Anda di halaman 1dari 66

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Kata anestesi berasal dari bahasa Yunani yang berarti keadaa tanpa rasa

sakit. Anestesia adalah suatu keadaan depresi dari pusat-pusat saraf tertentu yang

bersifat reversible, dimana seluruh perasaan dan kesadaran hilang. Anestesiologi

adalah cabang ilmu kedokteran yang mendasari berbagai tindakan yang meliputi

pemberian anastesi ataupun analgesi, pengawasan keselamatan pasien di operasi

atau tindakan lainnya, bantuan hidup (resusitasi), perawatan intensif pasien gawat,

pemberian terapi inhalasi, dan penanggulangan nyeri menahun3.

2.2 Jenis-jenis anestesi

Secara garis besar dibagi atas:

a. Anestesi umum: tindakan menghilangkan rasa nyeri/sakit secara sentral

disertai hilangnya kesadaran dan dapat puih kembali (reversible).

Komponen trias ideal terdiri dari hipnotik, analgesi, dan relaksasi otot3.

Cara pemberian anestesi umum:

- Parenteral (IM/IV), digunakan untuk tindakan yang singkat atau

induksi anestesi. Umumnya diberikan thiopental, namun pada kasus

tertentu dapat digunakan ketamin, diazepam, dll. Untuk tindakan

yang lama anestesi parenteral dikombinasikan dengan cara lain4.

- Perektal. Dapat dipakai pada anak untuk induksi anestesi atau

tindakan singkat4.

- Anestesi inhalasi, yaitu anestesi dengan menggunakan gas atau

cairan anestesi yang mudah menguap sebagai zat anestetik melalui

3
4

udara pernapasan. Zat anestetik melalui udara pernapasan. Zat

anestetik yang digunakan berupa campuran gas (dengan O2) dan

konsntrasi zat anestetik tersebut tergantung dari tekanan parsialnya4.

b. Anestesi lokal: tindakan menghilangkan nyeri/sakit secara lokal tanpa

disertai hilangnya kesadran.pemberian anestetik lokal dapat dengan

cara:

- Anestesi permukaan: pengolesan atau penyemprotan analgetic lokal

diatas selaput mukosa seperti mata, hidung atau faring

- Anestesi infiltrasi: penyuntikan larutan analgetik lokal langsung

diarahkan disekitar tempat lesi, luka atau insisi. Cara infiltrasi yang

sering digunakan adalah blockade lingkar dan obat disuntikkan

intradermal atau subkutan.

- Anestesi blok: penyuntikan analgetika lokal langsung ke saraf utama

atau pleksus saraf. Misalnya anestesi spinal, anestesi epidural,

anestesi kaudal.

- Anestesi regional intravena, yaitu penyuntikan larutan analgetik

lokal intravena. Ekstremitas dieksanguinasi dan diisolasi bagian

proksimalnya dari sirkulasi sitemik dengan torniket.

2.3 Penilaian dan persiapan pra anestesi

Persiapan prabedah yang kurang memadai merupakan faktor penyumbang

sebab-sebab terjadinya kecelakaan anestesi. Dokter spesialis anestesiologi

seyogyanya mengunjungi pasien sebelum pasien dibedah, agar ia dapat menyiapkan

pasien, sehingga pada waktu pasien dibedah dalam keadaan bugar1.

Maksud kunjungan pra anestesi:1


5

- Menentukan keadaan fisik penderita

- Memilih teknik dan obat-obatan anstesi yang sesuai dengan keadaan

penderita dan macam operasi.

- Memperhitungkan bahaya/resiko anestesi yang mungkin terjadi.

Penilaian pra bedah:3

- Anamnesis: identifikasi pasien, keluhan pasien, riwayat penyakit

yang sedang/pernah diderita yang dapat menjadi penyulit anestesi

seperti alergi, DM, penyakit paru. Riwayat penggunaan obat-obatan,

riwayat operasi. Riwayat kebiasaan seperti merokok. Riwayat

penyakit keluarga.

- Pemeriksaan fisik: tinggi dan berat badan, vital sign, jalan nafas,

jantung, paru-paru, abdomen, ekstremitas, punggung dan

neurologis.

- Pemeriksaan laboratorium:

o Rutin : darah, urin, foto thoraks, EKG (untuk pasien berusia

>40 tahun)

o Khusus: dilakukan bila ada indikasi seperti spirometri pada

pasien tumor paru, fungsi hati pada pasien ikterus, fngsi

ginjal pada pasien hipertensi.

Tindakan-tindakan yang dilakukan:3

a. Pembersihan dan pengosongan saluran pencernaan:

- Puasa (6-10 jam pada dewasa, 2-4 jam pada anak-anak)

- Pemberian laxan dan clysma

b. Membersihkan jalan nafas


6

c. Mencegah retensi urin

2.4 Klasifikasi status fisik

Berdasarkan American Society of Anesthesiologists (ASA) membuat

klasifikasi pasien menjadi kelas-kelas:5

1. Pasien normal dan sehat fisik dan mental

2. Psien dengan penyakit sistemmik ringan dan tidak ada keterbatasan

fungsional

3. Pasien dengan penyakit sistemik sedang hingga berat yang

menyebabkan keterbatasan fungsi

4. Pasien dengan penyakit sistemik berat yang mengancam hidup dan

menyebabkan keterbatasan fungsi

5. Pasien yang tidak dapat hidup/bertahan dalam 24 jam dengan atau tanpa

operasi

6. Pasien mati otak yang organ tubuhnya dapat diambil

E. Bila operasi yang dilakukan darurat (emergensi) maka penggolongan

ASA diikuti huruf E (misalnya 1E)

2.4.1 Peralatan

Peralatan anestesi adalah alat-alat anestesi yang digunakan untuk

menghantarkan oksigen dan obat anestetik inhalasi, mengontrol ventilasi, serta

memonitor fungsi peralatan tersebut4.

Mesin anestesi merupakan peralatan anestesi yang sering digunakan. Secara

umum mesin anestesi terdiri dari 3 komponen yang saling berhubungan, yaitu:4

- Komponen 1: sumber gas, penunjuk aliran gas (flow meter), dan alat

penguap (vaporize)
7

- Komponen 2: sistem napas, yang terdiri dari sistem lingkar dan sistem

magill

- Komponen 3: alat yang menghubungkan sistem napas dengan pasien,

yaitu sungkup muka (face mask), pipa endotrakea (endotrakeal tube)

Semua komponen mesin anestesi harus tersedia tanpa memperhatikan

teknik anestesi yang akan dipakai sebagai persiapan untuk kemungkinan pemakaina

anestesi umum, selain itu sumber oksigen dan peralatan bantu ventilasi (self-

inflating bag seperti ambu bag) harus tersedia untuk semua prosedur anestesi4.

Sirkuit anestesi atau dikenal dengan sistem pernapasan merupakan sistem

yang berfungdi menghantarkan oksigen dan gas anestesi dan mesin anestesi kepada

pasien yang dioperasi. Sirkuit anestesi merupakan suatu pipa/tabung yang

merupakan perpanjangan dari saluran pernapasan atas pasien. Komponen sirkuit

anestesi pada saat sekarang ini terdiri dari kantong udara, pipa yang berlekuk-lekuk,

celah untuk aliran udara segar, katup pengatur tekanan dan penghubung pada

pasien. Aliran gas dari sumber gas berupa campuran oksigen dan zat anestesi akan

mengalir melalui vaporizer dan bersama zat anestesi cair tersebut keluar menuju

sirkuit. Campuran oksigen dan zat anestesi yang berupa gas atau uap ini disebut

sebagai fresh gas flow (FGF)(aliran gas segar)17.

Sirkuit anestesi diklasifikasikan sebagai rebrething dan non-rebreathing

berdasarkan ada tidaknya udara ekspirasi yang dihirup kembali. Sirkuit ini juga

diklasifikasikan sebagai open, semi open, semi closed dan closed berdasarkan ada

tidaknya (1) reservoir bag, (2) udara ekspirasi yang dihirup kembali (rebreathing

exhaled gas), (3) komponen untuk menyerap karbondioksida ekspirasi (CO2


8

absorber) serta (4) katup satu arah. Meskipun pengklasifikasian tersebut kadang

menyebabkan kebingungan dibandingkan pemahaman 19.

Tabel 2.1 Klasifikasi sirkuit anestesi19

A. Sistem insuflasi

Istilah insuflasi menunjukkan peniupan gas anestesi di wajah pasien.

Meskipun insuflasi dikategorikan sebagai breathing system, mungkin istilah

ini lebih baik bila dianggap sebagai suatu teknik anestesi tanpa hubungan

langsung antara sebuah rangkaian alat pernapasan dengan pasien. Karena

anak-anak sering menolak penempatan masker wajah atau melalui

intravena, insuflasi berguna sekali untuk induksi pasien anak-anak dengan

anestesi inhalasi. Karena insuflasi menghindari kontak langsung dengan

pasien, maka hembusan gas rebreathing tidak akan terjadi jika alirannya

cukup tinggi. Pada teknik ini ventilasi tidak dapat dikontrol sehingga gas

yang masuk mengandung sejumlah udara atmosfer yang tidak dapat

diprediksi18.
9

Gambar 2.1 Sistem insuflasi

B. Sistem open-drop

Penggunaan sistem open drop diawali oleh Simpson yang pertama kali

menggunakan kloroform pada tahin 1847 dengan cara sederhana yaitu

dengan menyiramkan zat ini pada sebuah sapu tangan dan diletakkan

menutupi mulut dan hidung penderita sehingga ia dapat menghirup

uapnya20. Pada teknik ini sejumlah zat anestes inhalasi diteteskan melalui

masker yang dipasang pada wajah penderita diatas mulut dan hidung. Zat

anestesi yang mudah menguap, seperti ether atau halothane menetes diatas

kain tipis yang menutupi wajah (masker Schimmebusch), digunakan pada

wajah pasien. Zat anestesi diteteskan secara perlahan-lahan di atas masker

kemudian dialirkan oksigen yang cukup dibawahnya sehingga didapatkan

sirkulasi udara yang baik di bawah masker. Ketika proses inspirasi, udara

melewati kain, menguapkan agen cair dan membawa zat anestesi dalam

konsentrasi tinggi pada pasie. Penguapan menurunkan temperatur masker,

emngakibatkan kondensasi uap air dan pengembunan serta penurunan

tekanan uap anestesi (tekanan uap sebanding dengan suhu). Turunan dari

anestesi open drop modern adalah menggunakan vaporizer draw over


10

yyangtergantung pada usaha napas pasien untuk mengambil udara ruangan

melalui ruang vaporizer18.

C. Sistem draw-over

Alat draw-over merupakan rangkaian nonbreathing yang menggunakan

udara sekitar sebagai pengangkut gas, walaupun suplemen O2 dapat

digunakan jika tersedia. Walaupun alat ini sederhana, tetapi konsentrasi

udara dan oksigen yang masuk dapat diprediksi dan dikontrol. Alat ini dapat

dilengkapi dengan peralatan yang memungkinkan Intermitent Positive-

Pressure Ventilation (IPPV) dan pembuangan pasif, serta Continuous

Positive Airway Pressure (CPAP) dan Positive End-Ecpiratory Pressure

(PEEP) 18

Gambar 2.2 Diagram skema rangkaian anestesi draw-over

Pada sebagian besar dasaar alat, udara diambil melalui alat penguap

resistensi rendah saat pasien inspirasi. Pasien bernapas spontan dengan

udara ruang dan agen inhalasi, sering menimbulkan saturasi oksigen (SpO2)

<90%, sehingga dalam situasi ini diperlukan IPPV, suplemen oksigen, atau
11

keduanya. Fraksi inspirasi oksigen (FIO2) dapat ditambahkan dengan

menggunakan resevoir tabung terbuka sekitar 400 mL, yang melekat pada

sebuah T-piece di sisi atas vaporizer. Kisaran tidal volume dan laju

pernapasa disebutkan bahwa laju aliran oksigen 1 L/menit memberikan

FIO2 (30-40%) atau dengan 4 L/menit memberikan FIO2 (60-80%)18.

Beberapa sistem draw-over komersial yang tersedia memiliki beberapa

difat, diantaranya mudah dibawa, kuat, resistensi rendah terhadap aliran gas,

dapat digunakan dengan beberapa agen, serta dapat mengontrol penguapan

uap.

Keuntungan dari sistem draw-over adalah sederhana dan mudah

dibawa. Meskipun begitu terdapat beberapa kelemahan pada sistem ini.

Tidak adanya reservoir bag, menyebabkan kedalaman tidal volume tidak

dapat dinilai selama ventilasi spontan. Adanya katup nonbreathung, katup

PEEP, dan rangkaian saringan tertutup (filter-close) yang berada pada

kepala pasien, menyebabkan kesulitan pada pembedahan kepala dan leher

serta pada kasus-kasus anak. Jika kepala ditutupi, maka katup nonbreathing

sering tertutup juga18.

