Anda di halaman 1dari 29

Makalah

Pemberontakan PKI 1965

Di Susun Oleh :

M. Akli Firdaus

XII IPS 2

SEKOLAH MENENGAH ATAS NEGERI 111 JAKARTA

Tahun Ajaran 2018/2019


Kata Pengantar

Alhamdulillah Puji dan Syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang


Maha Esa, karena berkat rahmat, karunia serta hidayah-Nya penulis dapat
menyusun makalah yang berjudul “Pemberontakan PKI 1965” dapat diselesaikan
dengan baik.

Sholawat serta salam senantiasa tercurah kepada baginda Nabi Agung


Muhammad S.A.W, sebagi tokoh yang membawa umat manusia dari zaman
jahiliyah menuju jalan kemuliaan. Semoga dengan sholawat kita termasuk
kedalam golongan orang-orang yang mendapat syafa’at di hari akhir kelak, Amin.

Penulis tidak dapat memberikan balasan kepada semua pihak yang turut
membantu dalam penyelesaian makalah ini kecuali ucapan terima kasih untuk
semua bantuannya. Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini
masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan
saran yang bersifat membangun untuk hasil yang lebih baik di kemudian hari.
Tidak lupa penulis mohon maaf atas segala kesalahan dalam penulisan makalah
ini. Semoga karya ini berguna dan bermanfaat bagi berbagai pihak. Amin ...

Jakarta, 25 November 2018

Penulis

ii
DAFTAR ISI

Kata Pengantar .........................................................................................................................ii


DAFTAR ISI ............................................................................................................................iii
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................................. iv
BAB I PENDAHULUAN ......................................................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah .............................................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah : ..................................................................................................................... 2
D. Tinjauan Pustaka ......................................................................................................................... 3
E. Kerangka Teori............................................................................................................................ 5
F. Metode Penelitian........................................................................................................................ 6
G. Sistematika Penulisan.................................................................................................................. 8
BAB II PEMBERONTAKAN G-30-S/PKI .......................................................................... 10
A. Peristiwa Pemberontakan G30S/PKI......................................................................................... 10
B. Kudeta G-30-S/PKI ................................................................................................................... 11
C. Operasi Penumpasan G-30-S di Jakarta .................................................................................... 13
D. G-30-S/PKI di Jawa Tengah ..................................................................................................... 15
BAB III Pasca Kejadian ........................................................................................................ 19
A. Peristiwa setelah kejadian ......................................................................................................... 19
B. Penumpasan G30S/PKI ............................................................................................................. 19
C. Dampak pasca peristiwa G30S PKI .......................................................................................... 21
D. Peringatan .................................................................................................................................. 22
E. Normalisasi Anti-Komunis ..................................................................................................... 22
BAB IV .................................................................................................................................... 24
PENUTUP ............................................................................................................................... 24
A. Kesimpulan .............................................................................................................................. 24
B. Saran......................................................................................................................................... 24

iii
DAFTAR PUSTAKA

Bastian, Radis. 2013. Tokoh-Tokoh Gelap: Yang Terlupakan dalam Peristiwa


G30S. Jogjakarta: Palapa.

Elson, Robert E., 2008. Suharto: A Political Bioghraphy. Cambridge University


Press

Fic, Victor M. 2004. Kudeta 1 Oktober 1965: Sebuah Studi tentang Konspirasi.
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Foucault, Michael. 1979. Discipline and Punish: The Birth of the Prison.
Diterjemahkan oleh A. Sheridan. New York: Vintage Books.

Foucault, Michael. 1984. Power/Knowledge: Selected Interview and Other


Writings 1972-1977. Diterjemahkan oleh C. Gordon. New York:
Pantheon.

Herlambang, Wijaya. 2013. Kekerasan Budaya Pasca 1965: Bagaimana Orde


Baru Melegitimasi Anti-Komunisme Melalui Seni dan Sastra. Jakarta:
Marjin Kiri.

Lampiran Peraturan Panglima TNI. 2010.

Jakarta: Markas Besar TNI.

Moehkardi. 1981. Pendidikan dan Pembentukan Perwira TNI-AD. Jakarta: PT.


Inaltu.

Olick, Jeffrey K., 1999. Collective Memory: The Two Cultures. Sociological
Theory, 17(3), November, 333-348.

Drs. C.T.R.Kansil,SH. 1992. Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa. Jakarta


:Erlangga
http://id.wikipedia.org/wiki/Gerakan_30_September
http://www.indonesiaindonesia.com/f/2390-indonesia-era-orde-baru/
http://soeharto.co/mengungkap-fakta-g-30-spki

http://www.kumpulansejarah.com/2012/11/sejarah-peristiwa-g30s-pki.html
http://integralkuadrat.blogspot.com/2011/04/sejarah-dan-kronologis-peristiwa-g-30.html

iv
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah

Sejarah merupakan rekontruksi masa lalu yaitu yang sudah dipikirkan,


dikatakan, dikerjakan, dirasakan, dan dialami oleh seseorang sebagai ilmu, selain
sejarah yang terikat dengan ilmu sosial lainnya, sejarah juga terikat penalaran yang
berdasarkan pada fakta. Kebenaran sejarah terletak pada ketersediaan sejarawan
untuk meneliti sumber yang objektif. Sejarah juga harus memberikan informasi
setuntas-tuntasnya dan sebenarnya dengan sejelas-jelasnya sehingga memberikan
kecocokan antara pemahaman sejarawan dengan fakta.

Peristiwa bersejarah yang menimpa bangsa Indonesia pada tahun 1965


yang dikenal dengan istilah Gerakan 30 September/Partai Komunis Indonesia
(G30S/PKI) memang telah hampir setengah abad yang lalu. Peristiwa yang
melibat- kan dua kubu (TNI dan PKI) bahkan seluruh komponen negara dan
menarik perhatian secara nasional dan internasional. Peristiwa ini dipicu oleh
penculikan dan pembunuhan 6 Jendral oleh kelompok yang menyebut diri
mereka ‘Gerakan 30 September’. Propaganda militer mulai disebarkan, dan
menyerukan ‘pembersihan’ PKI di seluruh negeri. Propaganda ini berhasil
meyakinkan rakyat Indonesia dan pemerhati internasional bahwa dalang di
balik semua peristiwa itu adalah PKI. Penyangkalan PKI sama sekali tidak
berpengaruh sehingga PKI dinyatakan sebagai partai terlarang. Ketegangan
dan kebencian yang terpendam selama bertahun- tahun pun meledak.
‘Pembersihan’ dilakukan dengan memusnahkan seluruh simpatisan PKI,
termasuk Soekarno (yang pada saat itu dipaksa untuk menyerahkan
kepemimpinan karena diduga sebagai pendukung PKI), pembakaran
markas PKI, dapembentukan kelompok pemuda yang anti-komunis.

Menurut Herlambang (2013), upaya pem- berantasan bangkitnya


komunisme di segala lini kehidupan terus dilakukan oleh pemerintah Orde
Baru dimana Suharto berperan sebagai otak dari rencana ini. Pemberantasan
komunisme secara sistematis dan represif telah dilakukan selama 32 tahun,
antara lain, dengan menetapkan peraturan perundang-undangan yang ditujukan
bagi para eks-tahanan politik (eks-tapol). Sedikitnya 30 butir undang-undang

1
ini memang terutama sekali berlaku bagi seluruh anggota PKI dan ormas yang
bernaung dibawahnya. Bukan hanya itu, perlakuan yang sangat menyakitkan
juga harus dirasakan orang-orang yang tidak ada sangkut- pautnya dengan
PKI. Ada peraturan ‘surat bebas G30S’ bagi orang-orang yang akan
bersekolah dan melamar pekerjaan, melampirkan surat pernyataan ‘bersih diri’
dan ‘lingkungan’ bagi orang yang memiliki sanak-saudara yang diduga atau
dituduh dekat dengan PKI atau organisasi kiri, bahkan melarang anak
keturunan PKI menjadi anggota ABRI dan PNS dengan menerapkan skrining
(screening) yang ketat.

