Anda di halaman 1dari 15

Pola-Pola Perkembangan Kota

Sesuai dengan perkembangan penduduk perkotaan yang senantiasa mengalami peningkatan, maka
tuntutan akan kebutuhan kehidupan dalam aspek ekonomi, sosial, budaya, politik dan teknologi juga
terus mengalami peningkatan, yang semuanya itu mengakibatkan meningkatnya kebutuhan akan
ruang perkotaan yang lebih besar. Oleh karena ketersediaan ruang di dalam kota tetap dan terbatas,
maka meningkatnya kebutuhan ruang untuk tempat tinggal dan kedudukan fungsi-fungsi selalu akan
mengambil ruang di daerah pinggiran kota (fringe area). Gejala penjalaran areal kota ini disebut
sebagai “invasion” dan proses perembetan kenampakan fisik kota ke arah luar disebut sebagai
“urban sprawl” (Northam dalam Yunus, 1994).

Secara garis besar menurut Northam dalam Yunus (1994) penjalaran fisik kota dibedakan menjadi
tiga macam, yaitu sebagai berikut :

1) Penjalaran fisik kota yang mempunyai sifat rata pada bagian luar, cenderung lambat dan
menunjukkan morfologi kota yang kompak disebut sebagai perkembangan konsentris (concentric
development).

Pola Perkembangan Kota - Model Penjalaran Fisik Kota Secara Konsentris (concentric development)

2) Penjalaran fisik kota yang mengikuti pola jaringan jalan dan menunjukkan penjalaran yang
tidak sama pada setiap bagian perkembangan kota disebut dengan perkembangan fisik
memanjang/linier (ribbon/linear/axial development).

Pola Perkembangan Kota - Model Penjalaran Fisik Kota Secara Memanjang-Linier

3) Penjalaran fisik kota yang tidak mengikuti pola tertentu disebut sebagai perkembangan yang
meloncat (leap frog/checher board development).

Pola Perkembangan Kota - Model Penjalaran Fisik Kota Secara Meloncat

Jenis penjalaran fisik memanjang/linier yang dikemukakan oleh Northam sama dengan Teori Poros
yang dikemukakan oleh Babcock dalam Yunus (1994), yaitu menjelaskan daerah di sepanjang jalur
transportasi memiliki mobilitas yang tinggi, sehingga perkembangan fisiknya akan lebih pesat
dibandingkan daerah-daerah di antara jalur transportasi.

Pola pemekaran atau ekspansi kota mengikuti jalur transportasi juga dikemukakan oleh Hoyt dalam
Daldjoeni (1998), secara lengkap pola pemekaran atau ekspansi kota menurut Hoyt, antara lain,
sebagai berikut :

1) Perluasan mengikuti pertumbuhan sumbu atau dengan kata lain perluasannya akan mengikuti
jalur jalan transportasi ke daerah-daerah perbatasan kota. Dengan demikian polanya akan berbentuk
bintang atau “star shape”.

2) Daerah-daerah hinterland di luar kota semakin lama semakin berkembang dan akhirnya
menggabung pada kota yang lebih besar.

3) Menggabungkan kota inti dengan kota-kota kecil yang berada di luar kota inti atau disebut
dengan konurbasi. (Daldjoeni:1998)
Senada dengan pendapat yang dikemukakan oleh Northam dalam Yunus (1994), mengenai
perkembangan fisik kota secara konsentris, Branch (1995) mengemukakan enam pola
perkembangan fisik kota, secara skematis dapat digambarkan sebagai berikut :

Pola Perkembangan Fisik Kota Menurut Branch 1995

Selanjutnya berdasarkan pada kenampakan morfologi kota serta jenis penjalaran areal kota yang
ada, menurut Hudson dalam Yunus (1994) mengemukakan beberapa model bentuk kota, yaitu
sebagai berikut :

1) Bentuk satelit dan pusat-pusat baru. Bentuk ini menggambarkan kota utama yang ada dengan
kota-kota kecil di sekitarnya terjalin sedemikian rupa, sehingga pertalian fungsional lebih efektif dan
lebih efisien.

