Anda di halaman 1dari 12

Krisis financial yang tengah menggulung perekonomian gelobal dewasa ini, pada awal

mulanya berangkat dari kasus kredit macet pada sector perumahan kelas tiga di Amerika
atau yang lebih terkenal dengan istilah Subprime Mortgage. Transaksi derivative yang
berbasiskan Subprime Mortgage pada akhirnya meluas dan melahirkan dampak global.
Dalam pandangan para pakar ekonom, krisis yang sekarang terjadi jauh lebih buruk dari
pada krisis 1929. Beberapa program penyelamatan di galang oleh Negara di kawasan
Amerika, Eropa dan Asia. Di Amerika kejatuhan pasar saham sebagi buntut krisis
tersebut, pemerintah AS menggelontorkan dana talangan sebesar USD 700 Milliar.
Sedangkan di kawasan Asia dalam hal ini Indonesia pemerintah tengah mengeluarkan
program Buy Back sebagai antisipasi kejatuhan indeks IHSG yang bahkan sempat di
suspensi selama 3 hari. Tidak kurang dari Rp. 14 Triliun dana tengah disiapkan
pemerintah Indonesia untuk program Buy Back. Di sisi lain, para pengamat ekonomi
nasional menyayangkan kebijakan pemerintah tersebut. Hal ini di tengarai bahwa
keterkaitan antara pasar saham dengan sector perekonomian nasional sangat tipis. Oleh
karena itu, para pakar lebih sepakat dana tersebut untuk pembangunan sector riil seperti
infrastruktur dan UMKM. Salah satu solusi yang harus dipertimbangkan adalah bahwa
sistem kapitalisme yang pada awal mulanya menjajikan kemakmuran lewat idealisme
sistem pasar, nyata-nyata dewasa ini belum mampu mewujudkan gagasan tersebut. Oleh
karena itu, sudah sepatutnya sistem kapitalisme tersebut didekontruksi menuju sistem
ekonomi yang berkeadilan, dalam hal ini sistem ekonomi Islam patut dipertimbangkan.

A. Pendahuluan
Sejarah kelam system perekonomian kapitalisme tentu masih hangat betul dalam ingatan,
bahwa system ini pernah mengalami keterpurukan serupa pada tahun 1929. Resesi
ekonomi yang menggulung perekonomian gelobal saat itu melahirkan keterpurukan luar
biasa. Jatuhnya daya beli masyarakat serta tingginya angka inflasi membuat system ini
belajar menyembuhkan diri yang pada akhirnya terealisasi pada kurun waktu 1971-an.

Dalam beberapa pandangan para ahli, krisis sekarang di nilai jauh lebih besar dari pada
krisis yang terjadi pada tahun 1929 tersebut. Jika benar demikian, maka bisa dibayangkan
berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk pemulian perekonomian gelobal. Krisis 1929
yang terkenal dengan istilah Black Thursday merupakan kejadian yang membuat
perekonomian AS dan global berada dalam kekacauan. Selain itu, krisis tersebut juga
menimbulkan Great Depression pada 1930-an. Dampak kehancuran terhadap sektor riil
sangat beragam, di mana kehilangan kepemilihan saham yang meluas berarti kerugian
yang di alami konsumen kelas menengah. Konsumen mengurangi belanjanya seperti
mobil dan rumah, sementara sektor bisnis menunda investasi dan menutup pabrik mereka.
Pada 1932, perekonomian AS turun hingga separuhnya, dan sepertiga angkatan kerja
menjadi pengangguran. Seluruh sistem keuangan AS juga hancur, dengan ditutupnya
seluruh sistem perbankan pada 1933 oleh presiden yang baru naik, Franklin Roosevelt.
Saat itu Roosevelt mengeluarkan kebijakan New Deal.
Dari uraian di atas, makalah ini bermaksud memotret situasi krisis financial yang tengah
menggulung perekonomian gelobal. Jatuhya indeks pasar saham di beberapa kawasan
seperti Dow Jone di Amerika, KOSPI di Korea, HANGSEN di Hongkong, NIKEI di
Jepang dan IHSG di Indonesia adalah salah satu wujud konkrit krisis tersebut.
Pembahasan dalam makalah ini terbagi menjadi 3 bagian utama, pertama di awali
koronologi krisis financial, kedua Program penyelamatan yang dilakukan pemerintah
setempat dan ketiga solusi alternative dekontruksi sistem