B. Rumusan Masalah :

Dari uraian latar belakang di atas, maka rumusan masalah yang dikemukakan dalam
penelitian ini adalah;

1. Apa sebab terjadinya G30S/PKI?

2. Bagaimana proses terjadinya peristiwa G30S/PKI?

3. Bagaimana proses Penumpasan G 30S/PKI?

4. Bagaimana Proses Peralihan Kekuasaan Politik Setelah Peristiwa G30S/PKI?

C. Tujuan & Manfaat Penulisan


Tujuan Penulisan
a. Sebagai sarana untuk mengembangkan daya berfikir kritis, logis, dan
analisis.
b. Sebagai sarana efektif untuk mengaplikasikan metodologi penelitian sejarah.
c. Melatih daya kritis objekif dan analitis dalam penulisan karya sejarah serta
kepekaan pada peristiwa masa lampau untuk dijadikan bahan pertimbangan
untuk melangkah ke masa depan.
d. Meningkatkan disiplin intelektual terutama dalam bidang sejarah.
Manfaat Penulisan
Bagi Pembaca
Sebagai tambahan wawasan bagi masyarakat pada umumnya dan bagi generasi
penerus bangsa agar mengetahui sejarah pemerintahan Islam dan dapat diambil
pelajaran untuk diamalkan dalam kehidupan sehari-hari.

2
Bagi Penulis.
a. Sebagai tolok ukur ilmu pengetahuan dan pengalaman yang didapat selama
proses pembel berlangsung.
b. Dalam penulisan skripsi ini penulis dapat memperoleh tambahan pengetahuan
melalui bahan-bahan yang dikumpulkan guna mendukung penggarapan
penulisan ini.
c. Selain itu diharapkan penulis dapat berpikir lebih kritis dan objekif dalam
menyikapi setiap permasalahan yang adil

D. Tinjauan Pustaka
Kajian pustaka adalah telaah pustaka atau literatur yang menjadi landasan
pemikiran dalam penelitian. Kajian pustaka dikembangkan melalui penelaahan
secara mendalam literatur atau beberapa pustaka yang akan igunakan dalam
penelitian sejarah. Sebagai usaha untuk menghindari kerancuan objek studi dan
juga untuk memperkaya materi penulisan, maka dilakukan tinjauan pustaka
terhadap beberapa buku yang relevan. Tinjauan pustaka dilakukan peneliti untuk
bahan referensi dan dasar rujukan dalam menyusun ini. Sumber yang digunakan
adalah surat kabar sejaman, autobiografi, dan pendukung lain yang mempunyai
relevansi dengan isi buku. Ninin Damayanti. 2007. Buku Sejarah Dilarang, PHBI
dan Komunitas Sejarah. Tempointeraktif. Jika kita mendengar istilah komunisme,
langsung kita teringat pada pembantaian ’65, yang sadis dan kejam. Stigma ini
menjadikan sejarah komunis Indonesia sebagai sisi gelap sejarah Indonesia dan tak
layak untuk dipelajari. Pantas masuk keranjang sampah, termasuk sosialisme atau
apa saja yang mengingatkan kita pada Karl Marx. Naifnya lagi diharamkan ! Kalau
bukan pembodohan massal apa lagi namanya yang dilakukan oleh rezim Orde Baru
di bawah Soeharto melalui Departeman Pendidikan dan Kebudayaan atau
Penerangan. Propaganda anti Komunisme/Marxisme-Leninisme merambah juga di
kalangan universitas. Padahal kalau kita pahami pasal 3 Ketetapan MPRS Republik
Indonesia No: XXV/MPRS/1966 yang berbunyi “khususnya mengenai kegiatan
mempelajari secara ilmiah, seperti pada universitas-universitas, faham
Komunisme/Marxisme-Leninisme dalam rangka mengamankan Pancasila dapat
dilakukan secara terpimpin...”1 Berdasarkan Tap MPR tersebut berarti mempelajari
faham komunisme walaupun secara terpimpin itu legal dan tidak melanggar hukum,

3
“ironisnya, pergulatan ini terjadi bukan di negara-negara komunis yang represif,
tetapi di negara liberal kapitalistik, seperti Amerika Utara, Eropa Barat, Australia,
Jepang dan India.” Studi tentang Komunisme bukan berarti mengajak orang untuk
menganutnya tetapi membuat kita memiliki landasan yang kuat untuk menolaknya.
Menolaknya secara cerdas bukan membabi buta. Pembodohan gaya Orde Baru
terus berlangsung hingga kini, contoh nyata dilakukannya pelarangan buku teks
pelajaran sejarah oleh pemerintah melalui Kejaksaan Agung dengan SK
19/A/JA/03/2007 tertanggal 5 Maret 2007. “Alasan pelarangan adalah tidak
memuat pemberontakan Madiun dan 1965...serta tidak mencantumkan kata PKI
dalam penulisan G30S.” Buku sejarah kelas I jelas tidak memuat pemberontakan
1948 dan peristiwa ’65. Karena kelas I itu hanya berisi kerajaan-kerajaan di
Nusantara yang terpengaruh Hindu, Buddha dan Islam. “Demikian pula untuk kelas
II...membahas perlawanan rakyat terhadap kolonialisme...Untuk kelas III mulailah
dibahas perkembangan sejak kemerdekaan Indonesia.”4 Di kelas III materi tersebut
diajarkan. Parahnya lagi Jaksa Agung Muda Intelijen Muchtar Arifin mengingatkan
“pengedar dapat dikenai sangsi kerena telah melanggar Pasal 3 Penetapan Presiden
No. 4 Tahun 1963 tentang pengamanan barang cetakan yang menggangu ketertiban
umum.”5 Kontroversi pelarangan buku sejarah belum reda, tepatnya satu minggu
setelah diskusi “Historiografi Tragedi ’65 dan Pelarangan Buku Sejarah,” yang
dilakukan oleh mahasiswa Pendidikan Sejarah, Papernas dilarang melakukan rapat
di Kaliurang. Karena diduga partai ini berideologi komunis dan menyebarkan
paham komunisme di Indonesia. Berdasar kejadian di atas ini mengindikasikan
bahwa hantu komunis atau tepatnya hasil indoktrinasi Orde Baru yang mendarah
daging masih tersisa. Versi tunggal G30S pemerintah yang coba diruntuhkan masih
menemui hambatan yang kuat. Kekaburan dalam sejarah memang harus diakui
membawa dampak yang luas dalam berbagai bidang, politik, sosial, dan
pendidikan. Untuk itu tulisan yang berjudul Aksi Partai Komunis Indonesia 1926-
1965 ditulis. Karena penulis melihat pentingnya studi tentang komunisme di
sekolah-sekolah mulai tingkat SMU/SMK agar kita dapat mengidentifikasikannya
dan menolak dengan sadar dan kritis. “Dengan mengenalinya, kita tidak lagi dapat
ditipu oleh orang-orang atau gerakan-gerakan komunis.”6 Celakanya, larangan itu
seringkali datang dari mereka yang tidak paham apa itu Marxisme karena tidak
pernah dididik tentangnya ketika bersekolah. Berbeda dari para pendiri bangsa ini
yang bersekolah pada jaman kolonial Belanda. Maka, jangan heran sejarah nasional

4
sering bengkok atau gelap pada bagian kisah tentang para tokoh gerakan nasionalis
ini.7 Padahal dalam melakukan analisis sosial teori Marx sangat penting dan layak
dipelajari oleh kaum muda Indonesia dan bukan hanya mereka yang hidup di India,
Amerika, dan Australia. Dalam tulisan ini akan dibahas mengenai sisi-sisi sejarah
Aksi Partai Komunis Indonesia yang meliputi Pemberontakan 1927, Madiun Affair
1948, dan Gerakan Tiga Puluh September 1965.

