Anda di halaman 1dari 16

2.2.

Kalium
2.2.1. Definisi Kalium
Kalium merupakan kation utama yang terdapat pada cairan intraseluler dengan
konsentrasi ± 150 mmol/L. Sekitar 98% dari total kalium tubuh berada dalam kompartemen
ini. Sekitar 2%dari total kalium tubuh akan terdistribusi ke ruangan vascularyang terdapat pada
cairan ekstraseluler dengan konsentrasi 3.5-5. 0 mmo l /L. Konsentrasi total kalium dalam
tubuh diperkirakan sebanyak 2 g/kg berat badan.
2.2.2. Fungsi Kalium
Kalium berperan penting dalam fungsi tubuh normal, berikut adalah beberapa fungsi dari
kalium pada tubuh:

 Fungsi biokimia. Kalium berperan penting dalam fungsi sistem saraf, serta berperan
terhadap keseimbangan tekanan osmotik antara cairan di dalam sel (intrasel) dengan
cairan pada ruang antar sel (interstitial), yang dimediasi oleh oleh suatu mekanisme
yang disebut sebagai pompa Na+/K+-ATPase.
 Polarisasi membran. Kalium berperan dalam kerja otot serta penghantaran
seluruh impuls saraf melalui potensial aksi. Rendahnya kadar kalium dalam serum
darah dapat menyebabkan suatu kondisi yang mengancam jiwa, kondisi tersebut dapat
disebabkan oleh diare, muntah, dan atau peningkatan frekuensi berkemih.
 Filtrasi dan ekskresi. Kalium bersama dengan natrum dan calsium berperan dalam
regulasi proses filtrasi serta ekskresi cairan dan mineral pada tubuh manusia

2.2.3. Fisiologi Kalium


Kalium (K) adalah kation utama kompartemen cairan intraseluler ( CIS ). Sekitar
90% asupan kalium diekskresikan di urin dan 10 % di feses. Konsentrasi normal kalium di
plasma adalah 3,5 – 4,8 mmol/L, sedangkan konsentrasi intraseluler dapat 30 kali lebih tinggi,
dan jumlahnya mencapai 98 % dari jumlah K keseluruhan. Walaupun kadar kalium di dalam
CES hanya berkisar 2 % saja, akan tetapi memiliki peranan yang sangat penting dalam menjaga
homeostasis. Perubahan sedikit saja pada kalium intraseluler, akan berdampak besar pada
konsentrasi kalium plasma.
Konsentrasi total kalium di dalam tubuh diperkirakan sebanyak 2g/kg berat badan.
Namun jumlah ini dapat bervariasi bergantung terhadap beberapa faktor seperti jenis kelamin,
umur dan massa otot (muscle mass). Kebutuhan minimum kalium diperkirakan sebesar 782
mg/hari.
Kalium sangat penting bagi sistem saraf dan kontraksi otot, kalium juga
dimanfaatkan oleh sistem saraf otonom (SSO), yang merupakan pengendali detak jantung,
fungsi otak, dan proses fisiologi penting lainnya. Kalium ditemukan di hampir seluruh tubuh
dalam bentuk elektrolit dan banyak terdapat pada saluran pencernaan. Sebagian besar kalium
tersebut berada di dalam sel, sebagian lagi terdapat di luar sel. Mineral ini akan berpindah
secara teratur dari dan keluar sel, tergantung kebutuhan tubuh.
Di dalam tubuh, kalium biasanya bekerja sama dengan natrium (Na) dalam mengatur
keseimbangan muatan elektrolit cairan tubuh dan keseimbangan asam basa. Keseimbangan ini
dijaga dengan menyesuaikan jumlah asupan kalium dari makanan dan jumlah kalium yang
dibuang. Selain itu, bersama dengan kalsium (Ca ) dan natrium (Na), kalium akan berperan
dalam transmisi saraf, pengaturan enzim dan kontraksi otot. Hampir sama dengan natrium,
kalium juga merupakan garam yang dapat secara cepat diserap oleh tubuh.
Dalam keadaan normal, organ ginjal berperan menyesuaikan antara asupan dan
jumlah kalium yang dibuang tubuh. Sebagian besar kalium dibuang melalui urin, walaupun ada
juga yang keluar bersama tinja.
Sekitar 98% jumlah kalium dalam tubuh berada di dalam cairan intrasel. Konsentrasi
kalium intrasel sekitar 145 mEq/L dan konsentrasi kalium ekstrasel 4-5 mEq/L (sekitar 2%).
Jumlah konsentrasi kalium pada orang dewasa berkisar 50-60 per kilogram berat badan (3000-
4000 mEq). Jumlah kalium ini dipengaruhi oleh umur dan jenis kelamin. Jumlah kalium pada
wanita 25% lebih kecil dibanding pada laki-laki dan jumlah kalium pada orang dewasa lebih
kecil 20% dibandingkan pada anak-anak. Perbedaan kadar kalium di dalam plasma dan cairan
interstisial dipengaruhi oleh keseimbangan Gibbs-Donnan, sedangkan perbedaan kalium cairan
intrasel dengan cairan interstisial adalah akibat adanya transpor aktif (transpor aktif kalium ke
dalam sel bertukar dengan natrium). Jumlah kalium dalam tubuh merupakan cermin
keseimbangan kalium yang masuk dan keluar. Pemasukan kalium melalui saluran cerna
tergantung dari jumlah dan jenis makanan. Orang dewasa pada keadaan normal mengkonsumsi
60-100 mEq kalium perhari (hampir sama dengan konsumsi natrium). Kalium difiltrasi di
glomerulus, sebagian besar (70- 80%) direabsorpsi secara aktif maupun pasif di tubulus
proksimal dan direabsorpsi bersama dengan natrium dan klorida di lengkung henle. Kalium
dikeluarkan dari tubuh melalui traktus gastrointestinal kurang dari 5%, kulit dan urine
mencapai 90%.
Nilai Rujukan Kalium