B. Kronologi Krisis Financial


1. Sub Prime Mortgage
Subprime Mortgage merupakan kridit yang dikucurkan oleh perbankkan Amerika
terhadap sector perumahan. Kridit semacam ini, di Indonesia dikenal dengan istilah
Kridit Perumahan Rakyat yang di singkat KPR. Para pakar ekonom meyakini bahwa
Krisis ekonomi dan keuangan AS berawal dari produk Subprime-Mortgage.
Di Amerika kredit perumahan seperti ini diklasifikasikan ke dalam 2 kelompok yakni
kelompok Prime Mortgage dan Sub Prime mortgage. Prime mortgage diberikan kepada
peminjam yang memiliki credit history bagus dan memiliki repayment capacity
(kemampuan membayar). Sedangkan Subprime mortgage diberikan kepada peminjam
yang tidak memenuhi kedua persyaratan di atas.
Subprime mortgage di Amerika diberikan kepada konsumen yang memiliki kelayakan
kredit kurang dari cukup, atau kurang layak untuk mendapatkan kridit. Salah satu cara
mengukur kelayakan kredit konsumen dilakukan dengan cara melihat credit score. Sistem
pemberian KPR di Amerika sangat bergantung terhadap credit score yang dikeluarkan
oleh perusahaan credit scoring seperti yang mengunakan metode FICO. Konsumen dapat
memiliki FICO score mulai dari 300 s/d 850 tergantung dari hasil perhitungan yang
dilakukan oleh perusahaan penyedia jasa ceridit score dengan melihat 5 katagori utama
seperti:
1. Payment history (35%)
2. Amounts owed (30%)
3. Length of credit history (15%)
4. New credit (10%)
5. Types of credit used (10%).
Beberapa alasan fundamental, kredit Subprime mortgage diberikan kepada masyarakat
adalah didasari atas asumsi bahwa :
• Kebijakan moneter yang longgar (low-interest rate)
• Aturan kepemilikan rumah yang longgar (seperti keringanan pajak rumah)
• Keyakinan bahwa harga rumah akan terus meningkat (property bubble)
• Keinginan untuk mendapat return yang sebesar-besarnya (greed)
Asumsi demikian, berakhir tatkala era suku bunga rendah di AS berakhir dan melahirkan
persoalan yang di tandai dengan :
• Tingkat gagal bayar meningkat (karena debitur memang sebenarnya tidak layak
mendapat KPR)
• Produk derivatif yang berbasiskan subprime-mortgage kemudian tidak bisa memberi
return
• Karena produk derivatif tersebut telah menyebar ke seluruh dunia, maka krisis
keuangan ini kemudian meluas
Dari hal tersebut, keberadaan nasabah yang mendapatkan pembiayaan perumahan pada
dasarnya kurang memenuhi persyaratan. Dengan kata lain, dari aspek kelayakan
penyaluran kredit kasus Subprime Mortgage tidak memenuhi persyaratan tersebut. Oleh
karena itu, wajar manakala kredit perumahan di Amerika tersebut mengalami gagal bayar.
Nilai kerugian dari kredit macet Subprime Mortgage diperkirakan sebesar USD 0,8
Triliun atau 38% dari total Mortgage yang mencapai USD 10,7 Triliun. Dari sini nilai
kerugian Subprime Mortgage dan keberadaan transaksi derivative diperkirakan sebesar
USD 23 Triliun.

2. Jatuhnya Wall Street


Dalam waktu singkat, kondisi pasar finansial AS seperti dijungkirbalikkan dan tersapu
habis. Lehman Brothers, yang merupakan perusahaan sekuritas keempat terbesar di AS
dan salah satu tertua di Wall Street, harus mengaku bangkrut. Begitu pula Merrill Lynch
harus merelakan diri diakuisisi oleh perusahaan yang menjadi rivalnya selama ini, Bank
of America.
Pemerintah Amerika juga dipaksa menalangi kejatuhan wall street setelah sebelumnya
Presiden Amerika George W. Bush menolak melakukan intervensi terhadap pasar, sebab
bagi Bush gejolak perekonomian dalam system kapitalisme harus diselesaikan dengan
mekanisme pasar sendiri, pemerintah tidak boleh melakukan intervensi. Di sisi lain,
Federal Reserve harus menjadi lender of resort (penjamin likuiditas terakhir perbankan)
sejumlah raksasa bank investasi, lembaga sekuritas atau perusahaan asuransi, dan
penjamin kredit yang rontok satu per satu, mulai dari Bear Stearns, Fannie Mae dan
Freddie Mac, IndyMac, hingga American International Group (AIG).
Dua bank investasi yang masih tersisa, Morgan Stanley dan Goldman Sachs,
kemungkinan juga akan dipaksa merger dengan bank lain guna menghindari nasib serupa.
Pemerintahan AS harus menelan ludah sendiri, pasalnya negara adidaya ekonomi yang
sebelumnya menolak masuknya investasi BUMN milik pemerintah asing (sovereign
wealth fund/SFW) ke lembaga keuangan dan sektor strategis lain dalam negeri yang
disebabkan oleh tingginya desakan sentimen nasionalisme di dalam negeri. Namun
kondisi demikian itu berbalik arah menjadi upaya penggalangan penyelamatan dengan
mengemis kepada bank-bank asing untuk mengakuisisi atau menjadi partner merger
bank-bank nasional karena krisis likuiditas yang dihadapi.
Keruntuhan lembaga-lembaga keuangan besar Wall Street sebagai rentetan dari krisis
kredit macet perumahan yang sudah berlangsung sejak Juli 2007, memicu kekhawatiran
akan terjadinya efek domino yang menuntun ke spiral kebangkrutan seluruh sistem
finansial global. Di Inggris, sejauh ini terdapat dua bank Inggris yang kolaps, HBOS dan
bank kredit Halifax Bank. Lebih dari itu, keruntuhan fondasi keuangan Wall Street juga
berdampak sangat destruktif pada perekonomian AS, pasar finansial, dan perekonomian
global.
Pasar saham mengalami kejatuhan terbesar sejak insiden serangan teroris ke World Trade
Center, 11 September 2001. Pencapaian 10 tahun terakhir pun lenyap dengan indeks
Standard & Poor’s turun di bawah level tahun 1998. Hingga kemarin, saham dari
berbagai sektor secara accross the board terus berjatuhan, diikuti indeks di bursa-bursa
saham di seluruh dunia.
Kalangan analis mengingatkan, krisis memasuki periode yang semakin berbahaya dengan
nyaris lumpuhnya pasar surat utang karena investor di berbagai penjuru dunia yang panik
berebut memindahkan uangnya ke instrumen yang lebih aman, seperti emas.
Krisis likuiditas, yang dikombinasikan dengan krisis kepercayaan juga membuat suku
bunga pinjaman bagi sektor korporasi membubung tinggi, membuat dunia usaha
kesulitan membiayai kegiatan operasi sehari-hari mereka. Suku bunga pinjaman jangka
pendek antarbank (overnight) sempat melonjak hingga 8,5 persen. Kamis, sebelum turun
kembali ke 2 persen pascaintervensi bank-bank sentral negara maju.
Perkembangan situasi di Wall Street dari jam ke jam dan dari hari ke hari yang sangat
cepat dengan efek ramifikasi yang luas ke seluruh penjuru dunia membuat tak ada
seorang pun berani meramalkan apa yang akan terjadi ke depan. Beberapa analis,
termasuk mantan Pemimpin Fed Alan Greenspan memprediksi bakal ada lagi perusahaan
finansial besar lain di Wall Street yang akan kolaps.
Rontoknya institusi Wall Street menunjukkan kerapuhan fondasi hegemoni sistem
kapitalisme AS dengan Wall Street sebagai pilar utamanya. Krisis sekarang ini adalah
akibat kombinasi dari moral hazard yang luar biasa di kalangan industri keuangan Wall
Street dan sikap menutup mata di kalangan otoritas pasar finansial, otoritas moneter (Fed),
dan pemerintah.

