Anda di halaman 1dari 35

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anastesi
Anestesi umum adalah tindakan untuk menghilangkan nyeri secara sentral
disertai dengan hilangnya kesadaran dan bersifat pulih kembali atau reversible.
Anestesi memungkinkan pasien untuk mentoleransi prosedur bedah yang akan
menimbulkan sakit yang tak tertahankan, mempotensiasi eksaserbasi fisiologis
yang ekstrim, dan menghasilkan kenangan yang tidak menyenangkan.
Anestesi memiliki tujuan-tujuan sebagai berikut:
1. Hipnotik/sedasi: hilangnya kesadaran
2. Analgesia: hilangnya respon terhadap nyeri
3. Muscle relaxant: relaksasi otot rangka
2. 1. 1 Pilihan cara anestesi
 Umur
o Bayi dan anak paling baik dengan anestesi umum
o Pada orang dewasa untuk tindakan singkat dan hanya
dipermudahkan dilakukan dengan anestesi local atau umum
 Status fisik
o Riwayat penyakit dan anestesia terdahulu. Untuk mengetahui
apakah pernah dioperasi dan anestesi. Dengan itu dapat
mengetahui apakah ada komplikasi anestesia dan pasca bedah.
o Gangguan fungsi kardiorespirasi berat sedapat mungkin dihindari
penggunaan anestesia umum.
o Pasien gelisah, tidak kooperatif, disorientasi dengan gangguan jiwa
sebaikmya dilakukan dengan anestesia umum.
o Pasien obesitas, bila disertai leher pendek dan besar, sering timbul
gangguan sumbatan jalan napas atas sesudah dilakukan induksi
anestesia. Pilihan anestesia adalah regional, spinal, atau anestesi
umum endotrakeal.

10
 Posisi pembedahan
o Posisi seperti miring, tungkurap, duduk, atau litotomi memerlukan
anestesis umum endotrakea untuk menjamin ventilasi selama
pembedahan.demikian juga pembedahan yang berlangsung lama.
 Keterampilan dan kebutuhan dokter pembedah
o Memilih obat dan teknik anestesi juga disesuaikan dengan
keterampilan dan kebutuhan dokter bedah antara lain teknik
hipotensif untuk mengurangi perdarahan, relaksasi otot pada
laparotomi, pemakaian adrenalin pada bedah plastik dan lain-lain.
 Keterampilan dan pengalaman dokter anestesiologi
 Keinginan pasien
 Bahaya kebakaran dan ledakan
o Pemakaian obat anestesia yang tidak terbakar dan tidak eksplosif
adalah pilah utama pada pembedahan dengan alat elektrokauter.
2.1.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi anestesi umum:
 Faktor respirasi
Pada setiap inspirasi sejumlah zat anestesika akan masuk ke dalam
paru-paru (alveolus). Dalam alveolus akan dicapai suatu tekanan
parsial tertentu. Kemudian zat anestesika akan berdifusi melalui
membrane alveolus. Epitel alveolus bukan penghambat disfusi zat
anestesika, sehingga tekanan parsial dalam alveolus sama dengan
tekanan parsial dalam arteri pulmonarsi. Hal- hal yang mempengaruhi
hal tersebut adalah:
 Konsentrasi zat anestesika yang dihirup/ diinhalasi; makin tinggi
konsentrasinya, makin cepat naik tekanan parsial zat anestesika
dalam alveolus.
 Ventilasi alveolus; makin tinggi ventilasi alveolus, makin cepat
meningginya tekanan parsial alveolus dan keadaan sebaliknya pada
hipoventilasi.
 Faktor sirkulasi
Terdiri dari sirkulasi arterial dan sirkulasi vena
Factor-faktor yang mempengaruhi:

11
1. Perubahan tekanan parsial zat anestesika yang jenuh dalam
alveolus dan darah vena. Dalam sirkulasi, sebagian zat anestesika
diserap jaringan dan sebagian kembali melalui vena.
2. Koefisien partisi darah/ gas yaitu rasio konsentrasi zat anestesika
dalam darah terhadap konsentrasi dalam gas setelah keduanya
dalam keadaan seimbang.
3. Aliran darah, yaitu aliran darah paru dan curah jantung. Makin
banyak aliran darah yang melalui paru makin banyak zat anestesika
yang diambil dari alveolus, konsentrasi alveolus turun sehingga
induksi lambat dan makin lama waktu yang dibutuhkan untuk
mencapai tingkat anesthesia yang adekuat.
 Faktor jaringan
1. Perbedaan tekanan parsial obat anestesika antara darah arteri dan
jaringan.
2. Koefisien partisi jaringan/darah: kira-kira 1,0 untuk sebagian besar
zat anestesika, kecuali halotan.
3. Aliran darah terdapat dalam 4 kelompok jaringan:
a) Jaringan kaya pembuluh darah (JKPD) : otak, jantung,
hepar, ginjal. Organ-organ ini menerima 70-75% curah
jantung hingga tekanan parsial zat anestesika ini meninggi
dengan cepat dalam organ-organ ini. Otak menerima 14%
curah jantung.
b) Kelompok intermediate : otot skelet dan kulit.
c) Lemak : jaringan lemak
d) Jaringan sedikit pembuluh darah (JSPD) : relative tidak ada
aliran darah : ligament dan tendon.
 Faktor zat anestesika
Bermacam-macam zat anestesika mempunyai potensi yang
berbeda-beda. Untuk menentukan derajata potensi ini dikenal adanya
MAC (minimal alveolar concentration atau konsentrasi alveolar
minimal) yaitu konsentrasi terendah zat anestesika dalam udara
alveolus yang mampu mencegah terjadinya tanggapan (respon)

12
terhadap rangsang rasa sakit. Makin rendah nilai MAC, makin tinggi
potensi zat anestesika tersebut.
2.1.3 Tahapan Tindakan Anastesi Umum
I. Penilaian dan persiapan pra anestesia
Persiapan prabedah yang kurang memadai merupakan faktor
terjadinya kecelakaan dalam anestesia. Sebelum pasien dibedah
sebaiknya dilakukan kunjungan pasien terlebih dahulu sehingga pada
waktu pasien dibedah pasien dalam keadaan bugar. Tujuan dari
kunjungan tersebut adalah untuk mengurangi angka kesakitan operasi,
mengurangi biaya operasi dan meningkatkan kualitas pelayanan
kesehatan.
I.1 Penilaian pra bedah
Anamnesis
Riwayat tentang apakah pasien pernah mendapat anestesia
sebelumnya sangatlah penting untuk mengetahui apakah ada hal-hal
yang perlu mendapat perhatian khusus,misalnya alergi, mual-muntah,
nyeri otot, gatal-gatal atau sesak nafas pasca bedah, sehingga dapat
dirancang anestesia berikutnya dengan lebih baik. Beberapa penelitian
menganjurkan obat yang kiranya menimbulkan masalah dimasa
lampau sebaiknya jangan digunakan ulang, misalnya halotan jangan
digunakan ulang dalam waktu tiga bulan, suksinilkolin yang
menimbulkan apnoe berkepanjangan juga jangan diulang. Kebiasaan
merokok sebaiknya dihentikan 1-2 hari sebelumnya
Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan gigi-geligi, tindakan buka mulut, lidah relatif besar
sangat penting untuk diketahui apakah akan menyulitkan tindakan
laringoskopi intubasi. Leher pendek dan kaku juga akan menyulitkan
laringoskopi intubasi.
Pemeriksaan rutin secara sistemik tentang keadaan umum tentu
tidak boleh dilewatkan seperti inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi
semua system organ tubuh pasien.

13
Pemeriksaan laboratorium
Uji laboratorium hendaknya atas indikasi yang tepat sesuai dengan
dugaan penyakit yang sedang dicurigai. Pemeriksaan yang dilakukan
meliputi pemeriksaan darah kecil (Hb, lekosit, masa perdarahan dan
masa pembekuan) dan urinalisis. Pada usia pasien diatas 50 tahun ada
anjuran pemeriksaan EKG dan foto thoraks.
Kebugaran untuk anestesia
Pembedahan elektif boleh ditunda tanpa batas waktu untuk
menyiapkan agar pasien dalam keadaan bugar, sebaliknya pada operasi
sito penundaan yang tidak perlu harus dihindari.
Klasifikasi status fisik
Klasifikasi yang lazim digunakan untuk menilai kebugaran fisik
seseorang adalah yang berasal dari The American Society of
Anesthesiologists (ASA). Klasifikasi fisik ini bukan alat prakiraan
resiko anestesia, karena dampaksamping anestesia tidak dapat
dipisahkan dari dampak samping pembedahan.
Kelas I : Pasien sehat organik, fisiologik, psikiatrik, biokimia.
Kelas II : Pasien dengan penyakit sistemik ringan atau sedang.
Kelas III : Pasien dengan penyakit sistemik berat, sehingga aktivitas
rutin terbatas.
Kelas IV : Pasien dengan penyakit sistemik berat tak dapat
melakukan aktivitas rutin dan penyakitnya merupakan
ancaman kehidupannya setiap saat.
Kelas V : Pasien sekarat yang diperkirakan dengan atau tanpa
pembedahan hidupnya tidak akan lebih dari 24 jam.
Masukan oral
Refleks laring mengalami penurunan selama anestesia. Regurgitasi
isi lambung dan kotoran yang terdapat dalam jalan napas merupakan
risiko utama pada pasien-pasien yang menjalani anestesia. Untuk
meminimalkan risiko tersebut, semua pasien yang dijadwalkan untuk
operasi elektif dengan anestesia harus dipantangkan dari masukan oral
(puasa) selamaperiode tertentu sebelum induksi anestesia.