Nilai rujukan kalium serum pada:

- serum bayi : 3,6-5,8 mmol/L

- serum anak : 3,5-5,5 mmo/L

- serum dewasa : 3,5-5,3 mmol/L

- urine anak : 17-57 mmol/24 jam

- urine dewasa : 40-80 mmol/24 jam

- cairan lambung : 10 mmol/L

2.2.4. Jalur Pemberian Kalium


- Kalium Oral
Bila garam kalium diberikan untuk mencegah hipokalemia dosis kalium klorida 2 – 4
g (kira-kira 25 – 50 mmol) tiap hari peroral dapat diberikan pada pasien dengan diet normal.
Dosis yang lebih kecil harus digunakan bila terdapat insufisiensi ginjal (biasanya terjadi pada
penderita lanjut usia) bila tidak ada bahaya hiperkalemia. Jika terdapat kekurangan kalium
yang berat dosis yang lebih besar dapat diberikan, jumlahnya tergantung dari besarnya
kehilangan kalium.
- Intravena,
KCL dapat diberikan intravena sebagai tambahan terapi pengganti oral pada pasien
dengan hipokalemia berat simtomatik. Keterbatasan utama untuk terapi intravena termasuk
risiko kelebihan cairan pada pasien risiko tinggi dan hiperkalemia karena koreksi
berlebih.Perlunya terapi kalium intravena agresif terutama pada pasien-pasien dengan
ketoasidosis atau hiperkalemia nonketotok yang datang dengan hipokalemia oleh karena
kehilangan kalium berat. Terapi dengan kalium dan insulin akan memperberat hipokalemia.
Sisi baiknya, pada pasien-pasien ini juga mempunyai kekurangan cairan, sehingga terapi
kalium klorida 40-60 mEq/L dalam ½ NS dapat diberikan untuk perbaikan cairan dan kalium,
dengan risiko rendah kongesti pulmonar pada keadaan ini.Meskipun NS merupakan cairan
utama yang dipakai pada keadaan ketoasidosis diabetikum atau hiperglikemia nonketotik,
penambahan kalium akan membuat cairan ini hipertonik (oleh karena kalium juga aktif secara
osmotik), oleh karenanya menghambat pemulihan hiperosmolaritas yang terutama
bertanggung jawab untuk gejala neurologis pada kelainan ini. Pada sisi lain, kombinasi 40-60
mEq/L kalium dalam ½ NS mempunyai kadar osmotik setara dengan normal salin.Pemberian
kalium intravena yang direkomendasikan berkisar antara 10-20 mEq/jam; pemberian dengan
laju yang lebih tinggi mempunyai risiko tinggi hiperkalemia. Meskipun demikian, pemberian
sebanyak 40-100 mEq/jam dapat diberikan pada pasien-pasien tertentu dengan paralisis atau
aritmia mengancam jiwa. Pada keadaan ini, larutan mengandung 200-400 mEq kalium per liter
telah digunakan; pada praktisnya larutan dengan konsentrasi 100-200 mEq/L lebih sering
digunakan. Konsentrasi setinggi ini harus disipakan sebagai larutan 10-20 mEq/L kalium dalam
100 cc cairan untuk menghindari pemberian kalium intravena dalam jumlah besar secara tidak
sengaja. Apabila konsentrasi tinggi digunakan, usaha-usaha untuk menjaga keamanan harus
dilakukan dengan pemberian menggunakan pompa infus. Larutan kalium dengan konsentrasi
lebih dari 60 mEq/L seringkali nyeri dan harus diberikan lewat vena sentral.Pemantauan efek
fisiologis hipokalemia berat (kelainan EKG, kelemahan otot atau paralisis) penting, terutama
apabila koreksi cepat digunakan (lebih dari 20 mEq/jam). Segera setelah permasalahan ini tidak
lagi berat, laju penggantian kalium harus diturunkan (10 sampai 20 meQ/jam) atau diganti
hanya dengan koreksi oral, bahkan bila terjadi hipokalemia persisten.