C. Program Penyelamatan
1. Kawasan Amerika
Setelah sempat melakukan penolakan, akhirnya Presiden George W Bush mensepakati
untuk melakukan intervensi pasar guna menyelamatkan perekonomian AS sebagai
dampak krisis Subprime Mortgage. Pada awalnya, Bush menolak melakukan intervensi,
sebab dalam faham dan praktik kapitalisme, penyelesaian terhadap setiap kemelut
ekonomi dan keuangan dilakukan melalui mekanisme pasar. Negara dan pemerintah tidak
perlu campur tangan.
Sekitar USD 700 Miliar dana yang dipersiapkan untuk melakukan penyelamatan
perekonomian AS. Di sisi lain, sebagai upaya penyelamatan kasus Subprime Mortgage
seperti dilansir BBC News, Sabtu (1/9/2007) Bush mengumumkan langkahnya untuk
membantu pemilik rumah yang bermasalah dalam melakukan pembayaran kreditnya.
Sementara Bernanke memberikan isyarat pemotongan suku bunga The Fed untuk
mendorong stabilitas pasar finansial.
Beberapa Langkah yang diambil pemerintahan Bush seperti reformasi undang-undang
pajak dalam membantu keuangan debitor agar bisa mendapat pinjaman lagi. Namun Bush
menegaskan pemerintah tidak akan memberikan dana talangan kepada para spekulator
karena itu bukan tugas pemerintah. Sementara The Fed akan melakukan pertemuan pada
18 September 2007 mendatang yang memunculkan spekulasi The Fed akan menurunkan
biaya pinjaman untuk melonggarkan masalah likuiditas di pasar finansial.
Pelaku pasar di Wall Street juga melihat Bernanke akan menaikkan suku bunga yang
dapat menurunkan biaya pinjaman dan mendorong kembali pasar kredit. Pernyataan Bush
dan The Fed ini telah direspons positif oleh pelaku pasar yang membuat indeks Dow
Jones dan Nasdaq pada penutupan Jumat waktu AS (31/8/2007) naik masing-masing 0,9
persen dan 1,2 persen. Selain itu, Pelaku pasar turut menyambut baik pernyataan Bush
yang berisikan pertama, meminta kongres untuk mensahkan UU yang memberikan
keleluasan kepada Federal Housing Administration (asuransi KPR milik pemerintah AS)
dalam membantu masyarakat yang kesulitan mencicil kredit perumahannya. Kedua
Berjanji melakukan reformasi aturan pajak. Ketiga membantu para peminjam agar
mendapat dana pinjaman lagi. Keempat memberikan pinjaman dengan syarat-syarat yang
lebih ketat dan menjalankan undang-undang untuk menghentikan peminjam yang curang
atau bermasalah.
Untuk meredam gejolak, Fed dan pemerintah sudah mengambil sejumlah langkah untuk
memulihkan kepercayaan pasar. Selain memfasilitasi pengambilalihan lembaga keuangan
yang kolaps oleh perusahaan lain, Fed juga memperluas jenis collateral (jaminan) untuk
pinjaman Fed. Dengan fasilitas ini, dimungkinkan lembaga keuangan menjaminkan
sahamnya untuk mendapatkan fasilitas pendanaan darurat Fed.
Pemerintah juga akan menambah jumlah surat berharga pemerintah dalam lelang berkala
yang dilakukan pemerintah. Dengan tekanan, Fed juga berhasil memaksa 10 bank
terbesar berkolaborasi menghimpun dana senilai 70 miliar dollar AS sebagai sumber
likuiditas darurat yang bisa digunakan lembaga keuangan yang kesulitan likuiditas jangka
pendek. Komisi Sekuritas dan Saham juga mengeluarkan aturan yang melarang praktik
transaksi short selling.