E. Kerangka Teori
Untuk menjawab permasalahan tersebut diatas, maka peneliti akan menggunakan
beberapa kerangka teori, antara lain :
Memori Kolektif: G30S/PKI & TNI
Olick (1999:337) menganalisa memori kolektif dengan memasukkan faktor
representasi kolektif (simbol-simbol, makna, narasi, dan ritual yang tersedia bagi
publik), struktur kebudayaan (sistem peraturan atau pola yang memproduksi
representasi), konstruksi sosial (pola interaksi), dan memori-memori individual yang
terbentuk secara kultural dan sosial. Olick (1999:336) juga mengemukakan tiga
prinsip dalam menganalisa dan mengolah materi yang ditemukan di dalamnya.
Pertama memori kolektif tidak bersifat monolitik. Pengingatan kolektif merupakan
proses yang sangat kompleks, melibatkan banyak macam orang, praktik, materi, dan
tema. Yang kedua, konsep memori kolektif akan mendorong kita untuk melihat
memori sebagai residu otentik akan masa lalu atau sebaliknya sebagai konstruksi
yang sifatnya dinamis dalam masa kini. Proses mengingat-ingat yang kompleks
selalu meru- pakan proses negosiasi yang cair antara hasrat di masa kini dan
peninggalan dari masa lalu. Ketiga, harus diingat bahwa memori adalah sebuah
proses, dan bukan sebuah benda. Memori kolektif adalah sesuatu yang kita lakukan
bukan sesuatu yang dimiliki. Oleh karenanya diperlu- kan perangkat analisis yang
sensitif terhadap keberagaman, kontradiksi, dan dinamikanya.
Narasi PKI berikut merupakan narasi tentang bagaimana negara mengkonstruksi
memori kolektif. Dalam upaya pemerintah Indonesia untuk menyatukan kekuatan
angkatan bersenjata di bawah satu komando, diharapkan dapat mencapai efektifitas
dan efisiensi dalam melaksanakan peran ABRI, serta tidak ter- pengaruh oleh
kepentingan kelompok politik tertentu. Upaya tersebut menghadapi berbagai
tantangan, terutama dari PKI yang pada tahun 1965 telah menguasai sepertiga dari

5
kekuatan ABRI dengan melakukan penyusupan dan pembinaan khusus, serta
memberi pengaruh terhadap Presiden dan Panglima Tertinggi ABRI untuk
mengingkari dan mengkhianati sumpah prajurit dan Sapta Marga demi kepentingan
politik PKI. PKI merupakan sekelompok orang yang berpaham komunis dan
menentang kapitalis yang bersesuaian dengan lambang kebesarannya, yakni palu arit,
yang berarti partai rakyat kecil, yang mengakomodir keinginan-keingnan rakyat
kecil. PKI mengajak orang-orang kecil ber- gabung khususnya para petani dengan
iming- iming akan memberikan lahan pertanian. Pasca kemerdekaan, PKI gencar
melakukan pemberon- takan, diantaranya Peristiwa Tiga Daerah (pem- berontakan
yang terjadi di Kabupaten Pemalang, Tegal, dan Brebes), terror gerombolan Ce’
Mamat, pemberontakan di Cirebon, revolusi sosial di Langkat, dan yang paling
fenomenal adalah pemberontakan PKI di Madiun yang berujung pada berdirinya
Sovyet Republik Indonesia (SRI).
F. Metode Penelitian
Menurut Kuntowijoyo, terdapat lima tahap dalam proses penelitian sejarah
terdiri dari tahap Pemilihan Topik, Heuristik ( Pengumpulan Sumber ), Verifikasi (
kritik sumber ), Interpretasi dan Penulisan Sejarah ( historiografi, penjelasan,
penyajian ).
a. Pemilihan Topik
Pemilihan topik merupakan langkah awal dalam penelitian untuk
menentukan permasalahan yang hendak dikaji. Dalam sebuah penelitian topik
harus di pilih berdasarkan kedekatan intelektual dan kedekatan emosional. Dua
syarat ini sangat penting, karena orang hanya akan bekerja dengan baik kalau dia
senang. Hal ini diperlukan agar dapat mendalami permasalahan yang sedang dikaji
oleh penulis “ Pemberontakan PKI 1965”.

Pemilihan topik ini didasari atas beberapa dasar pemikiran di atas, bahwa
politik, sosial, hukum dan militer itu saling berdampingan.

b. Heuristik ( pengumpulan sumber )


Heuristik merupakan kegiatan pengumpulan sumber yang diperoleh dari
sumber primer dan sekunder. Heuristik berasal dari kata Heuriskein dalam bahasa
Yunani yaitu menemukan, sehingga heuristik adalah kegiatan sejarawan untuk
mengumpulkan sumber. Pada dasarnya sumber sejarah terdiri dari tiga macam
sumber. Pertama, sumberbenda (artifak) dapat berupa foto-foto, alat-alat atau

6
bangunan sedapat mungkin bangunan asli. Kedua, sumber lisan yang berperan
dalam mengembangkan substansi penulisan sejarah. Ketiga, sumber tertulis dapat
berupa surat-surat, notulen, rapat, kontrak kerja dan sebagainya.

c. Verifikasi ( kritik sumber )


Kritik sumber merupakan uji keabsahan sumber yang telah didapat.
Verifikasi ada dua macam, yaitu kritik intern dan kritik ekstern. Kritik sumber
bertujuan untuk menghindari kepalsuan sumber, yang mana sumber yang
digunakan kebanyakan sumber sekunder. Dengan demikian, peneliti melakukan
pemilihan sumber secara cermat dan maksimal supaya mendekati kebenaran.

1) Kritik eksternal: Otentisitas dan integritas

Kritik eksternal ialah cara melakukan verifikasi atau pengujian terhadap


aspek-aspek luar sumber sejarah. Sebelum semua kesaksian yang berhasil
dikumpulkan oleh sejarawan dapat digunakan untuk merekonstruksi masa lalu,
maka terlebih dahulu harus dilakukan penyelesaian yang ketat.

2) Kritik internal

Kebalikan dari kritik eksternal, kritik internal adalah istilah yang


menekankan aspek “dalam” yaitu “isi” dari sumber, kesaksian (testimoni). Kritik
internal dapat di tempuh dengan mengadakan penelitian instrinsik terhadap
sumber-sumber yang didapat (untuk mengetahui informasi dari informan dengan
peristiwa) dan membanding-bandingkan data dari berbagai sumber. Langkah ini
baru dilaksanakan sesudah kritik eksternal selesai untuk menentukan bahwa
dokumen yang kita peroleh merupakan dokumen yang kita cari, bukan saja berarti

relevan dengan topik yang disusun, tapi lebih penting lagi bahwa sumber-sumber
itu adalah sumber-sumber yang otentik. Kritik yang telah dilakukan oleh peneliti
pada akhirnya akan menghasilkan fakta-fakta sejarah. Kritik sumber inilah yang
menjadi tolok ukur kualitas dari penelitian mengenai “ Pemberontakan PKI 1965”.

d. Interpretasi
Interpretasi adalah kegiatan menafsirkan fakta-fakta yang telah diuji
kebenarannya, kemudian menganalisa sumber yang pada akhirnya akan
menghasilkan suatu rangkaian peristiwa. Tahap ini peneliti dituntut untuk

7
mencermati dan mengungkapkan data-data yang diperoleh. Selanjutnya peneliti
menjelaskan keterkaitan antara fakta-fakta sejarah sehingga memiliki makna dan
bersifat logis tentang hal yang diteliti, tahap ini peneliti merangkum,
menghubungkan, fakta-fakta yang diperoleh menjadi satu kesatuan. Sejarawan
yang jujur akan mencantumkan data dan keterangan dari mana data itu, sehingga
orang lain dapat melihat sendiri dan menafsirkan kembali.

e. Penulisan Sejarah ( historiografi, penjelasan, penyajian ).


