Anda di halaman 1dari 31

EVALUASI PRODUKSI NH3 DAN H2S FESES DENGAN

PENAMBAHAN PALATABILITY ENHANCER (PE)


DAN PROBIOTIK DALAM RANSUM
SAPI PEDAGING

FADILLA PONCOWATI

ILMU NUTRISI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN


FAKULTAS PETERNAKAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER
INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Evaluasi produksi


NH3 dan H2S Feses dengan Penambahan palatability enhancer (PE) dan
Probiotik dalam Ransum Sapi Pedaging adalah benar karya saya dengan
arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun
kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau
dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis
lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada
Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Oktober 2016

Fadilla Poncowati
NIM D24120092
ABSTRAK
FADILLA PONCOWATI. Evaluasi Produksi NH3 dan H2S Feses dengan
Penambahan palatability enhancer (PE) dan Probiotik dalam Ransum Sapi Pedaging.
Dibimbing oleh SURYAHADI dan LUKI ABDULLAH.

Penelitian ini bertujuan mengevaluasi produksi emisi gas dari kegiatan


peternakan sapi potong, terutama amoniak (NH3) and hidrogen sulfida (H2S) dengan
menggunakan probiotik yang ditambakan ke dalam ransum. Penambahan PE
(palatability enhancer) di dalam ransum dapat mengingkatkan kualitas pakan dan
meningkatkan palatabilatas pakan serta produktivitas ternak. Penelitian ini
menggunakan rancangan percobaan rancangan acak kelompok (RAK) dalam 3
kelompok dengan setiap perlakuan terdapat 4 ekor sapi. Perlakuan terdiri atas P0
(kontrol), P1 (kontrol + PE 3% dari bobot konsentrat), P2 (kontrol + PE 3% dari
bobot konsentrat + Probiotik (Sacharomyces cerevisae dengan dosis 5 x 1010 cfu kg-1
ransum dan MR4 dengan dosis 5 x 107 cfu kg-1 ransum). Data dianalisis
menggunakan analisis ragam. Hasil menunjukan perlakuan P0, P1, dan P2 yang
diberikan ke dalam ransum tidak signifikan (P> 0.05) dalam mengurangi produksi gas
NH3 dan H2S dalam feses; perolehan IOFC yang terendah hingga tertinggi adalah P0,
P1, dan P2.

Kata kunci: H2S, NH3, palatability enhancer (PE), probiotik

ABSTRACT
FADILLA PONCOWATI. Evaluation of NH3 and H2S Production by Addition of
palatability enhancer (PE) and Probiotics in Beef Cattle Feed Ration. Supervised by
SURYAHADI and LUKI ABDULLAH.

This research aimed to evaluate production of livestock waste gas emissions


especially ammonia (NH3) and hydrogen sulphide (H2S) was used probiotics in the
feed ration. The addition of PE (palatability enhancer) in feed ration can improve
quality and increase the palatability of feed and livestock productivity. This study
used a randomized complete block design with 3 groups and each treatment consisted
of 4 cattles. Treatments were consisted of P0 (control diet), P1 (control diet + PE 3%
of the weight of the concentrate), P2 (control diet + PE 3% of the weight of the
concentrate + Probiotics (Sacharomyces cerevisae dose of probiotic 5 x 1010 cfu kg-1
feed rations and dose of MR4 of 5 x 107 cfu kg-1 feed rations). Data were analysed by
analysis of variance. The results showed that treatment P0, P1, and P2 in the feed
ration was not significantly different (P> 0.05) can reduce the levels of NH3 and H2S
in feces; the lowest to the highest row in the IOFC is P0, P1, and P2.

Keywords: H2S, NH3, palatability enhancer (PE), probiotics


EVALUASI PRODUKSI NH3 DAN H2S FESES DENGAN
PENAMBAHAN PALATABILITY ENHANCER (PE)
DAN PROBIOTIK DALAM RANSUM
SAPI PEDAGING

FADILLA PONCOWATI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Peternakan
pada
Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan

ILMU NUTRISI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN


FAKULTAS PETERNAKAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
gl0Z
/t0li B 0I :snrn"rp68ue;
g Eurquque6 l Eurququetr
ffi
Lrrrv
\ L,'a
ry
qelo pfnparq
ZoOOZWZA: h[IN
rpaocuod BIIIps.{ : ButsN
EutEepe4 dug umsurg urel€p {polqord u?p (gd .tacuoqua
,$Wqoptd rrerlaqur?ue4 ueEuep seseg gzg uup e11q rslnpord rs?np g :pdp1g ppng
PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Mei 2016 ini ialah produksi
gas dalam feses, dengan judul Evaluasi produksi NH3 dan H2S Feses dengan
Penambahan palatability enhancer (PE) dan Probiotik dalam Ransum Sapi Pedaging.
Tema ini dipilih karena produksi gas dalam feses berkaitan erat dengan
penggunaan zat makanan oleh tubuh ternak dan keseimbangan mikroflora usus, serta
berdampak pada penurunan kualitas lingkungan, produktivitas ternak, bahkan kualitas
hidup peternak. Penelitian ini dilakukan untuk mengevaluasi produksi gas NH3 dan
H2S feses pada sapi pedaging yang diberikan tambahan PE dan probiotik ke dalam
pakan.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih jauh dari
kesempurnaan.Kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan demi
penyempurnaan skripsi ini. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberikan
informasi baru dalam dunia peternakan dan dapat bermanfaat bagi masyarakat,
pembaca, dan penulis.

Bogor, Oktober 2016

Fadilla Poncowati
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL viii
DAFTAR LAMPIRAN viii
PENDAHULUAN 1
METODE 2
Bahan 2
Alat 4
Lokasi dan Waktu 4
Prosedur Percobaan 4
Pembuatan probiotik Saccharomyces cerevisiae 5
Pembuatan probiotik MR4 terenkapsulasi 5
Pengukuran produksi NH3 6
Pengukuran produksi hidrogen sulfida (H2S) 6
Perhitungan IOFC 6
Pemeliharaan 6
Rancangan Percobaan 6
Perlakuan 6
Rancangan Percobaan 7
Peubah yang Diamati 7
Analisis Data 7
HASIL DAN PEMBAHASAN 7
Kondisi Umum 7
Produksi Gas Amoniak (NH3) 8
Produksi Hidrogen Sulfida (H2S) 9
Pengaruh Perlakuan terhadap Efisiensi Pakan 9
Pengaruh Perlakuan terhadap IOFC 11
Hubungan dan Pengaruh antar Faktor – faktor Peubah 12
SIMPULAN DAN SARAN 14
Simpulan 14
Saran 14
DAFTAR PUSTAKA 14
LAMPIRAN 17
RIWAYAT HIDUP 21
UCAPAN TERIMA KASIH 21
DAFTAR TABEL
1 Komposisi dan kandungan nutrien ransum percobaan in vitro 3
2 Jadwal pemberian pakan di peternakan CV Anugrah Farm 6
3 Pengaruh penambahan PE dan probiotik pada ransum terhadap
rataan produksi NH3 feses 9
4 Pengaruh penambahan PE dan probiotik pada ransum terhadap
rataan produksi H2S pada feses 10
5 Pertambahan bobot badan dan efisiensi pakan sapi Bali yang
disuplementasi oleh probiotik dan PE 12
6 Penerimaan yang didapatkan terhadap penambahan PE dan probiotik
pada ransum 13

DAFTAR GAMBAR
1 Gambar 1 Skema ilustrasi analisis perhitungan produksi gas NH3 5
2 Gambar 2 Skema ilustrasi analisis perhitungan produksi gas H2S 5
3 Hubungan linier total fesesdengan kadar H2S feses 14

DAFTAR LAMPIRAN
1 Analisis ragam (ANOVA) pengaruh penambahan PE dan probiotik
pada ransumterhadap rataan produksi NH3 feses 17
2 Analisis ragam (ANOVA) pengaruh penambahan PE dan probiotik
pada ransum terhadap rataan produksi NH3 BK feses 17
3 Analisis ragam (ANOVA) pengaruh penambahan PE dan probiotik
4 pada ransumterhadap rataan produksi H2S feses 17
5 Analisis ragam (ANOVA) pengaruh penambahan PE dan probiotik
pada ransum terhadap rataan produksi H2S BK feses 17
6 Analisis ragam (ANOVA) pengaruh perlakuan terhadap konsumsi hi~fer 18
7 Analisis ragam (ANOVA) pengaruh perlakuan terhadap konsumsi konsentrat 18
8 Analisis ragam (ANOVA) pada pengaruh perlakuan terhadap bobot awal 18
9 Analisis ragam (ANOVA) pengaruh perlakuan terhadap PBBH 18
10 Analisis ragam (ANOVA) pengaruh perlakuan terhadap laju pertumbuhan 19
11 Analisis ragam (ANOVA) perlakuan terhadap efisiensi pakan 19
12 Analisis korelasi peubah bobot feses dengan produksi gas H2S 19
13 Analisis regresi peubah bobot feses dengan produksi gas H2S 19
1

