Anda di halaman 1dari 5

Bencana Alam dan Ketidakmampuan Membacanya

Wahyu pertama yang diperintahkan untuk manusia. Dalam Alquran, ayat Tuhan yang harus
dibaca manusia terdiri atas ayat-ayat kauliyyah (kalam) dan ayat-ayat yang bersifat
kauniyyah (alam). Membaca Alam, Membaca Kalam! Membaca adalah mencermati setiap
hal yang bisa dicerna panca indera, untuk kemudian dicerna, diolah, dan dianalisis dengan
otak, untuk menjadi ilmu pengetahuan yang dapat berdaya guna dalam meraih hidup yang
lebih baik, untuk hari ini, esok, dan masa depan.
Jika kita menafakuri alam ini dengan pikiran jernih, kita akan menemukan bahwa alam
semesta bagaikan bangunan rumah, yang menyediakan berbagai perlengkapan yang
sempurna. Langit ditinggikan seperti atap. Bumi dihamparkan seperti lantai. Bintang-bintang
ditaburkan seperti lampu. Dan barang-barang tambang di perut bumi, ibarat kekayaan yang
terpendam. Semua itu disiapkan dan disediakan untuk kepentingan alam itu. Sementara itu,
manusia ibarat pemilik rumah yang dianugerahi segala isinya. Berbagai jenis tumbuhan
disediakan untuk memenuhi kebutuhannya, dan bermacam-macam hewan diberikan untuk
menopang kehidupannya.
Langit diciptakan dengan warna yang dapat dipandang mata. Seandainya langit diciptakan
dalam bentuk sinar atau cahaya, pasti akan menyakitkan mata orang yang memandangnya.
Warna kebiru-biruan membuat mata manusia bisa menikmati pemandangan langit. Apalagi
ketika malam mengganti siang, dan bintang-bintang serta bulan bercahaya terang. Manusia
dapat memandang ciptaan Allah, dan dalam keindahan langit, manusia dapat menemukan
Tuhan, pencipta jagat raya.
Selanjutnya ketika menyadari keindahan langit, manusia akan merenungkan keindahan tata
surya. Perputaran bintang-bintang memberikan petunjuk, arah dan waktu kepada manusia.
Ada lintasan-lintasan yang bekas-bekasnya dapat terlihat, di barat dan di timur. Ada juga
kumpulan bintang yang membentuk rasi tertentu, sehingga menjadi petunjuk arah bagi orang
yang tersesat. Dengan petunjuk rasi bintang, manusia dapat menemukan arah yang ditujunya.
Ingat dongeng tiga raja yang menemu bayi Yesus di kandang domba Yerusalem?

