Anda di halaman 1dari 23

9

BAB II

KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA TEORI DAN HIPOTESIS

2.1 Tuberkulosis
2.1.1 Definisi
Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit infeksi penyebab kematian

dengan urutan atas atau angka kematian (mortalitas) tinggi, angka kejadian

penyakit (morbiditas), diagnosis dan terapi yang cukup lama (Sulistyarini &

Minarso, 2016). Sedangkan menurut Brunner & Suddart (2010),

mengatakan bahwa penyakit TB merupakan penyakit menular yang utama

menyerang parenkim paru dan sering disebabkan oleh Mycobacterium

tuberculosis. Penyakit ini dapat menyebar ke hampir seluruh bagian tubuh,

termasuk meningen, ginjal, tulang, dan kelenjar getah bening. Infeksi awal

biasanya terjadi dua sampai 10 minggu setelah terpapar. TB dapat

disembuhkan bila penderita TB menerapkan pola hidup sehat (makan

makanan bergizi, istirahat cukup, olahraga teratur, dan hindari stres)

(Sulistyarini & Minarso, 2016). Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa

TB adalah penyakit infeksi yang menular secara langsung disebabkan oleh

kuman M. Tuberculosis dan sering menyerang parenkim paru.


2.1.2 Klasifikasi
Klasifikasi pasien TB menurut Kemenkes RI (2017) yaitu berdasarkan

lokasi anatomi dari penyakit, riwayat pengobatan sebelumnya, hasil

pemeriksaan uji kepekaan obat, dan status HIV. Klasifikasi TB dapat

dijelaskan sebagai berikut:


a. Klasifikasi berdasarkan lokasi anatomi dari penyakit
10

1. TB paru: TB yang berlokasi pada parenkim paru. Milier TB dianggap

sebagai TB paru karena adanya lesi pada jaringan paru.


2. TB ekstra paru: TB yang terdapat di organ luar parenkim paru seperti

pleura, kelenjar getah bening, abdomen, genito-urinaria, kulit, sendi

tulang, dan selaput otak.


b. Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya
1. Pasien baru TB: pasien yang belum pernah mendapatkan pengobatan

TB sebelumnya atau sudah pernah menelan obat anti tuberkulosis

(OAT) namun kurang dari 1 bulan (< 28 dosis).


2. Pasien yang pernah diobati TB: pasien yang sebelumnya pernah

menelan OAT selama 1 bulan atau lebih (≥ 28 dosis). Pasien ini

selanjutnya diklasifikasikan berdasarkan hasil pengobatan TB terakhir

sebagai berikut:
a) Pasien kambuh: pasien TB yang pernah dinyatakan sembuh atau

pengobatan lengkap dan saat ini didiagnosis TB berdasarkan hasil

pemeriksaan bakteriologis atau klinis (baik karena benar-benar

kambuh atau karena reinfeksi).


b) Pasien yang diobati kembali setelah gagal: pasien TB yang pernah

diobati dan dinyatakan gagal pada pengobatan terakhir.


c) Pasien yang diobati kembali setelah putus berobat: pasien yang

pernah diobati dan dinyatakan lost to follow up.


d) Lain-lain: pasien TB yang pernah diobati namun hasil akhir

pengobatan sebelumnya tidak diketahui.


3. Pasien yang riwayat pengobatan sebelumnya tidak diketahui.
c. Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan uji kepekaan obat
Pengelompokan pasien disini berdasarkan hasil uji kepekaan contoh uji

Mycobacterium tuberculosis terhadap OAT dan dapat berupa:


1. Mono resistance tuberculosis (TB MR): Mycobacterium tuberculosis

resisten terhadap salah satu jenis OAT lini pertama saja.


11

2. Poly resistance tuberculosis (TB PR): Mycobacterium tuberculosis

resisten terhadap lebih dari satu jenis OAT lini pertama selain

Isoniazid (H) dan Rifampisin (R) secara bersamaan.


3. Multidrug resistant tuberculosis (TB MDR): Mycobacterium

tuberculosis resisten terhadap Isoniazid (H) dan Rifampisin (R) secara

bersamaan, dengan atau tanpa diikuti resistan OAT lini pertama

lainnya.
4. Extensively drug-resistant tuberculosis (TB XDR): TB MDR

sekaligus juga resistan terhadap salah satu OAT golongan

fluorokuinolon dan minimal salah satu dari OAT lini kedua jenis

suntikan (Kanamisin, Kapreomisin dan Amikasin) secara bersamaan.

Apabila hanya resistan terhadap OAT lini golongan fluorokuinolon

atau OAT lini kedua jenis suntikan secara tidak bersamaan dikenal

sebagai kasus TB pre-XDR.


5. Rifampicin resistance tuberculosis (TB RR): Mycobacterium

tuberculosis resisten terhadap Rifampisin dengan atau tanpa resistensi

terhadap OAT lain yang terdeteksi menggunakan metode genotip (Tes

Cepat Molekuler) atau metode fenotip (konvensional).


d. Klasifikasi berdasarkan status HIV
1. Pasien TB dengan HIV positif (pasien ko-infeksi TB/HIV): pasien TB

dengan:
a) Hasil tes HIV positif sebelumnya atau sedang mendapatkan ART,

atau
b) Hasil tes HIV positif pada saat diagnosis TB.
2. Pasien TB dengan HIV negatif: pasien TB dengan:
a) Hasil tes HIV negatif sebelumnya, atau
b) Hasil tes HIV negatif pada saat diagnosis TB.
3. Pasien TB dengan status HIV tidak diketahui: pasien TB tanpa ada

bukti pendukung hasil tes HIV saat diagnosis TB ditetapkan.