2.3. Gangguan Keseimbangan Kalium

Penting memahami bahwa perubahan dalam simpanan kalium tubuh tidak selalu terjadi
dalam arah yang sama seperti perubahan dalam konsentrasi kalium plasma sehingga dengan
mengukur kalium plasma hanya mendapatkan pandangan terbatas atas perubahan kalium tubuh
total. Pada umumnya perubahan 1 mmol/l kalium plasma berarti perubahan 200 mmol kalium
tubuh. Dalam prakteknya biasanya derajat abnormalitas keseimbangan kalium secara klinis
digambarkan benar-benar adekuat oleh konsentrasi kalium plasma dan pengukuran kalium sel-
sel tidak siap untuk dapat dilakukan. Hantaran neuromuskuler dan perubahan elektrografi yang
karakteristik bagi kadar kalium plasma yang abnormal mungkin tergantung atas gradien kalium
ekstraseluler/intraseluler dan tidak atas konsentrasi kalium plasma. kalium bisa abnormal jika
konsentrasi kalium plasma berubah.

2.3.1. Hipokalemia

2.3.1.1. Definisi
Hipokalemia (kadar kalium yang rendah dalam darah) adalah suatu keadaan dimana
konsentrasi kalium dalam darah kurang dari 3.8 mEq/L darah.

2.3.1.2. Etiologi

 Penurunan asupan kalium


Asupan kalium normal berkisar antara 40-120mEq per hari, kebanyakan diekskresikan
kembali di dalam urin. Ginjal memiliki kemampuan untuk menurunkan ekskresi kalium
menjadi 5 sampai 25 mEq per hari pada keadaan kekurangan kalium. Oleh karena itu,
penurunan asupan kalium dengan sendirinya hanya akan menyebabkan hipokalemia pada
kasus-kasus jarang. Meskipun demikian, kekurangan asupan dapat berperan terhadap derajat
keberatan hipokalemia, seperti dengan terapi diuretik atau penggunaan terapi protein cair untuk
penurunan berat badan secara cepat.
 Peningkatan jumlah insulin
insulin membantu masuknya kalium ke dalam otot skeletal dan sel hepatik, dengan cara
meningkatkan aktivitas pompa Na-K-ATPase(gambar 3).Efek ini paling nyata pada pemberian
insulin untuk pasien dengan ketoasidosis diabetikum atau hiperglikemia nonketotik berat.
Konsentrasi kalium plasma juga dapat menurun oleh karena pemberian karbohidrat. Oleh
karenanya, pemberian kalium klorida di dalam larutan mengandung dekstrosa pada terapi
hipokalemia dapat menurunkan kadar kalium plasma lebih lanjut dan menyebabkan aritmia
kardiak.

