Anda di halaman 1dari 13

PERSAMAAN TURUNAN PARSIAL

(Partial Differential Equations-PDE)

Kompilasi dari Beberapa Literatur Analisa Numerik

Oleh

Dr. Eng. Syamsidik

Magister Teknik Sipil


Universitas Syiah Kuala
Banda Aceh, Januari 2010
1. Pengantar

Dalam banyak permasalahan teknik, masalah-masalah tersebut tidak hanya


bergantung pada satu variable saja. Adakalanya permasalahan keteknikan diwakili oleh
variable waktu dan jarak sekaligus. Misalnya, sebuah persoalan ditentukan oleh
parameter (x,y,z) sebagai dimensi ruang. Namun bisa saja memasukkan dimensi waktu
juga sehingga persolan tersebut diatur oleh variabel (x,y,z,t), dengan t adalah variabel
waktu. Untuk menyelesaikan masalah tersebut, maka kita harus menggunakan metode
penyelesaian persamaan diferensial parsial.
Contoh bentuk persamaan diferensial parsial adalah sebagai berikut:

∂2 f ∂2 f ∂2 f ∂f ∂f
A + B + C +D +E + Ff + g = 0 (1)
∂x 2 ∂x∂y ∂y 2 ∂x ∂y

Persamaan di atas merupakan persamaan diferensial parsial order dua dan dua dimensi
dengan x dan y sebagai variabel bebas dan f sebagai variabel terikatnya..
Mengacu pada bentuk persamaan di atas, maka persamaan diferensial parsial dapat
dibagi atas 3 jenis, yaitu:
a. Persamaan Ellips, jika B2-4AC<0
b. Persamaan Parabola, jika B2-4AC=0
c. Persamaan Hiperbola, jika B2-4AC>0

Persamaan (1) di atas dapat diubah dalam bentuk penyelesaian matriks menjadi
 ∂2 f 
 2 
A B C   ∂x2  − D ∂f − E ∂f ∂y − F + G 
∂ f   ∂x 
dx dy 0   =  d ( ∂f ∂x )  (2)
 ∂x∂y   
 0 dx dy   2   d ( ∂f ∂y ) 
∂ f  
 ∂y 2 

Jika di persamaan diferensial biasa (ODE) kita memerlukan kondisi batas, maka di PDE
ini kita memerlukan:
a. Kondisi awal, dan
b. Kondisi batas.

Setelah kita memiliki kondisi awal dan kondisi batas, maka kita dapat
menyelesaikan PDE ini dengan menggunakan berbagai metode. Dua metode yang
paling sering dipakai adalah metode beda hingga (Finite Difference Method) dan
metode elemen hingga (Finite Element Method). Dalam mata kuliah ini, kita hanya
mempelajari penyelesaian PDE dengan menggunakan metode beda hingga (FDM).

Untuk mengenali pengertian kondisi awal dan kondis batas maka perhatikanlah
Gambar 1 berikut ini.

P(1,2)

P(1,1)

P(2,1)

Gambar 1.

Pada Gambar 1, ada sebuah bidang dua dimensi x dan y yang ditentukan oleh dimensi
waktu, t. Informasi untuk bidang ini yang harus ada sebelum proses perhitungan
dilakukan adalah nilai di titik-titik batas yang ditandai dengan warna merah dan nilai-
nilai awal di semua titik pada saat t=0. Setelah informasi tersebut diperoleh, maka kita
dapat menghitung nilai nilai di titik-titik warna biru pada selang waktu ∆t.

Ada 3 jenis kondisi batas yang dikenal, yaitu


a. Kondisi batas Dirichlet, dimana nilai dari kondisi batas ditentukan langsung
f ditentukan langsung di bidang batas.
b. Kondisi batas Neumann, dimana nilai turunan normal fungsinya ditentukan yaitu
∂f
ditentukan di bidang batas
∂n
c. Kondisi batas campuran, yang merupakan gabungan antara Dirichlet dan Neumann
contohnya adalah
∂f
af + b ditentukan di bidang batasnya.
∂n

