Anda di halaman 1dari 36

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Cerebral palsy merupakan kelainan motorik yang banyak


diketemukan pada anak-anak. Di Klinik Tumbuh Kembang RSUD
Dr.Soetomo pada periode 1988-1991 sekitar 16,8% adalah dengan cerebral
palsy. William Little yang pertama kali mempublikasikan kelainan ini pada
tahun 1843, menyebutnya dengan istilah “cerebral diplegia”, sebagai akibat
dari prematuritas atau asfiksia neonatorium. Pada waktu itu kelainan ini
dikenal sebagai penyakit dari Little. Sigmund Freud menyebut kelainan ini
dengan istilah “Infantil Cerebral Paralysis”. Sedangkan Sir William Osler
adalah yang pertama kali memperkenalkan istilah “cerebral palsy”. Nama
lainnya adalah “Static encephalopathies of childhood”.

Angka kejadiannya sekitar 1-5 per 1000 anak laki-laki lebih banyak
daripada wanita. Sering terdapat pada anak pertama, mungkin karena anak
pertama lebih sering mengalami kesulitan pada waktu dilahirkan. Angka
kejadiannya lebih tinggi pada bayi BBLR dan anak-anak kembar. Umur ibu
sering lebih dari 40 tahun, lebih-lebih pada multipara. Franky (1994) pada
penelitiannya di RSUP sanglah Denpasar, mendapat bahwa umur 58,3%
penderita cerebral palsy yang diteliti adalah laki-laki,62,5% anak pertama, ibu
semua dibawah 30 tahun, 87,5% berasal dari persalinan spontan letak kepala
dan 75% dari kehamilan cukup bulan.

Dilihat dari skala diatas bila masalah tersebut tidak teratasi maka
angka mortalitas bayi akan meningkat. Jumlah bayi yang cacat akan
meningkat dan tentu saja akan mempengaruhi masa depan anak tersebut.
Dampak lebih lanjut suatu negara akan kehilangan para penerus bangsa.

Neuralgia Trigeminal merupakan suatu keluhan serangan nyeri wajah


satu sisi yang berulang. Disebut Trigeminal neuralgia, karena nyeri di wajah
ini terjadi pada satu atau lebih saraf dari tiga cabang saraf Trigeminal. Saraf
yang cukup besar ini terletak di otak dan membawa sensasi dari wajah ke

1
otak. Rasa nyeri disebabkan oleh terganggunya fungsi saraf Trigeminal sesuai
dengan daerah distribusi persarafan salah satu cabang saraf Trigeminal yang
diakibatkan oleh berbagai penyebab.

Serangan neuralgia Trigeminal dapat berlangsung dalam beberapa


detik sampai semenit. Beberapa orang merasakan sakit ringan, kadang terasa
seperti ditusuk. Sementara yang lain merasakan nyeri yang cukup kerap,
berat, seperti nyeri saat kena setrum listrik.

Prevalensi penyakit ini diperkirakan sekitar 107.5 pada pria dan 200.2
pada wanita per satu juta populasi. Penyakit ini lebih sering terjadi pada sisi
kanan wajah dibandingkan dengan sisi kiri (rasio 3:2), dan merupakan
penyakit pada kelompok usia dewasa (dekade enam sampai tujuh). Hanya 10
% kasus yang terjadi sebelum usia empat puluh tahun. Sumber lain
menyebutkan, penyakit ini lebih umum dijumpai pada mereka yang berusia di
atas 50 tahun, meskipun terdapat pula penderita berusia muda dan anak-anak.

Neuralgia Trigeminal merupakan penyakit yang relatif jarang, tetapi


sangat mengganggu kenyamanan hidup penderita, namun sebenarnya
pemberian obat untuk mengatasi Trigeminal neuralgia biasanya cukup efektif.
Obat ini akan memblokade sinyal nyeri yang dikirim ke otak, sehingga nyeri
berkurang, hanya saja banyak orang yang tidak mengetahui dan
menyalahartikan Neuralgia Trigeminal sebagai nyeri yang ditimbulkan karena
kelainan pada gigi, sehingga pengobatan yang dilakukan tidaklah tuntas.

Untuk itu dalam makalah ini kelompok akan menjelaskan tentang


cerebral palsy dan Neuralgia Trigeminal beserta asuhan keperawatannya dan
diharapkan bisa membantu mahasiswa, tenaga kesehatan dan masyarakat
umum untuk lebih memahami tentang masalah cerebral palsy dan Neuralgia
Trigeminal.

2
1.2 Tujuan

1.2.1 Tujuan Umum

Menjelaskan asuhan keperawatan yang harus diberikan kepada


anak dengan gangguan cerebral palsy.

1.2.2 Tujuan Khusus

a. Mahasiswa mampu memahami definisi dari Cerebral Palsy dan


Neuralgia Trigeminal.
b. Mahasiswa mampu memahami etiologi dari Cerebral Palsy dan
Neuralgia Trigeminal.
c. Mahasiswa mampu memahami klasifikasi dari Cerebral Palsy
d. Mahasiswa mampu memahami Manifestasi klinis dari Cerebral Palsy
dan Neuralgia Trigeminal.
e. Mahasiswa mampu memahami pemeriksaan diagnostic yang
dibutuhkan untuk Cerebral Palsy dan Neuralgia Trigeminal.
f. Mahasiswa mampu memahami penatalaksanaan dari Cerebral Palsy
dan Neuralgia Trigeminal.
g. Mahasiswa mampu memahami komplikasi dari Cerebral Palsy dan
Neuralgia Trigeminal.
h. Mahasiswa mampu memahami prognosis dari Cerebral Palsy dan
Neuralgia Trigeminal.
i. Mahasiswa mampu memahami patofisiologi dari Cerebral Palsy dan
Neuralgia Trigeminal.

1.3 Manfaat

Dengan adanya makalah ini, diharapkan mahasiswa mampu memahami


asuhan keperawatan pada anak dengan gangguan system saraf yaitu cerebral
palsy, serta mampu mengimplementasikannya dalam proses keperawatan.

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Cerebral Palsy

2.1.1 Definisi Cerebral Palsy

Cerebral palsy lebih tepat dikatakan suatu gejala yang kompleks


daripada suatu penyakit yang spesifik. (Kuban, 1994) Cerebral palsy
merupakan kelainan motorik yang banyak ditemukan pada anak-anak.
William Little yang pertamakali mempublikasikan kelainan ini pada
tahun 1843, menyebutnya dengan istilah “cerebral diplegia”, sebagai
akibat dari prematuritas atau asfiksia neonatorum. (Soetjiningsih,
1995). Cerebral palsy adalah kelainan yang disebabkan oleh kerusakan
otak yang menyebabkan kelainan pada fungsi gerak dan koordinasi,
psikologis dan kognitif sehingga mempengaruhi belajar mengajar.

Karakteristik klinik Cerebral palsy tidak spesifik, penjelasan


tentang Cerebral palsy menyangkut kerusakan fungsi motorik yang
terjadi pada masa awal kanak– kanak dan ditandai dengan perubahan
sifat otot yang biasanya berupa spatisitas, gerakan involunter, ataksia
atau kombinasi. Walaupun pada umumnya yang terkena adalah lengan
dan tungkai, namun seringkali bagian tubuh yang lain juga terkena.
Keadaan ini disebabkan karena disfungsi otak dan tidak bersifat
episodik atau progresif. (Swaiman, 1998).

Beberapa definisi tentang penyebab pasti Cerebral palsy masih


menimbulkan kerancuan. Definisi yang ada saat ini masih sangat luas
dan tidak mempertimbangkan tingkat kecacatan yang ditimbulkan.
Selain itu, masih belum adanya konsensus tentang apakah seorang anak
yang diketahui memiliki kelainan bawaan (contohnya penyakit
metabolik, neuronal migration defect) termasuk dalam kategori
Cerebral palsyatau tidak. (Swaiman, 1998).

4
Konsensus tentang definisi Cerebral palsy yang terbaru yaitu,
Cerebral palsy adalah suatu terminasi yang umum yang meliputi suatu
kelompok kelainan yang bersifat non-progresif, tetapi seringkali
berubah dan menampakkan sindrom kelainan gerakan sekunder,
sebagai akibat kerusakan atau anomali pada susunan saraf pusat diawal
perkembangan sel–sel motorik. (Kuban, 1994; Soetjiningsih, 1995;
Stanley, 2000).

