Anda di halaman 1dari 7

ASWAJA ANNAHDLIYAH; DARI MADZHABI MENUJU MANHAJI

A. Pengantar

Aswaja adalah aliran keagamaan yang diikuti oleh mayoritas umat Islam Indonesia,
khususnya Nahdlatul Ulama. Aswaja NU terkenal dengan nama Aswaja Nahdliyah,
yaitu Aswaja yang menjadi keyakinan dan dasar utama bagi warga NU dalam semua
bidang, agama, sosial, pendidikan, ekonomi, budaya, dan politik. Namun sayang,
mayoritas warga NU belum memahami secara mendalam apa itu Aswaja ?, apa yang
membedakan Aswaja dengan aliran lain ?, dalil-dalil yang menjadi dasar amaliyah
warga NU seperti tahlilan, manakiban, yasinan, dan lain-lain ?, Apakah benar
amaliyah warga NU termasuk bid‟ah dhalalah (sesat) ? kalau tidak, apakah termasuk
kategori sunnah ? Wacana bid‟ah selalu dijadikan senjata untuk menyerang amaliah
warga NU secara terus menerus. Pelurusan wacana sangat penting dan mendesak,
supaya warga NU bisa mengamalkan tradisinya secara nyaman dan tenang.

Selain itu, tantangan modernisasi dan globalisasi membuat formulasi Aswaja klasik
mengalami kemunduran, karena dirasa kurang mampu menjawab tuntutan dinamika
zaman. Maka, menjadi suatu keniscayaan melakukan penyegaran dan pembaruan
doktrin Aswaja. Salah satunya adalah menjadikan Aswaja sebagai manhaj al-fikr
(metodologi berpikir) dalam membaca realitas secara dinamis, analitis, produktif, dan
solutif. Persoalan muncul lagi, bagaimana mengaplikasikan Aswaja sebagai manhaj
al-fikr dalam organisasi dan program-programnya. Disinilah pentingnya membumikan
Aswaja sebagai manhaj al-fikr dalam organisasi dan program-programnya supaya
operasional kuatitatif sehingga bisa meningkatkan kualitas warga NU secara
maksimal.

B. Latar Belakang Historis Lahirnya Aswaja

Lahirnya Aswaja tidak bias dilepaskan dari munculnya pergolakan firqoh-firqoh


dalam Islam wafatnya Rasulullah Saw. Setelah Rasulullah Saw wafat peran
sebagai kepala Negara digantikan oleh para sahabat-sahabatnya, yang disebut
khulafaur Rasyidin yakni Abu Bakar, Umar bin Khatab, Utsman bin Affan, dan Ali
bin Abi Thalib. Namun, ketika pada masa Utsman bin Affan mulai timbul
adanya perpecahan antara umat Islam yang disebabkan oleh banyaknya fitnah
yang timbul pada masa itu. Sejarah mencatat, akibat dari banyaknya fitnah yang
timbulkan pada masa itu menyebabkan perpecahan pada umat Islam, dari masalah
politik sampai pada masalah teologis.

Dalam sejarah Islam telah tercatat adanya firqah-firqah (faham/golongan) dalam


lingkungan umat Islam, dimana satu dengan lainnya bertentangan faham secara tajam
dan sulit untuk didamaikan. Didalam buku Bugyatul Mustarsyidin karangan Mufti
Sheikh Sayid Abdurrahman bin Muhammad bin Husein bin Umar, bahwa ada 72
firqah yang sesat bertumpu pada 7 firqah yaitu :