14
Pada pasien dewasa umumnya puasa 6-8 jam, anak kecil 4-6 jam
dan pada bayi 3-4 jam. Makanan tak berlemak diperbolehkan 5 jam
sebeluminduksi anestesia. Minuman bening, air putih teh manis sampai
3 jam dan untuk keperluan minumobat air putih dalam jumlah terbatas
boleh 1 jam sebelum induksi anestesia.
I.2 Premedikasi
Sebelum pasien diberi obat anestesia, langkah selanjutnya adalah
dilakukan premedikasi yaitu pemberian obat sebelum induksi
anestesia diberi dengan tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan
dan bangun dari anestesi diantaranya:
1. Menimbulkan rasa nyaman bagi pasien
a. Menghilangkan rasa khawatir melalui:
i. Kunjungan pre anestesi
ii. Pengertian masalah yang dihadapi
iii. Keyakinan akan keberhasilan operasi
b. Memberikan ketenangan (sedative)
c. Membuat amnesia
d. Mengurangi rasa sakit (analgesic non/narkotik)
e. Mencegah mual dan muntah
2. Memudahkan atau memperlancar induksi
a. Pemberian hipnotik sedative atau narkotik
3. Mengurangi jumlah obat-obat anestesi
a. Pemberian hipnotik sedative atau narkotik
4. Menekan refleks-refleks yang tidak diinginkan (muntah/liur)
5. Mengurangi sekresi kelenjar saliva dan lambung
a. Pemberian antikolinergik atropine, primperan, rantin, H2
antagonis
6. Mengurangi rasa sakit
Waktu dan cara pemberian premedikasi:
Pemberian obat secara subkutan tidak akan efektif dalam1 jam,
secara intramuscular minimum harus ditunggu 40 menit. Pada kasus
yang sangat darurat dengan waktu tindakan pembedahan yang tidak

15
pasti obat-obat dapat diberikan secara intravena. Obat akan sangat
efektif sebelum induksi. Bila pembedahan belum dimulai dalam waktu
1 jam dianjurkan pemberian premedikasi intramuscular, subkutan tidak
dianjurkan. Semua obat premedikasi bila diberikan secara intravena
dapat menyebabkan sedikit hipotensi kecuali atropine dan hiosin. Hal
ini dapat dikurangi dengan pemberian secara perlahan-lahan dan
diencerkan.
Obat-obat yang sering digunakan:
1. Analgesik narkotik
a. Petidin ( amp 2cc = 100 mg), dosis 1-2 mg/kgBB
b. Morfin ( amp 2cc = 10 mg), dosis 0,1 mg/kgBB
c. Fentanyl ( fl 10cc = 500 mg), dosis 1-3µgr/kgBB
2. Analgesik non narkotik
a. Ponstan
b. Tramol
c. Toradon
3. Hipnotik
a. Ketamin ( fl 10cc = 100 mg), dosis 1-2 mg/kgBB
b. Pentotal (amp 1cc = 1000 mg), dosis 4-6 mg/kgBB
4. Sedatif
a. Diazepam/valium/stesolid ( amp 2cc = 10mg), dosis 0,1
mg/kgBB
b. Midazolam/dormicum (amp 5cc/3cc = 15 mg),dosis
0,1mg/kgBB
c. Propofol/recofol/diprivan (amp 20cc = 200 mg), dosis 2,5
mg/kgBB
d. Dehydrobenzperidon/DBP (amp 2cc = 5 mg), dosis 0,1
mg/kgBB
5. Anti emetic
a. Sulfas atropine (anti kolinergik) (amp 1cc = 0,25 mg),dosis
0,001 mg/kgBB
b. DBP

16
c. Narfoz, rantin, primperan.
II. INDUKSI ANASTESI
Merupakan tindakan untuk membuat pasien dari sadar menjadi
tidak sadar, sehingga memungkinkan dimulainya anestesi dan
pembedahan. Induksi dapat dikerjakan secara intravena, inhalasi,
intramuscular atau rectal. Setelah pasien tidur akibat induksi anestesia
langsung dilanjutkan dengan pemeliharaan anestesia sampai tindakan
pembedahan selesai.
Untuk persiapan induksi anestesi diperlukan ‘STATICS’:
S : Scope  Stetoskop untuk mendengarkan suara paru dan jantung.
Laringo-Scope, pilih bilah atau daun (blade) yang sesuai
dengan usia pasien. Lampu harus cukup terang.
T : Tube  Pipa trakea.pilih sesuai usia. Usia < 5 tahun tanpa balon
(cuffed) dan > 5 tahun dengan balon (cuffed).
A : Airway  Pipa mulut faring (Guedel, orotracheal airway) atau pipa
hidung-faring (naso-tracheal airway). Pipa ini untuk
menahan lidah saat pasien tidak sadar untuk menjaga
supaya lidah tidak menyumbat jalan napas.
T : Tape  Plester untuk fiksasi pipa supaya tidak terdorong atau
tercabut.
I : Introducer  Mandrin atau stilet dari kawat dibungkus plastic
(kabel) yang mudah dibengkokan untuk pemandu
supaya pipa trakea mudah dimasukkan.
C : Connector  Penyambung antara pipa dan peralatan anestesia
S : Suction  penyedot lender, ludah danlain-lainnya.
 Induksi intravena
o Paling banyak dikerjakan dan digemari. Induksi intravena
dikerjakan dengan hati-hati, perlahan-lahan, lembut dan
terkendali. Obat induksi bolus disuntikan dalam kecepatan
antara 30-60 detik. Selama induksi anestesi, pernapasan pasien,
nadi dan tekanan darah harsu diawasi dan selalu diberikan
oksigen. Dikerjakan pada pasien yang kooperatif.

17
o Obat-obat induksi intravena:
 Tiopental (pentotal, tiopenton) amp 500 mg atau
1000 mg
sebelum digunakan dilarutkan dalam akuades steril
sampai kepekatan 2,5% ( 1ml = 25mg). hanya boleh
digunakan untuk intravena dengan dosis 3-7 mg/kg
disuntikan perlahan-lahan dihabiskan dalam 30-60 detik.
Bergantung dosis dan kecepatan suntikan tiopental
akan menyebabkan pasien berada dalam keadaan sedasi,
hypnosis, anestesia atau depresi napas. Tiopental
menurunkan aliran darah otak, tekanan likuor, tekanan
intracranial dan diguda dapat melindungi otak akibat
kekurangan O2 . Dosis rendah bersifat anti-analgesi.
 Propofol (diprivan, recofol)
Dikemas dalam cairan emulsi lemak berwarna putih
susu bersifat isotonic dengan kepekatan 1% (1ml = 1o mg).
suntikan intravena sering menyebabkan nyeri, sehingga
beberapa detik sebelumnya dapat diberikan lidokain 1-2
mg/kg intravena.
Dosis bolus untuk induksi 2-2,5 mg/kg, dosis rumatan
untuk anestesia intravena total 4-12 mg/kg/jam dan dosis
sedasi untuk perawatan intensif 0.2 mg/kg. pengenceran
hanya boleh dengan dekstrosa 5%. Tidak dianjurkan untuk
anak < 3 tahun dan pada wanita hamil.
 Ketamin (ketalar)
Kurang digemari karena sering menimbulkan
takikardia, hipertensi, hipersalivasi, nyeri kepala, pasca
anestesia dapat menimbulkan mual-muntah, pandangan
kabur dan mimpi buruk. Sebelum pemberian sebaiknya
diberikan sedasi midazolam (dormikum) atau diazepam
(valium) dengan dosis0,1 mg/kg intravena dan untuk
mengurangi salvias diberikan sulfas atropin 0,01 mg/kg.

18
Dosis bolus 1-2 mg/kg dan untuk intramuscular 3-10 mg.
ketamin dikemas dalam cairan bening kepekatan 1% (1ml =
10mg), 5% (1 ml = 50 mg), 10% ( 1ml = 100 mg).
 Opioid (morfin, petidin, fentanil, sufentanil)
Diberikan dosis tinggi. Tidak menggaggu
kardiovaskular, sehingga banyak digunakan untuk induksi
pasien dengan kelianan jantung. Untuk anestesia opioid
digunakan fentanil dosis 20-50 mg/kg dilanjutkan dosis
rumatan 0,3-1 mg/kg/menit.