PENDAHULUAN

Kenaikan populasi ternak mengakibatkan kenaikan pula pada limbah yang


dihasilkan. Limbah peternakan merupakan semua hasil buangan dari usaha
peternakan baik padat, gas, dan cair. Limbah peternakan dapat menyebabkan
pencemaran lingkungan terutama limbah kotoran yang dihasilkan sapi setiap hari.
Pencemaran meliputi air, tanah, dan udara (bau) yang dapat berdampak pada
penurunan kualitas lingkungan, produktivitas ternak, bahkan kualitas hidup
peternak (Rachmawati 2000). Produk emisi gas limbah peternakan berasal dari
feses yang menumpuk dan terjadi proses dekomposisi oleh mikroorganisme
membentuk gas amoniak, nitrat, nitrit, dan gas sulfida, yang menyebabkan bau.
Emisi gas NH3 dan H2S berkaitan erat dengan penggunaan zat makanan oleh
tubuh ternak dan keseimbangan mikroflora usus. Solusi dalam meminimalkan gas
limbah peternakan yaitu amoniak (NH3) dan hidrogen sulfida (H2S) adalah dengan
penggunaan probiotik. Alsaikh et al. (2002) melakukan penambahan probiotik
berupa Saccharomyces cerevisiae sebanyak 50 g/ekor/hari pada sapi Holstein
yang sedang laktasi. Hasilnya menunjukkan bahwa penambahan Saccharomyces
cerevisiae menurunkan konsentrasi NH3 rumen, namun meningkatkan produksi
4% FCM dan kandungan protein susu sehingga disimpulkan bahwa penambahan
Saccharomyces cerevisiae meningkatkan inkorporasi amonia menjadi protein
mikroba dan menstimulasi aktivitas mikroba, hal ini berarti bahwa tidak ada efek
antibakteri yang ditimbulkan oleh Saccharomyces cerevisiae. Saccharomyces
cerevisiae merupakan probiotik yang berguna pada proses fermentasi dalam
rumen. Saccharomyces cerevisiae mampu mengurangi kadar oksigen dalam
rumen dan meningkatkan kondisi anaerob rumen, sehingga membantu proses
fermentasi dalam rumen (Charalampopoulos dan Rastall 2009). Mikroba rumen
juga memiliki potensi untuk dijadikan probiotik. Mikroba rumen yang digunakan
dalam penelitian ini merupakan isolat mikroba yang diseleksi dari rumen sapi
perah yang memiliki kemampuan dalam mendegradasi aflatoksin, yaitu MR4
yang merupakan bakteri rumen anaerob (Sisriyeni 2013). Probiotik mikroba
rumen dipilih karena: (1) mampu mendegradasi aflatoksin dalam rumen
(Suryahadi et al. 2012), (2) mampu mengikat aflatoksin sehingga mengurangi
penyerapannya dalam rumen dan usus halus, dan (3) mampu mendorong
pertumbuhan mikroba yang baik dalam saluran pencernaan sehingga mampu
meningkatkan kecernaan zat-zat makanan dan juga produksi ternak (Suryahadi
dan Tjakradidjaja 2012). Hasil penelitian Suryahadi et al. (2013) menunjukkan
bahwa probiotik MR4 dan bakteria asam laktat (BAL) secara terpisah
memberikan dampak positif pada penurunan aflatoksin di rumen maupun susu,
namun bila dikombinasikan belum memberikan manfaat yang sinergis.
Penggunaan konsentrat dalam usaha penggemukan sapi memegang peranan
yang penting sehingga dibutuhkan kualitas konsentrat yang baik dan palatabel
bagi ternak. Upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan palatabel ternak
yaitu dengan menambahkan bahan-bahan yang merangsang indera perasa dan
penciuman ternak. Beberapa bahan yang dapat dijadikan sebagai peningkat
palatabilitas diantaranya pemanis (sweetener), asam-asam organik dan minyak
esensial. Peningkat palatabilitas yang digunakan adalah palatability enhancer
(PE) yang dibuat oleh Riyanti et al. (2016). Asam-asam organik seperti asam
2

laktat dan asam sitrat dapat digunakan sebagai penambah rasa, selain itu minyak
esensial seperti minyak oregano dan esen pandan memiliki aroma yang khas
sehingga dapat digunakan sebagai PE. Minyak esensial selain berfungsi sebagai
PE juga berperan dalam meningkatkan kecernaan dan mengubah mikroflora
dalam saluran pencernaan. Selain itu minyak esensial memiliki kemampuan dalam
mengontrol populasi mikroba rumen, fermentasi di dalam rumen, performa ternak,
dan mengontrol patogen (Elgayyar et al. 2001).
Biaya pakan mencapai 60-80% dari biaya total produk (Astutik et al.2002).
Penambahan probiotik dan PE dalam ransum dapat menjadi terobosan untuk
menyasati biaya tersebut karena terjadi peningkatan efisiensi penggunaan ransum.
Penggunaan probiotik dapat meningkatkan daya cerna sehingga nutrien dalam
pakan lebih banyak diserap oleh tubuh untuk pertumbuhan maupun produksi
(Barrow 1992).
Penelitian ini bertujuan mengevaluasi produksi gas amoniak (NH3) dan
hidrogen sulfida (H2S) dalam feses dengan menggunakan probiotik yang
ditambahkan ke dalam ransum.

METODE

Bahan

Bahan kultur probiotik dan media pertumbuhan mikroba


Sacharomyces cereviseae dan isolat mikroba rumen anaerobik (MR4).
Media pertumbuhan Sacharomyces cereviseae adalah Potato Dextrose Broth
(PDB), dan tepung beras. Media pertumbuhan isolat MR4 adalah Brain Heart
Infussion (BHI), glukosa, selebiosa, cysteine, HCl, bacto agar, resazurin dan
hemin

Bahan kimia
Bahan-bahan enkapsulasi isolat MR4 diantaranya Na-alginat, minyak canola,
CaCl2, pati / starch, lecithin, gliserol 5%, dan larutan saline (NaCl). Bahan-bahan
lain diantaranya larutan McDougall, asam borat berindikator, H2SO4 0.005 N,
Na2CO3, triphan blue formaline saline (TBFS), carboxy methil cellulose (CMC),
gas CO2, larutan formaline 4%.
Bahan kimia yang digunakan untuk analisis NH3 adalah larutan Na2CO3
jenuh, larutan asam borat berindikator, dan larutan HCl 0.05 N. Bahan kimia yang
digunakan untuk analisis H2S adalah seng asetat 0.04 N, iodium 0.025 N dan
kalium iodida, asam klorida (HCl) 4 N, natrium thiosulfat (Na2S2O3) 0.025 N,
larutan kanji, dan aquadest.

Ternak dan pakan


Percobaan pemberian makanan (feeding trial) menggunakan 12 ekor sapi
Bali dengan rataan bobot badan awal 194.25±18.94 kg. Pakan yang diberikan
adalah hijauan fermentasi (hi~fer) dan konsentrat. Kandungan nutrien hi~fer
dan konsentrat ditunjukkan pada Tabel 1. Bahan lain diantaranya obat cacing
Flukicide 12.5%.
3

Tabel 1 Komposisi kandungan nutrien hi~fer dan konsentrat pada percobaan


feeding trial
Abu PK LK SK BETN TDN*
Pakan BK (%)
----------------------%BK------------------- (%)
Hi~fer 21.39 11.85 8.01 1.61 26.35 52.18 51.58
Konsentrat 85.76 11.95 8.67 3.38 12.34 63.65 67.28
Keterangan : Hasil analisa proksimat Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati & Bioteknologi. Bogor
(2015). *Perhitungan TDN dengan rumus (Hartadi 1980). TDN = 92.464 – (3.338 x SK) – (6.945
x LK) – (0.762 x BETN) + (1.115 x PK) + (0.031 x SK2) – (0.133 x LK2) + (0.036 x SK x BETN)
+ (0.207 x LK x BETN) + (0.1 x LK x PK) – (0.022 x LK x PK)

Alat

Peralatan kandang yang digunakan adalah kandang yang dilengkapi bak


pakan dan bak minum, kandang jepit, timbangan digital, timbangan pakan, ember,
dan sekop. Peralatan laboratorium yang digunakan antara lain timbangan digital,
inkubator, cawan petri, tabung hungate, tabung reaksi, autoclave, botol schott,
vortex, magnetic stirer, freezer, shaker water bath, Erlenmeyer, oven 60°C, oven
105°C, tabung fermentor, sentrifuse, pH meter, roller tube, tabung eppendorf,
cawan Conway, buret, counting chamber, mikroskop cahaya, gas chromatography,
dan high performance liquid chromatography (HPLC).
Peralatan yang digunakan untuk pengambilan feses sapi adalah timbangan,
plastik penampung, sendok plastik, plastik hitam, alat tulis, dan kertas label.
Peralatan untuk analisis feses sapi adalah labu Erlenmeyer, Erlenmeyer asah,
gelas ukur, corong, jerigen plastik, selang plastik, penyambung pipa, penutup
sumbat karet, pipet, labu ukur, pemanas, spatula, biuret, statip, dan aerator.

