DEMAM TIFOID
Disusun oleh:
Pembimbing:
2018
STATUS PASIEN
A. Identitas Pasien:
1. Nama : An. A. H.
2. Umur : 10 tahun 9 bulan
3. Tanggal lahir : 28 Maret 2008
4. Jenis Kelamin : Perempuan
5. Agama : Islam
6. Alamat : Jl. Manunggal 11 No. 22, Ciracas,
Jakarta Timur
7. Tanggal masuk rumah sakit : 26 November 2018
8. Tanggal pemeriksaan : 30 November 2018
9. Tanggal Keluar : 2 Desember 2018
10. Ruang rawat : Bangsal mawar, 601.1
11. Nomor rekam medis : 2011-320499
Ayah Ibu
Nama Tn. S Ny. A
Usia 35 tahun 32 tahun
Agama Islam Islam
Pekerjaan Karyawan Swasta Ibu rumah tangga
Alamat Jl. Manunggal 11 No. 22, Ciracas, Jakarta Timur
Hubungan Anak kandung
dengan anak
2
C. Anamnesa:
1. Keluhan Utama:
Demam sejak 1 minggu sebelum masuk rumah sakit.
3
3. Riwayat Penyakit Dahulu:
1. Pada saat usia 8 tahun, riwayat demam tifoid dirawat selama 5 hari
2. Pasien memiliki riwayat diare
3. Riwayat atopik (-)
4. Asma (-)
5. Disentri (-)
6. Kejang Demam (-)
7. Epilepsi (-)
8. TB (-)
Tn S Ny.A
An.A. H.
Keterangan:
: Laki-laki : Pasien
: Perempuan
4
6. Riwayat Tumbuh Kembang:
7. Riwayat Pribadi:
Kehamilan Masalah kehamilan Tidak ada
ANC 8 kali
Kelahiran Tempat persalinan RSUD Pasar Minggu
Penolong persalinan Dokter dan Bidan
Cara persalinan Pervaginam
Usia gestasi 38 minggu
5
Paska lahir Keadaan Bayi Berat lahir :3000 gr
Panjang badan: 50 cm
Lingkar kepala: ibu
lupa
Menangis spontan: ya
Kelainan bawaan:
tidak ada
8. Riwayat Imunisasi:
Ibu pasien mengatakan pasien udah mendapatkan imunisasi dasar lengkap.
9. Riwayat Makanan:
ASI : Sejak lahir sampai umur 1 tahun
MPASI : Mulai pada usia 6 bulan bubur cerelac
Makanan saat ini : Nasi, daging (ayam, sapi, ikan), sayur, dan buah
6
didaerah dekat dengan rumahnya. Menurut ibu pasien, pasien sering
mengkonsumsi makanan dan minuman yang dijual di luar sekolahnya.
D. Status Generalis
Di Bangsal Mawar 30/11/2018 jam 15:00 WIB
Keadaan umum : Sakit ringan
Kesadaran umum : Composmentis, GCS=15
Nadi : 80 kali/menit regular, isi, teraba kuat
Suhu : 36,4 oC
Pernafasan : 20 kali/menit, tidak tampak retraksi
Saturasi O2 : 98%
Status Gizi :
a. Berat badan : 36 kg
b. Tinggi badan : 145 cm
c. Lingkar Kepala : 51 cm
d. BB/U : 109% (berat badan cukup) terdapat lampiran
e. TB/U : 105 (tinggi badan normal) terdapat lampiran
f. BB/TB : 97% (gizi cukup) terdapat lampiran
g. LIKA : terletak antara – 2 SD sampai + 2 SD
(normal)Terdapat lampiran
E. Pemeriksaan Fisik
1. Kepala
1. Bentuk : normochepal
2. Rambut : warna hitam, tumbuh teratur, tidak mudah dicabut
3. Posisi : simetris
4. Wajah : tidak sembab, tidak seperti orang tua
5. Dahi Cekung : Tidak ada
7
2. Kulit
1. Warna : Kuning langsat, hipo/hiperpigmentasi (-)
2. Jaringan Parut: Tidak ada
3. Pigmentasi : dalam Batas Normal
4. Turgor : Baik
5. Ikterus : Tidak ada
6. Sianosis : Tidak ada
7. Pucat : Tidak ada
8. Efloresensi : Tidak ada
3. Mata
1. Exophthalmus : Tidak ada
2. Enopthalmus : Tidak ada
3. Edema kelopak : Tidak ada
4. Konjungtiva anemis : -/-
5. Sklera ikterik : -/-
6. Pupil : isokor
7. Refleks cahaya : langsung (+/+), tidak langsung (+/+)
8. Mata cekung : Tidak ada
4. Hidung
1. Bentuk : Normotia
2. Napas cuping hidung : Tidak ditemukan
3. Septum deviasi : Tidak ditemukan
4. Sekret : Tidak ditemukan
5. Telinga
1. Bentuk : dextra dan sinistra Normotia
2. Darah dan sekret : Tidak ditemukan
6. Mulut
1. Trismus : Tidak ada
2. Faring : mukosa hiperemis (-)
3. Lidah : lidah tidak kotor berwarna putih, deviasi (-)
8
4. Uvula : Sulit dinilai
5. Tonsil : T3/T3 tanpa mukosa hiperemis
7. Leher
1. Trakea : Ditengah, Tidak deviasi
2. Kelenjar tiroid : Tidak ada pembesaran
3. Kelenjar limfe : Tidak ada pembesaran
4. Tarikan nafas : Tidak ada
8. Paru-paru
1. Inspeksi : Pergerakan dinding dada simetris dalam keadaan statis dan
dinamis kanan kiri. Retraksi (-)
2. Palpasi : Tidak teraba kelainan dan masa pada seluruh lapang paru.
Fremitus taktil statis kanan kiri.