Merupakan penggambaran atau pengisahan kembali suatu runtutan peristiwa
yang telah terjadi berdasarkan data yang telah diperoleh dan telah diuji
kebenarannya, dalam penulisan sejarah aspek kronologis sangat penting. Penulisan
sejarah hendaknya dilakukan secara kronologi, sistematis dan menggunakan
bahasa yang baku dan ilmiah.

Penulisan sejarah merupakan titik puncak dari seluruh kegiatan penelitian


sejarah. Historiografi merupakan bagian terakhir yang terberat, karena di bidang
ini letak tuntutan terberat bagi sejarah untuk membuktikan legitimasi dirinya
sebagai suatu bentuk disiplin ilmiah.

Pada penulisan ini, peneliti akan mengkaji tentang Pemberontakan PKI


1965 dengan memperhatikan beberapa prinsip urutan peristiwa, urutan waktu, dan
hubungan sebab akibat.

G. Sistematika Penulisan
Penulisan dalam Skripsi ini tentang “Pemberontakan PKI 1965” disusun
dalam beberapa bab dan setiap bab terbagi menjadi beberapa sub-sub bab sebagai
berikut.
Bab I Pendahuluan

Pada bagian pendahuluan atau Bab I (pertama) berisikan latar belakang


masalah, rumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan, Tinjauan pustaka,
Kerangka Teori, Metode Penelitian , Sistematika Penulisan.

Bab II Peralihan dari AKRI menjadi POLRI pada masa Orde Baru

Bab kedua menjelaskan mengenai sekilas PEMBERONTAKAN G-30-S/PKI

8
Bab III Dampak Peralihan dari AKRI menjadi POLRI

Pada bab keempat ini membahas tentang pasca pemberontakan G-30-S/PKI


yang menjelaskan kondisi setelah terjadinya kudeta yang di lakukan oleh PKI.

Bab IV Penutup

Pada bab ini berisi kesimpulan tentang apa yang sudah disampaikan dalam

penulisan. Kesimpulan merupakan jawaban dari permasalahan pokok yang

disajikan di dalam rumusan masalah.

9
BAB II

PEMBERONTAKAN G-30-S/PKI

A. Peristiwa Pemberontakan G30S/PKI


PERISTIWA G30S/PKI yang lebih dikenal dengan peristiwa pemberontakan
yang dilakukan PKI, bertujuan untuk menyebarkan paham komunis di Indonesia.
Pemberontakan ini menimbulkan banyak korban, dan enam korban berasal dari para
Jendral AD. Gerakan PKI ini menjadi isu politik untuk menolak laporan
pertanggungjawaban Presiden Soekarno kepada MPRS. Dengan ditolaknya laporan
Presiden Soekarno ini, maka Indonesia kembali ke pemerintahan yang berazaskan
kepada pancasila dan UUD 1945.
Sebab-sebab terjadinya G30S/PKI
a. Konflik Dwikora & Trikora yang membutuhkan sukarelawan dari
kalangan rakyat sipil lalu PKI mengusulkan untuk mempersenjatai buruh
dan tani guna membela Tanah air dalam konflik tersebut.
b. Militer kawatir usulan tersebut disetujui oleh pemerintah, Apabila
disetujui militer takut senjata tersebut malah diguakan untuk mejatuhkan
kekuasaan dan mengganti ideologi Pancasila dengan komunisme militer
mengingatkan pemerintah agar mempertimbangkan usulan PKI tersebut
c. Pemerintah menolak usulan yg di ajukan oleh PKI, PKI merasa militer
menghalang-halanginya, Sehingga PKI melakukan pemberontakan.
Pemberontakan yang penah dilakukan oleh PKI
PERISTIWA Madiun (Madiun Affairs) adalah sebuah konflik kekerasan atau
situasi chaos yang terjadi di Jawa Timur bulan September – Desember 1948. Peristiwa
ini diawali dengan diproklamasikannya negara Soviet Republik Indonesia pada
tanggal 18 September 1948 di Madiun oleh Muso, seorang tokoh Partai Komunis
Indonesia dengan didukung pula oleh Menteri Pertahanan saat itu, Amir Sjarifuddin.
Pada saat itu hingga era Orde Lama peristiwa ini dinamakan Peristiwa Madiun
(Madiun Affairs), dan tidak pernah disebut sebagai pemberontakan Partai Komunis
Indonesia (PKI). Baru di era Orde Baru peristiwa ini mulai dinamakan pemberontakan
PKI.

10
Bersamaan dengan itu terjadi penculikan tokoh-tokoh masyarakat yang ada di Madiun,
baik itu tokoh sipil maupun militer di pemerintahan ataupun tokoh-tokoh masyarakat
dan agama.
Masih ada kontroversi mengenai peristiwa ini. Sejumlah pihak merasa tuduhan
bahwa PKI yang mendalangi peristiwa ini sebetulnya adalah rekayasa pemerintah
Orde Baru (dan sebagian pelaku Orde Lama).
B. Kudeta G-30-S/PKI
Dengan dicanangkannya slogan ofensif revolusioner, PKI telah
mempersiapkan perebutan kekuasaan politik sejak awal tahun 1965. Pimpinan partai
diturunkan ke daerah-daerah untuk menyelenggarakan rapat umum. Ofensif
revolusioner meningkat seetelah hari ulang tahun PKI bulan Mei 1965. Pada pleno IV
CC PKI tanggal 11 Mei 1965, D.N. Aidit menyampaikan laporan yang berjudul
“perketat ofensif revolusioner di segala bidang” ditujukan kepada jajaran organisasi
massa PKI untuk merebut kekuasaan politik.
Menjelang akhir agustus 1965 telah ditentukan D.N. Aidit sebagai pimpinan
tertinggi gerakan. Selanjutnya diadakan rapat-rapat. Rapat yang pertama diadakan di
rumah kapten Wahjudi jalan Sindangjaya, 5 Jakarta. Rapat tersebut membahas situasi
umum dan sakitnya Presiden Soekarno. Dan isu mengenai adana Dewan Jenderal di
angkatan darat yang akan mengkudeta dan menyampaikan intruksi Aidit untuk
mengadakan gerakan mendahului kudeta Dewan Jendral.
Rapat kedua pada tanggal 9 september 1965 di tempat yang sama membahas
kesepakatan bersama dan mengadakan tukar pikiran mengenai taktik dan masalah
pengendalian kesatuan dalam gerakan serta pembagian tugas dan calon pemimpinnya.
Rapat ketiga pada tanggal 13 september 1965 di rumah Kol. A. Latief, jalan
Cawang I Kavling 524/525, Jatinegara dan rapat ke 4 di tempat yang sama pada
tanggal 15 september 1965 dan rapat ke 5 tanggal 17 september 1965. Rapat ini
merancang Operasi Takari, tiga komando, yaitu pasopati, Bimasakti, dan Gatotkaca.
Rapat ke 6 tanggal 19 september 1965 di rumah Sjam jalan Salemba Tengah,
Jatibuntu, Jakarta. Ditetapkannya sasaran gerakan bagi tiap pasukan. Pasopati sebagai
penculik / pembunuh Jenderal Angkatan Darat. Bimasakti bertugas menduduki objek
vital seperti RRI dan gedung telekomunikasi. Pasukan Gatotkaca mengkoordinasi
kegiatan di lubang buaya.