Lokasi dan Waktu

Pelaksanaan pembuatan probiotik Sacharomyces cereviseae dan enkapsulasi


isolat MR4 mengikuti prosedur Riyanti et al. (2016) yang dilaksanakan di
Laboratorium Biokimia, Fisiologi, dan Mikrobiologi Nutrisi. Analisa kandungan
nutrien pakan dan feses di Laboratorium Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan
Bioteknologi, IPB. Percobaan pemberian pakan dilakukan di CV Anugrah Farm,
Desa Tegal Waru, Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor. Penelitian ini
dilakukan selama 2 bulan dari bulan Mei sampai dengan Juni 2015

Prosedur Percobaan

Pembuatan probiotik Saccharomyces cerevisiae


Stok cair Saccharomyces cerevisiae diperbanyak menggunakan media PDB.
Sebanyak 1.2 g PDB dilarutkan dalam 50 ml air destilasi dan dipanaskan dengan
hot plate. Sebanyak 10 ml media PDB dimasukkan dalam tabung reaksi dan
disumbat dengan sumbat kapas dan di-autoclave. Tabung PDB yang sudah dingin
ditambahkan 2 ujung jarum ose dari stok Saccharomyces cerevisiae dan
dihomogenkan dengan vortex. Tabung ditutup dengan tutup karet dan diisolasi
panfix kemudian diinkubasi selama 48 jam pada inkubator atau pada suhu ruangan.
4

Saccharomyces cerevisiae yang tumbuh ditandai dengan adanya kekeruhan pada


media PDB. Setelah diperbanyak dalam media cair, kultur Saccharomyces
cerevisiae dicampurkan dengan tepung beras sebagai carrier. Tepung beras
disangrai untuk mengurangi kandungan air yang ada di bahan. Kultur murni
Saccharomyces cerevisiae yang sudah ditumbuhkan dalam media PDB
ditambahkan dengan perbandingan 20 g tepung beras untuk 5 ml kultur murni
Saccharomyces cerevisiae. Campuran diaduk sampai homogen dan diinkubasi
pada suhu 30 °C atau suhu kamar selama 24 jam. Tepung Saccharomyces
cerevisiae dihitung populasinya menggunakan metode total plate count (TPC)
(Fardiaz 1992).

Pembuatan probiotik MR4 terenkapsulasi (modifikasi Krasaekoopt et al.


2003)
Campuran media dipanaskan sampai homogen dan dialiri CO2 sampai
terjadi perubahan warna dari kuning menjadi merah dan berubah kembali menjadi
kuning bening. Setelah dingin, ditambahkan cystein-HCl sambil dialiri CO2 agar
tetap dalam keadaan anaerob. Kemudian, disterilisasi dengan autoclave pada suhu
121 oC selama 15 menit. Kultur isolat MR4 diinokulasikan pada media BHI
sebanyak 0.1% setelah itu diinkubasi selama 24 jam. Kultur ini digunakan untuk
enkapsulasi. Sebanyak 100 ml larutan Na-alginat 2% ditambahkan dengan larutan
pati 2% sebanyak 100 ml. Larutan diatas dicampurkan dengan 200 ml kultur
mikroba rumen sambil dialiri CO2. Setelah itu ditambahkan 200 ml canola oil
yang mengandung lecitin 0.2 ml dan dihomogenkan dengan magnetic stirrer
selama 20 menit. CaCl2 0.1 M 200 ml ditambahkan secara perlahan melalui
dinding Erlenmeyer dan didiamkan selama 30 menit. Minyak dan air dipisahkan
dengan labu seperator. Proses pemisahan ini dilakukan pada laminar air flow
untuk mencegah kontaminasi dari lingkungan. Hasil enkapsulasi dicuci dengan
0.9% larutan saline yang mengandung 5% gliserol dan ditambahkan susu skim.
Setelah itu dilakukan perhitungan populasi mikroba sesuai metode Ogimoto dan
Imai (1981).

Teknik pengambilan feses


Feses dievaluasi diakhir penelitian selama 7 hari, pengambilan feses
dilakukan selama 24 jam. Bobot feses yang keluar oleh satu ekor ternak ditimbang
menggunakan timbangan digital kandang. Sebanyak 25 g feses diambil dan
dievaluasi produksi gas NH3, kemudian sebanyak 100 g feses diambil dievaluasi
produksi gas H2S. Pengambilan feses dilakukan pada siang hari dan pengukuran
produksi gas dilakukan sehari sekali. Sebanyak 10% dari bobot feses diambil dan
dibawa ke laboratorium untuk dianalisa bahan kering feses.

Pengukuran produksi NH3


Produksi NH3 diukur menggunakan teknik Mikrodifusi conway. Produksi
NH3 ditentukan dengan metode Conway yang dimodifikasi (Suijah 1990). Feses
segar sebanyak 25 gram dimasukkan ke dalam labu Erlenmeyer dan ditambah 2
ml Na2CO3 jenuh dan 10 ml aquadest, kemudian dihomogenkan. Labu
Erlenmeyer lalu ditutup dengan sumbat. Sumbatan pada labu Erlenmeyer terdapat
dua pipa kaca dan selang yang dihubungkan ke aerator dan yang satunya
5

dihubungkan ke labu Erlenmeyer lain berisi 10 ml asam borat berindikator. Asam


borat berindikator berfungsi untuk menangkap gas NH3 yang dibebaskan feses
(terjadi perubahan warna dari merah ke biru). Aerator dihubungkan ke aliran
listrik. Produksi gas NH3 diperoleh dari titrasi sampel dengan HCl 0.05 N. Titrasi
dilakukan hingga terjadi perubahan warna dari biru ke merah. Produksi NH3
dihitung dengan rumus :

Produksi NH3 (mL-1 g feses hari-1 ekor-1) =

Gambar 1 Skema ilustrasi analisis perhitungan produksi gas NH3

Pengukuran produksi hidrogen sulfida (H2S)


Produksi H2S ditentukan dengan metode yang digunakan oleh Wahyuni
(2002). Feses segar sebanyak 100 gram dimasukkan ke dalam labu Erlenmeyer
dan ditutup rapat dengan sumbat yang memiliki dua pipa kaca, pipa kaca
dihubungkan dengan aerator dan yang satunya dihubungkan ke labu Erlenmeyer
lain berisi 200 ml seng asetat 0.04 N. Seng asetat berfungsi untuk menangkap gas
H2S yang dibebaskan feses. Gas H2S yang terikat dalam seng asetat 0.04 N
dihitung dengan tahap berikut: (1) 200 ml sampel (seng asetat dan hidogen
sulfida) ditambahkan 5 ml larutan iodium 0.025 N dan kalium iodide; (2) asam
klorida (HCl) 4 N sebanyak 3 ml, ditambahkan larutan kanji (2-3 tetes) sebagai
indikator warna; (3) kemudian dititrasi dengan natrium triosulfat (Na2S2O3)
0.025 N sampai tidak berwarna, volume natrium thiosulfat (Na2S2O3) yang
terpakai dicatat. Penghitungan gas hidrogen sulfida (H2S) dapat dihitung dengan
rumus :

Produksi H2S (mL-1 g feses hari-1 ekor-1) =

Gambar 2 Skema ilustrasi analisis perhitungan produksi gas H2S


6

Perhitungan IOFC (income over feed cost)


Nilai ekonomi ransum dihitung dengan IOFC yang merupakan selisih antara
penerimaan, penjualan sapi dikurangi dengan biaya makanan (biaya hijauan, biaya
konsentrat, biaya dedak padi, dan biaya penggunaan probiotik).

Perhitungan IOFC = harga penjualan – harga pembelian – biaya pakan

Harga penjualan diperoleh dengan mengalikan bobot badan sapi awal


dengan harga bobot sapi kg per hidup dan harga pembelian diperoleh dengan
mengalikan bobot sapi setelah penggemukan dengan harga bobot sapi.

Perhitungan efisiensi pakan


Perhitungan efisiensi pakan dilakukan dengan menghitung pertambahan
bobot badan harian dibagi dengan jumlah komsumsi bahan kering

Efisiensi pakan (%) =

Perhitungan laju pertumbuhan


Perhitungan laju pertumbuhan dilakukan dengan cara menghitung selisih
dari bobot awal pemeliharaan dan bobot akhir pemeliharaan yang dibagi dengan
bobot akhir pemeliharaan, kemudian dikalikan dengan 100

Laju pertumbuhan (%) =

Pemeliharaan
Pemeliharaan dilakukan selama 47 hari yang terdiri dari tahap preliminary
atau adaptasi ransum penelitian selama 10 hari, tahap percobaan pemberian pakan
selama 30 hari dan tahap collecting feses selama 7 hari. Jadwal pembarian pakan
dan minum mengikuti jadwal peternakan CV Anugerah Farm. Tabel 2
menunjukkan jadwal pemberian pakan di CV Anugerah Farm.