Pada anak–anak, hubungan antara lesi pada sistem saraf pusat dan
gangguan fungsi dapat berubah. Abnormalitas pada tonus motorik atau
gerakan yang terjadi pada beberapa minggu atau beberapa bulan
pertama kelahiran, secara teratur akan meningkat selama tahun pertama
kehidupan.

Namun setelah anak berusia lebih dari satu tahun, tonus motorik
menjadi berkurang, dimana kondisi ini terus berlanjut hingga akhirnya
ia didiagnosa menderita Cerebral palsy. (Kuban, 1994) Pada penelitian
yang dilakukan oleh Collaborative Perinatal Project menunjukkan
bahwa hingga mereka berusia 7 tahun, hampir dua pertiga dari anak–
anak yang mengalami diplegia spastik dan setengah dari anak– anak
yang mengalami Cerebral palsy pada ulang tahun pertama mereka,
tampak tumbuh normal atau tidak menunjukkan tanda–tanda Cerebral
palsy. Padahal dibalik itu semua, secara relatif tanda–tanda motorik
nonspesifik, seperti hipotonia, yang telah ada pada minggu–minggu
atau bulan–bulan pertama kehidupan, berkembang menjadi spastisitas
dan abnormalitas ekstrapiramidal, hingga mereka melalui usia satu atau
dua tahun. Anggapan bahwa myelinasi akson–akson dan pematangan
neuron dalam ganglia basalia, terjadi sebelum spastisitas, distonia dan
athetosis, dapat dibuktikan. Beberapa ahli menganjurkan bahwa
diagnosis definitif Cerebral palsy sebaiknya ditunda sampai anak
berusia dua tahun. Jika dokter melakukan diagnosis sebelum akhir
tahun pertama, maka selanjutnya diagnosa ini harus diberitahukan pada
keluarga penderita sebagai suatu diagnosis yang bersifat sementara.

5
(Kuban, 1994) Cerebral palsy dapat diklasifikasikan berdasar
keterlibatan alat gerak atau ekstremitas (monoplegia, hemiplegia,
diplegia dan quadriplegia), dan karakteristik disfungsi neurologik
(spastik, hipotonik, distonik, athetonik atau campuran).

2.1.2 Etiologi Cerebral Palsy

Suatu definisi mengatakan bahwa penyebab Cerebral Palsy


berbeda–beda tergantung pada suatu klasifikasi yang luas yang meliputi
antara lain : terminologi tentang anak–anak yang secara neurologik
sakit sejak dilahirkan, anak–anak yang dilahirkan kurang bulan dengan
berat badan lahir rendah dan anak-anak yang berat badan lahirnya
sangat rendah, yang berisiko Cerebral Palsy dan terminologi tentang
anak–anak yang dilahirkan dalam keadaan sehat dan mereka yang
berisiko mengalami Cerebral Palsy setelah masa kanak–kanak.
(Swaiman, 1998). Cerebral Palsydapat disebabkan faktor genetik
maupun faktor lainnya. Apabila ditemukan lebih dari satu anak yang
menderita kelainan ini dalam suatu keluarga, maka kemungkinan besar
disebabkan faktor genetik. (Soetjiningsih, 1995) Waktu terjadinya
kerusakan otak secara garis besar dapat dibagi pada masa pranatal,
perinatal dan postnatal.

1. Pranatal
a. Kelainan perkembangan dalam kandungan, faktor genetik,
kelainan kromosom (Soetjiningsih, 1995).
b. Usia ibu kurang dari 20 tahun dan lebih dari 40 tahun (Nelson,
1994).
c. Usia ayah < 20 tahun (Cummins, 1993) dan > 40 tahun
(Fletcher, 1993).
d. Infeksi intrauterin : TORCH dan sifilis.
e. Radiasi sewaktu masih dalam kandungan.
f. Asfiksia intrauterin (abrubsio plasenta, plasenta previa, anoksia
maternal, kelainan umbilikus, perdarahan plasenta, ibu
hipertensi, dan lain – lain).

6
g. Keracunan kehamilan, kontaminasi air raksa pada makanan,
rokok dan alkohol.
h. Induksi konsepsi. (Soetjiningsih, 1994).
i. Riwayat obstetrik (riwayat keguguran, riwayat lahir mati,
riwayat melahirkan anak dengan berat badan < 2000 gram atau
lahir dengan kelainan morotik, retardasi mental atau sensory
deficit). (Boosara,2004).
j. Toksemia gravidarum.

Dalam buku–buku masih dipakai istilah toksemia gravidarum


untuk kumpulan gejala–gejala dalam kehamilan yang merupakan
trias HPE (Hipertensi, Proteinuria dan Edema), yang kadang–
kadang bila keadaan lebih parah diikuti oleh KK (kejang–
kejang/konvulsi dan koma). (Rustam, 1998) Patogenetik hubungan
antara toksemia pada kehamilan dengan kejadian CP masih belum
jelas. Namun, hal ini mungkin terjadi karena toksemia
menyebabkan kerusakan otak pada janin. (Gilroy, 1979).

a. Inkompatibilitas Rh.
b. Disseminated Intravascular Coagulation oleh karena kematian
pranatal pada salah satu bayi kembar (Soetjiningsih, 1994).
c. Maternal thyroid disorder.
d. Siklus menstruasi yang panjang.
e. Maternal mental retardation.
f. Maternal seizure disorder (Boosara, 2004).

2. Perinatal
a. Anoksia / hipoksia
Penyebab terbanyak ditemukan dalam masa perinatal ialah
brain injury. Keadaan inilah yang menyebabkan terjadinya
anoksia. Hal initerdapat pada keadaan presentasi bayi
abnormal, disproporsi sefalo–servik, partus lama, plasenta

7
previa, infeksi plasenta, partusmenggunakan instrumen tertentu
dan lahir dengan seksio caesar.(Anonim. 2002).

b. Perdarahan otak akibat trauma lahir


Perdarahan dan anoksi dapat terjadi bersama–sama,
sehingga sukar membedakannya, misalnya perdarahan yang
mengelilingi batang otak, mengganggu pusat pernafasan dan
peredaran darah, sehingga terjadi anoksia. Perdarahan dapat
terjadi di ruang subaraknoid akan menyebabkan penyumbatan
CSS sehingga menyebabkan hidrosefalus. Perdarahan di ruang
subdural dapat menekan korteks serebri sehingga timbul
kelumpuhan spastis. (Anonim, 2002)

1. Prematuritas
2. Berat badan lahir rendah
3. Postmaturitas
4. Primipara
5. Antenatal care
6. Hiperbilirubinemia
Bentuk Cerebral Palsy yang sering terjadi adalah
athetosis, hal ini disebabkan karena frekuensi yang tinggi pada
anak–anak yang lahir dengan mengalami hiperbilirubinemia
tanpa mendapatkan terapi yang diperlukan untuk mencegah
peningkatan konsentrasi unconjugatedbilirubin. Gejala–gejala
kernikterus yang terdapat pada bayi yang mengalami jaundice
biasanya tampak setelah hari kedua dan ketiga kelahiran. Anak
menjadi lesu dan tidak dapat menyusu dengan baik.
Kadangkala juga terjadi demam dan tangisan menjadi lemah.
Sulitmendapatkan Reflek Moro dan tendon pada mereka, dan
gerakan otot secara umum menjadi berkurang. Setelah
beberapa minggu, tonus meningkat dan anak tampak
mengekstensikan punggung dengan opisthotonus dan diikuti
dengan ekstensi ektremitas. (Swaiman, 1998).

8
1. Status gizi ibu saat hamil
2. Bayi kembar (Soetjiningsih, 1995)
3. Ikterus
Ikterus pada masa neonatus dapat menyebabkan
kerusakan jaringan otak yang kekal akibat masuknya
bilirubin ke ganglia basal, misalnya pada kelainan
inkompatibilitas golongan darah. (Soetjiningsih, 1995).
4. Meningitis purulenta
Meningitis purulenta pada masa bayi bila terlambat
atau tidak tepat pengobatannya akan mengakibatkan
gejala sisa berupa CP. (Soetjiningsih, 1995).

5. Kelahiran sungsang
6. Partus lama
Partus lama yaitu persalinan kala I lebih dari 12 jam
dan kala II lebih dari 1 jam. Pada primigravida biasanya
kala I sekitar 13 jam dan kala II sekitar 1,5 jam.
Sedangkan pada multigravida, kala I : 7 jam dan kala II :
1/5 jam. Persalinan yang sukar dan lama meningkatkan
risiko terjadinya cedera mekanik dan hipoksia janin.
(Wiknjosastro, 2002).