2. Kawasan Asia: Indonesia


Tidak jauh berbeda dengan situasi pasar saham global, indeks saham IHSG di Bursa Efek
Indonesia (BEI) juga mengalami situasi serupa. Kejatuhan lantai bursa telah mendorong
otoritas BEI dan pemerintah untuk melakukan penutupan sementara transaksi
perdagangan atau yang dikenal dengan Suspensi. BEI menghentikan perdagangan sejak
Rabu (8/10) pukul 11.06 waktu JATS (Jakarta Automatic Trading Sistem), setelah Indeks
Harga Saham Gabungan (IHSG) turun sebesar 183,768 poin atau 10,03 persen ke level
1.648,739.
IHSG telah terkoreksi lebih dari 20 persen dalam tiga hari bursa dan lebih dari 40 persen
sejak awal tahun. BEI menutup perdagangan karena indeks turun terlampau dalam. Selain
itu, nilai transaksi di lantai bursa juga tidak signifikan hanya Rp988 miliar. Otoritas bursa
menganggap penurunan ini tidak rasional karena para pelaku pasar mengalami kepanikan
atas krisis keuangan global yang membuat bursa saham global juga mengalami
penurunan tajam. Tidak kurang dari 3 hari kebijakan tersebut diambil oleh pemerintah
sebagai salah satu langkah untuk mengantisipasi kejatuahan pasar saham lebih dalam.
Salah satu langkah yang di ambil pemerintah Indonesia dalam penanganan kejatuhan
indeks IHSG adalah dengan memperlonggar peraturan pelaksanaan program Buy Back.
Hal ini sebagaimana tertuang dalam keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Dan
Lembaga Keuangan Nomor. Kep-401/BL/2008 tentang Pembelian Kembali Saham Yang
Dikeluarkan Oleh Emiten Atau Perusahaan Publik Dalam Kondisi Pasar Yang Berpotensi
Krisis.
Sekitar 11 BUMN siap melakukan program pembelian kembali (Buy Back) saham
BUMN yang diperdagangkan di lantai Bursa Efek Indonesia (BEI) demi mencegah
kejatuhan indeks harga saham gabungan (IHSG) ke level lebih dalam. Hal ini
sebagaimana di ungkap oleh Menneg BUMN Sofyan Djalil, di Jakarta, Sabtu (11/10)
malam “BUMN utamanya yang memiliki likuiditas siap melakukan program ini,”
Menurut Sofyan besaran dana yang disiapkan BUMN berkisar Rp5 triliun hingga Rp10
triliun. Di antara BUMN yang telah menyatakan siap untuk mengikuti program Buy
antara lain Bank Mandiri, Bank BNI, Jasa Marga, Aneka Tambang, Timah, PGN, Semen
Gresik, Tambang Batubara Bukit Asam, dan Adhi Karya. Adapun Telkom yang
sebelumnya juga telah melakukan program buyback, juga ikut mendukung aksi buyback
bersama BUMN lainnya.
Dampak dari kebijakan Buy Back terlihat dengan menguatnya Harga saham sejumlah
BUMN yang tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI). Pada sesi perdagangan senin (13/10)
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup naik 0,70 persen atau naik 10,204 poin
menjadi 1.461,873 dan indeks LQ45 terangkat 3,065 poin atau 1,08 persen ke posisi
287,301. Pergerakan saham di BEI masih didominasi yang turun sebanyak 97 dibanding
yang naik 72, 35 tidak berubah harganya dan 255 tidak aktif diperdagangkan. Kenaikan
indeks didorong naiknya Telkom Rp150 menjadi Rp6.600, Gas Negara terangkat Rp150
ke posisi Rp1.740, Antam melangkah Rp100 ke level Rp1.150, Timah menambah Rp60
ke harga Rp1.200, Indosat melangkah Rp375 ke Rp4.325 dan Tambang Batubara Bukit
Asam melambung Rp500 menjadi Rp5.750.
Volume perdagangan di pasar reguler mencapai 2,678 miliar saham dengan nilai Rp3,168
triliun dari 73.098 kali transaksi. Posisi investor asing masih net sell (posisi jual bersih).
Total investor asing yang melakukan aksi jual sebanyak 8,725 miliar saham (Rp5,106
triliun) sedangkan investor yang berada pada posisi beli sebanyak 8,547 miliar saham
(Rp4,825 triliun).
Pada sesi perdagangan selasa (14/10), harga saham BUMN terus mengalami penguatan
setelah pemerintah melakukan pembelian kembali (buy back). Dari 16 saham BUMN
yang tercatat di BEI, hampir semuanya mengalami penguatan, bahkan kenaikan harganya
sudah mendekati sekitar 10 persen pada Selasa sesi pertama.
Penguatan harga saham BUMN tersebut selain karena factor dari aksi pembelian kembali
(buy back) saham dari BUMN yang bersangkutan, juga disebabkan oleh keterkaitan
investor lokal yang juga mengikuti gerak buy back yang dilakukan perusahaan BUMN
sehingga harga saham BUMN terus menguat.
Beberapa saham BUMN yang harganya menguat hingga batas auto rejection di antaranya
saham Semen Gresik (SMGR), Antam (ANTM), Elnusa (Elsa), Perusahaan Gas Negara
(PGAS), BRI, Bank Mandiri (BMRI), Wijaya Karya (WIKA), Kimia Farma (KAEF),