D. Rangkaian mapleson

Insuflasi dan sistem draw-over memiliki beberapa kelemahan

diantaranya kurangnya kontrol terhadap konsentrasi gas inspirasi dan

kedalaman anestesi, ketidakmampuan untuk membantu atau mengontrol

ventilasi, tdak ada perlindungan terhadap udara panas ekspirasi atau

kelembaban, manajemen jalan napas yang sulit selama pembedahan pada

kepala dan leher, serta polusi ruang operasi karena gas buang yang besar.
12

Sistem mapleson diperkenalkan di Inggris oleh Prof WW Mapleson tahun

1954. Sistem mapleson ini memecahkan beberapa masalah ini dengan

menambahkan komponen (pipa pernapasan , fresh gas inlets yaitu sisi

tempat masuknya gas segar, katup APL (Adjustable Pressure-Limitting)

yaitu katup untuk menyesuaikanbatas tekanan, dan reservoir bag) dalam

sirkuit pernapasan. Lokasi dari komponen-komponen ini relatif menentukan

kinerja sirkuit dan merupakan dasar dari klasifikasi Mapleson 18.

Gambar 2.3 Komponen rangkaian Mapleson

Sirkuit Mapleson cukup ringan, sederhana dan tidak memerlukan katup

searah. Efisiensinya ditentukan oleh gas segar yang dibutuuhkan untuk

mengeliminasi CO2. Karena tidak ada katup searah dan absorpsi CO2 maka

rebreathing dicegah dengan katup pengurang tekanan. Selama pernapasan

spontan, udara alveoli yang mengandung CO2 akan dikeluarkan melalui

katup (APL). Bila aliran gas segar melebihi ventilasi semenit alveoli

sebelum inhalasi terjadi maka kelebihannya akan dibuang melalui katup21.


13

o Komponen-komponen rangkaian Mapleson

1. Tabung pernapasan (Breathing tubes)

2. Katup APL (Adjustable Pressure-Limitting)

3. Reservoir Bag

o Karakterisitik kinerja rangkaian Mapleson

1. Sistem Mapleson A/sistem Magill

Gambar 2.4 Mapleson A

2. Sistem Mapleson B

Gambar 2.5 Mapleson B

3. Sistem Mapleson C

Gambar 2.6 Mapleson C

4. Sistem Mapleson D

Gambar 2.7 Mapleson D


14

5. Sistem Mapleson E

Gambar 2.8 Sistem Mapleson E

6. Sistem Mapleson F/ Jackon-Rees

Gambar 2.9 Sistem Mapleson F (Jackson-Rees)

E. Sistem lingkar/sistem circle

Meskipun rangkaian Mapleson mengatasi beberapa kelemahan dari

insuflasi dan sistem draw-over, tingginya FGF yang diperlukan untuk

mencegah terjadinya rebreathing menyebabkan pemborosan agen anestesi,

polusi ruang operasi dan hilangnya panas pasien dan kelembaban. Upaya

untuk menghindari masalah ini, sistem lingkar menambahkan beberapa

komponen ke dalam sirkuit pernapasan 18.

o Komponen-komponen sistem Lingkar

1. Carbondioksida absorbent (Pengisap CO2)

2. Undirectional valves (katup searah)

3. Optimalisasi desain sistem circle (sistem lingkar)

o Krakteristik kinerja sistem lingkar

1. Kebutuhan gas segar

2. Dead space
15

3. Resistensi

4. Pemeliharaan kelembaban dan panas

5. Kontaminasi bakteri

Gambar 2.10 Sebuah sistem lingkar

2.4.2 Tahapan

a. Persiapan praanestesi

Keadaan fisik pasien telah dinilai sebelumnya pada kunjungan

praanestesi meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik, laboratorium, dll. Saat

masuk runangan operasi pasien dalam keadaan puasa. Identitas pasien harus

telah ditandatangani sesuai dengan rencana operasi dan informed consent4.

Dilakukan penilaian preoperasi. Keadaan hidrasi pasien dinilai, apakah

terdapat hipovolemia, perdarahan, diare, muntah, atau demam. Akses

intrevena dipasang untuk pemberiancairan infus, transfusi dan obat-obatan.

Dilakukan pemantauan elektrokardiografi (EKG), tekanan darah

(tensimeter), saturasi oksigen (pulse oxymetri), kadar CO2 dalam darah

(kapnograf), dan tekanan vena sentral (CVP). Premedikasi dapat diberikan

oral, rectal, intramuskular atau intravena4.


16

b. Induksi anestesi

- Premedikasi

Tujuan:

o Menimbulkan rasa nyaman pada pasien

o Memudahkan/memperlancarkan induksi, rumatan, dan sadar

dari pasien

o Mengurangi jumlah obat-obatan anestesi

o Mengurangi timbulnya hipersalivasi, bradikardi, mual,

muntah

o Mengurangi stres fisiologi

o Mengurangi keasaman lambung

Obat-obat yang sering digunakan sebagai premedikasi adalah6.

o Obat antikolinergik

o Obat sedatif

o Obat analgetik narkotik

Pasien diusahakan tenang dan diberikan oksigen melalui sungkup

muka. Obat-obat induksi diberikan secara intravena seperti tiopental,

ketamin, diazepam, midazolam, dan propofol. Jalan napas dikontrol

dengan sungkup muka atau pipa napas orofaring/nasofaring. Setelah itu

dilakukan intubasi trakea. Setelah kedalaman anestesi tercapai, posisi

pasien disesuaikan dengan posisis operasi yang akan dilakukan,

misalnya telentang, litotomi, miring, duduk, dll4.


17

2.4.2.1 Obat golongan antikoligernik

Obat golongan antikolinergik adalah obat-obatan yang berkhasiat

menekan/menghambat aktivitas kolinergik atau parasimpatis6.

a. Mengurangi sekresi kelenjar: saliva, saluran cerna dan saluran napas.

b. Mencegah spasme laring dan faring

c. Mencegah bradikardi

d. Mengurangi motilitas usus

e. Melawan efek depresi narkotik terhadap pusat nafas

Obat golongan antikolinergik yang digunakan dalam praktik anestesia

adalah preparat alkaloid belladona, yang turunnya adalah:

a. Sulfas atropin

b. Skopolamin

2.4.2.1.1 Mekanisme kerja

Menghambat mekanisme kerja asetilkolin pada organ yang diinervasi

oleh serabut saraf yang mempunyai neurotransmitter asetilkolin6.

Alkaloid belladona menghambat muskarinik secara kompetitif yang

ditimbulkan oleh asetilkolin pada sel efektor organ terutama pada kelenjar eksokrin,

otot polos dan otot jantung. Khasiat sulfas atropin lebih dominan pada otot jantung,

usus dan bronkus, sedangkan skopolamin lebih dominan pada iris, korpus siliare

dan kelenjar6.

2.4.2.1.2 Efek terhadap susunan saraf

Sulfas atropin tidak menimbulkan depresi susunan saraf pusat,

sedangkan skopolamin mempunyai efek depresi sehingga menimbukan rasa

ngantuk, euporia, amnesia dan rasa lelah6.


18

2.4.2.1.3 Efek terhadap respirasi

Menghambat sekresi kelenjar pada hidung, mulut, faring trakea dan

bronkus menyebabkan mukosa jalan napas kekeringan, menyebabkan relaksasi otot

polos bronkus dan bronkioli, sehingga diameter lumennya melebar akan

menyebabkan volume ruang rugi bertambah6.

2.4.2.1.4 Efek terhadap kardiovaskuler

Menghambat aktivitas vagus pada jantung sehingga denyut jantung

meningkat, tetapi tidak berpengaruh langsung pada tekanan darah. Pada hipotensi

karena refleks vagal, pemberian obat ini akan meningkatkan tekanan darah6.

2.4.2.1.5 Efek terhadap saluran cerna

Menghambat sekresi kelenjar liur sehingga mulut terasa kering dn sulit

menelan. Mengurangi sekresi getah lambung sehingga keasaman lambung bisa

dikurangi. Mengurangi tonus otot sehingga motilitas usus menurun6.

2.4.2.1.6 Efek terhadap kelenjar keringat

Menghambat sekresi kelenjar keringat sehingga menyebabkan kulit

kering dan badan terasa panas akibat pelepasan panas tubuh terhalang melalui

proses evaporasi6.

2.4.2.1.7 Kontraindikasi

Alkaloid belladona ini tidak diberikan pada pasien yang menderita

demam, takikardi, glaukoma, dan tirotoksikosis6.

2.4.2.2 Obat golongan sedatif/tranquilizer

Obat golongan sedative adalah obat-obatan yang berkhasiat anti cemas dan

menimbulkan rasa kantuk


19

2.4.2.2.1 Derivate fenothiazin

Derivat fenothiazin yang banyak digunakan untuk premedikasi adalah

propetazin. Obat ini pada mulanya digunakan sebagai antihistamin6.

Terhadap saraf pusat: menimbulkan depresi saraf pusat, bekerja pada

formasioretikularis dan hipotalamus menekan pusat muntah dan mengatur suhu.

Obat ini berpotensi dengan obat sedatif lainnya4.

Terhadap respirasi: menyebabkan dilatasi otot polos saluran nafas dan

menghambat sekresi kelenjar6.

Terhadap kardiovaskuler: menyebabkan vasodilatasi sehingga dapat

memperbaiki perfusi jaringan6.

Terhadap saluran cerna efek lain. Menurunkan peristaltik usus,

mencegah sapsme, mengurangi sekresi kelenjar, efek lainnya adalah menekan

sekresi ketokolamin dan sebagai antikolinergik6.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa khasiat propetazin sebagai

obat premedikasi adalah sebagai sedatif, antiemetik, antikolinergik, antihistamin,

bronkodilator, dan antipiretika6.

2.4.2.2.2 Derivat benzodiazepin

Derivat benzodiazepin yang banyak digunakan untuk premedikasi

adalah diazepam dan midazolam. Derivat yang lain adalah klordianzepoksid,

nitrazepam dan oksazepam6.

Efek obat ini terhadap saraf pusat dan medula spinalis adalah

mempunyai sifat sedasi dan anticemas yang bekerja pada sistem limbik dan pada

ARAS serta bisa menimbulkan amnesia anterograd. Sebagai obat anti kejang yang
20

bekerja pada kornu anterior medula spinalis dan hubungan saraf otot. Pada dosis

kecil bersifat sedatif, sedangkan dosis tinggi sebagai hipnotik6.

Efek terhadap respirasi adalah pada dosisi kecil (0,2 mg/kgBB) yang

diberikan secara intravena menimbulkan depresi ringan yang tidak serius. Bila

dikombinasikan dengan narkotik menimbulkan depresi napas yang lebih berat6.

Efek ke kardiovaskuler dapat timbul pada dosis besar yang dapat

membuat menjadi hipotensi akibat dilatasi pembuluh darah. Efek pada saraf otot

dapat menimbulkan penurunan tonus otot rangka yang bekerja di tingkat supra

spinal dan spinal sehingga sering digunakan pada pasien yang menderita kekakuan

otot rangka seperti pada tetanus6.

Dalam praktik anestesi obat ini digunakan sebagai:

a. Premedikasi diberikan intramuskular dengan dosisi 0,2 mg/kgBB

atau peroral dengan dosis 5-10 mg

b. Induksi diberikan intravena dengan dosis 0,2-0,6 mg/kgBB

c. Sedasi pada analgesia regional diberikan intravena

d. Menghilangkan halusinasi pada pemberian ketamin

Penggunaan lainna adalah:

a. Anti kejang pada kasus-kasus epilepsi, tetanus dan eklampsia

b. Sedasi pasien rawat inap

c. Sedasi pada tindakan kardioversi atau endoskopi

Pada pemberian intramuskular atau intravena obat ini tidak bisa

dicampur dengan obat lain karena bisa terjadi resipitasi. Jalur vena yang dipilih

sebaiknya melalui vena-vena besar untuk mencegah flebitis. Pemberian


21

intramuskular kurang disenangi oleh karena menimbulkan rasa nyeri pada daerah

suntikan6.

2.4.2.2.3 Derivat butirofenon

Derivat ini disebut juga obat golongan neroleptika karena sering

digunakan sebagai nerolitik. Derivat butirofenon yang sering digunakan sebagai

obat premedikasi adalah dehidrobenzperidrol atau sering disebut DHBP6.

