Anda di halaman 1dari 43

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pendidikan mempunyai arti penting bagi kehidupan, karena dapat membantu manusia dalam mencapai
kemajuan. Pendidikan yang tepat telah mendorong Islam mencapai kejayaannya pada masa klasik, begitu pula
pendidikan yang kurang tepat membawa kemunduran Islam pada masa belakangan. Karena itu, jika umat Islam
ingin maju, pendidikannya mestilah dibenahi. Dan pembenahan ini hanya dapat dilakukan manakala umat Islam
memahami sejarah pendidikannya sendiri.

Oleh karena itu, berbicara tentang Pendidikan Islam di Nusantara tidak dapat dipisahkan dari sejarah penyebaran
dan perkembangan umat Islam di bumi nusantara. Islam masuk ke Indonesia pada abad VII M. dan berkembang
pesat sejak abad VIII M dengan munculnya kerajaan-kerajaan Islam, maka pendidikan Islam juga mengalami
perkembangan seiring dengan dinamika perkembangan Islam. Di mana saja di Nusantara ini terdapat komunitas
umat Islam, maka di sana juga terdapat aktivitas pendidikan Islam. Sistem pendidikan Islam ketika itu
dilaksanakan sesuai dengan situasi dan kondisi lokal di mana kegiatan pendidikan itu dilaksanakan.[1]

Persoalan lain yang menjadi masalah dalam melacak pengajaran Islam di Nusantara adalah tentang siapa yang
memperkenalkan Islam ke Nusantara. Karena itu muncul teori bahwa Islam dibawa ke Nusantara oleh para
pedagang. Teori lain menyatakan bahwa Islam tersebar di Indonesia oleh para ulama (mulla). Sedangkan teori
ketiga menyatakan bahwa kekuasaan (konversi) keraton sangat berpengaruh bagi pengislaman di Nusantara.
Masuknya Islam penguasa akan diikuti oleh rakyatnya secara cepat.[2]

B. Rumusan Masalah

Dalam makalah ini penulis akan menulis dengan mengacu pada rumusan masalah yaitu:

1. Bagaimana Pola Pendidikan di Indonesia Sebelum Kedatangan Islam?

2. Bagaimana Pendidikan Islam Pada Masa Permulaan Islam Sampai Periode Walisongo?

3. Bagaimana Pendidikan Islam Pada Masa Kerajaan-kerajaan Islam?


BAB II

PEMBAHASAN

A. Pendidikan Sebelum Kedatangan Islam

Berkenaan dengan masalah pendidikan Sebelum kedatangan Islam memberi gambaran kepada kita bahwa
kontak pertama antara pengembangan agama Islam dan berbagai jenis kebudayaan dan masyarakat di Indonesia,
menunjukkan adanya semacam akomodasi cultural. Di samping melalui pembenturan dalam dunia dagang,
sejarah juga menunjukkan bahwa penyebaran Islam kadang-kadang terjadi pula dalam suatu relasi intelektual,
ketika ilmu-ilmu dipertentangkan atau dipertemukan, ataupun ketika kepercayaan pada dunia lama mulai
menurun.[3]

Pada pertengahan abad ke-19 pemerintah Belanda mulai menyelenggarakan pendidikan model barat yang
diperuntukkan bagi orang-orang Belanda dan sekelompok kecil orang Indonesia (terutama kelompok berada).
Sejak itu tersebar jenis pendidikan rakyat, yang berarti juga bagi umat Islam. Selanjutnya pemerintah
memberlakukan politik Etis (Ethische Politik), yang mendirikan dan menyebarluaskan pendidikan rakyat sampai
pedesaan.

Pendidikan kolonial Belanda sangat berbeda dengan sistem pendidikan Islam tradisional pada pengetahuan
duniawi. Metode yang diterapkan jauh lebih maju dari sistem pendidikan tradisional. Adapun tujuan didirikannya
sekolah bagi pribumi adalah untuk mempersiapkan pegawai-pegawai yang bekerja untuk Belanda. Jika begitu,
pemerintah Belanda tidak mengakui para lulusan pendidikan tradisional. Mereka tidak bisa bekerja baik di pabrik
maupun sebagai tenaga birokrat.

Kehadiran sekolah-sekolah pemerintah Belanda mendapat kecaman sengit dari kaum ulama. Kaum ulama dan
golongan santri menganggap program pendidikan tersebut adalah alat penetrasi kebudayaan barat di tengah
berkembangnya pesantren atau lembaga-lembaga pendidikan Islam.

B. Pendidikan Islam Pada Masa Permulaan Islam di Nusantara Sampai Periode Walisongo

Pendidikan merupakan salah satu perhatian sentral masyarakat Islam baik dalam Negara mayoritas maupun
minoritas. Dalam ajaran agama Islam pendidikan mendapat posisi yang sangat penting dan tinggi. Karenanya,
umat Islam selalu mempunyai perhatian yang tinggi terhadap pelaksanaan pendidikan untuk kepentingan masa
depan umat Islam.[4]

Besarnya arti pendidikan, kepentingan Islamisasi mendorong umat Islam melaksanakan pengajaran Islam kendati
dalam system yang sederhana, peengajaran diberikan dengan sistem halaqah yang dilakukan di tempat-tempat
ibadah semacam masjid, musallah bahkan juga di rumah-rumah ulama. Kebutuhan terhadap pendidikan
mendorong masyarakat Islam di Indonesia mengadopsi dan mentransfer lembaga keagamaan dan sosial yang
sudah ada (indigeneous religious and social institution) ke dalam lembaga pendidikan Islam di Indonesia. Di
Jawa, umat Islam mentransfer lembaga keagamaan Hindu-Budha menjadi pesantren; di Minangkabau
mengambil Surau sebagai peninggalan adat masyarakat setempat menjadi lembaga pendidikan Islam; demikian
halnya di Aceh dengan mentransfer lembaga meunasah sebagai lembaga pendidikan Islam.

Menurut Manfred, Pesantren berasal dari masa sebelum Islam serta mempunyai kesamaan dengan Budha dalam
bentuk asrama. Bahwa pendidikan agama yang melembaga berabad-abad berkembang secara pararel.[5]
Pesantren berarti tempat tinggal para santri. Sedangkan istilah santri berasal dari bahasa Tamil, yang berarti guru
mengaji. Menurut Robson, kata santri berasal dari bahasa Tamil “sattiri” yang diartikan sebagai orang yang
tinggal di sebuah rumah miskin atau bangunan keagamaan secara umum. Meskipun terdapat perbedaan dari
keduanya, namun keduanya perpendapat bahwa santri berasal dari bahasa Tamil.

Santri dalam arti guru mengaji, jika dilihat dari penomena santri. Santri adalah orang yang memperdalam agama
kemudian mengajarkannya kepada umat Islam, mereka inilah yang dikenal sebagai “guru mangaji”. Santri dalam
arti orang yang tinggal di sebuah rumah miskin atau bangunan keagamaan, bisa diterima karena rumusannya
mengandung cirri-ciri yang berlaku bagi santri. Ketika memperdalam ilmu agama, para santri tinggal di rumah
miskin, ada benarnya. Kehidupan santri dikenal sangat sederhana. Sampai Tahun 60-an, pesantren dikenal
dengan nama pondok, karena terbuat dari bambu.[6]

Pada abad ke XV, pesantren telah didirikan oleh para penyebar agama Islam, diantaranya Wali Songo. Wali Songo
dalam menyebarkan agama Islam mendirikan masjid dan asrama untuk santri-santri. Di Ampel Denta, Sunan
Ampel telah mendirikan lembaga pendidikan Islam sebagai tempat ngelmu atau ngaos pemuda Islam. Sunan Giri
telah ngelmu kepada Sunan Ampel mendirikan lembaga pendidikan Islam di Giri. Dengan semakin banyaknya
lembaga pendidikan Islam pesantren didirikan, agama Islam semakin tersebar sehingga dapat dikatakan bahwa
lembaga-lembaga ini merupakan ujung tombak penyebaran Islam di Jawa.

Peran Wali Songo tidak terlepas dari sejarah pendidikan Islam di Nusantara. Wali Songo melalui dakwahnya
berhasil mengkombinasi metoda aspek spiritual dan mengakomodasi tradisi masyarakat setempat dengan cara
mendirikan pesantren, tempat dakwah dan proses belajar mengajar.

Wali songo melakukan proses Islamisasi dengan menghormati dan mengakomodasi tradisi masyarakat serta
institusi pendidikan dan keagamaan sebelumnya, padepokan. Padepokan diubah secara perlahan, dilakukan
perubahan sosial secara bertahap, mengambil alih pola pendidikan dan mengubah bahan dan materi yang
diajarkan dan melakukan perubahan secara perlahan mengenai tata nilai dan kepercayaan masyarakat,
perubahan sosial, tata nilai, dan kepercayaan. Hal ini menciptakan alkulturisasi budaya termasuk pedoman hidup
masyarakat, pemenuhan kebutuhan hidup, dan operasionalisasi kebudayaan melalui pranata-pranata sosial yang
ada di masyarakat, yaitu pedoman moral atau hidup, etika, estetika, dan nilai budaya (adanya simbol-simbol dan
tanda-tanda).

Di Sumatera Barat, pendidikan Islam tradisional di sebut Surau. Di Minangkabau, Surau telah ada sebelum
datangnya Islam, adalah merupakan tempat yang dibangun untuk tempat ibadah orang Hindu-Budha. Raja
Aditiwarman telah mendirikan kompleks Surau disekitar bukit Gombak, Surau digunakan sebagai tempat
berkumpul pemuda-pemuda untuk belajar ilmu agama sebagai alat yang ideal untuk memecahkan masalah-
masalah sosial.

Menurut Sidi Gazalba, sebelum Islam datang di Minagkabau, Surau adalah bagian dari kebudayaan masyarakat
setempat yang juga disebut “uma galang-galang”, adalah bangunan pelengkap rumah gadang. Surau dibangun
oleh Indu, bagian dari suku, untuk tempat berkumpul, rapat dan tempat tidur bagi pemuda-pemuda, kadang-
kadang bagi mereka yang sudah kawin, dan orang-orang tua yang sudah uzur.

Kedatangan Islam tidak merubah fungsi Surau sebagai tempat penginapan anak-anak bujang, tetapi fungsinya
diperluas seperti fungsi masjid, yaitu sebagai tempat belajar membaca al-Qur’an dan dasar-dasar agama dan
tempat ibadah. Namun, dari segi fungsi Surau lebih lebih luas daripada fungsi Masjid. Masjid hanya digunakan
untuk shalat lima waktu, shalat jum’at, shalat ‘id. Sedangkan Surau juga digunakan shalat lima waktu, sebagai
tempat belajar agama, mengaji, bermediatsi dan upacara-upacara, di samping sebagai tempat semacam asrama
anak-anak bujang. Lebih lanjut Surau digunakan sebagai lembaga pendidikan Islam yang memiliki sisten yang
teratur, ini dapat dibuktikan dengan didirikannnya Surau sebagai lembaga pendidikan Islam oleh Syekh
Burhanuddin (1646-1691) setelah berguru kepada Syekh Abdurrauf bin Ali.[7] Dengan demikian Surau telah
berubah fungsi sebagai lembaga pendidikan dan pengajaran Islam.

Meunasah semula adalah salah satu tempat ibadah yang terdapat dalam setiap kampung di Aceh. Selanjutnya
mengalami perkembangan fungsi baik sebagai tempat ibadah juga sebagai tempat pendidikan, tempat
pertemuan, tempat transaksi jual-beli, dan tempat menginap para musafir, tempat membaca hikayat, dan
tempat mendamaikan jika ada warga kampung yang bertikai.[8] Sedangkan dayah adalah lembaga pendidikan
yang terdapat hampir di tiap-tiap uleebalang, seperti halnya di tiap-tiap kampung harus ada meunasah. Setiap
dayah memiliki sebuah balai utama sebagai tempat belajar dan salat berjama’ah. Dilihat dari mata pelajaran yang
diajarkan, dayah mengkaji materi pelajaran yang lebih tinggi daripada di meunasah.

Lembaga-lembaga pendidikan semacam Pesantren, Surau, Meunasah dan Dayah memiliki peran penting dalam
mengajarkan nilai-nilai Islam, terjadi transfer ilmu, transfer nilai dan transfer perbuatan (transfer of knowledge,
transfer of value, transfer of skill) sehingga mampu mencetak intelektual muslim Nusantara yang patut
diperhitungkan dalam era peta pemikiran Islam.

C. Pendidikan Islam Pada Masa Kerajaan-Kerajaan Islam

Salah satu tujuan adanya pendidikan Islam adalah terbentuknya masyarakat muslim di Indonesia.
Terbentuknya masyarakat muslim disuatu daerah adalah melalui proses yang panjang, yang dimulai dari
terbentuknya pribadi muslim sebagai hasil dari upaya para da’i.
Dengan terbentuknya komunitas atau masyarakat muslim pada beberapa daerah di Indonesia ini,
mendorong untuk membentuk kerajaan Islam sebagai pusat kekuatan atau kekuaaan politik didalam proses
Islamisasi di Indonesia. Maka berdirilah kerajaan-kerajaan Islam seperti Samudera Pasai dan Perlak di Aceh pulau
Sumatera, Demak di pulau Jawa, kerajaan Mataram, dan sebagainya. Dengan berdirinya kerajaan Islam di
Indonesia ini, maka fase perkembangan Islam berikutnya adalah fase perkembangan Islam dan politik, yang
artinya perkembangan Islam di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari perkembangan politik.

Tumbuhnya kerajaan Islam sebagai pusat-pusat kekuasaan Islam di Indonesia ini jelas sangat berpengaruh
sekali dalam proses Islamisasi/ pendidikan Islam di Indonesia, yaitu sebagai suatu wadah/ lembaga yang dapat
mempermudah penyebaran Islam di Indonesia. Ketika kekuasaan politik Islam semakin kokoh dengan munculnya
kerajaan-kerajaan Islam, pendidikan semakin memperoleh perhatian, karena kekuatan politik digabungkan
dengan semangat para mubaligh (pengajar agama pada saat itu) untuk mengajarkan Islam merupakan dua sayap
kembar yang mempercepat tersebarnya Islam ke berbagai wilayah di Indonesia.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Kedatangan Islam di Nusantara dibawa oleh para pedagang dan ulama-ulama, mereka datang dari Arab, Persia
maupun India, penyebarannya adalah berada pada jalur-jalur dagang internasional pada saat itu. Pendidikan
Islam Islam dilakukan dalam bentuk khalaqah di rumah-rumah pedangang ataupun ulama maupun dengan
tauladan.