 Induksi intramuscular
Sampai sekarang hanya ketamin (ketalar) yang dapat diberikan
secara intramuskulardengan dosis 5-7 mg/kgBB dan setelah 3-5 menit
pasien tidur.
 Induksi inhalasi
o N2O (gas gelak, laughing gas, nitrous oxide, dinitrogen
monoksida) berbentuk gas, tak berwarna, bau manis, tak
iritasi, tak terbakar dan beratnya 1,5 kali berat udara.
Pemberian harus disertai O2 minimal 25%. Bersifat anastetik
lemah, analgesinya kuat, sehingga sering digunakan untuk
mengurangi nyeri menjelang persalinan. Pada anestesi inhalasi
jarang digunakan sendirian, tapi dikombinasi dengan salah satu
cairan anastetik lain seperti halotan.
o Halotan (fluotan)
Sebagai induksi juga untuk laringoskop intubasi, asalkan
anestesinya cukup dalam, stabil dan sebelum tindakan diberikan
analgesi semprot lidokain 4% atau 10% sekitar faring laring.
Kelebihan dosis menyebabkan depresi napas, menurunnya tonus
simpatis, terjadi hipotensi, bradikardi, vasodilatasi perifer, depresi
vasomotor, depresi miokard, dan inhibisi refleks baroreseptor.
Merupakan analgesi lemah, anestesi kuat. Halotan menghambat
pelepasan insulin sehingga mininggikan kadar gula darah.

19
o Enfluran (etran, aliran)
Efek depresi napas lebih kuat dibanding halotan dan
enfluran lebih iritatif disbanding halotan. Depresi terhadap
sirkulasi lebih kuat dibanding halotan, tetapi lebih jarang
menimbulkan aritmia. Efek relaksasi terhadap otot lurik lebih baik
disbanding halotan.
o Isofluran (foran, aeran)
Meninggikan aliran darah otak dan tekanan intracranial.
Peninggian aliran darah otak dan tekanan intracranial dapat
dikurangi dengan teknik anestesi hiperventilasi, sehingga isofluran
banyak digunakan untuk bedah otak.
Efek terhadap depresi jantung dan curah jantung minimal, sehingga
digemari untuk anestesi teknik hipotensi dan banyak digunakan
pada pasien dengan gangguan koroner.
o Desfluran (suprane)
Sangat mudah menguap. Potensinya rendah (MAC 6.0%),
bersifat simpatomimetik menyebabkan takikardi dan hipertensi.
Efek depresi napasnya seperti isofluran dan etran. Merangsang
jalan napas atas sehingga tidak digunakan untuk induksi anestesi.
o Sevofluran (ultane)
Induksi dan pulih dari anestesi lebih cepat dibandingkan
isofluran. Baunya tidak menyengat dan tidak merangsang jalan
napas, sehingga digemari untuk induksi anestesi inhalasi disamping
halotan.
 Induksi per rectal
Cara ini hanya untuk anak atau bayi menggunakan thiopental atau
midazolam.
 Induksi mencuri
Dilakukan pada anak atau bayi yang sedang tidur. Induksi inhalasi
biasa hanya sungkup muka tidak kita tempelkan pada muka pasien,
tetapi kita berikan jarak beberapa sentimeter, sampai pasien tertidur
baru sungkup muka kita tempelkan.

20
 Pelumpuh otot nondepolarisasi  Tracurium 20 mg
(Antracurium)
o Berikatan dengan reseptor nikotinik-kolinergik, tetapi tidak
menyebabkna depolarisasi, hanya menghalangi asetilkolin
menempatinya, sehingga asetilkolin tidak dapat bekerja.
o Dosis awal 0,5-0,6 mg/kgBB, dosis rumatan 0,1 mg/kgBB,
durasi selama 20-45 menit, kecepatan efek kerjanya -2 menit.
o Tanda-tanda kekurangan pelumpuh otot:
 Cegukan (hiccup)
 Dinding perut kaku
 Ada tahanan pada inflasi paru
III. RUMATAN ANESTESI (MAINTAINANCE)
Dapat dikerjakan secara intravena (anestesi intravena total) atau
dengan inhalasi atau dengan campuran intravena inhalasi.
Rumatan anestesi mengacu pada trias anestesi yaitu tidur rinan
(hypnosis) sekedar tidak sadar, analgesia cukup, diusahakan agar
pasien selama dibedah tidak menimbulkan nyeri dan relaksasi otot
lurik yang cukup.
Rumatan intravena biasanya menggunakan opioid dosis tinggi,
fentanil 10-50 µg/kgBB. Dosis tinggi opioid menyebabkan pasien tidur
dengan analgesia cukup, sehingga tinggal memberikan relaksasi
pelumpuh otot. Rumatan intravena dapat juga menggunakan opioid
dosis biasa, tetapi pasien ditidurkan dengan infuse propofol 4-12
mg/kgBB/jam. Bedah lama dengan anestesi total intravena, pelumpuh
otot dan ventilator. Untuk mengembangkan paru digunakan inhalasi
dengan udara + O2 atau N2O + O2.
Rumatan inhalasi biasanya menggunakan campuran N2O dan
O2 dengan perbandingan 3:1 ditambah halotan 0,5-2 vol% atau
enfluran 2-4% atau isofluran 2-4 vol% atau sevofluran 2-4%
bergantung apakah pasien bernapas spontan, dibantu atau
dikendalikan.

21
2.2 Pemilihan Jenis Anastesi
Intubasi endotrakea adalah memasukkan pipa (tube) endotrakea (ET=
endotrakeal tube) kedalam trakea via oral atau nasal. Indikasi sangat bervariasi
dan umumnya digolongkan sebagai berikut:
1. Menjaga patensi jalan napas oleh sebab apapun.
Kelainan anatomi, bedah kasus, bedah posisi khusus, pembersihan
sekret jalan napas, dan lain-lainnya.
2. Mempermudah ventilasi positif dan oksigenasi
Misalnya saat resusitasi, memungkinkan penggunaan relaksan dengan
efisien, ventilasi jangka panjang.
3. Pencegahan terhadap aspirasi dan regurgitasi
Kesulitan intubasi
1. Leher pendek berotot
2. Mandibula menonjol
3. Maksila/gigi depan menonjol
4. Uvula tak terlihat
5. Gerak sendi temporo-mandibular terbatas
6. Gerak vertebra servikal terbatas
Komplikasi intubasi
1. Selama intubasi
a. Trauma gigi geligi
b. Laserasi bibir, gusi, laring
c. Merangsang saraf simpatis
d. Intubasi bronkus
e. Intubasi esophagus
f. Aspirasi
g. Spasme bronkus
2. Setelah ekstubasi
a. Spasme laring
b. Aspirasi
c. Gangguan fonasi
d. Edema glottis-subglotis

22
e. Infeksi laring, faring, trakea
 Prosedur :
1. Sama dengan diatas, hanya ada tambahan obat (pelumpuh otot/suksinil dgn
durasi singkat)
2. Intubasi setelah induksi dan suksinil
3. Pemeliharaan
Untuk persiapan induksi sebaiknya kita ingat STATICS
 Teknik Intubasi
1. Pastikan semua persiapan dan alat sudah lengkap
2. Induksi sampai tidur, berikan suksinil kolin → fasikulasi (+)
3. Bila fasikulasi (-) → ventilasi dengan O2 100% selama kira - kira 1 mnt
4. Batang laringoskopi pegang dengan tangan kiri, tangan kanan mendorong
kepala sedikit ekstensi → mulut membuka
5. Masukan laringoskop (bilah) mulai dari mulut sebelah kanan, sedikit demi
sedikit, menyelusuri kanan lidah, menggeser lidah kekiri
6. Cari epiglotis → tempatkan bilah didepan epiglotis (pada bilah bengkok) atau
angkat epiglotis ( pada bilah lurus )
7. Cari rima glotis ( dapat dengan bantuan asisten menekan trakea dar luar )
8. Temukan pita suara → warnanya putih dan sekitarnya merah
9. Masukan ET melalui rima glottis
10. Hubungkan pangkal ET dengan mesin anestesi dan atau alat bantu napas (
alat resusitasi ).
Klasifikasi Mallampati :
Mudah sulitnya dilakukan intubasi dilihat dari klasifikasi Mallampati :