 Faham Syi‟ah, kaum yang berlebih-lebihan memuja Saidina Ali bin Abi Thalib.
Mereka tidak mengakui Khalifah Rasyidin yang lain seperti Khalifah Abu Bakar
as-Shiddiq, Khalifah Umar Ibnu Khattab dan Khalifah Utsman bin Affan. Kaum
Syi‟ah terpecah menjadi 22 aliran, termasuk di antaranya adalah Kaum Bahaiyah
dan Kaum Ahmadiyah Qad-yan.
 Faham Khawarij, yaitu kaum kaum yang berlebih-lebihan membenci Saidina Ali
bin Abi Thalib, bahkan di antaranya ada yang mengkafirkan Saidina Ali. Firqah
ini berfatwa bahwa orang-orang yang membuat dosa besar menjadi kafir. Kaum
Khawarij terpecah menjadi 20 aliran.
 Faham Mu‟tazilah, yaitu kaum yang berfaham bahwa Tuhan tidak mempunyai
sifat, bahwa manusia membuat pekerjaannya sendiri, Tuhan tidak bisa dilihat
dengan mata dalam surga, orang yang mengerjakan dosa besar diletakkan di
antara dua tempat, dan mi‟raj Nabi Muhammad SAW hanya dengan roh saja, dll.
Kaum Mu‟tazilah terpecah menjadi 20 aliran, termasuk di antaranya adalah Kaum
Qadariyah.
 Faham Murjiah, yaitu kaum yang memfatwakan bahwa membuat maksiat
(kedurhakaan) tidak memberi mudharat jika sudah beriman, sebaliknya membuat
kebaikan dan kebajikan tidak bermanfaat jika kafir. Kaum ini terpecah menjadi 5
aliran.
 Faham Najariyah, yaitu kaum yang memfatwakan bahwa perbuatan manusia
adalah makhluk, yaitu dijadikan Tuhan, tetapi mereka berpendapat bahwa sifat
Tuhan tidak ada. Kaum Najariyah terpecah menjadi 3 aliran.
 Faham Jabariyah, yaitu kaum yang memfatwakan bahwa manusia “majbur”,
artinya tidak berdaya apa-apa. Kasab atau usaha tidak ada sama sekali. Kaum ini
hanya 1 aliran.
 Faham Musyabbihah, yaitu kaum yang memfatwakan bahwa ada keserupaan
Tuhan dengan manusia, misal bertangan, berkaki, duduk di kursi, naik dan turun
tangga dll. Kaum ini hanya 1 aliran saja. Kaum Ibnu Taimiyah termasuk dalam
golongan ini, dan Kaum Wahabi adalah termasuk kaum pelaksana dari faham
Ibnu Taimiyah.

Sebagai reaksi dari timbulnya firqah-firqah yang sesat tadi, maka pada akhir abad
ketiga Hijriyah muncullah golongan yang yang bernama Ahlussunnah wal Jama‟ah
yang dipelopori oleh dua orang ulama besar dalam Ushuluddin yaitu Sheikh Abu
Hasan Ali al-Asy‟ari dan Sheikh Abu Mansur al-Maturidi. Perkataan Ahlussunnah
wal Jama‟ah kadang-kadang dipendekkan menjadi Ahlussunnah saja atau Sunni saja
dan kadang-kadang disebut Asy‟ari atau Asy‟ariyah, dikaitkan kepada guru besarnya
yang pertama yaitu Abu Hasan „Ali al-Asy‟ari.

Ahlusunnah wal jama‟ah berarti kaum atau golongan yang menganut serta
mengamalkan ajaran Islam yang murni sesuai ajaran Rosulullah SAW dan para
sahabatnya. I‟tiqad Nabi dan sahabat-sahabat itu telah terdapat dalam Al-Quran dan
dalam Sunnah Rasul secara terpencar-pencar, belum tersusun rapi dan teratur, tetapi
kemudian dikumpulkan dan dirumuskan dengan rapi oleh seorang ulama Ushuluddin
yang besar, yaitu Sheikh Abu Hasan „Ali al-Asy‟ari. Karena itu ada orang yang
memberi nama kepada kaum Ahlussunnah wal Jama‟ah dengan kaum Asya‟irah.
Dalam buku-buku Ushuluddin biasa dijumpai perkataan Sunni sebagai kependekan
dari Ahlussunnah wal Jama‟ah dan pengikut-pengikutnya dinamai Sunniyun.

Di dalam buku „Ihtihaf Sadatul Muttaqin‟ karangan Imam Muhammad bin


Muhammad al-Husni Az-Zabidi, yaitu buku Syarah dari Ihya Ulumuddin disebutkan
bahwa apabila disebut kaum Ahlussunnah wal Jama‟ah, maka maksudnya adalah
orang-orang yang mengikut rumusan (faham) Asy‟ari dan faham Abu Mansur al-
Maturidi.