Gambar 3
Hormon hormon penyebab perpindahan kalium ke dalam sel, yang terutama adalah insulin dan
beta adrenergik.
 Peningkatan aktivitas beta adrenergik
Katekolamin yang bekerja melalui reseptor-reseptor beta 2 adrenergik, dapat membuat
kalium masuk ke dalam sel, terutama dengan meningkatkan aktivitas Na-K-ATP ase
Sebagai akibatnya, hipokalemia transien dapat disebabkan oleh keadaan-keadaan di mana
terjadi pelepasan epinefrin oleh karena stres, seperti penyakit akut, iskemia koroner atau
intoksikasi teofilin. Efek yang sama juga dapat dicapai oleh pemberian beta agonis (seperti
terbutalin, albuterol atau dopamin) untuk mengobati asma, gagal jantung atau mencegah
kelahiran prematur.
 Peningkatan kehilangan sekresi gastrik
Kehilangan sekresi gastrik atau intestinal dari penyebab apapun (muntah, diare, laksatif
atau drainase tabung) dikaitkan dengan kehilangan kalium dan kemungkinan hipokalemia.
Konsentrasi kalium pada kehilangan kalium saluran cerna bawah cukup tinggi (20-50 mEq/L)
pada sebagian besar kasus. Sebagai perbandingan, konsentrasi kalium pada sekresi gastrik
hanya 5-10 mEq/L; sehingga deplesi kalium pada keadaan ini utamanya disebabkan oleh
karena kehilangan urin.
Keadaan berikut ini yang menyebabkan kehilangan kalium urin pada kebocoran asam
lambung. Alkalosis metabolik terkait meningkatkan konsentrasi bikarbonat plasma dan oleh
karenanya beban bikarbonat pada filtrasi ginjal berada di atas ambang batas reabsorptif.
Sebagai akibatnya, lebih banyak natrium bikarbonat dan air yang dihantarkan kepada lokasi
sekresi kalium distal dalam kombinasi peningkatan aldosteron terinduksi hipovolemia.Efek
nettonya adalah peningkatan sekresi kalium dan kehilangan kalium urin secara besar-besaran.
Pada keadaan ini juga terjadi pengeluaran natrium secara tidak wajar, sehingga hanya
rendahnya kadar klorida urin yang menunjukkan adanya deplesi volume.
Kebocoran kalium urin yang diamati pada kehilangan sekresi gastrik biasanya paling
jelas pada beberapa hari pertama, setelah itu, kemampuan reabsorsi bikarbonat meningkat,
sehingga terjadi pengurangan kehilangan natrium, bikarbonat dan kalium urin secara
signifikan. Pada saat ini, pH urin jatuh dari di atas 7,0 menjadi asam (di bawah 6,0).
Sebaliknya kehilangan dari saluran cerna bagian bawah (terutama karena diare)
biasanya dikaitkan dengan kehilangan bikarbonat dan asidosis metabolik. Meskipun demikian,
beberapa pasien dengan diare faktisiosa atau penggunaan laksatif berlebihan dapat mengalami
hipokalemia dengan metabolik alkalosis.
Hipokalemia oleh karena kehilangan saluran cerna bagian bawah paling sering terjadi
pada saat kehilangan timbul dalam jangka waktu lama, seperti pada adenoma vilosa atau tumor
pensekresi peptida intestinal vasoaktif (VIPoma). Subyek normal biasanya mendapatkan
asupan kalium sekitar 80 mEq per hari. Ekskresi kalium normal harus turun di bawah 15-
25mEq/hari pada keadaan defisit kalium.
 Diuretik,
Jenis apapun yang beraksi pada daerah proksimal lokasi sekresi kalium, asetazolamid,
diuretik ansa henle dan tiazid, akan meningkatkan hantaran distal dan juga, lewat induksi
penurunan volume, mengaktivasi sistem renin-angiotensin-aldosteron. Sebagai akibatnya,
ekskresi kalium urin akan meningkat, menyebabkan hipokalemia apabila kehilangan ini lebih
besar dari asupan
(diagram 1)