23
a. Intubasi Endotrakeal dengan napas kendali (kontrol)
Pasien sengaja dilumpuhkan/benar2 tidak bisa bernafas dan pasien dikontrol
pernafasanya dengan kita memberikan ventilasi 12 - 20 x permenit. Setelah
operasi selesai pasien dipancing dan akhirnya bisa nafas spontan kemudian
kita akhiri efek anestesinya.
 Teknik sama dengan diatas
 Obat pelumpuh otot non depolar (durasinya lama)
 Pemeliharaan, obat pelumpuh otot dapat diulang pemberiannya.
2.3 Anestesi Regional
Anestesi regional adalah anestesi lokal dengan menyuntikan obat
anestesi disekitar syaraf sehingga area yang di syarafi teranestesi. Anestesi
regional dibagi menjadi epidural, spinal dan kombinasi spinal epidural, spinal
anestesi adalah suntikan obat anestesi kedalam ruang subarahnoid dan
ekstradural epidural di lakukan suntikan kedalam ekstradural. ( Brunner &
suddarth, 2002 ). Spinal anestesi atau Subarachniod Blok (SAB) adalah salah
satu teknik anestesi regional yang dilakukan dengan cara menyuntikkan obat
anestesi lokal ke dalam ruang subarachnoid untuk mendapatkan analgesi
setinggi dermatom tertentu dan relaksasi otot rangka. Untuk dapat
memahami spinal anestesi yang menghasilkan blok simpatis, blok sensoris dan
blok motoris maka perlu diketahui neurofisiologi saraf, mekanisme kerja obat

24
anestesi lokal pada SAB dan komplikasi yang dapat ditimbulkannya. Derajat
anestesi yang dicapai tergantung dari tinggi rendah lokasi penyuntikan, untuk
mendapatkan blockade sensoris yang luas, obat harus berdifusi ke atas, dan
hal ini tergantung banyak faktor antara lain posisi pasien selama dan setelah
penyuntikan, barisitas dan berat jenis obat. Berat jenis obat lokal anesthesia
dapat diubah–ubah dengan mengganti komposisinya,hiperbarik diartikan
bahwa obat lokal anestesi mempunyai berat jenis yang lebih besar dari berat
jenis cairan serebrospinal, yaitu dengan menambahkan larutan glukosa, namun
apabila ditambahkan NaCl atau aqua destilata akan menjadi
hipobarik (Gwinnutt, 2011).

1. Anatomi
Tulang punggung (columna vertebralis) Terdiri dari :
 - 7 vertebra servikal
 - 12 vertebra thorakal
 - 5 vertebra lumbal
 - 5 vertebra sacral ( menyatu pada dewasa )
 - 4 vertebra kogsigeal ( menyatu pada dewasa )
Medula spinalis diperadarahi oleh spinalis anterior dan
spinalis posteror.Tulang belakang biasanya bentuk-bentuk ganda C, yang
cembung anterior di daerah leher dan lumbal. Unsur ligamen memberikan
dukungan struktural dan bersama-sama dengan otot pendukung membantu
menjaga bentuk yang unik. Secara ventral, corpus vertebra dan disk
intervertebralisterhubung dan didukung oleh ligamen longitudinal anterior
dan posterior. Dorsal, ligamentum flavum, ligamen interspinous, dan
ligamentum supraspinata memberikan tambahan stabilitas. Dengan
menggunakan teknik median, jarum melewati ketiga dorsal ligamen dan
melalui ruang oval antara tulang lamina dan proses spinosus vertebra yang
berdekatan (Morgan et.al 2006) .Untuk mencapai cairan cerebro spinal,
maka jarum suntik akan menembus : kulit, subkutis, ligament

25
supraspinosum, ligament interspinosum, ligament flavum, ruang epidural,
durameter, ruang subarahnoid. (Morgan et.al 2006)
2. Indikasi Spinal Anestesi (Yuswana, 2012)
a. Operasi ektrimitas bawah, meliputi jaringan lemak, pembuluh darah
dan tulang.
b. Operasi daerah perineum termasuk anal, rectum bawah dan dindingnya
atau pembedahan saluran kemih.
c. Operasi abdomen bagian bawah dan dindingnya atau operasi peritoneal.
d. Operasi obstetrik vaginal deliveri dan section caesaria.
e. Diagnosa dan terapi
3. Kontra indikasi Spinal Anestesi (Latief, 2011)
a. Absolut
1) Pasien menolak
2) Infeksi tempat suntikan
3) Hipovolemik berat, syok
4) Gangguan pembekuan darah, mendapat terapi antikoagulan
5) Tekanan intracranial yang meninggi
6) Hipotensi, blok simpatik menghilangkan mekanisme kompensasi
7) Fasilitas resusitasi minimal atau tidak memadai
b. Relatif (latief, 2011)
1) Infeksi sistemik (sepsis atau bakterimia)
2) Kelainan neurologis
3) Kelainan psikis
4) Pembedahan dengan waktu lama
5) Penyakit jantung
6) Nyeri punggung
7) Anak-anak karena kurang kooperatif dan takut rasa baal
4 . Persiapan spinal Anestesi
Pada dasarnya persiapan anestesi spinal seperti persiapan anestesi
umum, daerah sekitar tusukan diteliti apakah akan menimbulkan ke

26
sulitan,misalnya kelainan anatomis tulang punggung atau pasien gemuk
sehingga tidak teraba tonjolan prosesus spinosus. ( Latief, 2011) Selain itu
perlu di perhatikan hal-hal dibawah ini :
a. Izin dari pasien (Informed consent)
b. Pemeriksaan fisik
Tidak dijumpai kelainan spesifik seperti kelainan tulang punggung
c. Pemeriksaan Laboratorium anjuran HB, HT, PT (Protombin
Time) dan PTT (Partial Thromboplastine Time).
d. Obat-obat Lokal Anesthesi.
Salah satu faktor yang mempengaruhi spinal anestesi blok adalah barisitas
(Barik Grafity) yaitu rasio densitas obat spinal anestesi yang dibandingkan
dengan densitas cairan spinal pada suhu 370C. Barisitas penting diketahui
karena menentukan penyebaran obat anestesi lokal dan ketinggian blok
karena grafitasi bumi akan menyebabkan cairan hiperbarik akan cendrung
ke bawah. Densitas dapat diartikan sebagai berat dalam gram dari 1ml
cairan (gr/ml) pada suhu tertentu. Densitas berbanding terbalik dengan
suhu (Gwinnutt, 2011).
 Obat-obat lokal anestesi berdasarkan barisitas dan densitas dapat di
golongkan menjadi tiga golongan yaitu:
1) Hiperbarik
Merupakan sediaan obat lokal anestesi dengan berat jenis obat lebih
besar dari pada berat jenis cairan serebrospinal, sehingga dapat terjadi
perpindahan obat ke dasar akibat gaya gravitasi. Agar obat anestesi lokal
benar–benar hiperbarik pada semua pasien maka baritas paling rendah
harus 1,0015gr/ml pada suhu 37C. contoh: Bupivakain 0,5% (Gwinnutt,
2011).
2) Hipobarik
Merupakan sediaan obat lokal anestesi dengan berat jenis obat lebih
rendah dari berat jenis cairan serebrospinal. Densitas cairan serebrospinal
pada suhu 370C adalah 1,003gr/ml. Perlu diketahui variasi normal cairan

27
serebrospinal sehingga obat yang sedikit hipobarik belum tentu menjadi
hipobarik bagi pasien yang lainnya. contoh: tetrakain, dibukain.
(Gwinnutt, 2011).
3) Isobarik
 Secara definisi obat anestesi lokal dikatakan isobarik bila densitasnya
sama dengan densitas cairan serebrospinalis pada suhu 370C. Tetapi
karena terdapat variasi densitas cairan serebrospinal,maka obat akan
menjadi isobarik untuk semua pasien jika densitasnya berada pada rentang
standar deviasi 0,999-1,001gr/ml. contoh:levobupikain 0,5% (Viscomi
2007).
 Spinal anestesi blok mempunyai beberapa keuntungan antara
lain:perubahan metabolik dan respon endokrin akibat stres dapat
dihambat,komplikasi terhadap jantung, paru, otak dapat di
minimal, tromboemboli berkurang, relaksasi otot dapat maksimal pada
daerah yang terblok sedang pasien masih dalam keadaan sadar. (Kleinman
et al,2006).
5. Persiapan alat anestesi spinal ( Latief, 2011)
a. Peralatan monitor
b. Tekanan darah, nadi, oksimetri denyut (pulse oximeter) dan EKG.
c. Peralatan resusitasi / anestesi umum.

d. Jarum spinal
1. Prosudur spinal anestesi
Anestesi spinal dan epidural dapat dilakukan jika peralatan monitor
yang sesuai dan pada tempat dimana peralatan untuk manajemen jalan
nafas dan resusitasi telah tersedia. Sebelum memosisikan pasien, seluruh
peralatan untuk blok spinal harus siap untuk digunakan, sebagai contoh,
anestesi lokal telah dicampur dan siap digunakan, jarum dalam keadaan
terbka, cairan preloading sudah disiapkan. Persiapan alat akan