Walisongo dalam penyebaran Islam di Jawa sangat berhasil karena mampu mengislamisasikan wilayah Jawa.
Lembaga pendidikan yang digunakan adalah pesantren. Keberhasilannya didukung oleh pendekatan yang
digunakan adalah pendekatan kultur masyarakat Jawa.

Pendidikan Islam pada masa kerajaan Islam di Indonesia sudah berlangsung cukup baik. Terbukti dengan adanya
kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia sebagai pusat-pusat kekuasaan Islam di Indonesia ini sangat berpengaruh
bagi proses islamisasi di Indonesia sebagai peranannya didalam penyiaran agama Islam, melalui para Ulama
sebagai mubaligh/ pendidik dalam penyiaran agama Islam dan kerajaan Islam sebagai wadah kekuasaan politik
Islam, keduanya sangat berperan dalam mempercepat tersebarnya Islam ke berbagai wilayah di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Taufik. (Ed.), Agama dan Perubahan Sosial. Jakarta: CV. Rajawali, 1983.

Asrohah, Hanun. Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: PT. Logos, 1999.

Yunus, Mahmud. Sejarah Pendidikan di Indonesia. Jakarta: Mutiara Sumber Widya, 1992.

Rukiati, Enung K dan Fenti Hikamawati, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia Bandung: Pustaka Setia, 2006.

Ziemek, Manfred. Pesantren dalam Perubahan Sosial, diterjemah oleh Butche B. Soendjojo. Jakarta: P3M, 1983.

Sejarah umum[sunting | sunting sumber]

Umumnya, suatu pondok pesantren berawal dari adanya seorang kyai di suatu tempat, kemudian datang santri
yang ingin belajar agama kepadanya.[butuh rujukan] Setelah semakin hari semakin banyak santri yang datang,
timbullah inisiatif untuk mendirikan pondok atau asrama di samping rumah kyai.[butuh rujukan] Pada zaman
dahulu kyai tidak merencanakan bagaimana membangun pondoknya itu, namun yang terpikir hanyalah
bagaimana mengajarkan ilmu agama supaya dapat dipahami dan dimengerti oleh santri.[butuh rujukan] Kyai saat
itu belum memberikan perhatian terhadap tempat-tempat yang didiami oleh para santri, yang umumnya sangat
kecil dan sederhana.[butuh rujukan] Mereka menempati sebuah gedung atau rumah kecil yang mereka dirikan
sendiri di sekitar rumah kyai.[butuh rujukan] Semakin banyak jumlah santri, semakin bertambah pula gubug yang
didirikan.[butuh rujukan] Para santri selanjutnya memopulerkan keberadaan pondok pesantren tersebut,
sehingga menjadi terkenal ke mana-mana, contohnya seperti pada pondok-pondok yang timbul pada zaman
Walisongo.[4]

Pondok Pesantren di Indonesia memiliki peran yang sangat besar, baik bagi kemajuan Islam itu sendiri maupun
bagi bangsa Indonesia secara keseluruhan. Berdasarkan catatan yang ada, kegiatan pendidikan agama di
Nusantara telah dimulai sejak tahun 1596. Kegiatan agama inilah yang kemudian dikenal dengan nama Pondok
Pesantren. Bahkan dalam catatan Howard M. Federspiel- salah seorang pengkaji keislaman di Indonesia,
menjelang abad ke-12 pusat-pusat studi di Aceh (pesantren disebut dengan nama Dayah di Aceh) dan Palembang
(Sumatera), di Jawa Timur dan di Gowa (Sulawesi) telah menghasilkan tulisan-tulisan penting dan telah menarik
santri untuk belajar.[5]

Definisi pesantren[sunting | sunting sumber]


Etimologi[sunting | sunting sumber]

Istilah pesantren berasal dari kata pe-santri-an, di mana kata "santri" berarti murid dalam Bahasa Jawa.[butuh
rujukan] Istilah pondok berasal dari Bahasa Arab funduuq (‫ )فندوق‬yang berarti penginapan.[butuh rujukan] Khusus
di Aceh, pesantren disebut juga dengan nama dayah. Biasanya pesantren dipimpin oleh seorang Kyai.[butuh
rujukan] Untuk mengatur kehidupan pondok pesantren, kyai menunjuk seorang santri senior untuk mengatur
adik-adik kelasnya, mereka biasanya disebut lurah pondok.[butuh rujukan] Tujuan para santri dipisahkan dari
orang tua dan keluarga mereka adalah agar mereka belajar hidup mandiri dan sekaligus dapat meningkatkan
hubungan dengan kyai dan juga Tuhan.[butuh rujukan]

Pendapat lainnya, pesantren berasal dari kata santri yang dapat diartikan tempat santri.[butuh rujukan] Kata
santri berasal dari kata Cantrik (bahasa Sansakerta, atau mungkin Jawa) yang berarti orang yang selalu mengikuti
guru, yang kemudian dikembangkan oleh Perguruan Taman Siswa dalam sistem asrama yang disebut Pawiyatan.
[butuh rujukan] Istilah santri juga dalam ada dalam bahasa Tamil, yang berarti guru mengaji, sedang C. C Berg
berpendapat bahwa istilah tersebut berasal dari istilah shastri, yang dalam bahasa India berarti orang yang tahu
buku-buku suci agama Hindu atau seorang sarjana ahli kitab suci agama Hindu.[butuh rujukan] Terkadang juga
dianggap sebagai gabungan kata saint (manusia baik) dengan suku kata tra (suka menolong), sehingga kata
pesantren dapat berarti tempat pendidikan manusia baik-baik.[6]

Elemen Dasar Sebuah Pesantren[sunting | sunting sumber]

Pondok[sunting | sunting sumber]

Sebuah pondok pada dasarnya merupakan sebuah asrama pendidikan Islam tradisional di mana para siswanya
(santri) tinggal bersama di bawah bimbingan seorang atau lebih guru yang lebih dikenal dengan Kyai [7] Dengan
istilah pondok pesantren dimaksudkan sebagai suatu bentuk pendidikan keislaman yang melembaga di
Indonesia. Pondok atau asrama merupakan tempat yang sudah disediakan untuk kegiatan bagi para santri.
Adanya pondok ini banyak menunjang segala kegiatan yang ada. Hal ini didasarkan jarak pondok dengan sarana
pondok yang lain biasanya berdekatan sehingga memudahkan untuk komunikasi antara Kyai dan santri, dan
antara satu santri dengan santri yang lain.

Dengan demikian akan tercipta situasi yang komunikatif di samping adanya hubungan timbal balik antara Kyai
dan santri, dan antara santri dengan santri. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Zamakhsari Dhofir, bahwa
adanya sikap timbal balik antara Kyai dan santri di mana para santri menganggap Kyai seolah-olah menjadi
bapaknya sendiri, sedangkan santri dianggap Kyai sebagai titipan Tuhan yang harus senantiasa dilindungi [8]
Sikap timbal balik tersebut menimbulkan rasa kekeluargaan dan saling menyayangi satu sama lain, sehingga
mudah bagi Kyai dan ustaz untuk membimbing dan mengawasi anak didiknya atau santri. Segala sesuatu yang
dihadapi oleh santri dapat dimonitor langsung oleh Kyai dan ustaz, sehingga dapat membantu memberikan
pemecahan ataupun pengarahan yang cepat terhadap santri, mengurai masalah yang dihadapi para santri.

Keadaan pondok pada masa kolonial sangat berbeda dengan keberadaan pondok sekarang. Hurgronje
menggambarkan keadaan pondok pada masa kolonial (dalam bukunya Imron Arifin, Kepemimpinan Kyai) yaitu:
“Pondok terdiri dari sebuah gedung berbentuk persegi, biasanya dibangun dari bambu, tetapi di desa-desa yang
agak makmur tiangnya terdiri dari kayu dan batangnya juga terbuat dari kayu. Tangga pondok dihubungkan ke
sumur oleh sederet batu-batu titian, sehingga santri yang kebanyakan tidak bersepatu itu dapat mencuci kakinya
sebelum naik ke pondoknya.

Pondok yang sederhana hanya terdiri dari ruangan yang besar yang didiami bersama. Terdapat juga pondok yang
agaknya sempurna di mana didapati sebuah gang (lorong) yang dihubungkan oleh pintu-pintu. Di sebelah kiri
kanan gang terdapat kamar kecil-kecil dengan pintunya yang sempit, sehingga sewaktu memasuki kamar itu
orang-orang terpaksa harus membungkuk, jendelanya kecil-kecil dan memakai terali. Perabot di dalamnya sangat
sederhana. Di depan jendela yang kecil itu terdapat tikar pandan atau rotan dan sebuah meja pendek dari
bambu atau dari kayu, di atasnya terletak beberapa buah kitab”[9]

Dewasa ini keberadaan pondok pesantren sudah mengalami perkembangan sedemikian rupa sehingga
komponen-komponen yang dimaksudkan makin lama makin bertambah dan dilengkapi sarana dan prasarananya.

Dalam sejarah pertumbuhannya, pondok pesantren telah mengalami beberapa fase perkembangan, termasuk
dibukanya pondok khusus perempuan. Dengan perkembangan tersebut, terdapat pondok perempuan dan
pondok laki-laki. Sehingga pesantren yang tergolong besar dapat menerima santri laki-laki dan santri
perempuan, dengan memilahkan pondok-pondok berdasarkan jenis kelamin dengan peraturan yang ketat.

Masjid[sunting | sunting sumber]

Masjid merupakan elemen yang tak dapat dipisahkan dengan pesantren dan dianggap sebagai tempat yang
paling tepat untuk mendidik para santri, terutama dalam praktik ibadah lima waktu, khotbah dan salat Jumat
dan pengajaran kitab-kitab Islam klasik. Sebagaimana pula Zamakhsyari Dhofir berpendapat bahwa: “Kedudukan
masjid sebagai sebagai pusat pendidikan dalam tradisi pesantren merupakan manifestasi universalisme dari
sistem pendidikan Islam tradisional. Dengan kata lain kesinambungan sistem pendidikan Islam yang berpusat di
masjid sejak masjid Quba’ didirikan di dekat Madinah pada masa Nabi Muhammad SAW tetap terpancar dalam
sistem pesantren. Sejak zaman Nabi, masjid telah menjadi pusat pendidikan Islam” [10]

Lembaga-lembaga pesantren di Jawa memelihara terus tradisi tersebut, bahkan pada zaman sekarang di daerah
umat Islam begitu terpengaruh oleh kehidupan Barat, masih ditemui beberapa ulama dengan penuh pengabdian
mengajar kepada para santri di masjid-masjid serta memberi wejangan dan anjuran kepada murid-muridnya.

Di Jawa biasanya seorang Kyai yang mengembangkan sebuah pesantren pertama-tama dengan mendirikan
masjid di dekat rumahnya. Langkah ini pun biasanya diambil atas perintah Kyainya yang telah menilai bahwa ia
sanggup memimpin sebuah pesantren. Selanjutnya Kyai tersebut akan mengajar murid-muridnya (para santri) di
masjid, sehingga masjid merupakan elemen yang sangat penting dari pesantren.

Pengajaran Kitab-kitab Klasik[sunting | sunting sumber]

Sejak tumbuhnya pesantren, pengajaran kitab-kitab klasik diberikan sebagai upaya untuk meneruskan tujuan
utama pesantren yaitu mendidik calon-calon ulama yang setia terhadap paham Islam tradisional. Karena itu
kitab-kitab Islam klasik merupakan bagian integral dari nilai dan paham pesantren yang tidak dapat dipisah-
pisahkan.

Penyebutan kitab-kitab Islam klasik di dunia pesantren lebih populer dengan sebutan “kitab kuning”, tetapi asal
usul istilah ini belum diketahui secara pasti. Mungkin penyebutan istilah tersebut guna membatasi dengan tahun
karangan atau disebabkan warna kertas dari kitab tersebut berwarna kuning, tetapi argumentasi ini kurang tepat
sebab pada saat ini kitab-kitab Islam klasik sudah banyak dicetak dengan kertas putih.

Pengajaran kitab-kitab Islam klasik oleh pengasuh pondok (Kyai) atau ustaz biasanya dengan menggunakan
sistem sorogan, wetonan, dan bandongan. Adapun kitab-kitab Islam klasik yang diajarkan di pesantren menurut
Zamakhsyari Dhofir dapat digolongkan ke dalam 8 kelompok, yaitu: (1) Nahwu (syntax) dan Sharaf (morfologi),
(2) Fiqih (hukum), (3) Ushul Fiqh (yurispundensi), (4) Hadits, (5) Tafsir, (6) Tauhid (theologi), (7) Tasawuf dan Etika,
(8) Cabang-cabang lain seperti Tarikh (sejarah) dan Balaghah” [11]

Kitab-kitab Islam klasik adalah kepustakaan dan pegangan para Kyai di pesantren. Keberadaannya tidaklah dapat
dipisahkan dengan Kyai di pesantren. Kitab-kitab Islam klasik merupakan modifikasi nilai-nilai ajaran Islam,
sedangkan Kyai merupakan personifikasi dari nilai-nilai itu. Di sisi lain keharusan Kyai di samping tumbuh
disebabkan kekuatan-kekuatan mistik yang juga karena kemampuannya menguasai kitab-kitab Islam klasik.
Sehubungan dengan hal ini, Moh. Hasyim Munif mengatakan bahwa: “Ajaran-ajaran yang terkandung dalam
kitab kuning tetap merupakan pedoman hidup dan kehidupan yang sah dan relevan. Sah artinya ajaran itu
diyakini bersumber pada kitab Allah Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah (Al-Hadits), dan relevan artinya ajaran-
ajaran itu masih tetap cocok dan berguna kini atau nanti” [12]

Dengan demikian, pengajaran kitab-kitab Islam klasik merupakan hal utama di pesantren guna mencetak
alumnus yang menguasai pengetahuan tentang Islam bahkan diharapkan di antaranya dapat menjadi Kyai.

Santri[sunting | sunting sumber]

Santri merupakan sebutan bagi para siswa yang belajar mendalami agama di pesantren. Biasanya para santri ini
tinggal di pondok atau asrama pesantren yang telah disediakan, namun ada pula santri yang tidak tinggal di
tempat yang telah disediakan tersebut yang biasa disebut dengan santri kalong sebagaimana yang telah penulis
kemukakan pada pembahasan di depan.