3. Perkusi : Terdengar sonor pada seluruh lapang paru.
4. Auskultasi : Suara dasar napas vesicular +/+, rhonki -/-, wheezing -/-
9. Jantung
1. Inspeksi : Iktus cordis tidak terlihat
2. Palpasi : Iktus cordis teraba lemah
3. Perkusi :
a. Batas jantung kanan pada ICS III-IV linea sternalis dekstra
b. Batas jantung kiri pada ICS V linea parasternal sinistra
c. Batas pinggang jantung pada ICS II linea parasternalis sinistra
4. Auskultasi : Bunyi jantung I-II normal regular, gallop (-) murmur (-)
10. Abdomen
1. Inspeksi : Buncit simetris, sikatriks (-), massa (-), hematom (-), spider
nevi (-)
2. Auskultasi : Bising usus (+) normal, tidak meningkat, bunyi abnormal
(-)
3. Perkusi : Timpani di seluruh kuadran, shifting dullness (-)
4. Palpasi : Supel, nyeri tekan (-), hepar tidak teraba membesar, lien
tidak teraba membesar, nyeri tekan (-), nyeri lepas (-), undulasi (-),
kandung kemih tidak teraba penuh, ascites (-).
9
11. Genitalia
1. Pada genitalia eksterna, terdapat rambut halus pada mons pubis
2. labia mayora yang menutupi labia minor dan klitoris
3. tidak adanya sekret atau cairan abnormal yang keluar dari uretra ataupun
vagina
12. Ekstremitas
1. Akral tidak dingin pada ekstremitas atas dan bawah kanan-kiri
2. Edema tidak ada pada ekstremitas bawah kanan-kiri
3. Capilarry refill time < 3 detik
F. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium (26-11-2018)
Jenis Pemeriksaan Hasil
Hematologi
Hemoglobin 11,3 g/dL (L)
Hematokrit 36 %
Eritrosit 6,5 juta/uL ^ (H)
Leukosit 16,50 103 /uL (H)
Trombosit 628.000 /uL (H)
10
S. thypi O Negatif
11
G. Resume
Pasien datang ke IGD dengan demam sejak 7 hari sebelum masuk
rumah sakit dengan demam dirasakan naik turun dan semakin tinggi.
Keluhan lain yaitu mual, muntah, dan nyeri saat menelan. Pada
pemeriksaaan fisik ditemukan pembesaran tonsil dengan hasil T3/T3. Pada
hasil lab ditemukan Hb yang sedikit menurun dan peningkatan eritrosit,
leukosit, dan trombosit. Hasil pemeriksaan serologi widal (+) 1/80 pada S.
parathypi AO dan S. parathypi BO. Pada pemeriksaan urinalisa ditemukan
adanya keton +1, darah +2, leukosit esterase (+1) dan peningkatan eritrosit
dan leukosit pada sedimen urin. Hasil pemeriksaan imunologi tubex adalah
6.
H. Diagnosis
Demam Tifoid
Tonsilofaringitis akut
I. Diagnosis Banding
J. Tatalaksana
Nonmedikamentosa
Bedrest
Diet makanan lunak cukup kalori, cukup protein, rendah serat.
Edukasi untuk menjaga kebersihan atau kehigenisan makanan yang
dimakan oleh anak.
Medikamentosa
- IVFD Kaen 1B 500 cc/ 24 jam
- Inj. Ceftriaxone 1 x 200 mg
- Inj. Omeprazole 1 x 40 mg
- Paracetamol Tab 4 x 100 mg
- Kenacort 3 x 4 mg
12
Follow Up
26 November 2018 jam 19.15 (IGD)
S/. Demam naik turun sejak 1 minggu sebelum masuk RS, mual (+), muntah (-
). BAB cair (-), BAK dalam batas normal, nyeri kepala (+), batuk (-), pilek(-)
O/
Keadaan Umum : sakit ringan GCS: 15
Tanda-tanda Vital
Frekuensi Nadi : 125 x/menit BB : 36 kg
Frekuensi Nafas : 24 x/menit
Suhu : 38,8˚C
Tekanan Darah : 100/70 mmHg
Kepala : normochephal
Mata : Conjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-), Reflek cahaya langsung /
tidak langsung (+/+), cekung (-)
THT : Auricular dextra-sinistra tampak normal, sekret (-), serumen (-)
Hidung : bentuk normal, rhinorrhea (-), nafas cuping hidung (-)
Tenggorokan : mukosa hiperemis (-)
Toraks
Pul: vesikuler +/+, ronki +/+, wheezing -/-
Cor: BJ1 BJ2 reg. Murmur: (-) Gallop: (-)
Abdomen : Bising Usus (+) Nyeri Tekan (-) Turgor (baik)
Ekstremitas : Akral Hangat (+)
A/ Prolonged febris pada bacterial infection
Susp. Demam tifoid
P / Jam 21.20 konsul dengan dr Evi, Sp.A
- IVFD Kaen 1B 1000 cc/ 24 jam
- Inj. Cefotaxime 3 x 100 mg
- Inj. Omeprazole 1 x 40 mg
- Sanmol Tab 4 x 100 mg (p.o)
→ cek urin sedimen dan TUBEX diruangan
13
27 November 2018 jam 05.00 (Ruangan Mawar)
S/ demam naik turun, mual (+), muntah (+) 1x, makan hanya 3 sendok makan,
minum (+), BAK (+), BAB (-), batuk (-), pilek (-), nyeri perut (-)
O/
Tanda-tanda Vital
Frekuensi Nadi : 90 x/menit
Suhu : 38,4˚C
Tekanan Darah : 99/60 mmHg
Pernafasan : 22x/menit
Kepala : normochephal
Mata : Conjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-), Reflek cahaya langsung / tidak
langsung (+/+), cekung (-)
THT : Auricular dextra-sinistra tampak normal, sekret (-), serumen (-)
Hidung : bentuk normal, rhinorrhea (-), nafas cuping hidung (-)
Tenggorokan : mukosa hiperemis (-) Tonsil T3/T3
Mulut dan bibir : lembab, sianosis (-), stomatitis (-), caries gigi (-), pucat (-).
Leher : Pembesaran KGB (-), Pembesaran kelenjar thyroid (-), trachea terletak di
tengah.