11
Rapat ke 8 dilaksanakan tanggal 24 september 1965, rapat ke 9 tanggal 26
desember 1965 dan rapat terakhir tanggal 29 september 1965 semuanya bertempatkan
di rumah Sjam.
Surat kabar PKI menuliskan pada edisi 26 september 1965 dalam pojok Cabe
Rawit, Wong Tjilik mengisyaratkan terjadinya suatu peristiwa namun tak ditanggapi
oleh masyarakat. Setelah persiapan terakhir menjelang kudeta, ditetapkan bahwa
gerakan akan dimulai pada hari kamis malam tanggal 30 September 1965. Sesuai
keputusan rapat terakhir disepakati sebagai Gerakan 30 September. Yang dikenal di
masyarakat sebagai sebutan G-30-S/PKI atau Gestapu /PKI. Sejam selaku Biro
Khusus PKI berturut-turut mengadakan pertemuan dengan kepala Biro Khusus dari
berbagai daerah. Pertemuan dengan Biro Khusus Jakarta Raya pada tanggal 4
September 1965, Biro Khusus Daerah Jawa Barat tanggal 8 september 1965, Biro
Khusus Sumatera Barat tanggal 17 september, dan dnegan Biro Khusus Daerah
Sumatra lainnya tanggal 20 september 1965.
Secara fisik militer gerakan dipimpin Letnan Kolonel Untung, Komandan
Batalion I Resimen Cakrabirawa selaku pimpinan formal seluruh gerakan. Bergerak
pada dini hari tanggal 1 Oktober 1965, didahului gerakan penculikan pembunuhan
terhadap ke 6 perwira tinggi dan seorang perwira pertama angkatan darat. Dibawa ke
lubang buaya, dianiaya, dan akhirnya dibunuh oleh anggota Pemuda Gerwani , dan
lain-lain organisasi satelit PKI. Semua jenazah dimasukan ke sumur lalu ditimbun
dengan sampah dan tanah. Keenam perwira tinggi itu antara lain:
1. Letnan Jenderal Ahmad Yani;
2. Mayor Jenderal R. Soeprapto;
3. Mayor Jenderal Harjono Mas Tirtodarmo;
4. Mayor Jenderal Siswondo Parman;
5. Brigadir Jenderal Donald Izacus Pandjaitan;
6. Brigadir jenderal Soetojo Siswomihardjo

Yang dapat meloloskan diri yaitu Jenderal Abdul Haris Nasution, Menko Hankam
kasab pada jamannya. Namun puterinya Ade Irma Suryani tewas. Ajudannya Letnan
Satu Pierre Andries Tendean menjadi sasaran penculikan karena sepintas wajahnya
seperti A.H. Nasution. Dan tewasnya juga pengawal rumah Wakil Perdana Menteri II,
Brigadir Polisi Karel Satsuit tubun.

12
Melalui RRI yang mereka kuasai, bersamaan dengan gerakan tersebut pada 07.20
dan diulang pada pukul 08.15, Letnan Kolonel Untung menyiarkan pengumunan
tentang Gerakan 30 September.Pada tanggal 1 Oktober 1965 Harian rakjat & Warta
Bhakti memuat megenai berita G-30-S menyelamatkan Pemimpin Besar Revolusi &
nama-nama anggota dewan revolusi.
Diumumkan bahwa G-30-S dilancarkan pada perwira yang “berpikiran maju” yang
menentang kudeta dewan Jenderal. Pada pkl 13.00 disiarkan dekrit mengenai
pembentukan Dewan Revolusi dan Kabinet Dwikora dinyatakan demisioner serta
sumber kekuasaan dalam Negara Republik Indonesia merupakan Dewan Revolusi.
Tabir tujuan G-30-S adalah kudeta. Akan tetapi Pangkostrad Mayor Jenderal
Soeharto dengan cepat bertindak menguasai keadaan. Jenderal Soeharto
mengkoordinir satuan ABRI yang khususnya di Jakarta melalui panglima masing-
masing kecuali Menteri/Panglima Angkatan Udara yang mengeluarkan perintah harian
G-30-S.
Setelah menilai keadaan Jenderal Soeharto menyimpulkan gerakan 30-S
merupakan upaya perebutan kekuasaan pemerintahan, bahwa pimpinan AU
mendukung gerakan 30-S yaitu Batalion 454/Diponegoro dan 530/Brawijaya. Kedua
Batalion tersebut didatangkan ke Jakarta dalam rangka parade Hari Ulang Tahun
ABRI 5 Oktober 1965. Sementara hubungan dengan Presiden Soekarno tidak dapat
dihubungi, Pangkostrad memutuskan segera melancarkan menumpas G-30-S/PKI.
Dengan unsur Kostrad yang berada di Jakarta dalam rangka HUT ABRI, Batalion 328
Kujang/Siliwangi, Batalion 2 Kavaleri, dan Batalion 1 Resimen (Men
Parako/RPKAD) penumpasan dimulai.
C. Operasi Penumpasan G-30-S di Jakarta
Operasi penumpasan dimulai tanggal 1 Oktober 1965 dengan meminimalisir
bentrokan senjata. Pertama menetralisir grup pemberontak yang ada di Jalan Medan
Merdeka. Anggota pasukan Batalion 530/Brawijaya minus 1 kompi berhasil
diinsafkan dan ditarik mundur ke Markas Kostrad Jalan Medan Merdeka Timur,
sedangkan anggota Batalion 454/Diponegoro pukul 17.00 ditarik mundur dari jalan
Medan Merdeka.
Operasi militer dimulai sore hari tanggal 1 Oktober 1965, pada pkl 19.15
RPKAD berhasil merebut gedung RRI Pusat & gedung telekomunikasi tanpa
bentrokan senjata. Batalion Kujang 328 Kujang/Siliwangi menguasai lapangan
Banteng untuk pengamanan MaKo V /Jaya dan sekitarnya. Batalion I Kavaleri

13
berhasil mengamankan BNI unit I ,Kebayoran. Dengan waktu singkat 1 oktober itu
juga Jakarta sudah dapat dikuasai oleh ABRI.
Untuk menentramkan kegelisahan, Jenderal Soeharto mengumumkan melalui
RRI pada pkl 20.00 tentang adanya perebutan kekuasaan pemerintahan oleh gerakan
30-S. diumumkan pula penculikan dan pembunuhan jenderal-jenderal. Serta jajaran
kepolisian, AL, AD untuk bekerja sama menumpas kejahatan PKI. Serta dihimbau
rakyat agar tenang.
Diketahui bahwa basis utama G-30-S di sekitar Lanuma Halim Perdana
Kusuma dan Presiden Soekarno dihimbau untuk meninggalkan Lanuma Halim
Perdana Kusuma. Langkah berikutnya untuk membersihkan daerah di sekitar itu.
Setelah Soekarno menuju Istana Bogor. Diperintahkan pasukan RPKAD,
Batalion 328 Kujang/Siliwangi, dan Batalion 1 Kavaleri bergerak menuju sasaran. 3
kompi tempur di pimpin langsung oleh Kolonel Subianto (Dansenkav) tiba di
Cijantung langsung diikutsertakan dalam gerakan menutup jalan simpang tiga
Cililitan-Kramatjati dan Simpang tiga Halim Lubang Buaya. Pangkalan Udara Halim
pada pukul 06.10 tanggal 2 Oktober dapat dikuasai.
Pembersihan dilakukan dengan bantuan Abriptu Sukitman yang sebelumnya
ditawan regu penculik dan Brigjen D.I. Pandjaitan berhasil meloloskan diri. Pada
tanggal 3 oktober ditemukan jenazah para perwira AD yang dikubur dalam lubang
sumur tua. Keesokan harinya tanggal 4 oktober pengangkatan berhasil diselesaikan
oleh tim dari Kompi Intai para Amphibi (Kipam) dipimpin oleh Kapten Winanto dari
mariner dibantu RPKAD. Seluruh jenazah diangkut ke RS Pusat AD (rumah sakit
gatot subroto) dibersihkan dan disemayamkan di Mabes AD. Visum membuktikan
bahwa jenazah sebelumnya mengalami penganiayaan berat. Bertepatan HUT ABRI 5
Oktober 1965, jenazah dimakamkan di TMP Kalibata dan dianugerahi gelar pahlawan
revolusi serta kenaikan pangkat setingkat lebih tinggi secara anumerta.
Ketika di Halim Perdana Kusuma tanggal 1 oktober Presiden Soekarno
memerintah untuk semua angkatan bersenjata agar siap siaga di pos masing-masing.
Serta seluruh rakyat agar tenang dan waspada. Diumumkan juga kendali pimpinan AD
sementara di tangan Panglima Tertinggi ABRI, untuk tugas sehari-hari ditunjuk
Mayor Jenderal Pranoto Reksosamodra. Perintah itu tidak segera diketahui anggota
ABRI di luar Halim Perdana Kusuma dikarenakan Mayor Jenderal Soeharto juga
menyatakan ia memegang pimpinan AD.