Berkhasiat sebagai sedatif atau transkuilizer, disamping itu mempunyai

khasiat khusus sebagai anti muntah yang bekerja pada pusat muntah di

“chemoreceptor trigger zone”. Efek samping yang tidak dikehendai adalah

timbulnya rangsangan ekstrapiramidal sehingga menimbulkan gerakan tak

terkendali (parkinson) yang bisa diatasi dengan pemberian obat Parkinson6.

Menimbulkan sumbatan jalan napas akibat dilatasi pembuluh darah

rongga hidung, juga menimbulkan dilatasi pembuluh darah paru. Sehigga

kontraindikasi pada pasien asma. Menimbulkan vasodilatasi pembuluh darah

perifer sehingga sering digunakan sebagai anti syok. Tekanan darah akan turun

tetapi perfusi dapat dipertahankan selama volume sirkulasi adekuat6.

Penggunaan klinik:

a. Premedikasi diberikan intramuskular dosis 0,1 mg/kgBB

b. Sedasi untuk tindakan endoskopi dan analgesia regional

c. Antihipertensi

d. Anti muntah

e. Suplemen anestesia
22

2.4.2.2.4 Derivat barbiturat

Derivat barbiturat yang sering digunakan sebagai obat premedikasi

adalah penobarbital dan sekobarbital. Digunakan sebagai seasi dan penenang pra

bedah, terutama pada anak-anak. Pada dosis lazim, menimbulkan depresi ringan

pada respirasi dan sirkulasi. Sebagai premedikasi diberikan ntramuskular dengan

dosis 2 mg/kgBB atau per oral6.

2.4.2.2.5 Derivat antihistamin

Obat golongan ini yang sering digunakan sebagai premedikasi adalah

derivat difenhidramin. Khasiat yang diharapkan adalah sedatif, anti muntah ringan,

dan anti piretik, sedangkan efek sampingnya adalah hipotensi yang sifatnya ringan6.

2.4.2.3 Golongan analgetik narkotik atau opioid

Berdasarkan struktur kimia, analgetik narkotik atau opioid dibedakan

menjadi 3 kelompok:6

a. Alkaloid opium (natural): morfin dan kodein

b. Derivate semi sintetik: diasetilmorfin (heroin), hidromorfin, oximorfin,

hidrokodon, dan oxikodon

c. Derivate sintetik:

- Fenipiperidine: pethidine, fentanil, sulfentanil, dan alfentanil

- Benzmorfan: pentazosid, fenazosid, dan siklazosin

- Morfinan: lavorvanol

- Propionanilides: metadon

- Tramadol

Sebagai analgetik, opioid bekerja secara sentral pada reseptor-reseptor

opioid yang diketahui ada 4 respetor, yaitu:


23

a. Reseptor Mu

Morfin bekerja secara agonis pada reseptor ini. Stimulasi pada reseptor

ini akan menimbulkan analgesia, rasa segar, euphoria, dan depresi

respirasi

b. Reseptor Kappa

Stimulasi reseptor ini menimbulkan analgesia, sedasi dan anastesia.

Morfin bekerja pada reseptor ini.

c. Reseptor sigma

Stimulasi reseptor ini menimbulkan perasaan disforia, halusinasi, pupil

midriasis, dan stimulasi respirasi

d. Reseptor delta

Pada manusia reseptor ini belum diketahui dengan jelas.

Sebagai obat analgetik, obat ini bekerja pada thalamus dan substansia

gelatinosa medulla spinalis, disamping itu narkotik juga mempunyai efek sedasi.

Menimbulkan depresi pusat napas terutama pada bayi dan orang tua. Efek ini

semakin manifes pada keadaan umum pasien yang buruk sehingga perlu

dipertimbangkan seksama dalam penggunaannya. Namun demikian efek ini dapat

dipulihkan dengan nalorfin atau nalokson6.

Terhadap bronkus, pethidin menyebabkan dilatasi bronkus, sedangkan

morfin menimbulkan konstriksi akibat pengaruh pelepasan histamin. Tidak

menimbulkan sepresi sistem sirkulasi, sehingga cukup aman diberikan pada semua

pasien kecuali pada bayi dan orang tua. Pada kehamilan, narkotik dapat melewati

barier plasenta sehingga dapat menimbulkan depresi napas pada bayi baru lahir.

Merangsang pusat muntah, menimbulkan spasme spincter kandung empedu


24

sehingga menimbulkan kolik abdomen. Morfinmerangsang pelepasan histamine

sehingga dapat menimbulkan rasa gatal seluruh tubuh atau minimal pada daerah

hidung, sedangkan pethidin, pelepasan histaminnya bersifat lokal ditempat

suntikan6.

Kontraindikasi pemberian narkotik harus hati-hati pada pasien orang tua

dan keadaan umum yang buruk. Tidak boleh diberikan pada pasien yang

mendapatkan preparat menghambat monoamine oksidase, pasien asma dan

penderita penyakit hati6.

Efek samping atau tanda-tanda intoksikasi:

a. Memperpanjang masa pulih anestesia

b. Depresi pusat napas sehingga pasien bisa henti napas

c. Pupil miosis

d. Spasme bronkus pada pasien asma terutama akibat morfin

e. Kolik abdomen akibat spasme spingter kandung empedu

2.4.3 Rumatan anestesi

Selama operasi berlangsung hal-hal yang dipantau adalah fungsi vital,

pernapasan, tekanan darah, nadi dan kedalaman anestesi, misalnya adanya gerakan,

batuk, mengedan, perubahan pola napas, takikardia, hipertensi, keringat, air mata,

midriasis4.

Ventilasi pada anestesi umum dapat secara spontan, bantu, atau kendali

tergantung jenis lama dan posisi operasi. Cairan infus diberikan dengan

memperhitungkan kebutuhan puasa rumatan perdarahan evaporasi dan lain-lain.

Jenis cairan yang dapat diberikan dapat berupa kristaloid (ringer laktat, NaCl,
25

Dextrose 5%), koloid (plasma expander, albumin 5%) atau transfusi darah bila

perdarahan terjadi lebih dari 20% volume darah4.

2.4.4 Pemulihan pasca-anestesi

Setelah operasi selesai psien dibawa ke ruang pemulihan (recovery room)

atau ke ruang perawatan intensif (bila ada indikasi). Secara umum ekstubasi

dilakukan pada saat pasien dalam anestesi ringan atau sadar. Di ruang pemulihan

dilakukan pemantauan keadaan umum, kesadaran, tekanan darah, nadi, pernapasan,

suhu, sensibilitas nyeri, perdarahan dari drianage, dll4.

Pemeriksaan tekanan darah, frekuensi nadi dan ffrekuensi pernapasan

dilakukan paling tidak setiap 5 menit dalam 15 menit pertama atau hingga stabil,

setelah itu dilakukan setiap 15 menit. Pulse oxymetri dimonitor hingga pasien sadar

kembali. Pemeriksaan suhu juga dilakukan4.

Seluruh pasien yang sedang dalam pemulihan dari anestesi umum harus

dapat oksigen 30-40% selama pemulihan karena dapat terjadi hipoksemia

sementara. Pasien yang memiliki resiko tinggi hipoksia adalah pasien yang

mempunyai kelainan paru sebelumnya atau yang dilakukan tindakan operasi di

daerah abdomen atau di daerah dada4.

2.5 Anastesi umum

Anastesi umum adalah tindakan menghilangkan rasa nyeri secara sentral

yang disertai hilangnya kesadaran dan dapat pulih kembali (reversible). Komponen

anestesi ideal (trias anestesi). Trias anestesi dapat dicapai dengan menggunakan

obat yang berbeda secara terpisah. Teknik ini sesuai untuk pembedahan abdomen

yang luas, intraperitoneum, toraks, intrakranial, pembedahan yang berlangsung


26

lama dan operasi dengan posisi tertentu yang memerlukan pengendalian

pernapasan4.

Sifat anestesi umum yang ideal adalah:(1) bekerja cepat, induksi dan

pemilihan baik, (2) cepat mencapai anestesi yang dalam, (3) batas keamanan lebar;

(4) tidak bersifat toksis. Untuk anestesi yang dalam diperlukan obat yang secara

langsung mencapai kadar yang tinggi di SSP (obat intravena) atau tekanan parsial

yang tinggi di SSP (obat ihalasi). Kecepatan induksi dan pemulihan bergantung

pada kadar dan cepatnya perubahan kadar obat anastesi dalam SSP 2.

2.5.1 Stadium anestesi

Gambaran klinis tentang tanda dan kedalaman anestesia (tanda Guedel)

berasal dari pengamatan atas efek pembiusan dengan eter yang berlangsung lambat.

Tanda ini tidak lagi terlihat dalam teknik pembiusan modern karena anestetik masa

kini umumnya memperlihatkan masa induksi yang singkat, apalagi dengan

tambahan anestetik intravena dan obat-obat lain sebagai medikasi praanastetik.

Selain itu, teknik anestetik modern sering menggunakan ventilator untuk

mengendalikan pernafasan.

Stadium anestesi dibagi dalam 4 yaitu;

a. Stadium I (analgesia) : dimulai dari pemberian agen anestesi sampai

menimbulkan hilangnya kesadaran. Rasa takut dapat meningkatkan

frekuensi nafas dan pulsus, dilatasi pupil, dapat terjadi urinasi dan

defekasi.

b. Stadium II (stadium eksitasi involunter) : dimulai dari hilangnya

kesadaran sampai permulaan stadium pembedahan. Pada stadium II

terjadi eksitasi dan gerakan yang tidak menurut kehendak, pernafasan


27

tidak teratur, inkontinensia urin, muntah, midriasis, hipertensi, dan

takikardia.

c. Stadium III (pembedahan/operasi) : terbagi dalam 4 bagian yaitu;

- Tingkat 1 : Pernafasan teratur, spontan dan seimbang antara

pernafasan dada dan perut, gerakan bola mata terjadi di luar

kehendak, miosis sedangkan tonus rangka masih ada,

- Tingkat 2 : Pernafasan teratur tetapi frekuensinya lebih kecil, bola

mata tidak bergerak, pupil mata melebar, otot rangka mulai

melemas, dan refleks laring hilang sehingga pada tingkat ini dapat

dilakukan intubasi.

- Tingkat 3 : Pernafasan perut lebih nyata daripada pernafasan dada

karena otot interkostal mulai lumpuh, relaksasi otot rangka

sempurna, pupil lebih lebar tetapi belum maksimal.

- Tingkat 4 : Pernafasan perut sempurna karena otot interkostal

lumpuh total, tekanan darah mulai menurun, pupil sangat lebar dan

refleks cahaya hilang.

d. Stadium IV (depresi medulla oblongata), dimulai dengan melemahnya

pernafasan perut dibanding stadium III tingkat 4, tekanan darah tidak

dapat diukur karena pembuluh darah kolaps, dan jantung berhenti

berdenyut. Keadaan ini dapat segera disusul kematian, kelumpuhan

nafas disini tidak dapat diatasi dengan pernafasan buatan, bila tidak

didukung oleh alat bantu nafas dan sirkulasi 2.


28

2.5.2 Farmakokinektik dan farmakodinamik obat anestesi

2.5.2.1 Farmakokinetik Anastesi Umum

Dalamnya anestesi ditentukan oleh konsentrasi anestetik didalam susunan

saraf pusat. Kecepatan pada konsentrasi otak yang efektif (kecepatan induksi

anestesi) bergantung pada banyaknya farmakokinetika yang mempengaruhi

ambilan dan penyebaran anestetik.

Konsentrasi masing-masing dalam suatu campuran gas anestetik sebanding

dengan tekanan atau tegangan persialnya. Istilah tersebut sering dipergunakan

secara bergantian dalam membicarakan berbagai proses transfer anestetik gas

dalam tubuh. Tercapainya konsentrasi obat anestetik yang adekuat dalam otak

untuk menimbulkan anestesi memerlukan transfer obat anestetik dari udara alveolar

kedalam darah dan otak. Kecepatan pencapaian konsentrasi ini bergantung pada

sifat kelarutan anestetik, konsentrasinya dalam udara yang dihisap, laju ventilasi

paru, aliran darah paru, dan perbedaan gradian konsentrasi (tekanan parsial) obat

anestesi antara darah arteri dan campuran darah vena.

Kecepatan konsentrasi anestesi umum, yaitu:

b) Kelarutannya

Salah satu penting faktor penting yang mempengaruhi transfer anestetik

dari paru kedarah arteri adalah kelarytannya. Koefisien pembagian

darah; gas merupakan indeks kelarutan yang bermakna dan merupakan

tanda-tanda afinitas relative suatu obat anestetik terhadap darah

dibandingkan dengan udara.