28
meminimalisir waktu yang dibutuhkan untuk anestesi blok dan kemudian
meningkatkan kenyamanan pasien (Bernards, 2006).
Adapun prosedur dari anestesi spinal adalah sebagai berikut
(Morgan, 2006):
1) Inspeksi dan palpasi daerah lumbal yang akan ditusuk (dilakukan
ketika kita visite pre-operatif), sebab bila ada infeksi atau terdapat tanda
kemungkinan adanya kesulitan dalam penusukan, maka pasien tidak perlu
dipersiapkan untuk spinal anestesi.
2) Posisi pasien :
a) Posisi Lateral. Pada umumnya kepala diberi bantal setebal 7,5-10cm,
lutut dan paha fleksi mendekati perut, kepala ke arah dada.
b) Posisi duduk. Dengan posisi ini lebih mudah melihat columna
vertebralis, tetapi pada pasien-pasien yang telah mendapat premedikasi
mungkin akan pusing dan diperlukan seorang asisten untuk memegang
pasien supaya tidak jatuh. Posisi ini digunakan terutama bila
diinginkan sadle block.
c) Posisi Prone. Jarang dilakukan, hanya digunakan bila dokter bedah
menginginkan posisi Jack Knife atau prone.
3) Kulit dipersiapkan dengan larutan antiseptik seperti betadine, alkohol,
kemudian kulit ditutupi dengan “doek” bolong steril.
4) Cara penusukan.
Pakailah jarum yang kecil (no. 25, 27 atau 29). Makin besar nomor
jarum, semakin kecil diameter jarum tersebut, sehingga untuk mengurangi
komplikasi sakit kepala (PDPH=post duran punctureheadache),
dianjurkan dipakai jarum kecil. Penarikan stylet dari jarum spinal akan
menyebabkan keluarnya likuor bila ujung jarum ada di ruangan
subarachnoid. Bila likuor keruh, likuor harus diperiksa dan spinal analgesi
dibatalkan. Bila keluar darah, tarik jarum beberapa mili meter sampai yang
keluar adalah likuor yang jernih. Bila masih merah, masukkan lagi stylet-
nya, lalu ditunggu 1 menit, bila jernih, masukkan obat anestesi lokal, tetapi

29
bila masih merah, pindahkan tempat tusukan. Darah yang mewarnai likuor
harus dikeluarkan sebelum menyuntik obat anestesi lokal karena dapat
menimbulkan reaksi benda asing (Meningismus).
2. Keuntungan dan kerugian spinal anestesi
Keuntungan penggunaan anestesi regional adalah murah,
sederhana, dan penggunaan alat minim, non eksplosif karena tidak
menggunakan obat-obatan yang mudah terbakar, pasien sadar saat
pembedahan, reaksi stres pada daerah pembedahan kurang bahkan tidak
ada, perdarahan relatif sedikit, setelah pembedahan pasien lebih segar atau
tenang dibandingkan anestesi umum. Kerugian dari penggunaan teknik ini
adalah waktu yang dibutuhkan untuk induksi dan waktu pemulihan lebih
lama, adanya resiko kurang efektif block saraf sehingga pasien mungkin
membutuhkan suntikan ulang atau anestesi umum, selalu ada
kemungkinan komplikasi neurologi dan sirkulasi sehingga menimbulkan
ketidakstabilan hemodinamik, dan pasien mendengar berbagai bunyi
kegiatan operasi dalam ruangan operasi.(Morgan et.al 2006)
3. Komplikasi spinal anestesi
Komplikasi anestesi spinal adalah hipotensi, hipoksia, kesulitan
bicara, batuk kering yang persisten, mual muntah, nyeri kepala setelah
operasi, retansi urine dan kerusakan saraf permanen (Bunner dan Suddart,
2008 ; Kristanto 2009).
4. Komplikasi pasca anestesi
Komplikasi anestesi adalah penyulit yang terjadi pada periode
perioperatif dapat dicetuskan oleh tindakan anestesi sendiri dan atau
kondisi pasien. Penyulit dapat ditimbulkan belakangan setelah
pembedahan. Komplikasi anestesi dapat berakibat dengan kematian atau
cacat menetap jika todak terdeteksi dan ditolong segera dengan tepat.
Kompliaksi kadang-kadang datangnya tidak diduga kendatipun anestesi
sudah dilaksanakan dengan baik. Keberhasilan dalam mengatasi
komplikasi anestesi tergantung dari deteksi gejala dini dan kecepatan

30
dilakukan tindakan koreksi untuk mencegah keadaan yang lebih buruk
(Thalib, 2011).

Teknik Spinal Anestesi


1. Teknik Median (metode midline)
Tulang belakang dipalpasi dan posisi tubuh pasien diatur agar tegak
lurus dengan lantai. Ini untuk memastikan jarumnya dimasukkan secara
paralel dengan lantai dan akan tetap pada posisi garis tengah walaupun
penusukan lebih dalam (Gambar 3). Processus spinosus vertebrae di lokasi
yang akan digunakan dipalpasi, dan akan menjadi tempat memasukkan
jarum. Setelah mempersiapkan dan menganestesi kulit seperti di atas,
jarum dimasukkan ke garis tengah. Mengingat bahwa arah processus
vertebra mengarah ke bawah, maka setelah jarum masuk langsung
diarahkan perlahan ke arah cephalad. Jaringan sub kutan akan memberikan
sedikit tahanan terhadap jarum. Setelah dimasukkan lebih dalam, jarum
akan memasuki ligamen supraspinal dan interspinal, yang akan terasa
meningkat kepadatan jaringannya. Jarum juga terasa lebih kuat tertanam.
Jika terasa jarum memnyentuh tulang, berarti jarum mengenai bagian
bawah processus spinosus. Kontak dengan tulang pada tusukan yang lebih
dalam menunjukkan bahwa jarum pada posisi garis tengah dan menyentuh
processus spinosus atas atau berada di posisi lateral dari garis tengah dan
mengenai lamina. Dalam kasus seperti ini jarum harus diarahkan kembali.
Saat jarum menembus ligamentum flavum, akan terasa tahanan yang
meningkat. Pada titik inilah prosedur anestesi spinal dan epidural
dibedakan. Pada anestesi epidural, hilangnya tahanan tiba-tiba
menandakan jarum menembus ligamentum flavum dan memasuki ruang
epidural. Untuk anestesi spinal, jarum dimasukkan lagi hingga menembus
membran dura-subarachnoiddan ditandai dengan adanya aliran
LCS. (Morgan et.al 2006)
2. Teknik (metode) Paramedian

31
Penusukan kulit untuk teknik paramedian dilakukan 2 cm lateral ke
prosesus spinosus superior dari tingkat yang ditentukan. Karena teknik
lateral ini sebagian besar menembus ligamen interspinous dan otot
paraspinous, jarum akan menghadapi perlawanan kecil pada awalnya dan
mungkin tidak tampak berada di jaringan kuat. Jarum diarahkan dan
lanjutan pada 10-25 ° sudut ke arah garis tengah. Identifikasi ligamentum
flavum dan masuk ke dalam ruang epidural sering kali lebih halus
dibanding dengan teknik median. Jika tulang dijumpai pada kedalaman
yang dangkal dengan teknik paramedian, jarum kemungkinan bersentuhan
dengan bagian medial lamina yang lebih rendah dan harus diarahkan
terutama ke atas dan sedikit lebih lateral. Di sisi lain, jika tulang yang
ditemukan lebih dalam, jarum biasanya kontak dengan bagian lateral
lamina yang lebih rendah dan harus diarahkan hanya sedikit ke atas, lebih
ke arah garis tengah. (Morgan et.al 2006)

2.3 Batu Saluran Kemih (Urolithiasis)

Merupakan keadaan patologis karena adanya masa keras seperti batu yang
terbentuk disepanjang saluran kencing dan dapat menyebabkan nyeri, perdarahan,
atau infeksi pada saluran kencing. Terbentuknya batu disebabkan karena air kemih
jenuh dengan garam-garam yang dapat membentuk batu atau karena air kemih
kekurangan materi-materi yang dapat menghambat pembentukan batu, kurangnya
produksi air kencing, dan keadaan-keadaan lain yang idiopatik (Dewi, 2007).
Lokasi batu saluran kemih dijumpai khas di kaliks atau pelvis (nefrolitiasis) dan
bila akan keluar akan terhenti di ureter atau di kandung kemih (vesikolitiasis)
(Robbins, 2007).
Penyakit ini menyerang sekitar 4% dari seluruh populasi, dengan rasio pria-
wanita 4:1 dan penyakit ini disertai morbiditas yang besar karena rasa nyeri
(Tisher, 1997). Di Amerika Serikat 5-10% penduduknya menderita penyakit ini,
sedangkan di seluruh dunia rata-rata terdapat 1-2% penduduk yang menderita batu
saluran kemih. Penyakit ini merupakan tiga penyakit terbanyak dibidang urologi