C. Hubungan NU & Aswaja

Nahdlatul „Ulama didirikan di Surabaya pada tanggal 16 Rajab 1344 H bertepatan


dengan tanggal 31 Januari 1926 M oleh para ulama pengasuh pesantren yang didalam
komunitas Islam mempunyai kesamaan wawasan, pandangan, sikap dan tata cara
pemahaman, penghayatan dan pengamalan ajaran Islam Ahlus sunnah wal jama‟ah.

Paling tidak ada tiga faktor yang melatarbelakangi berdirinya Nahdlatul „Ulama yaitu
: Pertama, Usaha untuk mempertahankan faham Ahlus-Sunnah Wal Jama‟ah dan rasa
cinta tanah air (untuk Persatuan dan Kesatuan). Kedua, Berkembangnya Ajaran
wahabiyah (haram Ziarah kubur, tidak mengakui waliyullah, haram Tahlilan, berdoa
langsung pada Allah, Haram Dhiba‟/Berjanzi, Haram shodaqoh untuk orang yang
telah meninggal, dsb). Ketiga, Berdirinya Komite Hijaz.

Besarnya pengaruh kyai/ulama melalui lembaga pendidikan pesantren mengakibatkan


Nahdlatul „Ulama mudah berkembang dengan pesat, khususnya di daerah basis
pesantren. Sebagai Jam‟iyyah Diniyah yang bermotif keagamaan dan berlandaskan
keagamaan, segala sikap, perilaku, dan karakteristik perjuangan Nahdlatul „Ulama
selalu disesuaikan dan diukur dengan norma dan ajaran agama Islam Ahlus sunnah
wal jama‟ah, serta bercita-cita keagamaan yakni Izzul Islam Wal Muslimin atau
dengan kata lain tercapainya Sa‟adatud darain bagi umat dan warganya.

Sejak awal Nahdlatul „Ulama menegaskan bahwa ia merupakan penganut Ahlusunnah


wal Jama‟ah, sebuah paham keagamaan yang bersumber pada Al Qur‟an, As sunnah,
Al Ijma‟, dan Al Qiyas. Secara harfiah Ahlusunnah wal Jama‟ah berarti penganut
sunnah Nabi Muhammad saw dan jama‟ah (para sahabat) atau segolongan pengikut
sunnah Rasulullah saw yang didalam melaksanakan ajaran-ajarannya berjalan di garis
yang dipraktekkan oleh jama‟ah (para sahabat). Menurut NU, faham Ahlusunnah wal
Jama‟ah tidak dapat dipisahkan dari haluan bermadzhab, sebagaimana ditegaskan
dalam Naskah Khittah NU pada butir 3 sebagai berikut :

a. Nahdlatul „Ulama mendasarkan faham keagamaannya kepada sumber ajaran


Islam: Al Qur‟an, As-Sunnah, Al Ijma‟, dan Al Qiyas.
Dalam memahami, menafsirkan Islam dari sumber ajarannya, Nahdlatul
„Ulama mengikuti faham Ahlusunnah wal Jama‟ah dan menggunakan jalan
pendekatan al-Madzhab, yaitu: Pertama, dalam bidang aqidah, Nahdlatul
„Ulama mengikuti faham Ahlusunnah wal Jama‟ah yang dipelopori oleh Imam
Abu Hasan Al Asy‟ari dan Imam Abu Mansur Al Maturidi. Kedua, dalam
bidang hukum Islam (fiqih), Nahdlatul „Ulama mengikuti jalan pendekatan (al
Madzhab) salah satu dari madzhab Imam Abu Hanifah an Nu‟man, Imam Malik
bin Anas, Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi‟i, dan Imam Ahmad bin
Hambal. Ketiga, dalam bidang tasawuf mengikuti antara lain Imam Al Junaid
Al Baghdadi dan Imam Al Ghazali, serta imam-imam yang lain.

b. Aswaja sebagai Mazhab


Aswaja, selama ini sering dipandang hanya sebagai mazhab (aliran, sekte,
ideologi, atau sejenisnya). Hal ini menyebabkan aswaja dianut sebagai sebuah
doktrin yang diyakini kebenarannya, secara apriori (begitu saja). Kondisi ini
menabukan kritik, apalagi mempertanyakan keabsahannya.