Tabel 2 Jadwal pemberian pakan di peternakan CV Anugrah Farm


Jam Jenis pakan/air minum Jumlah
07.00 Konsentrat 2 kg
09.00 Air minum Ad libitum
10.00 Hi~fer 2 kg
13.00 Konsentrat 2 kg
14.00 Air minum Ad libitum
15.00 Hi~fer 3 kg
19.00 Air minum Ad libitum
7

Rancangan Percobaan

Perlakuan
Penelitian ini menggunakan 12 ekor sapi potong dengan rancangan acak
kelompok (RAK) yang dikelompokkan menjadi 3 kelompok dengan masing-
masing kelompok terdiri atas 4 ekor sapi. Masing-masing perlakuan terdiri atas :
P0 = ransum kontrol (hi~fer + konsentrat)
P1 = ransum kontrol + PE 3% dari bobot konsentrat
P2 = ransum kontrol + PE 3% dari bobot konsentrat +
Probiotik (dosis probiotik Sacharomyces cereviseae
sebesar 5 x 1010 cfu kg-1ransum dan dosis MR4 sebesar
5 x 107 cfu kg-1 ransum)

Rancangan Percobaan
Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak kelompok
(RAK) dengan 3 perlakuan dan 3 kelompok berdasarkan bobot badan. Model
matematik yang digunakan adalah sebagai berikut :
Yij = µ + αі + βj + εij
Keterangan :
Yij = Nilai pengamatan pada satuan percobaan ke-i dan ulangan ke-j
µ = Rataan umum
αі = Efek perlakuan ke-i
βj = Efek ulangan ke-j
εij = Eror perlakuan ke-i dan ulangan ke-j

Peubah yang Diamati


Peubah yang diamati dalam penelitian ini yaitu konsumsi konsentrat,
konsumsi hi~fer, pertambahan bobot badan (PBB), produksi gas amonia (NH3),
produksi gas hidrogen sulfida (H2S), dan IOFC.

Analisis Data
Data dianalisis menggunakan analisis sidik ragam (ANOVA). Pengolahan
data menggunakan software statistik SPSS 20.0.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Umum

Penelitian dilaksanakan di CV Anugrah Farm, Desa Tegal Waru,


Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor. Ternak yang digunakan untuk penelitian
sebanyak 12 ekor sapi bali jantan. Kondisi sapi awal penelitian adalah kurus dan
sehat, selama masa preliminary terdapat beberapa sapi yang mengalami mencret
kurang lebih satu hari ditandai dengan pengeluaran feses yang encer, selanjutnya
feses kembali normal. Selama penelitian terdapat beberapa sapi yang nafsu
8

makannya dapat meningkat dan menurun terhadap perlakuan yang diberikan.


Pemberian pakan selama penelitian mengikuti manajemen pakan peternakan
tersebut (Tabel 2). Kondisi perkandangan peternakan CV Anugrah Farm ini cukup
memadai, dengan lantai yang terbuat dari semen agar mudah dibersihkan, atap
dibuat dari asbes, hal ini dapat mengganggu ternak karena saat cuaca sangat panas,
serta bak makan dan minum yang terbuat dari semen. Bangunan kandang tersebut
permanen dengan tiang besi. Terdapat pepohonan di sekitar kandang sehingga
cukup rindang dan teduh. Selama penelitian berlangsung terjadi kendala dalam
hasil data yang diperoleh. Kendala tersebut berupa tersendatnya pemberian pakan
yang disebabkan oleh pengantaran pakan yang terjebak macet dan stok pakan
habis, sehingga pemberian pakan terlambat dan tidak sesuai jadwal oleh pihak
managemen kandang.
Produksi Gas Amoniak (NH3)

Seluruh protein yang berasal dari pakan, pertama kali dihidrolisis oleh
mikroba rumen (Arora 1989) menjadi peptida dan asam-asam amino (Ranjhan
1981). Asam amino kemudian difermentasi lebih lanjut melalui deaminasi
menjadi asam α-keto yang kemudian mengalami dekarboksilasi menjadi CO2,
amonia, dan asam lemak rantai pendek (McDonald et al., 1988). Beberapa asam
amino dapat langsung digunakan oleh bakteri untuk sintesis protein tubuhnya,
tetapi amoniak merupakan jumlah nitrogen larut yang utama dalam cairan rumen
yang dibutuhkan oleh bakteri rumen untuk sintesis protein tubuhnya sepanjang
kerangka karbon dari karbohidrat yang mudah dicerna seperti pati atau gula
tersedia (Ranjhan, 1981). Konsentrasi amoniak dalam cairan rumen tergantung
dari kelarutan dan jumlah protein pakan untuk ternak, serta laju degradasi protein
pakan (Nuswantara et al. 2006). Amoniak (NH3) merupakan komponen penting
untuk sintesa asam amino dan protein sel mikroba. Amonia berfungsi sebagai
pusat utama metabolisme nitrogen di rumen yang merupakan hasil akhir dari
fermentasi protein (Cheeke dan Dierenfeld 2010). Produksi NH3 berasal dari
protein yang didegradasi oleh enzim proteolitik. Produksi NH3 dalam rumen
dipengaruhi oleh kandungan protein dan asam amino. Tabel 3 menunjukan
pengaruh penambahan PE dan probiotik pada ransum terhadap rataan produksi
NH3 yang dihasilkan
Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa penambahan probiotik dalam
ransum terhadap produksi amoniak (NH3) berpengaruh tidak nyata (P>0.05) yang
berarti perlakuan tidak memberikan pengaruh terhadap produksi NH3. Tabel 3
menunjukan bahwa perlakuan P2 memiliki produksi NH3 yang lebih tinggi, yaitu
0.0485 g segar hari-1 ekor-1 dibandingkan P1 sebanyak 0.0445 g segar hari-1 ekor-1
dan P0 0.0363 g segar hari-1 ekor-1. Produksi NH3 yang meningkat disebabkan
probiotik dalam ransum telah terdegradasi ke dalam rumen sehingga nilai NH3
meningkat. Produksi amoniak mencerminkan jumlah protein ransum yang banyak
di dalam rumen dan nilainya sangat dipengaruhi oleh kemampuan mikroba rumen
dalam mendegradasi protein ransum (Riswandi et al. 2015). Saputra et al. (2013)
menyatakan bahwa penambahan probiotik dalam ramsum berpengaruh terhadap
produksi NH3, yaitu pemberian probiotik dapat meningkatkan produksi NH3, serta
penambahan probiotik meningkatkan kecernaan in vitro. Hal ini dapat dimengerti
karena probiotik dapat meningkatkan populasi dan aktifitas mikroba khususnya
9

bakteri proteolisis di rumen sehingga perombakan protein pakan semakin


meningkat akibatnya produk NH3 dari hasil degradasi protein semakin meningkat
Tabel 3 Pengaruh penambahan PE dan probiotik pada ransum terhadap
rataan produksi NH3 feses
Perlakuan
Peubah
P0 P1 P2
Bobot feses
7051.79 ± 1972.00 7825.00 ± 1814.58 7103.57 ± 1855.52
(g segar hari-1 ekor-1)
Bobot feses
1430.80 ± 198.41 1572.87 ± 89.93 1442.29 ± 204.77
(g BK hari-1 ekor-1)
Produksi NH3
Produksi NH3
(mL-1 g segar
0.0363 ± 0.0118 0.0445 ± 0.0291 0.0485 ± 0.0252
feses hari-1
ekor-1)
Produksi NH3
(mL-1 g BK
0.1830 ± 0.0686 0.2140 ± 0.1324 0.2380 ± 0.1227
feses hari-1
ekor-1)
Keterangan : P0 = ransum kontrol, P1 = ransum kontrol + PE 3% dari bobot konsetrat, P2 =
ransum kontrol + PE 3% dari bobot konsetrat + Probiotik (dosis probiotik Sacharomyces
cereviseae sebesar 5 x 1010 cfu kg-1 ransum dan dosis MR4 sebesar 5 x 107 cfu kg-1 ransum).

Kenaikan produksi NH3 pada penelitian ini memungkinkan dapat


menurunkan konsentrasi VFA, menurut Jayanegara et al. (2006) gula terlarut
(monosakarida) yang tersedia di dalam rumen dipergunakan oleh mikroba untuk
menghabiskan amoniak, yang berarti untuk menginkorporasikan amoniak ke
dalam tubuh mikroba guna disintesis menjadi protein tubuhnya dibutuhkan energi,
sehingga apabila mikroba rumen kekurangan energi maka daya menyerap
amonianya menjadi terbatas dan berakibat terakumulasinya amonia di cairan
rumen.
Probiotik yang digunakan adalah Saccharomyces cerevisiae dan MR4.
Saccharomyces cerevisiae dapat menggunakan oksigen untuk proses glikolisis,
menghasilkan etanol dan CO2 sehingga kondisi lingkungan yang dibutuhkan
untuk fermentasi dapat tetap anaerob (Lushchak, 2006), dengan demikian bakteri
anaerob pencerna serat kasar dapat tumbuh dengan baik sehingga kerja rumen
akan lebih efektif untuk mendegradasi secara fermentatif komponen serat kasar
yang akan meningkatkan kecernaan bahan kering. Saccharomyces cerevisiae
dapat meningkatkan populasi protozoa dan bakteri selulolitik. Ruminansia
memiliki kemampuan mencerna selulosa menjadi sumber energi melalui proses
fermentasi oleh mikroba selulolitik, yang berfungsi sebagai sumber energi untuk
pembentukan protein mikroba dalam rumen. Tiga spesies bakteri selulolitik yang
bekerja dalam mendegradasi selulosa terdiri dari Ruminococcus flavifaciens,
Fibrobacter succinogenes dan Ruminococcus albus, bakteri tersebut akan
mencerna selulosa dengan produk akhir suksinat dan asetat (Chen dan Weimer,
10

2001). MR4 merupakan bakteri rumen anaerob yang memiliki kemampuan dalam
mendegradasi aflatoksin (Sisrieni, 2013). Penelitian yang dilakukan Riyanti et al.
(2016) menunjukan suplementasi probiotik Saccharomyces cerevisiae dan
probiotik MR4 tidak terdeteksi konsentrasi AFB1 (aflatoksin B1) dalam rumen,
yang diduga terjadi penurunan konsentrasi AFB1 akibat kombinasi suplementasi
Saccharomyces cerevisiae dan MR4. Probiotik Saccharomyces cerevisiae
berperan dalam mengurangi penyerapan AFB1 dalam rumen dengan terjadinya
penyerapan molekul toksin pada dinding sel Saccharomyces cerevisiae, sementara
MR4 dapat menekan perombakan AFB1 menjadi metabolit lainnya.