Diagram 1.
Efek diuretik terhadap penurunan kadar kalium di dalam darah.
 Kelebihan mineralokortikoid primer,
Kebocoran kalium urin dapat juga merupakan ciri dari keadaan hipersekresi primer
mineralokortikoid, seperti adenoma adrenal penghasil aldosteron. Pasien-pasien ini hampir
selalu hipertensif, dan diagnosis diferensialnya meliputi terapi diuretik pada pasien dengan
hipertensi dan penyakit renovaskular, di mana terjadi peningkatan sekresi renin yang pada
akhirnya meningkatkan pelepasan aldosteron.Anion tak-terserap, gradien elektronegatif lumen
yang diciptakan oleh reabsorpsi natrium di tubulus koledokus kortikal sebagian ditekan oleh
reabsorpsi klorida. Namun demikian, terdapat beberapa keadaan klinis dimana natrium berada
di nefron distal dalam jumlah yang banyak oleh karena adanya anion tak-terserap, termasuk
bikarbonat pada vomitus atau asidosis tubular ginjal tipe2, beta-hidroksibutirat pada
ketoasidosis diabetikum, hipurat setelah penggunaan toluen atau turunan penisilin. Pada
keadaan-keadaan ini, sebagian besar natrium akan diserap kembali ditukar dengan kalium,
sehingga menghasilkan ekskresi kalium yang meningkat. Sebagai contoh, konsentrasi kalium
plasma dilaporkan sampai di bawah 2 mEq/L pada seperempat pasien dengan metabolik
asidosis terinduksi toluen.Efek anion tak terserap paling nyata pada saat terjadi kehilangan
cairan bersamaan. Pada keadaan ini, penurunan hantaran klorida distal dan peningkatan sekresi
aldosteron keduanya meningkatkan sekresi kalium.
 Asidosis metabolik,
Peningkatan kehilangan kalium lewat urin juga dapat timbul pada beberapa bentuk
asidosis metabolik, melalui mekanisme yang kurang lebih sama dengan di atas. Pada
ketoasidosis diabetikum sebagai contoh, hiperaldosteronisme terinduksi hipovolemia dan beta-
hidroksibutirat berperan sebagai anion tak-terserap semua dapat berkontribusi kepada
kehilangan kalium.Kebocoran kalium juga dapat timbul pada asidosis tubular ginjal tipe 1
(distal) dan 2 (proksimal).
Pada kedua keadaan ini, derajat kehilangan kalium tersamar oleh kecenderungan
asidemia untuk menggerakkan kalium keluar dari sel. Oleh karenanya, konsentrasi kalium
plasma lebih tinggi daripada yang seharusnya terjadi dibandingkan dengan kehilangan kalium.
pada beberapa pasien, konsentrasi kalium plasma dapat normal atau bahkan meningkat,
walaupun koreksi asidemia akan menyingkapkan keadaan keseimbangan kalium sebenarnya.
 Nefropati
Penyakit-penyakit ginjal dikaitkan dengan penurunan reabsorpsi natrium di tubulus
proksimal, ansa henle atau distal dapat menyebabkan hipokalemia melalui mekanisme yang
mirip dengan diuretik. Keadaan ini dapat dijumpai pada sindroma Bartter atau Gitelman,
penyakit tubulointerstitial (seperti nefritis interstitial oleh karena sindrom Sjogren atau
Lupus)), hiperkalsemia dan juga trauma tubular terinduksi lisozim pada pasien dengan
leukemia. Peningkatan asupan kalium oleh sel leukemik juga dapat berkontibusi pada
penurunan konsentrasi kalium plasma.
 Poliuria
Orang normal, pada keadaan kekurangan kalium, dapat menurunkan konsentrasi
kalium sampai 5 –10 mEq/L. Namun apabila produksi urin sampai melebihi 5-10 L/hari, maka
kehilangan kalium wajib dapat di atas 50-100 mEq per hari. Permasalahan ini paling mungkin
terjadi pada keadaan polidipsia primer, di mana produksi urin dapat meningkat selama jangka
waktu lama. Derajat poliuria yang sama juga dapat dijumpai pada diabetes insipidus sentral,
namun biasanya pasien dengan keadaan ini cepat mencari bantuan medis segera setelah poliuria
dimulai.

2.3.1.3. Manifestasi Klinis

Derajat manifestasi cenderung seimbang dengan keberatan dan lama hipokalemia.


Gejala biasanya tidak timbul sampai kadar kalium berada di bawah 3,0 mEq/L, kecuali kadar
kalium turun secara cepat atau pasien tersebut mempunyai faktor-faktor yang memperberat
seperti kecenderungan aritmia karena penggunaan digitalis. Gejala biasanya membaik dengan
koreksi hipokalemia.Kelemahan otot berat atau paralisis, kelemahan otot biasanya tidak timbul
pada kadar kalium di atas 2,5 mEq/L apabila hipokalemia terjadi perlahan.
Namun, kelemahan yang signifikan dapat terjadi dengan penurunan tiba-tiba, seperti
pada paralisis hipokalemik periodik, meskipun penyebab kelemahan pada keadaan ini mungkin
lebih kompleks.Pola kelemahan kurang lebih mirip dengan yang diamati pada hiperkalemia,
biasanya dimulai dengan ekstremitas bawa, meningkat sampai ke batang tubuh dan ekstremitas
atas serta dapat memburuk sampai pada titik paralisis.
Hipokalemia juga dapat menyebabkan hal berikut ini: kelemahan otot pernapasan yang
dapat begitu berat sampai menyebabkan kegagalan pernapasan dan kematian. Keterlibatan
otot-otot pencernaan, menyebabkan ileus dan gejala-gejala yang diakibatkannya seperti
distensi, anoreksia, nausea dan vomitus. Kram, parestesia, tetani, nyeri otot dan atrofi.
Aritmia kardiak dan kelainan EKG, beberapa tipe aritmia dapat dilihat pada pasien
dengan hipokalemia. kelainan ini termasuk denyut atrial dan ventrikel prematur, bradikardia
sinus, takikardia atrial atau junctional paroksismal, blok atrioventrikular sampai kepada
takikardi atau fibrilasi ventrikel. Hipokalemia menghasilkan perubahan-perubahan
karakteristik pada EKG. Biasanya dapat ditemukan depresi segmen ST, penurunan amplitudo
gelombang T dan peningkatan amplitudo gelombang U yang timbul setelah akhir gelombang
T (gambar 4). Gelombang U seringkali dapat dilihat pada lead prekordial V4 sampai V6.
Gambar 4
Gambaran khas gelombang U yang dapat dilihat pada akhir gelombang T, terutama dapat
ditemukan pada lead V4-6.
Terdapat variabilitas yang besar dalam konsentrasi kalium aktual terkait dengan
progresivitas perubahan EKG. Pada suatu penelitian terkontrol terapi tiazid (hidroklorotiazid
50mg/hari) terdapat peningkatan sampai dua kali lipat dalam kejadian aritmia ventrikular pada
pasien-pasien dengan konsentrasi kalium di bawah 3,0 mEq/L.
Sebagai tambahan, beberapa faktor komorbid seperti iskemia koroner, digitalis,
peningkatan aktivitas beta-adrenergik dan kekurangan magnesium dapat menyebabkan
aritimia, setidaknya dua terakhir dapat menyebabkan penurunan kadar kalium lebih lanjut. Efek
yang sama dapat dilihat pada terapi bronkodilator dengan agonis beta adrenergik. Penurunan
kadar magnesium yang diinduksi diuretik dapat menyebabkan aritmia, terutama pada pasien-
pasien yang juga diterapi dengan obat-obatan penyebab pemanjangan interval QT(gambar 5)
sebuah kombinasi yang dapat menyebabkan torsade de pointes. Hipomagnesemia juga dapat
menyebabkan peningkatan kehilangan kalium urin dan menurunkan kadar kalium plasma