Toraks
Pul: vesikuler +/+, ronki +/+, wheezing -/-
Cor: BJ1 BJ2 reg. Murmur: (-) Gallop: (-)
Abdomen : Bising Usus (+) Nyeri Tekan (-) Turgor (baik)
Ekstremitas : Akral Hangat (+)
A/ Susp. Demam tifoid
P/- IVFD Kaen 1B 500 cc/ 24 jam
- Inj. Ceftriaxone 1 x 2000 mg
- Inj. Omeprazole 1 x 40 mg
- Paracetamol Tab 4 x 100 mg
14
28 November 2018 jam 05.00 Mawar
S/ demam (+), semalam demam sampai 38˚C kemudian diberikan parasetamol
demam kemudian turun, mual (+), muntah (+) 3 kali, BAK (+), BAB (+) normal,
nafsu makan masih menurun.
O/
Keadaan Umum : Sakit ringan
Kesadaran : Composmentis, GCS= 15
Tanda-tanda Vital
Frekuensi Nadi : 77 x/menit
Frekuensi Nafas : 24 x/menit (Retraksi -)
Sp02 : 98%
Suhu : 36,6˚C
Tekanan Darah : 96/62 mmHg
Kepala : normochephal
Mata : Conjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-), Reflek cahaya langsung / tidak
langsung (+/+), cekung (-)
THT : Auricular dextra-sinistra tampak normal, sekret (-), serumen (-)
Hidung : bentuk normal, rhinorrhea (-), nafas cuping hidung (-)
Tenggorokan : mukosa hiperemis (-) Tonsil T3/T3
Mulut dan bibir : lembab, sianosis (-), stomatitis (-), caries gigi (-), pucat (-).
Leher : Pembesaran KGB (-), Pembesaran kelenjar thyroid (-), trachea terletak di
tengah.
Toraks Pul: vesikuler +/+, ronki +/+, wheezing -/-
Cor: BJ1 BJ2 reg. Murmur: (-) Gallop: (-)
Abdomen : Bising Usus (+) Nyeri Tekan (-) Turgor (baik)
Ekstremitas : Akral Hangat (+) Edem a(-)
A/ demam tifoid
P/- IVFD Kaen 1B 500 cc/ 24 jam
- Inj. Ceftriaxone 1 x 2000 mg
- Inj. Omeprazole 1 x 40 mg
- Paracetamol Tab 4 x 100 mg
15
16
29 November 2018 jam 05.00 Mawar
S/ demam (+), saat sore dan malam hari dengan suhu terukur 38 ˚C, mual (-),
muntah (-), BAK (+), BAB (+) normal, nafsu makan masih menurun.
O/
Keadaan Umum : Sakit ringan
Kesadaran : Composmentis, GCS= 15
Tanda-tanda Vital
Frekuensi Nadi : 125 x/menit
Frekuensi Nafas : 24 x/menit (Retraksi -)
SpO2 : 99%
Suhu : 37˚C
Tekanan Darah : 100/60 mmHg
Kepala : normochephal
Mata : Conjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-), Reflek cahaya langsung / tidak
langsung (+/+), cekung (-)
THT : Auricular dextra-sinistra tampak normal, sekret (-), serumen (-)
Hidung : bentuk normal, rhinorrhea (-), nafas cuping hidung (-)
Tenggorokan : mukosa hiperemis (-) Tonsil T3/T3
Mulut dan bibir : lembab, sianosis (-), stomatitis (-), caries gigi (-), pucat (-).
Leher : Pembesaran KGB (-), Pembesaran kelenjar thyroid (-), trachea terletak di
tengah.
Toraks Pul: vesikuler +/+, ronki +/+, wheezing -/-
Cor: BJ1 BJ2 reg. Murmur: (-) Gallop: (-)
Abdomen : Bising Usus (+) Nyeri Tekan (-) Turgor (baik)
Ekstremitas : Akral Hangat (+) Edema(-)
A/ demam tifoid
tonsilitis
P/- IVFD Kaen 1B 500 cc/ 24 jam
- Inj. Ceftriaxone 1 x 2000 mg
- Inj. Omeprazole 1 x 40 mg
17
30 November 2018 jam 05.30
S: demam (+) pukul 00.00 dengan suhu terukur 39˚C setelah diberikan obat langsung
turun demamnya. Mual (-), muntah (-), BAB (+) lunak berwarna coklat 1 kali, BAK
(+), nafsu makan membaik sudah makan 3 kali sehari dan minum cukup.
Keadaan Umum : Sakit ringan
Kesadaran : Composmentis, GCS= 15
Tanda-tanda Vital
Frekuensi Nadi : 80 x/menit
Frekuensi Nafas : 20 x/menit
Sp02 : 99%
Suhu : 36˚C
Tekanan Darah : 100/60 mmHg
Kepala : normochephal
Mata : Conjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-), Reflek cahaya langsung / tidak
langsung (+/+), cekung (-)
THT : Auricular dextra-sinistra tampak normal, sekret (-), serumen (-)
Hidung : bentuk normal, rhinorrhea (-), nafas cuping hidung (-)
Tenggorokan : mukosa hiperemis (-) Tonsil T3/T3
Mulut dan bibir : lembab, sianosis (-), stomatitis (-), caries gigi (-), pucat (-).
Leher : Pembesaran KGB (-), Pembesaran kelenjar thyroid (-), trachea terletak di
tengah.
Toraks Pul: vesikuler +/+, ronki +/+, wheezing -/-
Cor: BJ1 BJ2 reg. Murmur: (-) Gallop: (-)
Abdomen : Bising Usus (+) Nyeri Tekan (-) Turgor (baik)
Ekstremitas : Akral Hangat (+) Edema(-)
A/ demam tifoid
tonsilofaringitis
P/- IVFD Kaen 1B 500 cc/ 24 jam
- Inj. Ceftriaxone 1 x 2000 mg
- Inj. Omeprazole 1 x 40 mg
- Kenacort 3 x 4 mg (p.o)
18
1 Desember 2018 jam 05.30
S: demam (+) pukul 18.00 (30/11) dengan suhu 38 ˚C, mual (-), nyeri menelan (-),
BAB (+), BAK (+), nafsu makan membaik
Keadaan Umum : Sakit ringan
Kesadaran : Composmentis, GCS= 15
Tanda-tanda Vital
Frekuensi Nadi : 100 x/menit
Frekuensi Nafas : 20 x/menit
Sp02 : 99%
Suhu : 36˚C
Tekanan Darah : 105/60 mmHg
Kepala : normochephal
Mata : Conjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-), Reflek cahaya langsung / tidak
langsung (+/+), cekung (-)
THT : Auricular dextra-sinistra tampak normal, sekret (-), serumen (-)
Hidung : bentuk normal, rhinorrhea (-), nafas cuping hidung (-)
Tenggorokan : mukosa hiperemis (-) Tonsil T3/T3
Mulut dan bibir : lembab, sianosis (-), stomatitis (-), caries gigi (-), pucat (-).