2. Persamaan Turunan Parsial Ellips

Bentuk umum dari persamaan turunan ellips dalam bentuk persamaan Laplace adalah:
∂2 f ∂2 f ∂2 f
+ + =0 (3)
∂x 2 ∂y 2 ∂z 2
Jika kita menarik operator Laplace sebagai ∇2 , dimana
∂ ∂ ∂
∇= + + ,
∂x ∂y ∂z

Maka bentuk persamaan (3) dapat dirubah menjadi:


∇2 . f = 0 (4)

Persamaan Laplace seperti di atas ditemukan penerapannya dalam aliran fluida, difusi
massa, difusi panas, elektrostatis dan sebagainya. Untuk menjelaskan aplikasi
persamaan

dy
q(x+dx)

q(x) x

dz
z
dx

Gambar 2. Model Fisik Difusi Panas

Misalkan ada kubus yang terbuat dari material padat dialirkan panas ke bidangnya.
Maka aliran panas dalam benda kubus tersebut mengikut hukum konduksi Fourier
sebagai berikut:
dT
q = −kA (5)
dn
Dimana q adalah transfer energi per satuan waktu (J/detik), T adalah temperatur (K), A
adalah luas tampang bidang aliran panas tersebut (m2), dT/dn adalah kemiringan normal
temperatur (K/m) dan k adalah koefisien konduktifitas suhu material. Sehingga jika
mengacu ke Gambar 2, maka jumlah energi bersih yang masuk ke benda tersebut
adalah sama dengan selisih energi yang masuk (q(x)) terhadap energi yang keluar
(q(x+dx)), atau sebagai berikut:

 ∂q ( x )  ∂q ( x)
q net , x = q ( x) − q ( x + dx ) = q ( x) − q ( x) + dx  = − (6)
 ∂x  ∂x

Jika persamaan (6) dimasukkan ke persamaan (5) maka, persamaan menjadi


∂ ∂T  ∂  ∂T 
q net , x = −  − kA dx = k dV (7)
∂x  ∂x  ∂x  ∂x 
Dimana dV=A dx , yang merupakan perbedaan volume dari bahan padat tersebut. Jika
debit transfer energi kemudian dianalisa dalam dua sumbu yang lain, yaitu sumbu y dan
sumbu z, maka persamaan dengan mudah dapat kita tuliskan menjadi
∂  ∂T 
q net , y == k 
dV , (8)
∂y 
 ∂y 
∂  ∂T 
q net , z == k dV , (9)
∂z  ∂z 

Pada saat telah tercapai keadaan yang mantap (steady) maka jumlah aliran panas yang
masuk adalah sama dengan jumlah energi panas yang keluar. Ini menjadikan qnet
menjadi nol. Karenanya jumlah dalam 3 arah pun menjadi nol atau
∂  ∂T  ∂  ∂T  ∂  ∂T 
k + k 
+ k  =0 (10)
∂x  ∂x  ∂y 
 ∂y  ∂z  ∂z 
Jika konstanta k adalah sama pada semua waktu, maka persamaan (10) dapat menjadi:
∂2 T ∂2 T ∂2 T
+ + 2 =0. (11)
∂x 2 ∂y 2 ∂z
Atau jika kita memakai Operator Laplace ∇2 , maka persamaan (11) menjadi,
∇2 .T = 0 . (12)

Disini jelas bahwa B2-4AC=02-4.1.1=-4<0.


Persamaan (11) juga dapat diubah menjadi penyelesaian matriks seperti di persamaan
(2) sehingga menjadi:
1 0 1  ∂2T ∂x 2   0 
dx  2  
 dy 0 ∂ T ∂x∂y  = d ( ∂T ∂x ) 



0 dx dy 
 ∂ 2
T ∂y 2 

 d ( ∂T ∂y ) 

(13)

3. Persamaan Turunan Parsial Parabolis

Contoh klasik yang sering dimunculkan ketika orang berbicara persamaan turunan
parsial parabolis adalah persamaan difusi, yaitu:

∂f
= α∇2 f (14)
∂t

Jika kita mengacu pada kasus perpindahan panas di PDE ellips, maka disini kita
menganggap bahwa sistemnya adalah sebuah sistem yang tak mantap. Dalam kondisi
ini, terjadi proses penyimpanan panas/energi di bahan padat tersebut sehingga selisih
panas/energi yang masuk dan yang keluar tidak sama dengan nol. Energi/panas yang
tersimpan dalam bahan padat tersebut dapat ditulis dalam persamaan matematika
berikut ini.
E simpan = dm .CT = ( ρdV )CT = ( ρCT ) dV (15)
Dimana ρ adalah rapat massa benda padat (kg/m ), dV adalah perubahan volume (m3), T
3

adalah temperatur (K) dan C adalah panas spesifik (J/kg-K). Dengan demikian, jumlah
energi/panas yang disimpan bahan padat tersebut adalah:

∂  ∂T  ∂  ∂T  ∂  ∂T  ∂( ρCT )
k + k 
+ k = (16)
∂x  ∂x  ∂y 
 ∂y  ∂z  ∂z  ∂t
Jika ρ, C, dan k adalah tetap, maka persamaan dapat dirubah menjadi sebagai berikut,

∂T  ∂ 2T ∂ 2T ∂ 2T 
= α  2 + 2 + 2  (17)
∂t  ∂x ∂y ∂z 
∂T
= α∇2T (18)
∂t
Dimana α=k/ρC adalah koefisen difusivitas suhu (m2/detik). Persamaan (17) jika dicari
discriminannya sesuai dengan Persamaan (1) maka B2-4AC=0 sehingga persamaan (17)
disebut sebagai persamaan parabolis.

Persamaan (17) juga dapat dirubah menjadi penyelesaian matriks sebagai berikut:
α 0 0  ∂2T ∂x 2   ∂T ∂t 
dx  2  
 dt 0 
∂ T ∂x∂t  = d ( ∂T ∂x )  (19)
 d ( ∂T ∂t ) 
2 

0 dx dt  ∂ T ∂t  
2

4. Persamaan Turunan Parsial Hiperbolis

Salah satu contoh paling umum dari PDE Hirperbolis adalah persamaan gelombang
sebagai berikut:
∂2 f
= c 2 ∇2 f (20)
∂t 2

Persamaan di atas biasanya diterapkan dalam kasus-kasus keteknikan yang melibatkan


proses dinamik seperti arus laut, getaran, dan sebagainya.
Aliran ditentukan oleh 3 jenis persamaan dasar yang dapat ditemukan dalam
hampir semua literatur yang membahas proses hidrodinamika. Persamaan tersebut
adalah sebagai berikut
∂ρ  ∂ ∂ ∂
+ + + .ρ( u + v + w ) = 0 (21)
∂t  ∂x ∂y ∂z 


 ∂u ∂v ∂w   ∂u ∂v ∂w   ∂P ∂P ∂P 
ρ + +  + ρu +v +w  + + + =0 (22)
 ∂t ∂t ∂t   ∂t ∂t ∂t   ∂x ∂y ∂z 

∂P  ∂P ∂P ∂P   ∂ρ ∂ρ ∂ρ ∂ρ 
+ ( u + v + w).
 + + 
 −a2 
 +u +v +w  =0 (23)
∂t  ∂x ∂y ∂z   ∂t ∂x ∂y ∂z 

Dimana u, v, w adalah komponen kecepatan dalam arah x, y, dan z, P adalah tekanan, ρ


adalah rapat massa fluida dan a adalah koefisien laju. Untuk kasus satu dimensi, maka
persamaan (21) hingga persamaan (23) dapat dirubah menjadi
∂ρ ∂u ∂ρ
+ρ +u =0 (24)
∂t ∂x ∂x
∂u ∂u ∂P
ρ + ρu + =0 (25)
∂t ∂x ∂x
∂P ∂P  ∂ρ ∂ρ 
+u −a2  +u =0 (26)
∂t ∂x  ∂t ∂x 

5. Metode Beda Hingga


Finite Difference Method (FDM)

Setelah kita mengenal bentuk-bentuk persamaan, sekarang kita mulai


mempelajari cara menyelesaikan persamaan-persamaan tersebut. Sebagaimana
diuraikan dibagian terdahulu bahwa ada dua metode penyelesaian yang sering
digunakan, yaitu metode beda hingga (Finite Difference Method) dan metode elemen
hingga (Finite Element Method). Di bagian ini, kita hanya mempelajari metode beda
hingga saja atau selanjutnya kita singkat menjadi FDM (Finite Difference Method).