ALAM SEBAGAI PEMBELAJARAN | Dalam sebuah dongeng sufi, Tsabit Bannani berkata,
"Suatu ketika Kanjeng Nabi Daud melewati sebuah lampu penerang yang sedang menyala.
Kemudian dia teringat akan api neraka yang dahsyat. Maka seketika itu juga, dia bergetar dan
menjerit dengan keras, sehingga tampak anggota badan dan sendi-sendinya seakan terputus."
Demikianlah di antara akhlak sufi yang mulia. Seorang sufi sejati selalu memandang dunia
dengan pandangan iktibar (pelajaran) bukan pandangan syahwat dan rasa senang, dan atau
rasa marah serta kekecewaan yang mendalam.
Ketika kita berhadapan dan apalagi tertimpa bencana alam, sering ungkapan yang muncul
adalah; “Mungkin Tuhan sedang marah, atau mulai bosan dengan dosa-dosa kita”, dan “Coba
kita bertanya pada rumput yang bergoyang.”
Dua ungkapan itu, tidak cukup inspiratif, dan hanya menunjuk kelemahan kita. Bagaimana
mungkin kita mampu bertanya pada rumput yang bergoyang, jika bencana alam pun hanya
dimaknai sebagai “Tuhan marah kepada kita”. Tentu saja, bertanya pada rumput yang
bergoyang hanya idiom, tetapi idiom itu dengan jelas merujuk pada keputus-asaan karena
ketidaktahuan. Kenapa tidak bertanya pada pengetahuan, sedang Tuhan sendiri selalu
menyediakan jawaban atas hukum alam yang dipetakannya?
"Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang,
terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal," demikian dituliskan dalam Quran, Ali
Imran, 190. Artinya, segala sesuatu bisa diuraikan, ada asbab-musabab, ada hukum kausalitas
yang melingkunginya.
Bencana memang datang tak diundang. Kalau diundang mungkin bukan bencana, tapi
kenduri atau kondangan. Namun meski teknologi sudah bisa memprediksi beberapa bencana,
tetap saja gejolak kekuatan alam muncul di luar konstruks akal manusia.
Sementara itu, perilaku manusia, sebagai salah satu penyumbang bencana alam jadi tampak
“kejam” dan “jahat”, adalah kebandelan dan kebanggaan pada kebodohannya. Sudah tahu
tinggal di daerah banjir, tetap bandel tinggal di daerah itu. Menolak dipindah karena alasan
ini dan itu. Tapi kalau sengsara atau menderita, mengeluh-ngeluh minta sumbangan. Kalau
mendapat nasi bungkus berlauk telur dadar dibuang sembarang di sungai. Terus ceramah soal
HAM dan sebagainya.
Kalau pas tidak musimnya, perilaku kesehariannya tidak menghargai lingkungan. Setelah
bencana lewat pun, tidak segera mampu melakukan perubahan perilaku untuk mengantisipasi.
Kalah dengan hewan, yang selalu adaptif dalam menghadapi rahasia alam itu. Bahkan,
binatang selalu lebih antisipatif daripada manusia. Manusia bodoh saja yang mencengcang
sapi di permukimannya, sementara mereka mengungsi di daerah aman (kalau dituding begini,
biasanya ngamuk-ngamuk, dan menyodorkan kemiskinan sebagai alasan).
Padahal persoalannya bukan pada kemiskinan atau kekayaan, tetapi mau belajar atau tidak.
Antisipatif atau tidak. Tentu saja, Pemerintah juga harus dituding sebagai penyebab, entah
dari pembiaran sampai tidak adanya mekanisme untuk melakukan social enginering. Yang
mereka lakukan pembangunan itu hanya hal fisik, namun perilaku dan pola pikir, sama sekali
tidak ada yang mengurus. Sementara sekolah-sekolah kita dari TK hingga Universitas, sama
sekali tidak serius dipandang oleh pemerintah (dan apalagi swasta) dalam merekonstruksi
pertumbuhan masyarakat.
Di situ sesungguhnya perbedaan manusia dan binatang. Jika binatang hanya “hit and run”
menghadapi bencana, manusia mempunyai akal untuk mempelajari dan mengantisipasinya.
Termasuk bagaimana manusia bisa mengatur tata-ruang dan arsitektur bangunan.