Leher : Pembesaran KGB (-), Pembesaran kelenjar thyroid (-), trachea terletak di
tengah.
Toraks Pul: vesikuler +/+, ronki +/+, wheezing -/-
Cor: BJ1 BJ2 reg. Murmur: (-) Gallop: (-)
Abdomen : Bising Usus (+) Nyeri Tekan (-) Turgor (baik)
Ekstremitas : Akral Hangat (+) Edema(-)
A/ demam tifoid
Tonsilofaringitis
P/- IVFD Kaen 1B 500 cc/ 24 jam
- Inj. Ceftriaxone 1 x 2000 mg
- Inj. Omeprazole 1 x 40 mg
- Kenacort 3 x 4 mg (p.o)
19
K. Prognosis
20
TINJAUAN PUSTAKA
DEMAM TIFOID
1.1 DEFINISI
Demam tifoid adalah infeksi yang mengancam jiwa yang disebabkan oleh
bakteri Salmonella typhi. Penyakit ini biasanya menyebar melalui makanan atau air
yang terkontaminasi. Setelah bakteri Salmonella typhi masuk ke dalam tubuh lewat
dimakan atau diminum, mereka berkembang biak dan menyebar ke dalam aliran
darah. Demam tifoid, juga dikenal sebagai demam enterik, adalah penyakit
multisistemik yang berpotensi fatal yang disebabkan terutama oleh Salmonella
enterica, subspesies enterica serovar typhi dan, pada tingkat yang lebih rendah,
serovar terkait paratyphi A, B, dan C.
1.2 EPIDEMIOLOGI
Perbaikan kondisi hidup dan pengenalan antibiotik menghasilkan
penurunan drastis morbiditas dan mortalitas demam tifoid di negara-negara
industri. Di daerah berkembang di Afrika, Amerika, Asia Tenggara dan wilayah
Pasifik Barat, bagaimanapun, penyakit ini terus menjadi masalah kesehatan
masyarakat. WHO memperkirakan beban penyakit demam tifoid global pada 11-20
juta kasus per tahun, menghasilkan sekitar 128 000-161 kematian per tahun.
Risiko tifoid lebih tinggi pada populasi yang tidak memiliki akses ke air
yang aman dan sanitasi yang memadai. Masyarakat miskin dan kelompok rentan
termasuk anak-anak berisiko paling tinggi. Perbaikan kondisi hidup dan pengenalan
antibiotik menghasilkan penurunan drastis morbiditas dan mortalitas demam tifoid
di negara-negara industri. Di daerah berkembang di Afrika, Amerika, Asia
Tenggara dan wilayah Pasifik Barat, bagaimanapun, penyakit ini terus menjadi
masalah kesehatan masyarakat.
WHO memperkirakan beban penyakit demam tifoid global pada 11-20 juta
kasus per tahun, menghasilkan sekitar 128 000-161 kematian per tahun. Risiko
tifoid lebih tinggi pada populasi yang tidak memiliki akses ke air yang aman dan
21
sanitasi yang memadai. Masyarakat miskin dan kelompok rentan termasuk anak-
anak berisiko paling tinggi.
1.3 ETIOLOGI
Struktur
Morfologi
22
Mudah tumbuh pada medium sederhana, misalnya garam empedu.
Tidak dapat tumbuh dalam larutan KCN.
Membentuk asam dan kadang-kadang gas dari glukosa dan manosa.
Menghasikan H2S.
Antigen O: bagian terluar dari lipopolisakarida dinding sel dan
terdiri dari unit polisakarida yang berulang. Beberapa polisakarida
O-spesifik mengandung gula yang unik. Antigan O resisten terhadap
panas dan alkohol dan biasanya terdeteksi oleh aglutinasi bakteri.
Antibodi terhadap antigen O terutama adalah IgM.
Antigen Vi atau K: terletak di luar antigen O, merupakan
polisakarida dan yang lainnya merupakan protein. Antigen K dapat
mengganggu aglutinasi dengan antiserum O, dan dapat berhubungan
dengan virulensi. Dapat diidentifikasi dengan uji pembengkakan
kapsul dengan antiserum spesifik.
Antigen H: terdapat di flagel dan didenaturasi atau dirusak oleh
panas dan alkohol. Antigen dipertahankan dengan memberikan
formalin pada beberapa bakteri yang motil. Antigen H beraglutinasi
dengan anti-H dan IgG. Penentu dalam antigen H adalah fungsi
sekuens asam amino pada protein flagel (flagelin). Antigen H pada
permukaan bakteri dapat mengganggu aglutinasi dengan antibodi
antigen O.
Organisme dapat kehilangan antigen H dan menjadi tidak motil.
Kehilangan antigen O dapat menimbulkan perubahan bentuk koloni
yang halus menjadi kasar.
Antigen Vi atau Sebagian besar isolat motil dengan flagel peritrik.
Tumbuh pada suasana aerob dan fakultatif anaerob pada suhu 15–
41oC (suhu pertumbuhan
K dapat hilang sebagian atau seluruhnya dalam proses transduksi.
23
(Jawezt et al, 2004)
4. Substansi racun dapat diproduksi oleh bakteri dan dapat dilepaskan dan
mempengaruhi keseimbangan tubuh.
24
Cara Infeksi
Sifat
25
1.4 PATOGENESIS
26
plague Peyeri yang sedang mengalami nekrosis dan hyperplasia akibat
akumulasi sel – sel mononuclear di dinding usus. Proses patologis jaringan
limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot, serosa usus, dan dapat
mengakibatkan perforasi.