2) Bentuk stellar atau radial. Bentuk kota ini untuk kota yang perkembangan kotanya didominasi
oleh ”ribbon development”.

3) Bentuk cincin, terdiri dari beberapa kota yang berkembang di sepanjang jalan utama yang
melingkar.

4) Bentuk linier bermanik, pertumbuhan areal-areal kota hanya terbatas di sepanjang jalan utama
dan pola umumnya linier. Pada pola ini ada kesempatan untuk berkembang ke arah samping tanpa
kendala fisikal.

5) Bentuk inti/kompak, merupakan bentuk perkembangan areal kota yang biasanya didominasi
oleh perkembangan vertikal.

6) Bentuk memencar, merupakan bentuk dengan kesatuan morfologi yang besar dan kompak
dengan beberapa ”urban centers”, namun masing-masing pusat mempunyai grup fungsi-fungsi yang
khusus dan berbeda satu sama lain.

7) Berdasarkan pendapat para ahli yang dikemukakan di atas, tentang pola-pola perkembangan
fisik kota, pada dasarnya memiliki banyak persamaan. Namun secara umum pola perkembangan fisik
kota dapat dibedakan menjadi perkembangan memusat, perkembangan memanjang mengikuti pola
jaringan jalan dan perkembangan meloncat membentuk pusat-pusat pertumbuhan baru.

Model Penjalaran Fisik Kota Secara Umum Menurut Northam

Dalam mengkaji perkembangan fisik suatu kota, menurut Hagget (1970) dapat mengacu pada teori
difusi atau teori penyebaran/penjalaran yang mempunyai dua model yang masing-masing memiliki
maksud yang berbeda. Model-model tersebut adalah model difusi ekspansi dan model difusi
relokasi, dengan penjelasan berikut ini :

1) Model difusi ekspansi (expansion diffusion) adalah suatu proses penyebaran informasi,
material dan sebagainya yang menjalar melalui suatu populasi dari suatu daerah ke daerah lain.
Dalam proses difusi ekspansi ini informasi atau material yang didifusikan tetap ada dan kadang-
kadang menjadi lebih intensif di tempat asalnya. Salah satu contoh proses difusi ekspansi adalah
terjadinya pertambahan jumlah penduduk dalam kurun waktu tertentu yang dibedakan dalam dua
periode waktu. Dengan demikian dalam ekspansi ruang terdapat pertumbuhan jumlah penduduk,
material dan ruang hunian baru.

2) Model difusi yang lainnya adalah difusi relokasi (relocation diffusion) adalah suatu proses yang
penyebaran keruangan, yaitu informasi atau material yang didifusikan meninggalkan daerah asal dan
berpindah ke daerah yang baru.
Teori Kevin Lynch

Kevin Lynch menyebutkan bahwa image suatu kota dibentuk oleh 5 elemen pembentuk wajah kota,
yaitu:

 Paths (jalur)

Umumnya jalur atau lorong berbentuk pedestrian dan jalan raya


Jalur merupakan penghubung dan jalur sirkulasi manusia serta kendaraan dari sebuah ruang ke
ruang lain di dalam kota. Secara fisil paths adalah merupakan salah satu unsur pembentuk kota.
Path sangat beranaka ragam sesuai dengan tingkat perkembangan kota, lokasi geografisnya,
aksesibilitasnya dengan wilayah lain dan sebagainya. Berdasarkan elemen pendukungnya , paths
dikota meliputi jaringan jalan sebagai prasarana pergerakan dan angkutan darat, sungai, laut, udara,
terminal/pelabuhan, sebagai sarana perangkutan. Jaringan perangkutan ini cukup penting khususnya
sebagai alat peningkatan perkembangan daerah pedesaan dan jalur penghubung baik produksi
maupun komunikasi lainnya.