14
Upaya penyelesaian masalah ini, Soekarno pada tanggal 2 Oktober 1965
memanggil semua panglima ke Istana Bogor untuk memutuskan pimpinan AD secara
langsung berada di tangan Presiden. Untuk penyelesaian Tugas sehari-hari tetap
ditunjuk Mayjen Pranoto, sedangkan Mayjen Soeharto diberi tugas untuk pemulihan
keamanan dan ketertiban bersangkutan dengan G-30-S. Keputusan tersebut
diumumkan melalui RRI pkl 01.30 tanggal 3 oktober 1965. Ini adalah awal eksistensi
Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib). Siang harinya
Mayjen Soeharto menyampaikan melalui RRI sebagai selaku pelaksana pemulihan
keamanan dan ketertiban akan dilakukan sebaik-baiknya.
Kebijakan Presiden Soekarno disampaikan dalam sidang paripurna Kabinet
Dwikora tanggal 6 Oktober 1965 di Istana Bogor. Setelah keluarnya pernyataan
presiden untuk mengutuk G-30-S kemarahan rakyat terhadap PKI kian meningkat.
Seperti tercetus pembakaran kantor Pusat PKI di Jalan Keramat Raya. Sasaran
kemarahan rakyat di rumah-rumah tokoh PKI dan kantor-kantornya, serta aksi corat-
coret dan demonstrasi oleh mahasiswa, pelajar, dan ormas-ormas yang setia Pancasila
supaya menuntut pimpinan PKI agar diadili. Pembersihan sisa-sisa PKI berhasil
dilakukan diantaranya ditangkapnya Kolonel A. Latief yang telah dipecat dari Brigade
Infanteri I Kodam V Jaya pada tanggal 9 oktober 1965 serta tertangkapnya Kolonel
Untung tanggal 11 oktober 1965 di tegal dalam pelarian dirinya ke Jawa Tengah.
Sementara itu belum ada sikap dari Presiden Soekarno kearah penyelesaian
politik, D.N. Aidit dalam pelariannya tanggal 6 Oktober 1965 dari Blitar mengirim
surat kepada Presiden agar melarang adanya pernyataan mengutuk terhadap G-30-S
serta melarang tuduhan dan saling menyalahkan. Namun aksi rakyat berjalan terus.
Pada Pepelrada (penguasa pelaksana Dwikora Daerah) Kodam berturut-turut
membekukan PKI dan Ormas-ormasnya.
D. G-30-S/PKI di Jawa Tengah
Setelah bergerak di Jakarta bergerak pula di Jawa Tengah. Pukul 13.00 tanggal
I Oktober 1965 melalui RRI Semarang Kolonel Sahirman mengumumkan dukungan
terhadap G-30-S/PKI di Jawa Tengah. Pusat pergerakan pada Markas Kodam
VII/Diponegoro yang telah dikuasai. Pasukan pelindung didatangkan dari Solo;
Batalion K pimpinan Mayor Kadri dan 2 kompi Batalion D Salatiga pimpinan Mayor
Soepradi. Di tempatkan di lokasi strategis seperti Makodam, RRI, Telekomunikasi.
Selanjutnya Kolonel Sahirman mengumumkan bahwa Kodam VII/Diponegoro
diambil alih kepada Letkol Usman Sastrodibroto sebagai pimpinan. Kodam

15
VII/Diponegoro memiliki 3 Brigade yaitu 4,5,dan 6. Namun Brigade ke 6 tidak
terpengaruh oleh mereka. Batalion yang aktif seperti Batalion K dan M di Solo,
Batalion L dan C di Yogya, dam Batalion D di Salatiga dipergunakan oleh G-30-
S/PKI. Di beberapa tempat pendukungnya mengambil alih tempat:
1. Makorem 071/Purwokerto dipimpin Kepala Staf Letkol Soemitro;
2. Makorem 072/Yogyakarta dipimpin Kepala Seksi 5 Mayor Mulyono;
3. Makorem 073/Salatiga dipimpin Kepala Staf Letkol Idris;
4. Markas Brigade Infanteri 6 dipimpin Komandan Kompi Markas Kapten Mintarso.
Pembentukan dewan revolusi diumumkan melalui RRI pada tanggal 1 oktober
1965 diketuai Mayor Mulyono. Makorem 072 dikuasai kekuatan Batalion L dengan
menculik Kepala Staf Korem 072 Letkol Sugijono. Mereka mengeluarkan perintah
kepada semua Komando Distrik agar membagi-bagikan senjata ke anggota legiun
dan veteran setempat. Pada tanggal 2 Oktober 1965 terjadi demonstrasi PKI beserta
Ormas-ormasnya di depan makorem 072 untuk dukungan G-30-S. Pada hari itu
Kolonel Katamso diculik dan dibawa ke kompleks Batalion L. Bersama Letkol
Sugijono, Kolonel Katamso dibunuh dengan memukul kepalanya hingga pecah
dengan tangkai mortir.
G-30-S di Kota Solo mempergunakan kekuatan Batalion M pada tanggal 1
oktober 1965, menculik Komandan Brigade 6 Kolonel Azahri, Kepala Staf Brigade 6
Letkol Parwoto, Komandan Kodim 0735 Letkol Ezi Soeharto, Kepala Staf Kodim
735 Mayor Soeparjan, Komandan Polmil Detasemen Surakarta Kapten Prawoto, dan
Komandan Batalion M Mayor Darso. Menduduki RRI, Telekomunikasi, Bank
Negara dan mengumumkan dukungan terhadap G-30-S. Di tanggal 2 Oktober 1965
Walikota Solo Oetomo Ramelan melalui RRI dengan nama Front Nasional Cabang
Surakarta mengumumkan dukungannya. Surakarta diliputi suasana pemberontakan,
Polri belum berani bertindak kecuali mengamati saja karena hanya memiliki 1 kompi
Brimob dan 1 Kompi Perintis. Juga dengan GPTP, dan ormas golongan Nasionalis
dan agama masih bersifat pasif menghadapi G-30-S.
Setelah mendengar pengumuman Letnan Kolonel Untung, Pangdam
VII/Diponegoro Brigadir Jenderal Surjosumpeno memanggil perwira-perwira dan
Sad Tunggal Jawa Tengah untuk mengadakan Briefing. Kemudian ke Salatiga untuk
briefing yang sama dan terus ke Magelang. Diperintahkan kepada Asisten 2 Kolonel
Suprapto untuk mengadakan Briefing di Solo. Kolonel Sahirman mengumumkan
berdirinya Dewan Revolusi dan Letkol Usman ambil alih pimpinan Kodam

16
VII/Diponegoro. Atas saran Letkol Soeprapto yang batal ke Solo, Brigadir Jenderal
Surjosumpeno menuju Magelang menyusun kekuatan. Pasukan yang akan digerakan
adalah:
1. Batalion Kavaleri 2 di Magelang;
2. Batalion Artileri Medan 3 di Magelang;
3. Batalion Artileri Medan 9 di Magelang;
4. Batalion Zeni Tempur 4 di Magelang;
5. Sebagian anggota Batalion 2/Para di Magelang;
6. Batalion F Brigade Infanteri 4 di Gombong
7. Sebagian anggota Baatalion 3/Para di Semarang