27
1.6 MANIFESTASI KLINIS
Sindrom klinis yang terkait dengan S. typhi dan paratyphi tidak dapat
dibedakan. Demam tifoid dimulai 7-14 hari setelah konsumsi makanan atau
minuman yang mengandung organisme penyebab. Pola demam adalah langkah
demi langkah, ditandai dengan meningkatnya suhu selama setiap hari yang turun
pada pagi berikutnya. Puncak dan palung naik secara progresif seiring waktu.
Selama minggu kedua penyakit, tanda dan gejala yang tercantum di atas
mengalami kemajuan. Perut menjadi buncit, dan splenomegali lunak sering terjadi.
Bradikardia relatif dan pulsa dicrotic (double beat, detakan kedua lebih lemah dari
yang pertama) dapat berkembang.
Pada minggu ketiga, individu yang masih demam tumbuh lebih beracun dan
anoreksia dengan penurunan berat badan yang signifikan. Konjungtiva terinfeksi,
dan pasien mengalami tachypneic dengan denyut nadi dan ronki di atas dasar paru-
28
paru. Distensi abdomen parah. Beberapa pasien mengalami busuk, hijau-kuning,
cairan diare (diare sup kacang). Individu dapat turun ke keadaan tifoid, yang
ditandai dengan sikap apatis, kebingungan, dan bahkan psikosis. Peyer necrotic
patch dapat menyebabkan perforasi usus dan peritonitis. Komplikasi ini sering tidak
terdeteksi dan mungkin ditutupi oleh kortikosteroid. Pada titik ini, toksemia yang
luar biasa, miokarditis, atau perdarahan usus dapat menyebabkan kematian.
Anak-anak kecil, orang dengan AIDS, dan sepertiga dari orang dewasa
imunokompeten yang terjangkit demam tifoid mengembangkan gejala klinis diare
daripada sembelit. Selain itu, di beberapa daerah, demam tifoid umumnya lebih
cenderung menyebabkan diare daripada sembelit.
29
Barré. Komplikasi lain yang tidak biasa termasuk pankreatitis, meningitis, orkitis,
osteomielitis, dan abses di mana saja pada tubuh.
1. Anamnesis
Gejala klinis demam tifoid pada anak biasanya lebih ringan jika
dibandingkan dengan penderita dewasa. Maas tunas rata-rata 10-20 hari.
Yang tersingkat 4 hari jika infeksi terjadi melalui makanan,sedangkan yang
terlamasampai 30 hari jika infeksi melalui minuman. Selama masa inkubasi
mungkin ditemukan gejala prodormal, yaitu perasaan tidak enak badan,
lesu, nyeri kepala, pusing dan tidak bersemangat. Kemudian menyusul
gejala klinis yang biasa ditemukan, yaitu :
a. Demam
Pada kasus-kasus yang khas, demam berlangsung 3 minggu. Bersifat
febris remiten dan suhu tidak berapa tinggi. Selama minggu pertama,
suhu tubuh berangsur-angsur meningkat setiap hari, biasanya menurun
pada pagi hari dan meningkat lagi pada sore dan malam hari. Dalam
minggu kedua, penderita terus berada dalam keadaan demam. Dalam
minggu ketiga suhu badan berangsur-angsur turun dan normal kembali
pada kahir minggu ketiga
c. Gangguan kesadaran
30
Umumnya kesadaran penderita menurun walaupun tidak berapa dalam,
yaitu apatis sampai somnolen. Jarang terjadi sopor, koma dan gelisah.
2. Pemeriksaan Fisik
Pada anak, periode inkubasi demam tifoid antara 5–40 hari dengan
rata-rata antara 10–40 hari.Gejala klinis demam tifoid sangat bervariasi, hal
tersebut dapat terjadi disebabkan oleh faktor galur Salmonella, status nutrisi
dan imunologik penjamu, serta lama sakit di rumahnya.Penampilan demam
pada kasus demam tifoid mempunyai istilah khusus yaitu step-ladder
temperature chart yang ditandai dengan demam timbul insidius, kemudian
naik secara bertahap tiap harinya dan mencapai titik tertinggi pada akhir
minggu pertama. Setelah itu demam akan bertahan tinggi. Pada minggu ke-
4, demam turun perlahan secara lisis. Demam lebih tinggi saat sore dan
malam hari dibandingkan dengan pagi harinya.
Pada minggu pertama, gejala klinisnya yaitu demam, nyeri kepala, pusing,
nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi/diare, perasaan tidak enak di
perut, batuk, dan epistaksis. Dalam minggu ke-2, gejala telah lebih jelas,
yaitu berupa demam, bradikardia relatif (peningkatan suhu 1oC tidak diikuti
dengan peningkatan denyut nadi 8 kali per menit), lidah yang berselaput,
hepatomegali, splenomegali, meteroismus, ganguan mental berupa
somnolen, stupor, koma, delirium, dan psikosis.
3. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis demam
tifoid dibagi dalam empat kelompok, yaitu :
1. Pemeriksaan darah tepi
Pada demam tifoid sering disertai anemia dari yang ringan sampai
sedang dengan peningkatan laju endap darah, gangguan eritrosit
normokrom normositer, yang diduga karena efek toksik supresi sumsum
tulang atau perdarahan usus. Tidak selalu ditemukan leukopenia, diduga
leukopenia disebabkan oleh destruksi leukosit oleh toksin dalam
31
peredaran darah. Sering hitung leukosit dalam batas normal dan dapat
pula leukositosis, terutama bila disertai komplikasi lain. Trombosit
jumlahnya menurun, gambaran hitung jenis didapatkan limfositosis
relatif, aneosinofilia, dapat shift to the left ataupun shift to the right
bergantung pada perjalanan penyakitnya. SGOT dan SGPT seringkali
meningkat, tetapi akan kembali menjadi normal setelah sembuh.
Kenaikan SGOT dan SGPT tidak memerlukan penanganan khusus.
Gambaran sumsum tulang menunjukkan normoseluler, eritroid
dan mieloid sistem normal, jumlah megakariosit dalam batas normal.