Berdasarkan frekuensi, kecepatan dan kepentingannya jaringan penghubung di kota dikelompokan:

– Jalan Primer

– Jalan Sekunder

– Jalan Kolektor Primer

– Jalan Kolektor Sekunder

– Jalan Utama Lingkungan

– Jalan Lingkungan

Paths ini akan terdiri dari eksternal akses dan internal akses, yaitu jalan-jalan penghubung antar kota
dengan wilayah lain yang lebih luas. Jaringan jalan adalah pengikat dalam suatu kota, yang
merupakan suatu tindakan dimana kita menyatukan semua aktivitas dan menghasilkan bentuk fisik
suatu kota.

Path adalah elemen yang paling penting dalam citra kota. Kevin Lynch menemukan dalam risetnya
bahwa jika identitas elemen ini tidak jelas, maka kebanyakan orang meragukan citra kota secara
keseluruhan. Path merupakan rute-rute sirkulasi yang biasanya digunakan orang untuk melakukan
pergerakan secara umum, yakni jalan, gang-gang utama, jalan transit, lintasan kereta api, saluran,
dan sebagainya. Path merupakan identitas yang lebih baik kalau memiliki tujuan yang besar, serta
ada penampakan yang kuat (misalnya fasad, pohon, dan lain-lain), atau ada belokan yang jelas.
(Markus Zahnd, 1999, p.158)

 Node (simpul):

Simpul merupakan pertemuan antara beberapa jalan/lorong yang ada di kota, sehingga membentuk
suatu ruang tersendiri. Masing-masing simpul memiliki ciri yang berbeda, baik bentukan ruangnya
maupun pola aktivitas umum yang terjadi.
Biasanya bangunan yang berada pada simpul tersebut sering dirancang secara khusus untuk
memberikan citra tertentu atau identitas ruang. Node merupakan suatu pusat kegiatan fungsional
dimana disini terjadi suatu pusat inti / core region dimana penduduk dalam memenuhi kebutuhan
hidup semuanya bertumpu di node. Node ini juga juga melayani penduduk di sekitar wilayahnya
atau daerah hiterlandnya.

Nodes merupakan simpul atau lingkaran daerah strategis di mana arah atau aktivitasnya saling
bertemu dan dapat diubah ke arah atau aktivitas lain, misalnya persimpangan lalu lintas, stasiun,
lapangan terbang, jembatan, kota secara keseluruhan dalam skala makro besar, pasar,
taman,, square, dan sebagainya. Node adalah satu tempat di mana orang mempunyai perasaan
‘masuk’ dan ‘keluar’ dalam tempat yang sama. Node mempunyai identitas yang lebih baik jika
tempatnya memiliki bentuk yang jelas (karena lebih mudah diingat), serta tampilan berbeda dari
lingkungannya. (Markus Zahnd, 1999, p.158)

 District (kawasan)

Suatu daerah yang memiliki ciri-ciri yang hampir sama dan memberikan citra yang sama. Distrik yang
ada dipusat kota berupa daerah komersial yang didominasi oleh kegiatan ekonomi. Daerah pusat
kegiatan yang dinamis, hidup tetapi gejala spesialisasinya semakin ketara. Daerah ini masih
merupakan tempat utama dari perdagangan, hiburan-hiburan dan lapangan pekerjaan. Hal ini
ditunjang oleh adanya sentralisasi sistem transportasi dan sebagian penduduk kota masih tingal
pada bagian dalam kota-kotanya (innersections). Proses perubahan yang cepat terjadi pada daerah
ini sangat sering sekali mengancam keberadaan bangunan-bangunan tua yang bernilai historis tinggi.
Pada daerah-daerah yang berbatasan dengan distrik masih banyak tempat yang agak longgar dan
banyak digunakan untuk kegiatan ekonomi antara lain pasar lokal, daerah-daerah pertokoan untuk
golongan ekonomi rendah dan sebagian lain digunakan untuk tempat tinggal.

