Anda di halaman 1dari 17

A.

ANATOMI MEDULA SPINALIS


Medulla spinalis merupakan massa jaringan saraf yang berbentuk silindris
memanjang dan menempati ⅔ atas canalis vertebra yaitu dari batas superior atlas (C1)
sampai batas atas vertebra lumbalis kedua (L2), kemudian medulla spinalis akan
berlanjut menjadi medulla oblongata. Pada waktu bayi lahir, panjang medulla spinalis
setinggi ± Lumbal ketiga (L3). Medulla spinalis dibungkus oleh duramater, arachnoid,
dan piamater. Fungsi sumsum tulang belakang adalah mengadakan komunikasi antara
otak dan semua bagian tubuh dan bergerak refleks.

Medulla spinalis berawal dari ujung bawah medulla oblongata di foramen


magnum. Pada dewasa biasanya berakhir disekitar tulang L1 berakhir menjadi konus
medularis. Selanjutnya akan berlanjut menjadi kauda equina yang lebih tahan terhadap
cedera. Dari berbagai traktus di medulla spinalis, ada 3 traktus yang telah dipelajari
secara klinis, yaitu traktus kortikospinalis, traktus sphinotalamikus, dan kolumna
posterior. Setiap pasang traktus dapat cedera pada satu sisi atau kedua sisinya.
Traktus kortikospinalis, yang terletak dibagian posterolateral medulla spinalis,
mengatur kekuatan motorik tubuh ipsilateral dan diperiksa dengan melihat kontraksi
otot volunter atau melihat respon involunter dengan rangsangan nyeri. Traktus
spinotalamikus, yang terletak di anterolateral medula spinalis, membawa sensasi nyeri
dan suhu dari sisi kontralateral tubuh. Diameter bilateral medulla spinalis bila selalu
lebih panjang dibandingkan diameter ventrodorsal. Hal ini terutama terdapat pada
segmen medulla spinalis yang melayani ekstremitas atas dan bawah. Pelebaran ke arah
bilateral ini disebut intumesens, yang terdapat pada segmen C4-T1 dan segmen L2-S3
(intumesens lumbosakral). Pada permukaan medulla spinalis dapat dijumpai fisura
mediana ventalis, dan empat buah sulkus, yaitu sulkus medianus dorsalis, sulkus
dorsolateralis, sulkus intermediodorsalis dan sulkus ventrolateralis. Pada penampang
transversal medulla spinalis, dapat dijumpai bagian sentral yang berwarna lebih gelap
(abu-abu) yang dikenal dengan istilah gray matter. Gray matter adalah suatu area yang
berbentuk seperti kupu-kupu atau huruf H. Area ini mengandung badan sel neuron
beserta percabangan dendritnya. Di area ini terdapat banyak serat-serat saraf yang
tidak berselubung myelin serta banyak mengandung kapiler-kapiler darah. Hal inilah
yang mengakibatkan area ini berwarna menjadi lebih gelap. Gray matter dapat dibagi
kedalam 10 lamina atau 4 bagian, yaitu : 1. kornu anterior/dorsalis, yang mengandung
serat saraf motorik, terdiri atas lamina VIII, IX, dan bagian dari lamina VII. 2. Kornu
posterior/ventralis, yang membawa serat serat saraf sensorik, terdiri atas lamina I-IV
3. Kornu intermedium, yang membawa serat-serat asosiasi, terdiri atas lamina VII. 4.
Kornu lateral, merupakan bagian dari kornu intermedium yang terdapat pada segmen
torakal dan lumbal yangmembawa serat saraf simpatis.
Setiap segmen medula spinalis memiliki empat radix, sebuah radix ventralis
dan sebuah radix posterior pada sisi kiri dan sepasang di sisi kanan. Radix saraf ini
keluar dari kolumna vertebralis melalui foramina intervetebralis. Pada spina servikalis,
radix keluar melewati bagian atas kolumna vertebralis, sedangkan pada segmen bawah
T1 radix keluar melewati bagian bawah korpus vertebralis. Radix ventralis berfungsi
sebagai traktus motoris yang keluar dari medula spinalis, sedangkan radix posterior
bersifat sensoris terhadap struktur superfisial dan profunda tubuh. Perjalanan serabut
saraf dalam medulla spinalis terbagi menjadi dua jalur, jalur desenden dan asenden.
Jalur desenden terdiri dari:
1. Traktus kortikospinalis lateralis
2. Traktus kortikospinalis anterior,
3. Traktus vestibulospinalis,
4. Traktus rubrospinalis,
5. Traktus retikulospinalis,
6. Traktus tektospinalis,
7. Fasikulus longitudinalis medianus Jalur Asenden terdiri dari :
a. Sistem kolumna vertebralis
b. Traktus spinothalamikus
c. Traktus spinocerebellaris dorsalis
d. Traktus spinocerebellaris ventralis
e. Traktus spinoretikularis.
Jalur desenden sebagian besar berfungsi untuk mengatur gerakan motorik, baik
yang disadari maupun mengatur derajat refleks. Jalur asenden lebih merupakan
pembawa informasi pada otak seperti rasa nyeri, suhu, getaran, raba, dan posisi tubuh
(Advance Trauma Life Support for Doctor, G.B Tjokorda, 2009. Guyton, 1997)
 DEFINISI