2. Uji serologis
Uji serologis digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis
demam tifoid dengan mendeteksi antibodi spesifik terhadap komponen
antigen S. typhi maupun mendeteksi antigen itu sendiri. Volume darah
yang diperlukan untuk uji serologis ini adalah 1-3 mL yang
diinokulasikan ke dalam tabung tanpa antikoagulan.
Metode pemeriksaan serologis imunologis ini dikatakan
mempunyai nilai penting dalam proses diagnostik demam tifoid. Akan
tetapi masih didapatkan adanya variasi yang luas dalam sensitivitas dan
spesifisitas pada deteksi antigen spesifik S. typhi oleh karena tergantung
pada jenis antigen, jenis spesimen yang diperiksa, teknik yang dipakai
untuk melacak antigen tersebut, jenis antibodi yang digunakan dalam uji
(poliklonal atau monoklonal) dan waktu pengambilan spesimen (stadium
dini atau lanjut dalam perjalanan penyakit).
Beberapa uji serologis yang dapat digunakan pada demam tifoid ini
meliputi:
a) Uji Widal
Uji serologi standar yang rutin digunakan untuk mendeteksi
antibodi terhadap kuman S.typhi yaitu uji Widal. Uji telah digunakan
sejak tahun 1896. Pada uji Widal terjadi reaksi aglutinasi antara
antigen kuman S.typhi dengan antibodi yang disebut aglutinin. Prinsip
uji Widal adalah serum penderita dengan pengenceran yang berbeda
32
ditambah dengan antigen dalam jumlah yang sama. Jika pada serum
terdapat antibodi maka akan terjadi aglutinasi. Pengenceran tertinggi
yang masih menimbulkan aglutinasi menunjukkan titer antibodi
dalam serum.
Maksud uji widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin
dalam serum penderita tersangka demam tifoid yaitu;
1. Aglutinin O (dari tubuh kuman)
2. Aglutinin H (flagel kuman)
3. Aglutinin Vi (simpai kuman).
Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang
digunakan untuk diagnosis demam tifoid. Semakin tinggi titernya
semakin besar kemungkinan terinfeksi kuman ini.
Pada demam tifoid mula-mula akan terjadi peningkatan titer
antibodi O. Antibodi H timbul lebih lambat, namun akan tetap
menetap lama sampai beberapa tahun, sedangkan antibodi O lebih
cepat hilang. Pada seseorang yang telah sembuh, aglutinin O masih
tetap dijumpai setelah 4-6 bulan, sedangkan aglutinin H menetap lebih
lama antara 9 bulan – 2 tahun. Antibodi Vi timbul lebih lambat dan
biasanya menghilang setelah penderita sembuh dari sakit. Pada
pengidap S.typhi, antibodi Vi cenderung meningkat. Antigen Vi
biasanya tidak dipakai untuk menentukan diagnosis infeksi, tetapi
hanya dipakai untuk menentukan pengidap S.typhi.
Di Indonesia pengambilan angka titer O aglutinin ≥ 1/40 dengan
memakai uji widal slide aglutination (prosedur pemeriksaan
membutuhkan waktu 45 menit) menunjukkan nilai ramal positif 96%.
Artinya apabila hasil tes positif, 96% kasus benar sakit demam tifoid,
akan tetapi apabila negatif tidak menyingkirkan. Banyak senter
mengatur pendapat apabila titer O aglutinin sekali periksa ≥ 1/200 atau
pada titer sepasang terjadi kenaikan 4 kali maka diagnosis demam
tifoid dapat ditegakkan. Aglutinin H banyak dikaitkan dengan pasca
imunisasi atau infeksi masa lampau, sedang Vi aglutinin dipakai pada
33
deteksi pembawa kuman S. typhi (karier). Banyak peneliti
mengemukanan bahwa uji serologi widal kurang dapat dipercaya
sebab dapat timbul positif palsu pada kasus demam tifoid yang
terbukti biakan darah positif.
Ada 2 faktor yang mempengaruhi uji Widal yaitu faktor yang
berhubungan denganpenderita dan faktor teknis.
Faktor yang berhubungan dengan penderita, yaitu
1. Pengobatan dini dengan antibiotik, pemberian
kortikosteroid.
2. Gangguan pembentukan antibodi.
3. Saat pengambilan darah.
4. Daerah endemik atau non endemik.
5. Riwayat vaksinasi.
6. Reaksi anamnesik, yaitu peningkatan titer aglutinin pada
infeksi bukan demam akibat infeksi demam tifoid masa lalu
atau vaksinasi.
Faktor teknik, yaitu
1. Akibat aglutinin silang.
2. Strain Salmonella yang digunakan untuk suspensi antigen.
3. Teknik pemeriksaan antar laboratorium.
Beberapa keterbatasan uji Widal ini adalah:
Negatif Palsu
Pemberian antibiotika yang dilakukan sebelumnya (ini kejadian
paling sering di negara kita, demam –> kasih antibiotika –>nggak
sembuh dalam 5 hari –> tes Widal) menghalangi respon antibodi.
Padahal sebenarnya bisa positif jika dilakukan kultur darah.
Positif Palsu
Beberapa jenis serotipe Salmonella lainnya (misalnya S.
paratyphi A, B, C) memiliki antigen O dan H juga, sehingga
menimbulkan reaksi silang dengan jenis bakteri lainnya, dan bisa
menimbulkan hasil positif palsu (false positive).
34
Padahal sebenarnya yang positif kuman non S. typhi (bukan
tifoid).
b) Tes TUBEX
Tes TUBEX® merupakan tes aglutinasi kompetitif semi
kuantitatif yang sederhana dan cepat (kurang lebih 2 menit) dengan
menggunakan partikel yang berwarna untuk meningkatkan
sensitivitas. Spesifisitas ditingkatkan dengan menggunakan antigen
O9 yang benar-benar spesifik yang hanya ditemukan pada Salmonella
serogrup D. Tes ini sangat akurat dalam diagnosis infeksi akut karena
hanya mendeteksi adanya antibodi IgM dan tidak mendeteksi antibodi
IgG dalam waktu beberapa menit.