Timah (TINS), Adhi Karya (ADHI), dan BNI (BBNI). Selain itu, saham-saham non-
BUMN juga mengalami penguatan dan terkena batasan auto rejection, yakni saham
United Tractors (UNTR), Astra Internasional (ASII), INCO, Sinarmas Agroresources
(SMART), dan Unilever (UNVR).
Sementara itu, kebijakan otoritas moneter Indonesia yang dalam hal ini BI dan
pemerintah dalam meminimalisir dampak krisis gelobal terhadap sector perbankan dan
perekonomian nasional antara lain dengan mengeluarkan beberapa kebijakan yang
meliputi :
• Pada tanggal 16 September 2008 BI meneluarkan kebijakan untuk menjaga kecukupan
likuiditas di industri perbankan yang terdiri atas :
1. Menurunkan O/N Repo Rate dari semula BI Rate plus 300 bps menjadi BI Rate plus
100 bps
2. Menyesuaikan FASBI Rate dari semula BI Rate minus 200 bps menjadi BI Rate minus
100 bps.
3. Dengan demikian koridor suku bunga O/N akan menjadi simetris dengan BI Rate ±
100 bps
• Pada tanggal 23 September 2008 BI Perpanjangan jangka waktu FTO oleh BI untuk
membantu manajemen likuiditas perbankan
• Pada tanggal 9 Okt 2008 BI melakukan Perubahan Ketentuan dalam Pencatatan Efek
Bersifat Hutang
• Pada tanggal 13 Okt 2008 pemerintah mengeluarkan Perppu tentang BI dan LPS
• Pada tanggal 14 Okt 2008 BI mengeluarkan Langkah-langkah untuk menjaga
kecukupan likuiditas valas dan rupiah di dalam negeri
D. Urgensitas Polecy Buy Back Terhadap Penyelamatan Perekonomian Nasional
Sementara itu, di tengah proses pelaksanaan program Buy Back saham BUMN, para
pakar ekonom nasional menilai bahwa program Buy Back adalah sebagai kebijakan yang
salah diagnosa atas persoalan perekonomian nasional. Hal ini sebagaimana diungkap oleh
ekonom Faizal Basri yang menyatakan bahwa pasar bursa tidak akan memberikan
pengaruh yang signifikan terhadap gejolak ekonomi dalam negeri. Hal ini dikarenakan
para pelaku pasar bursa di BEI hanya sekitar 0,5 persen dari penduduk Indonesia. Dengan
kata lain, mayoritas para pelaku pasar bursa di BEI adalah didominasi oleh investor luar,
sedangkan investor lokal (dalam negeri) Karena itu, tindakan pemerintah dinilai kurang
tepat, karena lebih memprioritaskan bursa.
Menurut Faizal Basri seharusnya pemerintah lebih fokus fokus pada sektor riil domestik
untuk menjaga industri dalam negeri. Beberapa kebijakan fiskal dan moneter harus
dibenahi untuk mendukung pertumbuhan sektor riil. Kejatuhan bursa saham dan nilai
tukar rupiah yang terjadi dalam sepekan ini dinilai kecil kemungkinan menjelma menjadi
krisis ekonomi berupa ambruknya perbankan dan sektor riil. Dalam hal ini, sebagai upaya
untuk meningkatkan kepercayaan pelaku pasar, pemerintah seharusnya fokus menjaga
daya beli masyarakat.
Dalam sebuah diskusi panel yang diselenggarakan oleh kompas yang di hadiri oleh
ekonom Faisal Basri, Kepala Ekonom BNI Tony Prasetiantono, pengamat pasar modal
dan perbankan Mirza Adityaswara, serta Ketua Umum Himpunan Pengusaha Muda
Indonesia Erwin Aksa Mahmud pada hari Jum’at 10 Oktober 2008 di Jakarta. Di ungkap
bahwa tingkat krisis yang dihadapi Indonesia sangat berbeda dengan Amerika Serikat
(AS), Eropa, dan negara maju lainnya.
Di AS, krisis telah merasuk ke semua sektor, mulai dari pasar modal, perbankan, hingga
sektor riil. Namun, di Indonesia krisis hanya terjadi di pasar modal. Krisis yang terjadi di
pasar modal dinilai tidak mudah bertransmisi ke sektor lain mengingat kontribusi pasar
modal dalam sistem keuangan Indonesia amat kecil. Oleh karena itu, program buy back
tersebut pada hakekatnya hanya menguntungkan pihak asing saja.
Hal senada juga diungkap Wakil Presiden Jusuf Kalla di tempat terpisah. Menurut Kalla,
sebenarnya ekonomi tidak terlalu terpengaruh dengan ambruknya bursa dunia, seperti
Wall Street. ”Perbedaannya, kita banyak menggantungkan pada ekonomi domestik.
Seperti di AS, pengaruh bursa itu sampai 1,5 kali dari produk domestik bruto mereka.
Kalau kita pengaruhnya hanya 20 persen. Jadi, jangan terlalu dirisaukan,” kata Wapres.
Menurut Faisal Basri, penyesuaian yang terjadi di pasar modal dan nilai tukar domestik
merupakan hal wajar karena seluruh dunia terkena imbas krisis keuangan AS. Penurunan
ekonomi AS dan Eropa juga tak perlu dikhawatirkan mengingat peran mereka dalam
perdagangan dunia makin menyusut. Sebagai gantinya, kini muncul kekuatan ekonomi
baru, seperti China, India, dan Rusia.

