Sesak nafas sering disebut sebagai dispnea yaitu nafas pendek, breathlessness, atau shortness
of breath. Dispenea didefinisikan sebagai pernafasan yang abnormal atau kurang nyaman
dibandingkan dengan keadaan normal seseorang sesuai dengan tingkat kebugarannya.
Sesak nafas dapat digolongkan menjadi dua kelompok besar berdasarkan penyebabnya:
1. Vaskular
2. Inflamasi
3. Neoplasma
4. Degeneratif
5. Intoksikasi
6. Kongenital
7. Alergi atau autoimun
8. Trauma
9. Endokrin
Sensasi Persepsi
Interpretasi dari informasi yang tiba pada korteks sensor otot, hal ini sangat
bergantung pada psikologis penderita.
Hal ini berkaitan dengan rasio beban pada otot-otot pernafasan dan kapasitas
maksimum otot-otot pernafasan
3. Kemoreseptor
4. Mekanoreseptor
Reseptor paru : reseptor iritan di epitel jalan nafas (rangsangan mekanik dan
mekanik dan kimia), reseptor pulmonary strech di jalan nafas : inflasi paru,
serabut-c di dinding alveolar dan pembuluh darah respons terhadap kongestif
interstisial. Dan nervus vagus yang akan mentransmisikan informasi aferen
dari paru ke susunan saraf pusat.
5. Reseptor mekanik
Reseptor dinding dada berupa otot-otot dada akan mempengaruhi ventilisasi dan
berdampak pada sensasi sesak nafas.
Besarnya tenaga fisik yang dikeluarkan untuk menimbulkan dispnea bergantung pada
beberapa hal berikut :
1. Usia
2. Jenis kelamin
3. Ketinggian tempat
4. Jenis latihan fisik
5. Dan terlibatnya emosi dalam melakukan kegiatan tersebut.
Dispnea berkaitan dengan ventilasi. Ventilasi dipengaruhi oleh kebutuhan metabolic dari
konsumsi oksigen dan eliminasi karbondioksida . frekuensi vertilisasi bergantung pada
rangsangan pada kemoreseptor yang ada di badan karotid dan aorta. Selain itu, frekuensi ini
juga dipengaruhi oleh sinyal dari reseptor neuralyang ada di parenkim paru, saluran udara
besar dan kecil, otot pernafasan, dan dinding toraks.
Pada dispnea, terjadi peningkatan usaha otot dalam proses inspirasi dan ekspirasi. Karena
dispneas bersifat subjektif, maka dispnea tidak sealu berkorelasi dengan derajat perubahan
secara fisiologis. Beberapa pasien dapat mengeluhkan ketidakmampuan bernafas yangberat
dengan perubahan fisiologis yang minor, sementara pasien lainnya dapat menyangkal
terjadinya ketidakmampuan bernafas walaupun telah diketahui terdapat deteriorasi
kardiopulmonal.
Pada pasien dengan edema pulmonal, cairan yang terakumulasi akan mengaktifkan serat saraf
di interstitium alveolar dan secara lansung menyebabkan dispnea. Substansi yang terhirup
yang dapat mengiritasai akan mengaktifkan reseptor di epitel saluran pernafasan dan
memproduksi nafas yang cepat, dangkal, batuk, dan bronkospam. Dalam merespon
kegelisahan, sistem saraf pusat juga dapat meningkatkan frekuensi pernafasan. Pada pasien
dengan hiperventilisasi, koreksi penurunan PCO2 sendiri tidak mengurangi sensasi dari nafas
yang tidak tuntas. Ini mereflesikan interaksi antara pengaruh kimia dan saraf pada pernafasan.
Daftar Pustaka
Wilson, Lorraine M. 2005. Tanda dan Gejala Penting pada Penyakit Pernafasan, Dalam:
Sylvia Arderson Price dan Lorraine McCarty Wilson. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-
Proses Penyakit. Edisi 6. Volome 2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, hal: 773-779
Guyton, Arthur C., John E. Hall. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC , hal: 610-611.
Asih, Niluh Gede Yasmin (2003). Keperawatan Medikal Bedah : Klien dengan Gangguan
Sistem Sistem Pernafasan. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC
Hendra, Utama dr., Sp. KK. (2012). Sesak Nafas. Jakarta : Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia
Nuraflatin, A., Ayu, E.S., Mabruroh, F ., dan Fauziah, N., 2007. Patofisiologi Sesak Nafas.
Universitas Sumatera utara