5. 1 Sistem Grid FDM

Untuk menyelesaikan PDE dengan metode FDM maka kita perlu mengacu
pertama sekali dengan pembagian sistem grid. Grid yang dimaksud adalah wilayah
hayalan yang terdiri dari kotak-kotak seperti dapat dillihat pada Gambar 1. Proses
merubah persamaan turunan menjadi bentuk yang operasional dapat dilakukan dengan
berbagai cara, antara lain:
a. Metode maju (Forward FDM)
Contoh:
∂f f − fi
≈ i +1
∂x ∆x
b. Metode tengah (Centered Scheme FDM)
∂f f − f i −1
≈ i +1
∂x 2∆x
c. Metode mundur (Backward Scheme FDM)
∂f f − f i −1
≈ i
∂x ∆x
Untuk PDE order dua, maka penyelesaiannya adalah
∂2 f f − 2 f i + f i −1
≈ i +1
∂x 2
∆x 2
5. 2 Penyelesaian PDE Ellips

Untuk masalah yang dua dimensi, maka kita dapat juga menggunakan metode di atas
dengan mengganti variabel bebasnya menjadi variabel x dan y. Cara lain adalah dengan
menggunakan metode penyelesaian 5 point. Metode ini membagi wilayah titik-titik
grid menjadi seperti di gambar 3 berikut.

f(i,j+1)
j+1
∆y
f(i-1,j) f(i,j) f(i+1,j)
j

j-1 f(i,j-1)

i-1 i i+1
∆x

Gambar 3. Metode 5 Titik

Contoh aplikasi adalah pada persamaan Laplace dua dimensi berikut:


∂2 f ∂2 f
+ =0
∂x 2 ∂y 2
Dengan menggabung penyelesaian order dua seperti dijelaskan di atas, maka skema
penyelesaian menjadi
f i +1, j − 2 f i , j + f i −1, j f i , j ;1 − 2 f i , j + f i , j −1
+ =0 (27)
∆x 2
∆y 2

Dengan memisalkan β=∆x/ ∆y, maka persamaan (27) di atas dapat diubah menjadi

( )
f i +1, j + β 2 f i , j +1 + f i −1, j + β 2 f i , j −1 − 2 1 + β 2 f i , j = 0
(28)

Penyelesaian di atas adalah penyelesaian PDE ellips dengan menggunakan metode


implisit. Penyelesaian implisit adalah tipikal penyelesaian untuk PDE ellips yang
melibatkan persamaan keseimbangan. Jika ∆x= ∆y, maka β=1 sehingga persamaan (28)
dapat diubah menjadi
f i +1, j + f i , j +1 + f i −1, j + f i , j −1 −4 f i , j = 0 (29)
Atau

f i, j =
1
( f i +1, j + f i , j +1 + f i −1, j + f i , j −1 ) (30)
4

Contoh Soal 1.
Sistem dua dimensi dari sebuah plat tipis dengan lebar 10 cm dan panjang 15 cm
dengan ketebalan 1 cm. Bentuk plat dapat dilihat di Gambar 4 berikut ini.

y
1 cm

15 cm

10 cm

Gambar 4. Pelat dengan Suhu

Bagian atas dari pelat temperaturnya dijaga selalu sebagai fungsi dari T=100sin(πx/w),
sedangkan 3 tepi yang lain dijaga supaya selalu bersuhu 0oC. Jika dimensi ketebalan
pelat dianggap tidak penting sehingga pelat dianggap 2 dimensi, maka hitunglah suhu
pelat dengan menganggap keadaan telah mencapai keadaan mantap (steady state).
Penyelesaian:
Pertama sekali, kita perlu membagi pelat 2 dimensi tersebut dalam bentuk grid seperti di
gambar berikut ini.

y
15

T2,6 T3,6 T4,6


12.5

T2,5 T3,5 T4,5


10.0

T2,4 T3,4 T4,4


7.5

5.0 T2,3 T3,3 T4,3

T2,2 T3,2 T4,2


2.5

0
x
0 2.5 5.0 7.5 10.0

Gambar 5. Pembagian grid pelat

Dengan pembagian seperti di Gambar 5, maka ∆x= ∆y sehingga persamaan (29) atau
persamaan (30) dapat digunakan. Persamaan Laplace untuk masalah pelat ini dapat
ditulis ulang sebagai berikut.
∂ 2T ∂2T
+ =0.
∂x 2 ∂y 2
Maka persamaan (29) untuk soal ini dapat ditulis ulang menjadi
Ti +1, j +Ti , j +1 +Ti −1, j +Ti , j −1 −4Ti , j = 0