.
Gambar 5
Pemanjangan QT, dapat menjadi salah satu gambaran EKG pada penderita dengan
hipokalemia. Interval QT terkoreksi dapat dihitung dengan membagi interval QT (0,6 s) dengan
akar interval RR (0,84 s) sehingga pada EKG ini QTc adalah 0,65 s.
Rhabdomiolisis, penurunan kadar kalium berat (kurang dari 2,5 mEq/L) dapat
menyebabkan keram otot, rhabdomiolisis dan mioglobinuria. Pelepasan kalium dari sel otot
secara normal menyebabkan terjadinya vasodilatasi dan peningkatan aliran darah ke otot
selama olah raga. Penurunan pelepasan kalium oleh karena hipokalemia berat dapat
menurunkan aliran darah ke otot sebagai respons olah raga.
Kelainan ginjal, hipokalemia dapat menginduksi beberapa kelainan ginjal yang
kebanyakan dapat dipulihkan dengan perbaikan kadar kalium. keadaan-keadaan ini termasuk
gangguan kemampuan konsentrasi urin (dapat timbul sebagai nokturia, poliuria dan polidipsia),
peningkatan produksi amonia renal oleh karena asidosis intraselular, peningkatan reabsorpsi
bikarbonat renal dan juga nefropati hipokalemik. Hipokalemia dapat menyebabkan polidipsia
yang berkontribusi terhadap poliuria.

2.3.1.4. Penatalaksanaan

Koreksi dilakukan menurut kadar Kalium :


1.Kalium 2,5 – 3,5 mEq/L
Berikan 75 mEq/kgBB per oral per hari dibagi tiga dosis.
2.Kalium < 2,5 mEq/L
Ada 2 cara, berikan secara drip intravena dengan dosis :
a) [(3,5 – kadar K +terukur) x BB (kg) x 0,4] + 2 mEq/kgBB/24 jam, dalam
4 jam pertama [ ( 3 , 5 – k a d a r K +t e r u k u r ) x B B ( k g ) x 0 , 4 ] +
( 1 / 6 x 2 m E q / k g B B / 2 4 j a m ) dalam 20 jam berikutnya.
b)(3,5 – kadar K +terukur) + (1/4 x 2 mEq/kgBB/24 jam), dalam 6 jam.

Keterangan :

Kalium diberikan secara intravena, jika pasien tidak bisa makan atau hipokalemi
berat.Pemberian kalium tidak boleh lebih dari 40 mEq per L (jalur perifer) atau
80 mEq per L (jalursentral) dengan kecepatan 0,2 – 0,3 mEq/kgBB/jam. Jika keadaan
mengancam jiwa dapat diberikan dengan kecepatan s/d 1 mEq/kgBB/jam ( via
infuse pump dan monitor EKG)

ATAU
Koreksi kalium secara intravena dapat diberikan sebanyak 10 mEq dalam 1
jam, diulang s/dkadar K +serum > 3,5 mEq/L. J i k a k e a d a a n m e n g a n c a m j i w a ,
kalium diberikan secara intravena dengan k e c e p a t a n maksimal 20
mEq/jam) P e m b e r i a n k a l i u m s e b a i k n ya d i e n c e r k a n d e n g a n N a C l 0 , 9 %
b u k a n d e k s t r o s a . P e m b e r i a n dekstrosa menyebabkan penurunan sementara K +serum
sebesar 0,2 – 1,4 mEq/L. Pemberian kalium 40 – 60 mEq dapat menaikkan kadar K+serum
sebesar 1 – 1,5 mEq/L