32
disamping infeksi saluran kemih dan pembesaran prostat (Purnomo, 2011).
Penyakit batu ginjal merupakan masalah kesehatan yang cukup bermakna, baik di
Indonesia maupun di dunia.
Prevalensi penyakit batu diperkirakan sebesar 13% pada laki-laki dewasa
dan 7% pada perempuan dewasa. Empat dari lima pasien adalah laki-laki,
sedangkan usia puncak adalah dekade ketiga sampai keempat. Angka kejadian
batu ginjal di Indonesia tahun 2002 berdasarkan data yang dikumpulkan dari
rumah sakit di seluruh Indonesia adalah sebesar 37.636 kasus baru, dengan jumlah
kunjungan sebesar 58.959 orang. Sedangkan jumlah pasien yang dirawat adalah
sebesar 19.018 orang, dengan jumlah kematian adalah sebesar 378 orang
(Anonim, 2005). Pada penelitian di RS dr. Kariadi ternyata jumlah penderita batu
naik dari 32,8% (2003) menjadi 39,1% (2005) di banding seluruh kasus urologi
dan 1 2 sebagian besar batu saluran kemih bagian atas (batu ginjal dan ureter)
(Muslim, 2007).
Ginjal adalah organ vital yang mempunyai peran penting dalam
mempertahankan kestabilan lingkungan dalam tubuh. Ginjal mengatur
keseimbangan cairan tubuh, elektrolit, dan asam-asam dengan cara filtrasi darah,
reabsorbsi selektif air, elektrolit, dan non elektrolit, serta mengekskresi
kelebihannya sebagai urin. Fungsi ekskresi ginjal seringkali terganggu
diantaranya oleh batu saluran kemih yang berdasarkan tempat terbentuknya terdiri
dari nefrolitiasis, ureterolitiasis, vesicolitiasis, batu prostat, dan batu uretra. Batu
saluran kemih terutama dapat merugikan karena obstruksi saluran kemih dan
infeksi yang ditimbulkannya (de jong, 2004). Obstruksi dapat menyebabkan
dilatasi pelvis renalis maupun kaliks yang dikenal sebagai hidronefrosis. Batu
dapat menyebabkan kerusakan atau gangguan fungsi ginjal karena menyumbat
aliran urine. Jika penyumbatan ini berlangsung lama, urin akan mengalir balik
kesaluran di dalam ginjal, menyebabkan penekanan yang akan
menggelembungkan ginjal (hidronefrosis) dan pada akhirnya bisa terjadi
kerusakan ginjal (Depkes, 2007).
Pada umumnya obstruksi saluran kemih sebelah bawah yang
berkepanjangan akan menyebabkan obstruksi sebelah atas. Jika tidak diterapi
dengan tepat, obstruksi ini dapat menyebabkan kegagalan fungsi dan kerusakan

33
struktur ginjal yang permanen, seperti nefropati obstruktif, dan jika mengalami
infeksi saluran kemih dapat menimbulkan urosepsis (Purnomo, 2011). Proses ini
umumnya berlangsung lama sekali. Tapi juga bisa mendadak (akut) bila sumbatan
secara total. Kasus hidronefrosis semakin sering didapati. Di Amerika Serikat,
insidensinya mencapai 3,1 %, 2,9 % pada wanita dan 3,3 % pada pria.
Penyebabnya dapat bermacam – macam dimana obstruksi merupakan penyebab
yang tersering (Rahmani, 2010).

2.4 Benigna Prostate Hiperplasia (BPH)


Benigna Prostate Hiperplasia (BPH) merupakan perbesaran kelenjar prostat,
memanjang ke atas kedalam kandung kemih dan menyumbat aliran urin dengan
menutupi orifisium uretra akibatnya terjadi dilatasi ureter (hidroureter) dan ginjal
(hidronefrosis) secara bertahap (Smeltzer dan Bare, 2010). BPH merupakan
pertumbuhan nodul-nodul fibroadenomatosa majemuk dalam prostat,
pertumbuhan tersebut dimulai dari bagian periuretral sebagai proliferasi yang
terbatas dan tumbuh dengan menekan kelenjar normal yang tersisa, prostat
tersebut mengelilingi uretra dan, dan pembesaran bagian periuretral menyebabkan
obstruksi leher kandung kemih dan uretra parsprostatika yang menyebabkan aliran
kemih dari kandung kemih (Price dan Wilson, 2016) ( Baradero, Dayrit, dkk,
2007). Berdasarkan pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa Benigna Prostat
Hiperplasi (BPH) merupakan penyakit pembesaran prostat yang disebabkan oleh
proses penuaan, yang biasa dialami oleh pria berusia 50 tahun keatas, yang
mengakibatkan obstruksi leher kandung kemih, dapat menghambat pengosongan
kandung kemih dan menyebabkan gangguan perkemihan.
Tahapan Perkembangan Penyakit BPH

Berdasarkan perkembangan penyakitnya menurut Sjamsuhidajat dan De


jong (2005) secara klinis penyakit BPH dibagi menjadi 4 gradiasi :
Derajat 1 : Apabila ditemukan keluhan prostatismus, pada colok dubur ditemukan
penonjolan prostat, batas atas mudah teraba dan sisa urin kurang dari 50 ml
Derajat 2 : Ditemukan penonjolan prostat lebih jelas pada colok dubur dan batas
atas dapat dicapai, sedangkan sisa volum urin 50- 100 ml.

34
Derajat 3 : Pada saat dilakukan pemeriksaan colok dubur batas atas prostat tidak
dapat diraba dan sisa volum urin lebih dari 100ml.
Derajat 4 : Apabila sudah terjadi retensi urine total
Anatomi dan Fisiologi Prostat

1. Anatomi Prostat Menurut Wibowo dan Paryana (2009). Kelenjar prostat


terletak dibawah kandung kemih, mengelilingi uretra posterior dan
disebelah proksimalnya berhubungan dengan buli-buli, sedangkan bagian
distalnya kelenjar prostat ini menempel pada diafragma urogenital yang
sering disebut sebagai otot dasar panggul.
2. Prostat dibentuk oleh jaringan kelenjar dan jaringan fibromuskular. Prostat
dibungkus oleh capsula fibrosa dan bagian lebih luar oleh fascia prostatica
yang tebal. Diantara fascia prostatica dan capsula fibrosa terdapat bagian
yang berisi anyaman vena yang disebut plexus prostaticus. Fascia
prostatica berasal dari fascia pelvic yang melanjutkan diri ke fascia
superior diaphragmatic urogenital, dan melekat pada os pubis dengan
diperkuat oleh ligamentum puboprostaticum. Bagian posterior fascia
prostatica membentuk lapisan lebar dan tebal yang disebut fascia
Denonvilliers. Fascia ini sudah dilepas dari fascia rectalis dibelakangnya.
Hal ini penting bagi tindakan operasi prostat ( Purnomo, 2011).
3. Prostat merupakan inervasi otonomik simpatik dan parasimpatik dari
pleksus prostatikus atau pleksus pelvikus yang menerima masukan serabut
parasimpatik dari korda spinalis dan simpatik dari nervus hipogastrikus.
Rangsangan parasimpatik meningkatkan sekresi kelenjar pada epitel
prostat, sedangkan rangsangan simpatik menyebabkan pengeluaran cairan
prostat kedalam uretra posterior, seperti pada saat ejakulasi. System
simpatik memberikan inervasi pada otot polos prostat, kapsula prostat, dan
leher buli-buli. Ditempat itu terdapat banyak reseptor adrenergic.
Rangsangan simpatik menyebabkan dipertahankan tonus otot tersebut.
Pada usia lanjut sebagian pria akan mengalami pembesaran kelenjar
prostat akibat hiperplasi jinak sehingga dapat menyumbat uretra posterior
dan mengakibatkan terjadinya obstruksi saluran kemih (Purnomo, 2011).

35
4. Fisiologi prostat adalah suatu alat tubuh yang tergantung kepada pengaruh
endokrin. Pengetahuan mengenai sifat endokrin ini masih belum pasti.
Bagian yang peka terhadap estrogen adalah bagian tengah, sedangkan
bagian tepi peka terhadap androgen. Oleh karena itu pada orang tua bagian
tengahlah yang mengalami hiperplasi karena sekresi androgen berkurang
sehingga kadar estrogen relatif bertambah. Sel-sel kelenjar prostat dapat
membentuk enzim asam fosfatase yang paling aktif bekerja pada pH 5.
Kelenjar prostat mensekresi sedikit cairan yang berwarna putih susu dan
bersifat alkalis. Cairan ini mengandung asam sitrat, asam fosfatase,
kalsium dan koagulase serta fibrinolisis. Selama pengeluaran cairan
prostat, kapsul kelenjar prostat akan berkontraksi bersamaan dengan
kontraksi vas deferen dan cairan prostat keluar bercampur dengan semen
yang lainnya ( Wibowo dan Paryana, 2009 ).
5. Etiologi Hingga sekarang masih belum diketahui secara pasti
etiologi/penyebab terjadinya BPH, namun beberapa hipotesisi
menyebutkan bahwa BPH erat kaitanya dengan peningkatan kadar
dehidrotestosteron (DHT) dan proses menua. Terdapat perubahan
mikroskopik pada prostat telah terjadi pada pria usia 30-40 tahun. Bila
perubahan mikroskopik ini berkembang, akan terjadi perubahan patologik
anatomi yang ada pada pria usia 50 tahun, dan angka kejadiannya sekitar
50%, untuk usia 80 tahun angka kejadianya sekitar 80%, dan usia 90 tahun
sekiatr 100% (Purnomo, 2011) Etiologi yang belum jelas maka melahirkan
beberapa hipotesa yang diduga menjadi penyebab timbulnya Benigna
Prosat, teori penyebab BPH menurut Purnomo (2011) meliputi, Teori
Dehidrotestosteron (DHT), teori hormon (ketidakseimbangan antara
estrogen dan testosteron), faktor interaksi stroma dan epitel-epitel, teori
berkurangnya kematian sel (apoptosis), teori sel stem. Teori sel stem Sel-
sel yang telah apoptosis selalu dapat diganti dengan sel-sel baru. Didalam
kelenjar prostat istilah ini dikenal dengan suatu sel stem, yaitu sel yang
mempunyai kemampuan berpoliferasi sangat ekstensif. Kehidupan sel ini
sangat tergantung pada keberadaan hormone androgen, sehingga jika
hormone androgen kadarnya menurun, akan terjadi apoptosis. Terjadinya