Menurut Zamakhsyari Dhofir berpendapat bahwa: “Santri yaitu murid-murid yang tinggal di dalam pesantren
untuk mengikuti pelajaran kitab-kitab kuning atau kitab-kitab Islam klasik yang pada umumnya terdiri dari dua
kelompok santri yaitu: - Santri Mukim yaitu santri atau murid-murid yang berasal dari jauh yang tinggal atau
menetap di lingkungan pesantren. - Santri Kalong yaitu santri yang berasal dari desa-desa sekitar pesantren yang
mereka tidak menetap di lingkungan kompleks peantren tetapi setelah mengikuti pelajaran mereka pulang [13]

Dalam menjalani kehidupan di pesantren, pada umumnya mereka mengurus sendiri keperluan sehari-hari dan
mereka mendapat fasilitas yang sama antara santri yang satu dengan lainnya. Santri diwajibkan menaati
peraturan yang ditetapkan di dalam pesantren tersebut dan apabila ada pelanggaran akan dikenakan sanksi
sesuai dengan pelanggaran yang dilakukan.

Kyai[sunting | sunting sumber]

Istilah Kyai bukan berasal dari bahasa Arab, melainkan dari bahasa Jawa [14] Kata Kyai mempunyai makna yang
agung, keramat, dan dituahkan. Selain gelar Kyai diberikan kepada seorang laki-laki yang lanjut usia, arif, dan
dihormati di Jawa. Gelar Kyai juga diberikan untuk benda-benda yang keramat dan dituahkan, seperti keris dan
tombak. Namun pengertian paling luas di Indonesia, sebutan Kyai dimaksudkan untuk para pendiri dan
pemimpin pesantren, yang sebagai muslim terhormat telah membaktikan hidupnya untuk Allah SWT serta
menyebarluaskan dan memperdalam ajaran-ajaran serta pandangan Islam melalui pendidikan.
Kyai berkedudukan sebagai tokoh sentral dalam tata kehidupan pesantren, sekaligus sebagai pemimpin
pesantren. Dalam kedudukan ini nilai kepesantrenannya banyak tergantung pada kepribadian Kyai sebagai suri
teladan dan sekaligus pemegang kebijaksanaan mutlak dalam tata nilai pesantren. Dalam hal ini M. Habib Chirzin
mengatakan bahwa peran kyai sangat besar sekali dalam bidang penanganan iman, bimbingan amaliyah,
penyebaran dan pewarisan ilmu, pembinaan akhlak, pendidikan beramal, dan memimpin serta menyelesaikan
masalah yang dihadapi oleh santri dan masyarakat. Dan dalam hal pemikiran kyai lebih banyak berupa
terbentuknya pola berpikir, sikap, jiwa, serta orientasi tertentu untuk memimpin sesuai dengan latar belakang
kepribadian kyai [15]

Dari pendapat di atas dapat diambil kesimpulan bahwa peran Kyai sangat menentukan keberhasilan pesantren
yang diasuhnya. Demikianlah beberapa uraian tentang elemen-elemen umum pesantren, yang pada dasarnya
merupakan syarat dan gambaran kelengkapan elemen sebuah pondok pesantren yang terklasifikasi asli
meskipun tidak menutup kemungkinan berkembang atau bertambah seiring dengan perkembangan zaman dan
kebutuhan masyarakat.

Peranan[sunting | sunting sumber]

Pesantren pada mulanya merupakan pusat penggemblengan nilai-nilai dan penyiaran agama Islam.[butuh
rujukan] Namun, dalam perkembangannya, lembaga ini semakin memperlebar wilayah garapannya yang tidak
melulu mengakselerasikan mobilitas vertikal (dengan penjejalan materi-materi keagamaan), tetapi juga mobilitas
horisontal (kesadaran sosial).[butuh rujukan] Pesantren kini tidak lagi berkutat pada kurikulum yang berbasis
keagamaan (regional-based curriculum) dan cenderung melangit, tetapi juga kurikulum yang menyentuh
persoalan kikian masyarakat (society-based curriculum).[butuh rujukan] Dengan demikian, pesantren tidak bisa
lagi didakwa semata-mata sebagai lembaga keagamaan murni, tetapi juga (seharusnya) menjadi lembaga sosial
yang hidup yang terus merespons carut marut persoalan masyarakat di sekitarnya.[16]

Pondok Pesantren adalah lembaga pendidikan Islam tertua yang merupakan produk budaya Indonesia.[butuh
rujukan] Keberadaan Pesantren di Indonesia dimulai sejak Islam masuk negeri ini dengan mengadopsi sistem
pendidikan keagamaan yang sebenarnya telah lama berkembang sebelum kedatangan Islam.[butuh rujukan]
Sebagai lembaga pendidikan yang telah lama berurat akar di negeri ini, pondok pesantren diakui memiliki andil
yang sangat besar terhadap perjalanan sejarah bangsa.[17]

Banyak pesantren di Indonesia hanya membebankan para santrinya dengan biaya yang rendah, meskipun
beberapa pesantren modern membebani dengan biaya yang lebih tinggi.[butuh rujukan] Meski begitu, jika
dibandingkan dengan beberapa institusi pendidikan lainnya yang sejenis, pesantren modern jauh lebih murah.
[butuh rujukan] Organisasi massa (ormas) Islam yang paling banyak memiliki pesantren adalah Nahdlatul Ulama
(NU).[butuh rujukan] Ormas Islam lainnya yang juga memiliki banyak pesantren adalah Al-Washliyah dan
Hidayatullah.[butuh rujukan]

Jenis pesantren[sunting | sunting sumber]

Seiring perkembangan zaman, serta tuntutan masyarakat atas kebutuhan pendidikan Umum, kini banyak
pesantren yang menyediakan menu pendidikan umum dalam pesantren. kemudian muncul istilah pesantren
Salaf dan pesantren Modern, pesantren Salaf adalah pesantren yang murni mengajarkan Pendidikan Agama
sedangkan Pesantren Modern menggunakan sistem pengajaran pendidikan umum atau Kurikulum.

Pesantren salaf[sunting | sunting sumber]

Pesantren yang hanya mengajarkan ilmu agama Islam saja umumnya disebut pesantren salaf.[butuh rujukan]
Pola tradisional yang diterapkan dalam pesantren salafi adalah para santri bekerja untuk kyai mereka - bisa
dengan mencangkul sawah, mengurusi empang (kolam ikan), dan lain sebagainya - dan sebagai balasannya
mereka diajari ilmu agama oleh kyai mereka tersebut.[butuh rujukan] Sebagian besar pesantren salafi
menyediakan asrama sebagai tempat tinggal para santrinya dengan membebankan biaya yang rendah atau
bahkan tanpa biaya sama sekali.[butuh rujukan] Para santri, pada umumnya menghabiskan hingga 20 jam waktu
sehari dengan penuh dengan kegiatan, dimulai dari salat shubuh di waktu pagi hingga mereka tidur kembali di
waktu malam.[butuh rujukan] Pada waktu siang, para santri pergi ke sekolah umum untuk belajar ilmu formal,
pada waktu sore mereka menghadiri pengajian dengan kyai atau ustaz mereka untuk memperdalam pelajaran
agama dan al-Qur'an.[butuh rujukan]

Pesantren modern[sunting | sunting sumber]

Ada pula pesantren yang mengajarkan pendidikan umum, di mana persentase ajarannya lebih banyak ilmu-ilmu
pendidikan agama Islam daripada ilmu umum (matematika, fisika, dan lainnya).[butuh rujukan] Ini sering disebut
dengan istilah pondok pesantren modern, dan umumnya tetap menekankan nilai-nilai dari kesederhanaan,
keikhlasan, kemandirian, dan pengendalian diri.[butuh rujukan] Pada pesantren dengan materi ajar campuran
antara pendidikan ilmu formal dan ilmu agama Islam, para santri belajar seperti di sekolah umum atau madrasah.
[butuh rujukan] Pesantren campuran untuk tingkat SMP kadang-kadang juga dikenal dengan nama Madrasah
Tsanawiyah, sedangkan untuk tingkat SMA dengan nama Madrasah Aliyah.[butuh rujukan] Namun, perbedaan
pesantren dan madrasah terletak pada sistemnya. Pesantren memasukkan santrinya ke dalam asrama,
sementara dalam madrasah tidak.[butuh rujukan] Ada juga jenis pesantren semimodern yang masih
mempertahankan kesalafannya dan memasukkan kurikulum modern di pesantren tersebut.

Modernisasi pesantren[sunting | sunting sumber]


Sebab-sebab terjadinya modernisasi Pesantren di antaranya:

Munculnya wancana penolakan taqlid dengan kembali kepada Al-Quran dan Sunnah sebagai isu sentral yang
mulai ditadaruskan sejak tahun 1900. Maka sejak saat itu perdebatan antara kaum tua dengan kaum muda, atau
kalangan reformis dengan kalangan ortodoks/konservatif, mulai mengemuka sebagai wancana publik.

Kian mengemukanya wacana perlawanan nasional atas kolonialisme belanda.

Terbitnya kesadaran kalangan Muslim untuk memperbaharui organisasi Islam mereka yang berkonsentrasi dalam
aspek sosial ekonomi.

Dorongan kaum Muslim untuk memperbarui sistem pendidikan Islam. Salah satu dari keempat faktor tersebut
dalam pandangan Karel A. Steenbrink, yang sejatinya selalu menjadi sumber inspirasi para pembaharu Islam
untuk melakukan perubahan Islam di Indonesia.[18]
MAKALAH

KARAKTERITIK NILAI-NILAI PESANTREN DALAM

PENGEMBANGAN MASYARAKAT

Makalah ini diSusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah :

Kepesantrenan

KATA PENGANTAR

Dengan segala kerendahan dan keikhlasan hati, puji syukur kehadirat Allah SWT. Karena dengan rahmat dan
rahim-Nya yang telah dilimpahkan, taufiq dan hidayah-Nya dan atas segala kemudahan yang telah diberikan
sehingga penyusunan makalah Kepesantrenan dapat terselesaikan.

Shalawat terbingkai salam semoga abadi terlimpahkan kepada sang pembawa risalah kebenaran yang semakin
teruji kebenarannya baginda Muhammad SAW, keluarga dan sahabat-sahabat, serta para pengikutnya. Semoga
syafa’atnya selalu menyertai kehidupan ini.

Setitik harapan dari penulis, semoga makalah ini dapat bermanfaat serta bisa menjadi wacana yang berguna.
Penulis menyadari keterbatasan yang penulis miliki, untuk itu, penulis mengharapkan dan menerima segala kritik
dan saran yang membangun demi perbaikan dan penyempurnaan skripsi ini. Akhirnya hanya kepada Allah SWT.,
jualah penulis memohon Rahmat dan Ridho-Nya.

Penulis

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL..................................................................................................... .... i


KATA PENGANTAR........................................................................................................ ii

DAFTAR ISI...................................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN.................................................................................................. 1

A. Latar Belakang.................................................................................................... 1

B. Rumusan Masalah............................................................................................... 1

C. Tujuan................................................................................................................. 1

BAB II PEMBAHASAN................................................................................................... 2

A. Asal-usul Pesantren............................................................................................. 2

B. Pertumbuhan Kelembagaan Pesantren........................................................... .... 3

C. Karakteristik Pendidikan Pesantren............................................................... .... 3

D. Unsur-unsur Kelembagaan Pesantren............................................................ .... 6

E. Peran Pondok Pesantren bagi Masyarakat...................................................... .... 7

BAB III PENUTUP............................................................................................................ 9

A. Kesimpulan........................................................................................................ 9

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................ 11

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perkembangan pendidikan islam di Indonesia antara lain ditandai oleh munculnya berbagai lembaga pendidikan
secara bertahap, mulai dari yang amat sederhana, sampai dengan tahap yang sudah terhitung modern dan
lengkap.salah satunya adalah pesantren.
Sesuatu yang unik pada dunia pesantren adalah begitu banyak variasi antar satu pesantren dengan pesantren
yang lain. Namun demikian, dalam berbagai aspek dapat ditemukan kesamaankesamaan umum. Kalau ditelusuri
lebih lanjut,maka akan ditemukan kesamaan-kesamaan umum dan variabel-variabel struktural seperti bentuk
kepemimpinan, organisasi pengurus, dewan kiai atau dewan guru, susunan rencana pelajaran, kelompok santri
dan bagian-bagian lain yang apabila dibandingkan antara satu pesantren dengan pesantren yang lain, dari satu
daerah dengan daerah yang lain, maka akan ditemukan tipologi dan variasi dunia pesantren.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimanakah Asal-Usul Pesantren?

2. Bagaimanakah Pertumbuhan Kelembagaannya?

3. Bagaimana Karakteristik Pesantren?

4. Apa saja unsur-unsur kelembagaan pesantren?

5. Peran Pondok-Pesantren bagi Masyarakat?

C. Tujuan

Tujuan penulisan makalah ini adalah :

1. Menjelaskan Asal-usul pesantren

2. Menjelaskan Pertumbuhan Kelembagaan pesantren

3. Menjelaskan Bagaimana Karakteristik Pesantren

4. Membahas unsur-unsur kelembagaan pesantren

5. Membahas pondok pesantren bagi masyarakat

BAB II

PEMBAHASAN

A. Asal-Usul Pesantren
Tidak jelas dan tidak banyak referensi yang menjelaskan kapan pesantren pertama berdiri, bahkan istilah
pesantren, kiai dan santri masih diperselisihkan.

Menurut asal katanya pesantren berasal dari kata santri yang mendapat imbuhan awalan Pe dan akhiran an yang
menunjukan tempat. Dengan demikian pesantren artinya “Tempat para santri”. Selain itu, asal kata pesantren
terkadang dianggap gabungan dari kata sant (Manusia Baik) dengan suku Tra (Suka Menolong) sehingga kata
pesantren dapat berarti “Tempat Pendidikan Manusia baik-baik”.

Ada yang berpendapat bahwa pada umumnya berdirinya suatu pesantren diawali dari pengakuan masyarakat
akan keunggulan dan ketinggian ilmu seorang guru atau kiai. Karena keinginan menuntut dan memperoleh ilmu
dari kiai atau guru tersebut maa masyarakat sekitar bahkan dari luar daerah datang kepadanya untuk belajar.
Mereka lalu membangun tempat tinggal yang sederhana disekitar tempat tinggal guru atau kiai tersebut.

Wahjoetomo, mengatakan bahwa pesantren yang berdiri di tanah air,khususnya di jawa dimulai dan dibawa oleh
wali songo, dan tidak berlebihan bila dikatakan bahwa pondok pesantren yang pertama didirikan adalah “Pondok
Pesantren yang pertama didirikan oleh Syekh Maulana Malik Ibrahim atau terkenal dengan sebutan Syekh
Maulana Maghribi (Wafat tanggal 12 Robi’ul awal 822 H atau tanggal 8 april 1419 M di Gresik“.