Walaupun belum banyak penelitian yang menggunakan tes
TUBEX® ini, beberapa penelitian pendahuluan menyimpulkan bahwa
tes ini mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang lebih baik
daripada uji Widal. Penelitian oleh Lim dkk (2002) mendapatkan hasil
sensitivitas 100% dan spesifisitas 100%.15 Penelitian lain
mendapatkan sensitivitas sebesar 78% dan spesifisitas sebesar 89%.9
Tes ini dapat menjadi pemeriksaan yang ideal, dapat digunakan untuk
pemeriksaan secara rutin karena cepat, mudah dan sederhana,
terutama di negara berkembang.
35
Dapat menstimulasi sel limfosit B tanpa bantuan limfosit T
sehingga respon antibodi dapat terdeteksi lebih cepat.
Lipopolisakarida dapat menimbulkan respon antibodi yang kuat
dan cepat melalui aktivasi sel B via reseptor sel B dan reseptor
yang lain.
Spesifitas yang tinggi (90%) dikarenakan antigen 09 yang jarang
ditemukan baik di alam maupun diantara mikroorganisme
Kelebihan pemeriksaan menggunakan tes TUBEX:
Mendeteksi infeksi akut Salmonella
Muncul pada hari ke 3 demam
Sensifitas dan spesifitas yang tinggi terhadap kuman Salmonella
Sampel darah yang diperlukan relatif sedikit
Hasil dapat diperoleh lebih cepat
36
Gopalakhrisnan dkk (2002) pada 144 kasus demam tifoid
mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 98%, spesifisitas sebesar
76.6% dan efisiensi uji sebesar 84%.Penelitian lain mendapatkan
sensitivitas sebesar 79% dan spesifisitas sebesar 89%.
37
ini sebesar 95% pada sampel darah, 73% pada sampel feses dan 40%
pada sampel sumsum tulang. Pada penderita yang didapatkan S. typhi
pada darahnya, uji ELISA pada sampel urine didapatkan sensitivitas
65% pada satu kali pemeriksaan dan 95% pada pemeriksaan serial
serta spesifisitas 100%.18 Penelitian oleh Fadeel dkk (2004) terhadap
sampel urine penderita demam tifoid mendapatkan sensitivitas uji ini
sebesar 100% pada deteksi antigen Vi serta masing-masing 44% pada
deteksi antigen O9 dan antigen Hd. Pemeriksaan terhadap antigen Vi
urine ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut akan tetapi
tampaknya cukup menjanjikan, terutama bila dilakukan pada minggu
pertama sesudah panas timbul, namun juga perlu diperhitungkan
adanya nilai positif juga pada kasus dengan Brucellosis.
e) Pemeriksaan dipstik
Uji serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan di
Belanda dimana dapat mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap
antigen LPS S. typhi dengan menggunakan membran nitroselulosa
yang mengandung antigen S. typhi sebagai pita pendeteksi dan
antibodi IgM anti-humanimmobilized sebagai reagen kontrol.
Pemeriksaan ini menggunakan komponen yang sudah distabilkan,
tidak memerlukan alat yang spesifik dan dapat digunakan di tempat
yang tidak mempunyai fasilitas laboratorium yang lengkap.
Penelitian oleh Gasem dkk (2002) mendapatkan sensitivitas uji
ini sebesar 69.8% bila dibandingkan dengan kultur sumsum tulang
dan 86.5% bila dibandingkan dengan kultur darah dengan spesifisitas
sebesar 88.9% dan nilai prediksi positif sebesar 94.6%.20 Penelitian
lain oleh Ismail dkk (2002) terhadap 30 penderita demam tifoid
mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 90% dan spesifisitas sebesar
96%.21 Penelitian oleh Hatta dkk (2002) mendapatkan rerata
sensitivitas sebesar 65.3% yang makin meningkat pada pemeriksaan
serial yang menunjukkan adanya serokonversi pada penderita demam
tifoid.22 Uji ini terbukti mudah dilakukan, hasilnya cepat dan dapat
38
diandalkan dan mungkin lebih besar manfaatnya pada penderita yang
menunjukkan gambaran klinis tifoid dengan hasil kultur negatif atau
di tempat dimana penggunaan antibiotika tinggi dan tidak tersedia
perangkat pemeriksaan kultur secara luas.
3. Pemeriksaan bakteriologis dengan isolasi dan biakan kuman
39
Biakan darah terhadap Salmonella juga tergantung dari saat
pengambilan pada perjalanan penyakit. Beberapa peneliti melaporkan
biakan darah positif 40-80% atau 70-90% dari penderita pada minggu
pertama sakit dan positif 10-50% pada akhir minggu ketiga.
Sensitivitasnya akan menurun pada sampel penderita yang telah
mendapatkan antibiotika dan meningkat sesuai dengan volume darah dan
rasio darah dengan media kultur yang dipakai.Bakteri dalam feses
ditemukan meningkat dari minggu pertama (10-15%) hingga minggu
ketiga (75%) dan turun secara perlahan. Biakan urine positif setelah
minggu pertama. Biakan sumsum tulang merupakan metode baku emas
karena mempunyai sensitivitas paling tinggi dengan hasil positif didapat
pada 80-95% kasus dan sering tetap positif selama perjalanan penyakit
dan menghilang pada fase penyembuhan. Metode ini terutama
bermanfaat untuk penderita yang sudah pernah mendapatkan terapi atau
dengan kultur darah negatif sebelumnya. Prosedur terakhir ini sangat
invasif sehingga tidak dipakai dalam praktek sehari-hari. Pada keadaan
tertentu dapat dilakukan kultur pada spesimen empedu yang diambil dari
duodenum dan memberikan hasil yang cukup baik akan tetapi tidak
digunakan secara luas karena adanya risiko aspirasi terutama pada
anak.Salah satu penelitian pada anak menunjukkan bahwa sensitivitas
kombinasi kultur darah dan duodenum hampir sama dengan kultur
sumsum tulang.
40
identifikasi bakteri sehingga tidak praktis dan tidak tepat untuk dipakai
sebagai metode diagnosis baku dalam pelayanan penderita.