HEWAN LEBIH PEKA DARI MANUSIA | Dalam hal membaca alam, manusia kalah
dengan hewan. Selama berabad-abad hewan dapat memprediksi bencana alam, jauh sebelum
manusia dapat memprediksinya. Hewan seolah-olah memiliki indera keenam untuk
mengetahui akan adanya badai, gempa bumi, dan tsunami. Para ilmuwan berteori bahwa
hewan mampu menangkap getaran-getaran atau perubahan tekanan udara di sekitar mereka,
yang tidak dapat dilakukan manusia.
Memang hewan memiliki sensor yang sangat halus. Pada beberapa spesies, ada yang
memiliki kemampuan sensor diluar kemampuan manusia. Selama bertahun-tahun, para
ilmuwan telah mencoba menentukan kemampuan sensor tersebut. Sesungguhnya, ini
keunggulan manusia yang berakal, untuk justru memanfaatkan hal tersebut sebagai penanda.
Tapi di kota-kota besar, hewan-hewan dieksploitasi dan direduksi sensitivitasnya.
Padahal, peneliti di China telah mempelajari masalah ini sejak tahun 1950-an, dan
menemukan bahwa beberapa hewan seperti ular, dapat mendeteksi gempa bumi. Ular terlihat
keluar dari sarang mereka di tengah hibernasi (tidur panjang) musim dingin, dan binatang lain
tampaknya juga dapat merasakan gempa sebelum benar-benar terjadi.
Di Sri Lanka dan Thailand, ada sebuah cerita tentang gajah-gajah berlari ke bukit satu jam
sebelum tsunami tahun 2004, yang menghancurkan desa dan membunuh hingga 150.000
orang di kedua negara itu. Ravi Corea, presiden dan pendiri Sri Lanka Wildlife Conservation
Society, mengatakan bahwa orang-orang melihat tiga gajah yang melarikan diri menuju
tempat yang lebih tinggi, satu jam sebelum adanya tsunami, di suaka margasatwa terbesar
kedua di Sri Lanka, Yala National Park.
Pada kenyataannya hewan-hewan memiliki pendengaran yang fenomenal. Gajah dapat
merespons dan memproduksi gelombang infrasonik (gelombang suara pada frekuensi yang
lebih rendah dari gelombang yang dapat didengar manusia). Mamalia yang memiliki
kemampuan sama adalah jenis paus tertentu. Ada kemungkinan perubahan geografis
menghasilkan suara dengan frekuensi rendah yang tidak bisa didengar oleh manusia, tapi
dapat ditangkap oleh gajah. Namun gajah bukanlah satu-satunya hewan yang dapat
mendeteksi adanya bencana. Burung, monyet, anjing dan semua makhluk lain tampaknya
bertingkah aneh sebelum adanya bencana alam.
Beberapa kelelawar, yang aktif di malam hari dan biasanya tidur di siang hari, menjadi sangat
aktif setengah jam sebelum gelombang tsunami datang. Anjing yang biasanya terlihat senang,
melompat-lompat dan berlari-lari dengan pemiliknya, menjadi tidak tertarik melakukan hal
tersebut. Begitu pula dengan monyet yang biasanya sangat suka dengan pisang, tiba-tiba
menjadi tidak tertarik dan bertingkah sangat aneh.
Hal-hal tersebut mengajarkan kita untuk lebih memperhatikan tanda-tanda alam yang ada
sebelum terjadinya bencana alam. Hewan liar dapat bertahan hidup dengan selalu waspada.
Alam sangatlah lentur, dan kita tidak boleh lupa bahwa manusia juga bagian dari alam.
Tetapi, manusia terasa lebih unggul karena ia adalah mahkluk pembelajar karena akal
budinya. Berbeda dengan hewan yang “hanya” hit and run, manusia semestinya bisa
merekayasa dan mengantisipasinya. Sementara apa yang terjadi akhir-akhir ini, jika kita
melihat reportase media pada korban bencana, tampak manusia menjadi jauh lebih bodoh dari
hewan. Disamping tidak bisa membaca tanda-tanda alam, melakukan antisipasi pun tidak
bisa.