Produksi Hidrogen Sulfida (H2S)

Hidrogen sulfida dibentuk dari reduksi bakteri sulfat dan dekomposisi


kandungan sulfur organik pada kotoran dalam kondisi anaerob. Gas H2S yang
dihasilkan dari proses penguraian zat makanan sisa pencernaan dilakukan oleh
mikroba perombak protein (Usri, 1988). Gas H2S merupakan gas yang berwana
lebih ringan dari pada udara, mudah larut dalam air dan mempunyai bau seperti
telur busuk (Casey et al. 2006). Tabel 4 menunjukan pengaruh penambahan PE
dan probiotik pada ransum terhadap rataan produksi H2S yang dihasilkan.

Tabel 4 Pengaruh penambahan PE dan probiotik pada ransum terhadap


rataan produksi H2S pada feses
Perlakuan
Peubah
P0 P1 P2
Bobot feses
7051.79 ± 1972.00 7825.00 ± 1814.58 7103.57 ± 1855.52
(g segar hari-1 ekor-1)
Bobot feses
1430.80 ± 198.41 1572.87 ± 89.93 1442.29 ± 204.77
(g BK hari-1 ekor-1)
Produksi H2S
Produksi H2S
(mL-1 g segar
0.0088 ± 0.0003 0.0092 ± 0.0006 0.0082 ± 0.0025
feses hari-1
ekor-1)
Produksi H2S
(mL-1 g BK
0.0434 ± 0.0035 0.0457 ± 0.0062 0.0406 ± 0.0149
feses hari-1
ekor-1)
Keterangan : P0 = ransum kontrol, P1 = ransum kontrol + PE 3% dari bobot konsetrat, P2 =
ransum kontrol + PE 3% dari bobot konsetrat + Probiotik (dosis probiotik Sacharomyces
cereviseae sebesar 5 x 1010 cfu kg-1 ransum dan dosis MR4 sebesar 5 x 107 cfu kg-1 ransum).

Berdasarkan sidik ragam menunjukkan bahwa penambahan probiotik dalam


ransum terhadap produksi hidrogen sulfida (H2S) berpengaruh tidak nyata
(P>0.05). Penelitian yang telah dilakukan Muchayani (2011) menunjukan bahwa
pemberian probiotik, baik padat maupun cair tidak mempengaruhi kadar H2S feses
11

secara signifikan, hal ini dapat disebabkan kandungan protein dan asam amino
bersulfur yang relatif sama, sebagai akibat komposisi zat makanan pakan yang
diberikan pada setiap perlakuan sama. Gas H2S ini sangat dipengaruhi oleh
metabolisme asam amino yang bersulfur. Menurut Wang et al. (2009) dan Yan et
al. (2010), variasi pembentukan bau yang mengandung sulfur di feses dapat
disebabkan perbedaan kandungan sulfur di pakan dan metabolisme protein yang
mengandung sulfur seperti asam amino metionin dan sistein. Pembentukan H2S
oleh bakteri pereduksi sulfat yaitu Desulfotomaculum (Desulfotomaculum
nigtrificants, Desulfotomaculum orientis, Desulfotomaculum ruminis) bergantung
tersedianya unsur sulfur (Khanal 2002).
Hasil pada Tabel 4 menunjukan produksi H2S P0 sebesar 0.0088 g segar
hari-1 ekor-1, kemudian meningkat pada P1 menjadi 0.0092 g segar hari-1 ekor-1,
dan menurun pada P2 menjadi 0.0082 g segar hari-1 ekor-1. Penurunan produksi
H2S pada P2 dimungkinkan disebabkan penggunaan penambahan probiotik dalam
ramsum, sesuai dengan tujuan probiotik itu sendiri yaitu dapat memanipulasi
ekosistem rumen dan meningkatkan efisiensi fermentasi rumen dengan cara
memaksimalkan degradasi serat kasar dan sintesis protein mikrobial serta
meminimalkan produksi metan, degradasi protein dan fermentasi pati yang terjadi
di dalam rumen (Amin 1997). Selain itu, probiotik tidak hanya memperbaiki
mikroflora di rumen, tetapi menyediakan enzim yang biasa mencerna serat kasar,
protein, lemak, detoksifikasi zat racun dan metabolitnya (Xuan et al. 2001).
Menurut Amin (1997), penambahan probiotik dalam pakan dapat merangsang
pertumbuhan mikroba rumen seperti protozoa, bakteri amilolitik, selulolitik
maupun bakteri total.

Pengaruh Perlakuan terhadap Efisiensi Pakan

Nilai efisiensi pakan dapat diketahui melalui konsumsi pakan dan PBBH
yang dihasilkan selama pemeliharaan. Hasil pada Tabel 6 menunjukan
pertambahan bobot badan dan efisiensi pakan sapi Bali yang disuplementasi
probiotik dan PE. Hasil pengukuran BB awal sapi Bali menunjukkan tidak
terdapat perbedaan nyata, artinya bobot badan awal tidak menjadi pembatas jika
diberikan perlakuan. Suplementasi probiotik tidak berpengaruh pada peningkatan
pertambahan bobot badan (PBB), bobot badan akhir, laju pertumbuhan dan
efisiensi pakan sapi. Sapi potong yang digunakan dalam penelitian ini adalah sapi
Bali, pertambahan bobot badan P0 adalah 325.00±234.72 g ekor-1 hari-1; P1
375.00±202.53 g ekor-1 hari-1; P2 216.67±265.27 g ekor-1 hari-1, beberapa hasil
penelitian melaporkan bahwa secara genetik, laju pertumbuhan sapi Bali lebih
lambat, namun dengan pemberian pakan berkualitas baik sapi Bali mampu
tumbuh dengan PBB 660 g hari-1, namun penelitian lain juga membuktikan bahwa
sapi Bali mampu menghasilkan PBB 700 hingga 800 g hari-1 (Talib dan Siregar
1991; Mastika 2002).
Efisiensi adalah pertambahan bobot badan harian yang dibagi dengan
jumlah komsumsi bahan kering, artinya semakin tinggi nilai efisiensi maka
semakin bagus ternak menghasilkan bobot badan dari pakan yang dikonsumsi.
Nilai efisiensi penggunaan pakan tergolong cukup baik yaitu P0 sebesar
7.82±5.65; P1 sebesar 9.00±4.84; dan P2 5.19±6.36, menurut Siregar (2001)
efisiensi penggunaan pakan untuk sapi potong berkisar di antara 7.52 dan 11.29%.
12

Nilai efisiensi penggunaan pakan yang semakin tinggi menunjukkan bahwa


ransum yang dikonsumsi semakin sedikit untuk menghasilkan pertambahan bobot
badan. Efisiensi penggunaan pakan dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya
kemampuan ternak dalam mencerna bahan pakan, kecukupan zat pakan untuk
hidup pokok, pertumbuhan dan fungsi tubuh serta jenis pakan yang digunakan
(Sagala 2011).

Tabel 5 Pertambahan bobot badan dan efisiensi pakan sapi potong yang
disuplementasi oleh probiotik dan PE
Perlakuan
Parameter
P0 P1 P2
Konsumsi
Konsumsi hi~fer
4.61 ± 0.010 4.62 ± 0.005 4.63 ± 0.002
(kg)
Konsumsi konsentrat
3.70 ± 0.016 3.69 ± 0.031 3.72 ± 0.011
(kg)
Bobot badan awal
217.50 ± 6.56 208.13 ± 4.46 207.13 ± 16.55
(kg ekor-1 hari-1)
Bobot badan akhir
227.25 ± 13.20 219.38 ± 7.59 213.63 ± 12.36
(kg ekor-1 hari-1)
Pertambahan bobot badan
325.00 ± 234.72 375.00 ± 202.53 216.67 ± 265.27
(g ekor-1 hari-1)
Laju pertumbuhan
4.42 ± 3.13 5.41 ± 2.92 3.32 ± 4.25
(% hari-1)
Efisiensi pakan (%) 7.82 ± 5.65 9.00 ± 4.84 5.19 ± 6.36
Keterangan : P0 = ransum kontrol, P1 = ransum kontrol + PE 3% dari bobot konsetrat, P2 =
ransum kontrol + PE 3% dari bobot konsetrat + Probiotik (dosis probiotik Sacharomyces
cereviseae sebesar 5 x 1010 cfu kg-1 ransum dan dosis MR4 sebesar 5 x 107 cfu kg-1 ransum).