Trauma spinal adalah injuri/cedera/trauma yang terjadi pada spinal, meliputi


spinal collumna maupun spinal cord, dapat mengenai elemen tulang, jaringan lunak,
dan struktur saraf pada cervicalis, vertebralis dan lumbalis akibat trauma berupa jatuh
dari ketinggian, kecelakaan lalu lintas, kecelakaan olah raga, dan sebagainya. Trauma
spinalis menyebabkan ketidakstabilan kolumna vertebral (fraktur atau pergeseran satu
atau lebih tulang vertebra) atau injuri saraf yang aktual maupun potensial (kerusakan
akar-akar saraf yang berada sepanjang medula spinalis sehingga mengakibatkan defisit
neurologi).

 KLASIFIKASI

Klasifikasi cedera medulla spinalis berdasarkan lokasi cedera, antara lain :

a. Cedera Cervikal
 Lesi C1-C4
Pada lesi C1-C4, otot trapezius, sternomastoideus, dan otot platisma
masih berfungsi. Otot diafragma dan interkostal mengalami paralisis dan
tidak ada gerakan volunter (baik secara fisik maupun fungsional). Di bawah
transeksi spinal tersebut. Kehilangan sensori pada tingkat C1-C3 meliputi
oksipital, telinga dan beberapa daerah wajah.
Pasien pada quadriplegia C1, C2 dan C3 membutuhkan perhatian penuh
karena ketergantungan terhadap ventilator mekanis. Orang ini juga tergantung
semua aktivitas kebutuhan sehari-harinya. Quadriplegia pada C4 mungkin juga
membutuhkan ventilator mekanis tetapi dapat dilepas. Jadi penggunaannya
secara intermitten saja.
 Lesi C5
Bila segmenC5 medulla spinalis mengalami kerusakan, fungsi diafragma
rusak sekunder terhadap edema pascatrauma akut. Paralisis intestinal dan dilatasi
lambung dapat disertai dengan depresi pernafasan. Quadriplegia pada C5
biasanya mengalami ketergantungan dalam melakukan aktivitas seperti mandi,
menyisir rambut, mencukur, tetapi pasien mempunyai koordinasi tangan dan
mulut yang lebih baik.
 Lesi C6
Pada lesi segmen C6, distress pernafasan dapat terjadi karena paralisis
intestinal dan edema asenden dari medulla spinalis. Biasanya akan terjadi
gangguan pada otot bisep, triep, deltoid dan pemulihannya tergantung pada
perbaikan posisi lengan. Umumnya pasien masih dapat melakukan aktivitas
higiene secara mandiri, bahkan masih dapat memakai dan melepaskan baju.
 Lesi C7
Lesi medulla pada tingkat C7 memungkinkan otot diafragma dan
aksesoris untuk mengkompensasi otot abdomen dan interkostal. Fleksi jari
tangan biasanya berlebihan ketika kerja refleks kembali. Quadriplegia C7
mempunyai potensi hidup mandiri tanpa perawatan dan perhatian khusus.
Pemindahan mandiri, seperti berpakaian dan melepas pakaian melalui
ekstrimitas atas dan bawah, makan, mandi, pekerjaan rumah yang ringan dan
memasak.
 Lesi C8