BACALAH ALAM BACALAH KALAM | Teknologi bencana gempa hingga kini masih
belum bisa secara tepat memprediksi datangnya bencana. Ilmuwan baru bisa memprediksi
kemungkinan terjadinya gempa karena ada pergeseran bumi, tapi tidak tahu persis kapan
waktunya. Sedangkan letusan gunung berapi harusnya juga mulai diwaspadai jika sudah ada
tanda-tanda peningkatan suhu udara yang ekstrem sekitar gunung.
Mencintai alam adalah salah satu cara kita bersyukur pada sang pencipta alam beserta isinya.
Keindahannya semestinya kita jaga, kita nikmati, kita resapi, karena alam adalah anugerah
yang tak pernah habis. Itulah bukti kita mencintai alam sekitar kita.
"Kapan salah seorang diantara kita dapat menjadi orang yang selalu mengambil pelajaran?"
bertanya Bannani pada Hatim Al Ashamm.
Hatim menjawab, "Apabila orang itu dapat melihat bahwa apapun di dunia akan sirna dan
bahwa orang yang memiliki kekayaan dunia juga akan sirna."
"Hendaklah pandanganmu terhadap dunia adalah pandangan iktibar, pemanfaatanmu pada
dunia adalah keterpaksaan, dan penolakanmu pada dunia adalah pilihan," kata Yahya bin
Muadz.
Para sufi senantiasa melihat proses penciptaan alam sebagai sarana menuju (keridhaan) Allah.
Mereka selalu membaca berbagai hikmah yang ada di balik alam. Mereka menafakuri
semuanya hingga menghasilkan rumusan pengetahuan purna, yang berguna bagi kehidupan
manusia setelah mereka. Matahari, bumi, dan langit di pandang oleh mereka bukan sekadar
untuk dinikmati keindahannya, tetapi untuk direnungkan hikmah dibaliknya. Bacalah alam,
bacalah kalam.
Jadi, jangan hanya berkeluh kesah, menuntut sumbangan, atau saling menyalahkan. Apalagi
mengkambinghitamkan bencana sebagai kemarahan Tuhan. Berhimpunlah rakyat jelata,
pemerintah dan orang pintar (politikus jangan diajak, nanti cuma ngibul dia). Jadilah manusia
pembelajar, bacalah alam. Kalau pun tak bisa, bacalah kalam. Tak bisa juga? Artinya kita
memang kurang bisa bersyukur.
Kesadaran Tinggi adalah Berkah Bagi Alam Semesta
Semakin tinggi kesadaran manusia (high consciuousness) menuntut tanggungjawab yang
lebih besar pula. Karena semakin tinggi kesadaran berarti seseorang semakin berkemampuan
lebih serta dapat melakukan apa saja. Celakanya, bila kesadaran tinggi jatuh ke dalam
penguasaan nafsu negatif. Sehingga manusia bukan melakukan sesuatu yang konstruktif
untuk alam semesta (rahmat bagi alam), sebaliknya melakukan perbuatan yang destruktif
(laknat kepada alam). Sementara tanggungjawab manusia adalah menjaga harmonisasi alam
semesta dengan melakukan sinergi antara jagad kecil (diri) dan jagad besar (alam semesta)
dengan kata lain berbuat sesuai dengan rumus-rumus (kodrat) Tuhan. Sebagai contoh kita
mengakui bahwa Tuhan itu Maha Maha Pengasih maka kita harus welas asih pada sesama.
Jika kita yakin Tuhan Maha Pemurah dan Penolong, maka kita tidak boleh pelit dalam
membantu dan menolong sesama. Bila kita percaya Tuhan Maha Besar dan Maha Adil maka
kita tak boleh primordial, rasis, hipokrit, etnosentris, mengejar kepentingan sendiri,
kelompok atau golongannya. Jika kita memahami bahwa Tuhan Maha Bijaksana; maka kita
tidak boleh mengejar “api” (nar) ke-aku-an, yakni rasa mau menang sendiri, mau bener
sendiri, mau mengejar butuhnya sendiri, sembari mencari-cari kesalahan orang lain.
Demikian seterusnya, sehingga perbuatan kita menjadi berkah untuk lingkungan sekitar,
untuk alam semesta dengan segala isinya.

Proses berkembang manusia bersifat adi kodrati menuju pada hukum/rumus alam yang
paling dominan yakni PRINSIP KESEIMBANGAN (harmonisasi) alam semesta.
Penentangan rumus alam/kodrat Tuhan tersebut adalah sebuah malapetaka besar kehidupan
manusia yakni kehancuran peradaban bahkan kehancuran bumi. Dalam terminologi Jawa
tanggungjawab atas dicapainya kualitas kesadaran manusia tampak dalam pesan-pesan arif
nan bijaksana untuk meredam nafsu misalnya; ngono yo ngono ning aja ngono (jangan
berlebihan atau lepas kendali), aja dumeh (jangan mentang-mentang), serta menjaga sikap
eling dan waspadha.

Memahami kesadaran tidaklah mudah, karena bekalnya adalah kesadaran pula. Sebagaimana
digambarkan dalam filosofi Jawa dalam bentuk saloka : Nggawa latu adadamar ;
…membawa api untuk mencari api”. Hal itu menjadi satu problematika tersendiri (the
problem of consciousness) umpama tamsil ; ..kalau ingin cari makan untuk mengisi perutmu,
syaratnya perutmu harus kenyang dulu.

Anda mungkin juga menyukai