36
poliferasi sel-sel BPH dipostulasikan sebagai ketidaktepatan aktivitas sel
stem sehingga terjadi produksi yang berlebihan sel stroma maupun sel
epitel.
Patofisiologi Hiperplasi prostat
Pertumbuhan nodul-nodul fibroadenomatosa majemuk dalam prostat,
pertumbuhan tersebut dimulai dari bagian periuretral sebagai proliferasi
yang terbatas dan tumbuh dengan menekan kelenjar normal yang tersisa.
Jaringan hiperplastik terutama terdiri dari kelenjar dengan stroma fibrosa
dan otot polos yang jumlahnya berbeda-beda. Proses pembesaran prostad
terjadi secara perlahan-lahan sehingga perubahan pada saluran kemih juga
terjadi secara perlahan-lahan.
Pada tahap awal setelah terjadi pembesaran prostad, resistensi pada
leher buli-buli dan daerah prostad meningkat, serta otot destrusor menebal
dan merenggang sehingga timbul sakulasi atau divertikel.
Fase penebalan destrusor disebut fase kompensasi, keadaan
berlanjut, maka destrusor menjadi lelah dan akhirnya mengalami
dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk berkontraksi/terjadi
dekompensasi sehingga terjadi retensi urin. Pasien tidak bisa
mengosongkan vesika urinaria dengan sempurna, maka akan terjadi statis
urin. Urin yang statis akan menjadi alkalin dan media yang baik untuk
pertumbuhan bakteri ( Baradero, dkk 2007). Obstruksi urin yang
berkembang secara perlahan-lahan dapat mengakibatkan aliran urin tidak
deras dan sesudah berkemih masih ada urin yang menetes, kencing
terputus-putus (intermiten), dengan adanya obstruksi maka pasien
mengalami kesulitan untuk memulai berkemih (hesitansi). Gejala iritasi
juga menyertai obstruksi urin. Vesika urinarianya mengalami iritasi dari
urin yang tertahan tertahan didalamnya sehingga pasien merasa bahwa
vesika urinarianya tidak menjadi kosong setelah berkemih yang
mengakibatkan interval disetiap berkemih lebih pendek (nokturia dan
frekuensi), dengan adanya gejala iritasi pasien mengalami perasaan ingin
berkemih yang mendesak/ urgensi dan nyeri saat berkemih /disuria (
Purnomo, 2011). Tekanan vesika yang lebih tinggi daripada tekanan

37
sfingter dan obstruksi, akan terjadi inkontinensia paradoks. Retensi kronik
menyebabkan refluk vesiko ureter, hidroureter, hidronefrosis dan gagal
ginjal. Proses kerusakan ginjal dipercepat bila terjadi infeksi. Pada waktu
miksi penderita harus mengejan sehingga lama kelamaan menyebabkan
hernia atau hemoroid. Karena selalu terdapat sisa urin, dapat menyebabkan
terbentuknya batu endapan didalam kandung kemih. Batu ini dapat
menambah keluhan iritasi dan menimbulkan hematuria. Batu tersebut
dapat juga menyebabkan sistitis dan bila terjadi refluk akan
mengakibatkan pielonefritis (Sjamsuhidajat dan De jong, 2005).
Manifestasi Klinis Obstruksi Prostat
Menurut Purnomo (2011) dan tanda dan gejala dari BPH yaitu :
keluhan pada saluran kemih bagian bawah, gejala pada saluran kemih
bagian atas, dan gejala di luar saluran kemih.
1. Keluhan pada saluran kemih bagian bawah
a. Gejala obstruksi meliputi : Retensi urin (urin tertahan dikandung kemih
sehingga urin tidak bisa keluar), hesitansi (sulit memulai miksi), pancaran
miksi lemah, Intermiten (kencing terputus-putus), dan miksi tidak puas
(menetes setelah miksi)
b. Gejala iritasi meliputi : Frekuensi, nokturia, urgensi (perasaan ingin
miksi yang sangat mendesak) dan disuria (nyeri pada saat miksi).
2. Gejala pada saluran kemih bagian atas Keluhan akibat hiperplasi prostat
pada sluran kemih bagian atas berupa adanya gejala obstruksi, seperti
nyeri pinggang, benjolan dipinggang (merupakan tanda dari
hidronefrosis), atau demam yang merupakan tanda infeksi atau urosepsis.
Gejala diluar saluran kemih Pasien datang diawali dengan keluhan
penyakit hernia inguinalis atau hemoroid. Timbulnya penyakit ini
dikarenakan sering mengejan pada saan miksi sehingga mengakibatkan
tekanan intraabdominal. Adapun gejala dan tanda lain yang tampak pada
pasien BPH, pada pemeriksaan prostat didapati membesar, kemerahan,
dan tidak nyeri tekan, keletihan, anoreksia, mual dan muntah, rasa tidak
nyaman pada epigastrik, dan gagal ginjal dapat terjadi dengan retensi
kronis dan volume residual yang besar. Pasien dianjurkan untuk

38
mengurangi minum setelah makan malam yang ditujukan agar tidak terjadi
nokturia, menghindari obat-obat dekongestan (parasimpatolitik),
mengurangi minum kopi dan tidak diperbolehkan minum alkohol agar
tidak terlalu sering miksi. Pasien dianjurkan untuk menghindari
mengangkat barang yang berat agar perdarahan dapat dicegah. Anjurkan
pasien agar sering mengosongkan kandung kemih (jangan menahan
kencing terlalu lama) untuk menghindari distensi kandung kemih dan
hipertrofi kandung kemih. Secara periodik pasien dianjurkan untuk
melakukan control keluhan, pemeriksaan laboratorium, sisa kencing dan
pemeriksaan colok dubur (Purnomo, 2011).
Pemeriksaan derajat obstruksi prostat menurut Purnomo (2011) dapat
diperkirakan dengan mengukur residual urin dan pancaran urin:
a. Residual urin, yaitu jumlah sisa urin setelah miksi. Sisa urin dapat
diukur dengan cara melakukan kateterisasi setelah miksi atau ditentukan
dengan pemeriksaan USG setelah miksi.
b. Pancaran urin (flow rate), dapat dihitung dengan cara menghitung
jumlah urin dibagi dengan lamanya miksi berlangsung (ml/detik) atau
dengan alat urofometri yang menyajikan gambaran grafik pancaran urin.
Terapi medikamentosa
Menurut Baradero dkk (2007) tujuan dari obat-obat yang diberikan pada
penderita BPH adalah :
a. Mengurangi pembesaran prostat dan membuat otot-otot berelaksasi
untuk mengurangi tekanan pada uretra
b. Mengurangi resistensi leher buli-buli dengan obat-obatan golongan alfa
blocker (penghambat alfa adrenergenik)
c. Mengurangi volum prostat dengan menentuan kadar hormone
testosterone/ dehidrotestosteron (DHT).
Adapun obat-obatan yang sering digunakan pada pasien BPH,
menurut Purnomo (2011) diantaranya : penghambat adrenergenik alfa,
penghambat enzin 5 alfa reduktase, fitofarmaka. Penghambat adrenergenik
alfa Obat-obat yang sering dipakai adalah prazosin,
doxazosin,terazosin,afluzosin atau yang lebih selektif alfa 1a