E. Solusi Alternatif: Dekontruksi Sistem


Krisis financial global yang sedang melanda perekonomia dunia saat ini, merupakan
bentuk akumulasi dari kebijakan ekonomi yang hanya berorientasi pada hajat
terkumpulnya kekayaan secara besar-besaran yang menafikan pertimbangan resiko
dikemudian hari. Sejarah telah mencatat bahwa system kapitalisme selama eksis dalam
menyokong perekonomian telah mengalami permasalahan serupa.
Beberapa catatan sejarah dapat kita lihat bahwa system ini mengalami krisis yang
berkepanjangan. Berikut merupakan catatan yang dapat kita renungkan mengenai krisis
dalam tubuh system kapitalisme. Pada dekade 2000-an dunia dikejutkan dengan
Kehancuran Bisnis Dot.Com, Krisis ini berawal dari bursa saham yang di bohongi oleh
pertumbuhan perusahaan internet seperti Amazon dan AOL, yang seakan-akan bakal
mengantarkan dunia kepada era baru perekonomian.Saham-saham perusahaan dot com
melambung tinggi saat listing di bursa Nasdaq, meski kenyataannya hanya sedikit
perusahaan yang menghasilkan laba.

Pada tahun 1998 diguncang dengan krisis Long-Term Capital Management. Kolapsnya
perusahaan dana lindung nilai (hedge fund) Long-Term Capital Market (LTCM) terjadi
selama tahap akhir krisis keuangan dunia, yang dimulai di Asia pada 1997 dan meluas ke
Rusia dan Brasil pada 1998. LTCM merupakan perusahaan hedge fund yang didirikan
pemenang Nobel Myron Scholes dan Robert Merton untuk menjual-belikan oblikasi.
Kedua profesor itu yakin dalam jangka panjang, suku bunga obligasi pemerintahan yang
berbeda akan saling konvergen (menyatu), dan perusahaan dana lindung nilai hanya
memperjualbelikan perbedaan tingkat suku bunga ini saja.
Tahun 1997 (Krisis 1987) Pasar saham AS menderita kejatuhan terbesar dalam sehari
pada 19 Oktober 1987, saat indeks Dow Jones terpuruk 22 persen, yang diikuti pasar
Eropa dan Jepang. Kerugian dipicu meluasnya keyakinan bahwa para pelaku insider
trading dan pengambilalihan perusahaan menggunakan dana hasil utang telah
mendominasi pasar, di saat perekonomian AS memasuki perlambatan ekonomi. Saat itu
muncul pula kekhawatiran nilai dolar yang terus menurun di pasar internasional.
Ketakutan terus tumbuh saat jerman menaikkan suku bunganya, dan mendorong nilai
mata uangnya naik. Sistem perdagangan terkomputerisasi yang baru diperkenalkan turut
memperparah kejatuhan pasar saham, lantaran perintah penjualan dilakukan secara
automatis.
Tahun 1985 terjadi Skandal Tabungan dan Pinjaman AS. Lembaga simpanan dan
pinjaman AS merupakan bank lokal yang memberikan pinjaman rumah tangga dan
mengambil simpanan dari investor ritel, mirip dengan institusi pengembangan
masyarakat di Inggris. Di bawah deregulasi keuangan pada 1980-an, bank-bank lokal ini
diperbolehkan terlibat lebih jauh, dan terkadang tidak bijak, untuk melakukan transaksi
keuangan dan bersaing dengan bank komersial besar.
Tahun 1929 (Krisis 1929) kapitalisme nyaris ambruk. Krisis yang terjadi pada 1929 -
dikenal dengan Black Thursday- merupakan kejadian yang membuat perekonomian AS
dan global berada dalam kekacauan, dan menimbulkan Great Depression pada 1930-an.
Dan pada tahun 1866 dan 1890 terjadi krisis Overend & Gurney, 1866; dan Barings, 1890
di Ingris. Krisis ini bermula dari Kegagalan bank utama di London pada 1866 membawa
perubahan penting dalam peran bank sentral dalam menangani krisis keuangan.
Dari perjalanan sejaran tersebut, setidaknya kita harus bertanya mengapa system