Secara terminologis Steenbrink menjelaskan bahwa dilihat dari bentuk dan sistemnya, pesantren berasal dari
India. Ini membuktikan sebelum proses penyebaran islam di Indonesia sudah digunakan secara umum untuk
pengajaran Hindu Jawa. Setelah Islam tersebar di jawa sistem tersebut diambil oleh Islam. Juga istilah ngaji,istilah
pondok, langgar di jawa,Surau di Minangkabau, Rangkang Aceh, Bukan berasal dari bahasa arab, merupakan
istilah yang terdapat di India.

Dari segi bentuknya antara pendidikan Hindu di Indonesia dan pesantren dapat dianggap sebagai petunjuk asal-
usul pendidikan pesantren, seperti penyerahan tanah dari negara untuk kepentingan agama, sistem pendidikan
hindu maupun pesantren di indonesia tidak dijumpai pada sistem pendidikan yang asli di Mekkah, letak
pesantren yang didirikan di Desa. Semua itu dapat dijadikan alasan untuk membuktikan bahwa asal-usul
pesantren dari India.

Mahmud yunus menyatakan dalam sejarah pendidikan islam bahwa asal usul pesantren yang menggunakan
bahasa arab pada awal pelajarannya, ternyata dapat ditemukan di Baghdad ketika menjadi pusat dan ibukota
wilayah islam,tradisi menyerahkan tanah oleh negara dapat ditemukan dalam sistem waqaf.
Dengan mengemukakan pendapat para pakar tersebut,membutikan bahwa persoalan-persoalan historis tentang
asal-usul pesantren tidak dapat diselesaikan dan dipahami secara keseluruhan, sebelum problematika yang
lannya terselesaikan terlebih dahulu, yaitu tentang kedatanga Islam di indonesia.

B. Pertumbuhan Kelembagaan Pesantren

Akar Historis keberadaan pesantren dapat dilacak jauh kebelakang kemasa-masa sebelum kemerdekaan
Indonesia. Ketika para wali songo menyiarkan dan menyebarkan Islam di tanah Jawa, mereka memanfaatkan
Masjid dan pondok pesantren sebagai sarana dakwah yang efektif. Para wali songo itu mendirikan masjid dan
padepokan (Pesantren) sebagai pusat kegiatan mereka dalam mengajarkan dan mendakwahkan agama Islam.
Misalnya, Raden rahmat (Yang dikenal sebagai sunan Ampel) mendirikan pesantrennya didaerah kembang kuning
(Surabaya). Pesantren ini pada mulanya hanya mempunyai tiga orang santri, yaitu Wiryo Suryo, Abu Hurairoh dan
Kiai Bangkuning. Setelah melalui beberapa kurun masa pertumbuhan dan perkembangannya, pondok pesantren
bertambah banyak jumlahnya dan tersebardi pelosok-pelosok tanah air. Pertumbuhan dan perkembangan
pesantren ini didukung oleh beberapa faktor sosio-kutural-keagamaan yang kondusif sehingga eksistensi
pesantren ini semakin kuat berakar dalam kehidupan masyarakat Indonesia.

C. Karakteristik Pendidikan Pesantren

Untuk mengetahui karakteristik pendidikan pesantren,maka dapat dilacak dari berbagai segi yang meliputi
keseluruhan sistem pendidikan:seperti materi pelajaran dan metode pengajaran,prinsip-prinsip
pendidikan,sarana dan tujuan pendidikan pesantren, kehidupan kiai dan santriserta hubungan keduanya.

1) Materi pelajaran dan Metode Pengajaran

Adapun metode yang lazim dipergunakan dalam pendidikan pesantren ialah wetonan, sorogan, dan hafalan.
Metode Wetonan adalahmetode kuliah dimana para santri mengikuti pelajaran dengan duduk disekeliling kiai
yang menerangkan pelajaran. Santri menyimak kitab masing-masing dan mencatat jika perlu.

Metode sorogan adalah suatu metode dimana santri menghadap guru atau kiai seorang demi seorang dengan
membawa kitab yang akan dipelajarinya,kiai membacakan dan menerjemahkannya kalimat perkalimat;
kemudian menerangkan maksudya.

Metode Hafalan ialah suatu metode dimana santri menghafal teks atau kalimat tertentu dari kitab yang
dipelajarinya .Biasanya cara menghafal ini diajarkan dalam bentuk syair atau Nazam.
2) Jenjang Pendidikan

Jenjang pendidikan esantren tidak dibatasi seperti dalam lembaga-lembaga pendidikan yang memakai sistem
klasikal.Umumnya,kenaikan tingkat seorang santri ditandai dengan tamat dan bergantinya kitab yang
dipelajarinya.Apabila seorang santri telah menguasai satu kitab dan telah lulus imtihan (Ujian) yang diuji oleh kiai
nya,maka ia berpindah ke kitab yang lain.Jadi jenjang pendidikan tidak ditandai dengan naiknya kelas seperti
dalam pendidikan formal,tetapi pada penguasaan kitab-kitab yang telah ditetapkan dari yang paling rendah
sampai paling tinggi.

3) Fungsi Pesantren

Pesantren tidak hanya berfungsi sebagai lembaga sosial dan penyiaran agama. Sementara Azyumardi azra
menyatakan bahwa ada tiga fungsi pesantren tradisional. Pertama, transmisi dan transfer ilmu-ilmu keislaman,
Kedua, Pemeliharaan Tradisi keislaman dan ketiga,reproduksi ulama.

4) Prinsip-Prinsip Pendidikan Pesantren

Sesuai dengan fungsinya yang komprehensif dan pendekatannya yang holistik, pesantren memiliki prinsip-
prinsip utama dalam menjalankan pendidikannya. Setidaknya ada dua belas prinsip yang dipegang teguh
pesantren :“(1) theocentric; (2) Sukarela dalam pengabdian; (3)kearifan; (4) kesederhanaan;(5) kolektivitas;(6)
mengatur kegiatan bersama; (7) kebebasan terpimpin; (8) kemandirian (9) pesantren adalah tempat mencari
ilmu dan mengabdi;(10) mengamalkan ajaran agama (11) belajar di pesantren bukan untuk mencari Ijazah (12)
restu kiai artinya semua perbuatan yang dilakukan oleh setiap warga pesantren sangat bergantung pada kerelaan
dan do’a dari kiai.

5) Sarana dan tujuan Pesantren

Dalam bidang sarana,pesantren tradisional ditandai oleh ciri khas kesederhanaan. Sejak dulu lingkungan atau
kompleks pesantren sangat sederhana. Tentu saja kesederhanaan secara fisik kini sudah berubah total.Banyak
pesantren tradisional yang memiliki gedung yang megah.Namun,Kesederhanaan dapat dilihat dari sikap dan
prilaku kiai dan santri serta sikap mereka dalam pergaulan sehari-hari.Sarana belajar misalnya, masih tetap
dipertahankan seperti sedia kala,dengan duduk diatas lantai dan di tempat terbuka dimana kiai menyampaikan
pelajaran.

Mengenai tujuan pesantren,sampai kini belum ada suatu rumusan yang definitif.Antara satu pesantren dengan
pesantren yang lain terdapat perbedaan dalam tujuan,meskipun semangatnya sama,yakni untuk meraih
kebahagiaan dunia dan akhirat serta meningkatkan ibadah kepada Allah SWT.Adanya keberagaman ini
menandakan keunikan masing-masing pesantren dan sekaligus menjadi karakteristik kemandirian dan
independensinya.

6) Kehidupan Kiai dan Santri

Kehidupan di pesantren berkisar pada pembagian kegiatan berdasarkan shalat lima waktu. Dengan sendirinya
pengertian waktu pagi,siang dan sore di pesantren menjadi berbeda dengan pengertian diluar.dalam hal inilah
misalnya sering dijumpai santri yang menanak nasi ditengah malam, mencuci pakaian menjelang terbenam
matahari.Dimensi waktu yang unik ini tercipta karena kegiatan pokok pesantren dipusatkan pada pemberian
pengajian kitab teks (Al-Kutub Al-Muqararah) pada setiap selesai sholat wajib.Demikian pula ukuran lamanya
waktu yang dipergunakan sehari-hari;pelajaran diwaktu tengah hari dan malam lebih panjang daripada diwaktu
petang dan subuh.

Corak kehidupan pesantren juga dapat dilihat dari struktur pengajaran yang diberikan secara berjenjang dan
berulang-ulang.Masing-masing kitab dipelajari bertahun-tahun bahkan pengajaran dipesantren tidak mengenal
kata tamat atau selesai.

Dari pembahasan diatas dapat diketahui bahwa karakteristik kehidupan pesantren yang sebenarnya,sebagai
sesuatu yang berbeda dengan sistem pendidikan pada umumnya.

Setidaknya ada delapan ciri kehidupan di pesantren :

a) Adanya hubungan yang akrab antara santri dengan kiainya

b) Kepatuhan santri kepada kiai

c) Hidup hemat dan sederhana benar-benar diwujudkan dalam lingkungan pesantren

d) Kemandirian

e) Jiwa tolong menolong dan suasana persaudaraan

f) Disiplin sangat dianjurkan

g) Berani menderita untuk mencapai satu tujuan

h) Pemberian Ijazah.
D. Unsur Unsur Kelembagaan Pesantren

Dalam lembaga pendidikan islam yang disebut pesantren sekurang-kurangnya ada unsur-unsur:kiai yang
mengajar dan mendidik serta menjadi panutan,santri yang belajar pada kiai,masjid sebagai tempat
penyelenggaraan pendidikan dan shalat jamaah,dan asrama tempat tinggal para santri.

Selain unsur-unsur kelembagaan,karakteristik pesantren juga dapat dilihat dari struktur organisasinya yang
meliputi;Status kelembagaan,struktur organisasi,gaya kepemimpinan,dan suksesi kepemimpinan.

Setiap pesantren memiliki struktur yang berbeda-beda antara satu dengan yang lainnya sesuai dengan
kebutuhan masing-masing.Ciri-ciri umum struktur organisasi pesantren dapat dijelaskan bahwa pada dasarnya
pesantren mempunyai dua sayap:sayap yang menjaga nilai-nilai kebenaran absolut dan sayap yang menjaga nilai-
nilai kebenaran relatif.Sayap pertama bertanggung jawab pada pelestarian kebenaran atau kemurnian
agama,sedangkan sayap kedua bertanggung jawab pada pengamalan nilai-nilai absolut,baik dalam pesantren
maupun diluar pesantren. Ajaran kiai,ustad, kitab-kitab agama yang diajarkan di pesantren diyakini memiliki
kebenaran absolut oleh para santri, karena itu tidak perlu dipertanyakan lagi kebenaran dan keabsahan sebuah
ajaran mereka hanya memahami dan mengamalkannya.

Gaya kepemimpinan pesantren adalah mempunyai daya untuk menggerakan dan mengarahkan unsur pelaku
pesantren untuk berbuat sesuatu sesuai kehendak pimpinan.Karena landasan keikhlasan,maka apa saja yang
direncanakan mendapat dukungan penuh baik dari santri maupun masyarakat luas.

Suksesi kepemimpinan terutama pada pesantren milik pribadi adalah bersifat patrimonial,dimana
kepemimpinan diwariskan kepada keluarganya,seperti dari pendiri diwariskan kepada anaknya,menantu dan
cucunya;tetapi juga kadangkala diserahkan kepada santri senior yang berprestasi;tanpa harus ada hubungan
keluarga.

E. Peran Pondok-Pesantren bagi Masyarakat

Sejarah penyebaran Islam di muka bumi tidak bisa terlepas dari tempat ibadah umat Islam yaitu masjid. Masjid
tak hanya digunakan untuk shalat, tetapi digunakan juga untuk menyampaikan ajaran-ajaran agama Islam. Para
sahabat Nabi juga melakukan dakwahnya dengan fasilitas masjid, begitu juga para tabi’in serta tabi’ut tabi’in dan
para ulama’ dalam menyampaikan ajaran-ajaran agama Islam.
Dengan berjalannya waktu, nampaknya dengan hanya mengandalkan masjid tak cukup untuk menjadi fasilitas
menyebarkan agama Islam. Sehingga berdiri pondok pesantren yang tersebar di penjuru nusantara, khususnya di
tanah jawa. Dalam sejarah perkembangan Islam di Indonesia, peran pesantren sangat penting dalam
mencerdaskan bangsa dan membentuk bangsa yang bermoral mulia.

Pondok-pesantren adalah lembaga pendidikan agama Islam yang berdiri secara swasta dan dipimpin oleh
seorang kyai. Lembaga pendidikan swasta ini terdiri dari kyai, yang merupakan pimpinan pesantren dan juga
menjadi figur yang ditokohkan dalam lembaga ini, di samping itu juga terdiri dari struktur kepengurusan
pesantren yang terdiri dari ketua santri dan beberapa pengurus yang lain. Sebagai warga negara yang beragama
Islam patut bangga dan bersyukur dengan banyak berdirinya pesantren serta terus ikut membantu dengan
memberikan kontribusi kepada pondok-pesantren agar terus berkembang dan maju keberadaannya.

Berkembangnya manusia tak cukup hanya dengan pertumbuhan fisik yang sehat, tetapi perlu dilengkapi dengan
pertumbuhan rohani yang bagus. Pendidikan yang ditawarkan oleh pesantren merupakan cerminan pendidikan
jiwa yang harus ada bagi setiap manusia. Jika kita mahu melihat fenomena dalam masyarakat secara obyektif,
maka kita akan menjumpai bahwa ada perbedaan yang jauh antara orang yang mahu belajar pengetahuan
agama Islam di pesantren dengan orang yang hanya mempelajari Islam lewat pendidikan di lembaga formal.
Kenapa demikian? Karena disamping waktu yang tersedia di lembaga formal jauh lebih sedikit, juga karena
materi keislaman yang disediakan sangat terbatas. Berbeda dengan realita yang ada di pesantren, lembaga ini
benar-benar memaksimalkan perannya dalam mencetak kader-kader yang berpengetahuan Islam secara luas dan
bisa mengaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.

Dari paparan di atas, maka nampak jelas bahwa peran pesantren bagi masyarakat sangat dibutuhkan. Di
samping itu pesantren juga mendidik santrinya untuk bisa disiplin, mandiri, hidup sederhana dan peka dengan
sosial. Kehidupan di pesantren tak sama dengan kehidupan di apartemen atau layaknya hidup di rumah sendiri.
Karena memang sengaja untuk membentuk siswa yang siap hidup sederhana dan lebih mementingkan
kepentingan umat.