29

c) Konsentrasi anastetik didalam udara inspirasi

Konsentrasi anestetik inhalasi didalam campuran gas inspirasi

mempunyai efek langsung terhadap tegangan maksimun yang dapat

tercapai didalam alveolus maupun kecepatan peningkatan tegangan ini

didalam darah arterinya.

d) Ventilasi paru-paru

Kecepatan peningkatan tegangan gas anestesi didalam darah arteri

bergantung pada kecepatan dan dalamnya ventilasi per menit. Besarnya

efek ini bervariasi sesuai dengan pembagian koefisien darah; gas.

e) Aliran darah paru

Perubahan kecepatan aliran darah dari dan menuju paru akan

mempengaruhi transfer obat anestetik. Peningkatan aliran darah paru

akan memperlambat kecepatan peningkatan tekanan darah arteri,

terutama oleh obat anestetik dengan kelarutan drah yang sedang sampai

tinggi.

f) Gradient konsentrasi arteri-vena

Gradien konsentrasi obat anestetik antara darah arteri dan vena

campuran terutama bergantung pada kecepatan dan luas ambilan obat

anestesi pada jaringan itu, yang bergantung pada kecepatan dan luas

ambilan jaringan.

2.5.2.2 Farmakodinamik Anastesi Umum

Kerja neurofisiologik yang penting pada obat anestesi umum adalah dengan

meningkatkan ambang rangsang sel. Dengan meningkatnya ambang rangsang, akan

terjadi penurunan aktivitas neuronal. Obat anestetik inhalasi seperti juga intravena
30

barbiturate dan benzodiazepine menekan aktivitas neuron otak sehingga akson dan

transmisisinaptik tidak bekerja. Kerja tersebut digunakan pada transmisi aksonal

dan sinaptik, tetapi proses sinaptik lebih sensitive dibandingkan efeknya.

Mekanisme ionik yang diperkirakan terlibat adalah bervariasi. Anestetik inhalasi

gas telah dilaporkan menyebabkan hiperpolarisasi saraf dengan aktivitas aliran K+,

sehingga terjadi penurunan aksi potensial awal, yaitu peningkatan ambang

rangsang. Penilitian elektrofisiologi sel dengan menggunakan analisa patch clamp,

menunjukkan bahwa pemakaian isofluran menurunkan aktivitas reseptor nikotinik

untuk mengaktifkan saluran kation yang semuanya ini dapat menurunkan kerja

transmisi sinaptik pada sinaps, kolinergik. Efek benzodiazepine dan barbiturate

terhadap saluran klorida yang diperantai reseptor GABA akan menyebabkan

pembukaan dan menyebabkan hiperpolarasi, tehadap penurunan sensitivitas. Kerja

yang serupa untuk memudahkan efek penghambatan GABA juga telah dilaporkan

pemakaian propofol dan anestetik inhalasi lain.

Mekanisme molecular dengan anestetik gas merubah aliran ion pada

membran neuronal belumlah jelas. Efek ini dapat menghasilkan hubungan interaksi

langsung antara molekul anestetik dan tempat hidrofobik pada saluran membran

protein yang spesifik. Mekanisme ini telah diperkenalkan pada penilitian interaksi

gas dengan saluran kolineroseptor nikotinik interkais yang tampaknya untuk

menstabilkan saluran pada keadaan tertutup. Interpretasi alternatif, yang dicoba

untuk diambil dalam catatan perbedaan struktur yang nyata diantara anestetik,

memberikan interaksi yang kurang spesifik pada obat ini dengan dengan membran

matriks lipid, dengan perubahan sekunder pada fungsi saluran.


31

2.5.2.3 Farmakokinetik anestesi lokal

Anestesi lokal biasanya diberikan secara suntikan ke dalam daerah serabut

saraf yang akan menghambat. Oleh karena itu, penyerapan dan distribusi tidak

terlalu penting dalam memantau mula kerja efek dalam menentukan mula kerja

anestesi dan halnya mula kerja anestesis umum terhadap sistem saraf pusat dan

toksisitasnya pada jantung. Aplikasi topikal anestesi lokal bagaimanapun juga

memerlukan difusi obat guna mula keja dan lama kerja efek anestesinya.

Absorbsi sistemik suntikan anestesi lokal dari tempat suntikan dipengaruhi

oleh beberapa faktor, antara lain dosis, tempat suntikan, ikatan obat jaringan,

adanya bahan vasokonstriktor, dan sifat fisikokimia obat. Bahan vasokonstriktor

seperti epinefrin mengurangi penyerapan sistematik anestesi lokal dari tempat

tumpukan obat dengan mengurangi aliran darah di daerah ini. Keadaan ini menjadi

nyata terhadap obat yang massa kerjanya singkat atau menengah seperti prokain,

lidokain, dan mepivakain (tidak untuk prilokain). Ambilan obat oleh saraf diduga

diperkuat oleh kadar obat lokal yang tinggi ,dan efek dari toksik sistemik obat akan

berkurang karena kadar obat yang masuk dalam darah hanya 1/3 nya saja.

Distribusi anestesi lokal amida disebar meluas dalam tubuh setelah

pemberian bolus intravena. Bukti menunjukkan bahwa penyimpanan obat mungkin

terjadi dalam jaringan lemak. Setelah fase distribusi awal yang cepat, yang mungkin

menandakan ambilan ke dalam organ yang perfusinya tinggi seperti otak, ginjal,

dan jantung, dikuti oleh fase distribusi lambat yang terjadi karena ambilan dari

jaringan yang perfusinya sedang, seperti otot dan usus. Karena waktu paruh plasma

yang sangat singkat dari obat tipe ester, maka distribusinya tidak diketahui.
32

Metabolisme dan ekskresi anestesi lokal diubah dalam hati dan plasma

menjadi metabolit yang mudah larut dalam air dan kemudian diekskresikan ke

dalam urin. Karena anestesi lokal yang bentuknya tak bermuatan mudah berdifusi

melalui lipid, maka sedikit atau tidak ada sama sekali bentuk netralnya yang

diekskresikan kerana bentuk ini tidak mudah diserap kembali oleh tubulus ginjal.

Tipe ester anestesi lokal dihidrolisis sangat cepat di dalam darah oleh

butirilkolinesterase (pseudokolinesterase). Oleh karena itu, obatini khas sekali

mempunyai waktu paruh yang sangat singkat, kurang dari 1 menit untuk prokain

dan kloroprokain. Penurunan pembersihan anestesi lokal leh hati ini harus

diantisipasi dengan menurunkan aliran darah kehati. Sebagai contoh, pembersihan

lidokain oleh hati pada binatang yang dianestesi dengan halotan lebih lambat dari

pengukuran binatang yang diberi nitrogen oksida dan kurare. Penurunan

pembersihan ini berhubungan penurunan aliran darah ke dalam hati dan penekanan

mikrosom hati karena halotan.

Farmakokinetik suatu anestetik lokal ditentukan oleh 3 hal, yaitu:

a. Lipid/Water solubility ratio, menentukan ONSET OF ACTION.

Semakin tinggi kelarutan dalam lemak akan semakin tinggi potensi

anestesi local.

b. Protein Binding, menentukan DURATION OF ACTION. Semakin

tinggi ikatan dengan protein akan semakin lama durasi nya.

c. pKa, menentukan keseimbangan antara bentuk kation dan basa. Makin

rendah pKa makin banyak basa, makin cepat onsetnya. Anestetik lokal

dengan pKa tinggi cenderung mempunyai mula kerja yang lambat.

Jaringan dalam suasana asam (jaringan inflamasi)akan menghambat


33

kerja anestetik lokal sehingga mula kerja obat menjadi lebih lama.

Haltersebut karena suasana asam akan menghambat terbentuknya asam

bebas yang diperlukan untuk menimbulkan efek anestesi. Kecepatan

onset anestetika lokal ditentukan oleh:

- Kadar obat dan potensiny

- Jumlah pengikatan obat oleh protein dan

- Pengikatan obat ke jaringan local

- Kecepatan metabolisme

- Perfusi jaringan tempat penyuntikan obat. Pemberian

vasokonstriktor (epinefrin) ditambah anestetika lokal dapat

menurunkan aliran darah lokal dan mengurangi absorpsi sistemik.

2.5.2.4 Farmakodinamik anestesi lokal

Adapun farmakodinamik untuk obat anestesi lokal adalah:

a. Mekanisme Kerja

Selama eksitasi, saluran natrium terbuka dan arus natrium masuk ke

dalam sel dengan cepat mendepolarisasi membran ke arah keseimbangan

potensial natrium (+40mV). Sebagai akibat depolarisasi ini, maka saluran

natrium menutup (inaktif) dan saluran kalium terbuka. Aliran kalium keluar

sel merepolarisasi membran ke arah keseimbangan potensial kalium (sekitar

-95mV); terjadi lagi repolarisasi saluran natrium menjadi keadaan istirahat.

Perbedaan ionic transmembran dipertahankan oleh pompa natrium. Sifat ini

mirip dengan yang terjadi pada otot jantung dan anestesi local pun

mempunyai efek yang sama pada kedua jaringa tersebut.


34

Anestesi local mengikat reseptor dekat ujung intrasel saluran dan

menghambat saluran dalam keadaan bergantung waktu dan voltase. Bila

peningkatan konsentrasi dalam secara progresif anestesi local digunakan

pada satu serabut saraf, nilai ambang eksitasinya meningkat, konduksi

impuls melambat, kecepatan muncul potensial aksinya menurun, amplitude

potensial aksi mengecil dan akhirnya kemampuan melepas satu potensial

aksi hilang. Efek yang bertambah tadi merupakan hasil dari ikatan anestesi

local terhadap banyak dan makin banyak saluran natrium; pada setiap

saluran, ikatan menghasilkan hambatan arus natrium. Jika arus ini dihambat

melebihi titik kritis saraf, maka propagasi yang melintas daerah yang

dihambat ini tidak mungkin terjadi lagi. Pada dosis terkecil yang dibutuhkan

untuk menghambat propagasi, potensial istirahat jelas tidak terganggu.

Karakteristik Struktur-Aktivitas Anestesi Lokal. Makin kecil dan makin

banyak molekul lipofilik, makin cepat pula kecepatan interaksi dengan

reseptor saluran natrium. Potensi mempunyai hubungan positif pula dengan

kelarutan lipid selama obat menahan kelarutan air yang cukup untuk

berdifusi ke tempat kerja. Lidokain, prokain, dan mepivakain lebih larut

dalam air dibandingkan tetrakain, etidokain, dan bupivakain. Obat yang

terakhir lebih kuat dengan masa kerja yang panjang. Obat-obat tadi terikat

lebih ekstensif pada protein dan akan menggeser atau digeser dari tempat

ikatannya oleh obat-obatan lain.

b. Aksi Terhadap Saraf

Karena anestesi local mampu menghambat semua saraf, maka kerjanya

tidak saja terbatas pada hilangnya sensasi sakit dan nyeri yang diinginkan.
35

Perbedaan tipe serabut saraf akan membedakan dengan nyata kepekaannya

terhadap penghambatan anestesi local atas dasar ukuran dan mielinasi.

Aplikasi suatu anestesi local terhadap suatu akar serabut saraf, serabut

paling kecil B dan C dihambat lebih dulu. Serabut delta tipe A akan

dihambat kemudian. Oleh karena itu, serabut nyeri dihambat permulaan;

kemudian sensasi lainnya menghilang; dan fungsi motor dihambat terakhir.

Adapun efek serabut saraf antara lain:

- Efek diameter serabut

Anestesi lokal lebih mudah menghambat serabut ukuran kecil

karena jarak di mana propagasi suatu impuls listrik merambat secara

pasif pada serabut tadi (berhubungan dengan constant ruang) jadi lebih

singkat. Selama mula kerja anestesi local, bila bagian pendek serabut

dihambat, maka serabut berdiameter kecil yang pertama kali gagal

menyalurkan impuls.

Terhadap serabut yang bermielin, setidaknya tiga nodus

berturut-turut dihambat oleh anestesi local untuk menghentikan

propagasi impuls. Makin tebal serabut saraf, makin terpisah jauh nodus

tadi yang menerangkan sebagian, tahanan yang lebih besar untuk

menghambat serabut besar tadi. Saraf bermielin cenderung dihambat

serabut saraf yang tidak bermielin pada ukuran yang sama. Dengan

demikian, serabut saraf preganglionik B dapat dihambat sebelum

serabut C kecil yang tidak bermielin.


36

- Efek frekuensi letupan

Alasan penting lain terhadap mudahnya penghambatan serabut

sensoris mengikuti langsung dari mekanisme kerja yang bergantung

pada keadaan anestesi local. Serabut sensoris, terutama serabut nyeri

ternyata berkecukupan letupan tinggi dan lama potensial aksi yang

relative lama (mendekati 5 milidetik). Serabut motor meletup pada

kecepatan yang lebih lambat dengan potensial aksi yang singkat (0,5

milidetik). Serabut delta dan C adalah serabut berdiameter kecil yang

terlibat pada transmisi nyeri berfrekuensi tinggi. Oleh karena itu, serabut

ini dihambat lebih dulu dengan anestesi local kadar rendah dari pada

serabut A alfa.