kapitalisme dari tahun ke tahun tidak pernah terbebas dari permasalah krisis. Lalu dimana
idealisme sang maestro system kapitalis Adam Smith yang menjajikan kemakmuran
lewat system ini. Menurut Karl Marx, system kapitalisme merupakan system yang
dipenuhi dengan kebobrokan. Bagi Marx, kebobrokan tersebut merupakan sesuatu yang
melekat dalam system kapitalisme. Oleh karena itu, perbaikan terhadap system ini pada
dasarnya tidak akan mampu mengentaskan system ini dari kehancuran. Marx menyatakan
kehancuran system kapilatisme merupakan suatu yang nyata dan tidak terelakkan.
Melihat fenomena-fenomena yang tragis tersebut, maka tidak mengherankan apabila
sejumlah pakar ekonomi terkemuka, mengkritik dan mencemaskan kemampuan ekonomi
kapitalisme dalam mewujudkan kemakmuran ekonomi di muka bumi ini. Bahkan cukup
banyak klaim yang menyebutkan bahwa kapitalisme telah gagal sebagai sistem dan
model ekonomi. Sejalan dengan hal tersebut, Anthony Gidden dalam bukunya The Thrid
Way menyatakan dunia seyogyanya mencari jalan ketiga dari pergumulan sistem kakap
dunia yakni kapitalisme dan sosialisme. Jalan ketiga tersebut, bagi Gidden terdapat dalam
konsepsi Islam.
Kehadiran konsep ekonomi baru tersebut, bukanlah gagasan awam, tetapi mendapat
dukungan dari ekonom terkemuka di dunia yang mendapat hadiah Nobel 1999, yaitu
Joseph E.Stiglitz. Dia dan Bruce Greenwald menulis buku “Toward a New Paradigm in
Monetary Economics” Mereka menawarkan paradigma baru dalam ekonomi moneter.
Dalam buku tersebut mereka mengkritik teori ekonomi kapitalis (konvensional) dengan
mengemukakan pendekatan moneter baru yang entah disadari atau tidak merupakan sudut
pandang ekonomi Islam di bidang moneter, seperti peranan uang, bunga, dan kredit
perbankan.
Oleh karena itu, dengan kegagalan system kapitalisme dalam mewujudkan kesejahteraan
yang berkeadilan, maka menjadi keniscayaan bagi umat manusia untuk mendekonstruksi
ekonomi kapitalisme menuju system ekonomi yang berkeadilan dan berketuhanan yang
dalam hal ini tentu ekonomi Islam patut untuk dipertimbangkan sebagai salah satu
alternative dalam merealisasikan kesejahteraan manusia.

DAFTAR PUSTAKA

Nurfajri Budi Nugroho, Krisis Keuangan, Belajar Dari Sejarah, dalam Okezone.com,
senin 13 Oktober 2008

Djoko Subagyo, Krisis Ekonomi Keuangan Global dan Dampaknya terhadap Industri
Perbankan, dalam Pertemuan Sub BMPD Kediri pada tanggal 16 Oktober 2008 dan
Kuliah PPS IAIN Konsentrasi Ekonomi Islam

Sid H. Kusuma, Memahami Subprime Mortgage AS, dalam http://www.detikfinance.com


Senin, 03/09/2007

Rontoknya Institusi Wall Street, Jum’at, 19 September 2008, dalam www.kompas.com


Tjahja Gunawan Diredja, Kapitalisme di Amerika Sudah Mati?, Senin, 6 Oktober 2008,
dalam www.kompas.com
Irna Gustia, Bush dan Fed Keluarkan Jurus Atasi Krisis Subprime Mortgage, Sabtu,
1/09/2007, dalam www.detikfinance.com
BEI Buka Kembali, Senin, 13 Oktober 2008, dalam www. kompas.com
BEI Pastikan Perdagangan Dibuka Senin, Minggu, 12 Oktober 2008, dalam
www.kompas.com
www.google.com/bapepam/buy back bumn
11 BUMN Siap Buyback Senilai Rp10 Triliun, Sabtu, 11 Oktober 2008, dalam
www.kompas.com
Program Buy Back BUMN Saham Angkat IHSG , Senin, 13 Oktober 2008, dalam
www.kompas.com
“Buy Back”, Saham BUMN Terus Menguat, Selasa, 14 Oktober 2008, dalam
www.kompas.com
Faisal Basri: Bursa Bangkrut, No Problem, Sabtu, 11 Oktober 2008 dalam
www.kompas.com
Tak Akan Menjelma Jadi Krisis, Perdagangan Saham Batal Buka, Sabtu, 11 Oktober
2008 dalam www.kompas.com