39
(Tamsulosin). Dosis dimulai 1mg/hari sedangkan dosis tamsulosin adalah
0,2-0,4 mg/hari.
Penggunaaan antagonis alfa 1 adrenergenik karena secara selektif
dapat mengurangi obstruksi pada buli-buli tanpa merusak kontraktilitas
detrusor. Obat ini menghambat reseptor-reseptor yang banyak ditemukan
pada otot polos di trigonum, leher vesika, prostat, dan kapsul prostat
sehingga terjadi relakasi didaerah prostat. Obat-obat golongan ini dapat
memperbaiki keluhan miksi dan laju pancaran urin. Hal ini akan
menurunkan tekanan pada uretra pars prostatika sehingga gangguan aliran
air seni dan gejala-gejala berkurang. Biasanya pasien mulai merasakan
berkurangnya keluhan dalam 1-2 minggu setelah ia mulai memakai obat.
Efek samping yang mungkin timbul adalah pusing, sumbatan di hidung
dan lemah. Ada obat-obat yang menyebabkan ekasaserbasi retensi urin
maka perlu dihindari seperti antikolinergenik, antidepresan, transquilizer,
dekongesta
a. Pembedahan terbuka, beberapa teknik operasi prostatektomi terbuka
yang biasa digunakan adalah :
1) Prostatektomi suprapubik Adalah salah satu metode mengangkat
kelenjar melalui insisi abdomen. Insisi dibuat dikedalam kandung kemih,
dan kelenjar prostat diangat dari atas. Teknik demikian dapat digunakan
untuk kelenjar dengan segala ukuran, dan komplikasi yang mungkin
terjadi ialah pasien akan kehilangan darah yang cukup banyak dibanding
dengan metode lain, kerugian lain yang dapat terjadi adalah insisi
abdomen akan disertai bahaya dari semua prosedur bedah abdomen mayor.
2) Prostatektomi perineal Adalah suatu tindakan dengan mengangkat
kelenjar melalui suatu insisi dalam perineum. Teknik ini lebih praktis dan
sangat berguan untuk biopsy terbuka. Pada periode pasca operasi luka
bedah mudah terkontaminasi karena insisi dilakukan dekat dnegan rectum.
Komplikasi yang mungkin terjadi dari tindakan ini adalah inkontinensia,
impotensi dan cedera rectal.
3) Prostatektomi retropubik Adalah tindakan lain yang dapat dilakukan,
dengan cara insisi abdomen rendah mendekati kelenjar prostat, yaitu

40
antara arkus pubis dan kandung kemih tanpa memasuki kandung kemih.
Teknik ini sangat tepat untuk kelenjar prostat yang terletak tinggi dalam
pubis. Meskipun jumlah darah yang hilang lebih dapat dikontrol dan letak
pembedahan lebih mudah dilihat, akan tetapi infeksi dapat terjadi diruang
retropubik.
b. Pembedahan endourologi, pembedahan endourologi transurethral dapat
dilakukan dengan memakai tenaga elektrik diantaranya:
1) Transurethral Prostatic Resection (TURP) Merupakan tindakan operasi
yang paling banyak dilakukan, reseksi kelenjar prostat dilakukan dengan
transuretra menggunakan cairan irigan (pembilas) agar daerah yang akan
dioperasi tidak tertutup darah. Indikasi TURP ialah gejala-gejala sedang
sampai berat, volume prostat kurang dari 90 gr.Tindakan ini dilaksanakan
apabila pembesaran prostat terjadi dalam lobus medial yang langsung
mengelilingi uretra. Setelah TURP yang memakai kateter threeway. Irigasi
kandung kemih secara terus menerus dilaksanakan untuk mencegah
pembekuan darah. Manfaat pembedahan TURP antara lain tidak
meninggalkan atau bekas sayatan serta waktu operasi dan waktu tinggal
dirumah sakit lebih singkat.Komplikasi TURP adalah rasa tidak enak pada
kandung kemih, spasme kandung kemih yang terus menerus, adanya
perdarahan, infeksi, fertilitas (Baradero dkk, 2007).
2) Transurethral Incision of the Prostate (TUIP) Adalah prosedur lain
dalam menangani BPH. Tindakan ini dilakukan apabila volume prostat
tidak terlalu besar atau prostat fibrotic. Indikasi dari penggunan TUIP
adalah keluhan sedang atau berat, dengan volume prostat normal/kecil (30
gram atau kurang). Teknik yang dilakukan adalah dengan memasukan
instrument kedalam uretra. Satu atau dua buah insisi dibuat pada prostat
dan kapsul prostat untuk mengurangi tekanan prostat pada uretra dan
mengurangi konstriksi uretral. Komplikasi dari TUIP adalah pasien bisa
mengalami ejakulasi retrograde (0-37%) (Smeltzer dan Bare, 2002).
3) Terapi invasive minimal Menurut Purnomo (2011) terapai invasive
minimal dilakukan pada pasien dengan resiko tinggi terhadap tindakan
pembedahan. Terapi invasive minimal diantaranya Transurethral

41
Microvawe Thermotherapy (TUMT), Transuretral Ballon Dilatation
(TUBD), Transuretral Needle Ablation/Ablasi jarum Transuretra (TUNA),
Pemasangan stent uretra atau prostatcatt.
a) Transurethral Microvawe Thermotherapy (TUMT), Alat yang dipakai
antara lain prostat. b) Transuretral Ballon Dilatation (TUBD), pada tehnik
ini dilakukan dilatasi (pelebaran) saluran kemih yang berada di prostat
dengan menggunakan balon yang dimasukkan melalui kateter. Teknik ini
efektif pada pasien dengan prostat kecil, 23 kurang dari 40 cm.
c) Transuretral Needle Ablation (TUNA), pada teknik ini memakai energy
dari frekuensi radio yang menimbulkan panas mencapai 100 derajat
selsius, sehingga menyebabkan nekrosis jaringan prostat (Purnomo, 2011).
d) Pemasangan stent uretra atau prostatcatth yang dipasang pada uretra
prostatika untuk mengatasi obstruksi karena pembesaran prostat, selain itu
supaya uretra prostatika selalu terbuka, sehingga urin leluasa melewati
lumen uretra prostatika.
Pemasangan alat ini ditujukan bagi pasien yang tidak mungkin
menjalani operasi karena resiko pembedahan yang cukup tinggi. H.
Komplikasi Menurut Sjamsuhidajat dan De Jong (2005) komplikasi BPH
adalah :
1. Retensi urin akut, terjadi apabila buli-buli menjadi dekompensasi
2. Infeksi saluran kemih
3. Involusi kontraksi kandung kemih
4. Refluk kandung kemih
5. Hidroureter dan hidronefrosis dapat terjadi karena produksi urin terus
berlanjut maka pada suatu saat buli-buli tidak mampu lagi menampung
urin yang akan mengakibatkan tekanan intravesika meningkat.
6. Gagal ginjal bisa dipercepat jika terjadi infeksi
7. Hematuri, terjadi karena selalu terdapat sisa urin, sehingga dapat
terbentuk batu endapan dalam buli-buli, batu ini akan menambah keluhan
iritasi.

42
Purnomo (2011) dan Baradero dkk (2007) menjelaskan tentang
pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada penderita BPH
meliputi :
1) Laboratorium
a) Analisi urin dan pemeriksaan mikroskopik urin penting dilakukan untuk
melihat adanya sel leukosit, bakteri dan infeksi. Pemeriksaan kultur urin
berguna untuk menegtahui kuman penyebab infeksi dan sensitivitas kuman
terhadap beberapa antimikroba.
b) Pemeriksaan faal ginjal, untuk mengetahui kemungkinan adanya
penyulit yang menegenai saluran kemih bagian atas. Elektrolit, kadar
ureum dan kreatinin darah merupakan informasi dasar dari fungsin ginjal
dan status metabolic.
c) Pemeriksaan prostate specific antigen (PSA) dilakukan sebagai dasar
penentuan perlunya biopsy atau sebagai deteksi dini keganasan. Bila nilai
PSA 10 ng/ml.
2) Radiologis/pencitraan Menurut Purnomo (2011) pemeriksaan radiologis
bertujuan untuk memperkirakan volume BPH, menentukan derajat
disfungsi bulibuli dan volume residu urin serta untuk mencari kelainan
patologi lain, baik yang berhubungan maupun tidak berhubungan dengan
BPH.
a) Foto polos abdomen, untuk mengetahui kemungkinan adanya batu
opak di saluran kemih, adanya batu/kalkulosa prostat, dan adanya
bayangan buli-buli yang penuh dengan urin sebagai tanda adanya retensi
urin. Dapat juga dilihat lesi osteoblastik sebagai tanda metastasis dari
keganasan prostat, serta osteoporosis akbibat kegagalan ginjal.
b) Pemeriksaan Pielografi intravena ( IVP ), untuk mengetahui
kemungkinan adanya kelainan pada ginjal maupun ureter yang berupa
hidroureter atau hidronefrosis. Dan memperkirakan besarnya kelenjar
prostat yang ditunjukkan dengan adanya indentasi prostat (pendesakan
buli-buli oleh kelenjar prostat) atau ureter dibagian distal yang berbentuk
seperti mata kail (hooked fish)/gambaran ureter berbelok-belok di vesika,

43
penyulit yang terjadi pada buli-buli yaitu adanya trabekulasi, divertikel
atau sakulasi buli-buli.
c) Pemeriksaan USG transektal, untuk mengetahui besar kelenjar prostat,
memeriksa masa ginjal, menentukan jumlah residual urine, menentukan
volum buli-buli, mengukur sisa urin dan batu ginjal, divertikulum atau
tumor buli-buli, dan mencari kelainan yang mungkin ada dalam buli-buli.

44

Anda mungkin juga menyukai