- Efek posisi saraf dalam bundle saraf

Pada sekumpulan saraf yang besar, saraf motor biasanya terletak

melingkari bundle dan oleh karena itu saraf ini akan terpapar lebih dulu

bila anestesi local diberikan secara suntikan ke dalam jaringan sekitar

saraf. Akibatnya bukan tidak mungkin saraf motor terhambat sebelum

penghambatan sensoris dalam bundle besar. Jadi, selama infiltrasi

hambatan saraf besar, anestesi muncul lebih dulu di bagian proksimal

dan kemudian menyebar ke distal sesuai dengan penetrasi obat ke dalam

tengah bagian bundle saraf.

2.5.3 Anestesi Cair yang Menguap

Halotan

Efek terhadap Sistem dalam Tubuh


37

a. Kardiovaskular

Depresi miokard bergantung pada dosis, penurunan otomatisitas sistem

konduksi, penurunan aliran darah ginjal dan splanknikus dari curah

jantung yang berkurang, serta pengurangan sensitivitas miokard

terhadap aritmia yang diinduksi katekolamin yang menyebabkan

terjadinya hipotensi untuk menghindari efek hipotensi yang berat

selama anestesi, yang dalam hal ini perlu diberikan vasokonstriktor

langsung, seperti fenileprin 2.

b. Pernapasan

Depresi respirasi terkait dengan dosis yang dapat menyebabkan

menurunnya volume tidal dan sensitivitas terhadap pengaturan respirasi

yang dipacu oleh CO2. Pemberian bronkodilator poten sangat baik

untuk mengurangi spasme bronkus 2.

c. Susunan Saraf Pusat

Hilangnya autoregulasi aliran darah serebral yang menyebabkan

tekanan intrakranial menurun 2.

d. Ginjal

Menurunnya GFR, dan berkurangnya aliran darah ke ginjal disebabkan

oleh curah jantung yang menurun 2.

e. Hati

Aliran darah ke hati menurun 2.

f. Uterus

Menyebabkan relaksasi otot polos uterus; berguna dalam manipulasi

kasus obstetrik (misalnya penarikan plasenta) 2.


38

Metabolisme

Sebanyak 80% hilang melalui gas yang dihembuskan, 20% melalui

metabolisme di hati. Metabolit berupa bromida dan asam trifluoroasetat 2.

Keuntungan dan Kerugian

Potensi anestesi umum kuat, induksi dan penyembuhan baik, iritasi jalan

napas tidak ada, serta bronkodilator yang sangat baik. Sedangkan kerugiannya

adalah depresi miokard dan pernapasan, sensitisasi miokard terhadap aritmia yang

diinduksi oleh katekolamin, serta aliran darah serebral menurun yang dapat

menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial 2.

Indikasi Klinik

Halotan digunakan secara ekstensif dalam anestesia anak karena

ketidakmampuannya menginduksi inhalasi secara cepat dan status asmatikus yang

refraktur. Obat ini dikontraindikasikan pada pasien dengan penyakit intrakranial 2.

Efek samping/Toksisitas

a. Hepatitis halotan: kejadian 1/30.000 dari pemberian; pasien yang

mempunyai resiko adalah yang mengalami obesitas, wanita usia muda

lebih banyak terjadi dengan periode waktu yang singkat; ditandai

dengan nekrosis sentrilobuler; uji fungsi hati abnormal dan eosinofilia.

Sindrom ini dapat juga terjadi dengan isofluran dan etran 2.

b. Hipertermi maligna: suatu sindrom yang ditandai dengan peningkatan

suhu tubuh secara belebihan, rigiditas otot rangka, serta dijumpai

asidosis metabolik. Secara umum, hal ini berakibat fatal kecuali jika

diobati dengan dantrolen yang merupakan pelemas otot yang mencegah

Ca dari retikulum sarkoplasmik 2.


39

Enfluran

Efek terhadap Sistem dalam Tubuh

a. Kardiovaskular

Depresi miokard bergantung pada dosis, vasodilator arterial, dan

sensitisasi ringan miokard terhadap katekolamin 2.

b. Respirasi

Depresi pernapasan bergantung pada dosis; hipoksia ablasia yang

disebabkan oleh bronkodilator 2.

c. Susunan Saraf Pusat

Dapat menimbulkan kejang pada kadar enfluran tinggi dengan tekanan

parsial CO2 (PCO2) menurun (hipokarbia); vasodilatasi serebral dengan

meningkatnya tekanan intrakranial 2.

d. Ginjal

Aliran darah ginjal dan GFR menurun 2.

Metabolisne

Sebanyak 2% enfluran dimetabolisme di hati, metabolit utama, yaitu

fluorida mempunyai potensi untuk menimbulkan nefrotoksis (sangat jarang

digunakan secara klinis) 2.

Keuntungan dan kerugian

Secara klinis, enfluran merupakan bronkodilator yang baik, respons

kardiovaskular stabil, kecenderungan aritmia jantung minimal, dan tidak

mengiritasi saluran napas. Sedangkan kerugiannya adalah Enfluran mempunyai

potensi aktivitas kejang. Kontraindikasi pada pasien dengan tekanan intrakranial

yang meningkat disertai dengan gangguan patologik intrakranial 2.


40

Isofluran

Efek terhadap Sistem dalam Tubuh

a. Kardiovaskular

Terjadi depresi miokard yang ringan dan bergantung pada dosis,

sedangkan curah jantung biasanya normal disebabkan sifat

vasodilatasinya, sensitisasi miokard minimal terhadap katekolamin,

dapat menyebabkan coronary steal oleh vasodilatasi normal pada

stenosis dengan aliran yang berlebihan 2.

b. Respirasi

Depresi respons terhadap CO2 bergantung pada dosis, hipoksia

ventilasi, bronkodilator, iritasi sedang pada jalan napas 2.

c. Ginjal

Glomerular Filtration Rate (GFR) dan aliran darah ginjal rendah

disebabkan tekanan arterial menengah yang menurun 2.

d. Susunan Saraf Pusat

Efek minimal pada otoregulasi serebral, konsumsi oksigen

metabolik serebral menurun, dan merupakan obat pilihan untuk

bedah saraf 2.

Metabolisme

Hanya 0,2% yang dimetabolisme di hati, selebihnya diekskresikan pada

waktu ekspirasi dalam bentuk gas 2.

Keuntungan dan Kerugian


41

Keadaan kardiovaskular stabil, tidak bersifat aritmogenik, tekanan

ntrakranial tidak meningkat, bronkodilator. Sedangkan kerugiannya adalah

Iritasi jalan napas sedang 2.

Sevofluran

Sevofluran merupakan fluoro karbon dengan bau yang tidak begitu

menyengat, dan tidak begitu mengiritasi saluran napas, serta absorpsinya cepat. Zat

ini tidak stabil secara kimiawi. Bila terpajan absorben CO2, Sefofluran akan terurai

menghasilkan zat yang bersifat nefrotoksik. Metabolismenya di hati menghasilkan

ion flour yang juga merusak ginjal. Indikasi klinik: sebagai anestesi umum untuk

melewati stadium 2 dan untuk pemeliharaan umum 2.

Sensitivitas Toksisitas

terhadap Curah Tekanan Refleks pada

Obat Aritmia katekolamin jantung Darah Respirasi Hepar

Halotan ↑ ↑ ↓ ↓ ↓ +++

Enfluran ↑ ↑ ↓ ↓ ↓ +

↑(stimulas

Isofluran -- -- ↓ ↓ i --

awal)

Sevofluran -- -- -- -- -- --

Tabel 2.1 Obat Anestetik Inhalasi 9

2.5.4 Anestesi Intravena

Pada suatu operasi biasanya digunakan anestesi intravena untuk induksi

cepat melewati stadium II, dilanjutkan stadium III, dan dipertahankan dengan suatu
42

anestesi umum per inhalasi. Karena anestesi IV ini cepat menginduksi stadium

anestesi, penyuntikan harus dilakukan secara perlahan-lahan14.

2.5.5 Penggolongan Muscle Relaxant

Analgesia adalah hilangnya sensasi nyeri. Relaksan otot adalah obat yang

mengurangi ketegangan otot dengan bekerja pada saraf yang menuju otot (misalnya

kurare, suksinilkolin). Berdasarkan perbedaan mekanisme kerja dan durasi

kerjanya obat-obat pelumpuh otot dapat dibagi menjadi obat pelumpuh otot

depolarisasi (meniru aksi asetilkolin) dan obat pelumpuh otot nondepolarisasi

(mengganggu kerja asetilkolin). Obat pelumpuh otot nondepolarisasi dibagi

menjadi 3 grup lagi yaitu obat kerja lama' sedang' dan singkat. Obat-obat pelumpuh

otot dapat berupa senyawa benzilisokuinolin atau aminosteroid. Obat- obat

pelumpuh otot membentuk blokade saraf-otot fase I depolarisasi' blokade saraf-otot

fase II depolarisasi atau nondepolarisasi16.

2.5.5.1 Muscle Relaxant Golongan Depolarizing

Pelumpuh otot depolarisasi bekerja seperti asetilkolin, tetapi di celah sinaps

tidak dirusak dengan asetilkolinesterase sehingga bertahan cukup lama

menyebabkan terjadinya depolarisasi yang ditandai dengan fasikulasi yang diikuti

relaksasi otot lurik. Termasuk golongan ini adalah suksinilkolin (diasetil-kolin) dan

dekametonium. Didalam vena, suksinil kolin dimetabolisme oleh kolinesterase

plasma, pseudokolinesterase menjadi suksinil-monokolin. Obat anti kolinesterase

(prostigmin) dikontraindikasikan karena menghambat kerja pseudokolinesterase 6.

A. Suksinilkolin (diasetilkolin, suxamethonium)

Suksinilkolin terdiri dari 2 molekul asetilkolin yang bergabung. obat ini

memiliki onset yang cepat (30-60 detik) dan duration of action yang pendek (kurang
43

dari 10 menit). Ketika suksinilkolin memasuki sirkulasi, sebagian besar

dimetabolisme oleh pseudokolinesterase menjadi suksinilmonokolin. Proses ini

sangat efisien, sehingga hanya fraksi kecil dari dosis yang dinjeksikan yang

mencapaineuromuscular junction. Duration of action akan memanjang pada dosis

besar atau dengan metabolisme abnormal, seperti hipotermia atau rendanya level

pseudokolinesterase. Rendahnya level pseudokolinesterase ini ditemukan pada

kehamilan, penyakit hati, gagal ginjal dan beberapa terapi obat. Pada beberapa

orang juga ditemukan gen pseudokolinesterase abnormal yang menyebabkan

blokade yang memanjang 6.

B. Ciri Kelumpuhan

a. Ada fasikulasi otot.

b. Berpotensiasi dengan antikolinesterase.

c. Kelumpuhan berkurang dengan pemberian obat pelumpuh otot non

depolarisasi dan asidosis.

d. Tidak menunjukkan kelumpuhan yang bertahap pada perangsangan

tunggal maupun tetanik.

e. Belum diatasi dengan obat spesifik

2.5.5.2 Muscle Relaxant Golongan Non Depolarizing.

Bekerja berikatan dengan reseptor kolinergik nikotinik tanpa menyebabkan

depolarisasi, hanya menghalangi asetilkolin menempatinya, sehingga asetilkolin

tidak dapat bekerja 7.

Farmakokinetik obat pelumpuh otot nondepolarisasi dihitung setelah

pemberian cepat intravena. Rerata obat pelumpuh otot yang hilang dari plasma

dicirikan dengan penurunan inisial cepat (distribusi ke jaringan) diikuti penurunan


44

yang lebih lambat (klirens). Meskipun terdapat perubahan distribusi dalam aliran

darah' anestesi inhalasi memiliki sedikit efek atau tidak sama sekali pada

farmakokinetik obat pelumpuh otot. Peningkatan blok saraf-otot oleh anestesi

volatil mencerminkan aksi farmakodinamik' seperti dimanifestasikan oleh

penurunan konsentrasi plasma obat pelumpuh otot yang dibutuhkan untuk

menghasilkan tingkat blokade saraf tertentu dengan adanya anestesi volatile. Bila

volume distribusi menurun akibat peningkatan ikatan protein' dehidrasi' atau

perdarahan akut' dosis obat yang sama menghasilkan konsentrasi plasma yang lebih

tinggi dan potensi nyata akumulasi obat. Waktu paruh eliminasi obat pelumpuh otot

tidak dapat dihubungkan dengan durasi kerja obat-obat ini saat diberikan sebagai

injeksi cepat intravena 8.