12

2.1.3 Etiologi dan Faktor Resiko


TB paru adalah suatu penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh

M. tuberculosis. Jalan masuk untuk organisme M. tuberculosis adalah

saluran pernapasan, saluran pencernaan, dan luka terbuka pada kulit (Price

& Wilson, 2015). Menurut Smeltzer & Bare (2015), faktor resiko TB yaitu:
a. Mereka yang kontak dekat dengan seseorang yang mempunyai TB aktif.
b. Individu imunosupresif (termasuk lansia, pasien dengan kanker, mereka

dlam terapi kortikosteroid, atau mereka yang terinfeksi dengan HIV).


c. Penggunaan obat-obat IV dan alkoholik.
d. Setiap individu tanpa perawatan kesehatan yang adekuat (tunawisma,

tahanan, etnik dan ras minoritas, terutama anak-anak dibawah usia 15

tahun dan dewasa muda antara yang berusia 15 sampai 44 tahun).


e. Setiap individu dengan gangguan medis yang sudah ada sebelumnya

(mis., diabetes, gagal ginjal kronis, silikosis, penyimpangan gizi, bypass

gastrektomi atau yeyunoileal).


f. Imigran dari negara dengan insiden TB yang tinggi (mis., Asia

Tenggara, Afrika, Amerika Latin, Karibia).


g. Setiap individu yang tinggal di institusi (mis., fasilitas perawatan jangka

panjang, institusi psikiatrik, penjara).


h. Individu yang tinggal di daerah perumahan substandar kumuh.
i. Petugas kesehatan.
Faktor resiko yang berhubungan dengan kejadian TB adalah tidak

pernah di imunisasi BCG, ada sumber kontak, ventilasi kurang dari 10%

luas lantai, tidak ada cahaya matahari masuk ke rumah, dan interaksi antara

perilaku merokok dengan rumah penghuni yang padat. Faktor yang paling

dominan berhubungan dengan kejadian TB adalah interaksi perilaku

merokok dengan penghuni rumah yang padat serta keeratan kontak

(Simbolon, 2007).

2.1.4 Patofisiologi
13

Kuman M. tuberculosis masuk melalui saluran pernapasan, saluran

pencernaan dan luka terbuka pada kulit. Kebanyakan infeksi TB terjadi

melalui udara, yaitu melalui inhalasi droplet yag mengandung kuman-

kuman basil TB yang berasal dari orang yang terinfeksi (Price & Wilson,

2015). Individu rentan menghirup basil TB dan menjadi terinfeksi. Bakteri

dipindahkan melalui jalan nafas ke alveoli, tempat dimana mereka

terkumpul dan mulai memperbanyak diri. Basil juga dipindahkan melalui

sistem limfe dan aliran darah ke bagian tubuh lainnya (ginjal, tulang,

korteks serebri), dan area paru-paru lainnya (lobus atas) (Smeltzer & Bare,

2015).
Sistem imun tubuh berespons dengan melakukan reaksi inflamasi.

Fagosit (neutrofil dan makrofag) menelan banyak bakteri; limfosit spesifik-

tuberkulosis melisis (menghancurkan) basil dan jaringan normal. Reaksi

jaringan ini mengakibatkan penumpukan eksudat dalam alveoli,

menyebabkan bronkopneumonia. Infeksi awal biasanya terjadi 2 sampai 10

minggu setelah pemajanan (Smeltzer & Bare, 2015). Pada infeksi awal

pasien biasanya tidak mengeluhkan gejala, namun hasil tes tuberkulinnya

positif (Setiati, Alwi, Sudoyo, Simadibrata, Setiyohadi & Syam, 2015).


Massa jaringan baru disebut granulomas, yang merupakan gumpalan

basil yang masih hidup dan yang sudah mati, dikelilingi oleh makrofag yang

membentuk dinding protektif. Granulomas diubah menjadi massa jaringan

fibrosa. Bagian sentral dari massa fibrosa ini disebut tuberkel Ghon. Bahan

(bakteri dan makrofag) menjadi nekrotik, membentuk massa seperti keju.

Massa ini dapat mengalami kalsifikasi, membentuk skar kolagenosa. Bakteri


14

menjadi dorman, tanpa perkembangan penyakit aktif (Smeltzer & Bare,

2015).
Lamanya waktu dari masuknya kuman TB hingga terbentuknya

kompleks primer secara lengkap disebut masa inkubasi TB. Hal in berbeda

dengan pengertian masa inkubasi pada proses infeksi lain, yaitu waktu yang

diperlukan sejak masuknya kuman hingga timbulnya gejala penyakit. Masa

inkubasi TB biasanya selama 4-8 minggu dengan rentang waktu antara 2-12

minggu. Dalam masa inkubasi tersebut, kuman dapat tumbuh hingga > 100

kuman, yaitu jumlah yang cukup untuk merangsang respons imunitas seluler

(Setiati, Alwi, Sudoyo, Simadibrata, Setiyohadi & Syam, 2015).


Setelah pemajanan dan infeksi awal, individu dapat mengalami

penyakit aktif karena gangguan atau respons yang inadekuat dari respons

sistem imun. Penyakit aktif dapat juga terjadi dengan infeksi ulang dan

aktivasi bakteri dorman. Dalam kasus ini, tuberkel Ghon memecah,

melepaskan bahan seperti keju ke dalam bronki. Bakteri kemudian menjadi

tersebar di udara, mengakibatkan penyebaran penyakit lebih jauh. Tuberkel

yang memecah, membentuk jaringan parut. Paru yang terinfeksi menjadi

lebih membengkak, mengakibatkan terjadinya bronkopneumonia lebih

lanjut, pembentukan tuberkel, dan selanjutnya (Smeltzer & Bare, 2015).


Penyebarannya dengan lambat mengarah ke bawah ke hilum paru-

paru dan kemudian meluas ke lobus yang berdekatan. Proses mungkin

berkepanjangan dan ditandai oleh remisi lama ketika penyakit dihentikan,

hanya supaya diikuti dengan periode aktivitas yang diperbaharui. Hanya

sekitar 10% individu yang awalnya terinfeksi mengalami penyakit aktif

(Smeltzer & Bare, 2015).


15

2.1.5 Manifestasi Klinis


Gejala TB paru adalah batuk produktif yang berkepanjangan (>3

minggu), nyeri dada, dan hemoptisis. Gejala sistemik termasuk demam,

menggigil, keringat malam, kelemahan, hilangnya nafsu makan, dan

penurunan berat badan (Price & Wilson, 2015). TB dapat mempunyai

manifestasi atipikal pada lansia, seperti perilaku yang tidak biasa dan

perubahan status mental, demam, anoreksia, dan penurunan berat badan.

Basil TB dapat bertahan lebih dari 50 tahun dalam keadaan dorman

(Smeltzer & Bare, 2015).


Adapun manifestasi menurut Setiati, Alwi, Sudoyo, Simadibrata,

Setiyohadi & Syam (2015), yaitu:


a. Demam: biasanya subfebris menyerupai demam influenza, tetapi kadang-

kadang panas badan dapat mencapai 40-41oC. Keadaan ini sangat

dipengaruhi oleh daya tahan tubuh pasien dan berat ringannya infeksi

kuman TB yang masuk.


b. Maleise: gejala maleise yang sering ditemukan berupa anoreksia, tidak

ada nafsu makan, sakit kepala, meriang, nyeri otot, keringat malam, dll.

Gejala maleise ini ini makin lama makin berat dan terjadi hilang timbul

secara tidak teratur.


c. Berat badan turun: biasanya pasien tidak merasakan berat badannya

turun. Sebaiknya ditanyakan berat badan sekarang dan beberapa waktu

sebelum pasien sakit.


d. Rasa lelah: keluhan ini juga pada kebanyakan pasien hampir tidak

dirasakannya.
e. Batuk/batuk darah: batuk terjadi karena ada iritasi pada bronkus. Sifat

batuk dimulai dari batuk kering (non-produktif) kemudian setelah timbul

peradangan berubah menjadi produktif (menghasilkan dahak).


16

f. Sesak nafas: pada penyakit TB paru yang ringan (baru tumbuh) belum

dirasakan adanya esak nafas. Sesak nafas akan ditemukan pada penyakit

TB paru yang sudah lanjut usia, dimana infiltrainya sudah meliputi

setengah bagian paru-paru.


g. Nyeri dada: gejala ini jarang ditemukan. Nyeri dada dapat timbul bila

infiltrasi radang sudah sampai ke pleura sehingga menimbulkan pleuritis.

Terjadi gesekan kedua pleura sewaktu pasien menarik/melepaskan

nafasnya.
h. Sering terserang flu: terjadi karena daya tahan tubuh pasien yang rendah

sehingga mudah terserang infeksi virus seperti influenza.


2.1.6 Pemeriksaan Penunjang
Seseorang yang dicurigai menderita TB harus dianjurkan untuk

menjalani pemeriksaan fisik, tes tuberkulin Mantoux, foto toraks, dan

pemeriksaan bakteriologi atau histologi. Tes tuberkulin harus dilakukan

pada semua orang yang dicurigai menderita TB klinis aktif, namun nilai tes

tersebut dibatasi oleh reaksi negatif palsu, khususnya pada seseorang

dengan imunosupresif (mis., TB dengan infeksi HIV). Seseorang yang

diperkirakan memiliki gejala TB, khususnya batuk produktif yang lama dan

hemoptisis, harus menjalani foto toraks, walaupun reaksi terhadap tes

tuberkulin intrasermalny negatif (Price & Wilson, 2015).


a. Tes Tuberkulin Intradermal (Mantoux): tes kulit yang digunakan untuk

menentukan apakah individu telah terinfeksi basil TB (Smeltzer & Bare,

2015). Reaksi positif terhadap tes tuberkulin mengindikasikan adanya

infeksi tetapi belum tentu terdapat penyakit secara klinis. Namun, tes ini

adalah alat diagnostik penting dalam mengevaluasi seorang pasiendan

juga berguna untuk menentukan prevalensi infeksi TB pada masyarakat.


17

b. Kultur sputum: positif untuk M. tuberculosis pada tahap aktif penyakit.


c. Ziehl-Neelsen (pewarna tahan asam): positif untuk hasil tahan asam.
d. Ronsen dada: menunjukkan infiltrasi kecil lesi dini pada bidang atas

paru, deposit kalsium dari lesi primer yang telah menyembuh, atau cairan

dari suatu efusi. Perubahan yang menandakan TB lebih lanjut mencakup

kavitasi, area fibrosa.


e. Biopsi jarum jaringan paru: positif untuk granuloma TB. Adanya sel-sel

raksasa menunjukkan nekrosis.


f. AGD: mungkin abnormal tergantung pada letak, keparahan dan

kerusakan paru residual.


g. Pemeriksaan fungsi pulmonal: penururnan kapasitas vital, peningkatan

ruang rugi, peningkatan rasio udara residual terhadap kapasitas paru total,

dan penurunan saturasi oksigen sekunder akibat infiltrasi/fibrosis

parenkim.
2.1.7 Penatalaksanaan
Pengobatan TB memerlukan waktu sekurang-kurangnya 6 bulan agar

dapat mencegah perkembangan resistensi obat. Obat anti tuberkulosis yang

digunakan program pengendalian TB saat ini adalah OAT lini pertama dan

OAT lini kedua disediakan di fasyankes yang telah ditunjuk guna

memberikan pelayanan pengobatan bagi pasien TB resistan obat.


Tabel 2.1 OAT Lini Pertama
Nama obat Sifat Efek samping
Isoniazid (H) Bakterisidal Neuropati perifer (gangguan saraf tepi), psikosis
toksik, gangguan fungsi hati, kejang.
Rifampisin (R) Bakterisidal Flu syndrome (gejala influenza berat), gangguan
gastrointestinal, urine berwarna merah, gangguan
fungsi hati, trombositopenia, demam, skin rash,
sesak nafas, anemia hemolitik.
Pirazinamid (Z) Bakterisidal Gangguan gastrointestinal, gangguan fungsi hati,
gout arthritis.
Streptomisin (S) Bakterisidal Nyeri ditempat suntikan, gangguan keseimbangan
dan pendengaran, renjatan anafilaktik, anemia,
agranulositosis, trombositopenia.
Etambutol (E) Bakteriostatik Gangguan penglihatan, buta warna, neuritis perifer
(gangguan saraf tepi).
18

Sumber: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2017). Pengobatan Pasien Tuberkulosis.


Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.

Tabel 2.2 OAT Lini Kedua


Grup Golongan Jenis obat
A Florokuinolon - Levofloksasin (Lfx)
- Moksifloksasin (Mfx)
- Gatifloksasin (Gfx)
B OAT suntik lini kedua - Kanamisin (Km)
- Amikasin (Am)
- Kapreomisin (Cm)
- Streptomisin (S)
C OAT oral lini kedua - Etionamid (Eto)/Protionamid (Pto)
- Sikloserin (Cs)/Terizidon (Trd)
- Clofazimin (Cfz)
- Linezolid (Lzd)
D1 - OAT lini pertama - Pirazinamid (Z)
- Etambutol (E)
- Isoniazid (H) dosis tinggi
D2 - OAT baru - Bedaquiline (Bdq)
- Delamanid (Dlm)
- Pretonamid (PA-824)
D D3 - OAT tambahan - Asam para aminosalisilat
(PAS)
- Imipenem-silastatin (Ipm)
- Meropenem (Mpm)
- Amoksilin clavulanat
(Amx-Clv)
- Thioasetazon (T)
Sumber: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2017). Pengobatan Pasien Tuberkulosis.
Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.

a. Kategori 1
Paduan OAT Kategori 1 yang digunakan di Indonesia adalah

2(HRZE)/4(HR)3 atau 2(HRZE)/4(HR). Paduan OAT ini diberikan untuk

pasien baru:
1. Pasien TB paru terkonfirmasi bakteriologis
2. Pasien TB paru terkonfirmasi klinis
3. Pasien TB ekstra paru
Paduan OAT kategori 1 diberikan selama 6 bulan, dibagi menjadi 2

tahapan yaitu 2 bulan tahap awal dan 4 bulan tahap lanjutan. Paduan

OAT kategori 1 yang disediakan oleh program adalah dalam bentuk

kombinasi dosis tetap (KDT) dan obat lepas (kombipak). Untuk saat ini

paduan yang disediakan adalah paduan dengan dosis intermiten.


19

Sedangkan untuk dosis harian yaitu 2(HRZE)/4(HR) sedang dalam

proses pengadaan program TB Nasional.

Tabel 2.3 Dosis paduan OAT KDT Kategori 1


Berat badan Tahap awal tiap hari Tahap lanjutan 3 kali
selama 56 hari seminggu selama 16 minggu
RHZE (150/75/400/275) RH (150/150)
30-37 kg 2 tablet 4KDT 2 tablet 2KDT
38-54 kg 3 tablet 4KDT 3 tablet 2KDT
55-70 kg 4 tablet 4KDT 4 tablet 2KDT
≥ 71 kg 5 tablet 4KDT 5 tablet 2KDT
Sumber: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2017). Pengobatan Pasien Tuberkulosis.
Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.

Tabel 2.4 Dosis paduan OAT Kombipak Kategorik 1


Dosis per hari/kali Jumlah
Tahap Lama
Tablet Tablet Tablet Tablet hari/kali
pengoba pengoba
Isoniasid Rifampisin Pirazinamid Etambutol menelan
tan tan
@300 mgr @450 mgr @500 mgr @250 mgr obat
Awal 2 bulan 1 1 3 3 56
Lanjutan 4 bulan 2 1 - - 48
Sumber: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2017). Pengobatan Pasien Tuberkulosis.
Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.

b. Kategori 2
Paduan OAT Kategori 2 yang digunakan di Indonesia adalah

2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3 atau 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)E.

Paduan OAT ini diberikan untuk pasien dengan riwayat pengobatan TB

sebelumnya (pasien pengobatan ulang) yaitu:


1. Pasien kambuh
2. Pasien gagal pada pengobatan Kategori I sebelumnya
3. Pasien dengan pengobatan setelah putus berobat (loss to follow-up)
Paduan OAT kategori 2 diberikan selama 8 bulan, dibagi menjadi 2

tahapan yaitu 3 bulan tahap awal dan 5 bulan tahap lanjutan. Paduan

OAT Kategori 2 yang disediakan oleh program adalah dalam bentuk

kombinasi dosis tetap (KDT) dan obat lepas (kombipak). Untuk saat ini

paduan yang disediakan adalah paduan dengan dosis intermiten.


20

Sedangkan untuk dosis harian yaitu 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)E sedang

dalam proses pengadaan program TB Nasional.


Tabel 2.5 Dosis paduan OAT KDT Kategori 2
Tahap lanjutan 3 kali
Tahap awal tiap hari seminggu
Berat
RHZE (150/75/400/275) + S RH (150/150) + E
badan
(400)
Selama 56 hari Selama 28 hari Selama 20 minggu
30-37 kg 2 tab 4KDT + 500 mg 2 tab 4KDT 2 tab 2KDT + 2 tab
Streptomisin inj. Etambutol
38-54 kg 3 tab 4KDT + 750 mg 3 tab 4KDT 3 tab 2KDT + 3 tab
Streptomisin inj. Etambutol
55-70 kg 4 tab 4KDT + 1000 mg 4 tab 4KDT 4 tab 2KDT + 4 tab
Streptomisin inj. Etambutol
≥ 71 kg 5 tab 4KDT + 1000mg 5 tab 4KDT 5 tab 2KDT + 5 tab
Streptomisin inj. Etambutol
Sumber: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2017). Pengobatan Pasien Tuberkulosis.
Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.

Tabel 2.6 Dosis paduan OAT Kombipak Kategori 2


Tablet Etambutol Jumlah
Kaplet Tablet
Tahap Lama Isoniasid Tablet Tablet Streptomisin hari/kali
Rifampisin Pirazinamid
pengobatan pengobatan @300 @250 @400 inj. menelan
@450 mgr @500 mgr
mgr mgr mgr obat
Tahap awal 2 bulan 1 1 3 3 - 0,75 gr 56
(dosis 1bulan 1 1 3 3 - - 28
harian)
Tahap 5 bulan 2 1 - - 2 - 60
lanjutan
(dosis 3x
seminggu)
Sumber: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2017). Pengobatan Pasien Tuberkulosis.
Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.

2.1.8 Komplikasi
Penyakit TB paru bila tidak ditangani dengan benar akan

menimbulkan komplikasi. Komplikasi dibagi atas beberapa bagian, yaitu

komplikasi dini seperti pleuritis, efusi pleura, empisema, laringitis, TB usus,

Poncet’s arthropathy dan komplikasi lanjut seperti obstruksi jalan nafas

(Sindrom Obstruksi Pasca TB), kerusakan parenkim berat (fibrosis paru),

kor-pulmonal, amiloidosis paru, sindrom gagal nafas dewasa (ARDS), TB-


21

milier, jamur paru (aspergillosis) dan kavitas (Setiati, Alwi, Sudoyo,

Simadibrata, Setiyohadi & Syam, 2015).


2.1.9 Pencegahan
Menurut Wahyuni, Indarwati & Sugianto (2015), pencegahan TB paru

oleh orang yang belum terinfeksi, yaitu:


a. Selalu berusaha mengurangi kontak langsung dengan penderita TB paru

aktif,
b. Selalu menjaga standar hidup yang baik, caranya dengan mengkomsumsi

makanan yang bernilai gizi tinggi, menjaga lingkungan selalu sehat baik

itu dirumah maupun di tempat kerja atau kantor, dan menjaga kebugaran

tubuh dengan cara menyempatkan dan meluangkan waktu untuk

berolahraga, dan
c. Pemberian vaksin Bacille Calmette-Guerin (BCG), tujuannya untuk

mencegah terjadinya kasus infeksi TB yang lebih berat. Vaksin BCG

diberikan kepada semua balita; tindakan pencegahan TB paru oleh

penderita agar tidak menular.


Bagi mereka yang sudah terlanjur menjadi penderita TB aktif tindakan

yang bisa dilakukan adalah menjaga kuman atau bakteri dari diri sendiri.

Hal ini biasanya membutuhkan waktu lama sampai beberapa minggu untuk

masa pengobatan dengan obat TB hingga penyakit TB sudah tidak bersifat

menular lagi. Berikut ini adalah beberapa cara untuk membantu menjaga

pencegahan TB agar infeksi bakteri tidak menular kepada orang-orang

disekitar baik itu teman maupun keluarga dirumah; Selama beberapa

minggu menjalani pengobatan sebaiknya tidak bepergian kemanapun baik

itu sekolah, tidak melakukan aktivitas ditempat kerja (ngantor), dan tidak
22

tidur sekamar dengan orang lain meskipun keluarga sendiri sebagai usaha

pencegahan TB agar tidak menular (Wahyuni, Indarwati & Sugianto, 2015).

2.2 Kualitas Hidup


2.2.1 Definisi
Menurut WHO (1999), kualitas hidup adalah persepsi individu tentang

posisi mereka dalam kehidupan konteks budaya dan norma sesuai dengan

tempat mereka hidup. Ini adalah konsep luas yang dipengaruhi oleh

kesehatan fisik seseorang, keadaan psikologis, aktivitas pribadi, hubungan

sosial dan lingkungan mereka.


Kualitas hidup yang berhubungan dengan kondisi kesehatan atau

health-related quality of life (HRQOL) merupakan suatu konsep

multidimensi yang mempresentasikan semua persepsi klien terhadap

dampak dari penyakit dan penanganannya. Kualitas hidup merupakan

indikator penting untuk menilai keberhasilan dari intervensi pelayanan

kesehatan, baik dari segi pencegahan maupun pengobatan. Pengobatan Tb

bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah kematian, mencegah

kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya

resistensi kuman terhadap OAT (Putri, 2015).

2.2.2 Aspek-Aspek
Secara umum terdapat 5 bidang (domain) yang dipakai untuk

mengukur kualitas hidup berdasarkan kuesioner yang dikembangkan oleh

WHO, bidang tersebut adalah kesehatan fisik, kesehatan psikologik,

keleluasaan aktivitas, hubungan sosial dan lingkungan, sedangkan secara

rinci bidang-bidang yang termasuk kualitas hidup adalah sebagai berikut

(Akhmad, 2013):
23

a. Kesehatan fisik (physical health): kesehatan umum, nyeri, energi dan

vitalitas, aktivitas seksual, tidur dan istirahat.


b. Kesehatan psikologis (psychological health): cara berpikir, belajar,

memori dan konsentrasi.


c. Tingkat aktivitas (level of independence): mobilitas, aktivitas seharihari,

komunikasi, kemampuan kerja.


d. Hubungan sosial (sosial relationship): hubungan sosial, dukungan sosial.
e. Lingkungan (environment), keamanan, lingkungan rumah, kepuasan

kerja.

Menurut Koch et al (2007) dalam Akhmad (2013), sifat sifat yang

terkandung dalam kualitas hidup meliputi 4 hal yakni :

1. Multidimensionality, merujuk pada luasnya cakupan yang terkandung di

dalamnya, meliputi kenyamanan sosial, emosi, fungsional, dan fisik,


2. Subjectivity, merujuk pada kenyataan bahwa kualitas hidup hanya dapat

dipahami dari presepsi penderita.


3. Self-administration, mengandung arti bahwa penelitian kualitas hidup

sebagaimana diukur dengan kuisioner sepenuhnya dilengkapi oleh

penderita tanpa intervensi dari luar.


4. Time variable, memberi kesan bahwa kualitas hidup berfluktuasi

sepanjang waktu, sebagai hasil dari perubahan beberapa atau semua

komponen yang terdapat di dalamnya.


2.2.3 Pengukuran Kualitas Hidup
Pengukuran kualitas hidup dapat dilakukan dengan menggunakan

kuisioner WHOQOL-BREF (World Health Organization Quality Of Life-

Bref) dan Short Form 36 (SF 36) yang dibuat oleh Ware (1992). Dalam

kaitannya dengan pasien TB, kuisioner yang digunakan adalah Short Form

36 (SF 36). Hal ini dikarenakan kuisioner Short Form 36 (SF 36) di desain
24

sebagai alat ukur generik yang digunakan untuk survei populasi dan studi

evaluasi kebijakan kesehatan.

Kuisioner Short Form 36 (SF 36) dari the medical outcome study

terdiri dari 36 pertanyaan dengan 8 elemen (Ware dalam Akhmad, 2013),

yaitu :

1. Fungsi fisik, yakni derajat dalam hal keterbatasan kesehatan untuk

aktivitas fisik, termasuk rawat diri, berjalan naik tangga, membungkuk,

berlari, mengangkat beban, dan pekerjanaan sedang atau berat.


2. Keterbatasan peran karena masalah fisik, yakni derajat dalam hal

keterbatasan kesehatan yang mengganggu kerja atau aktivitas

keseharian, termasuk menyelesaikan pekerjaan lebih sedikit dari yang

dikehendaki, keterbatasan dalam bermacam aktivitas, atau kesulitan

dalam melakukan aktivitas.


3. Nyeri tubuh, yakni intensitas nyeri dan pengaruh nyeri terhadap kerja

normal, di dalam atau di luar rumah


4. Presepsi sehat umum, yaitu evaluasi pribadi terhadap kesehatan saat ini,

presepsi tentang kesehatan, dan ketahanan terhadap penyakit.


5. Vitalitas, yaitu perasaan berenergi dan penuh gairah melawan perasaan

lelah dan tidak bertenaga.


6. Fungsi sosial, merupakan derajat dalam hal keterbatasan atau masalah

emosi yang mengganggu aktifitas sosial normal.


7. Keterbatasan peran disebabkan oleh masalah emosi, merupakan derajat

dalam hal masalah emosi yang mengganggu kerja atau aktifitas

keseharian lainya, termasuk mengurangi waktu untuk beraktivitas,

menyelesaikan pekerjaan lebih sedikit, dan tidak bekerja secara teliti

seperti biasanya.
25

8. Keterbatasan mental umum, termasuk depresi, kecemasan, kontrol

emosi-tingkah laku, dan efek positif secara umum.


2.2.4 Kualitas Hidup Pasien TB Paru
Sebagian besar penderita TB merasakan perubahan yang signifikan

dalam kehidupannya, dalam hal ini setiap penderita akan membutuhkan

penyesuaian yang berbeda-beda tergantung pada persepsi, sikap serta

pengalaman pribadi terkait penerimaan diri terhadap perubahan yang terjadi.

Hal ini akan mempengaruhi kualitas hidupnya dari segi kesehatan fisik,

kondisi psikologis, sosial dan lingkungan. Maka kondisi inilah yang akan

berpengaruh terhadap kualitas hidup penderita TB (Fitriani & Ambarini,

2012).
Penelitian lain dari Ratnasari (2012), yang bertujuan untuk

mengetahui hubungan antara dukungan sosial dengan kualitas hidup

penderita TB paru. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif

dengan metode deskriptif. Jumlah sampel 50 orang penderita TB paru. Hasil

penelitian ini yaitu ada hubungan yang sangat bermakna antara dukungan

sosial dengan kualitas hidup penderita TB paru. Semakin tinggi dukungan

sosial maka semakin tinggi kualitas hidup.


Setiap individu memiliki kualitas hidup yang berbeda-beda tergantung

dari masing-masing individu dalam menyikapi permasalahan yang terjadi

dalam dirinya. Jika menghadapinya dengan positif maka akan baik pula

kualitas hidupnya, tetapi lain halnya jika menghadapinya dengan negatif

maka akan buruk pula kualitas hidupnya. Kualitas hidup pasien seharusnya

menjadi perhatian penting bagi para petugas kesehatan karena dapat menjadi

acuan keberhasilan dari suatu tindakan/intervensi atau terapi. Disamping itu,


26

data tentang kualitas hidup juga dapat merupakan data awal untuk

pertimbangan merumuskan intervensi/tindakan yang tepat bagi pasien

(Octaviyanti, 2013).

2.2.5 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kualitas Hidup Pasien TB Paru


a. Umur
Sejalan dengan bertambahnya usia, setiap manusia akan beranjak

mengalami masa tua. Pada masa tua, seseorang akan mengalami

perubahan baik secara organobiologik (fisik) maupun psikososial.

Meningkatnya umur, dapat mempengaruhi kualitas fisik seseorang

sehingga kualitas hidupnya menurun (Akhmad, 2013). Pasien TB yang

tertinggi berada pada kelompok usia produktif. Hal ini didukung dengan

penelitian Saraswati (2012) yaitu rata-rata umur responden adalah 35

tahun dan rata-rata umur yang berobat berada pada rentang umur 32-38

tahun. Depkes RI juga menjelaskan bahwa sekitar 75% pasien TB

merupakan kelompok umur yang produktif secara ekonomis (15-50

tahun).
b. Jenis kelamin
Jenis kelamin merupakan salah satu faktor risiko seseorang terkena

TB paru. Angka prevalensi TB pada laki-laki cenderung lebih tinggi pada

semua umur sedangkan pada perempuan angka prevalensi cenderung

semakin menurun setelah melewati masa usia subur. TB paru lebih

banyak terjadi pada jenis kelamin laki-laki dibandingkan dengan

perempuan karena kebiasaan laki-laki yang sebagian besar merokok

sehingga hal tersebut memudahkan terinfeksi TB paru (Ruditya, 2015).


27

Hal ini didukung dengan penelitian Andika (2016) menunjukkan

karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin lebih banyak pada

laki-laki dibandingkan perempuan. Hal ini disebabkan karena kualitas

hidup berhubungan dengan kesehatan berdasarkan perbedaan jenis

kelamin menunjukkan bahwa pada laki-laki mempunyai kualitas hidup

lebih buruk daripada perempuan, dikarenakan perilaku laki-laki yang

cenderung kurang baik seperti kebiasaan merokok dan minum minuman

beralkohol meskipun tidak terlalu umum (Andhika, 2016; Ruditya,

2015).
c. Tingkat pendidikan
Tingkat pendidikan dianggap sebagai salah satu unsur yang ikut

menentukan pengalaman dan pengetahuan seseorang, baik dalam ilmu

pengetahuan maupun dalam kehidupan sosial (Kholifah, 2009). Pada

penderita yang memiliki pendidikan lebih tinggi akan mempunyai

pengetahuan yang lebih luas juga memungkinkan pasien itu dapat

mengontrol dirinya dalam mengatasi masalah yang dihadapi, mempunyai

rasa percaya diri yang tinggi, berpengalaman, dan mempunyai perkiraan

yang tepat bagaimana mengatasi kejadian serta mudah mengerti tentang

apa yang dianjurkan oleh petugas kesehatan, akan dapat mengurangi

kecemasan sehingga dapat membantu individu tersebut dalam membuat

keputusan (Akhmad, 2013).


Penelitian Saraswati (2012) didapatkan bahwa kebanyakan tingkat

pendidikan responden rendah. Hal ini dikarenakan pasien yang memiliki

tingkat pendidikan yang rendah akan sulit memahami informasi yang


28

didapatkan dari pusat kesehatan sehingga memperparah penyakit TB paru

dan menurunkan kualitas hidupnya.


d. Status pekerjaan
Pekerjaan adalah merupakan sesuatu kegiatan atau aktifitas

seseorang yang bekerja pada orang lain atau instansi, kantor, perusahaan

untuk memperoleh penghasilan yaitu upah atau gaji baik berupa uang

maupun barang demi memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari

(Rohmat, 2010).
Penelitian Saraswati (2012), didapatkan bahwa responden

terbanyak yaitu mahasiswa. Ini akan berdampak ke kualitas hidupnya

sehingga mengganggu kemampuan seseorang untuk belajar, hal ini juga

dipengaruhi oleh faktor fisik dan kognitif, tingkat perkembangan,

kesehatan fisik dan proses berpikir intelektual.


Hasil penelitian Ratnasari (2012) juga menunjukkan bahwa

responden terbanyak adalah mahasiswa. Dari hasil wawancara didapat

bahwa responden yang berstatus mahasiswa kebanyakan berasal dari luar

daerah sehingga mereka harus indekos. Tinggal di lingkungan padat

hunian (seperti kos) berpengaruh terhadap penularan TB paru. Hal ini

sesuai dengan pernyataan mengenai beberapa hal yang perlu diperhatikan

sehubungan dengan penularan TB paru adalah terkait perumahan yang

terlalu padat atau kondisi kerja yang buruk. Kepadatan hunian

menimbulkan efek negatif terhadap kesehatan fisik, mental dan sosial.

Rumah atau ruangan yang terlalu padat penghuninya akan kekurangan O 2

sehingga menyebabkan menurunnya daya tahan dan memudahkan

terjadinya penularan penyakit.


29

2.3 Dukungan Sosial


2.3.1 Definisi
Dukungan sosial adalah adanya bantuan atau dukungan yang diterima

indivisu dari orang lain dalam kehidupannya sehingga individu tersebut

merasa bahwa orang lain memperhatikan, menghargai, dan mencintainya

(Hastuti, Setiawan & Fikri, 2014). Dukungan sosial merupakan suatu

dukungan atau bantuan yang diterima oleh seseorang dari orang lain atau

kelompok untuk membantu orang tersebut memenuhi kebutuhannya, yang

akan membantunya mengatasi stres, sehingga ia merasa nyaman,

diperhatikan, dicintai, dihormati, dan menjadi bagian dari suatu kelompok

(Saraswati, 2012). Sumber dukungan sosial dapat beraneka ragam, dapat

berasal dari pasangan atau orang yang dicintai, keluarga teman, rekan kerja,

petugas kesehatan, atau organisasi masyarakat. Sumber dukungan sosial

yang utama adalah keluarga, yaitu dimana dua atau lebih individu yang

tinggal dalam satu rumah atau tinggal berdekatan satu sama lain, saling

memiliki suatu ikatan emosional, terikat dalam hubungan sosial, peran dan

tugas, dan berbagai ikatan budaya, rasa kasih sayang dan saling memiliki.
2.3.2 Bentuk-Bentuk
Bentuk-bentuk dukungan sosial dapat berupa dukungan emosional

yaitu menyampaikan empati, kepedulian, perhatian, pandangan positif dan

dorongan semangat terhadap seseorang; dukungan instrumental yaitu

meliputi bantuan langsung atau nyata seperti saat seseorang memberi atau

meminjamkan uangnya; dukungan informasi yaitu suatu bentuk dukungan

yang lebih bersifat nasihat, memberitahukan hal yang baik terhadap apa

yang sudah dilakukan oleh individu tersebut seperti seseorang yang sedang
30

sakit akan mendapatkan informasi dari keluarganya atau dokter tentang

bagaimana mengatasi penyakitnya; dan dukungan penghargaan yaitu

dukungn yang melibatkan ekspresi berupa pernyataan setuju dan penilaian

positif terhadap ide-ide, perasaan dan peforma orang lain (Saraswati, 2012;

Ushfuriyah; 2015).
31

2.4 Kerangka Teori

Skema 2.1 Kerangka Teori

Mycobacterium Tuberculosis

Tuberkulosis Gejala klinis: Stigma negatif

Dukungan sosial - Batuk produktif


- Demam
- Malaise
Faktor yang - Sesak nafas
mempengaruhi - Nyeri dada
kualitas hidup:

- Umur
- Jenis kelamin
- Tingkat Kualitas hidup:
pendidikan
- Status pekerjaan - Kesehatan fisik
- Kesehatan psikologi
- Tingkat aktivitas
- Hubungan sosial
- Lingkungan
Sumber: Setiati, Alwi, Sudoyo, Simadibrata,
Setiyohadi & Syam, 2015; Akhmad,
2013; Ratnasari, 2012; Retni, 2010.

2.5 Hipotesis
Ada hubungan antara dukungan sosial dengan kualitas hidup pasien

tuberkulosis paru di Kecamatan Pontianak Barat.

Anda mungkin juga menyukai

  • Anemia Pada Ibu Hamil
    Anemia Pada Ibu Hamil
    Dokumen26 halaman
    Anemia Pada Ibu Hamil
    Tesar Pradyka
    Belum ada peringkat
  • Dapus Diare
    Dapus Diare
    Dokumen1 halaman
    Dapus Diare
    Tesar Pradyka
    Belum ada peringkat
  • Fraktur Femur
    Fraktur Femur
    Dokumen3 halaman
    Fraktur Femur
    Tesar Pradyka
    Belum ada peringkat
  • Fraktur Femur
    Fraktur Femur
    Dokumen3 halaman
    Fraktur Femur
    Tesar Pradyka
    Belum ada peringkat
  • Anemia Pada Ibu Hamil
    Anemia Pada Ibu Hamil
    Dokumen26 halaman
    Anemia Pada Ibu Hamil
    Tesar Pradyka
    Belum ada peringkat
  • Fraktur Femur
    Fraktur Femur
    Dokumen3 halaman
    Fraktur Femur
    Tesar Pradyka
    Belum ada peringkat
  • Sap Magh
    Sap Magh
    Dokumen4 halaman
    Sap Magh
    Tesar Pradyka
    Belum ada peringkat
  • Pathway
    Pathway
    Dokumen2 halaman
    Pathway
    Tesar Pradyka
    Belum ada peringkat
  • Sap Magh
    Sap Magh
    Dokumen4 halaman
    Sap Magh
    Tesar Pradyka
    Belum ada peringkat
  • Leaflet Magh
    Leaflet Magh
    Dokumen2 halaman
    Leaflet Magh
    Tesar Pradyka
    Belum ada peringkat
  • Pathway
    Pathway
    Dokumen2 halaman
    Pathway
    Tesar Pradyka
    Belum ada peringkat
  • Sap Batuk
    Sap Batuk
    Dokumen5 halaman
    Sap Batuk
    Tesar Pradyka
    Belum ada peringkat
  • Sap Magh
    Sap Magh
    Dokumen6 halaman
    Sap Magh
    Tesar Pradyka
    Belum ada peringkat
  • Leaflet Magh
    Leaflet Magh
    Dokumen2 halaman
    Leaflet Magh
    Tesar Pradyka
    Belum ada peringkat
  • Sap Manajemen Dispnea (Sesak Nafas)
    Sap Manajemen Dispnea (Sesak Nafas)
    Dokumen9 halaman
    Sap Manajemen Dispnea (Sesak Nafas)
    Tesar Pradyka
    Belum ada peringkat
  • Leaflet Nutrisi Fraktur
    Leaflet Nutrisi Fraktur
    Dokumen2 halaman
    Leaflet Nutrisi Fraktur
    Tesar Pradyka
    Belum ada peringkat
  • Sap Magh
    Sap Magh
    Dokumen6 halaman
    Sap Magh
    Tesar Pradyka
    Belum ada peringkat
  • Sap Diet Hati
    Sap Diet Hati
    Dokumen6 halaman
    Sap Diet Hati
    Tesar Pradyka
    Belum ada peringkat
  • Sap Usus Buntu
    Sap Usus Buntu
    Dokumen5 halaman
    Sap Usus Buntu
    Tesar Pradyka
    Belum ada peringkat
  • Sap Usus Buntu
    Sap Usus Buntu
    Dokumen5 halaman
    Sap Usus Buntu
    Tesar Pradyka
    Belum ada peringkat
  • Sap Batuk
    Sap Batuk
    Dokumen5 halaman
    Sap Batuk
    Tesar Pradyka
    Belum ada peringkat
  • Sap Manajemen Dispnea (Sesak Nafas)
    Sap Manajemen Dispnea (Sesak Nafas)
    Dokumen9 halaman
    Sap Manajemen Dispnea (Sesak Nafas)
    Tesar Pradyka
    Belum ada peringkat
  • Sap Batuk
    Sap Batuk
    Dokumen5 halaman
    Sap Batuk
    Tesar Pradyka
    Belum ada peringkat
  • Sap Usus Buntu
    Sap Usus Buntu
    Dokumen5 halaman
    Sap Usus Buntu
    Tesar Pradyka
    Belum ada peringkat