Walaupun pesantren tak selamanya bisa menjamin alumninya akan menjadi orang-orang yang sukses atau
pandai dalam wawasan keisalaman. Namun, sedikit atau banyak peran pesantren tetap sangat dibutuhkan dalam
perkembangan pendidikan dan moral bangsa Indonesia. Ketika terjadi ada alumni pondok pesantren yang kurang
berhasil, maka ini bukan kesalahan pesantren sepenuhnya. Karena tak ada pesantren yang mengajarkan ajaran
yang jelek. Ketika terjadi seperti itu, mungkin lebih dekat dengan faktor alumni tersebut. Seperti karena kurang
serius dalam mematuhi aturan pesantren dan dalam belajar serta mungkin juga kesadaran yang belum
sepenuhnya ada pada dirinya untuk mengamalkan segala hal kebajikan yang ia telah tahu. Intinya dengan adanya
lembaga pesantren bisa mencerdaskan bangsa.
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa :

1. Tidak jelas dan tidak banyak referensi yang menjelaskan kapan pesantren pertama berdiri, bahkan istilah
pesantren,kiai dan santri masih diperselisihkan.

2. Akar Historis keberadaan pesantren dapat dilacak jauh kebelakang kemasa-masa sebelum kemerdekaan
Indonesia.Ketika para wali songo menyiarkan dan menyebarkan Islam di tanah Jawa,mereka memanfaatkan
Masjid dan pondok pesantren sebagai sarana dakwah yang efektif. Para wali songo itu mendirikan masjid dan
padepokan (Pesantren) sebagai pusat kegiatan mereka dalam mengajarkan dan mendakwahkan agama
Islam.Misalnya, Raden rahmat (Yang dikenal sebagai sunan Ampel) mendirikan pesantrennya didaerah kembang
kuning (Surabaya).Pesantren ini pada mulanya hanya mempunyai tiga orang santri, yaitu Wiryo Suryo, Abu
Hurairoh dan Kiai Bangkuning. Setelah melalui beberapa kurun masa pertumbuhan dan perkembangannya,
pondok pesantren bertambah banyak jumlahnya dan tersebardi pelosok-pelosok tanah air. Pertumbuhan dan
perkembangan pesantren ini didukung oleh beberapa faktor sosio-kutural-keagamaan yang kondusif sehingga
eksistensi pesantren ini semakin kuat berakar dalam kehidupan masyarakat Indonesia.

3. Untuk mengetahui karakteristik pendidikan pesantren, maka dapat dilacak dari berbagai segi yang meliputi
keseluruhan sistem pendidikan: seperti materi pelajaran dan metode pengajaran, prinsip-prinsip pendidikan,
sarana dan tujuan pendidikan pesantren, kehidupan kiai dan santriserta hubungan keduanya.

4. Dalam lembaga pendidikan islam yang disebut pesantren sekurang-kurangnya ada unsur-unsur:kiai yang
mengajar dan mendidik serta menjadi panutan, santri yang belajar pada kiai, masjid sebagai tempat
penyelenggaraan pendidikan dan shalat jamaah, dan asrama tempat tinggal para santri. Selain unsur-unsur
kelembagaan, karakteristik pesantren juga dapat dilihat dari struktur organisasinya yang meliputi; Status
kelembagaan, struktur organisasi, gaya kepemimpinan, dan suksesi kepemimpinan.

Pondok-pesantren adalah lembaga pendidikan agama Islam yang berdiri secara swasta dan dipimpin oleh
seorang kyai. Lembaga pendidikan swasta ini terdiri dari kyai, yang merupakan pimpinan pesantren dan juga
menjadi figur yang ditokohkan dalam lembaga ini, di samping itu juga terdiri dari struktur kepengurusan
pesantren yang terdiri dari ketua santri dan beberapa pengurus yang lain. Sebagai warga negara yang beragama
Islam patut bangga dan bersyukur dengan banyak berdirinya pesantren serta terus ikut membantu dengan
memberikan kontribusi kepada pondok-pesantren agar terus berkembang dan maju keberadaannya.
DAFTAR PUSTAKA

Abuddin Nata,H.(Ed), Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-Lembaga Pendidikan Islam Di


Indonesia, grasindo, yakarta,2001,h.93

Ahmad Syafi’i Nur, Pesantren :Asal Usul Dan Pertumbuhan Kelembagaan, Dalam Buku yang di Edit oleh Abuddin
Nata yang berjudul Sejarah Pertumbuhan Dan Perkembangan Lembaga-Lembaga Pendidikan Islam Di
Indonesia,Grasindo,Jakarta,2001

Azyumardi Azra,Prof.Dr.H., Pendidikan Islam;Tradisi Dan Modernisasi Menuju Milenium Baru,Logos,Jakarta,2002

Dawam rahardo,M. (Ed.), Pesantren Dan Pembaharuan,LP3ES,Jakarta,1974

.Hasbullah, Drs., Sejarah pendidikan Islam di Indonesia,Raja Grafindo Persada,Jakarta,1996

Zamakhsyari Dofier, Tradisi Pesantren,LP3ES,Jakarta ,1983

Mahmud Yunus, Sejarah pendidikan Islam,Raja Grafindo Persada,Jakarta,1996

Marwan Saridjo et.al., Sejarah Pondok Pesantren Di Indonesia, Drama Bakti,Yakarta,1982

Mastuki HS,M.Ag dan M.Ishom El-saha,M.Ag. Intelektualisme Pesantren; Potret Tokoh dan Cakrawala Pemikiran
di Era Perkembangan Pesantren,Diva Pustaka,Jakarta,2003 Wahjoetomo, Dr.dr.,Perguruan Tinggi
Pesantren,LP3ES,Yakarta,1994,h.5
Kumpulan Makalah Gratis

Beranda

Konsultasi

Tentang Saya

Jumat, 22 Maret 2013

Book Review Peran Pondok Pesantren (Madrasah) Dalam Perkembangan Pendidikan Islam di Indonesia

Book Review

Peran Pondok Pesantren (Madrasah) Dalam Perkembangan

Pendidikan Islam di Indonesia

Oleh: Mutawalli

Prof. H. Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam

di Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1979)

Sejarah lembaga-lembaga pendidikan Islam di Indonesia mengalami pasang surut dari mulai masuknya Islam ke
Indonesia sampai sekarang. Di antara lembaga-lembaga pendidikan yang ada di Indonesia, pesantren merupakan
sistem pendidikan tertua, dan dinilai sebagai hasil proses sejarah yang panjang. Pesantren sering disamakan
dengan mandala dan asrama dalam khazanah agama Hindu.[1] Eksistensi pesantren yang merupakan suatu
lembaga pendidikan keagamaan yang mengajarkan, mengembangkan, dan menyebarkan ilmu agama Islam, di
Indonesia sudah lama dan pengaruhnya terhadap masyarakat terutama di pedesaan sangat kuat. Sejak masa
kolonial pesantren sudah menjadi alternatif pendidikan di samping sistem pendidikan Barat. Bahkan pesantren
menjadi suatu kebanggaan ketika itu, sebab sistem pendidikan pesantren tidak terpusat pada penumpukan
pengetahuan dan pengasahan otak, tetapi juga mementingkan pendidikan kepribadian sebagai karakter manusia.
Pada perkembangan selanjutnya pesantren mengalami perubahan yang dipengaruhi oleh dinamika internal
maupun dorongan eksternal.[2]

Karya Mahmud Yunus yang akan direview ini, sesungguhnya memiliki ciri khas yang berbeda dengan buku-buku
lainnya, dimana di dalam buku ini secara matang dijelaskan satu persatu sebab musabbab berkembangnya
pendidikan di Indonesia. Buku ini diakui merupakan buku pertama yang mengulas sejarah tentang pendidikan
Islam di Indonesia secara lengkap karena buku ini tidak hanya memuat tentang penjelasan-penjelasan sejarah
dari para ahli namun juga dibubuhi dengan dokumen-dokumen yang mendukung akan keberadaan sejarah
tersebut, baik dokumen yang berupa poto-poto maupun dalam bentuk naskah tua. Sehingga wajar bila kita
berkiblat pada buku ini dalam mengkaji tentang sejarah pendidikan Islam di Indonesia.

Pendekatan

Buku Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, tidak dapat digolongkan ke dalam penulisan sejarah
tradisional yang ciri pokoknya menyajikan peristiwa sejarah dalam bentuk kisah dengan bahasa yang berbeda
yaitu menggunakan pendekatan naratif. Dalam buku ini, Mahmud Yunus mengguakan metode interdisipliner,
yang sekarang ini lebih dikenal sebagai sejarah totalitas, yang dikembangkan oleh mazhab annales (annales
school), karenanya disebut juga sebagai pendekatan Annales.[3]

Buku dengan judul Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia yang dikarang oleh Mahmud Yunus ini secara
keseluruhan terdiri dari empat bagian, yang mana setiap bagian terdiri dari beberapa bab. Buku ini merupakan
hasil pengembaraan dari si penulis sendiri, baik dia melakukan penyelidikan dengan berkirim surat dan dengan
pergi sendiri ke daerah-daerah yang bersangkutan. Sehingga Mahmud Yunus mengungkapkan dalam kata
pengantarnya bahwa pada umumnya sejarah pendidikan Islam di daerah itu amat kabur dan tidak jelas kapan
waktu, tanggal dan tahunnya, kadang-kadang hanya dengan perkiraan saja. Hanya yang terang dan jelas ialah
sejarang pendidikan islam dalam perkembangan terakhir.

Dari keseluruhan bagian pembahasannya, dimana bagia pertama terdiri dari: Bab I, buku ini menjelaskan sejarah
pendidikan islam di Sumatera yang mencakup pendidikan islam di Minangkabau, kerajaan islam di Minangkabau,
penyiaran/pendidikan, terjadi kerusakan di Minangkabau, Tuanku Imam Bonjol, penyempurnaan pendidikan
Islam, pendidikan islam sebelum tahun 1900 M, pengajian Qur’an, pendidikan pertama, cara mengajar pada
pengajian Qur’an, pengajian kitab, mata pelajarannya, contoh kitab Al-’Awamil (tulisan tangan), cara mengajar
pada pengajian kitab dan contoh kitab tafsir jalalain tulisan tangan. Kemudian pada Bab II, diuraikan tentang
masa perubahan (tahun 1900-1908 M), susunan pendidikan Islam masa perubahan, cara mengajar pada
pengajian Qur’an/kitab, alim ulama yang mengadakan perubahan, dan perbandingan sistem lama dengan sistem
masa perubahan. Lalu pada Bab III: zaman lahirnya madrasah-madrasah (tahun 1909-1930 M), susunan
pendidikan Islam pada masa perubahan, adabiah school yang pertama lahir (1909 M), Diniah School Zainuddin
Labai Al-Yunusi (tahun 1951 M), rencana pelajaran madrasah diniah, surau-surau menjadi madrasah-madrasah
yang berkelas (1921 M), rencana pelajaran Sumatera Thawalib, dan kitab-kitab yang dipakai pada
Thawalib/diniah. Pada Bab IV: pendidikan Islam untuk rakyat, majalah-majalah Islam, kitab-kitab agama dalam
bahasa melayu, tablig-tablig, penyiaran agama pada masyarakat, aliran baru di Minangkabau, perkumpulan-
perkumpulan Islam di Minangkabau, dan madrasah-madrasah Tarbiyah Islamiyah. Bab V: zaman modernisasi
madrasah-madrasah di Minangkabau, normal Islam, Islamic College dan lain-lain, muktamar madrasah yang
pertama (1936), sekema susunan madrasah-madrasah sebelum Indonesia merdeka, rencana pelajaran
awaliah/ibtidaiyah, perguruan tinggi islam, dan pendidikan islam zaman Jepang. Bab VI: pendidikan islam
sesudah Indonesia merdeka, pendidikan agama di Sekolah Rakyat, keadaan madrasah-madrasah pada tahun
1945-1959, Universitas Darul Hikmah, dan riwayat singkat ulama-ulama Minangkabau. Bab VII: pendidikan Islam
di Jambi, dan tumbuh dan berkembangnya madrasah di Minangkabau seperti: Madrasah Nuruh Iman, Madrasah
Nurul Islam dan lain-lain. Bab VIII: pendidikan Islam di Aceh, keemasan pesantren-pesantren di Aceh, ulama-
ulama Aceh yang terkenal di abad ke17, tafsir al-Qur’an Syekh Abdur Rauf bahasa Melayu, masa perubahan
pesantren, dan madrasah Islam modern Langsa. Bab IX: pendidikan Islam di Sumatera Utara, pertumbuhan
pesantren di Sumatera Utara, lahirnya madrasah-madrasah, munculnya Universitas Islam Sumatera Utara, dan
pesantren/ madrasah Mustafawiyah di Tapanuli. Bab X: pendidikan Islam di Sumatera Selatan, mulai dari
pertumbuhan pondok pesantren, madrasah sampai kepda berdirinya universitas di Sumatera Selatan.

Kemudian pada bagian kedua membicarakan tentang sejarang pendidikan Islam di Jawa yang dijabarkan dalam
beberapa bab sebagai berikut: Bab I: masuknya Islam di pulau Jawa, dibahas juga tentang para wali yang
menyebarkan Islam di pulau Jawa, lalu di bab ini juga dijabarkan organisasi-organisasi pendidikan Islam, di dalam
bab ini juga terdapat penjelasan tentang zaman kerajaan Islam Mataram dan Demak merupakan kerajaan Islam
pertama di Jawa, pendidikan Islam di Jawa sebelum tahun 1900 M dan dijabarkan juga peran pondok pesantren
di Jawa dari 1900 M. Bab II: Pendidikan Islam di Jawa Timur yang mana di dalam bab ini pondok pesantren mulai
kelihatan perannya dalam pendidikan Islam, terlihat dalam pembahasannya tentang pondok pesantren
Tebuireng yang dibangun oleh K. H. Hasyim Asy’ari, lalu ada pondok pesantren Tambak Beras, Jombang, pondok
pesantren Rejoso Peterongan, dan pondok modern Gontor Ponorogo Madiun, dan dijelaskan pula peran
Nahdhatul Ulama (NU) dalam mengembangkan pendidikan Islam di Jawa. Bab III: Pendidikan Islam di Jawa
Tengah/Yogyakarta. Pada bab ini banyak disinggung beberapa madrasah yang bermunculan di samping itu pula
banyak bermunculan ogranisasi Islam seperti Muhammadiyah yang mana organisasi ini memiliki peran yang
sangat penting dalam perkembangan Islam, ini terlihat dengan banyaknya madrasah yang dibangun dan
dibangun pula universitas untuk mendukung berkembangnya pendidikan Islam di Indonesia khususnya di Jawa
Tengah. Bab IV: Pendidikan Islam di Jawa Barat. Pada bab ini juga dijelaskan peran madrasah dan pondok
pesantren dalam mengembangkan pendidikan Islam di Indonesia ini dibuktikan dengan adanya pondok
pesantren persatuan Islam bandung, pondok pesantren/madrasah Gunung Puyung Sukabumi dan persatuan
umat Islam Majalengka, pesantren persis di Bandung dan madrasah Al Khairiyah Banten. Bab V: Madrasah-
madrasah di Jakarta. Diantaranya: madrasah Al Irsyad Jakarta, madrasah da’wah Islamiah Jakarta, Perguruan
Tinggi Islam Jakarta, madrasah Jam’iat Kheir Jakarta, dan madrasah-madrasah lain.