Jadi, tatkala menganut aswaja sebagai mazhab, seseorang hanya mengamalkan


apa yang menjadi doktrin Aswaja. Doktrin-doktrin ini sedemikian banyak dan
menyatu dalam kumpulan kitab yang pernah dikarang para ulama terdahulu. Di
kalangan pesantren Nusantara, kiranya ada beberapa tulisan yang secara
eksplisit menyangkut dan membahas doktrin Aswaja.

Hadrotus-Syeikh Hasyim Asy‟ari menjelaskan Aswaja dalam kitab Qanun NU


dengan melakukan pembakuan atas ajaran aswaja, bahwa dalam hal tawhid
aswaja (harus) mengikuti Al-Maturidi, ulama Afganistan atau Abu Hasan Al
Asy‟ari, ulama Irak. Bahwa mengenai fiqh, mengikuti salah satu di antara 4
mazhab. Dan dalam hal tasawuf mengikuti Imam al-Ghazali atau Al-Junaidi.

Selain itu, KH Ali Maksum Krapyak, Jogjakarta juga menuliskan doktrin aswaja
dengan judul Hujjah Ahlus Sunnah wal Jamaah, kitab yang cukup populer di
pesantren dan madrasah NU. Kitab ini membuka pembahasan dengan
mengajukan landasan normatif Aswaja. Beberapa hadits (meski dho‟if) dan
atsar sahabat disertakan. Kemudian, berbeda dengan Kyai Hasyim yang masih
secara global, Mbah Maksum menjelaskan secara lebih detail. Beliau
menjelaskan persoalan talqin mayit, shalat tarawih, adzan Jumat, shalat qabliyah
Jumat, penentuan awal ramadhan dengan rukyat, dan sebagainya.

Itu hanya salah sat di antara sekian pembakuan yang telah terjadi ratusan tahun
sebelumnya. Akhirnya, kejumudan (stagnasi) melanda doktrin Aswaja.
Dipastikan, tidak banyak pemahaman baru atas teks-teks keagamaan yang
muncul dari para penganut Aswaja. Yang terjadi hanyalah daur ulang atas
pemahaman ulama-ulama klasik, tanpa menambahkan metodologi baru dalam
memahami agama.

c. Reformulasi Aswaja Sebagai Manhajul Fikr dan Manhajul Amaly;

KH. Said Agil Siradj memberikan pengertian lain. Menurutnya, Ahlussunnah


Waljamaah adalah orang-orang yang memiliki metode berfikir keagamaan yang
mencakup semua aspek kehidupan yang berlandaskan atas dasar-dasar
moderasi, menjaga keseimbangan, dan toleransi. Baginya Ahlussunnah
Waljamaah harus diletakkan secara proporsional, yakni Ahlussunnah
Waljamaah bukan sebagai mazhab, melainkan sebuah manhaj al-fikr
(pendekatan berpikir tertentu) yang digariskan oleh sahabat dan para muridnya,
yaitu generasi tabi‟in yang memiliki intelektualitas tinggi dan relatif netral
dalam menyikapi situasi politik ketika itu. Namun harus diakui bahwa kelahiran
Ahlussunnah Waljamaah sebagai manhaj al-fikr tidak terlepas dari pengaruh
tuntutan realitas sosio-kultural dan sosio-politik yang melingkupinya.