Hipotensi postural bisa terjadi bila pasien ditinggikan pada posisi duduk
karena kehilangan control vasomotor. Hipotensi postural dapat diminimalkan
dengan pasien berubah secara bertahap dari berbaring ke posisi duduk. Jari
tangan pasien biasanya mencengkram. Quadriplegia C8 harus mampu hidup
mandiri, mandiri dalam berpakaian, melepaskan pakaian, mengemudikan mobil,
merawat rumah, dan perawatan diri.
b. Cedera Torakal
 Lesi T1-T5
Lesi pada region T1-T5 dapat menyebabkan pernafasan dengan
diafragmatik. Fungsi inspirasi paru meningkat sesuai tingkat penurunan lesi pada
toraks. Hipotensi postural biasanya muncul. Timbul paralisis parsial dari otot
adductor pollici, interoseus, dan otot lumrikal tangan, seperti kehilangan sensori
sentuhan, nyeri, dan suhu.
 Lesi T6-T12

Lesi pada tingkat T6 menghilangkan semua refleks adomen. Dari tingkat


T6 ke bawah, segmen-segmen individual berfungsi, dan pada tingkat 12, semua
refleks abdominal ada. Ada paralisis spastik pada tubuh bagian bawah. Pasien
dengan lesi pada tingkat torakal harus befungsi secara mandiri.

Batas atas kehilangan sensori pada lesi torakal adalah:

- T2 Seluruh tubuh sampai sisi dalam dari lengan atas

- T3 Aksilla

- T5 Putting susu

- T6 Prosesus xifoid

- T7, T8 Margin kostal bawah

- T10 Umbilikus

- T12 Lipat paha

c. Cedera Lumbal

 Lesi L1-L5

Kehilangan sensori lesi pada L1-l5 yaitu:

- L1 Semua area ekstrimitas bawah, menyebar ke lipat paha & bagian


belakang dari bokong.
- L2 Ekstrimitas bagian bawah kecuali sepertiga atas aspek anterior paha
- L3 Ekstrimitas bagian bawah dan daerah sadel.
- L4 Sama dengan L3, kecuali aspek anterior paha.

- L5 Aspek luar kaki dan pergelangan kaki serta ekstrimitas bawah dan area
sadel.
d. Cedera Sakral
 Lesi S1-S6
Pada lesi yang mengenai S1-S5, mungkin terdapat beberapa perubahan
posisi dari telapak kaki. Dari S3-S5, tidak terdapat paralisis dari otot kaki.
Kehilangan sensasi meliputi area sadel, skrotum, dan glans penis, perineum, area
anal, dan sepertiga aspek posterior paha.

e. Klasifikasi berdasarkan keparahan

1. Klasifikasi Frankel :
Grade A : motoris (-), sensoris (-)
Grade B : motoris (-), sensoris (+)
Grade C : motoris (+) dengan ROM 2 atau 3, sensoris (+)
Grade D : motoris (+) dengan ROM 4, sensoris (+)
Grade E : motoris (+) normal, sensoris (+)

2. Klasifikasi ASIA (American Spinal Injury Association)


Grade A : motoris (-), sensoris (-) termasuk pada segmen sacral
Grade B : hanya sensoris (+)
Grade C : motoris (+) dengan kekuatan otot < 3
Grade D : Motoris (+) dengan kekuatan otot > 3
Grade E : motoris dan sensoris normal

 ETIOLOGI
1. Kecelakaan lalu lintas/jalan raya adalah penyebab terbesar.
2. Injuri atau jatuh dari ketinggian.
3. Kecelakaan karena olah raga. Di bidang olahraga, tersering karena menyelam pada
air yang sangat dangkal
4. Luka jejas, tajam, tembak pada daerah vertebra.
5. Pergerakan yang berlebih: hiperfleksi, hiperekstensi, rotasi berlebih, stress lateral,
distraksi (stretching berlebih), penekanan.
6. Gangguan lain yang dapat menyebabkan cedera medulla spinalis seperti spondiliosis
servikal dengan mielopati, yang menghasilkan saluran sempit dan mengakibatkan
cedera progresif terhadap medulla spinalis dan akar; mielitis akibat proses inflamasi
infeksi maupun noninfeksi; osteoporosis yang disebabkan oleh fraktur kompresi pada
vertebrata; siringmielia; tumor infiltrasi maupun kompresi; dan penyakit vaskuler.