7. Partus dengan induksi / alat


8. Polyhidramnion (Boosara, 2004)
9. Perdarahan pada trimester ketiga
3. Postnatal

a. Anoksia otak : tenggelam, tercekik, post status epilepticus.


b. Trauma kepala : hematom subdural.
c. Infeksi : meningitis / ensefalitis yang terjadi 6 bulan pertama
kehidupan (Anonim,2002), septicaemia, influenza, measles dan
pneumonia. (Eve, et al., 1982)
d. Luka parut pada otak pasca operasi (Anonim, 2002)
e. Racun : logam berat, CO (Soetjiningsih, 1995)

9
f. Malnutrisi (Eve, et,al., 1982)

2.1.3 Klasifikasi Cerebral Palsy


Berdasarkan gejala dan tanda neurologis (Swaiman, 1998;
Gilroy, 1979;Rosenbaum, 2003)

1. Spastik
a. Monoplegia
Pada monoplegia, hanya satu ekstremitas saja yang mengalami
spastik. Umumnya hal ini terjadi pada lengan / ekstremitas
atas.
b. Diplegia
Spastik diplegia atau uncomplicated diplegia pada
prematuritas. Hal ini disebabkan oleh spastik yang menyerang
traktus kortikospinal bilateral atau lengan pada kedua sisi
tubuh saja. Sedangkan sistem–sistem lain normal.
c. Hemiplegia
Spastis yang melibatkan traktus kortikospinal unilateral yang
biasanya menyerang ekstremitas atas/lengan atau menyerang
lengan pada salah satu sisi tubuh.
d. Triplegia
Spastik pada triplegia menyerang tiga buah ekstremitas.
Umumnya menyerang lengan pada kedua sisi tubuh dan salah
satu kaki pada salah salah satu sisi tubuh.
e. Quadriplegia
Spastis yang tidak hanya menyerang ekstremitas atas, tetapi
juga ekstremitas bawah dan juga terjadi keterbatasan (paucity)
pada tungkai.
2. Ataksia
Kondisi ini melibatkan cerebelum dan yang berhubungan
dengannya. Pada CP tipe ini terjadi abnormalitas bentuk postur
tubuh dan / atau disertai dengan abnormalitas gerakan. Otak
mengalami kehilangan koordinasi muskular sehingga gerakan–

10
gerakan yang dihasilkan mengalami kekuatan, irama dan akurasi
yang abnormal.

3. Athetosis atau koreoathetosis


Kondisi ini melibatkan sistem ekstrapiramidal. Karakteristik yang
ditampakkan adalah gerakan–gerakan yang involunter dengan
ayunan yang melebar. Athetosis terbagi menjadi :
a. Distonik
Kondisi ini sangat jarang, sehingga penderita yang mengalami
distonik dapat mengalami misdiagnosis. Gerakan distonia tidak
seperti kondisi yang ditunjukkan oleh distonia lainnya.
Umumnya menyerang otot kaki dan lengan sebelah proximal.
Gerakan yang dihasilkan lambat dan berulang–ulang, terutama
pada leher dan kepala.

b. Diskinetik
Didominasi oleh abnormalitas bentuk atau gerakan–gerakan
involunter, tidak terkontrol, berulang–ulang dan kadangkala
melakukan gerakan stereotype.

c. Atonik
Anak–anak penderita CP tipe atonik mengalami hipotonisitas
dan kelemahan pada kaki. Walaupun mengalami hipotonik

11
namun lengan dapat menghasilkan gerakan yang mendekati
kekuatan dan koordinasi normal.
d. Campuran
Cerebral palsy campuran menunjukkan manifestasi spastik dan
ektrapiramidal, seringkali ditemukan adanya komponen
ataksia.

Berdasarkan perkiraan tingkat keparahan dan kemampuan


penderita untuk melakukan aktifitas normal (Swaiman, 1998;
Rosenbaum, 2003)

a. Level 1 (ringan)
Anak dapat berjalan tanpa pembatasan/tanpa alat bantu, tidak
memerlukan pengawasan orangtua, cara berjalan cukup stabil,
dapat bersekolah biasa, aktifitas kehidupan sehari–hari 100 %
dapat dilakukan sendiri.
b. Level 2 (sedang)
Anak berjalan dengan atau tanpa alat bantu, alat untuk
ambulasi ialah brace, tripod atau tongkat ketiak. Kaki / tungkai
masih dapat berfungsi sebagai pengontrol gaya berat badan.
Sebagian besar aktifitas kehidupan sehari–hari dapat dilakukan
sendiri dan dapat bersekolah.
c. Level 3 (berat)
Mampu untuk makan dan minum sendiri, dapat duduk,
merangkak atau mengesot, dapat bergaul dengan teman–
temannya sebaya dan aktif. Pengertian kejiwaan dan rasa
keindahan masih ada, aktifitas kehidupan sehari–hari perlu
bantuan, tetapi masih dapat bersekolah. Alat ambulasi yang
tepat ialah kursi roda.
d. Level 4 (berat sekali)
Tidak ada kemampuan untuk menggerakkan tangan atau kaki,
kebutuhan hidup yang vital (makan dan minum) tergantung

12
pada orang lain. Tidak dapat berkomunikasi, tidak dapat
ambulasi, kontak kejiwaan dan rasa keindahan tidak ada.

2.1.4 Patofisiologi Cerebral Palsy


Adanya malformasi hambatan pada vaskuler, atrofi, hilangnya
neuron dan degenerasi laminar akan menimbulkan narrowergyiri,
suluran suci dan berat otak rendah. Cerebral palsy digambarkan sebagai
kekacauan pergerakan dan postur tubuh yang disebabkan oleh cacad
non progresive atau luka otak pada saat anak-anak. Suatu presentasi
cerebral palsy dapat diakibatkan dengan suatu dasar kelainan (struktural
otak: awal sebelum dilahirkan, perinatal, atau luka-luka/kerugian
setelah melahirkan dalam kaitan dengan ketidak cukupan vaskuler,
toksin atau infeksi). Dalam beberapa kasus manifestasi atau etiologi
dapat berhubungan dengan daerah anatomi. Misal cerebral palsy yang
berhubungan dengan kelahiran prematur yang disebabkan oleh infark
hipoksia atau perdarahan dengan leukomalasia didaerah yang
berdekatan dengan ventrikel lateral dalam antetoid jenis cerebral palsy
yang disebabkan oleh kenikterus dan kelainan genetik metabolisme
seperti gangguan mitokondria. Hemiplegia cerebral palsy sering
dikaitkan dengan serangan sereberal vokal sekunder ke intra uterin atau
trombo emboli perinatal biasanya akibat trombosis ibu atau gangguan
pembekuan herediter (Wilson 2007)

2.1.4 Manifestasi Klinis Cerebral Palsy


Gejala Cerebral Palsy tampak sebagai spektrum yang
menggambarkan variasi beratnya penyakit. Seseorang dengan Cerebral
Palsy dapat menampakan gejala kesulitan dalam hal motorik halus,
misalnya menulis atau menggunakan gunting, masalah keseimbangan
dan berjalan, atau mengenai gerakan involunter, misalnya tidak dapat
mengontrol gerakan menulis atau selalu mengeluarkan air liur. Berikut
gejala-gejala lain dari cerebral palsy :

13
1. Gangguan pada otot yaitu kaku / terlalu lemah.
2. Kurangnya koordinasi otot(ataksia)
3. Getaran atau gerakan tidak sadar
4. Gerakan lambat
5. Lebih menyukai menggunakan sisi tubuh seperti
menyeret kakinya saat merangkak
6. Kesulitan berjalan seperti berjalan kaki atau gaya
berjalan jongkok
7. Kesulitan menelan atau kesulitan menghisap
makanan
8. Penundaan dalam perkembangan bicara atau
kesulitan bicara.

Gejala dapat berbeda pada setiap pemderita, dan dapat berubah


pada seorang penderita. Sebagian Cerebral Palsy sering juga menderita
penyakit lain, termasuk kejang atau gangguan mental.