Dalam merespon berbagai persoalan baik yang berkenaan dengan persoalan


keagamaan maupun kemasyarakatan, Nahdlatul „Ulama memiliki manhaj
Ahlusunnah wal Jama‟ah yang dijadikan sebagai landasan berpikir Nahdlatul
„Ulama (Fikrah Nahdliyah). Adapun ciri-ciri dari Fikrah Nahdliyah antara lain :

 Fikrah Tawassuthiyah (pola pikir moderat), artinya Nahdlatul „Ulama


senantiasa bersikap tawazun (seimbang) dan I‟tidal (moderat) dalam
menyikapi berbagai persoalan.
 Fikrah Tasamuhiyah (pola pikir toleran), artinya Nahdlatul „Ulama dapat
hidup berdampingan secara damai dengan berbagai pihak lain walaupun
aqidah, cara piker, dan budayanya berbeda.
 Fikrah Ishlahiyyah (pola pikir reformatif), artinya Nahdlatul „Ulama selalu
mengupayakan perbaikan menuju kea rah yang lebih baik (al ishlah ila ma
huwa al ashlah).
 Fikrah Tathawwuriyah (pola pikir dinamis), artinya Nahdlatul „Ulama
senantiasa melakukan kontekstualisasi dalam merespon berbagai
persoalan.
 Fikrah Manhajiyah (pola pikir metodologis), artinya Nahdlatul „Ulama
senantiasa menggunakan kerangka berpikir yang mengacu kepada
manhaj yang telah ditetapkan oleh Nahdlatul „Ulama.

Konsep Fikrah Nahdliyah itulah yang menyebabkan Nahdlatul „Ulama nampak


sebagai organisasi social keagamaan yang sangat moderat, toleran, dinamis,
progressif dan modern. Secara konseptual sebenarnya pola pikir Nahdlatul
„Ulama tidak tradisionalis, ortodok, ataupun konservativ, hal ini bisa kita lihat
pada perkembangan intelektual di lingkungan Nahdlatul „Ulama khususnya
kaum muda Nahdlatul „Ulama yang menunjukkan kecenderungan radikal dalam
berpikir dan moderat dalam bertindak sebagaimana laporan penelitian Mitsuo
Nakamura saat mengikuti Muktamar Nahdlatul „Ulama Ke-26 di Semarang
(1979), demikian pula Martin Van Bruinessen (1994).

Nahdlatul „Ulama berpendirian bahwa faham Ahlusunnah wal Jama‟ah harus


diterapkan dalam tata kehidupan nyata di masyarakat dengan serangkaian sikap
yang bertumpu pada karakter Ahlusunnah wal Jama‟ah (Manhajul Amaly). Ada
lima istilah utama yang diambil dari Al Qur‟an dan Hadits dalam
menggambarkan karakteristik Ahlus sunnah wal jama‟ah sebagai landasan
Nahdlatul „Ulama dalam bermasyarakat atau sering disebut dengan konsep
Mabadiu Khaira Ummat yakni sebuah gerakan untuk mengembangkan identitas
dan karakteristik anggota Nahdlatul „Ulama dengan pengaturan nilai-nilai mulia
dari konsep keagamaan Nahdlatul „Ulama, antara lain :

1. At-Tawassuth
Tawassuth berarti pertengahan, maksudnya menempatkan diri antara dua
kutub dalam berbagai masalah dan keadaan untuk mencapai kebenaran serta
menghindari keterlanjuran ke kiri atau ke kanan secara berlebihan.

2. Al I‟tidal
I‟tidal berarti tegak lurus, tidak condong ke kanan dan tidak condong ke
kiri. I‟tidal juga berarti berlaku adil, tidak berpihak kecuali pada yang benar
dan yang harus dibela.

3. At-Tasamuh
Tasamuih berarti sikap toleran pada pihak lain, lapang dada, mengerti dan
menghargai sikap pendirian dan kepentingan pihak lain tanpa
mengorbankan pendirian dan harga diri, bersedia berbeda pendapat, baik
dalam masalah keagamaan maupun masalah kebangsaan, kemasyarakatan,
dan kebudayaan.

4. At-Tawazun
Tawazun berarti keseimbangan, tidak berat sebelah, tidak kelebihan sesuatu
unsur atau kekurangan unsur lain.

5. Amar Ma‟ruf Nahi Munkar


Amar ma‟ruf nahi munkar artinya menyeru dan mendorong berbuat baik
yang bermanfaat bagi kehidupan duniawi maupun ukhrawi, serta mencegah
dan menghilangkan segala hal yang dapat merugikan, merusak,
merendahkan dan atau menjerumuskan nilai-nilai moral keagamaan dan
kemanusiaan.