 FAKTOR RESIKO
a. Pria 80 % sedangkan wanita hanya 20 %.
b. Usia 16-30 tahun. Kecelakaan sering terjadi pada usia di bawah 65 tahun
dibandingkan usia di atas 65 tahun, tersering pada usia 16-30 tahun.
c. Beberapa kegiatan olah raga seperti gulat, menyelam, berselancar, roller- skating, in-
line skating, hockey, berselancar di atas salju.
d. Memiliki kelainan tulang atau sendi seperti arthritis dan osteoporosis.

 MANIFESTASI KLINIS

Cedera tulang belakang harus selalu diduga pada kasus di mana setelah cedera pasien
mengeluh nyeri serta terbatasnya pergerakan leher dan pinggang. Deformitas klinis
mungkin tidak jelas dan kerusakan neurologis mungkin tidak tampak pada pasien yang
juga mengalami cedera kepala atau cedera berganda. Tidak lengkap pemeriksaan pada
suatu cedera bila fungsi anggota gerak belum dinilai untuk menyingkirkan kerusakan
akibat cedera tulang belakang. Tanda dan gejala trauma spinal antara lain adalah:
 Nyeri pada area spinal atau paraspinal
 Nyeri kepala bagian belakang, pundak, tangan, kaki
 Kelemahan/penurunan/kehilangan fungsi motorik (kelemahan, paralisis)
 Penurunan/kehilangan sensasi (mati rasa/hilang sensasi nyeri, kaku, parestesis,
hilang sensasi pada suhu, posisi, dan sentuhan)
 Paralisis dinding dada menyebabkan pernapasan diafrgma
 Shock dengan kecepatan jantung menurun
 Priapism
 Kerusakan kardiovaskuler
 Kerusakan pernapasan
 Kesadaran menurun
 Tanda spinal shock (pemotongan komplit rangsangan), meliputi: Flaccid paralisis di
bawah batas luka, hilangnya sensasi di bawah batas luka, hilangnya reflek-reflek
spinal di bawah batas luka, hilangnya tonus vasomotor (hipotensi), Tidak ada
keringat dibawah batas luka, inkontinensia urine dan retensi feses jika
berlangsung lama akan menyebabkan hiperreflek/paralisis spastic
 Pemotongan sebagian rangsangan: tidak simetrisnya flaccid paralisis, tidak
simetrisnya hilangnya reflek di bawah batas luka, beberapa sensasi tetap utuh di
bawah batas luka, vasomotor menurun, menurunnya bladder atau bowel,
berkurangnya keluarnya keringat satu sisi tubuh.

 PATOFISIOLOGI
Terjadinya syok spinal biasanya diawali dengan adanya trauma pada spinal. Syok
spinal merupakan hilangnya reflek pada segmen atas dan bawah lokasi terjadinya cedera
pada medulla spinalis. Reflek yang hilang antara lain reflek yang mengontrol postur,
fungsi kandung kemih dan usus, tekanan darah, dan suhu tubuh. Hal ini terjadi akibat
hilangnya muatan tonik secara akut yang seharusnya disalurkan melalui neuron dari otak
untuk mempertahankan fungsi reflek. Ketika syok spinal terjadi akan mengalami regresi
dan hiperrefleksia ditandai dengan spastisitas otot serta reflex pengosongan kandung
kemih dan usus (Corwin, 2009).
Syok spinal akan menimbulkan hipotensi, akibat penumpukan darah pada
pembuluh darah dan kapiler organ splanknik.tonus vasomotor di medulla dan saraf
simpatis yang meluas ke medulla spinalis sampai pembuluh darah perifer secara
berurutan. Kerena itu kondisi yang menekan fungsi medulla atau integritas medulla
spinalis serta persarafan akan mengakibatkan syok neurogenik
(Tambayong, 2000).

 PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Spinal X-ray: melihat fraktur / pergeseran vertebra

2. Myelogram: Lokasi obstuksi aliran CSF, melihat lebih jelas saraf spinal

3. CT Scan: melihat lebih jelas kelainan yang ditemukan pada hasil X-ray

4. MRI: membantu melihat spinal cord dan mengidentifikasi adanya pembekuan darah
atau massa lain yang mungkin menekan spinal cord.
 PENATALAKSANAAN

1. Cidera pada cervikal

- Immobilisasi sederhana

- Traksi skeletal

- Pembedahan untuk spinal dekompresi

2. Cidera pada thoracal dan lumbal

- Immobilisasi pada lokasi fraktur

- Hiperekstensi dan branching

- Bed-rest
3. Obat: adrenal corticosteroid untuk mencegah dan mengurangi edema medulla
spinalis
- Traksi skeletal

- Pembedahan untuk spinal dekompresi.

 PRINSIP-PRINSIP UTAMA PENATALAKSANAAN TRAUMA SPINAL:


1. Immobilisasi

Tindakan immobilisasi harus sudah dimulai dari tempat kejadian/kecelakaan


sampai ke unit gawat darurat.. Yang pertama ialah immobilisasi dan stabilkan leher
dalam posisi normal; dengan menggunakan ’cervical collar’. Cegah agar leher tidak
terputar (rotation). Baringkan penderita dalam posisi terlentang (supine) pada
tempat/alas yang keras. Pasien diangkat/dibawa dengan cara ”4 men lift” atau
menggunakan ’Robinson’s orthopaedic stretcher’.
2. Stabilisasi Medis

Terutama sekali pada penderita tetraparesis/etraplegia:

a. Periksa vital signs

b. Pasang ’nasogastric tube’

c. Pasang kateter urin

d. Segera normalkan ’vital signs’.


Pertahankan tekanan darah yang normal dan perfusi jaringan yang baik.
Berikan oksigen, monitor produksi urin, bila perlu monitor AGD (analisa gas darah),
dan periksa apa ada neurogenic shock. Pemberian megadose Methyl Prednisolone
Sodium Succinate dalam kurun waktu 6 jam setaleh kecelakaan dapat memperbaiki
konntusio medula spinalis.

3. Mempertahankan posisi normal vertebra (”Spinal Alignment”)

Bila terdapat fraktur servikal dilakukan traksi dengan Cruthfield tong atau
Gardner-Wells tong dengan beban 2.5 kg perdiskus. Bila terjadi dislokasi traksi
diberikan dengan beban yang lebih ringan, beban ditambah setiap 15 menit sampai
terjadi reduksi.
4. Dekompresi dan Stabilisasi Spinal

Bila terjadi ’realignment’ artinya terjadi dekompresi. Bila ’realignment’


dengan cara tertutup ini gagal maka dilakukan ’open reduction’ dan stabilisasi
dengan ’approach’anterior atau posterior.
5. Rehabilitasi.

Rehabilitasi fisik harus dikerjakan sedini mungkin. Termasuk dalam program


ini adalah ’bladder training’, ’bowel training’, latihan otot pernafasan, pencapaian
optimal fungsi – fungsi neurologik dan program kursi roda bagi penderita
paraparesis/paraplegia.

 KOMPLIKASI

- Perubahan tekanan darah, bisa menjadi ekstrim (autonomic hyperreflexia)

- Komplikasi akibat imobilisasi:

- Deep vein thrombosis

- Infeksi pulmonal : atelektasis, pneumonia

- Kerusakan integritas kulit : dekubitus

- Kontraktur

- Peningkatan resiko injuri pada bagian tubuh yang mati rasa

- Meningkatkan resiko gagal ginjal


- Meningkatkan resiko infeksi saluran kemih

- Hilangnya kontrol pada bladder

- Hilangnya kontrol pada bowel

- Kehilangan sensasi

- Disfungsi seksual (impoten pada pria)

- Spasme otot

- Nyeri

- Paralysis otot pernapasan

- Paralysis (paraplegia, quadriplegia)