2.3.2.Hiperkalemia

2.3.2.1. Definisi

2.3.2.2. Etiologi

2.3.2.3. Manifestasi Klinis

2.3.2.4. Penatalaksaan

2.3.3. Hipokalemia Periodic Paralysis

2.3.3.1. Definisi

Paralisis periodik hipokalemik (PPH) merupakan salah satu spektrum klinis akibat
hipokalemia yang disebabkan oleh redistribusi kalium secara akut ke dalam cairan intraselular
2.3.3.2. Etiologi

Paralisis periodik hipokalemik familial (PPHF) terjadi karena adanya redistribusi


kalium ekstraselular ke dalam cairan intraselular secara akut tanpa defi sit kalium tubuh total.
Kelemahan otot terjadi karena kegagalan otot rangka dalam menjaga potensial istirahat (resting
potential) akibat adanya mutasi gen CACNL1A3, SCN4A, dan KCNE3,
yakni gen yang mengontrol gerbang kanal ion (voltage-gated ion channel) natrium, kalsium,
dan kalium pada membran sel otot.
Kadar kalium plasma adalah hasil keseimbangan antara asupan kalium dari luar,
ekskresi kalium, dan distribusi kalium di ruang intra- dan ekstraselular. Sekitar 98% kalium
total tubuh berada di ruang intraselular, terutama di sel otot rangka. Secara fisiologis, kadar
kalium intrasel dipertahankan dalam rentang nilai 120-140 mEq/L melalui kerja enzim Na+-
K+-ATPase. Kanal ion di membran sel otot berfungsi sebagai pori tempat keluar-masuknya
ion dari/ke sel otot. Dalam keadaan depolarisasi, gerbang kanal ion akan menutup dan bersifat
impermeabel terhadap ion Na+dan K+, sedangkan dalam keadaan repolarisasi (istirahat),
gerbang kanal ion akan membuka, memungkinkan keluar-masuknya ion natrium dan kalium
serta menjaganya
dalam keadaan seimbang. Mutasi gen yang mengontrol kanal ion ini akan menyebabkan influks
K+ berlebihan ke dalam sel otot rangka dan turunnya infl uks kalsium ke dalam sel otot rangka
sehingga sel otot tidak dapat tereksitasi secara elektrik, menimbulkan kelemahan sampai
paralisis. Mekanisme peningkatan influks kalium ke dalam sel pada mutasi gen ini belum jelas
dipahami. Sampai saat ini, 30 mutasi telah teridentifi kasi pada gen yang mengontrol kanal ion.
Tes DNA dapat mendeteksi beberapa mutasi; laboratorium komersial hanya dapat mengidentifi
kasi 2 atau 3 mutasi tersering pada PPHF sehingga tes DNA negatif tidak dapat menyingkirkan
diagnosis.

2.3.3.3. Manifestasi Klinis

Durasi dan frekuensi serangan paralisis pada PPHF sangat bervariasi, mulai dari
beberapa kali setahun sampai dengan hampir setiap hari, sedangkan durasi serangan mulai dari
beberapa jam sampai beberapa hari. Kelemahan atau paralisis otot pada PPHF biasanya timbul
pada kadar kalium plasma <2,5 mEq/L. Manifestasi PPHF antara lain berupa kelemahan atau
paralisis episodik yang intermiten pada tungkai, kemudian
menjalar ke lengan. Serangan muncul setelah tidur/istirahat dan jarang timbul saat, tetapi dapat
dicetuskan oleh, latihan fisik. Ciri khas paralisis pada PPHF adalah kekuatan otot secara
berangsur membaik pascakoreksi
kalium.
Otot yang sering terkena adalah otot bahu dan pinggul; dapat juga mengenai otot
lengan, kaki, dan mata. Otot diafragma dan otot jantung jarang terkena; pernah juga dilaporkan
kasus yang mengenai otot menelan dan otot pernapasan.Kelainan elektrokardiografi (EKG)
yang dapat timbul pada PPHF berupa pendataran gelombang T, supresi segmen ST, munculnya
gelombang U, sampai dengan aritmia berupa fibrilasi ventrikel, takikardia supraventrikular,
dan blok jantung
2.3.3.4. Penatalaksaan