Berdasarkan susunan molekul, maka pelumpuh otot non depolarisasi

digolongkan menjadi:

1. Bensiliso-kuinolinum :d-tubokurarin,metokurium, atrakurium,

doksakurium, mivakurium.

2. Steroid:pankuronium,vekuronium,pipekuronium,ropakuronium,

rokuronium.

3. Eter-fenolik : gallamin.

4. Nortoksiferin : alkuronium.

Ciri Kelumpuhan Otot

Non Depolarisasi

a. Tidak ada fasikulasi otot.

b. Berpotensiasi dengan hipokalemia, hipotermia, obat anestetik inhalasi

(eter, halotan, enfluran, isofluran)


45

c. Menunjukkan kelumpuhan yang bertahap pada perangsangan tunggal

atau tetanik.

d. Dapat diantagonis oleh antikolinesterase.

2.5.6 Penawar Pelumpuh Otot

Antikolin esterase bekerja dengan menghambat kolinesterase sehingga

asetilkolin dapat bekerja. Antikolinesterase yang paling sering digunakan adalah

neostigmin (dosis 0,04-0,08 mg/kg), piridostigmin (dosis 0,1-0,4 mg/kg) dan

edrophonium (dosis 0,5-1,0 mg/kg), dan fisostigmin yang hanya untuk penggunaan

oral (dosis 0,01-0,03 mg/kg). Penawar pelumpuh otot bersifat muskarinik sehingga

menyebabkan hipersalivasi, keringatan, bradikardi, kejang bronkus, hipermotilitas

usus dan pandangan kabur sehingga pemberiannya harus disertai vagolitik seperti

atropine (dosis 0,01-0,02mg/kg) atau glikopirolat (dosis 0,005-0,01 mg/kg sampai

0,2-0,3 mg pada dewasa) 6.

2.5.7 Analgesik

Menurut kamus perobatan Oxford (2011), obat anti nyeri bermaksud suatu

obat yang meredakan rasa nyeri. Obat anti nyeri ringan (aspirin dan parasetamol)

digunakan untuk meredakan nyeri kepala, nyeri gigi dan nyeri reumatik ringan

manakala obat anti nyeri yang lebih poten (narkotika atau opioid) seperti morfin

dan petidin hanya digunakan untuk meredakan nyeri berat memandangkan ia bisa

menimbulkan gejala dependensi dan toleransi. Sesetengah analgesik termasuk

aspirin, indometasin dan fenilbutazon bisa juga meredakan demam dan inflamasi

serta digunakan dalam kondisi rematik.

a. Jenis-Jenis Analgesik
46

Berdasarkan sifat farmakologisnya, obat anti nyeri (analgesika) dibagi

kepada dua kelompok yaitu analgesika perifer dan analgesika narkotika. Analgesika

perifer (non-narkotika) terdiri dari obat-obat yang tidak bersifat narkotik dan tidak

bekerja sentral manakala analgesika narkotika digunakan untuk meredakan rasa

nyeri hebat misalnya pada pesakit kanker 12.

b. Mekanisme Kerja Obat

1. Obat Anti Inflamasi Nonsteroid (OAINS)

Hampir semua obat AINS mempunyai tiga jenis efek yang penting yaitu:

- Efek anti-inflamatori : memodifikasi reaksi inflamasi

- Efek analgesik : meredakan suatu rasa nyeri

- Efek antipiretik : menurunkan suhu badan yang meningkat.

Secara umumnya, semua efek-efek ini berhubungan dengan tindakan awal

obat-obat tersebut yaitu penghambatan arakidonat siklooksigenase sekaligus

menghambat sintesa prostaglandin dan tromboksan13. Terdapat dua tipe enzim

siklooksigenase yaitu COX-1 dan COX-2. COX-1 merupakan enzim konstitutif

yang dihasilkan oleh kebanyakan jaringan termasuklah platlet darah (Rang et

al., 2007). Enzim ini memainkan peranan penting dalam menjaga homeostasis

jaringan tubuh khususnya ginjal, saluran cerna dan trombosit. Di mukosa

lambung, aktivasi COX-1 menghasilkan prostasiklin yang bersifat sitoprotektif.

COX-2 pula diinduksi dalam sel-sel inflamatori diaktivasi. Dalam hal ini,

stimulus inflamatoar seperti sitokin inflamatori primer yaitu interleukin-1 (IL-

1) dan tumour necrosis factor-α (TNF- α), endotoksin dan faktor pertumbuhan

(growth factors) yang dilepaskan menjadi sangat penting dalam aktivasi enzim

tersebut. Ternyata sekarang COX-2 juga mempunyai fungsi fisiologis yaitu di


47

ginjal, jaringan vaskular dan pada proses pembaikan jaringan. Tromboksan A2,

yang disentesis trombosit oleh COX-1, menyebabkan agregasi trombosit,

vasokonstriksi dan proliferasi otot polos. Sebaliknya prostasiklin yang

disintesis oleh COX-2 di endotel makrovaskular melawan efek tersebut dan

menyebabkan penghambatan agregasi trombosit, vasodilatasi dan efek anti-

proliferatif 11.

2. Obat Anti Inflamasi Steroid

Morgan Jr GE, Michail MS, Murray MJ (2006), Menjelaskan bahwa opioid

didefinisikan sebagai senyawa dengan efek yang diantagonis oleh nalokson.

a. Analgesik Opioid Kuat

Analgesik ini khususnya digunakan pada terapi nyeri tumpul yang tidak

terlokalisasi dengan baik (viseral). Nyeri somatik dapat ditentukan dengan jelas dan

bisa diredakan dengan analgesik opioid lemah. Morfin parenteral banyak digunakan

untuk mengobati nyeri hebat dan morfin oral merupakan obat terpilih pada

perawatan terminal.

Morfin dan analgesik opioid lainnya menghasilkan suatu kisaran efek sentral

yang meliputi analgesia, euforia, sedasi, depresi napas, depresi pusat vasomotor

(menyebabkan hipotensi postural), miosis akibat stimulasi nukleus saraf III (kecuali

petidin yang mempunyai aktifitas menyerupai atropin yang lemah), mual, serta

muntah yang disebabkan oleh stimulasi chemoreceptor trigger zone. Obat tersebut

juga menyebabkan penekanan batuk, tetapin hal ini tidak berkaitan dengan aktivitas

opioidnya. Efek perifer seperti konstipasi, spasme bilier, dan konstriksi sfingter

Oddi bisa terjadi. Morfin bisa menyebabkan pelepasan histamin dengan

vasodilatasi dan rasa gatal. Morfin mengalami metabolisme dalam hati dengan
48

berkonjugasi dengan asam glukoronat untuk membentu morfin-3-glukoronid yang

inaktif, dan morfin-6-glukuronid, yaitu analgesik yang lebih poten daripada morfin

itu sendiri, terutama bila diberi intratekal.

Diamorfin (heroin, diasetilmorfin) lebih larut dalam lemak daripada morfin

sehingga mempunyai awitan kerja lebih cepat bila diberikan secara suntikan. Kadar

puncak yang lebih tinggi menimbulkan sedasi yang lebih kuat daripada morfin.

Dosis kecil diamorfin epidural semakin banyak digunakan untuk mengendalikan

nyeri hebat.

Dekstromoramid mempunyai durasi kerja singkat (2-4 jam) dan dapat

diberikan secara oral maupun sublingual sesaat sebelum tindakan yang

menyakitkan.

Metadon mempunyai durasi kerja panjang dan kurang sedatif dibandingkan

morfin. Metadon digunakan secara oral untuk terapi rumatan pecandu heroin atau

morfin. Pada pecandu, metadon mencegah penggunaan obat intravena.

b. Analgesik Opioid Lemah

Analgesik opioid lemah digunakan pada nyeri ringan sampai sedang.

Analgesik ini bisa menyebabkan ketrgantungan dan cenderung disalahgunakan.

Akan tetapi, ibuprofen kurang menarik untuk pencandu karena tidak memberikan

efek yang hebat.

Kodein (metilmorfin) diabsorpsi baik secara oral, tetapi mempunyai afinitas

sangat rendah terhadap reseptor opioid. Sekitar 10% obat mengalami demetilasi

dalam hati menjadi morfin, yang bertanggung jawab atas efek analgesik kodein.

Efek samping (kostipasi, mudah, sedasi) membatasi dosis ke kadar yang


49

menghasilkan analgesia yang jauh lebih ringan daripada morfin. Kodein juga

digunakan sebagai obat antitusif dan antidiare.

2.6 Obat-obat emergensi

a. Obat-Obat Hemodinamik

Obat-obatan jantung dipengaruhi oleh:

- Tropik : mempengaruhi kontraktilitas miokard

- Atropik : mempengaruhi heart rate

- Inotropik : mempengaruhi kecepatan hantaran impuls

Kegagalan sirkulasi bisa disebabkan oleh inadekuat preload, gagal jantung,

maldistribusi (mis. Pada shock sepsis dan anafilaksis). Bila kegagalan sirkulasi

menetap setelah loading cairan optimal, maka perlu dipertimbangkan obat-obat

inotopik aktif untuk meningkatkan kontraktilitas miokard.

CO = SV x HR

Preload Afterload Kontraktilitas

Inotropik dibagi dalam 2 golongan:

- Katekolamin : Dopamin, dobutamin, epinephrine dan nor-epinephrine

- Nonkatekolamin: Digitalis, Milrinon, Ca-chloride

1. Adrenaline/Epinephrine

Efek: menaikkan laju nadi dan tekanan darah, vasokinstriksi, bronkodilatasi melalui

sistem saraf simpatis reseptor alpha dan beta.

Sediaan: Obat injeksi dalam ampul 1:1000 dan 1:10.000

Indikasi: Asistole, anapilaksis, gagal jantung, vasokonstriktor


50

Rute Dosis dewasa Dosis Pediatric

IV Cardiac arrest 1 mg (dapat diberikan 0,1 ml/kgBB, larutan

intracardiac), atau 0,1 ml/kgBB, 1:10.000 (bisa

1:10.000 larutan adrenalin titrasi intracardiaca pada

cardiac arrest

Infus 25mg dalam 250 ml dextrose 5% 0,1 ml/kgBB, larutan

mulai dengan 5mg/mnt dinaikkan 1:10.000, dapat diulang

sampai mencapai hasil yang setelah 15 menit

diharapkan

SC/IM 0,1-0,15 ml larutan, 1:1000 dapat

diulang setelah 15 menit

E.T 2 x dosis intravena

Lama Kerja: pendek, hanya beberapa menit dalam pemberian intravena

Efek Samping: Hipertensi, aritmia, iskemik jantung, fibrilasi ventrikel

Peringatan: Penderita jantung, aritmia, penderita yang mendapat infuse adrenalin

harus dimonitor dengan ketat (lebih baik dengan arterial line) dan obat sebaiknya

diberikan lewat vena sentral

2. Noradrenalin

Efek: vasokonstriksi pembuluh darah, bekerja pada reseptor alfa, berefek

menaikkan TD

Sediaan: 1mg/ml (dalam 1 ampule)

Indikasi: Hipotensi karena vasodilatasi yang hebat


51

Dosis: larutkan 4 mg dalam 250 ml dextrose 5%, infuse dimulai dengan dosis 4-

8mg/mnt, titrasi

Lama kerja: singkat

Efek samping: hipertensi, vasokonstriksi, iskemik miokard, aritmia

3. Dopamin

Efek: merupakan inotropik kuat, menaikkan laju denyut nadi dan menguatkan

kontraksi, melalui efek simpatis reseptor beta, meningkatkan cardiac output

Sediaan: 250 mg/5 ml dalam flacon

Indikasi: gagal jantung

Dosis: larutkan 250 mg kedalam 250-1000 dextrose 5%, dan mulai dengan dosis

2,5 mg/kgBB/menit, dan dapat dinaikkan sesuai kebutuhan. Walaupun dapat

diberikan lewat vena tepi yang besar tapi yang terbaik lewat vena sentral. Dapat

pula diberikan leeway syringe pump.

Lama kerja: beberapa menit

Efek samping: Takikardi, hipertensi, aritmia, iskemik jantung

Perhatian: pemberian lewat infuse dan diberikan lewat vena sentral

4. Dobutamin

Efek: merupakan ionotropik kuat, menaikkan laju HR dan menguatkan kontraksi

melalui efek simpatis reseptor beta jantung, meningkatkan CO

Sediaan: 250 mg/20 ml dalam flakon

Indikasi: gagal jantung

Dosis; larutkan 250 mg dalam 250-1000 ml D5% dan mulai dengan dosis 2,5 mg/kg

BB per menit dan dapat dinaikkan sesuai dengan kebutuhan. Walaupun dapat
52

diberikan levat vena tepi yang besar tapi yang terbaik lewat vena sentral, dapat juga

melalui syring pump.

