Anda di halaman 1dari 55

BAB 1

PENDAHULUAN

World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa pada tahun 2012

penyakit kardiovaskuler lebih banyak menyebabkan kematian daripada penyakit

lainnya. Infark miokard akut (IMA) merupakan salah satu penyakit kardiovaskuler

terbanyak pada pasien rawat inap di rumah sakit negara-negara industri. Infark

miokard adalah kematian sel miokard akibat iskemia yang berkepanjangan.

Menurut WHO, infark miokard diklasifikasikan berdasarkan dari gejala, kelainan

gambaran EKG, dan enzim jantung. Infark miokard dapat dibedakan menjadi

infark miokard dengan elevasi gelombang ST (STEMI) dan infark miokard tanpa

elevasi gelombang ST (NSTEMI).1,2

NSTEMI biasanya disebabkan oleh penyempitan arteri koroner yang berat,

sumbatan arteri koroner sementara, atau mikroemboli dari trombus dan atau

materi-materi atheromatous. Dikatakan NSTEMI bila dijumpai peningkatan

biomarkers jantung tanpa adanya gambaran ST elevasi pada EKG, apabila tidak

didapati peningkatan enzim-enzim jantung kondisi ini disebut dengan unstable

3,4
angina (UA) dan diagnosis banding diluar jantung harus tetap dipikirkan.

Setiap tahunnya di Amerika Serikat 1.360.000 pasien datang dengan SKA,

810.000 diantaranya mengalami infark miokard dan sisanya dengan UA. Sekitar

dua per tiga pasien dengan infark miokard merupakan NSTEMI dan sisanya

merupakan STEMI.5 Didunia sendiri, lebih dari 3 juta orang pertahun diperkirakan

1
2

mendapatkan STEMI dan lebih dari 4 juta orang mengalami NSTEMI. Di Eropa

diperkirakan insidensi tahunan NSTEMI adalah 3 dari 1000 penduduk, namun

angka ini cukup bervariasi di negara-negara lain.6 Angka mortalitas di rumah sakit

lebih tinggi pada STEMI namun mortalitas jangka panjang didapati dua kali lebih

tinggi pada pasien-pasien dengan NSTEMI dalam rentang 4 tahun.6,7

Oleh karena itu, manajemen yang optimal terhadap kondisi NSTEMI sangat

penting. Anamnese,pemeriksaan fisik, EKG, pertanda biokimia, dan

ekokardiografi merupakan alat-alat yang sangat penting digunakan untuk

mendapatkan diagnosis yang tepat. Manajemen SKA harus berfokus pada

diagnosis yang cepat dan tepat, stratifikasi resiko, tindakan terapi yang sesuai

untuk mengembalikan aliran darah pembuluh koroner dan mengurangi iskemik

miokard.3,6
4

BAB 2

LAPORAN KASUS

2.1 IDENTITAS PASIEN


Nama : Tn.A
Umur : 53 tahun
No. CM : 1187137
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Desa Crak Mong Kec. Sampoiniet A. Jaya
Suku : Aceh
Agama : Islam
Status : Kawin
Pekerjaan : Pegawai Negeri Sipil (PNS)
Tanggal Masuk : 08-10-2018
Tanggal Periksa : 12-10-2018

2.2 ANAMNESIS
Keluhan Utama : Nyeri dada kiri
Keluhan Tambahan : pusing, mual
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang dengan nyeri dada kiri menjalar ke leher dan lengan kiri yang
dirasakan tadi pagi ±5 jam sebelum masuk rumah sakit. , Nyeri dada dirasakan
seperti tertimpa benda berat. Nyeri dada dirasakan pasien selama 30 menit.Nyeri
dada dirasakan saat pasien sedang istirahat. Pasien mengeluhkan pusing dan mual,
Pasien mengaku tidak ada riwayat trauma sebelumnya, Keluhan sesak nafas
disangkal. BAB dan BAK tidak ada keluhan
Riwayat Penyakit Dahulu
PJK : disangkal
Hipertensi : disangkal
DM : sejak 2 tahun yang lalu
5

Riwayat Penyakit Keluarga


Disangkal, tidak ada anggota keluarga yang mengalami hal yang sama
dengan pasien

Riwayat Pemakaian Obat


Glibenclamid 1 x 5 mg
2.3 PEMERIKSAAN FISIK
a. Status Present
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : compos mentis
Tekanan Darah : 145/80 mmHg
Nadi : 90 x/menit, reguler
Frekuensi Nafas : 20x/menit
Temperatur : 36,5 0C
IMT : 22,6 kg/m2

b. Status General
Kulit
Warna : Sawo Matang
Turgor : Kembali Cepat
Ikterus : (-)
Anemia : (-)
Sianosis : (-)
Edema : (-)
Kepala
Bentuk : Kesan Normocepali
Rambut : Bewarna hitam, alopesia (-)
Mata : Cekung (-), Reflek cahaya (+/+), Sklera ikterik (-/-),
Conj.palpebra inf pucat (-/-)
Telinga : Sekret (-/-), Perdarahan (-/-)
Hidung : Sekret (-/-), Perdarahan (-/-), NCH (-/-)
6

Mulut
Bibir : Pucat (-), Sianosis (-)
Gigi Geligi : Karies (-)
Lidah : Beslag (-), Tremor (-)
Mukosa : Basah (+)
Tenggorokan : Tonsil dalam batas normal
Faring : Hiperemis (-)
Leher
Bentuk : Kesan simetris
Kel. Getah Bening : Kesan simetris, Pembesaran (-)
Peningkatan TVJ : R+2 cmH2O
Axilla : Pembesaran KGB (-)
Thorax
Thorax depan
1. Inspeksi
Bentuk dan Gerak : Normochest, pergerakan simetris
Tipe Pernafasan : Abdominal-thorakal
Retraksi : (-)
2. Palpasi
Stem Fremitus Paru kanan Paru kiri
Lap. Paru atas Normal Normal
Lap. Paru tengah Normal Normal
Lap. Paru bawah Normal Normal

3. Perkusi
Paru kanan Paru kiri
Lap. Paru atas Sonor Sonor
Lap. Paru tengah Sonor Sonor

Lap. Paru bawah Sonor Sonor


7

4. Auskultasi
Suara Pokok Paru kanan Paru kiri
Lap. Paru atas Vesikuler Vesikuler
Lap. Paru tengah Vesikuler Vesikuler
Lap. Paru bawah Vesikuler Vesikuler
Suara Tambahan Paru kanan Paru kiri
Lap. Paru atas Rh (-), Wh (-) Rh (-), Wh (-)
Lap. Paru tengah Rh (-), Wh (-) Rh (-), Wh (-)
Lap. Paru bawah Rh (-), Wh (-) Rh (-), Wh (-)

Thoraks Belakang
1. Inspeksi
Bentuk dan Gerak : Normochest, pergerakan simetris
Tipe pernafasan : Abdominal-thorakal
Retraksi : (-)
2. Palpasi
Stem Fremitus Paru kanan Paru kiri
Lap. Paru atas Normal Normal
Lap. Paru tengah Normal Normal
Lap. Paru bawah Normal Nomal

3. Perkusi
Paru kanan Paru kiri
Lap. Paru atas Sonor Sonor
Lap. Paru tengah Sonor Sonor
Lap. Paru bawah Sonor Sonor

4. Auskultasi
Suara pokok Paru kanan Paru kiri
Lap. Paru atas Vesikuler Vesikuler
8

Lap. Paru tengah Vesikuler Vesikuler


Lap. Paru bawah Vesikuler Vesikuler
Suara tambahan Paru kanan Paru kiri
Lap. Paru atas Rh (-), Wh (-) Rh (-), Wh (-)
Lap. Paru tengah Rh (-), Wh (-) Rh (-), Wh (-)
Lap. Paru bawah Rh (-), Wh (-) Rh (-), Wh (-)
Jantung
Inspeksi : Iktus cordis tidak tampak
Palpasi : Iktus cordis teraba di ICS V LMCS
Perkusi : Batas jantung atas = ICS II LPSD
Batas jantung kanan = ICS IV LPSD
Batas jantung kiri = ICS V LMCS 2 jari ke lateral
Auskultasi : Area trikuspid dan mitral = BJ 1 > BJ 2
Area aorta dan pulmonal = BJ 2 > BJ 1
Murmur diastolik (-)
Abdomen
Inspeksi : Sikatrik (-), massa (-)
Palpasi : Distensi (-), Undulasi (-)
Perkusi : Tympani, Shifting Dullnes (-)
Auskultasi : Peristaltik usus (+)

Genetalia : tidak dilakukan pemeriksaan


Anus : tidak dilakukan pemeriksaan

Ekstremitas

Ekstremitas Superior Inferior


Kanan Kiri Kanan Kiri
Sianotik - - - -
Edema - - - -
Ikterik - - - -
9

Gerakan Aktif Aktif Aktif Aktif


Tonus otot Normotonus Normotonus Normotonus Normotonus
Sensibilitas N N N N
Atrofi otot - - - -

2.4 Pemeriksaan Penunjang


2.4.1 Hasil laboratorium (09/10/2018)
Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai rujukan
LEMAK DARAH
Kolesterol total 196 < 200 mg/dL
Kolesterol HDL 36 > 60 mg/dl
Kolesterol LDL 131 < 150 mg/dL
Trigliserida 99 < 150 mg/dL
DIABETES
Glukosa Darah Puasa 111 60 – 110 mg/dL
HbA1c 5,50 < 6,5 %

Urinalisis
Makroskopis
Warna Kuning
Kejernihan Jernih
Berat Jenis 1,015 1,003 – 1,030
pH 6,5 5,0 – 9,0
Leukosit Negatif Negatif
Protein Negatif Negatif
Glukosa Negatif Negatif
Keton Negatif Negatif
Nitrit Negatif Negatif
Urobillinogen Negatif Negatif
Billirubin Negatif Negatif
10

Darah Negatif Negatif

Mikroskopis :
Sedimen urin :
Leukosit 2-4 0 – 5 LPB
Eritrosit 1–2 0 – 2 LPB
Epitel 6–8 0 – 2 LPK

2.4.2 Hasil laboratorium (11/10/20180


Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai rujukan
Hemoglobin 17,0 12,0 - 15,0 g/dl
Leukosit 9,6 4,5- 10,5 x 103/mm3
Trombosit 163 150- 450 x 103/mm3
Eritrosit 6,0 4,2-5,4 x 106/mm3
Hematokrit 48 % 37 - 47 %
MCV 81 80-100 fL
MCH 29 27-31 pg
MCHC 35 32-36%
RDW 11,9 11,5-14,5%
MPV 9,4 7,2-11,1 fL
Hitung Jenis Leukosit
Eosinofil 4% 0-6 %
Basofil 1% 0-2 %
Neutrofil Segmen 54% 50-70 %
Neutrofil Batang 0% 2-6 %
Limfosit 35% 20-40 %
Monosit 6% 2-8 %
Jantung
CK-MB 35 <25 U/L
11

Diabetes

Glukosa Darah 233 <200 mg/dL


Sewaktu
Glukosa Darah 104 80 – 110 mg/dL
Puasa
Ginjal-Hipertensi

Ureum 23 13-43 mg/dL

Kreatinin 0,90 0,67 – 1,17 mg/dL

Elektrolit
Natrium 152 mmol/L 132 - 146 mmol/L
Kalium 4,2 mmol/L 3,7 – 5,4 mmol/L
Klorida 107 mmol/L 98 - 106 mmol/L
12

2.4.2 Elektrokardiografi

tanggal 8-oktober-2018

Irama : Sinus ritme normal

QRS rate : 93 x/menit

Axis : normo axis

Gel P : 0,08 s

Komplek QRS : 0,16 s

Q patologis : (-)

ST- Segmented : Elevasi (-), Depresi (-)

T- Inverted : (-)

RVH : (-)

LVH : (-)

Kesan : Sinus ritme, HR : 93 x/menit, RBBB complete


13

Pemeriksaan Ekokardiografi tangga 12-10-208

Kesimpulan :
Hipokinetik Anteroseptal
EF 48% Sesuai dengan CAD
14

2.5 Resume
Pasien datang dengan nyeri dada kiri menjalar ke leher dan lengan kiri
yang dirasakan tadi pagi ±5 jam sebelum masuk rumah sakit. , Nyeri dada
dirasakan seperti tertimpa benda berat. Nyeri dada dirasakan pasien selama 30
menit.Nyeri dada dirasakan saat pasien sedang istirahat. Pasien mengeluhkan
pusing dan mual, Pasien mengaku tidak ada riwayat trauma sebelumnya, Keluhan
sesak nafas disangkal. BAB dan BAK tidak ada keluhan Pasien mempunyai
Riwayat Diabetes Mellitus sejak 2 tahun yang lalu dan rutin mengkonsumsi obat
gula berupa Glibenklamid 1x5 mg.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan kesadaran compos mentis E4 V5 M6,
TD: 145/80 mmHg, HR : 93 x/menit ireguler, RR : 20 x/menit, T: 36,30C. Pada
pemeriksaan laboratorium didapatkan peningkatan CKMB, peningkatan glukosa
darah sewaktu. Pada hasil EKG didapatkan gambaran RBBB komplit.
Pemeriksaan echocardiography didapatkan kesimpulan Hipokinetik Anteroseptal
EF 48% Sesuai dengan CAD.

2.6 Diagnosa
 Non-ST Elevation Miokard Infark
 DM tipe 2 normalweight

2.7 Penatalaksanaan
- Bedrest
- O2 2-4 l/i
- Diet jantung II
- IVFD RL 20 gtt/i
- IV Ranitidin 1 amp
- Glibenclamid 1 x 5 mg
- Aspilet 1 x 80 mg
- SC fondaparinux 2,5 mg/24 jam
- Clopidogrel 1 x 75 mg
- ISDN 3 x 5 mg
15

2.8 Prognosis
Quo ad Vitam : dubia ad bonam
Quo ad Sanactionam : dubia ad bonam
Quo ad Functionam : dubia ad bonam

Status Follow Up
Tanggal S O A Th

9-10- Tidak ada TD : 110/70 -1. cest pain -Bedrest


2018 keluhan mmHg ec/ dd -Oksigen canul
HR : 77x/I, - Angina 2-4 liter
H+1 Irregular pectoris -Diet jantung 2
RR : 29 x/i - NSTEMI - IVFD RL 20
T: 36,5 C 2. DM tipe 2 gtt/i
normoweight -IV Ranitidin 1
amp
- Glibenclamid 1
x 5 mg
- Aspilet 1 x 80
mg
- SC fondaparinux
2,5 mg/24 jam
- ISDN 3 x 5 mg

10-10- Nyeri dada TD : 120/90 -1. cest pain ec -Bedrest


2018 berkurang mmHg dd/ -Oksigen canul
HR : 80 x/i, - Angina 2-4 liter
H+2 irregular pectoris -Diet jantung 2
RR : 18x/i - NSTEMI - IVFD RL 20
T : 36,4 C 2. DM tipe 2 gtt/i
normoweight -IV Ranitidin 1
amp
- Glibenclamid 1
x 5 mg
- Aspilet 1 x 80
mg
- SC
fondaparinux
2,55 mg/24 jam
- ISDN 3 x 5 mg
16

11-10- Tidak ada TD : 120/80 •-1. cest pain -Bedrest


2018 keluhan mmHg ec dd/ -Oksigen canul
HR : 72x/i - Angina 2-4 liter
H+3 RR : 18 x/i pectoris -Diet jantung 2
T : 36,4 C - NSTEMI - IVFD RL 20
2. DM tipe 2 gtt/i
normoweight -IV Ranitidin 1
amp
- Glibenclamid 1
x 5 mg
- Aspilet 1 x 80
mg
- SC
fondaparinux 2,5
mg/24 jam
- ISDN 3 x 5 mg

PBJ
BAB 3

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Berdasarkan spektrum SKA, NSTEMI didefinisikan sebagai gambaran
EKG depresi segmen ST atau inversi gelombang T prominen dengan biomarker
nekrosis yang positif ( mis, troponin) dengan tidak dijumpainya elevasi segmen
ST pada gambaran EKG dan sesuai dengan gambaran klinis (rasa tidak nyaman
pada dada atau sesuai dengan angina).8

2.2 Patofisiologi
Ciri khas patofisiologi kondisi NSTEMI adalah akibat ketidakseimbangan
antara suplai dan demand oksigen miokard. Mekanisme yang paling sering terlibat
dalam ketidakseimbangan tersebut disebabkan oleh menurunnya suplai oksigen ke
miokard, melalui lima mekanisme dibawah ini:2

1. Yang paling sering disebabkan oleh menyempitnya arteri koroner yang


disebabkan oleh trombus yang terdapat pada plak ateroskelotik yang terganggu
dan biasanya nonoklusif. Mikroemboli dari agregat trombosit dan komponen-
komponen dari plak yang terganggu tersebut diyakini bertanggung jawab
terhadap keluarnya markers miokard pada pasien-pasien NSTEMI.
Trombus/plak oklusif juga dapat menyebabkan sindroma ini namun dengan
suplai darah dari pembuluh darah kolateral. Patofisiologi molekuler dan seluler
paling sering yang menyebabkan plak aterosklerotik terganggu adalah
inflamasi arterial yang disebabkan oleh proses non infeksi (mis, lipid
teroksidasi), dapat pula oleh stimulus proses infeksi yang menyebabkan
ekspansi dan destabilisasi plak, ruptur atau erosi, dan trombogenesis. Makrofag
yang teraktivasi dan limfosit T yang berada pada plak meningkatkan ekspresi
enzim-enzim seperti metalloproteinase yang menyebabkan penipisan dan
disrupsi plak yang dapat menyebabkan NSTEMI.

15
42

2. Penyebab lain yang juga sering adalah obstruksi dinamis, yang dapat dipicu
oleh spasme fokal terus menerus dari segmen arteri koroner epicardial
(Prinzmetal’s angina). Spasme lokal ini disebabkan oleh hiperkontraktilitas
otot polos vaskular dan atau disfungsi endotel. Spasme pembuluh darah besar
dapat terjadi pada puncak obstruksi atau plak, yang mengakibatkan angina
yang berasal dari campuran kondisi tersebut atau NSTEMI/UA. Obstruksi
koroner dinamik dapat pula disebabkan oleh disfungsi mikrovaskular difus,
sebagai contoh akibat disfungsi endotel atau konstriksi abnormal dari
pembuluh darah kecil intramural.
3. Penyempitan pembuluh darah tanpa spasme atau trombus. Kondisi ini terjadi
pada pasien dengan atherosklerosis progresif atau akibat restenosis setelah
percutaneous coronary intervention (PCI).
4. Diseksi arteri koroner (dapat terjadi sebagai penyebab SKA pada wanita-
wanita peripartum).
5. UA sekunder, yang kondisi pencetus nya terdapat diluar arteri koroner. Pasien
dengan UA sekunder biasanya, namun tidak selalu, memiliki penyempitan
atherosklerotik koroner yang membatasi perfusi miokard dan sering memiliki
angina kronik stabil. UA sekunder dapat dipresipitasi oleh kondisi-kondisi
seperti peningkatan kebutuhan oksigen miokard (demam, takikardia,
tirotoksikosis), penurunan aliran darah koroner (hipotensi) atau penurunan
pasokan oksigen miokard (anemia atau hipoksemia).
Tabel.1 Penyebab NSTEMI8
43

2.4 Diagnosis
Gejala utama dari NSTEMI adalah nyeri dada yang khas. Diagnosis kerja
NSTEMI dipikirkan dengan menyingkirkan diagnosis lain berdasarkan EKG
(tidak didapatinya ST elevasi persisten), selanjutnya biomarker-biomarker seperti
troponin akan membedakan NSTEMI dengan UA, modalitas imaging digunakan
untuk menyingkirkan diferensial diagnosis.6

a. Anamnesis
Nyeri dada akut adalah salah satu alasan utama pasien-pasien datang ke
unit gawat darurat dan diketahui pasien selama ini sebagai pertanda SKA, namun
setelah evaluasi lebih lanjut hanya sekitar 15-20% pasien dengan nyeri dada akut
yang betul-betul mengalami SKA. Sehingga perlu pula diketahui gejala-gejala
lain yang sering dialami namun kurang diwaspadai oleh pasien NSTEMI. Oleh
karena itu pendekatan yang tepat akan keluhan nyeri dada harus dilakukan.3,8

Presentasi klinis dari NSTEMI meliputi berbagai gejala yang cukup luas.
Presentasi klinis yang selama ini umum diketahui antara lain:6

- Nyeri angina yang berdurasi panjang (> 20 menit) saat istirahat


- Angina onset baru (kelas II atau III berdasarkan klasifikasi Canadian
Cardiovascular Society (CCS))
- Destabilisasi baru dari yang sebelumnya angina stabil dengan setidaknya
memenuhi karakteristik angina kelas III CCS (crescendo angina), atau
- Angina post infark miokard

Gambaran klinis nyeri dada pada NSTEMI adalah rasa berat atau tekanan
pada daerah retrosternal (angina) yang menjalar hingga ke lengan kiri, leher, atau
rahang, yang dapat bersifat intermiten (umumnya berlangsung selama beberapa
menit) atau persisten. Keluhan ini dapat diikuti dengan keluhan lainnya seperti
fatik yang ekstrim, diaphoresis, nausea, nyeri perut, dyspnoea, dan syncope.
Dapat pula didapati keluhan tidak khas lainnya seperti epigastric pain, masalah
44

pencernaan, nyeri dada seperti ditikam, nyeri dada dengan ciri pleuritik, atau
bertambahnya sesak napas.6
Munculnya keluhan-keluhan tersebut setelah aktifitas fisik atau
berkurang saat istirahat atau setelah penggunaan nitrat, mendukung diagnosis
iskemia. Dalam anamnese perlu pula ditanyakan dan dievaluasi adanya faktor
resiko standar seperti usia, diabetes mellitus, hipertensi, merokok, riwayat
keluarga, episode angina, konsumsi aspirin, riwayat serupa mengalami hal yang
sama, penyakit jantung koroner sebelumnya, dislipidemia, dan lain sebagainya.
Penting pula mengidentifikasi kondisi-kondisi klinis lainnya yang dapat
mencetuskan NSTEMI seperti anemia, infeksi, inflamasi, demam dan kelainan
metabolik atau endokrin (umumnya tiroid).6
Pasien-pasien yang mengalami NSTEMI tidak selalu datang dengan
keluhan rasa tidak nyaman pada daerah dada. Studi Framingham adalah studi
pertama yang menunjukkan bahwa setengah dari pasien infark miokard tidak
menunjukkan gejala dan tidak disadari oleh pasien. Canto et al menemukan bahwa
sepertiga dari 434.877 pasien yang telah dikonfirmasi mengalami infark miokard
pada National Registry of Myocardial Infarction datang ke rumah sakit dengan
gejala selain rasa tidak nyaman pada daerah dada. Kondisi ini sepertinya lebih
sering muncul pada pasien-pasien berusia tua, wanita, memiliki diabetes dan atau
memiliki gagal jantung sebelumnya.8
Tabel. 2 Tingkatan angina pektoris berdasarkan Canadian Cardiovascular
Society8
45

b. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik pada NSTEMI bisa saja normal. Setiap pasien dengan
SKA harus diukur tanda-tanda vital nya (tekanan darah dikedua lengan jika
disangkakan diseksi, frekuensi detak jantung, dan suhu) dan selanjutnya harus
menjalani pemeriksaan fisik jantung dan dada yang lengkap.8 Tujuan utama dari
pemeriksaan fisik adalah untuk menyingkirkan penyebab nyeri dada non kardiak
dan kelainan jantung non iskemik (emboli paru, diseksi aorta, perikarditis,
penyakit jantung katup) atau kemungkinan penyebab diluar jantung seperti
penyakit paru akut (pneumothoraks, pneumonia, efusi pleura).3,6
Pemeriksaan fisik seperti diaphoresis, pucat, kulit dingin, sinus takikardia,
suara jantung ketiga atau keempat, ronkhi basah basal, dan hipotensi
menunjukkan kemungkinan area iskemik yang luas dan beresiko tinggi.
Pemeriksaan fisik lain seperti pucat, banyak keringat dan tremor dapat
mengarahkan ke kondisi-kondisi pencetus seperti anemia dan tirotoksikosis.6
Perbedaan tekanan darah pada anggota gerak atas dan bawah, nadi yang
iregular, murmur jantung, friction rub, nyeri saat palpitasi dan massa regio
abdomen adalah pemeriksaan fisik yang mungkin didapati pada kondisi selain
NSTEMI.6
c. Pemeriksaan Electrokardiogram
EKG 12 lead saat istirahat merupakan alat diagnostik lini pertama dalam
penilaian pasien-pasien yang disangkakan NSTEMI. EKG harus didapat dalam 10
menit setelah kontak medis pertama dan secepatnya diinterpretasikan oleh dokter.
Karakteristik abnormalitas gambaran EKG yang ditemui pada NSTEMI adalah
depresi segmen ST atau elevasi transient dan atau perubahan pada gelombang T
(inversi gelombang T, gelombang T yang datar, gelombang T pseudo-normal).3,6
Jumlah lead yang menunjukkan depresi segmen ST dan derajat depresi
segmen ST mengindikasikan luas dan keparahan iskemia dan berkorelasi dengan
prognosis. Deviasi segmen ST yang baru, bahkan hanya 0,05 mV merupakan hal
46

yang penting dan spesifik dalam hal iskemik dan prognosis. Depresi segmen ST >
2 mm meningkatkan resiko mortalitas. Inversi gelombang T juga sensitif untuk
iskemik namun kurang spesifik, kecuali bila ≥ 0,3mV baru dinyatakan
bermakna.3,5
Jika EKG inisial normal atau inkonklusif, perekaman EKG ulangan
sebaiknya dilakukan saat pasien mengalami gejala dan gambaran EKG ini
dibandingkan dengan gambaran EKG saat pasien dalam kondisi asimtomatis.
Perbandingan dengan EKG sebelumnya akan sangat bernilai pada pasien-pasien
dengan kelainan jantung terdahulu, seperti hipertropi ventrikel kiri atau infark
miokard sebelumnya. Perekaman EKG sebaiknya diulangi setidaknya pada 3 jam
(6-9 jam) dan 24 jam setelah masuk ke rumah sakit. Pada kondisi dimana terjadi
nyeri dada berulang atau muncul gejala-gejala lainnya, pemeriksaan EKG dapat
diulangi secepatnya.6
Harus diingat bahwa gambaran EKG normal tidak menyingkirkan
kemungkinan NSTEMI. Terutama iskemik pada daerah arteri sirkumfleks atau
iskemik ventrikel kanan terisolasi dapat luput dari gambaran EKG 12 lead, namun
dapat terdeteksi pada lead V7-V9 dan pada lead V3R dan V4R.6

Gambar 1. Inversi Gelombang T9

Gambar 2. Depresi segmen ST10


47

d. Pemeriksaan Marka Jantung


Kardiak troponin (TnT dan TnI) memegang peranan penting dalam
diagnosis dan stratifikasi resiko, dan dapat membedakan NSTEMI dengan UA.
Troponin lebih spesifik dan sensitif dibandingkan enzim jantung tradisional
lainnya seperti creatine kinase (CK), isoenzim CK yaitu CKMB dan mioglobin.
Peningkatan troponin jantung menggambarkan kerusakan selular miokard yang
mungkin disebabkan oleh embolisasi distal oleh trombus kaya platelet dari plak
yang ruptur atau mengalami erosi. Pada kondisi iskemik miokard (nyeri dada,
perubahan EKG, atau abnormalitas gerakan dinding jantung yang baru),
peningkatan troponin mengindikasikan adanya infark miokard.6,8
Pada pasien-pasien dengan infark miokard, peningkatan awal troponin
muncul dalam 4 jam setelah onset gejala. Troponin dapat tetap meningkat sampai
dua minggu akibat proteolisis aparatus kontraktil. Nilai cut off untuk infark
miokard adalah kadar troponin jantung melebihi persentil 99 dari nilai referensi
normal (batas atas nilai normal).6
Kondisi-kondisi mengancam nyawa lainnya yang menunjukkan gejala
nyeri dada seperti aneurisma diseksi aorta atau emboli pulmonal, dapat juga
menyebabkan peningkatan troponin dan harus selalu dipertimbangkan sebagai
diferensial diagnosis. Peningkatan troponin jantung juga dapat terjadi pada injuri
miokard yang tidak berhubungan dengan pembuluh koroner.6

Gambar 3. Waktu timbulnya berbagai jenis marka jantung


48

Creatine kinase – MB (CKMB) yang merupakan protein karier sitosolik


untuk fospat energi tinggi telah lama dijadikan sebagai standar diagnosis infark
miokard. Namun CKMB kurang sensitif dan kurang spesifik dibandingkan
dengan troponin jantung dalam menilai infark miokard. CKMB dalam jumlah
yang kecil dapat ditemui pada darah orang sehat dan meningkat seiring dengan
kerusakan otot lurik.8
e. Pemeriksaan Imaging
Foto thoraks biasanya dilaksanakan pada saat awal pasien masuk ke rumah
sakit, sehingga dapat dievaluasi kemungkinan lain penyebab nyeri dada dan
sekaligus sebagai skrining kongesti paru yang akan mempengaruhi prognosis.5
Pemeriksaan ekokardiografi dan doppler sebaiknya dilakukan setelah
hospitalisasi untuk menilai fungsi global ventrikel kiri dan abnormalitas gerakan
dinding regional. Ekokardiografi juga diperlukan untuk menyingkirkan penyebab
lain dari nyeri dada.3
Cardiac magnetic resonance (CMR) dapat menilai fungsi dan perfusi
jantung skaligus mendeteksi bekas luka pada jaringan, namun teknik imaging ini
belum secara luas tersedia. Begitu pula dengan nuclear myocardial perfusion
tampaknya akan sangat bermanfaat, namun tidak tersedia dalam layanan 24 jam.
Myokard skintigrafi juga dapat digunakan pada pasien dengan nyeri dada tanpa
perubahan gambaran EKG atau bukti adanya iskemik yang sedang berlangsung
ataupun infark miokard. Multidetector computed tomography (CT) tidak
digunakan untuk mendeteksi iskemia, namun menawarkan kemungkinan untuk
menyingkirkan adanya PJK. CT angiography, jika tersedia dapat digunakan untuk
menyingkirkan SKA dari etiologi nyeri dada lainnya.6
Angiografi koroner merupakan pemeriksaan baku emas untuk mengetahui
dan menilai keparahan penyakit arteri koroner. Angiografi urgent dilakukan untuk
tindakan diagnostik pada pasien-pasien dengan resiko tinggi dan dengan diagnosis
banding yang tidak jelas.6
49

2.6 Diagnosis Banding


Berikut dibawah ini adalah kondisi-kondisi yang berasal dari
jantung maupun non jantung yang menyerupai NSTEMI :

Tabel 3. Kondisi-kondisi yang menyerupai NSTEMI3

Kardiak Pulmonal Hematologi Vaskular Gastro- Orthopedi/


Intestinal Infeksi

Emboli Diseksi Cervical


Miokarditis Paru Sickle cell aorta Spasme diskopati
crisis esofageal

Infark Aneurism
Perikarditis pulmonal Anemia a Esofagitis Fraktur iga
aorta

Pneumoni
Kardiomiopati a Penyakit Ulkus Injury
Pleuritis serebro peptikum otot/inflamasi
vaskular

Pneumoth Pankreatiti
Kelainan oraks s Kostokondritis
katup

Kolesistiti
Kardiomiopati s Herpes zoster
Tako-Tsubo
50

Trauma
Kardiak

2.5 Stratifikasi Risiko

Beberapa cara stratifikasi risiko telah dikembangkan dan divalidasi untuk

SKA. Beberapa stratifikasi risiko yang digunakan adalah TIMI (Thrombolysis In

Myocardial Infarction) (Tabel 1), dan GRACE (Global Registry of Acute

Coronary Events) (Tabel 2), sedangkan CRUSADE (Can Rapid risk stratification

of Unstable angina patients Suppress ADverse outcomes with Early

implementation of the ACC/AHA guidelines) digunakan untuk menstratifikasi

risiko terjadinya perdarahan (Tabel 3). Stratifikasi perdarahan penting untuk

menentukan pilihan penggunaan antitrombotik. Tujuan stratifikasi risiko adalah

untuk menentukan strategi penanganan selanjutnya (konservatif atau intervensi

segera) bagi seorang dengan NSTEMI. Stratifikasi risiko TIMI ditentukan oleh

jumlah skor dari 7 variabel yang masingmasing setara dengan 1 poin. Variabel

tersebut antara lain adalah usia ≥65 tahun, ≥3 faktor risiko, stenosis koroner

≥50%, deviasi segmen ST pada EKG, terdapat 2 kali keluhan angina dalam 24

jam yang telah lalu, peningkatan marka jantung, dan penggunaan asipirin dalam 7

hari terakhir. Dari semua variabel yang ada, stenosis koroner ≥50% merupakan

variabel yang sangat mungkin tidak terdeteksi. Jumlah skor 0-2: risiko rendah

(risiko kejadian kardiovaskular <8,3%); skor 3-4 : risiko menengah (risiko

kejadian kardiovaskular <19,9%); dan skor 5-7 : risiko tinggi (risiko kejadian
51

kardiovaskular hingga 41%). Stratifikasi TIMI telah divalidasi untuk prediksi

kematian 30 hari dan 1 tahun pada berbagai spektrum SKA termasuk

UAP/NSTEMI.

Tabel 1 Skor TIMI untuk UAP dan NSTEMI

Klasifikasi GRACE (Tabel 2) mencantumkan beberapa variabel yaitu usia,

kelas Killip, tekanan darah sistolik, deviasi segmen ST, cardiac arrest saat tiba di

ruang gawat darurat, kreatinin serum, marka jantung yang positif dan frekuensi

denyut jantung. Klasifikasi ini ditujukan untuk memprediksi mortalitas saat

perawatan di rumah sakit dan dalam 6 bulan setelah keluar dari rumah sakit.

Untuk prediksi kematian di rumah sakit, pasien dengan skor risiko GRACE ≤108
52

dianggap mempunyai risiko rendah (risiko kematian <1%). Sementara itu, pasien

dengan skor risiko GRACE 109-140 dan >140 berturutan mempunyai risiko

kematian menengah (1-3%) dan tinggi (>3%). Untuk prediksi kematian dalam 6

bulan setelah keluar dari rumah sakit, pasien dengan skor risiko GRACE ≤88

dianggap mempunyai risiko rendah (risiko kematian <3%). Sementara itu, pasien

dengan skor risiko GRACE 89-118 dan >118 berturutan mempunyai risiko

kematian menengah (3-8%) dan tinggi (>8%).

Tabel 1 Skor GRACE


53

Stratifikasi risiko berdasarkan kelas Killip merupakan klasifikasi risiko

berdasarkan indikator klinis gagal jantung sebagai komplikasi infark miokard akut

dan ditujukan untuk memperkirakan tingkat mortalitas dalam 30 hari (Tabel 2).

Klasifikasi Killip juga digunakan sebagai salah satu variabel dalam klasifikasi

GRACE.
54

Tabel 3 Mortalitas 30 hari berdasarkan kelas killip

Perdarahan dikaitkan dengan prognosis yang buruk pada NSTEMI,

sehingga segala upaya perlu dilakukan untuk mengurangi perdarahan sebisa

mungkin. Variabel-variabel yang dapat memperkirakan tingkat risiko perdarahan

mayor selama perawatan dirangkum dalam CRUSADE bleeding risk score, antara

lain kadar hematokrit, klirens kreatinin, laju denyut jantung, jenis kelamin, tanda

gagal jantung, penyakit vaskular sebelumnya, adanya diabetes, dan tekanan darah

sistolik. Dalam skor CRUSADE, usia tidak diikutsertakan sebagai prediktor,

namun tetap berpengaruh melalui perhitungan klirens kreatinin. Skor CRUSADE

yang tinggi dikaitkan dengan kemungkinan perdarahan yang lebih tinggi.


55

Tabel 4 Skor Pendarahan CRUSADE


56

Berdasarkan skor CRUSADE, pasien dapat ditentukan dalam berbagai tingkat

risiko perdarahan, yang dapat dilihat dalam tabel 4.

Tabel 5 Stratifikasi risiko berdasarkan skor CRUSADE


57

Tabel 6 Kriteria stratifikasi risiko sangat tinggi untuk strategi invasif

Tabel 7 Kriteria stratifikasi risiko tinggi untuk strategi invasif

Berdasarkan stratifikasi risiko, dapat ditentukan kebutuhan untuk

dilakukan strategi invasif dan waktu pelaksanaan revaskularisasi. Strategi invasive

melibatkan dilakukannya angiografi, dan ditujukan pada pasien dengan tingkat

risiko tinggi hingga sangat tinggi. Waktu pelaksanaan angiografi ditentukan

berdasarkan beberapa parameter dan dibagi menjadi 4 kategori, yaitu:

1. Strategi invasif segera (<2 jam, urgent) (Kelas I-C). Dilakukan bila pasien

memenuhi salah satu kriteria risiko sangat tinggi (very high risk)
58

2. Strategi invasif awal (early) dalam 24 jam (Kelas I-A) Dilakukan bila pasien

memiliki skor GRACE >140 atau dengan salah satu kriteria risiko tinggi (high

risk) primer

3. Strategi invasif awal (early) dalam 72 jam (Kelas I-A) Dilakukan bila pasien

memenuhi salah satu kriteria risiko tinggi (high risk) atau dengan gejala berulang

4. Strategi konservatif (tidak dilakukan angiografi) atau angiografi elektif (Kelas

III-A)

Dalam strategi konservatif, evaluasi invasif awal tidak dilakukan secara rutin.

Strategi ini dilakukan pada pasien yang tidak memenuhi kriteria risiko tinggi dan

dianggap memiliki risiko rendah, yaitu memenuhi kriteria berikut ini:

• Nyeri dada tidak berulang

• Tidak ada tanda-tanda kegagalan jantung

• Tidak ada kelainan pada EKG awal atau kedua (dilakukan pada jam ke-6 hingga

9)

• Tidak ada peningkatan nilai troponin (saat tiba atau antara jam ke-6 hingga 9)

• Tidak ada iskemia yang dapat ditimbulkan (inducible ischemia)

Penentuan risiko rendah berdasarkan risk score seperti GRACE dan TIMI

juga dapat berguna dalam pengambilan keputusan untuk menggunakan strategi

konservatif. Penatalaksanaan selanjutnya untuk pasien-pasien ini berdasarkan

evaluasi PJK. Sebelum dipulangkan, dapat dilakukan stress test untuk

menentukan adanya iskemi yang dapat ditimbulkan (inducible) untuk perencanaan

pengobatan dan sebelum dilakukan angiografi elektif.


59

Risk Score >3 menurut TIMI menunjukkan pasien memerlukan revaskularisasi.

Timing revaskularisasi dapat ditentukan berdasarkan penjelasan di atas.

Tabel 7 Kriteria Resiko Untuk Menentukan Strategi Invasif


60

Gambar 3 Pemilihan Strategi terapi dan waktu berdasarkan stratifikasi


resiko pada NSTEMI

2.6 Penatalaksanaan
1. Manajemen Terapi
Pasien dengan sangkaan SKA harus dievaluasi dengan cepat. Keputusan
yang dibuat berdasarkan evaluasi awal terhadap pasien memiliki konsekuensi
klinis dan ekonomis yang bermakna. Pasien NSTEMI atau diduga NSTEMI yang
dalam keadaan stabil sebaiknya dirawat inap dan menjalani tirah baring dengan
monitoring ritme EKG berkelanjutan dan diobservasi akan kemungkinan iskemik
berulang. Pasien dengan resiko tinggi, termasuk mereka dengan rasa tidak nyaman
pada dada yang terus menerus dan atau hemodinamik tidak stabil sebaiknya
dirawat di unit koroner (coronary care unit) dan diobservasi setidaknya 24-48
jam.3

Terdapat empat komponen utama terapi pada NSTEMI yaitu terapi


antiiskemia, antiplatelet/antikoagulan, terapi invasif (kateterisasi
61

dini/revaskularisasi), dan perawatan sebelum meninggalkan RS dan sesudah


perawatan RS. Terapi fibrinolitik (thrombolitik) menggunakan streptokinase,
urokinase, tenekteplase atau preparat lainnya sebaiknya tidak digunakan pada
pasien dengan NSTEMI.3

2. Terapi Suportif

Pemberian oksigen dilakukan bila saturasi oksigen <90%, distres


pernafasan, atau memiliki resiko tinggi untuk terjadi hipoksemia.7,12 Untuk
mengatasi nyeri dapat diberikan nitrogliserin sublingual atau buccal spray
(0.4mg). Nitrogliserin dapat diberikan setiap 5 menit dengan total 3 dosis
pemberian. Jika nyeri masih menetap atau pasien dengan hipertensi ataupun gagal
jantung , nitrogliserin intra vena dapat diberikan (dosis inisial 5-10 ug/menit
dengan peningkatan 10 ug/menit sampai tekanan darah sistolik turun dibawah 100
mmHg). Pemberian nitrogliserin dikontraindikasikan pada pasien yang
mengkonsumsi sildenafil dalam 24 jam sebelum masuk rumah sakit atau 48 jam
untuk tadalafil.7,12

Morfin dapat digunakan untuk mengatasi nyeri, walaupun terdapat


beberapa observasi yang mengindikasikan adanya peningkatan mortalitas pada
SKA dengan penggunaan nya. Sedangkan NSAID disarankan untuk dihentikan
pengunaannya pada pasien NSTEMI, karena dijumpai peningkatan resiko
mortalitas, reinfark, hipertensi, gagal jantung dan ruptur miokard sehubungan
dengan penggunaannya.7

Tabel 4. Terapi suportif pada NSTEMI6


62

3. Terapi Anti Iskemia


a. Penyekat Beta (Beta blocker).
Penghambat beta harus diberikan dalam 24 jam pertama pada pasien-
pasien yang tidak memiliki tanda gagal jantung ataupun low-output state,
peningkatan resiko syok kardiogenik atau kontraindikasi relatif lain terhadap
penghambatan reseptor beta (interval PR >0,24 detik, blok jantung derajat 2 atau
3, asma aktif, penyakit saluran nafas reaktif).7
Penghambat reseptor beta mengurangi insidensi iskemik berulang dan
serangan infark miokard berikutnya. Preparat oral ini sebaiknya dilanjutkan
sampai waktu yang tak terbatas, terutama pada pasien-pasien dengan fungsi
ventrikel kiri yang berkurang. Penghambat reseptor beta intravena dapat diberikan
apabila tidak dijumpai kontraindikasi. Pada pasien-pasien yang
dikontraindikasikan menggunakan preparat penghambat beta dapat menggunakan
non-dihydropyridine calcium channel blocker (mis, verapamil atau diltiazem)
sebagai terapi inisial dengan memperhatikan bahwa pasien tersebut tidak
mengalami disfungsi ventrikel kiri yang signifikan atau kontraindikasi lainnya.7
Keuntungan utama terapi penyekat beta terletak pada efeknya terhadap
reseptor beta-1 yang mengakibatkan turunnya konsumsi oksigen miokardium.
Terapi hendaknya tidak diberikan pada pasien dengan gangguan konduksi atrio-
ventrikler yang signifikan, asma bronkiale, dan disfungsi akut ventrikel kiri. Pada
kebanyakan kasus, preparat oral cukup memadai dibandingkan injeksi. Penyekat
beta direkomendasikan bagi pasien UAP atau NSTEMI, terutama jika terdapat
hipertensi dan/atau takikardia, dan selama tidak terdapat indikasi kontra (Kelas I-
B).penyekat beta oral hendaknya diberikan dalam 24 jam pertama (Kelas I-B).
Penyekat beta juga diindikasikan untuk semua pasien dengan disfungsi ventrikel
kiri selama tidak ada indikasi kontra (Kelas I-B). Pemberian penyekat beta pada
pasien dengan riwayat pengobatan penyekat beta kronis yang datang dengan SKA
tetap dilanjutkan kecuali bila termasuk klasifikasi Kilip =III (Kelas I-B).

Tabel 1. Jenis dan dosis penyekat beta untuk terapi IMA


63

Penyekat beta Selektivitas Aktivitas agonis Dosis untuk


parsial angina

Atenolol B1 - 50-200 mg/hari

Bisoprolol B1 - 10 mg/hari

Carvedilol a dan b + 2x6,25 mg/hari,

titrasi sampai

maksimum 2x25

mg/hari

Metoprolol B1 - 50-200 mg/hari

Propanolol Nonselektif - 2x20-80 mg/hari

b. Nitrat
Keuntungan terapi nitrat terletak pada efek dilatasi vena yang
mengakibatkan berkurangnya preload dan volume akhir diastolic ventrikel kiri
sehingga konsumsi oksigen miokardium berkurang. Keuntungan terapeutik dari
penggunaan nitrat berhubungan dengan efek venodilator yang menyebabkan
penurunan preload miokard dan volume end diastolik ventrikel kiri yang akhirnya
menyebabkan penurunan konsumsi oksigen miokard. Selain itu nitrat akan
menyebabkan dilatasi arteri koroner normal maupun arteri koroner yang
mengalami aterosklerotik dan meningkatkan aliran kolateral koroner.6
Pada pasien dengan NSTEMI yang memerlukan perawatan rumah sakit,
penggunaan nitrat intravena lebih efektif dibandingkan nitrat sublingual untuk
mengurangi gejala dan depresi segmen ST. Dosis harus di up titrasi sampai gejala
(angina atau dyspnoe) berkurang atau munculnya efek samping (sakit kepala atau
hipotensi). Efek lain dari nitrat adalah dilatasi pembuluh darah koroner baik yang
normal maupun yang mengalami aterosklerosis.6
1. Nitrat oral atau intravena efektif menghilangkan keluhan dalam fase akut dari
episode angina (Kelas I-C).
64

2. Pasien dengan UAP/NSTEMI yang mengalami nyeri dada berlanjut sebaiknya


mendapat nitrat sublingual setiap 5 menit sampai maksimal 3 kali pemberian,
setelah itu harus dipertimbangkan penggunaan nitrat intravena jika tidak ada
indikasi kontra (Kelas I-C).
3. Nitrat intravena diindikasikan pada iskemia yang persisten, gagal jantung, atau
hipertensi dalam 48 jam pertama UAP/NSTEMI. Keputusan menggunakan nitrat
intravena tidak boleh menghalangi pengobatan yang terbukti menurunkan
mortalitas seperti penyekat beta atau angiotensin converting enzymes inhibitor
(ACE-I) (Kelas I-B).
4. Nitrat tidak diberikan pada pasien dengan tekanan darah sistolik <90 mmHg
atau >30 mmHg di bawah nilai awal, bradikardia berat (<50 kali permenit),
takikardia tanpa gejala gagal jantung, atau infark ventrikel kanan (Kelas III-C).
5. Nitrat tidak boleh diberikan pada pasien yang telah mengkonsumsi inhibitor
fosfodiesterase: sidenafil dalam 24 jam, tadalafil dalam 48 jam. Waktu yang tepat
untuk terapi nitrat setelah pemberian vardenafil belum dapat ditentukan (Kelas
III-C).
Tabel 2. Jenis dan dosis nitrat untuk terapi IMA
Nitrat Dosis

Isosorbid dinitrate (ISDN) Sublingual 2,5–15 mg (onset 5 menit)

Oral 15-80 mg/hari dibagi 2-3 dosis

Intravena 1,25-5 mg/jam

Isosorbid 5 mononitrate Oral 2x20 mg/hari

Oral (slow release) 120-240 mg/hari

Nitroglicerin Sublingual tablet 0,3-0,6 mg–1,5 mg

(trinitrin, TNT, glyceryl trinitrate) Intravena 5-200 mcg/menit

c. Calcium channel blockers (CCBs).


65

Calcium channel blockers merupakan obat vasodilator dan beberapa


diantaranya memiliki efek langsung terhadap konduksi atrioventrikular dan
denyut jantung. Terdapat tiga sub kelas dari calcium blocker yaitu
dihydropyridines (nifedipine), benzothiazepines (diltiazem), dan
phenylethylamines (verapamil). Ketiga sub kelas ini memiliki derajat yang
bervariasi dalam hal vasodilatasi, penurunan kontraktilitas miokard dan
penghambatan konduksi atrioventrikular. Nifedipin dan amlodipin memiliki efek
vasodilatasi perifer yang paling besar, sementara diltiazem memiliki efek
vasodilator yang paling kecil.6

Nifedipin dan amplodipin mempunyai efek vasodilator arteri dengan


sedikit atau tanpa efek pada SA Node atau AV Node. Sebaliknya verapamil dan
diltiazem mempunyai efek terhadap SA Node dan AV Node yang menonjol dan
sekaligus efek dilatasi arteri. Semua CCB tersebut di atas mempunyai efek dilatasi
koroner yang seimbang.Oleh karena itu CCB, terutama golongan dihidropiridin,
merupakan obat pilihan untuk mengatasi angina vasospastik. Studi menggunakan
CCB pada UAP dan NSTEMI umumnya memperlihatkan hasil yang seimbang
dengan penyekat beta dalam mengatasi keluhan angina.

1. CCB dihidropiridin direkomendasikan untuk mengurangi gejala bagi pasien


yang telah mendapatkan nitrat dan penyekat beta (Kelas I-B).
2. CCB non-dihidropiridin direkomendasikan untuk pasien NSTEMI dengan
indikasi kontra terhadap penyekat beta (Kelas I-B).
3. CCB nondihidropiridin (long-acting) dapat dipertimbangkan sebagai pengganti
terapi penyekat beta (Kelas IIb-B).
4. CCB direkomendasikan bagi pasien dengan angina vasospastik (Kelas I-C).
5. Penggunaan CCB dihidropiridin kerja cepat (immediate-release) tidak
direkomendasikan kecuali bila dikombinasi dengan penyekat beta. (Kelas III-B).
Tabel 3. Jenis dan dosis penghambat kanal kalsium untuk terapi IMA
Penghambat kanal kalsium Dosis
66

Verapamil 180-240 mg/hari dibagi 2-3 dosis

Diltiazem 120-360 mg/hari dibagi 3-4 dosis

Nifedipine GITS (long acting 30-90 mg/hari

Amlodipine 5-10 mg/hari

2. Terapi Antiplatelet
1. Aspirin harus diberikan kepada semua pasien tanda indikasi kontra dengan
dosis loading 150-300 mg dan dosis pemeliharaan 75-100 mg setiap
harinya untuk jangka panjang, tanpa memandang strategi pengobatan yang
diberikan (Kelas I-A).
2. Penghambat reseptor ADP perlu diberikan bersama aspirin sesegera
mungkin dan dipertahankan selama 12 bulan kecuali ada indikasi kontra
seperti risiko perdarahan berlebih (Kelas I-A).
3. Penghambat pompa proton (sebaiknya bukan omeprazole) diberikan
bersama DAPT (dual antiplatelet therapy - aspirin dan penghambat
reseptor ADP) direkomendasikan pada pasien dengan riwayat perdarahan
saluran cerna atau ulkus peptikum, dan perlu diberikan pada pasien dengan
beragam faktor risiko seperti infeksi H. pylori, usia =65 tahun, serta
konsumsi bersama dengan antikoagulan atau steroid (Kelas I-A).
4. Penghentian penghambat reseptor ADP lama atau permanen dalam 12
bulan sejak kejadian indeks tidak disarankan kecuali ada indikasi klinis
(Kelas I-C).
5. Ticagrelor direkomendasikan untuk semua pasien dengan risiko kejadian
iskemik sedang hingga tinggi (misalnya peningkatan troponin) dengan
dosis loading 180 mg, dilanjutkan 90 mg dua kali sehari. Pemberian
dilakukan tanpa memandang strategi pengobatan awal.Pemberian ini juga
dilakukan pada pasien yang sudah mendapatkan clopidogrel (pemberian
clopidogrel kemudian dihentikan) (Kelas I-B).
67

6. Clopidogrel direkomendasikan untuk pasien yang tidak bisa menggunakan


ticagrelor. Dosis loading clopidogrel adalah 300 mg, dilanjutkan 75 mg
setiap hari (Kelas I-A).
7. Pemberian dosis loading clopidogrel 600 mg (atau dosis loading 300 mg
diikuti dosis tambahan 300 mg saat IKP) direkomendasikan untuk pasien
yang dijadwalkan menerima strategi invasif ketika tidak bisa mendapatkan
ticagrelor (Kelas I-B).
8. Dosis pemeliharaan clopidogrel yang lebih tinggi (150 mg setiap hari)
perlu dipertimbangkan untuk 7 hari pertama pada pasien yang dilakukan
IKP tanpa risiko perdarahan yang meningkat (Kelas IIa-B).
9. Pada pasien yang telah menerima pengobatan penghambat reseptor ADP
yang perlu menjalani pembedahan mayor non-emergensi (termasuk
CABG), perlu dipertimbangkan penundaan pembedahan selama 5 hari
setelah penghentian pemberian ticagrelor atau clopidogrel bila secara
klinis memungkinkan, kecuali bila terdapat risiko kejadian iskemik yang
tinggi (Kelas IIa-C).
10. Ticagrelor atau clopidogrel perlu dipertimbangkan untuk diberikan (atau
dilanjutkan) setelah pembedahan CABG begitu dianggap aman (Kelas
IIa-B).
11. Tidak disarankan memberikan aspirin bersama NSAID (penghambat
COX2 selektif dan NSAID non-selektif) (Kelas III-C).
Keterangan: DAPT perlu tetap diberikan selama 12 bulan tanpa memperdulikan
jenis stent.
Tabel 4. Jenis dan dosis antiplatelet untuk terapi IMA
Antiplatelet Dosis

Aspirin Dosis loading 150-300 mg, dosis


pemeliharaan 75-100 mg

Ticagrelor Dosis loading 180 mg, dosis


pemeliharaan 2x90 mg/hari
68

Clopidogrel Dosis loading 300 mg, dosis


pemeliharaan 75 mg/hari

3. Penghambat Reseptor Glikoprotein IIb/IIIa


Pemilihan kombinasi agen antiplatelet oral, agen penghambat reseptor
glikoprotein IIb/IIIa dan antikoagulan dibuat berdasarkan risiko kejadian iskemik
dan perdarahan (Kelas I-C).Penggunaan penghambat reseptor glikoprotein
IIb/IIIa dapat diberikan pada pasien IKP yang telah mendapatkan DAPT dengan
risiko tinggi (misalnya peningkatan troponin, trombus yang terlihat) apabila risiko
perdarahan rendah (Kelas I-B).Agen ini tidak disarankan diberikan secara rutin
sebelum angiografi (Kelas III-A) atau pada pasien yang mendapatkan DAPT
yang diterapi secara konservatif (Kelas III-A).

4. Antikogulan.
Terapi antikoagulan harus ditambahkan pada terapi antiplatelet secepat
mungkin.
1. Pemberian antikoagulan disarankan untuk semua pasien yang mendapatkan
terapi antiplatelet (Kelas I-A).
2. Pemilihan antikoagulan dibuat berdasarkan risiko perdarahan dan iskemia, dan
berdasarkan profil efikasi-keamanan agen tersebut. (Kelas I-C).
3. Fondaparinuks secara keseluruhan memiliki profil keamanan berbanding risiko
yang paling baik. Dosis yang diberikan adalah 2,5 mg setiap hari secara subkutan
(Kelas I-A).
4. Bila antikoagulan yang diberikan awal adalah fondaparinuks, penambahan
bolus UFH (85 IU/kg diadaptasi ke ACT, atau 60 IU untuk mereka yang
mendapatkan penghambat reseptor GP Iib/IIIa) perlu diberikan saat IKP (Kelas I-
B).
5. Enoksaparin (1 mg/kg dua kali sehari) disarankan untuk pasien dengan risiko
perdarahan rendah apabila fondaparinuks tidak tersedia (Kelas I-B).
69

6. Heparin tidak terfraksi (UFH) dengan target aPTT 50-70 detik atau heparin
berat molekul rendah (LMWH) lainnya (dengan dosis yang direkomendasikan)
diindaksikan apabila fondaparinuks atau enoksaparin tidak tersedia (Kelas I-C).
7. Dalam strategi yang benar-benar konservatif, pemberian antikoagulasi perlu
dilanjutkan hingga saat pasien dipulangkan dari rumah sakit (Kelas I-A).
8. Crossover heparin (UFH and LMWH) tidak disarankan (Kelas III-B).
Tabel 5. Jenis dan dosis antikoagulan untuk IMA
Antikoagulan Dosis

Fondaparinuks 2,5 mg subkutan

Enoksaparin 1mg/kg, dua kali sehari

Heparin tidak terfraksi Bolus i.v. 60 U/g, dosis

maksimal 4000 U.

Infus i.v. 12 U/kg selama

24-48 jam dengan dosis maksimal 1000 U/jam

target aPTT 11/2-2x control

5. Kombinasi Antiplatelet dan Antikoagulan


1. Penggunaan warfarin bersama aspirin dan/atau clopidogrel meningkatkan risiko
perdarahan dan oleh karena itu harus dipantau ketat (Kelas I-A).
2. Kombinasi aspirin, clopidogrel dan antagonis vitamin K jika terdapat indikasi
dapat diberikan bersama-sama dalam waktu sesingkat mungkin dan dipilih targen
INR terendah yang masih efektif. (Kelas IIa-C).
3. Jika antikoagulan diberikan bersama aspirin dan clopidogrel, terutama pada
penderita tua atau yang risiko tinggi perdarahan, target INR 2- 2,5 lebih terpilih
(Kelas IIb-B).
70

6. Inhibitor ACE dan Penghambat Reseptor Angiotensin


Inhibitor angiotensin converting enzyme (ACE) berguna dalam
mengurangi remodeling dan menurunkan angka kematian penderita pascainfark-
miokard yang disertai gangguan fungsi sistolik jantung, dengan atau tanpa gagal
jantung klinis.Penggunaannya terbatas pada pasien dengan karakteristik tersebut,
walaupun pada penderita dengan faktor risiko PJK atau yang telah terbukti
menderita PJK, beberapa penelitian memperkirakan adanya efek antiaterogenik.
1. Inhibitor ACE diindikasikan penggunaannya untuk jangka panjang, kecuali ada
indikasi kontra, pada pasien dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri =40% dan pasien
dengan diabetes mellitus, hipertensi, atau penyakit ginjal kronik (PGK) (Kelas I-
A).
2. Inhibitor ACE hendaknya dipertimbangkan pada semua penderita selain seperti
di atas (Kelas IIa-B). Pilih jenis dan dosis inhibitor ACE yang telah
direkomendasikan berdasarkan penelitian yang ada (Kelas IIa-C).
3. Penghambat reseptor angiotensin diindikasikan bagi pasien infark mikoard
yang intoleran terhadap inhibitor ACE dan mempunyai fraksi ejeksi ventrikel kiri
=40%, dengan atau tanpa gejala klinis gagal jantung (Kelas I-B).

Tabel 6. Jenis dan dosis inhibitor ACE untuk IMA


Inhibitor ACE Dosis

Captopril 2-3 x 6,25-50 mg

Ramipril 2,5-10 mg/hari dalam 1 atau 2 dosis

Lisinopril 2,5-20 mg/hari dalam 1 dosis

Enalapril 5-20 mg/hari dalam 1 atau 2 dosis

7. Statin
Tanpa melihat nilai awal kolesterol LDL dan tanpa mempertimbangkan
modifikasi diet, inhibitor hydroxymethylglutary-coenzyme A reductase (statin)
71

harus diberikan pada semua penderita UAP/NSTEMI, termasuk mereka yang


telah menjalani terapi revaskularisasi, jika tidak terdapat indikasi kontra (Kelas I-
A). Terapi statin dosis tinggi hendaknya dimulai sebelum pasien keluar rumah
sakit, dengan sasaran terapi untuk mencapai kadar kolesterol LDL <100 mg/dL
(Kelas I-A). Menurunkan kadar kolesterol LDL sampai <70 mg/dL mungkin
untuk dicapai.
8. Revaskularisasi coroner
Kateterisasi jantung diikuti oleh revaskularisasi telah terbukti mencegah
iskemik berulang dan atau memperbaiki hasil akhir jangka pendek dan jangka
panjang. Berdasarkan keakutan resiko, waktu pelaksanaan angiografi dibagi
menjadi 4 kategori, yaitu:
- invasive (< 72 jam);
o urgent invasive
(<120 min);
o early invasive
(<24 h);
- primarily conservative

9. Strategi invasif (<72 jam setelah kontak medis pertama


Pada pasien resiko akut yang lebih sedikit dan tanpa pengulangan gejala,
angiografi dapat dilakukan dalam batas waktu 72 jam.

10. Strategi Urgent Invasif (<120 menit)


Urgent invasif angiografi sebaiknya dilakukan pada pasien-pasien dengan
resiko sangat tinggi, dengan ciri sebagai berikut :

- Angina refrakter (mengindikasikan adanya infark miokard yang


sedang berlangsung tanpa adanya abnormalitas ST)
- Angina berulang meskipun dengan terapi antiangina yang kuat,
berhubungan dengan ST depresi (2mm) atau gelombang T negatif
yang dalam
- Gejala klinis gagal jantung atau hemodinamik tidak stabil (syok)
72

- Aritmia yang mengancam nyawa (fibrilasi ventrikel atau ventrikular


takikardia)

11. Strategi Early Invasif (<24 jam setelah kontak medis)


Kebanyakan pasien memberi respon terhadap terapi anti angina inisial,
namun resiko semakin meningkat dan membutuhkan angiografi yang diikuti
dengan tindakan revaskularisasi. Pasien-pasien dengan resiko tinggi ditandai
dengan skor resiko GRACE > 140 dan atau dijumpainya setidaknya satu dari
kriteria resiko tinggi primer pada tabel 6 sebaiknya menjalani evaluasi invasif
dalam 24 jam.
Tabel 6. Kriteria resiko tinggi yang perlu dilakukan manajemen invasif

12. Terapi Konservatif


Pada strategi konservatif dapat dilakukan tindakan angiografi elektif
ataupun tidak sama sekali. Pasien yang memenuhi semua kriteria dibawah ini
dapat dikatakan memiliki resiko rendah dan tidak rutin menjalani evaluasi early
invasif, yaitu:
- Tidak ada nyeri dada berulang
- Tidak ada tanda-tanda gagal jantung
- Tidak dijumpai abnormalitas pada EKG awal atau EKG kedua (pada 6-
9 jam)
73

- Tidak dijumpai peningkatan kadar troponin (pada saat datang maupun


pada 6-9 jam)
- Tidak dijumpai inducible iskemi
Penatalaksanaan lebih lanjut untuk pasien-pasien ini sesuai dengan
untuk evaluasi penyakit arteri koroner stabil. Sebelum keluar dari rumah sakit,
stress test untuk merangsang iskemi akan berguna untuk rencana terapi kedepan
dan dibutuhkan sebelum angiografi elektif.
13. CABG
Jika angiogram menunjukkan gambaran ateromatos namun tidak dijumpai
lesi kritis pada koroner, pasien akan disarankan untuk mendapat terapi medis.
Pada pasien dengan kelainan pada single-vessel, PCI dengan stenting pada culprit
lesion adalah pilihan pertama. Pada pasien dengan kelainan multi vessel,
keputusan mengenai PCI ataupun CABG harus dipertimbangkan berdasarkan
individu pasien masing-masing. Tindakan sekuensial, yang terdiri dari PCI pada
culprit lesion diikuti dengan tindakan CABG pada daerah non culprit lesion yang
terbukti iskemi dan atau berdasarkan penilaian fungsi, kelihatannya dapat
bermanfaat pada beberapa pasien.
CABG biasanya disarankan pada pasien dengan penyakit arteri koroner
yang kompleks yang tidak dapat dilakukan PCI, seperti kelainan koroner left main
dengan triple vessel,oklusi total dan kelainan yang difus. Sangat penting pula
untuk tetap memperhitungkan resiko perdarahan, karena pasien-pasien ini sedang
dalam terapi antiplatelet yang agresif. Keuntungan CABG adalah yang paling baik
setelah beberapa hari stabilisasi dengan terapi medis dan penghentian terapi
antiplatelet.
74

Gambar.4 Penatalaksanaan NSTEMI Secara Skematis8


14. Tatalaksana Predischarge dan Pencegahan Sekunder
Pasien dengan NSTEMI setelah melewati fase inisial memiliki resiko
tinggi untuk mengalami kejadian iskemia berulang. Oleh karena itu tindakan
pencegahan yang esensial seperti perbaikan pola hidup, penurunan berat badan,
kontrol tekanan darah, manajemen diabetes, intervensi lipid, penggunaan
antiplatelet, penghambat beta, Angiotensin Converting Enzym (ACE) inhibitor
atau Angiotensin Receptor Blocker (ARB) akan sangat membantu.
ACE inhibitor sebaiknya diberikan secara oral dalam 24 jam pertama pada
pasien dengan kongesti paru atau fraksi ejeksi ventrikel kiri≤ 0,40 tanpa adanya
hipotensi (tekanan darah sistole < 100 mmHg atau < 30 mmHg dibawah baseline)
atau kontraindikasi lain. ARB dapat diberikan pada pasien-pasien yang intoleran
terhadap ACE inhibitor.
Statin direkomendasikan untuk semua pasien NSTEMI, terlepas dari
berapa kadar kolesterol, inisiasi dini dimulai setelah masuk ke rumah sakit. Target
LDL yang diharapkan <70 mg/dl. Penggunaan terapi antitrombotik jangka
panjang setelah keluar dari RS pada pasien NSTEMI dapat dilihat pada gambar 5.
75

Gambar 5. Penggunaan terapi antitrombotik jangka panjang setelah


keluar dari RS pada pasien NSTEMI

2.6 Prognosis
Sejumlah metode untuk penilaian resiko kematian dan kejadian iskemik
pada pasien-pasien dengan NSTEMI telah cukup dikenal, hal ini memberikan
dasar pengambilan keputusan bagi tindakan terapeutik. Thrombolysis In
Myocardial Infarction (TIMI) skor, Platelet glycoprotein IIb/IIIa in Unstable
agina: Receptor Suppression Using Integrilin (PURSUIT) skor, dan Global
Registry of Acute Coronary Events (GRACE) RSs skor dapat dihitung dengan
menggunakan variabel-variabel tertentu yang dinilai saat pasien masuk ke rumah
sakit. Salah satu skor yang sering dipakai yaitu TIMI skor dapat dilihat di tabel 7.

Dengan skor TIMI dapat dinilai semua sebab mortalitas, resiko infark
miokard baru atau berulang, atau iskemik berulang yang berat yang membutuhkan
tindakan revaskularisasi dalam 14 hari. Skor 0-1 berarti resiko untuk mengalami
semua hal diatas tersebut adalah 4,7%, skor 2 resiko 8,3%, skor 3 resiko 13,2%,
skor 4 resiko 19,9 %, skor 5 resiko 26,2%, skor 6-7 resiko 40,9 %.2 Untuk skor
TIMI < 3 dikatakan resiko rendah, skor TIMI 3-4 resiko menengah dan skor TIMI
5-7 adalah resiko tinggi.
76

BAB 4

PEMBAHASAN

Pasien umur 53 tahun datang ke IGD dengan keluhan nyeri didada kiri yang
menjalar ke leher dan lengan kiri yang telah dirasakan tadi pagi ±5 jam sebelum
masuk rumah sakit. tidak ada riwayat trauma sebelumnya, batuk tidak ada, demam
tidak ada, BAB dan BAK tidak ada keluhan.
Pada anamnesis, ditemukan bahwa pasien tidak mempunyai riwayat
penyakit hipertensi baik pada diri sendiri maupun pada keluarga. Tapi pasien
memiliki riwayat DM tipe 2 normoweight yang sudah dialami sejak 2 tahun yang
lalu.
Nyeri yang dirasakan oleh pasien itu diakibatkan karena menyempitnya
arteri koroner yang disebabkan oleh trombus yang terdapat pada plak
ateroskelotik yang terganggu dan biasanya nonoklusif. Mikroemboli dari agregat
trombosit dan komponen-komponen dari plak yang terganggu tersebut diyakini
bertanggung jawab terhadap keluarnya markers miokard pada pasien-pasien
NSTEMI. Sehingga kurangnya asupan oksigen ke otot otot jantung yang akan
memberikan manifestasi nyeri seperti yang pasien rasakan
Diagnosis pada pasien ini adalah Non ST Elevasi Miokar Infark (NSTEMI).
Yang dari hasil EKG pasien tidak didapatinya RBBB complete ,selanjutnya
biomarker-biomarker seperti troponin akan membedakan NSTEMI dengan UAP
dari hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan CK-MB 35 menandakan telah
terjadi kerusakan pada jantung akut atau akut miokard infark sedangkan untuk
pembeda antara NSTEMI dengan UAP yaitu troponin I tidak dapat dilihat karena
reagentnya sedang kosong, modalitas imaging digunakan untuk menyingkirkan
diferensial diagnosis.
Pada tatalaksana pasien ini adalah bedrest dan diberikan aspilet, ISDN,
clopidogrel dan Glibenclamid. Aspilet merupakan golongan obat NSAID
memiliki efek anti inflamasi yang mencegah terbentuknya trombus yang nantinya
akan menyumbat pembuluh darah jantung, ISDN atau Isosorbide Dinitrate adalah
obat yang bekerja untuk melebarkan pembuluh darah agar aliran darah kejantung
77

lancar, Clopidogrel adalah golongan obat antiagregasi trombosit yang berfungsi


mencegah trombosit (platelet) saling menempel dan membentuk gumpalan yang
dapat menyumbat pembuluh darah jantung, sedangkan untuk pemakaian
Glibenclamid berfungsi untuk mengendalikan kadar glukosa darah pasien, untuk
tatalaksana supportif pada pasein ini diberikan Oksigen 2 – 4 liter dan disarankan
untuk tidak makan makanan berlemak dan diedukasikan kepada pasein untuk
lebih rileks untuk mengurangi rasa nyeri dada yang dirasakannya.
BAB 5

KESIMPULAN

NSTEMI merupakan salah satu bagian dari sindroma koroner akut yang
ditandai dengan gambaran EKG depresi segmen ST atau inversi gelombang T
prominen dengan biomarker nekrosis jantung yang positif (mis, troponin) namun
tidak dijumpainya elevasi segmen ST pada gambaran EKG. Dalam rentang 4
tahun, mortalitas jangka panjang untuk pasien-pasien NSTEMI didapati dua kali
lebih tinggi, sehingga diagnosis yang cepat dan tepat, stratifikasi resiko, tindakan
terapi yang sesuai untuk mengembalikan aliran darah pembuluh koroner serta
mengurangi iskemik miokard harus dapat dilakukan terutama melalui empat
komponen utama terapi pada NSTEMI yaitu pemberian antiiskemia,
antiplatelet/antikoagulan, terapi invasif (kateterisasi dini/revaskularisasi), dan
perawatan sebelum meninggalkan RS dan sesudah meninggalkan RS.

Pada Tn. A, berusia 53 tahun dengan keluhan nyeri didada yang menjalar
ke leher dan lengan kiri, dengan hasil EKG yaitu RBBB complete, dengan tirah
baring dan pemberian oksigen serta aspilet, ISDN, clopidogrel dan Glibenclamid
diharapkan dapat mengurangi dan mengontrol infark miokarnya, kadar gula
darahnya dan mencegah timbulnya komplikasi.

43
DAFTAR PUSTAKA

1. Antman EM, Braunwald E (2010). St-segment elevation myocardial infarction.


Dalam: Loscalzo J (ed). Harrison’s cardiovascular medicine. New York:
McGraw-Hill Medical, pp: 395-413.
2. Thygesen K, Alpert JS, Jaffe AS, Simoons ML, Chaitman BR, Harvey D
(2012). Third universal definition of myocardial infarction. European Heart
Journal, 33: 2551-2567.
3. Daga LC, Kaul U, Mansoor A. Approach to STEMI and NSTEMI. J Assoc
Physicians India. 2011 Dec;59 Suppl: 19-25

4. Hamm CW, Heeschen C, Falk E, Fox KAA. Acute Coronary Syndromes :


Pathophysiology, Diagnosis and Risk Stratification. diunduh dari
https://www.mst.nl/opleidingcardiologie/.../1405126957_chapter_12.pdf on
April 30, 2014
5. Kumar A, Cannon CP. Acute Coronary Syndromes: Diagnosis and
Management, Part I.Mayo Clin Proc. 2009;84(10):917-938
6. Hamm CW, Bassand JP, Agewall S, Bax J, Boersma E, Bueno H, et al. ESC
Guidelines for the management of acute coronary syndromes in patients
presenting without persistent ST-segment elevation The Task Force for the
management of acute coronary syndromes (ACS) in patients presenting
without persistent ST-segment elevation of the European Society of
Cardiology (ESC). European Heart Journal (2011) 32, 2999–3054
7. Paxinos G, Katritsis DG. Current Therapy of Non-ST-Elevation Acute
Coronary Syndromes. Hellenic J Cardiol 2012; 53: 63-71
8. Anderson JL, Adams CD, Antman EM, Bridges CR, Califf RM, Casey DE, et
al. 2012 ACCF/AHA Focused Update Incorporated Into the ACCF/AHA 2007
Guidelines for the Management of Patients With Unstable Angina/Non–ST-
Elevation Myocardial Infarction A Report of the American College of
Cardiology Foundation/American Heart Association Task Force on Practice
Guidelines. diunduh dari http://circ.ahajournals.org/ by guest on March 4, 2014
9. Myrtha R. Perubahan Gambaran EKG pada Sindrom Koroner Akut (SKA).
CDK.2011;38(7)
10. NTCM. EKG Pada Iskemia, Infark Miokard. PERKI-DKI Jaya

44
45

11. Harun S, Alwi I. Infark Miokard Akut Tanpa Elevasi ST dalam Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam. Edisi V. Jakarta : Interna Publishing; 2009. Hlm 1757-
1766
12. ACCF/AHA. ACCF/AHA Pocket Guideline Management of Patients With
Unstable Angina/Non–ST-Elevation Myocardial Infarction (Adapted from the
2007 ACCF/AHA Guideline and the 2011 ACCF/AHA Focused Update).
13. Goncalves PA, Ferreira J, Aguiar C, Gomes RS.TIMI, PURSUIT, and GRACE
risk scores: sustained prognostic value and interaction with revascularization in
NSTE-ACS. European Heart Journal (2005) 26, 865–872

Anda mungkin juga menyukai

  • Laporan Monitoring
    Laporan Monitoring
    Dokumen2 halaman
    Laporan Monitoring
    Soya Loviana Hasibuan
    Belum ada peringkat
  • HHFG
    HHFG
    Dokumen8 halaman
    HHFG
    Soya Loviana Hasibuan
    Belum ada peringkat
  • Daaa Pus
    Daaa Pus
    Dokumen1 halaman
    Daaa Pus
    Soya Loviana Hasibuan
    Belum ada peringkat
  • Laporan Monitoring
    Laporan Monitoring
    Dokumen57 halaman
    Laporan Monitoring
    Soya Loviana Hasibuan
    Belum ada peringkat
  • RW Jumat 31 Agustus 2018
    RW Jumat 31 Agustus 2018
    Dokumen2 halaman
    RW Jumat 31 Agustus 2018
    Soya Loviana Hasibuan
    Belum ada peringkat
  • Home Visit
    Home Visit
    Dokumen5 halaman
    Home Visit
    Soya Loviana Hasibuan
    Belum ada peringkat
  • Salinan Terjemahan Cornea 37 189
    Salinan Terjemahan Cornea 37 189
    Dokumen9 halaman
    Salinan Terjemahan Cornea 37 189
    Soya Loviana Hasibuan
    Belum ada peringkat
  • Bab 5
    Bab 5
    Dokumen1 halaman
    Bab 5
    Soya Loviana Hasibuan
    Belum ada peringkat
  • Peraturan DM Kardio
    Peraturan DM Kardio
    Dokumen9 halaman
    Peraturan DM Kardio
    Soya Loviana Hasibuan
    Belum ada peringkat
  • Chapter I
    Chapter I
    Dokumen5 halaman
    Chapter I
    Kevin Septian
    Belum ada peringkat
  • Bab 1
    Bab 1
    Dokumen1 halaman
    Bab 1
    Soya Loviana Hasibuan
    Belum ada peringkat
  • Tof
    Tof
    Dokumen6 halaman
    Tof
    yayastoyz
    Belum ada peringkat
  • Bab 1
    Bab 1
    Dokumen27 halaman
    Bab 1
    Soya Loviana Hasibuan
    Belum ada peringkat
  • Salinan Terjemahan Triwijoyo 2017 J. Phys. - Conf. Ser. 801 012039
    Salinan Terjemahan Triwijoyo 2017 J. Phys. - Conf. Ser. 801 012039
    Dokumen12 halaman
    Salinan Terjemahan Triwijoyo 2017 J. Phys. - Conf. Ser. 801 012039
    Soya Loviana Hasibuan
    Belum ada peringkat
  • Vignette THORAX Oya
    Vignette THORAX Oya
    Dokumen3 halaman
    Vignette THORAX Oya
    Soya Loviana Hasibuan
    Belum ada peringkat
  • Bab 3
    Bab 3
    Dokumen1 halaman
    Bab 3
    Soya Loviana Hasibuan
    Belum ada peringkat
  • Bab 5
    Bab 5
    Dokumen1 halaman
    Bab 5
    Soya Loviana Hasibuan
    Belum ada peringkat
  • Bab I
    Bab I
    Dokumen1 halaman
    Bab I
    Cimol Agustina
    Belum ada peringkat
  • Bab I
    Bab I
    Dokumen1 halaman
    Bab I
    Cimol Agustina
    Belum ada peringkat
  • Bab 1
    Bab 1
    Dokumen1 halaman
    Bab 1
    Soya Loviana Hasibuan
    Belum ada peringkat
  • Transposisi Arteri Besar
    Transposisi Arteri Besar
    Dokumen7 halaman
    Transposisi Arteri Besar
    afiyah
    Belum ada peringkat
  • Vignette THORAX Oya
    Vignette THORAX Oya
    Dokumen3 halaman
    Vignette THORAX Oya
    Soya Loviana Hasibuan
    Belum ada peringkat
  • Morning Report
    Morning Report
    Dokumen16 halaman
    Morning Report
    Soya Loviana Hasibuan
    Belum ada peringkat
  • Diunggah
    Diunggah
    Dokumen1 halaman
    Diunggah
    Soya Loviana Hasibuan
    Belum ada peringkat
  • Bab 4
    Bab 4
    Dokumen1 halaman
    Bab 4
    Soya Loviana Hasibuan
    Belum ada peringkat
  • Bab 4
    Bab 4
    Dokumen1 halaman
    Bab 4
    Soya Loviana Hasibuan
    Belum ada peringkat
  • Lapkas Cardio Nstemi Vinda
    Lapkas Cardio Nstemi Vinda
    Dokumen4 halaman
    Lapkas Cardio Nstemi Vinda
    Soya Loviana Hasibuan
    Belum ada peringkat
  • 3 Partograf
    3 Partograf
    Dokumen1 halaman
    3 Partograf
    Soya Loviana Hasibuan
    Belum ada peringkat
  • Lapkas Cardio Nstemi Vinda
    Lapkas Cardio Nstemi Vinda
    Dokumen55 halaman
    Lapkas Cardio Nstemi Vinda
    Soya Loviana Hasibuan
    Belum ada peringkat