Penderita Cerebral Palsy derajat berat akan mengakibatkan tidak


dapat berjalan dan membutuhkan perawatan intensif dalam jangka
panjang, sedangkan Cerebral Palsy derajat ringan mungkin hanya
sedikit canggung dalam gerakan dan membutuhkan bantuan yang tidak
khusus. Cerebral Palsy bukan penyakit menular atau bersifat herediter.
Hingga saat ini, Cerebral Palsy tidak dapat dipulihkan, walau penelitian
ilmiah berlanjut untuk menemukan terapi yang lebih baik dan metode
pencegahan.

2.1.5 Pemeriksaan Diagnostik Cerbral Palsy


a. Pemeriksaan mata dan pendengaran segera dilakukan setelah
diagnosis
cerebral palsy ditegakkan.
b. Fungsi lumbal harus dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan
penyebabnya suatu proses degeneratif. Pada cerebral palsy CSS
normal.

14
c. Pemeriksaan EEG dilakukan pada pasien kejang atau pada
golongan
hemiparesis baik yang disertai kejang maupun tidak.
d. Foto rontgent kepala.
e. Penilaian psikologis perlu dikerjakan untuk tingkat pendidikan
yang dibutuhkan.
f. Pemeriksaan metabolik untuk menyingkirkan penyebab lain dari
retardasi mental.
2.1.6 Penatalaksanaan Cerebral Plasy
a. Medik
Pengobatan kausal tidak ada, hanya simtomatik. Pada
keadaan ini perlu kerja sama yang baik dan merupakan suatu tim
antara dokter anak, neurolog, psikiater, dokter mata, dokter
THT,ahli ortopedi, psikolog, fisioterapi, occupational therapist,
pekerja sosial, guru sekolah luar biasa dan orang tua pasien.
b. Fisioterapi
Tindakan ini harus segera dimulai secara intensif. Orang
tua turut membantu program latihan dirumah. Untuk mencegah
kontraktur perlu dipehatikan posisi pasien pada waktu istirahat atau
tidur. Bagi pasien yang berat dianjurkan untuk sementara tinggal
dipusat latihan. Fisioterapi ini dilakukan sepanjang pasien hidup.
c. Tindakan bedah
Bila terdapat hipertonus otot atau hiperspastisitas,
dianjurkan untuk dilakukan pembedahan otot, tendon, atau tulang
untuk reposisi kelainan tersebut. Pembedahan stereotatik
dianjurkan pada pasien dengan pergerakan koreotetosis yang
berlebihan.
d. Obat-obatan
Tidak ada obat untuk cerebral palsy tetapi pelatihan otot awal dan
latihan khusus dapat bermanfaat dimulai sebelum anak
mengembangkan kebisaan yang salah dan pola otot yang salah.
Pencegahan komplikasi dan membantu individu untk menjalankan

15
kehidupan sepenuhnya, hanya dibatasi oleh ggn otot dan ggn
sensori (Wilson 2007 ).
e. Keperawatan
Masalah bergantung dari kerusakan otak yang terjadi. Pada
umumnya dijumpai adanya gangguan pergerakan sampai retardasi
mental, dan seberapa besarnya gangguan yang terjadi bergantung
pada berat ringannya asfiksia yang terjadi pada otak. Dewasa ini
gangguan dari pertumbuhan atau perkembangan janin dirumah-
rumah bersalin yang telah maju sudah dapat dideteksi sejak dini
bila kehamilan dianggap berisiko. Juga ramalan mengenai ramalan
bayi dapat diduga bila mengetahui keadaan pada saat perinatal
(lihat penyebab). Selain itu setelah diketahui dari patologi anatomi
palsy cerebal bahwa gejala dini ini dapat terlihat pada bulan-bulan
pertama setelah lahir, sebenarnya beratnya gejala sisa mungkin
dapat dikurangin jika dilakukan tindakan lebih dini. Disinilah
peranan perawat dapat ikut mencegah kelainan tersebut.
Tindakan yang dapat dilakukan ialah:
a. Mengobservasi dengan cermat bayi-bayi baru lahir yang
berisiko (baca status bayi secera cermat mengenai riwayat
kehamilan/kelahirannya). Jika dijumpai adanya kejang atau
sikap bayi yang tidak biasa pada neonatus segera
memberitahukan dokter agar dapat dilakukan penanganan
semestinya.
b. Jika telah diketahui bayi lahir dengan resiko terjadi gangguan
pada otak walaupun selama diruang perawatan tidak terjadi
kelainan agar dipesankan pada orang tua atau ibunya jika
melihat sikap bayi yang tidak normal supaya segera dibawa
konsultasi kedokter.

2.1.7 Komplikasi Cerebral Palsy


a. Kontraktur yaitu sendi tidak dapat digerakkan atau ditekuk karena
otot memendek.

16
b. Skoliosis yaitu tulang belakang melengkung ke samping
disebabkan karena kelumpuhan hemiplegia.
c. Dekubitus yaitu adanya suatu luka yang menjadi borok akibat
mengalami kelumpuhan menyeluruh, sehingga ia harus selalu
berbaring di tempat tidur.
d. Deformitas (perubahan bentuk) akibat adanya kontraktur.
e. Gangguan mental. Anak Cerebral Palsy tidak semua tergangu
kecerdasannya, mereka ada yang memiliki kadar kecerdasan pada
taraf rata-rata, bahkan ada yang berada di atas rata-rata. Komplikasi
mental dapat terjadi apabila yang bersangkutan diperlakukan secara
tidak wajar.

2.2 Trigeminal Neuralgia


2.2.1 Definisi Trigemianal Neuralgia
Trigeminal neuralgia sudah dikenal dan tertulis dalam
kepustakaan medis sejak abad ke 16. Kepustakaan lama disebut juga
dengan tic douloureux karena nyeri sering menimbulkan spasme otot
wajah pada sisi yang sama sehingga pasien tampak meringis atau tic
convulsive. Trigeminal neuralgia merupakan suatu kumpulan gejala
yang ditandai dengan serangan sakit yang hebat secara mendadak
disertai spasme wajah dalam waktu singkat. (Rose et al, 1997 ; Sharav,
2002) Trigeminal neuralgia insidensi kejadiannya berkisar 70 dari
100.000 populasi dan paling sering ditemukan pada orang berusia lebih
dari 50 tahun atau lanjut usia. Insidensinya akan meningkat sesuai
dengan meningkatnya usia. Jarang ditemukan pada usia muda. Pada
usia muda lebih banyak disebabkan oleh tumor dan sklerosis multiple.
Kasus familial ditemukan pada 4% kasus. Tidak terdapat perbedaan ras
dan etnis serta insidensi pada wanita 2 kali lebih besar dibanding pria.
(Bryce, 2004).

2.2.2 Etiologi Trigeminal Neuralgia

17
Di klasifikasikan sbg primer & sekunder
Primer : idiopati ( penyebab tidak spesifik).
Sekunder: (oleh kompresi pembuluh darah pada percabangan kecil
arteri terjadi di dekat .
Meskipun beberapa hipotesis telah dikemukakan, penyebab
neuralgia trigeminal belum dijelaskan secara penuh dalam literatur.
Bagi sebagian besar pasien, penyebabnya tidak diketahui. Penyebab
dilaporkan yang paling umum dari akar saraf. kompresi mekanik dari
saraf trigeminal dapat terjadi sebagai saraf meninggalkan pons dan
melintasi ruang subarachnoid menuju gua Meckel. Paling umum, saraf
dikompresi oleh arteri utama, biasanya arteri cerebellar superior. Ketika
rasa sakit dirasakan di divisi kedua atau ketiga dari saraf trigeminal,
temuan biasa adalah kompresi dari bagian rostral dan anterior saraf oleh
arteri cerebellar superior, jika sakit yang dirasakan dalam distribusi
divisi ophthalmic, yang biasa temuan adalah kompresi saraf oleh
anterior arteri cerebellar inferior. Selain itu, telah mendalilkan bahwa
kompresi saraf trigeminal oleh tumor dan pembuluh darah lainnya dapat
menyebabkan gangguan.

Tetapi tumor, pembuluh darah, dan malformasi arteri jarang terlibat


dalam kompresi. Juga, kerusakan selubung myelin dapat menyebabkan
nyeri trigeminal. Jenis kerusakan biasanya terjadi sehubungan dengan
multiple sclerosis. Biasanya, sinyal yang berbeda berbaur bersama-
sama, dan dengan demikian, otak dapat menafsirkan sensasi yang
disebabkan oleh sentuhan ringan seperti nyeri. Karena plak demielinasi
temuan umum pada otopsi pasien dengan multiple sclerosis, bahkan
orang-orang yang tidak memiliki neuralgia trigeminal, pertanyaan yang
telah diajukan, apakah kerusakan selubung mielin merupakan penyebab
atau insidental menemukan pada pasien dengan neuralgia trigeminal
dan beberapa sclerosis. kecelakaan traumatis, gigi tidak berhasil, dan
berbagai infeksi dapat merusak saraf trigeminal.