Lama kerja: beberapa menit

Efek samping: takikardi, hipertensi, aritmia, iskhemi jantung

Peringatan: pemberian lewat infuse harus dimonitor dengan ketat dan diberikan

nlewat vena sentral

Indikasi: syok yang berhubungan dengan CHF, AMI, CKD

Dosis:

Ringan: 2-5 mcg/kg BB/mnt. Mengaktifkan reseptor dopaminergik, menjadikan

vasodilatasi ginjal, koroner dan serebral

Sedang: 5-10mcg/kgBB/mnt. Mengaktifkan beta reseptor sehingga dapat

meningkatkan kontraktilitas tekanan darah dan CO.

Berat: >10mcg/kgBB/mnt. Mengaktifkan reseptor alfa, membuat vasokonstriksi

pembuluh darah.

Rumus; dosis x BB x 60

jumlah mcg/cc

5. Heparin

Efek: merupakan antikoagulan potan yang bekerja terhadap potensiasi terhadap

beberapa faktor koagulan termasuk thrombin dan faktor x. efektifitasnya dapat

diukur secara laboratories yaitu APTT

Sediaan: 2500UI/ml dalam 5 ml (vial), 100 unit=1 mg.

Indikasi; prevensi dan pengobatan thrombosis vena dalam, prevensi thrombus pada

katub protetic dan untuk pengobatan emboli pulmonum. Untuk efek terapi dapat

dicek APTT 1,5-2 kali harga normal.


53

Dosis; Iv: 5000Unit diikuti dengan infuse 40.000 unit/24 jam, atau 10.000 unit tiap

6 bulan; SC: 5000 unit sebelum pembedahan kemudian 5000 unit setiap 8-12 jam.

Lama kerja: 4-6 jam

6. AMINOPHILYLLINE

Efek: Bronkodilatasi, chronotropic (mempengaruhi denyut miokard) dan inotropic

ringan, diuretic ringan

Sediaan: 250 mg dalam 10ml, ampul

Indikasi: Bronkodilatasi karena berbagai sebab, termasuk gagal jantung kongestif

Dosis:

IV: 4 mg/kgBB dalam 15 menit

Infus: Berikan dosis bolus diikuti infus 0,5 mg/kgBB/jam, kurang dosis pada usia

lanjut, chirrosis hepatis atau gagal hepar atau penderita dengan pengobatan

crythromcin atau cimetidine

Oral: 100-300 mg 3-4 kali sehari

Rectal: 360 mg suppositoria 1-2 kali sehari

Lama kerja: 6-15 jam

Efek samping: Aritmia, muntah, diuresis, merangsang SP

7. ANTACID

Efek: Karena sifatnya alkalis, dia menaikkan pH asam lambung (basa)

Sediaan: Alumunium hydrozida 500 mg tablet. Alumunium hydrozida 4% cair.

Alumunium trisilicate 250 mg tablet. Magnesium trisilicate

Indikasi: Pengobatan simtomatis pada dispepsia yang disebabkan ulkus peptikum,

gastritis, duodenitis reflux esophagitis, dispepsi non ulkus dan prevensi stres ulcus.

Pada dosis efektif untuk penyembuhan.


54

Dosis: Untuk pengobatan dispepsia: 1-2 tablet atau 10-20 ml. Untuk pengobatan

ulcus pepticum 20 ml tiap 2 jam.

Lama kerja: 1-4 jam

Efek samping: Senyawa aluminium dapat menyebabkan konstipasi. Senyawa

magnesium dapat menyebabkan diare.

8. BUPIVACAINE (Marcain)

Efek: Obat anestesi lokal

Sediaan: 0,25%, 0,5%, 0,75%, plain atau + adrenaline dalam vial 20 ml

Indikasi: infiltrasi, plexus, epidural, spinal anestesi.

Dosis: tidak melebihi 2 mg/kgBB tiap 4 jam.

Lama kerja: 2-8 jam

Efek samping: toksis anestesi lokal

Perhatian: jangan diberikan intravena

9. CALCIUM

Efek: inotropik ringan, mengurangi efek depresi citrate pada jantung, pada transfusi

darah mencegah tetapi karena kadar Ca yang rendah

Sediaan: Ca gluconate dan Ca chloride 10%

Indikasi: Pada tranfusi darah (lebih dari 1 unit/5 menit pada orang dewasa)

hiperkalemia, tetani.

Dosis: 2-4 mg/kgBB Ca chloride; 4-8 mg/kgBB Ca gluconate

Efek samping: Bradikardi, iritasi vena dan jaringan

Perhatian: jangan diberikan melalui set yang sama dengan darah


55

10. CIMETIDINE

Efek: merupakan antagonis reseptor H2 yaitu untuk mengurangi sekresi asam

lambung

Sediaan: injeksi 100mg/ml dalam ampul 2 ml. Tablet 200mg, 400 mg, 800 mg.

Indikasi: pengobatan ulkus lambung dan ulkus duodenum jinak refluks esofagitis

dan preventiv stress ulcus.

Dosis:

IV : 100-200 mg/jam selama 2 jam, bila perlu dapat diulang setelah 4-6 jam.

Infus: 400 mg dalam 100ml NaCl 0,9% diberikan dalam 1 jam dan diulang seteah

4-6 jam. Dapat juga dengan infus kontinyu 50-100 mg/jam selama 24 jam

Oral: 400 mg 2xsehari atau dosis tunggal 800 mg selama 4-6 minggu

Lama kerja: 3-6 jam

Efek samping: Pada pemberian IV secara cepat dapat menimbulkan aritmia,

interaksi dengan obat lain (potensiasi warfarin, phenitoin, aminophiline,

ginekomasti (jarang))

11. DIAZEPAM

Efek: sedativa, anticonvulsi poten

Sediaan: 100mg/2ml dalam ampu

Indikasi: premedikasi sedasi, anti convulsi, anti spasmodik, prevensi halusinasi.


56

Dosis:

Rute Dosis dewasa Dosis Pediatric

IV 5-20 mg, dengan efek bervariasi pada Titrasi, mulai dengan 0,1

tiap pasien, pada pasien tua lebih sensitif ml/kgBB

Infus 80 mg/lt dan diberikan dalam 8 jam

PR 0,25 mg/kgBB

Lama kerja: 15 menit sampai beberapa jam, tergantung dosis

Efek samping: Mengantuk, kurang kooperatif, depresi napas atau obstruksi terutam

pada pasien tua, kadang terjadi hipotensi. Metabolit diazepam dapat terakumulasi

pada pemberian per infus selama beberapa hari dengan dosis tingi. Dianjurkan

menurunkan dosis secara bertahap berdasarkan respon klinis pasien

Perhatian: pada pemberian intravena dapat menyebabkan kerusakan pada vena dan

pada pemberian jangka lama sebaiknya digunakan jalur vena sentral, sebaiknya

dihindari pemberian intramuskuler karena absorbsinya kurang baik, selain rasanya

nyeri

12. LARGACTIL

Efek: Merupakan transquiliser mayor dengan efek sedatif anti emetic dan berguna

untuk pengobatan hiccup yang persisten. Selain itu juga merupakan vasodilator dan

mempengaruhi homeostatis temperatur.

Sediaan: 25mg/ml dalam ampul

Indikasi: vomitus persisten, tetanus, hiccup persisten, pulmonal

Dosis: im: 25-50 mg dalam 4-8 jam.

iv: 5 mg sebagai vasodilator ringan atao 0,16 mg/kgBB/jam

Efek samping: gejala ekstra piramidal, hipotensi, takikardi, mengatuk


57

13. DIGOXIN

Efek: menurunkan kecepatan konduksi impuls yang melalui nodus

arttrioventrikularis. Meningkatkan kekuatan kontraksi jantung (efek inotropic

positif)

Sediaan: Injeksi: 250 mg/ml dalam ampul. Tablet: 62,5 mg, 125 mg

Indikasi: aritmia supraventrikuler, atrial fibrilasi, gagal jantung

Dosis:

IV: 0,5 mg dalam 15 menit dan diulang setelah 6 jam kemudian dilanjutkan

pemberian peroral.

Oral: Untuk digitalis cepat mulai dengan 0,75-1,5 mg diikuti dengan 0,25 mgsetiap

6 jam sampai fibrilasi terkontrol. Dosis pemeliharaan: 0,25-0,5 mg/hari. Untuk

digitalisasi lambat mulai dengan 0,25-0,75 mg/hari sampai terjadi perbaikan

kemudiandosis dituunkan. Level digoxin dalam darah 1-2 mg/liter(therapeutik)

Lama kerja: Half life: 34-51 jam dan lebih lama pada gagal ginjal

Efek samping: Pada pasien dengan insufisiensi renal atau hipokalemia biasanya

lebih mudah terjadi keracunan digoxin dengan gejala: mual, muntah, aritmia

(supraventikuler, bradikardia, dan block) Ginecomastia (sangat jarang)

Perhatian: pemebrian digoxin intravena harus pelan atau perinfus dan hanya pada

situasi darurat. Dosis harus diturunkan bila pasien telah mendapat obat glikoside

jantung yang lain dalam waktu 72 jam sebelumnya

14. EPHEDRINE

Efek: merupakan obat vasopressor dan menyebakan vasokonstriksi pembuluh

darah, meningkatkan laju denyut nadi dan kontraktilitas melalui reseptor alpha dan

beta sehingga menaikkan TD dan CO, juga merupakan bronkodilator ringan


58

Sediaan: 50 mg/ml dalam ampul

Indikasi: hipotensi karena vasodilatasi. Pemberian cairan harus selalu dilakukan

sebelum menggunakan vasopressor. Aman digunakan pada penderita yang sedang

hamil karena tidak menurunkan aliran darah plasenta.

Dosis: 5-10 mg iv, dapat diulang sesuai kebutuhan

Lama kerja: 10-30 menit

Efek samping: hipertensi, aritmia, iskemik miokard, stimulasi SSP

Perhatian: hati-hati pada penderita iskemik

15. FUROSEMIDE

Efek: merupakan diuretik poten yang bekerja pada Loop of Henle

Sediaan: 20 mg/2 ml dalam ampul

Indikasi: udema pulmonum, gagal jantung, kelebihan cairan, oliguria bukanlah

indikasi sampai dapt dipastikan bahwa penderita benar tidak kekurangan cairan

Dosis: 0,3 – 1 mg/kgBB. Pada gangguan renal dibutuhkan dosis yang tidak tinggi

Lama kerja: 2-4 jam

Efek samping: dapat memperburuk keadaan hipovolumia pada pasien dehidrasi,

hipokalemia

16. GLYCERYL TRINITRATE

Efek: menyebabkan relaksasi otot polos sehingga terjadi vasodilatasi pembuluh

darah vena, pada dosis yang besar juga menyebabkan dilatasi arteri koroner

Indikasi: iskemia miokard, gagal jantung.

Sediaan: 25 mg/ 10 ml dalam vial; Tablet 0,3 mg

Dosis: Sublingual: 0,3-0,6 mg sesuai kebutuhan.


59

Infus: 50 mg dilarutkan dalam 250 dextrose 5% titrasi juga dapat diberikan dengan

syringe pump

Lama kerja: singkat

Efek samping: takikardia, hipotensi, sakit kepala

Perhatian: pemberian lewat infus harus dimonitor dengan sangat ketat dan obat

diberikan lewat vena sentral

17. HYDROCORTISONE

Efek: menekan reaksi inflamasi, mempunyai efek mineral coricoid lemah

Indikasi: asma akut, shock anaphylactic, reaksi alergi, reaksi obat, reaksi transfusi,

terapi insufisiensi adrenal, menekan proses inflamasi beberapa penyakit

Sediaan: 100 mg/ 2ml dalam vial; Tablet 10 mg, 20 mg

Dosis: Dewasa: IV: 100-500 mg tiap 25 mg

Oral: 20-30 mg/hari dalam dosis terbagi

Pediatric: sampai umur 1 tahun 25mg; 1-5 tahun 50mg; 6-12 tahun 100mg

Lama kerja: onset: 2 jam, durasi 12 jam

Efek samping: pengobatan jangka panjang: hipertensi, kelemahan otot,

osteoporosis, ulcus pepticum. Perubahan netral dapat terjadi seperti: euphoria dan

disphoria. Gangguan pertumbuhan pada anak. Pada pengobatan lama dapat juga

terjadi supresi kelenjar adrenal (pada dosis tinggi)

Perhatian: untuk mencegah efek withdrawal, maka perlu dilakukan tapering dosis

18. LABETALOL

Efek: Merupakan antagonis reseptor beta sistem saraf simpatis. Menyababkan

lambatnya laju denyut nadi, dan menurunkan kekuatan kontraksi. Juga pada
60

reseptor alpha sehingga terjadi vasodilatasi pembuluh darah. Akibatnya akan terjadi

penurunan tekanan darah.