District merupakan kawaan-kawasan kota dalam skala dua dimensi. Sebuah


kawasan district memiliki ciri khas yang mirip (bentuk, pola, dan wujudnya) dan khas pula dalam
batasnya, di mana orang merasa harus mengakhiri atau memulainya. District dalam kota dapat
dilihat sebagai refrensi interior maupun eksterior. District mempunyai identitas yang lebih baik jika
batasnya dibentuk dengan jelas tampilannya dan dapat dilihat homogeny, serta fungsi dan posisinya
jelas (introver/ekstrover atau berdiri sendiri atau dikaitkan dengan yang lain).

(Markus Zahnd, 1999, p.158)

 Landmark (tengaran)

Tengaran merupakan salah satu unsur yang turut memperkaya ruang kota.
Bangunan yang memberikan citra tertentu, sehingga mudah dikenal dan diingat dan dapat juga
memberikan orientasi bagi orang dan kendaraan untuk bersirkulasi.
Landmarks merupakan ciri khas terhadap suatu wilayah sehingga mudah dalam mengenal orientasi
daerah tersebut oleh pengunjung. Landmarks merupakan citra suatu kota dimana memberikan
suatu kesan terhadap kota tersebut.

Landmark merupakan titik refrensi seperti elemen node, tetapiorang tidak masuk ke dalamnya
karena bisa dilihat dari luar letaknya. Landmark adalah elemen eksternal dan merupakan bentuk
visual yang menonjol dari kota, misalnya gunung atau bukit, gedung tinggi, menara, tanda tinggi,
tempat ibadah, pohon tinggi, dan sebagainya. Landmark adalah elemen penting dari bentuk kota
karena membantu orang untuk mengorientasikan diri di dalam kota dan membantu orang
mengenali suatu daerah. Landmark mempunyai identitas yang lebih baik jika bentuknya jelas dan
unik dalam lingkungannya, dan ada sekuens dari beberapa landmark (merasa nyaman dalam
orientasi), serta ada perbedaan skala masing-masing.

(Markus Zahnd, 1999, p.158)

 Edge (tepian)

Bentukan massa-massa bangunan yang membentuk dan membatasi suatu ruang di dalam kota.
Ruang yang terbentuk tergantung kepada kepejalan dan ketinggian massa. Daerah perbatasan
biasanya terdiri dari lahan tidak terbangun. Kalau dilihat dari fisik kota semakin jauh dari kota maka
ketinggian bangunan semakin rendah dan semakin rendah sewa tanah karena nilai lahannya rendah
(derajat aksesibilitas lebih rendah), mempunyai kepadatan yang lebih rendah, namun biaya
transpotasinya lebih mahal.

Edge adalah elemen linear yang tidak dipakai/dilihat sebagai path. Edge berada pada batas antara
dua kawasan tertentu dan berfungsi seb agai pemutus linear, misalnya pantai, tembok, batasan
antara lintasan kereta api, topografi, dan sebagainya. Edge lebih bersifat sebagai refrensi daripada
misalnya elemen sumbu yang bersifat koordinasi (linkage). Edge merupakan pengakhiran dari
sebuah district atau batasan sebuah district dengan yang lainnya. Edge memiliki identitas yang lebih
baik jika kontinuitas tampak jelas batasnya. Demikian pula fungsi batasnya harus jelas: membagi
atau menyatukan.
 Sirkulasi dan Perparkiran

Sirkulasi kota meliputi prasarana jalan yang tersedia, bentuk struktur kota, fasilitas pelayanan
umum, dan jumlah kendaraan bermotor yang semakin meningkat. Semakin meningkatnya
transportasi maka area parkir sangat dibutuhkan terutama di pusat-pusat kegiatan kota (CBD).