Kondisi Batas:
Pada bagian atas suhu di titik-titik atas mengikutipersamaan
T = 100 sin( πx / w)
Jadi pada T0,7=100.sin(π.0/10)=0
T1,7=100.sin(π.2.5/10)=70.74οC
T2,7=100.sin(π.5.0/10)=100οC
T3,7=100.sin(π.7.5.0/10)=70.74οC
T4,7=100.sin(π.10/10)=0

Untuk ketiga sisi lain suhunya adalah 0oC.


Ti +1, j +Ti , j +1 +Ti −1, j +Ti , j −1 −4Ti , j = 0

Untuk T22 maka:


T3, 2 +T2, 3 +T1, 2 +T2,1 − 4T2 , 2 = 0 , atau
T3, 2 +T2 , 3 + 0 + 0 − 4T2, 2 = 0

Untuk T23 maka T3,3 +T2, 4 + 0 +T 2, 2−4T2,3 = 0

Untuk T24 maka T3, 4 +T2 , 5 + 0 +T 2, 3−4T2, 4 = 0

Untuk T25 maka T3, 5 +T2 , 6 + 0 +T 2 , 4−4T2 , 5 = 0

Untuk T26 maka T3, 6 + 70 .74 + 0 +T 2 , 5−4T2 , 6 = 0

Untuk T32 maka T4, 2 + T3, 3 + T2 , 2 + 0 − 4T3, 2 = 0

Untuk T33 maka T4,3 + T3, 4 + T2,3 + T3, 2 − 4T3,3 = 0

Untuk T33 maka T4,3 + T3, 4 + T2,3 + T3, 2 − 4T3,3 = 0

Untuk T34 maka T4, 4 +T3, 5 +T2, 4 +T3, 3 − 4T3, 4 = 0

Untuk T35 maka T4,5 + T3, 6 + T2,5 + T3, 4 − 4T3,5 = 0

Untuk T36 maka T4, 6 +100 +T2, 6 +T3,5 − 4T3, 6 = 0

Untuk T42 maka 0 + T4 ,3 + T3, 2 + 0 − 4T4, 2 = 0

Untuk T43 maka 0 +T4, 4 +T3, 3 +T4, 2 − 4T4,3 = 0

Untuk T44 maka 0 +T4, 5 +T3, 4 +T4,3 − 4T4 , 4 = 0

Untuk T45 maka 0 +T4, 6 +T3,5 +T4, 4 − 4T4,5 = 0

Untuk T46 maka 0 + 70 .74 + T3, 6 + T4 , 5 − 4T4 , 6 = 0

Jika penyelesaian di atas disusun dengan matriks maka diperoleh


− 4 1 0 0 0 1 
 1 −4 1 0 0 0 1 
 
0 1 −4 1 0 0 0 1 
 
0 0 1 −4 1 0 0 0 1 
0 0 0 1 −4 1 0 0 0 1 
 
1 0 0 0 1 −4 1 0 0 0 1 
 1 0 0 0 1 −4 1 0 0 0 1 
 
 1 0 0 0 1 −4 1 0 0 0 1 
 1 0 0 0 1 −4 1 0 0 0 1 
 
 1 0 0 0 1 −4 1 0 0 0 1 
 
 1 0 0 0 1 −4 1 0 0 0 
 1 0 0 0 1 −4 1 0 0 
 
 1 0 0 0 1 −4 1 0 
 1 0 0 0 1 −4 1 
 
 1 0 0 0 1 − 4
T2, 2   0 
T   
 2,3   0 
T2, 4   0 
   
T2, 5   0 
T2, 6  − 70 .74 
   
T3, 2   0 
T   0 
 3, 3   
T3, 4  =  0 
T   0 
 3, 5   
T3, 6   − 100 
   
T4, 2   0 
T4,3   0 
   
T4, 4   0 
T   0 
 4, 5   
T4, 6  − 70 .74 

Anda mungkin juga menyukai