Lalu pada bagian tiga, Yunus menjelaskan tentang pendidikan Islam di Sulawesi, Nusa Tenggara, Kalimantan, dan
Maluku. Dijabarkan dalam beberapa bab sebagai berikut: Bab I: masuknya Islam ke Sulawesi dan Nusa Tenggara,
dan masuknya Islam ke Kalimantan dan Maluku. Bab II: Pendidikan Islam di Sulawesi, pertumbuhan dan
perkembangan madrasah dan pondok pesantren dan Universitas Muslim Islam Makasar. Bab III: pada bab ini
Yunus khusus membahas tentang pendidikan di Nusa Tenggara, madrasah Nahdlatul Wathan Lombok, dan
madrasah-madrasah lainnya yang berkembang di Lombok. Bab IV: pendidikan Islam di Kalimantan. Dalam bab ini,
banyak dijelaskan tentang banyaknya pondok pesantren dan madrasah yang sudah menjamur dan memiliki
peran yang penting dalam perkembangan pendidikan di belahan Indonesia ini.

Pada bagian terkahir yaitu tepatnya bagian keempat dijelaskan tentang persatuan pendidikan Islam di Indonesia.
Pada bagian ini hanya terdiri dari satu bab, dimana dalam bab ini dijelaskan berdirinya Kementerian Agama di
Yogyakarta/Jakarta, bedirinya persatuan pendidikan guru-guru Agama Islam di Indonesia, berdirinya PGA dan
SGHA di luar Jawa, banyaknya sekolah-sekolah kementerian agama (tahun 1951-1954 M), kemudian dibangunnya
Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri Yogya, Akademi Dinas Ilmu Agama Jakarta, dan Al Jami’ah Al Islamiah Al
Hukumiah (IAIN) dan terkahir penutup.

Sejarah Perkembangan Pondok Pesantren di Jawa


Akar historis-kultural pesantren tidak terlepas dari perkembangan Islam di Indonesia yang bercorak sufistik dan
mistik. Jika dilihat dalam konteks yang lebih besar lagi, aliran sufisme dan mistik yang melembaga dalam tarekat-
tarekat di Jawa ini juga merupakan salah satu faktor yang turut mendorong proses Islamisasi secara umum.[4]
Dalam pergumulannya, pesantren menyerap banyak budaya Jawa pedesaan yang cenderung statis dan sinkretis.
Oleh karena itu, di samping karena basis pesantren adalah masyarakat pinggiran yang berada di desa-desa,
pesantren sering disebut sebagai masyarakat atau Islam tradisional. Pesantren memiliki kekhasan tersendiri jika
dibanding dengan lembaga pendidikan lainnya. Akar budaya yang kuat menyebabkan pesantren menjadi sebuah
entitas yang begitu erat dengan masyarakat dalam menanamkan misinya.[5] Bahkan pesantren menjelma
menjadi sebuah sub-kultur yang bersifat idiosyncretic,[6] yang tidak dapat terpisah dari masyarakatnya.

Pesantren sudah mulai muncul pada masa pertumbuhan Islam di Jawa. Hal ini dapat dilihat dari munculnya
pesantren Ampel Denta Surabaya yang didirikan oleh Sunan Ampel atau Raden Rahmat. Selanjutnya muncul
pesantren yang didirikan oleh Sunan Giri, yang pesantrennya terkenal sampai ke daerah Maluku. Orang-orang
dari daerah itu, terutama Hitu, berguru kepada Sunan Giri.[7]

Memasuki era kolonial, pondok pesantren adalah satu-satunya lembaga pendidikan rakyat pribumi. Pada
dasawarsa terakhir abad ke-19, pemerintah kolonial Belanda memperkenalkan sistem pendidikan kolonial,
namun hanya diperuntukkan bagi sekelompok kecil masyarakat, terutama kalangan ningrat. Letaknya yang
kebanyakan berada di wilayah pinggiran serta doktrin jihad yang kuat untuk melawan penjajah, menjadikan
pondok pesantren tidak hanya menjadi pusat pendidikan rakyat tetapi juga menjadi simbol perlawanan terhadap
pemerintah kolonial.

Ketika Indonesia memasuki era kemerdekaan, kebanyakan pondok pesantren masih berada di wilayah
pinggiran. Pada tanggal 22 Desember 1945 Badan Pekerja-Komite Nasional Indonesia Pusat (BP-KNIP)
mengamanatkan agar pendidikan di langgar-langgar (pesantren) dan madrasah terus berjalan dan dipercepat.
Meskipun demikian, sistem pendidikan pondok pesantren tidak masuk dalam sistem pendidikan nasional. Seiring
dengan program pembangunan di Indonesia, dengan watak kemandiriannya, pondok pesantren mengalami
perkembangan yang pesat. Pondok pesantren tidak hanya menjelma sebagai lembaga pendidikan rakyat tetapi
juga sebagai agen perubahan dan pembangunan masyarakat.

Sejak masa Orde Baru bermunculan banyak organisasi yang orientasi kegiatannya berfokus pada bidang
sosial dan keagamaan, seperti bidang pendidikan. Pendirian lembaga pendidikan dimaksudkan untuk memenuhi
kebutuhan manusia terhadap ilmu pengetahuan. Berbagai peran potensial yang dimainkan oleh pesantren
menjadikan pesantren memiliki tingkat integritas yang tinggi dengan masyarakat di sekitarnya sekaligus menjadi
rujukan moral (reference of morality) bagi kehidupan masyarakat umum.[8]

Sebagai salah satu kota wali di wilayah Jawa, Kudus memiliki Sunan Kudus dan Sunan Muria sebagai local
model yang sangat berpengaruh di kawasan pantai utara (Pantura) Jawa Tengah. Bahkan kebesaran dua wali
tersebut memberikan justifikasi Kudus sebagai “kota santri”, dengan salah satu indikasinya adalah banyak
pesantren dengan berbagai macam variannya.[9] Dengan demikian, Kudus sebagai kota kecil yang memiliki 86
pesantren produktif dapat menjadi media untuk mencapai tujuan pembangunan daerah melalui mobilisasi
sumber daya lokal (santri dan masyarakat). Produktivitas pesantren dapat dilihat secara manajerial, kurikulum,
kepemimpinan, alih generasi, rekruitmen guru dan santri, serta proses pendidikan dan pembelajaran.
Pesantren dengan berbagai macam spesifikasi, visi, misi, dan orientasinya, menjadi varian menarik,
terutama dalam memajukan pendidikan Islam di Kudus. Pemetaan warisan tradisi Kudus Kulon dan Kudus Wetan
memberikan corak, seperti tradisi dan nuansa keilmuan yang semakin menarik bagi masyarakat di luar Kudus.
Ketertarikan tersebut berpangkal pada wilayah dan kantong-kantong santri yang tidak lagi didominasi oleh
komunitas Menara[10], akan tetapi komunitas dan kantong-kantong lain yang potensial, seperti Jekulo, Undaan,
Gebog dan daerah-daerah pinggiran lainnya.[11]

Selain sebagai wadah pendidikan yang memiliki peranan penting dalam masyarakat, hadirnya seorang
pemimpin pesantren akan sangat mempengaruhi perkembangan sebuah pesantren. Seorang kiai yang dipercaya
memiliki keunggulan secara moral maupun religius sangat penting peranannya dalam masyarakat. Keberadaan
kiai dan pesantren merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Kiai muncul dari pesantren dan
pesantren berkembang dari kiai. Dengan demikian, pesantren beserta kiai-kiai berperanan penting dalam proses
pendidikan masyarakat.[12] Sebagian kiai di Kudus tidak memiliki pesantren dan bahkan tidak memiliki santri
tetap, sehingga tidak selalu terikat secara ketat dengan kegiatan-kegiatan pesantren. Namun demikian, di sisi lain
juga banyak kiai yang memiliki pesantren, walaupun mereka tidak secara full timer (mukimin) menangani
pesantren.[13]

Pada umumnya kebesaran seorang kiai sangat berhubungan dengan kebesaran pesantren yang diasuhnya.
Semakin besar pesantren yang dimiliki seorang kiai, semakin besar ke-kiai-annya, namun tidak demikian yang
terjadi di Kudus. Kondisi pesantren di Kudus tidak sebesar pesantren-pesantren di Jawa Timur. Jumlah pesantren
di Kudus sampai saat ini mencapai puluhan pesantren, namun yang terbesar ada tiga, yakni Pondok Tahfidz
Yanbu’ul Qur’an (PTYQ), Pondok Pesantren Darul Falah Jekulo dan Pondok Pesantren al-Muayyad Kudus.
Pesantren yang pertama memiliki lebih kurang 900 santri dengan fokus pembelajaran menghafal al-Qur’an dan
pesantren ke dua memiliki lebih kurang 600 santri dengan pembelajaran ilmu-ilmu syariah dan dalail al-khairot,
dan pesantren ke tiga memiliki santri sekitar 600 orang. Pesantren-pesantren yang lain memiliki santri lebih
kurang 100 orang.

Salah satu pondok pesantren besar di Kabupaten Kudus adalah pondok pesantren Darul Falah. Pesantren
salaf yang terkenal dengan Thariqah Dalail al-Khairat ini berlokasi di Desa Jekulo, Kecamatan Jekulo, Kudus.
Wilayah Kecamatan Jekulo termasuk dalam wilayah “Kudus Wetan”. Pondok pesantren yang didirikan oleh KH
Ahmad Basyir pada tahun 1970 ini memegang teguh ajaran Dalail al-Khairat dengan ciri khas puasa bertahun-
tahun. Pondok pesantren Darul Falah memiliki motto “Njiret Weteng, Nyengkal Mata” yang memiliki makna
''Masa muda bersusah payah, maka pada saat tua akan menemukan kesuksesan. Sengsara itu berati berani lapar,
berani bangun tengah malam, dalam artian untuk belajar.'' Motto kalimat ini bersumber dari petuah Sunan
Kalijogo dalam salah satu Kitab Jawa yang menyerukan para santrinya untuk berperilaku prihatin dan bersahaja
(tidak mementingkan kenikmatan lahiriah).[14] Ajaran tersebut menjadi salah satu dasar dari ajaran Dalail al-
Khairat yang dikembangkan di pesantren Darul Falah. Dalail al-Khairat adalah salah satu ijazah dengan ciri khas
puasa bertahun-tahun, yang di kalangan masyarakat awam dikenal dengan sebutan puasa dalail.[15] Ijazah Dalail
al-Khairat ini pula yang menjadi ciri khas Pesantren Darul Falah.

Santri-santri yang belajar di Pesantren Darul Falah ini berasal dari berbagai daerah, yaitu: Kudus, Jepara, Demak,
Kendal, Cirebon, Jakarta, Tangerang, Banten, dan sejumlah kota di Sumatera. Di pesantren ini dipersiapkan
asrama atau pondok yang digunakan oleh para santri untuk tinggal selama mereka belajar. Santri-santri yang
belajar di pesantren Darul Falah terdiri atas santri putra dan santri putri.

Pesantren Darul Falah menerapkan metode pembelajaran perpaduan antara sistem tradisional dan sistem
modern. Penggunaan sistem tradisional, berlangsung pada proses pengkajian kitab salaf dengan cara bandongan
dan sorogan. Metode modern diadopsi dengan adanya pengelompokan santri sesuai dengan tingkat
kemampuannya.

Dengan lahirnya UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pondok pesantren memasuki
babak baru dalam dunia pendidikan di negeri ini. Pondok pesantren telah masuk dalam bagian yang tak
terpisahkan dalam sistem pendidikan nasional.[16] Dalam pasal 15 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional disebutkan bahwa jenis pendidikan mencakup pendidikan umum, kejuruan,
akademik, profesi, vokasi, keagamaan, dan khusus. Kemudian dalam pasal 30 ayat 4 dijelaskan bahwa pendidikan
keagamaan berbentuk pendidikan diniyah, pesantren, pasraman, pabhaja samanera dan bentuk lain yang
sejenis.[17] Dengan adanya ketentuan ini, secara formal pesantren adalah bagian dari sistem pendidikan nasional
yang berhak mendapatkan perhatian serius sebagaimana sub-sistem pendidikan yang lain.[18]

Undang-Undang ini memiliki dampak yang positif bagi perkembangan pendidikan di Pesantren. Fenomena ini
dapat dilhat juga pada perkembangan pendidikan di Pesantren Darul Falah. Karena metode pembelajaran yang
diterapkan sangat sistematis, Pada tahun 2003 pesantren Darul Falah dipercaya sebagai pengelola program wajib
belajar 9 tahun di Kabupaten Kudus. Dengan program ini, para santri yang telah menempuh pendidikan selama 9
tahun di pesantren ini diakui setara dengan menempuh pendidikan 9 tahun program pendidikan yang
diselenggarakan oleh pemerintah.

Hal ini memiliki efek positif bagi para santri. Program pendidikan dasar (dikdas) ini menjadikan para santri yang
lulus ujian mengantongi dua dokumen kelulusan yang setara dengan ijazah MI/SD atau MTs/SMP masing-masing
Surat Tanda Lulus (STL) dari Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) dan Departemen Agama (Depag).
Dengan dokumen itu, para santri salaf bisa melanjutkan ke jenjang pendidikan formal yang lebih tinggi atau
memasuki pasaran kerja.[19]

Dalam perkembangannya pada tahun 2004 untuk memudahkan pengelolaan, kepengurusan pondok pesantren
dipecah menjadi empat, yakni Darul Falah I, II, III, dan IV. Darul Falah I dan II diperuntukan bagi santri putra,
sedangkan Darul Falah III dan IV untuk santri putri. Kegiatan belajar para santri terdiri atas kegiatan harian,
mingguan, dan selapanan atau bulanan. Kegiatan harian meliputi program tahfidh Alquran untuk santri putri,
jamaah shalat, tadarus, kajian kitab sekolah pagi, musyawarah wajib, musyafahah Alquran, takhashshush An-
Nasyri dan diakhiri qiyam al-lail.[20]

Penutup

Sesungguhnya pondok pesantren (madrasah) sangat memiliki andil yang sangat besar dalam meningkatkan
pendidikan Islam di Indonesia. Karena pendidikan yang kita rasakan saat ini, sesungguhnya berawal dari
madrasah atau pondok pesantren yang dipandu oleh para kiyai atau tuan guru, ini terbukti dengan banyaknya
pondok pesantren yang menjamur di setiap daerah dan pulau seantero negara Indonesia ini, baik dari Sabang
sampai Merauke.
Perlu kita ketahui bersama bahwa madrasah atau pondok pesantren terduhulu sesungguhnya memiliki
perbedaan yang mencolok dengan pondok-pondok pesantren zaman sekarang, baik dari mata pelajaran yang
dipelajari maupun dari tradisi-tradisi yang dilakukan. Bila melihat pondok pesantren yang terdahulu yang
memiliki ciri khas dalam mengkaji kitab-kitab yang dikarang oleh para kiyai mereka baik dalam bahasa Arab
maupun dalam bahasa Melayu. Pergeseran yang kita rasakan saat ini tentunya disesuaikan dengan kebutuhan
masyarakat dimana pondok pesantren itu berada.