4. Pemeriksaan kuman secara molekuler
KRITERIA DIAGNOSIS
41
DIAGNOSIS BANDING
1. Abses perut
2. Amebic Liver / Hepatic Abscesses
3. Radang usus buntu
4. Brucellosis
5. Dengue
6. Influenza
7. Leishmaniasis
8. Malaria
9. Penyakit Rickettsial
10. Toksoplasmosis
11. Tuberkulosis (TB)
12. Tularemia
1.8 PENATALAKSANAAN
1. Medikamentosa
a) Simptomatik
42
b) Antibiotik
Antibiotik yang sering diberikan adalah:
Chloramphenicol, merupakan antibiotik pilihan pertama untuk infeksi
tifoid fever terutama di Indonesia. Dosis yang diberikan untuk anak-
anak 50-100 mg/kg/hari dibagi menjadi 4 dosis untuk pemberian
intravena biasanya cukup 50 mg/kg/hari. Diberikan selama 10-14 hari
atau sampai 7 hari setelah demam turun. Pemberian Intra Muskuler
tidak dianjurkan oleh karena hidrolisis ester ini tidak dapat diramalkan
dan tempat suntikan terasa nyeri. Pada kasus malnutrisi atau didapatkan
infeksi sekunder pengobatan diperpanjang sampai 21 hari. Kelemahan
dari antibiotik jenis ini adalah mudahnya terjadi relaps atau kambuh,
dan carier.
43
dari Chloramphenicol dan Cotrimoxazole serta lebih sensitive terhadap
Salmonella typhi. Ceftriaxone merupakan prototipnya dengan dosis 100
mg/kg/hari IVdibagi dalam 1-2 dosis (maksimal 4 gram/hari) selama 5-
7 hari. Atau dapat diberikan cefotaxim 150-200 mg/kg/hari dibagi
dalam 3-4 dosis. Bila mampu untuk sediaan Per oral dapat diberikan
Cefixime 10-15 mg/kg/hari selama 10 hari.
Pada demam tifoid berat kasus berat seperti delirium, stupor, koma
sampai syok dapat diberikan kortikosteroid IV (dexametasone) 3 mg/kg
dalam 30 menit untuk dosis awal, dilanjutkan 1 mg/kg tiap 6 jam sampai
48 jam.
2. Non medikamentosa
a. Tirah baring
44
berat, ada komplikasi, penurunan kesadaran serta yang sulit makan. Cairan
harus mengandung elektrolit dan kalori yang optimal. Kebutuhan kalori
anak pada infus setara dengan kebutuhan cairan rumatannya.
b. Kompres air hangat
1.9 KOMPLIKASI
45
b) Perforasi usus
Timbul biasanya pada minggu ketiga atau setengahnya dan
terjadi pada bagian distal ileum. Perforasi yang tidak disertai
peritonitis hanya dapat ditemukan bila terdapat udara dirongga
peritoneum yaitu pekak hati menghilang dan terdapat udara diantara
hati dan diafragma pada foto rontgen abdomen yang dibuat dalam
keadaan tegak.
c) Peritonitis
Biasanya menyertai perforasi tetapi dapat terjadi tanpa
perforasi ususdengan adanya gejala akut, yaitu nyeri perut yang hebat,
dinding abdomen tegang, dan nyeri tekan.
46
Menigitis oleh karena Salmonella typhi yang lain lebih sering
didapatkan pada neonatus/bayi dibandingkan dengan anak, dengan
gejala klinis tidak jelas sehingga diagnosis sering terlambat. Ternyata
peyebabnya adalah Salmonella havanadan Salmonella oranemburg.
e) Miokarditis
Komplikasi ini pada anak masih kurang dilaporkan serta
gambaran klinis tidak khas. Insidensnya terutama pada anak berumur
7 tahun keatas serta sering terjadi pada minggu kedua dan
ketiga.Gambaran EKG dapat bervariasi antara lain : sinus takikardi,
depresi segmen ST, perubahan gelombangan I, AV blok tingkat I,
aritmia, supraventrikular takikardi.
f) Infeksi saluran kemih
Sebagian kasus demam tifoid mengeluarkan bakteri
Salmonella typhi melalui urin pada saat sakit maupun setelah sembuh.
Sistitis maupun pilonefritis dapat juga merupakan penyulit demam
tifoid. Proteinuria transien sering dijumpai, sedangkan
glomerulonefritis yang dapat bermanifestasi sebagai gagal ginjal
maupun sidrom nefrotik mempunyai prognosis yang buruk.
g) Karier kronik
Tifoid karier adalah seorang yang tidak menunjukkan gejala
penyakit demam tifoid, tetapi mengandung kuman Salmonella
typhosa di sekretnya. Karier temporer- ekskresi S.typhi pada feces
selama tiga bulan.Hal ini tampak pada 10% pasien konvalesen.
Relapse terjadi pada 5-10% pasien biasanya 2-3 minggu setelah
demam mengalami resolusi dan pada isolasi organisme memiliki
bentuk sensivitas yang sama seperti semula. Faktor predisposisi
menjadi kronik karier adalah jenis kelamin perempuan, pada
kelompok usia dewasa, dan cholelithiasis. Pasien dengan traktus
urinarius yang abnormal, seperti schistosomiasis, mungkin
memgeluarkan bakteri pada urinya dalam waktu yang lama.
47
1.10 PROGNOSIS
48
DAFTAR PUSTAKA
2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam . Edisi VI Jilid I. Pusat Penerbitan Ilmu
Penyakit Dalam : Jakarta.
Behrman, R. E., dkk., 2012. Ilmu Kesehatan Anak Nelson. EGC. Jakarta
Brusch, John L. 2018. Typhoid Fever. Diakses dari
https://emedicine.medscape.com/article/231135-overview#a5 pada tanggal 10
Desember 2018.
CDC. 2018. Typhoid Fever and Paratyphoid Fever. Diakses dari
https://www.cdc.gov/typhoid-fever/index.html pada tanggal 10 Desember 2018.
Soedarmo, S.S.P, Gama, H., Hadinegoro, S.R.S. , and Satari, H.I. 2012. Buku Ajar
Infeksi & Pediatri Tropis. Edisi Kedua. Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia:
Jakarta
49