- Shock

 PENGKAJIAN
1. Riwayat Penyakit Sebelumnya
 Apakah klien pernah menderita :
 Penyakit stroke
 Infeksi otak
 DM
 Diare dan muntah yang berlebihan
 Tumor otak
 Intoksiaksi insektisida
 Trauma kepala
 Epilepsi dll.
2. Pemeriksaan Fisik
 Sistem pernafasan
Gangguan pernafasan, menurunnya vital kapasitas, menggunakan otot-otot
pernafasan tambahan
 Sistem kardiovaskuler
Bardikardia, hipotensi, disritmia, orthostatic hipotensi.
 Status neurologi
Nilai GCS karena 20% cedera medulla spinalis disertai cedera kepala.
 Fungsi motorik
Kehilangan sebagian atau seluruh gerakan motorik dibawah garis kerusakan,
adanya quadriplegia, paraplegia.
 Refleks Tendon
Adanya spinal shock seperti hilangnya reflex dibawah garis kerusakan, post
spinal shock seperti adanya hiperefleksia ( pada gangguan upper motor
neuron/UMN) dan flaccid pada gangguan lower motor neuron/ LMN).
 Fungsi sensorik
Hilangnya sensasi sebagian atau seluruh bagian dibawah garis kerusakan.
 Fungsi otonom
Hilangnya tonus vasomotor, kerusakan termoreguler.
 Autonomik hiperefleksia (kerusakan pada T6 ke atas)
Adanya nyeri kepala, peningkatan tekanan darah, bradikardia, hidung
tersumbat, pucat dibawah garis kerusakan, cemas dan gangguan penglihatan.
 Sistem gastrointestinal
Pengosongan lambung yang lama, ileus paralitik, tidak ada bising usus, stress
ulcer, feses keras atau inkontinensia.
 Sistem urinaria
Retensi urine, inkontinensia
 Sistem Muskuloskletal
Atropi otot, kontraktur, menurunnya gerak sendi (ROM)
 Kulit
Adanya kemerahan pada daerah yang terrtekan (tanda awal dekubitus
 Fungsi seksual.
Impoten, gangguan ereksi, ejakulasi, menstruasi tidak teratur.
 Psikososial
Reaksi pasien dan keluarga, masalah keuangan, hubungan dengan
masyarakat.
 DIAGNOSA KEPERAWATAN
Diagnosa Keperawatan yang mungkin muncul dan Prioritas Diagnosa
 Pola napas tidak efektif berhubungan dengan kelumpuhan otot diafragma,
kelemahan dengan paralisis otot abdominal dan interkostal serta
ketidakmampuan untuk membersihkan sekresi.
 Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kelumpuhan, sensorik dan
motorik
 Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan adanya cedera, pengobatan
dan namanya imobilitas.
 Gangguan eliminasi alvi /konstipasi berhubungan dengan gangguan persarafan
pada usus dan rectum, adanya atonik kolon sebagai akibat gangguan autonomic.
Perubahan pola eliminasi urine berhubungan dengan kelumpuhan syarat
perkemihan, ketidakmampuan untuk berkemih spontan
 Gangguan integritas kulit berhubungan dengan tirah baring lama, kehilangan
sensori dan mobilitas

-
DAFTAR PUSTAKA

Batticaca, B Fransisca. 2008. Asuhan Keperawatan Pasien dengan Gangguan Sistem


Persyarafan. Jakarta: Salemba Medika

Brunner & Suddarth, 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Edisi 8 Vol. 3 . Jakarta :
EGC.

Carpenito, L. T, 1998. Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi 6. Jakarta ; EGC

Carpenito, Lynda Juall. 2001. Diagnosa Keperawatan. Jakarta: EGC

Corwin, EJ 2009, Buku saku patofisiologi, 3 edn, Jakarta: EGC

G.B Tjokorda. Diagnosis dan tatalaksana kegawatdaruratan tulang belakang. Jakarta 2009.

Guyton, Arthur, C. Hall, John, E. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 9. Jakarta : EGC;
1997
Hudak, carolyn M. 1996. Keperawatan Kritis vol 2 Pendekatan Holistik. Jakarta : EGC

Mansjoer, A. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Jilid 2. Edisi 3 Jakarta : FKUI

Pearce Evelyn C. 1997. Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis. Jakarta : PT. Gramedia
LAPORAN PENDAHULUAN
KEPERAWATAN REHABILITASI
SPINAL CORD INJURY

Disusun Oleh:
Rizqa Fitria Putri
41181095000010

PROGRAM PROFESI NERS


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
OKTOBER/2018

Anda mungkin juga menyukai