Hasil pengukuran laju pertumbuhan menunjukkan rataan laju pertumbuhan


pada perlakuan P0, P1, P2 masing-masing sebesar 4.42±3.13% hari-1, 5.41±2.92%
hari-1, dan 3.32±4.25% hari-1. Tingginya nilai PBB pada perlakuan P1 diiringi
dengan tingginya nilai efisiensi pakan yaitu sebesar 9.00±4.84%, lebih tinggi
dibandingkan P0 dengan efisiensi pakan sebesar 7.82±5.65%, serta P2 dengan
efisiensi pakan sebesar 5.19±6.36%. Beberapa faktor yang mempengaruhi
efisiensi pakan antara lain umur, kualitas pakan, dan bobot badan. Semakin baik
kualitas pakan semakin baik pula efisiensi pembentukan energi dan produksi
(Pond et al. 2005).

Pengaruh Perlakuan terhadap IOFC

Penghitungan IOFC dilakukan untuk mengetahui nilai ekonomis pakan


terhadap pendapatan petani ternak sapi potong. Tabel 6 menunjukan penerimaan
yang didapatkan terhadap penambahan PE dan probiotik pada ransum.
13

Tabel 6 Penerimaan yang didapatkan terhadap penambahan PE dan


probiotik pada ransum
Perlakuan
Parameter
P0 P1 P2
Biaya ransum total 360 648 361 722 366 258
Konsentrat 277 650 276 600 278 850
Hi~fer 82 998 83 142 83 268
PE 0 1980 1 980
Probiotik 0 0 2 160
Harga pembelian 9 135 000 8 741 460 8 699 460
Harga penjualan 12 044 250 11 627 140 11 322 390
IOFC 2 548 602 2 523 958 2 256 672
Keterangan : P0 = ransum kontrol, P1 = ransum kontrol + PE 3% dari bobot konsetrat, P2 =
ransum kontrol + PE 3% dari bobot konsetrat + Probiotik (dosis probiotik Sacharomyces
cereviseae sebesar 5 x 1010 cfu kg-1 ransum dan dosis MR4 sebesar 5 x 107 cfu kg-1 ransum).
Parameter dalam Rp

IOFC adalah konsep untuk mengetahui analisis usaha sebagai indikator awal
kegiatan penggemukan sapi potong dalam jangka pendek (Priyanti et al.2012).
Perhitungan IOFC dilakukan untuk mengetahui nilai ekonomis pakan terhadap
pendapatan petani ternak sapi potong. IOFC merupakan selisih antara penerimaan
dengan biaya pakan (Mayulu et al. 2009). Penerimaan merupakan perkalian antara
produksi peternakan atau bobot hidup dengan harga jual, sedangkan biaya pakan
adalah biaya yang dikeluarkan untuk menghasilkan pertambahan bobot badan
ternak (Prasetiyo 2013). Harga bakalan yang dibeli pada awal periode
pemeliharaan adalah Rp42 000 kg bobot hidup-1, sedangkan harga jual sapi setelah
periode pemeliharaan adalah Rp53 000 kg bobot hidup-1. Tabel 6 menunjukan
penerimaan yang lebih tinggi pada P0 sebesar Rp2 548 602 kg bobot hidup, jika
dibandingkan P1 sebesar Rp2 523 958 kg bobot hidup, dan P2 sebesar
Rp2 256 672 kg bobot hidup. Besar dan kecil pendapatan yang diperoleh
dipengaruhi oleh PBB, Nurdiati et al. (2012) mengatakan bahwa keuntungan yang
rendah disebabkan oleh nilai income yang berasal dari PBB sangat rendah
sehingga bobot akhir juga rendah pada periode yang sama. Nilai PBB mempunyai
pengaruh yang sangat besar dalam memperoleh income, sehingga hal-hal yang
mempengaruhi PBB perlu perhatian yang sangat besar agar mendapat PBB yang
maksimal dan dapat menghasilkan keuntungan semaksimal mungkin.
Mulyaningsih (2006) menambahkan faktor yang dapat berpengaruh penting dalam
perhitungan IOFC adalah bobot badan awal, bobot badan akhir, pertambahan
bobot badan selama pemeliharaan, konsumsi pakan, dan harga pakan.

Hubungan dan Pengaruh antar Faktor-faktor Peubah


Peubah yang diukur dalam penelitian ini adalah konsumsi hi~fer,
konsumsi konsentrat, konsumsi probiotik, konsumsi PE, NH3, H2S, PBB, laju
pertumbuhan, dan efisiensi pakan. Berdasarkan hasil uji statistik menggunakan
SPSS terdapat peubah-peubah yang saling berkorelasi ataupun tidak berkorelasi.
14

Produksi gas NH3 tidak berkorelasi terhadap perlakuan yang diberikan, sedangkan
produksi gas H2S berkorelasi positif terhadap total feses yang dihasilkan
Korelasi (P<0.05) yang kuat terdapat antara konsumsi konsentrat dan
konsumsi hi~fer dimana kenaikan konsumsi konsentrat secara positif berkaitan
kenaikan konsumsi hi~fer, terdapat korelasi (P<0.01) yang sangat kuat antara
konsumsi hifer secara positif pada penambahan probiotik dalam konsentrat, serta
terdapat korelasi (P<0.01) yang sangat kuat antara PBB, efisiensi pakan, dan laju
pertumbuhan secara positif. Penggunaan molase yang berlebihan dalam penelitian
tidak berbeda nyata (P>0.05) pada faktor peubah lainnya, hasil pengamatan
lapang menunjukan bahwa sapi tersebut mengalami diare.
Hasil uji t menunjukan bahwa nilai t hitung lebih besar dari pada t tabel
(3.010>2.2009) sehingga H0 diterima yang artinya terdapat pengaruh antara bobot
feses dan H2S, hal ini didukung oleh nilai signifikasi dari koefisien regresi bobot
feses sebesar 0.013<0.05. Berdasarkan Hartono (2008) koefisien a pada fungsi
linear y= a + bx menyatakan perubahan rata-rata variable y untuk setiap
perubahan variable x sebesar satu unit. Gambar grafik di atas didapat fungsi linear
untuk mengetahui pengaruh kenaikan produksi gas hidrogen sulfida oleh jumlah
kotoran sapi memiliki persamaan linear Y= 0.0013 + 0.000000988x dimana
kenaikan y atau produksi hidrogen sulfida untuk 1 g feses segar adalah
0.000000988 g H2S 24 jam-1. Kenaikan produksi H2S terhadap bobot feses dapat
dikatakan sangat kecil, hal ini didukung oleh koefisien determinasi (r2) sebesar
0.475 yang artinya bobot feses hanya dapat menjelaskan produksi H2S sebesar
47.5% sedangkan sisanya 52.5% dijelaskan oleh variabel lain diluar bobot feses.

0.012
Produksi H2S (g H2S 24 jam-1)

0.01

0.008

0.006

0.004

0.002

0
0.00 2000.00 4000.00 6000.00 8000.00 10000.00
Bobot feses (g segar 24 jam-1)

Gambar 3 Hubungan linier total feses dengan kadar H2S feses

Berdasarkan Gambar 3 terlihat titik-titik yang menggambarkan data


menyebar di sekitar garis diagonal dan tetap mengikuti arah garis diagonal, hal ini
menunjukan hasil dengan data yang terdistribusi normal sehingga sampel dalam
penelitian ini layak untuk dilakukan penelitian lebih lanjut (Ghozali 2005).
15

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Penambahan PE dan probiotik dalam ransum sapi pedaging belum dapat


mengurangi kadar gas H2S dan NH3 pada feses sapi secara nyata. Penambahan
probiotik belum memberikan pengaruh pada peningkatan pertambahan bobot
badan harian, bobot badan akhir, laju pertumbuhan dan efisiensi pakan sapi.
Terdapat hubungan dan pengaruh produksi H2S terhadap bobot feses. Produksi
gas H2S dapat dikurangi dengan mengurangi produksi feses atau perbaikan
kecernaan ransum akan meminimalkan produksi H2S.

Saran

Perlu dilakukan uji penambahan dosis probiotik dan PE secara tepat pada
percobaan in vivo pada ternak sapi serta perlu perbaikan mutu konsentrat yang
diproduksi CV Anugrah Farm. Waktu aerasi saat analisis perhitungan gas dan
larutan pereaksi perlu ditambahkan sehingga hasil yang didapatkan lebih baik.

DAFTAR PUSTAKA

Alsaikh MA, MY Alsiadi, M Zahran, HH Mogawer, TA Aalshowime. 2002.