Nurfajri Budi Nugroho, Krisis Keuangan, Belajar dari Sejarah, Senin, 13 Oktober 2008
dalam www.okezone.com

Steveen Pressman, Lima Puluh Tokoh Pemikir Ekonomi,Alih Bahasa Tri Wibowo Budi
Santoso, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000

Edi Sugiharto, Masyarakat Madani: Aktualisasi Profesionalisme Community Workers


Dalam Mewujudkan Masyarakat Yang Berkeadilan, dalam
http://www.policy.hu/suharto/modul_a/makindo_16.htm

Agustianto, Dekonstruksi Kapitalisme dan Rekonstruksi Ekonomi Syari’ah, dalam


http://www.pesantrenvirtual.com
S
Krisis cagaran sub prima di US: Apa sebenarnya berlaku?

Umum mengetahui telah berlakunya krisis kewangan di Amerika yang mengakibatkan


beberapa syarikat kewangan dan insurans terpaksa gulung tikar ataupun tinggal nyawa-
nyawa ikan dan hanya mampu merintih minta di"bailout"kan oleh kongres Amerika yang
kini dikuasai oleh parti Demokrat. Namun pelan penyelamat yang berharga USD700
bilion itu telah mendapat tentangan kelas pertengahan rakyat Amerika. Mereka
menyatakan ianya tidak lebih hanyalah sebagai usaha jangka pendek yang hanya
bertujuan semata-mata untuk menyelamatkan golongan kaya Amerika. Namun masih
ramai juga tidak mengetahui apa sebenarnya berlaku sehingga menyebabkan krisis
kewangan tersebut. Jawapannya ialah kerana adanya sistem cagaran yang dipanggil
cagaran sub prima.

Kenapa diberi nama sub prima?

Pendangan saya adalah kerana hutang yang diberikan pemiutang kepada penghutang asal
(prime) telah dipindah @ di"sub"kan kepada golongan ketiga dengan tujuan untuk
meringankan risiko ketidak upayaan membayar balik penghutang asal. Ini tidak ubah
seperti seorang kontraktor yang mendapat kontrak kerajaan namun tidak mampu untuk
melakukan kerja tersebut kerana kekurangan dana atau ketidakupayaan dari sudut skil,
pengalaman dan sebagainya. Ataupun mempunyai skil namun mengambil jalan mudah
untuk mendapatkan keuntungan dengan menjual @ men'sub' kontrak kerajaan tersebut
kepada kontraktor lain (sub kon) untuk membuat kerja bagi pihaknya. Ini seakan-akan
seperti pengkhianatan kepada pihak si pemberi projek. Namun untuk menyalahkan
kontraktor seratus peratus tidak boleh juga kerana yang sepatutnya bersalah adalah si
pemberi kontrak kerana tidak menyemak track rekod kontraktor tersebut ataupun terlalu
lineon dalam pemilihan kontraktor sehingga tersalah pilih kontraktor yang sepatutnya
benar2 jujur untuk melakukan projek tersebut dengan sendiri dan bukannya dengan cara
mudah.

Begitulah apa yag telah berlaku di Amerika di mana sykt kewangan dengan sewenang-
wenangnya memberi pinjaman kepada orang ramai tanpa mengambil kira sama ada
mereka mampu membayar atau pun tidak. Jika mampu pun adakah mereka betul2 mahu
membayarnya? Inilah cabaran besar bagi golongan pemiutang, untuk sentiasa berhati2
dalam memberikan pinjaman kepada orang ramai.

Namun disebabkan sistem itu sendiri terlampau lineon, ramai yang berhutang dengan
sykt kewangan untuk membeli harta terutamanya hartanah dan perumahan yang
dikatakan boleh membawa keuntungan. Apabila ini terjadi, skyt kewangan cuba
mengurangkan risiko ketidakupayaan si penghutang untuk membayar balik dengan cara
men"securitize'kan hutang tersebut kepada pihak ketiga atau dengan kata lebih mudah
mencagarkannya. Men'securitize'kan atau mencagarkan adalah satu proses memindahkan
separuh atau 2/3 hutang kepada pihak ketiga dengan cara mengeluarkan bon atau sekuriti
dengan tempoh matang tertentu. Apabila hal ini berlaku, sekiranya penghutang gagal
untuk membayar hutangnya maka skyt kewangan yang tadinya telah mengeluarkan
sekuriti kepada pihak ketiga juga turut gagal untuk menepati janjinya. Ini kerana sykt
kewangan tidak mempunyai duit yang cukup utk memberi pulangan cash atau faedah
daripada sekuriti itu tadi. Hasilnya, apabila masing-masing menuntut dan tidak dapat apa
yang dituntut, maka berlakulah ketidakpercayaan pelabur terhadap bon atau sekuriti yang
diperdagangkan di pasaran kewangan. Dan akhirnya berlakulah masalah kecairan duit
dan inilah yang mengakibatkan ramai sykt kewangan gagal bertahan.

Anda mungkin juga menyukai