18
Ini adalah hipotesis bahwa neuralgia trigeminal disebabkan oleh
fokus abses dan resorpsi tulang dengan iritasi saraf trigeminal di rahang
atau mandibula. Virus varicella, yang menyebabkan herpes zoster,
kadang-kadang juga menyebabkan rasa sakit di daerah trigeminal yang
sangat sulit untuk mengobati.

2.2.3 Patofisiologi Trigeminal Neuralgia

Neuralgia Trigeminal dapat terjadi akibat berbagai kondisi yang


melibatkan sistem persarafan trigeminus ipsilateral. Pada kebanyakan
kasus, tampaknya yang menjadi etiologi adalah adanya kompresi oleh
salah satu arteri di dekatnya yang mengalami pemanjangan seiring
dengan perjalanan usia, tepat pada pangkal tempat keluarnya saraf ini
dari batang otak. Lima sampai delapan persen kasus disebabkan oleh
adanya tumor benigna pada sudut serebelo-pontin seperti meningioma,
tumor epidermoid, atau neurinoma akustik. Kira-kira 2-3% kasus
karena sklerosis multipel. Ada sebagian kasus yang tidak diketahui
sebabnya. Menurut Fromm, neuralgia Trigeminal bisa mempunyai
penyebab perifer maupun sentral.

Sebagai contoh dikemukakan bahwa adanya iritasi kronis pada


saraf ini, apapun penyebabnya, bisa menimbulkan kegagalan pada
inhibisi segmental pada nukleus/ inti saraf ini yang menimbulkan
produksi ectopic action potential pada saraf Trigeminal. Keadaan ini,
yaitu discharge neuronal yang berlebihan dan pengurangan inhibisi,
mengakibatkan jalur sensorik yang hiperaktif. Bila tidak terbendung
akhirnya akan menimbulkan serangan nyeri. Aksi potensial antidromik
ini dirasakan oleh pasien sebagai serangan nyeri trigerminal yang
paroksismal. Stimulus yang sederhana pada daerah pencetus
mengakibatkan terjadinya serangan nyeri.

Efek terapeutik yang efektif dari obat yang diketahui bekerja secara
sentral membuktikan adanya mekanisme sentral dari neuralgi. Tentang
bagaimana multipel sklerosis bisa disertai nyeri Trigeminal diingatkan

19
akan adanya demyelinating plaques pada tempat masuknya saraf, atau
pada nukleus sensorik utama nervus trigeminus.

Pada nyeri Trigeminal pasca infeksi virus, misalnya pasca herpes,


dianggap bahwa lesi pada saraf akan mengaktifkan nociceptors yang
berakibat terjadinya nyeri. Tentang mengapa nyeri pasca herpes masih
bertahan sampai waktu cukup lama dikatakan karena setelah sembuh
dan selama masa regenerasi masih tetap terbentuk zat pembawa nyeri
hingga kurun waktu yang berbeda.

Pada orang usia muda, waktu ini relatif singkat. Akan tetapi, pada usia
lanjut nyeri bisa berlangsung sangat lama. Pemberian antiviral yang
cepat dan dalam dosis yang adekuat akan sangat mempersingkat
lamanya nyeri ini.

Peter Janetta menggolongkan neuralgia glossopharyngeal dan


hemifacial spasm dalam kelompok "Syndromes of Cranial Nerve
Hyperactivity". Menurut dia, semua saraf yang digolongkan pada
sindroma ini mempunyai satu kesamaan: mereka semuanya terletak
pada pons atau medulla oblongata serta dikelilingi oleh banyak arteri
dan vena. Pada genesis dari sindroma hiperaktif ini, terdapat dua proses
yang sebenarnya merupakan proses penuaan yang wajar:

1. Memanjang serta melingkarnya arteri pada dasar otak.

2. Dengan peningkatan usia, karena terjadinya atrofi, maka otak akan


bergeser atau jatuh ke arah caudal di dalam fossa posterior dengan
akibat makin besarnya kontak neurovaskuler yang tentunya akan
memperbesar kemungkinan terjadinya penekanan pada saraf yang
terkait.
Ada kemungkinan terjadi kompresi vaskuler sebagai dasar
penyebab umum dari sindroma saraf kranial ini. Kompresi pembuluh
darah yang berdenyut, baik dari arteri maupun vena, adalah penyebab
utamanya. Letak kompresi berhubungan dengan gejala klinis yang
timbul. Misalnya, kompresi pada bagian rostral dari nervus trigeminus

20
akan mengakibatkan neuralgia pada cabang oftalmicus dari nervus
trigeminus, dan seterusnya. Menurut Calvin, sekitar 90% dari neuralgia
Trigeminal penyebabnya adalah adanya arteri "salah tempat" yang
melingkari serabut saraf ini pada usia lanjut. Mengapa terjadi
perpanjangan dan pembelokan pembuluh darah, dikatakan bahwa
mungkin sebabnya terletak pada predisposisi genetik yang ditambah
dengan beberapa faktor pola hidup, yaitu merokok, pola diet, dan
sebagainya. Pembuluh darah yang menekan tidak harus berdiameter
besar. Walaupun hanya kecil, misalnya dengan diameter 50-100 um
saja, sudah bisa menimbulkan neuralgia, hemifacial spasm, tinnitus,
ataupun vertigo. Bila dilakukan microvascular decompression secara
benar, keluhan akan hilang.

2.2.4 Manifestasi Klinik Trigeminal Neuralgia

Nyeri bervariasi, tergantung pada jenis Trigeminal Neuralgia, dan


dapat berkisar dari yang tiba-tiba, berat, dan menusuk ke lebih konstan,
sakit, sensasi terbakar. Berkedip intens nyeri dapat dipicu oleh getaran
atau kontak dengan pipi (seperti saat mencukur, mencuci muka, atau
memakai makeup), menyikat gigi, makan, minum, berbicara, atau
sedang terkena angin. Rasa sakit dapat mempengaruhi area kecil dari
wajah atau mungkin menyebar. Serangan nyeri jarang terjadi pada
malam hari, ketika individu yang terkena sedang tidur.

Trigeminal Neuralgia dilambangkan dengan serangan yang


berhenti untuk periode waktu dan kemudian kembali, tapi kondisi dapat
progresif. Serangan sering memburuk dari waktu ke waktu, dengan
periode bebas rasa sakit lebih sedikit dan lebih pendek sebelum mereka
kambuh. Akhirnya, interval bebas nyeri hilang dan obat untuk
mengontrol rasa sakit menjadi kurang efektif. Gangguan ini tidak fatal,
tetapi dapat melemahkan. Karena intensitas rasa sakit, beberapa
individu mungkin menghindari kegiatan sehari-hari atau kontak sosial
karena mereka takut serangan yang akan datang.

21
2.2.5 Pemeriksaan Diagnostik Trigeminal Neuralgia

Tidak ada uji spesifik dan definitif untuk neuralgia trigeminal.


Pemeriksaan radiologis seperti CT scan dan MRI atau pengukuran
elektrofisiologis periode laten kedipan dan refleks rahang
dikombinasikan dengan elketromiografi masseter dapat digunakan
untuk membedakan kasus-kasus simtomatik akibat gangguan struktural
dari kasus idiopatik.

Pemeriksaan tambahan baru diperlukan kalau ada keluhan


neuralgia trigeminal pada orang-orang muda; karena biasanya ada
penyebab lain yang tersembunyi. Itu pun perannya terbatas untuk
eliminasi. Pemeriksaan yang dapat dilakukan: Rontgen TMJ
(temporomandibular joint) dan MRI otak (untuk menyingkirkan tumor
otak dan multiple sclerosis).

Pengukuran potensial somatosensorik yang timbul setelah


perangsangan nervus trigeminus dapat juga digunakan untuk
menentukan kasus yang disebabkan oleh ektasis arteri sehingga dapat
ditangani dengan dekompresi operatif badan saraf pada fossa posterior.