Effect of feeding yeast culture from different sources on the performance of
lactating Holstein cows in Saudi Arabia. Asian-Aust. J. Anim. Sci. 15 (3) :
352-356.
Amin M. 1997. Pengaruh penggunaan Saccharomyces cerevisae dan Aspergillus
oryzae dalam ransum pada populasi mikroba, aktivitas fermentasi rumen,
kecernaan dan pertumbuhan sapi perah dara. [tesis]. Bogor (ID): Institut
Pertanian Bogor.
Astutik SIB. M Arifin, WS Dilaga. 2002. Respon sapi PO berbasis pakan jerami
padi terhadap berbagai formula “urea molases blok”. Seminar Nasional
Teknologi Peternakan dan Veteriner. Semarang (ID) : Universitas
Diponegoro.
Agustyaningsih, Bidura, Utami. 2015. Suplementasi probiotik saccharomyces sp.
kompleks dalam ransum terhadap bobot potong dan karkas broiler. Journal
of tropica animal science 3 (1) : 133-145.
Arora SP. 1989. Pencernaan Mikroba pada Ruminansia. Gadjah Mada University
Press (ID): Yogyakarta.
Barrow, PA 1992. Probiotics for Chickens. In : R. Fuller. 1st Ed. Probiotics The
Scientific Basic. London (UK) : Chapman and Hall.
Casey KD, JR Bicudo, DR Schimidt, A Singh, SW Gay, RS Gates, LD Jacobson,
SJ Haff. 2006. Air quality and emission from livestock and poultry
production waste management system in animal agriculture and the
environment. Michigan (AS): American Society of Agricultural and
Biological Engineers
16

Charalampopoulos D, Rastal RA. 2009. Prebiotics and Probiotics Science and


Technology. LLC. New York (US): Springer Science.
Chen J dan PJ Weimer. 2001. Competition Among These Predominant Ruminal
Cellulolytic Bacteria In the Absence or Presence of non-Cellulolytic
Bacteria. Journal of Enviromental Microbiologi 147 : 21-30.
Cheeke PR, Ellen SD. 2010. Comparative Animal Nutrition and Metabolism.
Cambridge (UK) : CABI.
Elgayyar M, Draughon FA, Golden DA, Mounth JR. 2001. Antimicrobial activity
of esential oil from plants againts selected pathogenic and saprophytic
microorganism. Curr. Microbiol 41 : 336-340.
Ghozali I. 2005. Aplikasi Analisis Multivariate dengan Program SPSS. Semarang
(ID): Badan Universitas Diponegoro.
Hartono. 2008. SPSS 16.0 Analisis Data Statistika dan Penelitian. Yogyakarta
(ID): Pustaka Pelajar.
Jayanegara A, AS Tjakradidjaja, dan T Sutardi. 2006. Fermentabilitas dan
kecernaan in Vitro ransum limbah agroindustri yang disuplementasi
kromium anorganik dan organik. Media Peternakan 29 (2): 54-62.
Khanal SK. 2008. Anaerobic Biotechnology for Bioenergy Production. Lowa
(US): John Wiley dan Sons.
Krasaekoopt WB, Bhandari, Deeth H. 2003. Evaluation of encapsulation
techniques of probiotics for yoghurt. International Dairy Journal. 13: 3-13.
Lalman D. 2001. Nutrient Requirement of Beef Cattle. (US) : Oklahoma State
University.
Lushchak VI. 2006. Budding yeast Saccharomyces cerevisiae as a model to study
oxidative modification of proteins in eukaryotes. J. Acta Biochemica
Polonica (53) 4: 679-684.
Mayulu H, B. Suryanto, Sunarso, M Christiyanto, F I Ballo, Refa’i. 2009.
feasibility of complete feed based on ammonitiated fermented Rice Straw
utilization on the beef cattle farming. J. I. Tropic. Anim. Agri. 34: 74-78.
Muchayani D. 2013. Efektivitas penggunaan probiotik padat dan cair untuk
menurunkan kadar amoniak (NH3) dan hidrogen sulfida (H2S) feses sapi
potong [Skripsi] Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor.
Mulyaningsih T. 2006. Penampilan domba ekor tipis (Ovies aries) jantan yang
digemukan dengan beberapa imbangan konsentrat dan rumput gajah
(Pennisetum purpureum) [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Nurdiati, Handayanta, Lutojo. 2012. Efisiensi produksi sapi potong pada musim
kemarau di peternakan rakyat daerah pertanian lahan kering kabupaten
Gunung Kidul. Tropical Animal Husbandry 1 (1) : 52-58.
Nuswantara LK, M Soejono, R Utomo, BP Widyobroto, dan H Hartadi. 2006.
Parameter fermentasi rumen pada sapi Peranakan Friesian Holstein yang
diberi pakan basal jerami padi dengan suplementasi sumber nitrogen dan
energi berbeda. Jurnal Pengembangan Peternakan Tropis 31: 268-275.
Ogimoto K, Imai S. 1981. Atlas of Rumen Microbiology. Tokyo (JP) : Japan
Scientific Societies Press.
Pond, W.G., D.C. Church, K.R. Pond and P.A. Schoknecht. 2005. Basic Animal
Nutrition and Feeding. Fifth Ed. John Wiley and Sons, Inc. United States.
91- 109.
17

Priyanti A, Mahendri IGAP, Cahyadi F, Cramb RA. 2012. Income over feed cost
for small-to medium-scale beef cattle fattening operation in East Java
[terhubung berkala] tersedia pada : http://www. jppt.undip.ac.id.
Prasetyo AB. 2013. Partisipasi pelaksanaan program sarjana membangun
desadalam pengembangan sapi potong di Kabupaten Bantul Daerah
IstimewaYogyakarta [Tesis]. Yogyakarta (ID) : Universitas Gadjah Mada.
Rachmawati S. 2000. Upaya pengelolaan lingkungan usaha peternakan ayam.
Wartazoa. 9(2) : 73–79.
Ranjhan SK. 1981. Animal Nutrition in Tropics2nd Revised Edition. Vikas
Publishing House PVT LTD, New Delhi (IN): India
Riswandi, Muhakka, Lehan. 2015. Evaluasi nilai kecernaan secara in vitro ransum
ternak sapi bali yang disuplementasi dengan probiotik bioplus. Jurnal
Peternakan Sriwijaya Vol. 4(1) : 35-46
Riyanti, Suryahadi, Evvyernie. 2016. In vitro fermentation characteristic and
rumen microbial population of diet suplemented with saccharomyces
cerevisiae and rumen microbe probiotics. Media peternakan 39(1) : 40-45.
Saputra, Chuzaemian, Marjuki. 2013. Pengaruh penambahan probiotik pada pakan
ternak ruminansia terhadap kecernaan, produksi NH3, dan VFA secara in
vitro [terhubung berkala] tersedia pada : http://fapet.ub.ac.id/wp-
content/uploads/2013/04/Pengaruh-Penambahan-Probiotik-Pada-Pakan-
Ternak-Ruminansia-Terhadap-Kecernaan-Produksi-Nh3-Dan-Vfa-Secara-
In-Vitro.pdf.
Sagala W. 2011. Analisis biaya pakan dan performa sapi potong lokal pada
ransum hijauan tinggi yang disuplementasi ekstrak lerak apindus rarak
[Skripsi] Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor.
Sisriyeni D. 2013. Isolasi bakteri yang mampu mendegradasi aflatoksin di rumen
[Thesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Siregar S. 2001. Ransum Ternak Ruminansia. Jakarta (ID) : Penebar Swadaya.
Suijah. 1990. Penambahan zeolit dalam ransum komersial untuk meningkatkan
produksi broiler dan mengurangi kadar amonia dan air feses [skripsi]. Bogor
(ID): Institut Pertanian Bogor.
Suryahadi, KG Wiryawan, D Evvyernie, D Pantaya, D Sisriyeni. 2012.
Penggunaan probiotik sebagai agen detoksifikasi mikotoksin pada
ruminansia. Makalah Seminar Hasil-Hasil Penelitian Institut Pertanian
Bogor. Bogor (ID): LPPM IPB.
Suryahadi, Tjakradidjaja AS. 2012. Pengujian mutu dan efikasi probiotik BAL
Biofeed dan Turrimavita. Laporan penelitian kerjasama Centras LPPM IPB
dengan CV Sinar Aras.
Suryahadi, Tjakradidjaja AS. 2013. Pengembangan teknologi probiotik untuk
detoksifikasi aflatoksin dan peningkatan produktivitas sapi perah. Laporan
Akhir Penelitian Unggulan sesuai Mandat Pusat.
Usri RS. 1988. Alteration of the morphology and neurochemistry of the
developing nervous system by hydrogen sulfide. J. Pharmacol Physiol 22 :
379-380.
Talib C dan AR Siregar. 1991 Productivity of Bali cattle in Timor’s savanna.
Seminar Nasional Proc. Improving Productivity of Animal Husbandry and
Fisheries. Semarang (ID) : Universitas Diponegoro.
Wahyuni HE. 2002. Penggunaan Klinofeed (Klinoptilolit) sebagai adsorban gas
18

amonia dan hydrogen sulfide manur ayam broiler [skripsi]. Bogor (ID) :
Institut Pertanian Bogor.
Wang Y, Cho JH, Chen YJ, Yoo JS, Huang Y, Kim HJ, Kim IH. 2009. The effect
of probiotic bioPlus 2B® on growth performance, dry matter and nitrogen
digestibility and slurry noxious gas emission in growing pigs. Livestock Sci.
120 : 35-42.
Xuan ZN, Kim JD, Neo KN, Jung JH, Lee JH, Han YK, Kim YY,Han IK. 2001.
Study on development of a probiotics complexfor weaned pigs. Asian - Aust.
J Anim. Sci. 14(10): 1425-1428.
Yan L, Meng QW, Wang JP, Kim IH. 2010. Effects of dietary soybean hulls and
Lactobacillus reuteri on growth performance, nutrient digestibility and
noxious gas emission from feces and slurry in finishing pigs. Wayamba J
Anim Sci. 1(129239813) : 53-56.
19