Terlepas dari berbedaan yang ada di dalam pondok pesantren baik tempo dulu maupun pondok pesantren saat
ini, tentunya yang menjadi perhatian kita adalah maanfaat dari keberaan madrasah atau pondok pesantren
tersebut yang mana dengan adanya pondok pesantren atau madrasah di sekeliling kita menunjukkan bahwa
pendidikan Islam di Indonesia tidak bisa dikalahkan dengan pendidikan-pendidikan umum yang sudah menjamur
seiring dengan perkembangan zaman dan majunya teknologi. Dengan adanya buku sejarah yang membahasa
tentang perkembangan pendidikan Islam di Indonesia memberikan dampak yang sangat positif bagi kita,
sehingga kita bisa mengenal lebih jauh tentang keberadaan madrasah atau pondok pesantren dalam
menyebarkan pendidikan Islam di Indonesia.

[1]Amin Haedari, “Mengembangkan Pendidikan Pesantren Berbasis Tradisi”, Jurnal Pondok Pesantren Mihrab
Edisi II Tahun IV (Departemen Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren dan CV. Kawula Muda Jakarta, 2006),
46.

[2]Taufik Abdullah, Islam dan Masyarakat Pantulan Sejarah Indonesia (Jakarta: LP3ES, 1987), 110.

[3] Jamaluddin, Asia Tenggara Masa Modern Awal : Book Review, 1-2.

[4]Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500-1900 Dari Emporium Sampai Imperium (Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 1993), 35. Bukti yang jelas mengenai kecenderungan mistis dalam Islam di Indonesia
telah memberi kesan bahwa kaum sufi yang menjadi agen utama Islamisasi. A. H. Johns adalah pendukung
utama argumen ini. Ia menjelaskan bahwa Islamisasi di Indonesia bersamaan waktunya dengan periode ketika
sufisme mulai mendominasi dunia Islam. Lihat juga M. C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2004 (Jakarta:
Serambi, 2005), 46.

[5]M. Ibad El-Munim, “Daurah Ulama dan Penguatan Peran Pesantren”, Bina Pesantren Edisi 1, Tahun I
( Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren dan CV. Harisma Jaya Jakarta, 2006), 48.
[6]Amin Haedari dan M. Ishom El-Saha, Peningkatan Mutu Terpadu Pesantren dan Madrasah Diniyah (Jakarta:
Diva Pustaka, 2004), 2. Lihat juga H.M. Sulthon dan Moh. Khusnuridlo, Manajemen Pondok Pesantren dalam
Perspektif Global (Yogyakarta: Laksbang, 2006), 6.

[7]Marwati Djoened Poeponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia III (Jakarta: Balai
Pustaka, 1993), 192.

[8]Sulthon dan Khusnuridlo..., 14.

[9]Em Nadjib Hassan, et al., Profil Pesantren Kudus (Kudus: Cermin, 2005), 2.

[10]Menara (Masjid dan Menara Kudus) merupakan salah satu warisan peninggalan dari Sunan Kudus.
Komunitas Menara menunjuk pada sebuah daerah yang masih termasuk wilayah Kudus Kulon (sebelah barat Kali
Gelis), yang banyak berdiri pesantren. Pesantren-pesantren tersebut banyak terdapat di sekitar Masjid dan
Menara Kudus.

[11]Di daerah Jekulo terdapat 16 Pesantren, di Undaan terdapat 10 pesantren, dan di Gebog berdiri 10
pesantren. Fakta-fakta ini menunjukkan persebaran pesantren di Kabupaten Kudus sudah mulai merata. Lihat Em
Nadjib Hassan…, 50-57.

[12]Poesponegoro dan Notosusanto, Ibid.,

[13]Ibid., 3.

[14]Suara Merdeka, 24 Oktober 2005.

[15]Ibid., 105.

[16]Amin Haedari, kata pengantar dalam Direktori Pesantren (Jakarta: Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok
Pesantren Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Departemen Agama Republik Indonesia, 2007), iii.

[17]Pemerintah Republik Indonesia, Undang-Undang Sisdiknas (Sistem Pendidikan Nasional) 2003, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2003), 10 dan 16.

[18]Fatah Syukur, “Sistem Nilai dalam Budaya Organisasi di Pesantren”, Forum Tarbiyah Jurnal Pendidikan Islam
STAIN Pekalongan Vol. 2, No. 2 (Jurusan Tarbiyah STAIN Pekalongan, 2004), 152-153.

[19]S. Huda, “Wajar Dikdas di Pesantren Salafiyah”. Rindang No. 11 Tahun XXX Juni (Semarang: Departemen
Agama Propinsi Jawa Tengah, 2006), 9.

[20]Departemen Agama Kabupaten Kudus, Lima (5) Profil Pondok Pesantren Di Kudus (Departemen Agama
Kabupaten Kudus, 2008), 21-22.

Diposkan oleh mutawalli lomboktengah di 02.23 Kirimkan Ini lewat Email

BlogThis!

Berbagi ke Twitter
Berbagi ke Facebook

Bagikan ke Pinterest

Tidak ada komentar:

Poskan Komentar

Posting Lebih Baru

Beranda

Langganan: Poskan Komentar (Atom)

Arsip Blog

▼ 2013 (3)

▼ Maret (3)

ULANGAN MID SEMESTER

Kumpulan Soal Agama Islam SD

Book Review Peran Pondok Pesantren (Madrasah) Dala...Mengenai Saya

mutawalli lomboktengah

Lihat profil lengkapku

Google+ Followers

Template Simple. Gambar template oleh gaffera. Diberdayakan oleh Blogger.


MODERNISASI SISTEM PENDIDIKAN PESANTREN

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pesantren merupakan salah satu jenis pendidikan Islam Indonesia yang bersifat tradisional untuk mendalami
ilmu agama Islam dan mengamalkan sebagai pedoman hidup keseharian. Pesantren telah hidup sejak ratusan
tahun yang lalu, serta telah menjangkau hamper seluruh lapisan masyarakat muslim. Pesantren telah diakui
sebagai lembaga pendidikan yang telah ikut mencerdaskan kehidupan bangsa. Pada masa kolonialisme
berlangsung, pesantren merupakan lembaga pendidikan agama yang sangat berjasa bagi masyarakat dalam
mencerahkan dunia pendidikan. Tidak sedikit pemimpin bangsa yang ikut memproklamirkan kemerdekaan
bangsa ini adalah alumni atau setidak-tidaknya pernah belajar di pesantren.

Namun, kini reputasi pesantren tampaknya dipertanyakan oleh sebagian masyarakat Muslim Indonesia.
Mayoritas pesantren masa kini terkesan berada di menara gading, elitis, jauh dari realitas social. Problem
sosialisasi dan aktualisasi ini ditambah lagi dengan problem keilmuan, yaitu terjadi kesenjangan, alienasi
(keterasingan) dan differensiasi (pembedaan) antara keilmuan pesantren dengan dunia modern. Sehingga
terkadang lulusan pesantren kalah bersaing atau tidak siap berkompetisi dengan lulusan umum dalam urusan
profesionalisme di dunia kerja. Dunia pesantren dihadapkan kepada masalah-masalah globalisasi, yang dapat
dipastikan mengandung beban tanggung jawab yang tidak ringan bagi pesantren.

Semakin disadari, tantangan dunia pesantren semakin besar dan berat dimasa kini dan mendatang. Paradigma
“mempertahankan warisan lama yang masih relevan dan mengambil hal terbaru yang lebih baik” perlu
direnungkan kembali. Pesantren harus mampu mengungkai secara cerdas problem kekiniankita dengan
pendekatan-pendekatan kontemporer. Disisi lain, modernitas, yang menurut beberapa kalangan harus segera
dilakukan oleh kalangan pesantren, ternyata berisi paradigm dan pandangan dunia yang telah merubah cara
pandang lama terhadap dunia itu sendiri dan manusia.

Dalam konteks yang dilematis ini, pilihan terbaik bagi insane pesantren adalah mendialogkannya dengan
paradigm dan pandangan dunia yang telah diwariskan oleh generasi pencerahan Islam. Maksudnya, insane
pesantren perlu memosisikan warisan masa lalu sebagai “teman dialog” bagi modernitas dengan segala produk
yang ditawarkannya. Mereka harus membaca khazanah lama dan baru dalam frame yang terpisah. Masa lalu
hadir atau dihadirkan dengan terang dan jujur, lalu dihadapkan dengan kekinian. Boleh jadi masa lalu tersebut
akan tampak “basi” dan tak lagi relevan, namun tak menutup kemungkinan masih ada potensi yang dapat
dikembangkan untuk zaman sekarang.

Salah satu hal yang perlu dimodifikasi adalah system pendidikan pesantren. System pembelajaran tradisional,
yaitu sorogan, bandongan, balaghan, atau halaqah seharusnya mulai diseimbangkan dengan system
pembelajaran modern. Dalam aspek kurikulum juga seharusnya kalangan pesantren berani mengakomodasi dari
kurikulum pemerintah.

B. Rumusan Masalah

Apa pengertian pesantren?

Apa saja macam-macam pesantren?

Bagaimana dinamika pesantren mulai ada hingga sekarang?

Bagaimana system pendidikan pesantren?

Apa saja dan bagaimana model pendidikan dalam proses modernisasi system pendidikan pesantren?

Apa pengaruh modernisasi system pendidikan pesantren terhadap eksistensi pesantren itu sendiri

BAB II

PESANTREN

A. Pengertian Pesantren

Secara bahasa, kata pesantren berasal dari kata santri dengan awalan pe- dan akhiran -an (pesantrian) yang
berarti tempat tinggal para santri. Sedangkan kata santri sendiri berasal kata “sastri”, sebuah kata dari bahasa
sansekerta yang artinya melek huruf. Dalam hal ini menurut Nur Cholis Majid agaknya didasarkan atas kaum
santri adalah kelas literary bagi orang jawa yang berusaha mendalami agama melalui kitab-kitab bertulisan dan
berbahasa Arab. Ada juga yang mengatakan bahwa kata santri berasal dari bahasa Jawa, dari kata “cantrik”, yang
berarti seseorang yang selalu mengikuti seorang guru kemana guru itu pergi menetap.

Sedangkan secara istilah, Husein Nasr mendefinisikan pesantren dengan sebutan dunia tradisional Islam.
Maksudnya, pesantren adalah dunia yang mewarisi dan memelihara kontinuitas tradisi Islam yang dikembangkan
ulama’ (kiai) dari masa ke masa, tidak terbatas pada periode tertentu dalam sejarah Islam.

Di Indonesia, istilah pesantren lebih populer dengan sebutan pondok pesantren. Lain halnya dengan pesantren,
pondok berasal dari bahasa Arab funduq, yang berarti hotel, asrama, rumah, dan tempat tinggal sederhana.Dari
terminology diatas, mengindikasikan bahwa secara kultural pesantren lahir dari budaya Indonesia. Mungkin dari
sinilah Nur Cholis Majid berpendapat bahwa secara historis, pesantren tidak hanya mengandung makna
keislaman, tetapi juga makna keaslian Indonesia. Sebab, memang cikal bakal lembaga pesantren sebenarnya
sudah ada pada masa Hindu-Budha, dan Islam tinggal meneruskan, melestarikan, dan mengislamkannya.

B. Bentuk-Bentuk Pesantren

Tentang bentuk-bentuk pesantren yang tersebar di seluruh Indonesia, beberapa pengamat mengklasifikasikan
pesantren menjadi empat macam, yaitu:

Pesantren salafi, yaitu pesantren yang tetap mempertahankan pelajarannya dengan kitab-kitab klasik, dan tanpa
tanpa diberikan pengetahuan umum. Model pengajarannya pun sebagaimana yang lazim diterapkan dalam
pesantren salaf, yaitu sorogan dan weton. 11 Weton adalah pengajian yang inisiatifnya berasal dari kyai sendiri,
baik dalam menentukan tempat, waktu, maupun lebih-lebih kitabnya. Sedangkan sorogan adalah pengajian yang
merupakan permintaan dari seseorang atau beberapa orang santri kepada kyainya untuk diajarkan kitab-kitab
tertentu. 12 Sedangkan istilah salaf ini bagi kalangan pesantren mengacu kepada pengertian “pesantren
tradisional” yang justru sarat dengan pandangan dunia dan praktek islam sebagai warisan sejarah, khususnya
dalam bidang syari’ah dan tasawwuf. Misalnya: pesantren Lirboyo Kediri, Pesantren Tarbiyatun Nasyi’in Jombang,
dan lain sebagainya.

Pesantren khalafi, yaitu pesantren yang menerapkan sistem pengajaran klasikal (madrasi0, memberikan ilmu
pengetahuan umum dan agama dan juga memberikan keterampilan umum. Pesantren jenis ini juga membuka
sekolah-sekolah umum. Misalnya: Pesantren Tebuireng Jombang, Pesantren Tambak Beras Jombang, dan lain
sebagainya.

Pesantren kilat, yaitu pesantren yang berbentuk semacam training dalam waktu yang relatif singkat, dan
biasanya dilaksanakan pada waktu
liburan sekolah. Misalnya Pesantren La Raiba Jombang yang programnya adalah pelatihan menghafal asam’ul
husna, Al Qur’an dan yang lain sebagainya dengan metode Hanifida, metode khas pesantren tersebut.

Pesantren terintegrasi, yaitu pesantren yang lebih menekankan pada pendidikan vocasional atau kejujuran,
sebagaimana balai pelatihan kerja, dengan program yang terintegrasi. Santrinya kebanyakan berasal dari
kalangan anak putus sekolah atau para pencari kerja.