(Sumber: Perancangan Kota, Urban Desain)

Sirkulasi adalah elemen perancangan kota yang secara langsung dapat membentuk dan
mengkontrol pola kegiatan kota, sebagaimana halnya dengan keberadaan sistem transportasi
dari jalan publik, pedestrian way, dan tempat-tempat transit yang saling berhubungan akan
membentuk pergerakan (suatu kegiatan). Sirkulasi di dalam kota merupakan salah satu alat
yang paling kuat untuk menstrukturkan lingkungan perkotaan karena dapat membentuk,
mengarahkan, dan mengendalikan pola aktivitas dalam suatu kota. Selain itu sirkulasi dapat
membentuk karakter suatu daerah, tempat aktivitas dan lain sebagainya.

Tempat parkir mempunyai pengaruh langsung pada suatu lingkungan yaitu pada kegiatan
komersial di daerah perkotaan dan mempunyai pengaruh visual pada beberapa daerah
perkotaan. Penyediaan ruang parkir yang paling sedikit memberi efek visual yang merupakan
suatu usaha yang sukses dalam perancangan kota.

 Pedestrian

Sistem pejalan kaki yang baik adalah:

– Mengurangi ketergantungan dari kendaraan bermotor dalam areal kota.

– Meningkatkan kualitas lingkungan dengan memprioritaskan skala manusia.

– Lebih mengekspresikan aktifitas PKL dan mampu menyajikan kualitas udara.

(Sumber: Perancangan Kota, Urban Desain)

Elemen pejalan kaki harus dibantu dengan interaksinya pada elemen-elemen dasar desain tata
kota dan harus berkaitan dengan lingkungan kota dan pola-pola aktivitas sertas sesuai dengan
rencana perubahan atau pembangunan fisik kota di masa mendatang.
Perubahan-perubahan rasio penggunaan jalan raya yang dapat mengimbangi dan meningkatkan
arus pejalan kaki dapat dilakukan dengan memperhatikan aspek-aspek sebagai berikut :

– Pendukung aktivitas di sepanjang jalan, adanya sarana komersial.

– Street furniture
Pola pemekaran atau ekspansi kota mengikuti jalur transportasi juga dikemukakan oleh
Hoyt dalam Daldjoeni (1998), secara lengkap pola pemekaran atau ekspansi kota menurut
Hoyt, antara lain, sebagai berikut :
1. Perluasan mengikuti pertumbuhan sumbu atau dengan kata lain perluasannya akan mengikuti
jalur jalan transportasi ke daerah-daerah perbatasan kota. Dengan demikian polanya akan
berbentuk bintang atau star shape.
2. Daerah-daerah hinterland di luar kota semakin lama semakin berkembang dan akhirnya
menggabung pada kota yang lebih besar.
3. Menggabungkan kota inti dengan kota-kota kecil yang berada di luar kota inti atau disebut
dengan konurbasi.

Senada dengan pendapat yang dikemukakan oleh Northam dalam Yunus (1994),
mengenai perkembangan fisik kota secara konsentris, Branch (1995) mengemukakan enam
pola perkembangan fisik kota, secara skematis dapat digambarkan sebagai berikut :

Selanjutnya berdasarkan pada kenampakan morfologi kota serta jenis penjalaran areal
kota yang ada, menurut Hudson dalam Yunus (1994) mengemukakan beberapa model bentuk
kota, yaitu sebagai berikut :
a. Bentuk satelit dan pusat-pusat baru. Bentuk ini menggambarkan kota utama yang ada dengan
kota-kota kecil di sekitarnya terjalin sedemikian rupa, sehingga pertalian fungsional lebih
efektif dan lebih efisien.
b. Bentuk stellar atau radial. Bentuk kota ini untuk kota yang perkembangan kotanya
didominasi oleh ribbon development.
c. Bentuk cincin, terdiri dari beberapa kota yang berkembang di sepanjang jalan utama yang
melingkar.
d. Bentuk linier bermanik, pertumbuhan areal-areal kota hanya terbatas di sepanjang jalan
utama dan pola umumnya linier. Pada pola ini ada kesempatan untuk berkembang ke arah
samping tanpa kendala fisikal.
e. Bentuk inti/kompak, merupakan bentuk perkembangan areal kota yang biasanya didominasi
oleh perkembangan vertikal.
f. Bentuk memencar, merupakan bentuk dengan kesatuan morfologi yang besar dan kompak
dengan beberapa ”urban centers”, namun masing-masing pusat mempunyai grup fungsi-
fungsi yang khusus dan berbeda satu sama lain.