Berbeda dengan konsep aswaja sebagai manhaj al-fikr, yang belakangan


dikembangkan juga sebagai manhaj al-amal (pendekatan melakukan kegiatan),
aswaja diposisikan sebagai metode berpikir dan bertinadak yang berarti menjadi
alat (tools) untuk mencari, menemukan, dan menyelesaikan berbagai
permasalahan sosial. Sebagai alat, maka sikap pro aktif untuk mencari
penyelesaian menjadi lebih bersemangat guna melahirkan pikiran-pikiran
yang kreatif dan orisinil. Dalam hal ini pendapat para ulama terdahulu tetap
ditempatkan dalam kerangka lintas-komparatif, namun tidak sampai harus
menjadi belenggu pemikiran yang dapat mematikan atau membatasi kreativitas

Perubahan kultur dan pola pikir ini juga dapat dilihat dalam prosedur perumusan
hukum dan ajaran Ahlusunnah wal Jama‟ah dalam tradisi jam‟iyah Nahdlatul
„Ulama yang menggunakan pola Maudhu‟iyah (tematik) atau terapan
(Qonuniyah) yang berbentuk tashawur lintas disiplin keilmuan empiric dan
Waqi‟iyah (kasuistik) dengan pendekatan tathbiq al-syari‟ah dan metode
takhayyur (eklektif).

Nilai-nilai ini bila dikembangkan akan menyebabkan aswaja semakin shalih


likulli zamân wa makân, aplikabel di setiap masa dan ruang. Disamping itu NU
menjadi sentral gerakan dalam menjaga stabilitas sosial keagamaan yang
rahmatan lil „alamin. Menurut Badrun (2000), terdapat lima ciri yang perlu
diperhatikan dalam memosisikan aswaja sebagai manhaj al-fikr atau manhaj al-
amal :

1) Selalu mengupayakan untuk interpretasi ulang dalam mengkaji teks-teks


fiqih untuk mencari konteksnya yang baru;

2) Makna bermadzhab diubah dari bermadzhab secara tekstual (madzhab


qauly) menjadi bermadzhab secara metodologis (madzhab manhajy);

3) Melakukan verifikasi mendasar terhadap mana ajaran yang pokok (ushul)


dan mana yang cabang (furu‟);
4) Fiqih dihadirkan sebagai etika sosial, bukan sebagai hukum positif;

5) Melakukan pemahaman metodologi pemikiran filosofis terutama dalam


masalah-masalah sosial dan budaya.

Dalam upaya “Revitalisasi NU untuk masyarakat dan bangsa yang damai dan
berkeadilan bagi semua”, perlu upaya dan strategi yang terencana dan dapat
diaplikasikan secara efektif di semua tingkatan dengan tujuan dapat tercipta
sebuah organisasi dan infra struktur NU yang kuat dan mandiri. Upaya-upaya
yang dilakukan meliputi:

1) Perspektif umat, melakukan pemberdayaan warga nahdliyyin dan kelompok


masyarakat terpinggirkan melalui advokasi kebijakan publik pada level
lokal, dan melakukan aksi-aksi praktis pendampingan kelompok-kelompok
warga pada tingkat local dan akar rumput;

2) Perspektif finansial, melakukan revitalisasi Badan atau unit-unit usaha


warga atau organisasi NU, membangun kemitraan dengan berbagai pihak,
pemerintah, swasta dengan menerapkan manajemen keuangan yang
professional, transparan dan akuntabel;

3) Perspektif organisasi, mengupayakan terciptanya tata laksana organisasi


yang modern, rasional, dan terpercaya dengan berbdasis teknologi
informasi dimana mekanisme, pembinaan dan penguatan berjalan efektif
dengan orientasi yang jelas pada kepentingan warga;

4) Perspektif sumber Daya Manusia; mengupayakan terciptanya jaringan SDM


multi disiplin dan talenta yang berkualitas, kompeten, jujur, peduli dan
konsisten dengan semangat pengorbanan dan kesetiakawanan yang tinggi
bagi tercapainya tujuan bersama.

Anda mungkin juga menyukai