LAMPIRAN

Lampiran 1 Analisis ragam (ANOVA) dengan Ms. Excel terhadap pengaruh


penambahan PE dan probiotik pada ransum terhadap rataan produksi
NH3 feses
sk db JK KT Fhit F0.05 F0.01
total 11 0.005181
perlakuan 2 0.000307 0.000154 0.041041 5.143253 10.92477
kelompok 3 0.016957 0.005652 1.511015 4.757063 9.779538
eror 6 0.022445 0.003741

Lampiran 2 Analisis ragam (ANOVA) dengan Ms. Excel terhadap pengaruh


penambahan PE dan probiotik pada ransum terhadap rataan produksi
NH3 BK feses
sk db JK KT Fhit F0.05 F0.01
total 11 0.117916
perlakuan 2 0.00608 0.00304 0.772801 5.143253 10.92477
kelompok 3 0.088232 0.029411 7.47635 4.757063 9.779538
eror 6 0.023603 0.003934

Lampiran 3 Analisis ragam (ANOVA) dengan Ms. Excel terhadap pengaruh


penambahan PE dan probiotik pada ransum terhadap rataan produksi
H2S feses
sk db JK KT Fhit F0.05 F0.01
total 11 0.000024
1.10413E-
perlakuan 2 2.21E-06 0.434144 5.143253 10.92477
06
2.03324E-
kelompok 3 6.1E-06 0.799469 4.757063 9.779538
06
2.54324E-
eror 6 1.53E-05
06

Lampiran 4 Analisis ragam (ANOVA) dengan Ms. Excel terhadap pengaruh


penambahan PE dan probiotik pada ransum terhadap rataan produksi
H2S BK feses
Sk db JK KT Fhit F0.05 F0.01
total 11 0.000882
perlakuan 2 5.41E-05 2.70413E-05 0.415635 5.143253 10.92477
kelompok 3 0.000437 0.000145829 2.241454 4.757063 9.779538
eror 6 0.00039 6.50601E-05
20

Lampiran 5 Analisis ragam (ANOVA) dengan SPSS terhadap pengaruh perlakuan


terhadap konsumsi hi~fer
SK JK Db KT F Hitung Sig.
Perlakuan 6.966 2 3.483 6.907 0.028 *
Kelompok 1.493 3 0.498 0.987 0.460
Error 3.025 6 0.504
Total 11732261.921 12
Corrected Total 11.484 11

Lampiran 6 Analisis ragam (ANOVA) dengan SPSS pada pengaruh perlakuan


terhadap konsumsi konsentrat
SK JK Db KT F Hitung Sig.
Perlakuan 244.667 2 122.333 0.872 0.465
Kelompok 774.250 3 258.083 1.839 0.241
Error 842.000 6 140.333
Total 118022085.000 12
Corrected Total 1860.917 11

Lampiran 7 Analisis ragam (ANOVA) dengan SPSS pada pengaruh perlakuan


terhadap bobot awal
SK JK Db KT F Hitung Sig.
Kelompok 574.062 3 191.354 8.022 0.016
Perlakuan 231.542 2 115.771 4.853 0.056
Error 143.125 6 23.854
Total 536678.750 12
Corrected Total 948.729 11

Lampiran 8 Analisis ragam (ANOVA) dengan SPSS pada pengaruh perlakuan


terhadap PBBH
SK JK Db KT F Hitung Sig.
Kelompok 0.240 3 0.080 1.856 0.238
Perlakuan 0.052 2 0.026 0.607 0.575
Error 0.259 6 0.043
Total 1.672 12
Corrected Total 0.552 11
21

Lampiran 9 Analisis ragam (ANOVA) dengan SPSS pada pengaruh perlakuan


terhadap laju pertumbuhan
SK JK Db KT F Hitung Sig.
Kelompok 0.016 3 0.005 0.030 0.992
Perlakuan 0.352 2 0.176 1.000 0.422
Error 1.057 6 0.176
Total 1.430 12
Corrected Total 1.425 11

Lampiran 10 Analisis ragam (ANOVA) dengan SPSS pada pengaruh perlakuan


terhadap efisiensi pakan
SK JK Db KT F Hitung Sig.
Kelompok 137.985 3 45.995 1.849 0.239
Perlakuan 30.401 2 15.200 0.611 0.573
Error 149.256 6 24.876
Total 963.855 12
Corrected Total 317.641 11

Lampiran 11 Analisis korelasi dengan SPSS pada peubah bobot feses dengan
produksi gas H2S
Produksi gas H2S
Bobot feses segar Pearson 0.689*
Correlation
Sig. (2-tailed) 0.013

N 12

Lampiran 12 Analisis regresi dengan SPSS pada peubah bobot feses dengan
produksi gas H2S
Linear (ANOVA)
JK dB KT F Sig.
Regression 0.000 1 0.000 9.057 0.013
Residual 0.000 10 0.000
Total 0.000 11

Kuadratik (ANOVA)
JK dB KT F Sig.
Regression 0.000 2 0.000 7.840 0.011
Residual 0.000 9 0.000
Total 0.000 11
22

Kubik (ANOVA)
JK dB KT F Sig.
Regression 0.000 2 0.000 7.840 0.011
Residual 0.000 9 0.000
Total 0.000 11
23

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Sragen pada tanggal 22 Juni
1994. Penulis merupakan anak keempat dari enam
bersaudara dari pasangan Bapak Hari Basunando dan Ibu
Irma Setyawati. Tahun 2012 penulis lulus dari SMA Negeri
3 Depok dan pada tahun yang sama penulis lulus seleksi
masuk Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Ujian
Talenta Mandiri (UTM) serta diterima di Departemen Ilmu
Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan.
Selama mengikuti perkuliahan, penulis bergabung
dalam Leadership and Entrepreneurship School IPB VIII, Leadership training
ESQ Character Building , UKM Century IPB, Staff of fundraising dies natalis
ISMAPETI ke-31, dan volunteer sekolah peternakan rakyat (SPR) IPB goes to
field (IGTF).

UCAPAN TERIMA KASIH

Alhamdulillahirabbil’alamin, puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat


Allah SWT yang telah memberikan segala nikmat dan karunia sehingga penulis
mampu menyelesaikan skripsi ini. Penulis mengucapkan terima kasih kepada
Ibunda, Ayahanda, Kakak, dan Adik atas segala doa, kasih sayang, dan dukungan
yang selalu memotivasi penulis selama menuntut ilmu. Terima kasih penulis
ucapkan kepada bapak Dr Ir Suryahadi, DEA sebagai pembimbing utama dan
bapak Prof Dr Ir Luki Abdullah, MSc.Agr sebagai pembimbing anggota dan
pembimbing akademik yang telah mengarahkan dan membimbing penulis. Terima
kasih kepada Ibu Dr Ir Dwierra Evvyernie Amirroenas, MS MSc yang telah
memberikan banyak saran kepada penulis. Terima kasih kepada Dr Tuti Suryati
SPt, Msi dan Dr Irma Isniafia SPt, Msi yang telah memberikan nasihat, pelajaran,
dan pengalaman berharga yaitu tentang sebuah kejujuran, amanah, dan tanggung
jawab, serta menjadi pribadi yang lebih bijaksana. Terima kasih kepada seluruh
staf dosen yang telah memberikan banyak ilmu yang bermanfaat dan staf
administrasi Departemen INTP yang banyak membantu dalam hal
administrasi.Terima kasih kepada Prof Juanda selaku pemilik dari CV Anugrah
Farm, serta terima kasih atas segala bantuan seluruh pegawai dari CV Anugrah
Farm yang telah bersedia bekerja sama sehingga penelitian yang dilakukan
berjalan lancar. Terima kasih kepada rekan satu tim yaitu Kak Lilis dan Rabiatul
selama dua bulan penelitian berlangsung saling membantu walaupun banyak
drama, terima kasih kepada My Ladies Isma F dan Febby P yang galak-galak
sayang kepada penulis. Terima kasih kepada Dipa Argadyasto Spt, MSi dan Kak
Yati yang telah banyak memberikan saran dan arahan kepada penulis. Penulis tak
lupa mengucapkan rasa terima kasih kepada seluruh kerabat Centaurus yang
bersama-sama berjuang menempuh pendidikan sarjana. Terima kasih atas bantuan
semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Semoga karya ilmiah ini
bermanfaat.

Anda mungkin juga menyukai