Berdasarkan pendapat para ahli yang dikemukakan di atas, tentang pola-pola


perkembangan fisik kota, pada dasarnya memiliki banyak persamaan. Namun secara umum
pola perkembangan fisik kota dapat dibedakan menjadi perkembangan memusat,
perkembangan memanjang mengikuti pola jaringan jalan dan perkembangan meloncat
membentuk pusat-pusat pertumbuhan baru.

Dalam mengkaji perkembangan fisik suatu kota, menurut Hagget (1970) dapat
mengacu pada teori difusi atau teori penyebaran/penjalaran yang mempunyai dua model yang
masing-masing memiliki maksud yang berbeda. Model-model tersebut adalah model difusi
ekspansi dan model difusi relokasi, dengan penjelasan berikut ini :
1. Model difusi ekspansi (expansion diffusion) adalah suatu proses penyebaran informasi,
material dan sebagainya yang menjalar melalui suatu populasi dari suatu daerah ke daerah
lain. Dalam proses difusi ekspansi ini informasi atau material yang didifusikan tetap ada dan
kadang-kadang menjadi lebih intensif di tempat asalnya. Salah satu contoh proses difusi
ekspansi adalah terjadinya pertambahan jumlah penduduk dalam kurun waktu tertentu yang
dibedakan dalam dua periode waktu. Dengan demikian dalam ekspansi ruang terdapat
pertumbuhan jumlah penduduk, material dan ruang hunian baru.
2. Model difusi yang lainnya adalah difusi relokasi (relocation diffusion) adalah suatu proses
yang penyebaran keruangan, yaitu informasi atau material yang didifusikan meninggalkan
daerah asal dan berpindah ke daerah yang baru.

Untuk lebih jelasnya kedua metode difusi tersebut dapat dilihat pada Gambar di bawah
ini :
Klasifikasi jalan adalah pengelompokan jalan berdasarkan fungsi jalan, berdasarkan
administrasi pemerintah dan berdasarkan muatan sumbu. Banyak sekali faktor
sebagai penentuan klasifikasi antara lain besarnya volume lalu lintas, kapasitas
jalan, keekonomian dari jalan tersebut dan pembiayaan pembangunan dan
perawatan jalan. Berikut penjelasan untuk jenis klasifikasi jalan di Indonesia.

1. Klasifikasi berdasarkan fungsi


Klasifikasi jalan di Indonesia berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku
antara lain:

1. Jalan Arteri, adalah jalan umum yang berfungsi untuk melayani angkutan
utama dengan ciri perjalanan jarak jauh, kecepatan rencana > 60 km/jam,
lebar badan jalan > 8 m, kapasitas jalan lebih besar daripada volume lalu
lintas rata-rata, tidak boleh terganggu oleh kegiatan lokal, dan jalan primer
tidak terputus, dan sebagainya.
2. Jalan Kolektor adalah jalan yang digunakan untuk melayani angkuatan
pengumpul/pembagi dengan ciri perjalanan jarak sedang, kecepatan rencana
>40 km/jam, lebar badan jalan > 7 m, kapasitas jalan lebih besar atau sama
dengan volume lalu lintas rata-rata, tidak boleh terganggu oleh kegiatan lokal,
dan jalan primer tidak terputus, dan sebagainya.
3. Jalan Lokal adalah jalan umum yang digunakan untuk melayani angkutan
setempat denan ciri perjalanan dekat, kecepatan rencana > 40 km/jam, lebar
jalan > 5 m,
4. Jalan Lingkungan adalah jalan umum yang digunakan untuk melayani
angkutan lingkungan dengan ciri perjalanan jarak dekat, dan kecepatan rata-
rata rendah.