Terapi PPHF biasanya simtomatik, bertujuan menghilangkan gejala kelemahan otot


yang disebabkan hipokalemia. Terapi PPHF mencakup pemberian kalium oral, modifikasi diet
dan gaya hidup untuk menghindari pencetus, serta farmakoterapi. Dibeberapa literatur,
disarankan pemberian kalium oral dengan dosis 20-30 mEq/L setiap 15-30 menit sampai kadar
kalium mencapai normal. Kalium klorida (KCl) adalah preparat pilihan untuk sediaan oral.
Suplementasi kalium harus diberikan hati-hati karena hiperkalemia akan timbul saat proses
redistribusi trans-selular kalium berhenti.
Pada kasus paralisis hipokalemik berat atau dengan manifestasi perubahan EKG, harus
diberikan kalium intravena (IV ) 0,5 mEq/kg selama 1 jam, infus kontinu, dengan pemantauan
ketat. Pasien yang memiliki penyakit jantung atau dalam terapi digoksin juga harus diberi terapi
kalium IV dengan dosis lebih besar (1 mEq/kg berat badan) karena memiliki risiko aritmia
lebih tinggi.
Faktor-faktor yang harus diperhatikan dalam pemberian kalium ialah kadar kalium
plasma, gejala klinis, fungsi ginjal, dan toleransi pasien. Suplementasi kalium dibatasi jika
fungsi ginjal terganggu. Pemberian oral lebih aman karena
risiko hiperkalemia lebih kecil.
Pemberian asetazolamid inhibitor anhidrase karbonat, dengan dosis 125-250 mg 2-3
kali sehari pada anak terbukti cukup efektif mengatasi serangan, mengurangi frekuensi
serangan, dan mengurangi derajat keparahan. Mekanisme kerja asetazolamid sampai saat ini
masih belum jelas, tetapi penelitian terakhir mengungkap bahwa obat ini bekerja dengan
menstimulasi langsung calcium activated K channels sehingga kelemahan otot
berkurang.Spironolakton, dengan dosis 100-200 mg/hari terbukti efektif. Sebuah penelitian
acak terkontrol pada tahun 2000 menunjukkan bahwa diklorfenamid dosis 50-200 mg/hari
terbukti efektif menurunkan serangan dibandingkan plasebo. Triamteren bermanfaat karena
dapat meningkatkan ekskresi natrium dan menahan kalium di tubulus ginjal. Di beberapa
negara, effervescent kalium sitrat adalah sediaan yang paling efektif dan ditoleransi dengan
baik oleh saluran cerna.Belum ada penelitian pada pasien anak yang membandingkan
efektivitas asetazolamid, spironolakton, diklorfenamid, dan triamteren, serta belum ada
kesepakatan yang jelas di antara para ahli mengenai kapan dianjurkan menggunakan
asetazolamid, spironolakton, atau obat lain. Sebagian besar penelitian masih terbatas pada
pasien dewasa. Tata laksana utama PPHF pada anak lebih ditekankan pada edukasi dan
suplementasi kalium per oral mengingat efek samping farmakoterapi. Penelitian yang
berkembang saat ini lebih berfokus pada penelitian biomolekuler untuk mencari dasar kelainan
chanellopathy di tingkat gen, tidak banyak berpusat pada aspek tata laksana. Terapi gen sebagai
terapi definitif untuk PPHF saat ini belum ada
BAB III
PENUTUP

3.1. KESIMPULAN
Kalium (K) adalah kation utama kompartemen cairan intraseluler ( CIS ). Sekitar 90%
asupan kalium diekskresikan di urin dan 10 % di feses. Konsentrasi normal kalium di plasma
adalah 3,5 – 4,8 mmol/L, sedangkan konsentrasi intraseluler dapat 30 kali lebih tinggi, dan
jumlahnya mencapai 98 % dari jumlah K keseluruhan. Walaupun kadar kalium di dalam CES
hanya berkisar 2 % saja, akan tetapi memiliki peranan yang sangat penting dalam menjaga
homeostasis. Perubahan sedikit saja pada kalium intraseluler, akan berdampak besar pada
konsentrasi kalium plasma.Kalium berperan penting dalam fungsi tubuh normal fungsi
biokimia, polarisasi membran dan regulasi filtrasi serta eksresi cairan dan mineral tubuh
manusia.

Apabila terjadi gangguan keseimbangan kalium berupa penurunan konsentrasi kalium


dalam darah kurang dari 3.5 mEq/L disebut hipokalemia, apabila terjadi peningkatan
konsentrasi kalium dalam darah lebih dari 5 mEq/L disebut hiperkalemia. Terdapat suatu
keadaan yang disebut hipokalemia paralisis parsial yang terjadi apabila redistribusi kalium
secara akut ke dalam cairan intraselular. Penatalaksanaan pada pasien dengan gangguan kalium
sesuai dengan keadaan pasien.
DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai