Anda di halaman 1dari 13

FAKTOR – FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TINGKAT

FRAGMENTASI

Tingkat fragmentasi batuan hasil peledakan merupakan suatu petunjuk yang


sangat penting dalam menilai keberhasilan dari suatu kegiatan peledakan, dimana
material yang memiliki ukuran seragam lebih diharapkan daripada material yang
banyak berukuran bongkah. Tingkat fragmentasi yang kecil akan menambah
produktivitas, mengurangi keausan dan kerusakan peralatan sehingga menurunkan
biaya pemuatan, pengangkutan dan proses berikutnya, dalam beberapa pekerjaan
juga akan mengurangi secondary blasting. Beberapa faktor yang berpengaruh
terhadap fragmentasi hasil peledakan adalah :

1. Karakteristik Massa Batuan


Pada suatu proses peledakan densitas dan kekuatan (strength) dari batuan
mempunyai hubungan yang cukup erat. Secara umum batuan yang mempunyai
densitas yang rendah dapat lebih mudah dihancurkan dengan faktor energi yang
lebih rendah, sedangkan batuan yang mempunyai densitas yang lebih tinggi
memerlukan energi yang lebih tinggi untuk mendapatkan hasil fragmentasi yang
memuaskan.
Pada massa batuan yang mempunyai densitas yang tinggi, ada beberapa
cara untuk memastikan energi peledakan yang sedang berlangsung cukup untuk
menghancurkan batuan :
a. Menambah diameter lubang ledak, agar tekanan yang terjadi pada lubang
ledak dapat ditingkatkan dengan adanya penambahan ANFO.
b. Mengubah geometri peledakan dan rangkaian pola penyalaan.
c. Memilih material stemming yang cocok, agar energi peledakan dapat
terdistribusi pada massa batuan secara sempurna.
Mudstone dengan densitas rata-rata 2,05 gr/cm 3 secara teori akan memberikan
ukuran boulder yang lebih kecil dibandingkan dengan sandstone yang
mempunyai densitas 2,33 gr/cm3.
1.1. Kekuatan Batuan
Kuat tekan dan kuat tarik merupakan parameter awal untuk menentukan
suatu proses peledakan. Semakin tinggi harga dari kuat tekan dan kuat tarik dari
batuan, maka batuan tersebut akan semakin susah untuk dihancurkan.
Mudstone yang terdapat di daerah penelitian mempunyai kuat tekan rata-
rata 18,17 MPa dan kuat tarik rata-rata 1,92 MPa lebih mudah dihancurkan
daripada sandstone dengan kuat tekan rata-rata 20,4 MPa dan kuat tarik rata-rata
2,13 MPa. Dari data tersebut dapat dilihat bahwa harga kuat tarik lebih rendah
dari kuat tekan, oleh karena itu retakan-retakan yang terjadi pada massa batuan
akibat proses peledakan yang sedang berlangsung lebih banyak disebabkan oleh
tegangan tarik yang dihasilkan dari proses peledakan yang bersangkutan.

2. Stuktur geologi Batuan


Salah satu faktor yang harus diperhatikan dalam merencanakan suatu
operasi peledakan adalah struktur geologi. Adanya ketidakmenerusan dalam sifat
batuan akan mempengaruhi perambatan gelombang energi dalam batuan. Jika
perambatan energi melalui bidang perlapisan, maka sebagian gelombang akan
dipantulkan dan sebagian lagi akan dibiaskan dan diteruskan, karena adanya
sebagian gelombang yang dipantulkan maka kekuatan energi peledakan akan
berkurang.
Kekar atau joint merupakan suatu rekahan pada batuan yang tidak
mengalami pergeseran pada bidang rekahannya didalam massa batuan yang
memiliki sifat ketidakmenerusan (discontinuities) yang juga merupakan bidang
lemah. Jika batuan yang diledakkan terdapat banyak kekar, maka hasil
peledakannya akan membentuk blok-blok dengan mengikuti arah kekar-kekar
yang ada maka dapat dipastikan fragmentasi batuan yang dihasilkan menjadi
tidak seragam. Untuk mengatasi hal tersebut maka arah peledakan harus
disesuaikan dengan arah dan kemiringan umum dari kekar tersebut. Disamping
itu bidang bebas yang terbentuk juga cenderung mengikuti arah kekar tersebut,
oleh sebab itu arah bidang bebas dari jenjang perlu disesuaikan dengan arah kekar
yang ada.
Berdasarkan hasil analisis kekar dengan menggunakan program Dips
versi 5.0 diperoleh arah dan kemiringan umum kekar yaitu kekar mayor N
272°E/64° dan kekar minor N 150°E/76°. Menurut R.L. Ash (1967) untuk
menyesuaikan arah peledakan dengan arah kekar yang ada, bidang bebas diambil
sejajar dengan perpotongan kedua kekar dan menentukan arah peledakan kearah
sudut tumpul dari perpotongan kedua kekar tersebut, sehingga didapatkan arah
peledakan untuk optimalisasi fragmentasi yaitu N 31°E dan N 211°E.

3. Air Tanah
Kondisi air tanah sangat mempengaruhi proses peledakan, adanya air
menyebabkan bahan peledak harus mengubah air disekitarnya menjadi uap air
selama proses detonasi. Jika kandungan air tanah pada suatu daerah blok
peledakan sangat tinggi, bahan peledak (ANFO) kemungkinan tidak akan
meledak atau rusak dan akan terjadi misfire. Untuk mengatasi hal ini bahan
peledak perlu dibungkus dengan bahan yang tahan air sebelum dimasukkan ke
lubang ledak atau jika lubang ledak sudah terisi air maka air dikeluarkan dengan
udara bertekanan tinggi dari kompresor.
Selain dengan membungkus bahan peledak ANFO dengan kantong
plastik, masalah air dalam lubang ledak juga dapat diatasi dengan mengganti
bahan peledak ANFO dengan HANFO (heavy ANFO) yaitu campuran antara
ANFO dengan emulsi dengan perbandingan tertentu.

4. Kemiringan lubang ledak


Kemiringan lubang ledak secara teoritis ada dua, yaitu lubang ledak tegak
dan lubang ledak miring. Rancangan peledakan yang menerapkan lubang ledak
tegak, maka gelombang tekan yang dipantulkan oleh bidang bebas lebih sempit,
sehingga kehilangan gelombang tekan akan cukup besar pada lantai jenjang
bagian bawah, hal ini dapat menyebabkan timbulnya tonjolan pada lantai jenjang.
Sedangkan pada peledakan dengan lubang ledak miring akan membentuk bidang
bebas yang lebih luas, sehingga akan mempermudah proses pecahnya batuan dan
kehilangan gelombang tekan pada lantai jenjang menjadi lebih kecil (Gambar
1.1).
Gambar 1.1
Pemboran dengan lubang ledak tegak dan lubang ledak miring 11)

5. Pola pemboran
Pola pemboran merupakan suatu pola pada kegiatan pemboran dengan
menempatkan lubang-lubang bor secara sistematis. Berdasarkan letak lubang bor
maka pola pemboran pada umumnya dibedakan menjadi dua macam, yaitu pola
pemboran sejajar (paralel pattern) dan pola pemboran selang-seling (staggered
pattern). Pola pemboran sejajar adalah pola dengan penempatan lubang bor yang
saling sejajar pada setiap kolomnya, sedangkan pola pemboran selang-seling
adalah pola dengan penempatan lubang bor secara selang-seling pada setiap
kolomnya (Gambar 1.2).
Pola pemboran sejajar merupakan pola yang lebih mudah diterapkan
dilapangan, tetapi perolehan fragmentasi batuannya kurang seragam, sedangkan
S Pola pemboran
pola pemboran selang-seling lebih sulit penanganannya di lapangan namun
sejajar (paralel).
fragmentasi batuannya lebih baik dan seragam, hal ini disebabkan karena
S =bekerja
distribusi energi peledakan yang dihasilkan lebih optimal Spasi dalam batuan.
B = Burden
(Gambar 1.3) B
Bidang bebas

S Pola pemboran
selang-seling
(staggered).

B S = Spasi
B B = Burden
Bidang bebas
Gambar 1.2
Pola pemboran

Bidang Bebas
PARALEL PATTERN

Lubang ledak

Area tidak terkena energi peledakan

Area pengaruh energi peledakan

Bidang Bebas STAGGERED PATTERN

Lubang ledak

Area tidak terkena energi peledakan

Area pengaruh energi peledakan

Gambar 1.3
Pengaruh energi ledakan pada pola pemboran
6. Geometri peledakan
Geometri peledakan merupakan suatu rancangan yang diterapkan pada suatu
peledakan yang meliputi burden, spasi, stemming, subdrilling, powder charge, tinggi
jenjang dan kedalaman lubang ledak.
Perhitungan geometri peledakan berdasarkan rumusan C. J. Konya yang
didasarkan atas perbedaan berat jenis batuan (SG) yaitu berat jenis rata-rata, berat
jenis minimum dan berat jenis maksimum sehingga akan didapat tiga rancangan
geometri yang dapat diterapakan sesuai dengan kondisi lapangan. Ketiga rancangan
geometri tersebut dapat ditabulasikan pada Tabel 1.1, dengan bentuk rancangannya
pada Gambar 1.2.

Tabel 1.1
Perbedaan geometri peledakan berdasarkan berat jenis batuan

Geometri Peledakan B S T J H PC
berat jenis batuan rata-rata 6,3 7 4,4 1,9 13,9 9,5
berat jenis batuan minimal 6,7 7,4 4,7 2 14 9,3
berat jenis batuan maksimal 5,9 6,7 4,1 1,8 13,8 9,7

Gambar 1.4
Geometri peledakan yang didasari aturan C.J. Konya
1) Ratio spasi terhadap burden
Ratio spasi terhadap burden juga mempengaruhi tingkat fragmentasi hasil
peledakan. Burden dan spasi berkaitan dengan diameter lubang bor, kedalaman, jenis
batuan dan panjang kolom isian. Spasi lubang ledak yang lebih kecil dari burden
cenderung menyebabkan splitting prematur antar lubang ledak. Hal ini menyebabkan
lepasnya gas ledakan secara prematur ke udara. Hilangnya energi pengangkatan
mengurangi proses pemecahan dan menghasilkan slab batuan berukuran besar.
Bagian muka lereng antar lubang ledak tetap utuh dan akan menyebabkan kesulitan
dalam penggalian dan toe tak terbongkar. Besarnya ratio spasi terhadap burden
(Ks) =1 – 2. Burden yang berlebihan menyebabkan :
 Fragmentasi menjadi lebih kasar, produktifitas yang lebih rendah
 Terjadi overbreak, getaran tanah dan menambah kestabilan dinding.
2) Stemming
Stemming adalah tempat material penutup di dalam lubang ledak, yang
letaknya di atas kolom isian bahan peledak.
Stemming akan menambah fragmentasi dan perpindahan batuan dengan
mengurangi keluarnya gas ledakan bertekanan tinggi ke udara bebas. Fungsi
stemming adalah agar terjadi keseimbangan tekanan dan mengurung gas-gas hasil
ledakan sehingga dapat menekan batuan dengan energi yang maksimal. Disamping
itu stemming juga berfungsi untuk mencegah agar tidak terjadi batuan terbang
(flyrock) dan ledakan tekanan udara (airblast) saat peledakan.
a. Jenis stemming
Material berbutir, kering merupakan stemming terbaik karena mereka
mempunyai resistensi inersial dan resistensi friksi tinggi untuk menahan. Panjang
stemming dapat dikurangi jika digunakan stemming yang efektif akan menghasilkan
distribusi bahan peledak dan memperbaiki fragmentasi.
Ukuran butir stemming 10 – 15% dari diameter lubang ledak merupakan
material stemming yang paling efektif . Material stemming yang saling mengunci
akan memberikan drajat pengurungan gas hasil ledakan yang lebih baik daripada
material dengan ukuran halus.
b. Panjang stemming
Stemming yang tidak memadai menambah hancurnya batuan di bagian atas,
tetapi mengurangi fragmentasi secara keseluruhan dan perpindahan karena gas keluar
ke udara bebas lebih cepat dan mudah. Disamping itu juga menimbulkan batu
terbang (fly rock), overbreak pada permukaan dan ledakan udara (air blast). besarnya
ratio stemming (Kt) = 0,5 - 1

7. Priming (penyalaan awal)


Hal yang penting mengenai penyalaan awal adalah letak primer dalam kolom
bahan peledak. Umumnya primer pada atau dekat level (bootom priming). Bootom
priming mempunyai keuntungan :
 Memperbaiki fragmentasi
 Mengurangi masalah toe, lantai lebih baik, muka yang lebih bersih
 Mengurangi suara, ledakan udara, batu terbang dan overbreak pada
permukaan
 Lebih sedikit terjadi cut off dan gagal ledak.

8. Pola penyalaan
Urutan dimana lubang ledak dinyalakan dan interval waktu antar detonasi
berikutnya mempunyai pengaruh yang besar terhadap kinerja peledakan secara
keseluruhan (lihat Gambar 1.5). Kinerja peledakan produksi hanya dapat
dioptimalkan bila isian diledakkan dalam suatu urutan yang terkendali pada selang
yang sesuai. Alokasi waktu tunda yang optimum untuk suatu peledakan bergantung
pada beberapa faktor dianyaranya :
 Sifat massa batuan (rock mass properties)
 Geometri peledakan
 Diameter, kemiringan dan panjang lubang ledak
 Karakteristik bahan peledak
 Sistem inisiasi
 Jenis dan lokasi primer
 Batasan lingkungan
 Hasil yang diinginkan

Gambar 3.11
Pengaruh waktu tunda

Rancangan peledakan yang akan diterapkan adalah metode non elektrik


(NONEL) sedangkan pola peledakan yang akan diterapkan adalah pola peledakan
beruntun perlubang dengan menggunakan NONEL surface delay dan inhole delay.
Untuk surface delay bervariasi antara 17 ms, 25 ms, 42 ms dan 65 ms sedangkan
inhole delay menggunakan 500 ms tiap lubang ledak.
Penggunaan NONEL down hole delay 500 ms dimaksudkan untuk
meningkatkan faktor keamanan terhadap terjadinya cut-off yaitu kondisi adanya
sejumlah bagian kolom bahan peledak yang gagal meledak karena terjadinya
ketidakmenerusan kolom bahan peledak. Ketidakmenerusan tersebut dapat
disebabkan karena terjadinya rongga saat pengisian atau karena adanya material lain
yang masuk ke kolom bahan peledak. NONEL Surface delay terdiri dari waktu tunda
pada control row dan echelon row. Waktu tunda pada echelon row adalah waktu
tunda peledakan antar lubang dalam satu baris sedangkan pada control row adalah
waktu tunda peledakan antar baris. Waktu tunda 17 atau 25 ms digunakan untuk
penundaan antar lubang ledak dalam satu baris sedangkan waktu tunda 42 ms atau
65 ms digunakan untuk penundaan antar baris. Pemakaian waktu tunda antar baris
yang besar dimaksudkan untuk memberikan waktu yang cukup untuk proses
peledakan pada baris sebelumnya sehingga akan terbentuk bidang bebas bagi
peledakan baris berikutnya.

9. Penggunaan bahan peledak (Powder factor)


Besarnya powder factor berkaitan dengan diameter lubang ledak yang
diguanakan. Berdasarkan hasil perhitungan, untuk rancangan geometri peledakan
yang dihitung dengan rumusan Konya didapatkan nilai powder factor berkisar antara
0,23 kg/m3 sampai 0,38 kg/m3, secara teori akan menghasilkan prosentase bongkah
kurang dari 15%. semakin tinggi powder factor yang digunakan maka bongkah yang
dihasilkan semakin rendah.

10. Bidang bebas


Perpindahan kedepan material yang diledakkan dapat terjadi dengan mudah
jika mempunyai bidang bebas yang cukup. Pergerakan massa batuan adalah perlu
untuk memungkinkan terjadinya propagasi retakan. Dengan bertambahnya
pergerakan ini akan membantu propagasi retakan dan memperbaiki fragmentasi.
Dalam rangka mengetahui kisaran nilai powder factor yang sesuai maka
dilakukan analisis pengaruh jumlah bahan peledak yang digunakan terhadap
prosentase bongkah yang dihasilkan pada rancangan geometri peledakan ini. Analis
ini dilakukan dengan menggunakan model Kuzram berdasarkan perubahan isian
bahan peledak (powder charge) hingga mendapatkan kisaran powder factor yang
sesuai.
Tabel 1.2
Pengaruh besarnya powder factor terhadap prosentase bongkah untuk
Rancangan geometri peledakan berdasarkan densitas batuan rata-rata

Powder Powder factor Prosentase


charge (m) (kg/m3) bongkah (%)
9,5 0,48 0,2
9,0 0,45 0,5
8,5 0,43 1,1
8,0 0,40 2,2
7,5 0,38 3,8
7,0 0,35 6,1
6,5 0,33 8,0
6,0 0,30 11,5
5,5 0,28 14,8
5,0 0,25 20,7

Gambar 1.5
Kurva pengaruh besarnya powder factor terhadap prosentase bongkah untuk
rancangan geometri peledakan berdasarkan densitas batuan rata-rata
Pada gambar diatas untuk kisaran powder factor 0,27 – 0,38 kg/m3 dengan
powder charge antara 5,5 – 7,5 m dan volume batuan yang terbongkar 529 m 3 akan
menghasilkan prosentase bongkah sebesar 3,8% sampai 14,8%.

Tabel 1.2
Pengaruh burden dan spasi Terhadap prosentase bongkah

Prosentase Bongkah PC
B = 6,3 B = 6,5 B=7 B = 7,5 B=8 B = 8,5 B=9 B = 9,5 B = 10
S = 7,0 3,8 4,5 6,6 8,8 11,1 13,5 15,8 18,1 20,3
S = 7,5 4,3 5,1 7,4 9,7 12,2 14,7 17,1 19,4 21,7
S = 8,0 4,9 5,8 8,2 10,7 13,3 15,8 18,3 20,7 23,0
S = 8,5 5,5 6,4 9,0 11,7 14,4 17,0 19,6 22,0 24,3
S = 9,0 6,1 7,1 9,8 12,6 15,4 18,2 20,8 23,3 25,6
S = 9,5 6,8 7,8 10,7 13,6 16,5 19,3 22,0 24,5 26,8
S = 10,0 7,4 8,6 11,6 14,5 17,6 20,5 23,2 25,7 28,1
S = 10,5 8,1 9,3 12,5 15,6 18,7 21,6 24,4 26,9 29,3
S = 11,0 8,8 10,1 13,4 16,6 19,8 22,8 25,5 28,1 30,4

Gambar 1.6
Kurva pengaruh burden dan spasi terhadap prosentase bongkah dengan PC 7,5 m
Dari analisis Kuzram diperoleh nilai kisaran atau range burden, spasi dan
powder factor untuk tiap powder charge (PC) yang dapat ditabulasikan sebagai
berikut :

Tabel 1.3
Range burden, spasi dan powder factor pada powder charge 6,0 m – 7,5 m

Range burden (m) Range spasi (m) Range Pf (kg/m3)


PC 6,0 m 6,3 - 6,5 7,0 - 7,5 0,27 - 0,30
PC 6,5 m 6,0 - 7,0 7,0 - 8,0 0,26 - 0,33
PC 7,0 m 6,3 - 7,5 7,0 - 8,5 0,24 - 0,35
PC 7,5 m 6,3 - 7,5 7,0 - 9,5 0,23 - 0,38

Anda mungkin juga menyukai