Pada tanggal 2 Oktober1965 operasi penumpasan gerakan dimulai. Bergerak


mulai pukul 05.00 untuk pembebasan kota Semarang dengan kekuatan 2 peleton
BTR pimpinan Letkol Jassin Husain dan 1 Batalion Artileri Medan dengan tugas
infanteri. Pada pukul 10.00 kota Semarang berhasil dikuasai tanpa terjadi letusan
senjata setelah ada kabar dari RRI bahwa Jakarta berhasil dikuasai ABRI. Kolonel
Sahirman dan kawan-kawannya melarikan diri ke luar kota pada hari itu juga pukul
10.00 diumumkan bahwa Pangdam telah kembali memegang pimpinan Kodam
VII/Diponegoro.
Kota demi kota berhasil direbut kembali sehingga pada tanggal 5 Oktober
1965 garis Komando Kodam VII/Diponegoro telah dipulihkan. Untuk memantapkan
konsolidasi pada tanggal 5 Oktober 1965, Pangdam VII mengadakan briefing secara
simultan dengan demikian pemulihan keamanan dalam jajaran Kodam
VII/Diponegoro selesai. Namun timbul gerakan-gerakan pengacauan, sabotase,
pembunuhan oleh massa PKI kepada golongan yang menentang G-30-S. Itulah
mengapa CC PKI D.N. Aidit memilih pelariannya di Jawa Tengah di tanggal 1
Oktober 1965 menggunakan pesawat terbang AURI setelah kudeta di Jakarta gagal.
Untuk membersihkan kekacauan bantuan didatangkan dari RPKAD kepada
Pangdam VII/Diponegro pada tanggal 16 Oktober 1965 dan tiba pada tanggal 19
Oktober 1965. Terutama pembersihan di daerah Surakarta, Klaten, dan Boyolali.
Tanggal 26 Oktober 1965 Jawa Tengah dan DIY dinyatakan dalam keadaan
Perang maka diberlakukan jam malam pada pukul 17.30 hingga pukul 05.30.
Pada tanggal 1 desember 1965 dibentuk “Komando Operasi Merapi”
dipimpin ooleh komandan RPKAD. Operasi ini membuahkan hasil antaranya,

17
ditembak mati Kolonel Sahirman, Kolonel Maryono, Ketkol Usman, Mayor Samadi,
Mayor R.W. Sakirno, dan Kapten Soekarno. Dengan tertembaknya pelaku
pemberontakan, maka G-30-S/PKI di daerah ini berhasil dihancurkan. Maka
ditariknya RPKAD pada tanggal 30 Desember 1965 ke pangkalan. Dalam rangka
pepelrada pemulihan keamanan dan ketertiban dilaksanakan serta membersihkan
orpol dan ormas pendukung G-30-S/PKI.
D.N. Aidit sementara itu pada tanggal 10 November 1965 mengeluarkan
Instruksi tetap ditujukan kepada seluruh CDB PKI se-Indonesia. Setelah
mengeluarkan instruksi tetap tersebut gerakan pengacauan dan penculikan melemah.
D.N. Aidit tertangkap di solo pada tanggal 22 November 1965. Setelah
tertangkapnya Aidit timbul pembubaran organisasinya dihadapan pemerintah diikuti
dengan pembakaran bendera, papan-papan, dan atribut PKI. Tetapi setelah gerakan
kudeta G-30-S/PKI gagal, pemimpin PKI yang belum tertangkap mengadakan
konsolidasi. Usaha selanjutnya tercantum dalam Tri Panji Partai. Dalam perjuangan
jangka panjang, mereka mendirikan (SPR) dan (KKPR) serta menyusun Komite
Proyek sebagai basis menuju comeback PKI.
Penumpasan G-30-S/PKI di luar wilayah Jakarta dan Jawa Tengah dilakukan
dengan penangkapan tokoh orpol dan ormas. Menjadikan para pendukung G-30-
S/PKI tidak sempat mengadakan perebutan kekuasaan.

18
BAB III
Pasca Kejadian
A. Peristiwa setelah kejadian
Pasca pembunuhan beberapa perwira TNI Angkatan Darat, PKI mampu
menguasai dua sarana komunikasi vital, yaitu studio RRI di Jalan Merdeka Barat dan
Kantor Telekomunikasi yang terletak di Jalan Merdeka Selatan. Melalui RRI, PKI
menyiarkan pengumuman tentang Gerakan 30 September yang ditujukan kepada
para perwira tinggi anggota “Dewan Jenderal” yang akan mengadakan kudeta
terhadap pemerintah. Diumumkan pula terbentuknya “Dewan Revolusi” yang
diketuai oleh Letkol Untung Sutopo.

Di Jawa Tengah dan DI. Yogyakarta, PKI melakukan pembunuhan terhadap


Kolonel Katamso (Komandan Korem 072/Yogyakarta) dan Letnan Kolonel
Sugiyono (Kepala Staf Korem 072/Yogyakarta). Mereka diculik PKI pada sore hari 1
Oktober 1965. Kedua perwira ini dibunuh karena secara tegas menolak berhubungan
dengan Dewan Revolusi. Pada tanggal 1 Oktober 1965 Sukarno dan sekretaris
jendral PKI Aidit menanggapi pembentukan Dewan Revolusioner oleh para
"pemberontak" dengan berpindah ke Pangkalan Angkatan Udara Halim di Jakarta
untuk mencari perlindungan. Pada tanggal 6 Oktober, Sukarno mengimbau rakyat
untuk menciptakan "persatuan nasional", yaitu persatuan antara angkatan bersenjata
dan para korbannya untuk penghentian kekerasan. Biro Politik dari Komite Sentral
PKI segera menganjurkan semua anggota dan organisasi-organisasi massa untuk
mendukung "pemimpin revolusi Indonesia" dan tidak melawan angkatan bersenjata.
B. Penumpasan G30S/PKI
PENUMPASAN G30S/PKI 1965 Dalam bulan-bulan setelah peristiwa ini,
semua anggota dan pendukung PKI, atau mereka yang dianggap sebagai anggota dan
simpatisan PKI, semua partai kelas buruh yang diketahui dan ratusan ribu pekerja
dan petani Indonesia yang lain dibunuh atau dimasukkan ke kamp-kamp tahanan
untuk disiksa dan diinterogasi. Pembunuhan-pembunuhan ini terjadi di Jawa Tengah
(bulan Oktober), Jawa Timur (bulan November) dan Bali (bulan Desember). Berapa
jumlah orang yang dibantai tidak diketahui dengan persis - perkiraan yang
konservatif menyebutkan 500.000 orang, sementara perkiraan lain menyebut dua
sampai tiga juga orang. Namun diduga setidak-tidaknya satu juta orang menjadi
korban dalam bencana enam bulan yang mengikuti kudeta itu. Dihasut dan dibantu

19
oleh tentara, kelompok-kelompok pemuda dari organisasi-organisasi muslim sayap-
kanan seperti barisan Ansor NU dan Tameng Marhaenis PNI melakukan
pembunuhan-pembunuhan massal, terutama di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Ada
laporan-laporan bahwa Sungai Brantas di dekat Surabaya menjadi penuh mayat-
mayat sampai di tempat-tempat tertentu sungai itu "terbendung mayat". Pada akhir
1965, antara 500.000 dan satu juta anggota-anggota dan pendukung-pendukung PKI
telah menjadi korban pembunuhan dan ratusan ribu lainnya dipenjarakan di kamp-
kamp konsentrasi, tanpa adanya perlawanan sama sekali. Sewaktu regu-regu militer
yang didukung dana CIA menangkapi semua anggota dan pendukung PKI yang
terketahui dan melakukan pembantaian keji.
Dalam situasi yang tidak menentu pimpinan angkatan darat diambil alih oleh
Panglima Kostrad Mayor Jendral Soeharto. Ia melakukan konsolidasi pasukan TNI
yang masih setia kepada pemerintahan. Dengan kekuatan ini, Mayor Jendral
Soeharto melakukan serangkaian operasi penumpasan G30S/PKI. Setelah merebut
kembali stasiun telekomunikasi RRI, Mayor Jendral Soeharrto menjelaskan melalui
siaran radio bahwa telah terjadi penghianatan yang dilakukan Gerakan 30
September/PKI. Mereka telah menculik beberapa perwira TNI AD. Lebih lanjut
Mayjen soeharto menyampaikan bahwa Presiden Soekarno dan Jendral A. H.
Nasution dalam keadaan sehat dan situasi Jakarta telah dikendalikan.
Langkah selanjutnya adalah merebut Bandara Halim Perdana Kusuma yang diduga
sebagai pusat Gerakan 30 September/PKI. Dalam waktu singkat tempat ini dapat
dikuasai pasukan RPKAD