Indikasi: Hipertensi, aritmia supraventrikular

Sediaan: 0,5% dalam 20ml ampul

Dosis: IV: 10 -20 mg maksimum

Infus: 20 mg/jam, dapat dinaikkan maksimum 150 mg/jam

Oral: 100-200 mg, 2xsehari

Efek samping: kelebihan cairan, gagal ginjal menetap.

19. METHYLDOPA

Efek: menurunkan tekanan darah melalui efek control.

Sediaan: 50 mg/ml dalam ampul 5 ml. Tablet: 125 mg, 250 mg, 500 mg

Indikasi: Hipertensi sedang sampai berat

Dosis: IV: 250 mg- 500 mg dalam 500 ml Dextrose 5%, infus

Oral: 250 mg, 2xsehari, sampai maksimum 3 gr/hari

Lama Kerja: 8-48 jam (oral), onset 4-6 jam, Durasi 16 jam (iv)

Efek samping: anemia hemolitik, sedasi, hipotensi, impotensi

20. MORPHINE

Efek: Merupakan Analgesik opiat yang bekerja pada otak dan medula spinalis

Sediaan: 10 mg/ml dalam ampul

Indikasi: Nyeri akut

Dosis: Dewasa : 10-15 mg larutan dalam 10 ml titrasi atau dengan syringe pump

dengan 50 cc spuit disposible bel

Pediatrik: 0,2 mg/kgBB

Lama Kerja: 2-6 jam tergantung rute pemberian


61

Efek samping: mual, muntah, depresi nafas, kontraksi otot polos kadang kolik

kantung empedu, dapat memperburuk nyeri pada kolik renal, sedasi gatal di kulit

21. LIGNOCAINE

Efek: sebagai anestesi lokal, juga menstabilkan membran sel miokard sehingga

berefek sebagai anti aritmia

Sediaan: 0,5%, 1%, 2%, 4%, 5%, 10% dalam ampul 2 ml atau vial 2 ml dan 50 ml

Indikasi:

Dosis: LA : maksimum dalam 4 jam: 3 mg/kgBB. 7 mg/kgBB dengan adrenalin

1:200.000

IV: untuk aritmia ventrikuler: 1-1,5 mg/kgBB plain bolus dan diikuti dengan infus

kalau perlu

Oral: 250 mg, 2xsehari, sampai maksimum 3 gr/hari

Infusion: 4 mg/menit dalam 30 menit kemudian 2 mg/menit selama 2 jam dan i

mg/menit sampai tercapai hasil yang diharapkan

Efek samping: Toksis anestesi lokal

22. PHETIDINE

Efek: analgesik ophiat, bekerja pada otak dan medula spinalis

Sediaan: 50mg/mldalam ampul 2 ml

Indikasi: Nyeri hebat

Dosis dewasa: 1-15 mg/kg BB, larutkan dalam 10 ml, titrasi

Pediatrik: 1-1,5 mg/kgBB

Lama kerja tergantung rutenya

Perhatian: pasien <5 kg, cidera kepala, penyakit saluran nafas, orang tua
62

23. NALOXONE

Efek: menetralisir efek obat opiat

Sediaan: 400mg/ml dan 20 mg/ml dalam ampul 1 ml

Indikasi: overdosis opiat, depresi karena opiat

Dosis dewasa: 100-400 mg/kgBB, titrasi

Pediatrik: 10 mg/kgBB, iv atau im

Lama kerja: 30-60 menit

Efek samping: bila naloxone digunakan untuk mereverse suatu over dosis opiat

maka efek analgesiknya akan ikut hilang sehingga problem nyeri akan timbul

kembali terutama pada pemberian naloxone dosis tinggi

24. NIFEDIPINE

Efek: vasodilatasi perifer coroner

Sediaan: tablet 5 mg, 10 mg. Tablet sustaind release: 20 mg

Indikasi: hipertensi, angina

Dosis: 20-40 mg tablet SR 2xsehari

10-20 mg 3x sehari, 10 mg sublingual untuk hipertensi emergency

Efek samping: sakit kepala, flusing, edema sendi ankle

25. NITROPRUSID

Efek: vasodilator poten

Sediaan: powder 50 mg dalam ampul

Indikasi: malignant hipertensi, hipotensi kendali

Dosis: pemberian perinfus 0,1-1 mg/kgBB/menit sebagai dosis awal, selanjutnya

disesuaikan dengan respon tekanan darah. Jangan melebihi dosis maksimum 8


63

mg/kgBB/menit, dan apabila dalam 20 menit tidak memberikan respon yang

memuaskan maka pemberian dihentikan.

Lama kerja: sangat pendek

Efek samping: hipotensi, muntah, pusing dan nyeri perut terutama apabila tetesan

infus terlalu cepat pada overdosis: akan terjadi asidosis berat.

Perhatian: tidak dianjurkan penggunaan tanpa fasilitas arterikline monitor untuk

tekanan darahnya. Obat ini harus terlindung dari cahaya dan segera digunakan

memalui jalur vena sentral.

26. NORADRENALINE

Efek: vasokonstriksi pembuluh darah melalui alpha reseptor sehingga menaikkan

tekanan darah

Sediaan: 1 mg/ml dalam ampul

Indikasi: hipotensi karena vasodilatasi yang hebat

Dosis: larutkan 4 mg dalam 250 ml D5%, infus dimulai dengan dosis 4-8 mg/menit

titrasi

Lama kerja: singkat

Efek samping: hipertensi, vasokonstriksi berlebihan, iskemik miokard, aritmia

27. PHENYTOIN

Efek: merupakan anti konvulsan, mengurangi frekuensi kejang dengan menstabilir

ambang kejang

Sediaan: kapsul: 25 mg, 50 mg, 100 mg

Suspensi: 30 mg/5 ml

Injeksi: 250 mg/5 ml dalam ampul (iv atau im)


64

Indikasi: untuk prevensi dan mengontrol kejang pada grandmal epilepsi dan lobus

temporalis, juga efektif pada pasien eklampia

Dosis awal: oral: 150-300mg/hari

Iv: 13-15 mg/kgBB bolus (maksimal 50 mg/menit) kemudian diteruskan 100 mg

tiap 6 jam

Pediatrik: 5-9 mg/kaGG/hari

Lama kerja: 12-24 jam

Efek samping: toxic akut ataxia, nystagmus dan bicara tidak jelas, hirsutisine,

lymphadenopati, hiperflasi ginggiva. Hindari penggunaan pada pasien hamil,

khususnya trimester pertama

28. SALBUTAMOL

Efek: merupakan bronkodilator kuat yang bekerja pada reseptor beta 2 susunan

saraf simpatis, juga sebagai relaksan uterus.

Sediaan: aerosol inhaler, nebuliser, injeksi, tablet

Indikasi: bronkospasme, persalinan rematur

Dosis dewasa:

- aerosol: 1-2 semprotan tiap 4 jam

- nebilizer: 2,5-5 mg tiap 2-4 jam

- intramuskular: 500 mg tiap 4 jam

- Infus: 3-20 mg/menit titrasi

- Tablet: 2-5 tahun: 1-2 mg 3-4 x/perhari

6-12 tahun: 2 mg, 3 -4 x/hari

Lama kerja: 3-6 jam


65

Perhatian: takikardi, tremor, sakit kepala, hipokalemia terutama pada pemberian

perinfus

29. VERAPAMIL

Efek: meningkatkan periode refraktur otot jantung yaitu dengan menurunkan

kecepatan konduksi jaringan pengantar

Sediaan: injeksi 2,5 mg/ml dalam ampul 2 ml

Tablet: 40 mg, 80 mg, 160 mg

Indikasi: aritmia supraventrikuler, angina

Dosis: intravena 5 mg pasien dan diulang setelah 5 menit sampai dosis maksimum

10-15 mg

Oral: untuk aritmia 40-120 mg 3x/hari. Utnuk angina 80-120 mg 3x/hari

Lama kerja: 4-8 jam

Efek samping iv: hipotensi, bradikardi, blok, asistole

Tablet: mual, muntah dan konstipasi

Perhatian: jangan berikan verapamil bersama-sama dengan beta bloker, karena

dapat terjadi blok jantung yang fatal

30. WARFARIN

Efek: memperpanjang coagulasi darah dan dapat diukur melalui protrombin time.

Efek antikoagulan ini timbul melalui mekanisme penghambatan efek vitamin K

Sediaan: tablet 1mg, 3 mg, 5 mg

Dosis: 10 mg/hari selama 3 hari diikuti 2-8 mg/hari sampai nilai protrombin time

normal

Indikasi: trombosis vena dalam, emboli pulmonum, fibrilasi atrial, penderita

dengan katub stenosis


66

Perhatian: terjadi [potensiasi dengan alkohol dan obat seperti aspirin,

phenobarbital, phenilbuzone, beberapa antibiotik dan phenytoin.


67

DAFTAR PUSTAKA

1. Latief SA, Suryadi KA, Dachlan, MR. petunjuk praktis anestesiologi edisi 11.

Jakarta: FKUI. 2009. Hal 29-32

2. Munaf, S., 2008. Kumpulan Kuliah Farmakologi. Palembang: EGC

3. Oloan SM. Anestesi umum dan anestesi lokal. Medan: FKUMI.2012. Hal 1-5,

43-47

4. MansjoerA, Supro H, Wardani, dkk. Kapita selekta kedokteran edisi 3 jilid II.

Jakarta: FKUI. 2005. Hal 241-242, 250-256

5. Lunn, John N. Catatan anestesi edisi 4. Jakarta: FKUI. Hal 5-17

6. Mangku, dr, Sp. An. KIC & Senapathi, dr, Sp. An., 2010. Buku Ajar Ilmu

Anestesi dan Reanimasi. Jakarta: PT. Indeks.

7. Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR., 2007. Pelumpuh Otot. Petunjuk Praktis

Anestesiologi. Edisi 2. Jakarta; Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 3: 66-70.

8. Lunn JN., 2004. Farmakologi Terapan Anestesi Umum. Catatan Kuliah

Anestesi. Edisi 4. Jakarta; Penerbit Buku Kedokteran EGC; 4: 86-93.

9. Omoigui, S., 2009. Buku Saku Obat-Obatan. Edisi 11. Jakarta: EGC.

10. Morgan Jr GE, Mikhail MS, Murray Mj., 2006. Clinical Anesthesiology. 4th ed.

New York: Mcgraw-Hill Companies.

11. Fendrick, A.M., Pan, D.E., and Johnson, G.E., 2008. OTC Analgesics and Drug

Interactions: Clinical Implications. Osteopathic Medicine and Primary

12. Suleman, A., 2006. Tinjauan Farmakologis Obat-Obat Analgesik Untuk Rasa

Nyeri. Dalam: Hasan, W., (eds). 2006. Info Kesehatan Masyarakat.

Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara, Medan: 90-97.


68

13. Rang, H.P., Dale, M.M., Ritter, J.M., and Moore, P.K., 2007. Pharmacology.

5th ed. UK: Churchill Livingstone.

14. Kee, J.L., Hayes, E.R., 1996. Pendekatan Proses Keperawatan. EGC. Kovac,

A. L. 2003. Prevention and Treatment of Postoperative Nausea.

MedicineAbstrack, pp : 1-2.

15. Oxford University Press, 2011., Concise Medical Dictionary. 9th ed. UK:

Market House Books Ltd.

16. Rachmat, L., Sunatrio S., 2004. Obat pelumpuh otot. Anestesiologi. Bagian

Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas

Indonesia. Jakarta; 15: 81-86.

17. Bready LL, Mullin RM, Noorily SH. 2007. Anesthesia Breathing System. In:

Decision Making in Anesthesiology. 4th ed. Texas: Mosby Elsevior. Hal 14-8

18. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. 2006. Breathing System. In: Clinical

Anesthesiology. 4th ed. McGraw-Hill. New York: Lange Medical Books. Hal

242-52

19. Roth PA, Howley JE. 2007. Anesthesia Delivery Systems. In: Basic of

Nesthesia. 5th ed. Philadelphia: Elsevier. Hal 185-205

20. Michael AE, Ramsay MD. 2000. Anesthesia and Pain Management at Baylor

University Medical Center. New York: BUMC Proceedings. Hal 151-65.

21. Brockwell RC, Andrews JJ. 2010. Inhaled Anesthetic Delivery Systems. In:

Miller’s Anesthesia. 7th ed. San Fransisco: Elsevier.

Anda mungkin juga menyukai