yaitu 28 responden (71,8 %), tingkat kecemasan berat 7 responden (17,9 %) dan kecemasan ringan 4 responden (10,3%).