2.2.6 Penatalaksanaan Trigeminal Neuralgia

Seperti diketahui terapi dari trigeminal neuralgia ada 2 macam


yaitu terapimedikamentosa dan terapi pembedahan. Telah disepakati
bahwa penanganan lini pertama untuk trigeminal neulalgia adalah
terapi medikamentosa. Tindakan bedahhanya dipertimbangkan apabila
terapi medikamentosa mengalami kegagalan

a. Terapi Farmakologi

Peneliti-peneliti dalam bidang nyeri neuropatik telah


mengembangkan beberapa pedoman terapi farmakologik. Dalam gui
dline EFNS

22
( EuropeanFederation of Neurological Society ) disarankan
terapai neuralgia trigeminaldengan carbamazepin ( 200-1200
mg sehari ) dan oxcarbamazepin

( 600-1800mgsehari ) sebagai terapi lini pertama. Sedangkan terapai


lini kedua adalah baclofen dan lamotrigin. Neuralgia trigeminal
sering mengalami remisi sehingga pasiendinasehatkan untuk
mengatur dosis obat sesuai dengan frekwensi serangannya.Dalam
pedoman AAN-EFNS ( American Academy of Neurology-
EuropeanFederation of Neurological Society ) telah disimpulkan
bahwa: carbamazepinefektif dalam pengendalian nyeri ,
oxcarbazepin juga efektif, baclofen danlamotrigin mungkin juga
efektif. Studi open label telah melaporkan manfaat terapiobat-obatan
anti epilepsi yang lain seperti clonazepam, gabapentin, phenytoin
danvalproat.

Karbamazepine merupakan pengobatan lini pertama dengan


dosis pemberian200-1200 mg/hari dan oxcarbamazepin dengan
dosis pemberian 600-1800 mg/harisesuai dengan pedoman
pengobatan.

Tingkat keberhasilan dari karbamazepin jauhlebih kuat


dibandingkan oxcarbamazepin, namun oxcarbamazepin memiliki
profilkeamanan yang lebih baik. Sementera pengobatan lini kedua
dapat diberikanlamotrgine dengan dosis 400 mg/ hari, baclofenac
40 – 80 mg/hari, dan pimizoid4 – 12 mg/hari. Selain itu ada juga
pilihan pengobatan alternative, yaitu dengan memberikanobat
antiepilepsi yang telah dipelajari dalam kontrol kecil dan studi
terbuka yangdisarankan untuk menggunakan fenitoin, clonazepam,
gabapentin, pregabalin,topiramate, levetiracetam, dan valproat.

Karbamazepine

Diberikan dengan dosis berkisar 200-1200 mg, dimana hampir 70%


memperlihatkan perbaikan. Dosis dimulai dengan dosis minimal 1-2
pil perhari, secara bertahap dapat ditambah hingga rasa sakit hilang

23
atau mulai timbulefek samping. Selama periode remisi dosis dapat
dikurangi secara bertahap.Karbamazepine dapat dikombinasi dengan
fenitoin atau baklofen bila nyerimembandel, atau diubah ke
oxykarbazepine.

Efek samping yang timbul dalam dosis yang besar yaitu

drowsiness, mental confusion, dizziness, nystagmus, ataxia, diplopia,


nausea dan anorexia.

Terdapat juga reaksi serius yang tidak berhubungan


dengan dosis yaitu allergic skin rash, gangguan darah seperti
leukopenia atau

agranulocytosis, atau aplastic anemia, keracunan hati, congestive


heart failure , halusinasi dan gangguan fungsiseksual.

Oxykarbamazepin

Oxykarbamazepine merupakan ketoderivat karbamazepine


dimanamempunyai efek samping lebih rendah dibanding dengan
karbamazepine dandapat meredakan nyeri dengan baik. Pada
umumnya dosis dimulai dengan 2 x300 mg yang secara bertahap
ditingkatkan untuk mengontrol rasa sakitnya. Dosismaksimumnya
2400-3000 mg perhari. Efek samping yang paling sering adalah
nausea, mual, dizziness, fatique dan tremor. Efek samping yang
jarang timbul yaitu rash , infeksi saluran pernafasan, pandangan
ganda dan perubahan elektrolitdarah. Seperti obat anti-seizure
lainnya, penambahan dan pengurangan obat harussecara bertahap 2

Lamotrigine

Lamotrigin berefek pada saluran natrium, menstabilkan membran


saraf danmenghambat pelepasan rangsangan neurotransmiter. Dosis
awal 25 mg/hari secara perlahan meningkat sampai dosis 200-
400 mg/hari dibagi dua dosis.

Efek samping dapat berupa pusing, mual, penglihatan kabur dan


ataksia. Sekitar 7-10% pasien dapat terjadi ruam pada kulit selama

24
terapi 4 - 8 minggu. Dapat jugaterjadi kelainan berupa deskuamasi
atau terkait gejala parah demam ataulimfadenopati indikasi Stevens -
Johnson sindrom yang membutuhkan penghentian segera.

Phenitoin

Phenitoin berefek anti konvulsi tanpa menyebabkan depresi umum


SSP. Sifatanti konvulsi obat ini berdasarkan pada penghambatan
penjalaran rangsang darifokus kebagian lain di otak. Penggunaan
phenitoin harus hati-hati dalammengkombinasikan dengan
karbamazepine karena dapat menurunkan dan kadang-kadang
menaikkan kadar phenitoin dalam plasma, sebaiknya diikuti
dengan pengukuran kadar obat dalam plasma.

Phenitoin dapat mengobati lebih dari setengah penderita trigeminal


neuralgiadengan dosis 300-600mg dibagi dalam 3 dosis perhari. Efek
samping yangditimbulkannya adalah nystagmus, dysarthria,
ophthalmoplegia dan jugamengantuk serta kebingungan. Efek
lainnya adalah hiperplasia gingiva dan hypertrichosis

Baklofen

Baklofen tidaklah seefektif karbamazepine atau phenytoin, tetapi


dapatdikombinasi dengan obat-obat tersebut. Obat ini berguna pada
pasien yang baruterdiagnosa dengan rasa nyeri relatif ringan dan
tidak dapat mentoleransikarbamazepine.. Dosis untuk
menghilangkan rasa sakit secara komplit 40-80 mg perhari.

Baklofen memiliki durasi yang pendek sehingga penderita trigeminal


neuralgia yang berat membutuhkan dosis setiap 2-4 jam.

Efek samping yang paling sering timbul karena pemakaian baklofen


adalahmengantuk, pusing, nausea dan kelemahan kaki. Baklofen
tidak boleh dihentikansecara tiba-tiba setelah pemakaian lama karena
dapat terjadi halusinasi atauserangan jantung.

Gabapentin

25
Dosis yang dianjurkan 1200-3600 mg/hari. Obat ini hampir sama
efektifnyadengan karbamazepine tetapi efek sampingnya lebih
sedikit. Dosis awal biasanya3x300 mg/hari dan ditambah hingga
dosis maksimal. Reaksi merugikan palingsering adalah somnolen,
ataksia, Fatique dan nystagmus. Seperti semua obat, penghentian
secara cepat harus dihindari.

b. Terapi Pembedahan

Terapi farmakologik umumnya efektif akan tetapi ada juga pasien


yang tidak bereaksi atau timbul efek samping yang
tidak diinginkan maka diperlukan terapi pembedahan. Beberapa
situasi yang mengindikasikan untuk dilakukannya
terapi pembedahan yaitu:

1. Ketika pengobatan farmakologik tidak menghasilkan penyembu


han yang berarti
2. Ketika pasien tidak dapat mentolerir pengobatandan gejala
semakin memburuk
3. Adanya gambaran kelainan pembuluh darah pada MRI.

Tindakan operatif yang dapat dilakukan adalah prosedur


ganglion gasseri,terapi gamma knife dan dekompresi
mikrovaskuler. Pada prosedur perifer dilakukan blok pada nervus
trigeminus bagian distal ganglion gasseri yaitu dengansuntikan
streptomisin, lidokain, alkohol . Prosedur pada ganglion gasseri
ialahrhizotomi melalui foramen ovale dengan radiofrekuensi
termoregulasi, suntikangliserol atau kompresi dengan balon ke
dalam kavum Meckel.
Terapi gammaknife merupakan terapi radiasi yang difokuskan
pada radiks nervus trigeminus difossa posterior. Dekompresi
mikrovaskuler adalah kraniotomi sampai nervustrigeminus difossa
posterior dengan tujuan memisahkan pembuluh darah
yangmenekan nervus trigeminus.