2. Klasifikasi berdasarkan administrasi pemerintahan


Pengelompokkan Jenis klasifikasi jalan bertujuan untuk mewujudkan kepastian
hukum penyelenggaraan jalan sesuai dengan kewenangan pemerintah dan
pemerintah daerah. Berdasarkan administrasi pemerintahan, jalan diklasifikasikan ke
dalam jalan nasional, jalan provinsi, jalan kabupaten, jalan kota, dan jalan desa.
Berikut penjelasan jenis klasifikasi jalan di Indonesia.

1. Jalan Nasional adalah jalan arteri atau kolektor yang menghubungkan antar
ibukota provinsi dan jalan strategis nasional dan jalan tol.
2. Jalan Provinsi adalah jalan kolektor yang menghubungkan ibukota provinsi
dengan ibukota kabupaten atau kota, antar kabupaten dan jalan strategis
provinsi.
3. Jalan Kabupaten adalah jalan lokal dalam sistem jaringan jalan primer yang
tidak termasuk jalan yang menghubungkan ibukota kabupaten dengan
ibokota kecamatan, antaribukota kecamatan, ibukota kabupaten dengan
pusat kegiatan lokal, antarpusat kegiatan lokal serta jalan umum dalam
sistem jaringan jalan sekunder dalam wilayah kabupaten dan jalan strategis
kabupaten.
4. Jalan kota adalah jalan umum dalam sistem jaringan sekunder yang
menghubungkan antarpusat pelayanan dalam kota, menghubungkan pusat
pelayanan dengan persil, menghubungkan antarpersil serta menghubungkan
antarpusat pemukiman yang berada di dalam kota.
5. Jalan desa adalah jalan umum yang menghubungkan kawasan dan atau
antar pemukiman di dalam desa serta jalan lingkungan.

3. Klasifikasi berdasarkan muatan sumbu

Jenis klasifikasi jalan di Indonesia juga dikelompokkan berdasarkan muatan sumbu


antara lain jalan kelas I, jalan kelas II, jalan kelas IIIA, jalan kelas IIIB, dan jalan
kelas IIIC. Berikut penjelasan dari klasifikasi jalan di Indonesia.

1. Jalan kelas I adalah jalan arteri yang dapat dilalui kendaraan bermotor
termasuk muatan dengan ukuran lebar tidak melebihi 2500 milimeter, ukuran
panjang tidak melebihi 18000 milimeter dan muatan sumbu terberat yang
diizinkan lebih besar dari 10 ton, yang saat ini masih belum digunakan di
Indonesia namun sudah mulai dikembangkan di berbagai negara maju seperti
Perancis yang telah mencapai muatan sumbu terberat sebesar 13 ton.
2. Jalan kelas II adalah jalan arteri yang dapat dilalui kendaraan bermotor
termasuk muatan dengan ukuran lebar tidak melebihi dari 2500 mm. Ukuran
panjang tidak melebihi 18000 mm dan muatan sumbu terberat yang diizinkan
10 ton. Jalan kelas ini merupakan jalan yang sesuai untuk angkutan peti
kemas.
3. Jalan kelas III A adalah jalan arteri atau kolektor yang dapat dilalui kendaraan
bermotor termasuk muatan dengan ukuran lebar tidak melebihi 2500 mm,
ukuran panjang tidak melebihi 18000 mm dan muatan sumbu terberat yang
diizinkan 8 ton.
4. Jalan kelas III B adalah jalan kolektor yang dapat dilalui kendaraan bermotor
termasuk muatan dengan ukuran lebar tidak melebihi 2500 mm, ukuran
panjang tida melebihi 12000 mm. dan muatan sumbu terberat yang diizinkan
8 ton.
5. Jalan kelas III C adalah jalan lokal dan lingkungan yang dapat dilalui
kendaraan bermotor termasuk muatan dengan ukuran lebar tidak melebihi
2100 mm, ukuran panjang tidak melebihi 9000 mm dan muatan sumbu
terbera yang diizinkan 8 ton.

Anda mungkin juga menyukai