C. Dinamika Pesantren

Dalam perspektif sejarah, lembaga pendidikan yang terutama berbasis di pedesaan ini telah mengalami
perjalanan sejarah yang panjang, sejak sekitar abad ke-18. 17 bahkan ada yang mengatakan sejak abad ke-13.
Beberapa abad kemudian penyelenggaraan pendidikan ini semakin teratur dengan munculnya tempat-tempat
pengajian. Bentuk ini kemudian berkembang dengan pendirian tempat-tempat menginap bagi para pelajar
(santri), yang kemudian disebut pesantren. 18 Pesantren pertama didirikan oleh Syekh Maulana Malik Ibrahim.
19 Meskipun bentuknya masih sangat sederhana, pada waktu itu pendidikan pesantren merupakan satu-satunya
lembaga pendidikan yang terstruktur. Sehingga pendidikan ini dianggap sangat bergengsi. Di lembaga inilah kaum
muslimin Indonesia mendalami doktrin dasar Islam, khususnya menyangkut praktek kehidupan keagamaan.

Lembaga ini semakin berkembang pesat dengan adanya sikap non kooperatif para ulama terhadap kebijakan
“politik etis” pemerintah kolonial Belanda dengan memberikan pendidikan modern, termasuk budaya barat.
Namun pendidikan yang diberikan sangat terbatas, hanya sekitar 3% penduduk Indonesia. Berarti sekitar 97%
penduduk Indonesia buta huruf. Sikap para ulama tersebut dimanifestasikan dengan mendirikan pesantren di
daerah-daerah yang jauh dari kota untuk menghindari intervensi Belanda serta memberi kesempatan kepada
rakyat yang belum mendapat pendidikan.

Pada tahun 1860-an, jumlah pesantren mengalami peledakan jumlah yang sangat signifikan, terutama di Jawa
yang diperkirakan 300 buah. Perkembangan tersebut ditengarai berkat dibukanya terusan Suez pada 1869
sehingga memungkinkan banyak pelajar Indonesia mengikuti pendidikan di Mekkah. Sepulangnya ke kampung
halaman, mereka membentuk le,baga pesantren di daerahnya masing-masing.

Pada era 1970-an, pesantren mengalami perubahan yang sangat signifikan yang tampak dalam beberapa hal.
Pertama, peningkatan secara kuantitas terhadap jumlah pesantren. Tercatat di Departemen Agama, bahwa pada
tahun 1977, ada 4.195 pesantren dengan jumlah santri sebanyak 667.384 orang. Jumlah tersebut meningkat
menjadi 5.661 pesantren dengan 938.397 orang santri pada tahun 1981. kemudian jumlah tersebut menjadi
15.900 pesantren dengan jumlah santri sebanyak 5,9 juta orang pada tahun 1985. 23Kedua, menyangkut
penyelenggaraan pendidikan. Perkembangan bentuk-bentuk pendidikan di pesantren tersebut diklasifikasikan
menjadi empat, yaitu:

Pesantren yang menyelenggarakan pendidikan formal dengan menerapkan kurikulum nasional, baik yang hanya
memiliki sekolah keagamaan maupun yang juga memiliki sekolah umum. Seperti Pesantren Denanyar Jombang,
Pesantren Darul Ulum Jombang, dan lain-lain.

Pesantren yang hanya mengajarkan ilmu-ilmu pengetahuan agama dalam bentuk Madrasah Diniyah, seperti
Pesantren Lirboyo Kediri, Pesantren Ploso Kediri, Pesantren Sumber Sari Kediri, dan lain sebagainya.

Pesantren yang hanya sekedar manjadi tempat pengajian, seperti Pesantren milik Gus Khusain Mojokerto.

Pesantren yang menyelenggarakan pendidikan keagamaan dalam bentuk Madrasah dan mengajarkan ilmu-ilmu
pengetahuan umum meski tidak menerapkan kurikulum nasional. Dengan kata lain, ia mengunakan kurikulum
sendiri. Seperti Pesantren Modern Gontor Ponorogo, dan Darul Rahman Jakarta. kurikulum sendiri. Seperti
Pesantren Modern Gontor Ponorogo, dan Darul Rahman Jakarta.

Perkembangan akhir-akhir ini menunjukkan bahwa beberapa pesantren ada yang tetap berjalan meneruskan
segala tradisi yang diwarisinya secara turun temurun, tanpa ada perubahan dan improvisasi yang berarti, kecuali
sekedar bertahan. Namun ada juga pesantren yang mencoba mencari jalan sendiri, dengan harapan
mendapatkan hasil yang lebih baik dalam waktu singkat. Pesantren semacam ini adalah pesantren yang
kurikulumnya berdasarkan pemikiran akan kebutuhan santri dan masyarakat sekitarnya. 28

Meskipun demikian, semua perubahan itu, sama sekali tidak mencerabut pesantren dari akar kulturnya. Secara
umum pesantren tetap memiliki fungsi-fungsi sebagai: (1) Lembaga pendidikan yang melakukan transfer ilmu-
ilmu pengetahuan agama (tafaqquh fi addin) dan nilai-nilai islam (Islamic values). (2) Lembaga keagamaan yang
melakukan kontrol sosial (social control). (3) Lembaga keagamaan yang melakukan rekayasa sosial (Social
engineering). Perbedaan-perbedaan tipe pesantren diatas hanya berpengaruh pada bentuk aktualisasi peran-
peran ini.

BAB III

MODERNISASI PENDIDIKAN PESNTREN

A. Model Modernisasi Pendidikan Pesantren


Modernisasi atau inovasi pendidikan pesantren dapat diartikan sebagai upaya untuk memecahkan masalah
pendidikan pesantren. Atau dengan kata lain, inovasi pendidikan pesantren adalah suatu ide, barang, metode
yang dirasakan atau diamati sebagai hal yang baru bagi seseorang atau sekelompok orang , baik berupa hasil
penemuan (invention) maupun discovery, yang digunakan untuk mencapai tujuan atau memecahkan masalah
pendidikan pesantren.

Miles mencontohkan inovasi (modernisasi) pendidikan adalah sebagai berikut

Bidang personalia. Pendidikan yang merupakan bagian dari sistem sosial, tentu menentukan personel sebagai
komponen sistem. Inovasi yang sesuai dengan komponen personel misalnya adalah peningkatan mutu guru,
sistem kenaikan pangkat, dan sebagainya. 31 Dalam hal ini, pesantren telah di bantu dengan adanya program
Beasiswa S1 untuk guru diniyah oleh Departemen Agama.

Fasilitas fisik. Inovasi pendidikan yang sesuai dengan komponen ini misalnya perubahan tempat duduk,
perubahan pengaturan dinding ruangan perlengkapan Laboratorium bahasa, laboratorium Komputer, dan
sebagainya. 32

Pengaturan waktu. Suatu sistem pendidikan tentu memiliki perencanan penggunaan waktu. Inovasi yang relevan
dengan komponen ini misalnya pengaturan waktu belajar, perubahan jadwal pelajaran yang dapat memberi
kesempatan siswa/mahasiswa untuk memilih waktu sesuai dengan keperluannya, dan lain sebagainya.

Menurut Nur Cholis Majid, yang paling penting untuk direvisi adalah kurikulum pesantren yang biasanya
mengalami penyempitan orientasi kurikulum. Maksudnya, dalam pesantren terlihat materinya hanya khusus
yang disajikan dalam bahasa Arab. Mata pelajarannya meliputi fiqh, aqa’id, nahwu-sharf, dan lain-lain.
Sedangkan tasawuf dan semangat keagamaan yang merupakan inti dari kurikulum keagamaan cenderung
terabaikan. Tasawuf

hanya dipelajari sambil lalu saja, tidak secara sungguh-sungguh. Padahal justru inilah yang lebih berfungsi dalam
masyarakat zaman modern. Disisi lain, pengetahuan umum nampaknya masih dilaksanakan secara setengah-
setengah, sehingga kemampuan santri biasanya samgat terbatas dan kurang mendapat pengakuan dari
masyarakat umum. Maka dari itu, Cak Nur menawarkan kurikulum Pesantren Modern Gontor sebagai model
modernisasi pendidikan pesantren.

B. Plus Minus Modernisasi Pendidikan Pesantren


Dalam menanggapi gagasan ini, tampak kalangan pesantren terbelah menjadi dua, yaitu pro dan kontra. Adanya
kontroversi ini mungkin lebih disebabkan pada perbedaan pendapat mereka tentang bagaimana sikap pesantren
dalam menghadapi era globalisasi. Mereka yang pro mengatakan bahwa modernisasi pesantren akan memberi
angin segar bagi pesantren. Mereka menganggap bahwa banyak sisi positif yang akan diperoleh dengan
modernisasi pendidikan di pesantren. Di antara sisi positif tersebut adalah sebagai berikut:

Sebagai bentuk adaptasi pesantren terhadapperkembangan era globalisasi. Hal ini mutlak harus dilakukan agar
pesantren tetap eksis.

Sebagai upaya untuk memperbaiki kelemahan dalam sistem pendidikan pesantren.

Sedangkan bagi kalangan pesantren yang tidak setuju dengan gagasan modernisasi berpendapat bahwa gagasan
tersebut banyak sisi negatifnya, diantaranya adalah: Modernitas akan merubah cara pandang lama terhadap
dunia dan manusia.

Terlepas dari polemik tersebut, perbedaan pendapat yang terjadi telah mendatangkan sisi positif tersendiri bagi
pesantren. Hal itu telah membuktikan hadits Nnabi Muhammad Saw ”ikhtilafu ummati rahmatun” yang artinya
”perbedaan pendapat dalam umatku adalah rahmat”. Diantara manfaat dari perbedaan pendapat dalam
masalah ini adalah: Melahirkan banyak pesantren yang bervariasi. Banyak pesantren yang memiliki ciri khas
masing-masing. Ini memberikan banyak pilihan kepada calon santri dalam menentukan pesantren yang sesuai
dengan bakat, minat serta cita-citanya.

Lahirnya santri yang beraneka ragam. Hal ini mengubur paradigma bahwa santri hanya mampu di bidang agama
saja. Saat ini, banyak sekali santri yang ahli di bidang pengetahuan umum.

BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

Pesantren merupakan salah satu jenis pendidikan Islam Indonesia yang bersifat tradisional untuk mendalami
ilmu agama Islam dan mengamalkan sebagai pedoman hidup keseharian. Pesantren telah hidup sejak ratusan
tahun yang lalu, serta telah menjangkau hamper seluruh lapisan masyarakat muslim. Pesantren telah diakui
sebagai lembaga pendidikan yang telah ikut mencerdaskan kehidupan bangsa. Pada masa kolonialisme
berlangsung, pesantren merupakan lembaga pendidikan agama yang sangat berjasa bagi masyarakat dalam
mencerahkan dunia pendidikan. Tidak sedikit pemimpin bangsa yang ikut memproklamirkan kemerdekaan
bangsa ini adalah alumni atau setidak-tidaknya pernah belajar di pesantren.

Secara bahasa, kata pesantren berasal dari kata santri dengan awalan pe- dan akhiran -an (pesantrian) yang
berarti tempat tinggal para santri. Sedangkan kata santri sendiri berasal kata “sastri”, sebuah kata dari bahasa
sansekerta yang artinya melek huruf. Dalam hal ini menurut Nur Cholis Majid agaknya didasarkan atas kaum
santri adalah kelas literary bagi orang jawa yang berusaha mendalami agama melalui kitab-kitab bertulisan dan
berbahasa Arab. Ada juga yang mengatakan bahwa kata santri berasal dari bahasa Jawa, dari kata “cantrik”, yang
berarti seseorang yang selalu mengikuti seorang guru kemana guru itu pergi menetap.

Secara historis, pesantren tidak hanya mengandung makna keislaman, tetapi juga makna keaslian Indonesia.
Sebab, memang cikal bakal lembaga

pesantren sebenarnya sudah ada pada masa Hindu-Budha, dan Islam tinggal meneruskan, melestarikan, dan
mengislamkannya.

Bentuk-bentuk pesantren yang tersebar di seluruh Indonesia, beberapa pengamat mengklasifikasikan pesantren
menjadi empat macam 41, yaitu:

1. Pesantren salafi.

2. Pesantren khalafi

3. Pesantren kilat.

4. Pesantren terintegrasi.
Dalam perspektif sejarah, lembaga pendidikan yang terutama berbasis di pedesaan ini telah mengalami
perjalanan sejarah yang panjang, sejak sekitar abad ke-18. 42 Bahkan ada yang mengatakan sejak abad ke-13.
saat ini, pekembang pesantren sangat pesat. Pada awal perkembangannya hanya berjumlah 300 buah, dan
berkembang menjadi 15.900 pesantren dengan jumlah santri sebanyak 5,9 juta orang pada tahun 1985. 43 bisa
dibayangkan berapa banyak jumlah pesantren dan santrinya saat ini.

Gagasan modernisasi dianggap perlu dilakukan oleh beberapa kalangan, salah satunya adalah Nur Cholis Majid.
Ia berpendapat bahwa modernisasi ini sebaiknya dilakukan dengan model sistem pendidikan Pesantren Modern
Gontor Ponorogo.

Namun gagasan ini telah memecah kalangan pesantren menjadi dua kubu, pro dan kontra. Namun kontroversi ini
telah menimbulkan variasi tersendiri dikalangan pesantren. Ini merupakan salah satu sisi positif dari perbedaan
pendapat yang terjadi di kalangan pesantren.

B. Saran

Perbedaan pendapat adalah hal yang biasa dalam menyikapi suatu gagasan. Maka dari itu, tidak perlu dibesar-
besarkan. Kalangan pesantren harus bisa bersikap dewasa dan berpikir positif dalam hal ini. Hal ini salah satu
judul buku Harun Yahya,”Seeing good in the something”.

DAFTAR PUSTAKA

A’la, Abd. 2006. Pembaruan Pesantren,cet I. Yogyakarta: PT. LKiS Pelangi Aksara.

Iskandar, Muhaimin. 2007. Gus Dur, Islam dan Kebangkitan Indonesia, Cet.I. Jakarta: KLIK R.

Khozin. 2006. Jejak-jejak Pendidikan Islam di Indonesia, Cet. II. Malang: UMM Press.
Malik, Jamaludin. 2005. Pemberdayaan Pesantren, Menuju Kemandirian dan Profesionalisme Santri dengan
Metode Daurah Kebudayaan, Cet. I,Yogyakarta: Pustaka Pesantren.

Muryono, Mastuki HS, Imam Safe’I, Sulton Mashud, Moh. Khusnuridho. 2005. Manajemen Pondok Pesantren,
Cet. II. Jakarta: Diva Pustaka

Yasmadi. 2002. Modernisasi Pesantren, Kritik Nur Cholis Madjid Terhadap PendidikanIslam Tradisional, Jakarta:
Ciputat Press.

Anda mungkin juga menyukai