26
BAB III

ASUHAN KEPERAWATAN

3.1 Asuhan Keperawatan Cerbral Palsy


b. Diagnosa Keperawatan
1. Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
ketidakmampuan untuk menelan makanan (00002)
2. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakmampuan untuk
bergerak (00092)
3. Resiko trauma berhubungan dengan penurunan koordinasi otot
(ataksia) (00038)
4. Resiko ketidakefektifan perfusi jaringan otak berhubungan dengan
diseksi arteri (00201)
5. Kurangnya pengetahuan berhubungan dengan kurangnya pengetahuan
perawatan di rumah (00126)
6. Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan gangguan sistem
saraf pusat (00051)
c. Intervensi
1. Diagnosa : Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
ketidakmampuan untuk menelan makanan (00002)

NOC
Domain : II- physiologic Health
Classes : K. Digestion & Nutrition
Outcomes : 1008 Nutritional status : food and fluid intake

Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x 24 jam nutrisi kurang


teratasi dengan :
1. Asupan cairan IV
2. Asupan nutrisi parenteral

NIC
Domain : 1. Physiological: Basic
Classes : D. Nutrition Support
Interventions : 1030 Eating Disorders Management

Intervensi :
1. Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah kalori dan nutrisi
yang dibutuhkan pasien
2. Monitor adanya penurunan berat badan dan gula darah
3. Monitor lingkungan selama makan
4. Monitor intake dan output cairan
5. Kolaborasi dengan dokter tentang kebutuhan suplemen makanan seperti
NGT sehingga intake cairan yang adekuat dapat dipertahankan

27
6. Catat adanya edema, hiperemik, hipertonik, papila lidah dan cavitas oral

2. Diagnosa : Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakmampuan


untuk bergerak (00092)

NOC
Domain : IV- Health Knowledge & Behaviour
Classes : Q – Health Behavior
Outcomes : 1616Body Mechanics Performance

Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1 x 24 jam pasien


bertoleransi terhadap aktivitas dengan Kriteria Hasil :
1. Pasien mampu berdiri dengan benar
2. Pasien mampu menggunakan teknik mengangkat yang benar
3. Pasien mampu menjaga kekuatan otot
4. Pasien mampu mempertahankan fleksibilitas sendi
5. Pasien mampu menggunakan mekanika tubuh yang tepat

NIC
Domain : 3. Behavioral
Classes : O. Behaviour Therapy
Interventions : 4310 Activity Therapy
Intervensi :
1. Tentukan kemampuan pasien untuk berpartisipasi dalam kegiatan
tertentu
2. Berkolaborasi dengan okupasi terapis, fisik, atau rekreasi dalam
perencanaan dan monitoring program kegiatan
3. Membantu pasien untuk memilih kegiatan dan tujuan prestasi bagi
kegiatan sesuai dengan kemampuan fisik, psikologis, dan sosial
4. Membantu pasien dan keluarga untuk mengidentifikasi cacat di tingkat
aktivitas
5. Mendorong keterlibatan dalam kegiatan kelompok atau terapi
6. Memberikan aktivitas motorik untuk meredakan ketegangan otot
7. Membantu pasien dan keluarga untuk memantau kemajuan sendiri
terhadap pencapaian tujuan

3. Diagnosa : Resiko trauma berhubungan dengan penurunan koordinasi otot


(ataksia) (00038)

NOC
Domain : IV- Health Knowledge & Behaviour
Classes : Q – Health Behavior
Outcomes : 1616 Body Mechanics Performance

Tujuan :Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam klien tidak
mengalami trauma dengan kriteria hasil:
1. Tidak ditemukan adanya keseleo
2. Tidak adanya mobilitas gangguan pada otot

28
3. Pasien terbebas dari trauma fisik

NIC
Domain : 4. Safety
Classes : V. Risk management
Interventions : 6486 Environmental Management : Safety

Intervensi :
1. Identifikasi kebutuhan keamanan pasien sesuai dengan kondisi fisik dan
fungsi kognitif pasien dan riwayat penyakit terdahulu.
2. Menghindari lingkungan yang berbahaya (misalnya memindahkan
perabotan)
3. Menganjurkan keluarga untuk menemani pasien
4. Menempatkan tempat tidur yang nyaman dan bersih
5. Memindahkan barang – barang yang dapat membahayakan
6. Berikan penjelasan pada pasien dan keluarga atau pengunjung adanya
perubahan status kesehatan dan penyebab penyakit

4. Diagnosa : Resiko ketidakefektifan perfusi jaringan otak berhubungan


dengan diseksi arteri (00201)

NOC
Domain : II- Physiologic Health
Classes : E – Cardiopulmonary
Outcomes : 0406 Tissue Perfusion: Cerebral

Tujuan : Setelah dilakukan asuhan selama 2x24 jam ketidakefektifan perfusi


jaringan cerebral teratasi dengan kriteria hasil:
1. Tekanan intrakranial dalam batas normal
2. Ditemukan Angiogram serebral dalam batas normal
3. Tidak ditemukan penurunan kesadaran
4. Tekanan sistol dan diastol dalam rentang yang diharapkan
5. Menunjukkan konsentrasi dan orientasi
6. Bebas dari aktivitas kejang
7. Tidak mengalami nyeri kepala

NIC
Domain : 4. Safety
Classes : V. Risk Management
Interventions : 6680 Vital Signs Monitoring

Intervensi :
1. Pantau tekanan darah, nadi, suhu, dan status pernafasan
2. Pantau tekanan darah setelah pasien telah mengambil obat
3. Pantau tekanan darah, nadi dan pernapasan sebelum, selama dan setelah
aktivitas
4. Memantau warna kulit, suhu, dan kelembaban
5. Monitor adanya diplopia, pandangan kabur, nyeri kepala

29
6. Monitor level kebingungan dan orientasi
7. Monitor tonus otot pergerakan
8. Monitor tekanan intrkranial dan respon nerologis
9. Catat perubahan pasien dalam merespon stimulus

5. Diagnosa : Kurangnya pengetahuan berhubungan dengan kurangnya


pengetahuan perawatan di rumah (00126).

NOC
Domain : IV- Health Knowledge & Behavior
Classes : S. Health Knowledge
Outcomes : 1803 Knowledge: Disease Process

Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x 24 jam pasien


menunjukkan pengetahuan tentang proses penyakit dengan kriteria hasil:
1. Pasien dan keluarga menyatakan pemahaman tentang karakteristik
penyakit tersebut
2. Pasien dan keluarga menyatakan pemahaman tentang penyebab dan faktor
yang berisiko
3. Pasien dan keluarga menyatakan pemahaman tentang efek fisiologis
penyakit
4. Pasien dan keluarga mampu menjelaskan kembali strategi untuk
meminimalkan perkembangan penyakit
5. Pasien dan keluarga mampu melaksanakan prosedur yang dijelaskan
secara benar

NIC
Domain : 3. Behavioral
Classes : S. Patient Education
Interventions : 5510 Health Education

Intervensi :
1. Kaji tingkat pengetahuan pasien dan keluarga
2. Jelaskan patofisiologi dari penyakit dan bagaiman hal ini berhubungan
dengan anatomi dan fisiologi dengan cara yang tepat.
3. Gambarkan tanda dan gejala yang biasa muncul pada penyakit dengan cara
yang tepat
4. Sediakan informasi pada pasien tentang kondisi dengan cara yang tepat
5. Sediakan bagi keluarga informasi tentang kemajuan pasien dengan cara
yang tepat
6. Diskusikan pilihan terapi atau penanganan

6. Diagnosa : Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan gangguan


sistem saraf pusat (00051)

NOC
Domain : II- Physiologic Health
Classes : J. Neurocognitive

30
Outcomes : 0903 Communication: Expressive

Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x 24 jam pasien


menunjukkan kemampuan komunikasi verbal dengan kriteria hasil :
1. Pasien mampu menggunakan bahasa lisan: vokal
2. Pasien mampu berbicara dengan jelas

NIC
Domain : 3. Behavioral
Classes : Q. Communication Enhancement
Interventions : 4976Communication Enhancement: Speech Deficit

1. Pantau kecepatan bicara, tekanan, kecepatan, kuantitas, volume, dan diksi


2. Pantau kognitif, anatomi dan proses fisiologis yang berhubungan dengan
kemampuan bicara
3. Pantau pasien untuk frustrasi, marah, depresi, atau tanggapan lain untuk
kemampuan bicara
4. Kenali perilaku emosional dan fisik sebagai bentuk komunikasi
5. Memberikan metode alternatif komunikasi bicara
6. Sesuaikan gaya komunikasi untuk memenuhi kebutuhan klien
7. Anjurkan pasien untuk berbicara perlahan
8. Berkolaborasi dengan keluarga dan bahasa bicara patologi atau terapis
untuk mengembangkan rencana untuk komunikasi yang efektif

3.2 Asuhan Keperawatan Trigeminal Neuralgia


a. Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri berhubungan dengan facial expression of pain (misal mata kurang
berkilau,terpukul,gerakan tetap atau tersebar, meringis) (00132)
2. Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
ketidakmampuan untuk menelan makanan (00002)
3. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurangnya informasi
(00126)
4. Kecemasan berhubungan dengan worried perubahan dalam
hidup(00146)
b. Intervensi
1. Diagnosa : Nyeri berhubungan dengan ekspresi nyeri wajah (misal
mata kurang berkilau,terpukul,gerakan tetap atau tersebar, meringis
(00132)

NOC
Outcomes : 0909 Pain control

Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x 24 jam nyeri dapat


teratasi oleh klien dengan kriteria hasil:
1.Mengenali gejala nyeri

31
2.Mengontrol nyeri
3.Mengenal serangan nyeri

NIC
Interventions : pain management 1400

Intervensi :
7. Gunakan strategi komunikasi terapeutik untuk mengakui pengalaman
nyeri dan menyampaikan penerimaan respon pasien terhadap nyeri
8. Menggunakan langkah-langkah pengendalian nyeri sebelum nyeri menjadi
parah
9. Memonitor kepuasan pasien dengan managemen nyeri pada selang waktu
tertentu
10. Menentukan frekuensi yang diperlukan untuk membuat penilaian
kenyamanan pasien dan melaksanakan rencana monitoring
11. Memberi informasi tentang nyeri, seperti penyebab nyeri, berapa lama
akan berlangsung, dan ketidaknyamanan diantisipasi dari prosedur
12. Berkolaborasi dengan pasien dan tenaga kesehatan lainnya untuk memilih
dan menerapkan langkah-langkah nyeri non farmakologi yang sesuai
13. Prosedur penggunaan analgesik yang digunakan jika sesuai
14. Melibatkan keluarga dalam penanganan nyeri jika memungkinkan
15. Ajarkan metode distraksi selama nyeri akut

2. Diagnosa : nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan


ketidak mampuan untuk menelan makanan (00002)

NOC
Outcomes : nutritional status : food and fluid intake (1008)

Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1 x 24 jam intake nutrisi


trercukupi Kriteria :
6. asupan cairan
7. asupan makanan oral
8. asupan cairan IV
9. Asupan nutrisi parenteral
NIC
Interventions : nutrition monitoring (1160)
Intervensi :
8. Menentukan status gizi pasien dan kemampuan untuk memenuhi
kebutuhan nurisi
9. Mengevaluasi menelan( misal fungsi motorik dari mulut dan lidah,
reflek menelan, dan reflek muntah)
10. Memonitoring berat badan
11. Melakukan pengukuran antropometri
12. Mengidentifikasi kelainan pada kulit(misal memar)
13. Memonitor asupan kalori dan diet
14. Memantau keadaan mental(misal bingung, depresi dan kecemasan)
15. Meninjau sumber data lain yang berkaitan dengan status gizi

32
3. Diagnosa : kurang pengetahuan berhubungan dengan kurangnya
informasi (00126)

NOC
Outcomes : knowledge : health promotion (1823)

Tujuan :dalam waktu 2 x 24 jam pasien memahami tentang informasi yang


dibutuhkan.dengan kriteria hasil :
4. Meningkatkan prilaku kesehatan
5. Mengelola stres
6. Mengetahui resiko penyakit keturunan

NIC
Interventions : health education 5510

Intervensi :
7. Membantu individu, keluarga, dan masyarakat dalam menjelaskan
keyakinan kesehatan dan nilai-nilai.
8. Mengajarkan strategi yang dapat digunakan untuk menolak perilaku yang
tidak sehat atau mengambil risiko dari pada memberi saran untuk
menghindari atau mengubah perilaku
9. Mengidentifikasi faktor internal atau eksternal yang dapat meningkatkan
atau mengurangi
10. Menghindari penggunaan rasa takut sebagai strategi untuk memotivasi
11. Mengidentifikasi sumber daya (misal uang)

7. Diagnosa : kecemasan berhubungan dengan perubahan dalam hidup


(00146)

NOC
Outcomes : anxiety self-control (1400)

Tujuan : dalam waktu 2 x 24 jam kecemasan klien hilang atau berkurang dengan
kriteria hasil :
8. intensitas cemas berkurang
9. Menggunakan stategi koping yang efektif
10. Cemas berkurang
11. Durasi episode termonitor
12. Memonitor manifestasi fisik dari kecemasan
NIC
Interventions : anxiety reduction 5820

Intervensi :
10. Menjelaskan semua prosedur termasuk sensasi yang mungkin mungkin
dialami selama prosedur
11. Berusaha untuk memahami perspectif pasien dari situasi stress

33
12. Memberikan informasi faktual mengenai diagnosis, pengobatan dan
prognosis
13. Mendorong verbalisasi perasaan, persepsi dan ketakutan
14. Memberi aktivitas pengalihan untuk mengurangi ketegangan
15. Membantu pasien mengidentifikasi situasi yang memicu kecemasan
16. Mendukung penggunaan mekaniisme pertahanan yang tepat
17. Menentukan kemampuan pengambilan keputusan pasien
18. Anjurkan pasien pada penggunaan teknik relaksasi
19. Memberi obat untuk mengurangi kecemasan yang sesuia
20. Kaji tanda-tanda verbal dan nonverbal kecemasan

34
BAB IV

PENUTUP

4.1 Simpulan

Serebral palsy merupakan kelainan motorik yang tidak progresif yang


sering terdapat pada anak-anak. Penyebabnya bisa herediter, penyebab prenatal,
perinatal, dan post natal. Gejala klinis berfariasi ada yang spastik, atetoid, rigid,
ataksi, hipotonia, atau campuran. Ditinjau dari beratnya penyakit, terdapat
kelainan dari yang ringan sampai yang berat. Penyakit ini sering pula disertai
dengan retardasi mental, gangguan bicara, gangguan penglihatan, pendengaran,
atau kejang-kejang. Diagnosis berdasarkan kombinasi berbagai gejala dan
anmnesis yang cermat. Penatalaksanaanya memerlukan kerjasama multidisiplin.
Prognosisnya tergantung pada berat ringanya kelainan.

4.2 Saran

Diharapkan dengan hadirnya makalah ini, mahasiswa maupun praktisi kesehatan


dapat lebih memahami asuhan keperawatan pada anak dengan cerebral palsy dan
dapat mengimplementasikan dengan benar.

35
DAFTAR PUSTAKA

1. Mumenthaler M, Heinrich M, and Ethan T. Fundamentals Of Neurology An


Illustrated Guide. New York: Thieme; 2006.
c. Institute of Physiology and Pathophysiology, Johannes Gutenberg-University,
Mainz, Germany. 2007. Handbook of Clinical Neurology; Pain and
hyperalgesia: definitions and theories.
d. J Stephen Huff, MD; Chief Editor: Rick Kulkarni, MD, Medscape reference.
Disease, drugs, and Procedure. Trigeminal Neuralgia in Emergency
Medicine.
e. Wilkinson,M,Judith.2012.Buku Saku Diagnosis Keperawatan Edisi 9. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC.
f. Doengoes, Marilynn E. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta : EGC
g. Corwin, Elizabeth J. 2001. Patofisiologi. Jakarta : EGC
h. Latief, abdul dkk. 2007. Ilmu kesehatan anak. Jakarta : bagian ilmu
kesahatan anak fakultas kedokteran universitas IndonesiaPutz R dan Pabst R.
1997. sobota. Jakarta : EGC
i. Sumber : Elita Mardiani. faktor – faktor risiko prenatal dan perinatal kejadian
cerebral palsy. 2006 : program studi epidemiologi program pascasarjana
universitas diponegoro semarang (diakses 16 maret 2016 pukul 14:14)

36

Anda mungkin juga menyukai