Dari bukti-bukti yang telah dikumpulkan ABRI dan masyarakat menyimpulkan


bahwa dibalik Gerakan 30 September/PKI ini telibat PKI. Maka dimulailah operasi
pengejaran terhadap anggota PKI ini.

a. Pada tanggal 1 Oktober 1965, beberapa tempat penting seperti RRI dan
Telkom telah dapat diambil alih oleh pasukan RPKAD tanpa pertumpahan
darah.

b. Pada hari yang sama, Mayjen Soeharto mengumumkan beberapa hal penting
berikut melalui RRI.

1) Penumpasan G 30 S/PKI oleh angkatan militer.

20
2) Dewan Revolusi Indonesia telah demisioner.

3) Menganjurkan kepada rakyat agar tetap tenang dan waspada.

c. Pada tanggal 2 Oktober 1965 pasukan RPKAD berhasil menguasai kembali


Bandara Halim Perdanakusuma.

d. Pada tanggal 3 Oktober 1965, atas petunjuk anggota polisi yang bernama
Sukitman berhasil ditemukan sumur tua yang digunakan untuk menguburkan
jenazah para perwira AD. Pada tanggal 5 Oktober 1965, jenazah para Jenderal
AD dimakamkan dan mendapat penghargaan sebagai Pahlawan Revolusi.

Untuk menumpas G 30 S/PKI di Jawa Tengah, diadakan operasi militer yang


dipimpin oleh Pangdam VII, Brigadir Suryo Sumpeno. Penumpasan di Jawa Tengah
memakan waktu yang lama karena daerah ini merupakan basis PKI yang cukup kuat
dan sulit mengidentifikasi antara lawan dan kawan. Untuk mengikis sisa-sisa G 30
S/PKI di beberapa daerah dilakukan operasi-operasi militer berikut.

a. Operasi Merapi di Jawa Tengah oleh RPKAD di bawah pimpinan Kolonel


Sarwo Edhie Wibowo.

b. Operasi Trisula di Blitar Selatan dipimpin Kolonel Muh. Yasin dan Kolonel
Wetermin.

Akhirnya dengan berbagai operasi militer, pimpinan PKI D.N Aidit dapat
ditembak mati di Boyolali dan Letkol Untung Sutopo ditangkap di Tegal.

C. Dampak pasca peristiwa G30S PKI

Situasi politik semakin memanas bahkan mencekam karena tuntutan kepada


pemerintah untuk membubarkan PKI belum terpenuhi. Keadaan ekonomi memburuk,
rakyat mulai sulit mendapatkan kebutuhan pokok.

13 Januari 1966 harga bahan bakar minyak naik mengakibatkan kenaikan harga
barang dan jasa di segala bidang naik.

Kemudian terjadi devaluasi uang (1000) lama menjadi (1) baru.

Berikut ini dampak sosial politik dari G 30 S/PKI:

21
a. Secara politik telah lahir peta kekuatan politik baru yaitu tentara AD.

b. Sampai bulan Desember 1965 PKI telah hancur sebagai kekuatan politik di
Indonesia.

c. Kekuasaan dan pamor politik Presiden Soekarno memudar.

d. Secara sosial telah terjadi penangkapan dan pembunuhan terhadap orang-


orang PKI atau”dianggap PKI”, yang tidak semuanya melalui proses
pengadilan dengan jumlah yang relatif banyak

D. Peringatan
Sesudah kejadian tersebut, 30 September diperingati sebagai Hari Peringatan
Gerakan 30 September. Hari berikutnya, 1 Oktober, ditetapkan sebagai Hari
Kesaktian Pancasila. Pada masa pemerintahan Soeharto, biasanya sebuah film
mengenai kejadian tersebut juga ditayangkan di seluruh stasiun televisi di Indonesia
setiap tahun pada tanggal 30 September. Selain itu pada masa Soeharto biasanya
dilakukan upacara bendera di Monumen Pancasila Sakti di Lubang Buaya dan
dilanjutkan dengan tabur bunga di makam para pahlawan revolusi di TMP Kalibata.
Namun sejak era Reformasi bergulir, film itu sudah tidak ditayangkan lagi dan hanya
tradisi tabur bunga yang dilanjutkan.
Pada 29 September - 4 Oktober 2006, diadakan rangkaian acara peringatan
untuk mengenang peristiwa pembunuhan terhadap ratusan ribu hingga jutaan jiwa di
berbagai pelosok Indonesia. Acara yang bertajuk "Pekan Seni Budaya dalam rangka
memperingati 40 tahun tragedi kemanusiaan 1965" ini berlangsung di Fakultas Ilmu
Budaya Universitas Indonesia, Depok. Selain civitas academica Universitas
Indonesia, acara itu juga dihadiri para korban tragedi kemanusiaan 1965, antara lain
Setiadi, Murad Aidit, Haryo Sasongko dan Putmainah.
E. Normalisasi Anti-Komunis
Pasca kemunculan G30S/PKI pada awal tahun 1966 yang juga ditandai
oleh pengalihan jabatan dari Soekarno ke Suharto menjadi saat- saat kelabu bagi
rakyat Indonesia, khususnya bagi orang-orang yang dituduh memiliki hubungan
dengan PKI. Rakyat Indonesia dan militer bersama-sama dibawah kendali
Suharto melakukan berbagai upaya pemusnahan PKI. Dari berbagai upaya yang
dilakukan, ditemukan keseragaman, yakni memosisikan PKI sebagai ‘kambing

22
hitam’ dari kekacauan politik di Indonesia yang berujung pada kematian ke 7
pejabat TNI-AD di Lubang Buaya.
Dari semua upaya tersebut, tidak terlihat satupun yang mencoba
mengungkit peristiwa berdarah, yakni pembantaian massal pasca G30S/PKI oleh
militer, dan seolah-olah dihapus- kan. Ini menunjukkan bahwa upaya tersebut
diatas bukanlah bagian untuk mengekspos peran militer dalam pembantaian
massal, melainkan untuk mendobrak wacana anti-komunis, sehingga kekerasan
dan diskriminasi terhadap simpatisan PKI dan mereka yang dituduh komunis
bisa diterima publik sebagai hal yang normal dan alamiah (Herlambang
2013:130).
Kekuasaan merupakan sesuatu yang produktif dan bekerja dengan apa
yang disebut- nya sebagai normalisasi (Foucault 1984:4). Kekuasaan yang
bersifat produktif adalah me- moduksi sesuatu, seperti pengetahuan, realitas, dan
juga klaim kebenaran. Dalam sebuah masyarakat, menurut Foucault, tatanan
ditegak- kan melalui apparatus berupa strategi, teknik, dan wacana-wacana
pendisiplinan, sehingga masyarakat dalam suatu negara tidak lagi merasa sedang
berada dalam jejaring kekuasaan. Pendisiplinan berupa wacana-wacana memang
diselenggarakan negara terhadap rakyat dalam setiap rezim untuk mengendalikan
warganya (Foucault 1979:13). Dalam konteks screening yang diberlakukan oleh
TNI pada penerimaan anggota baru merupakan upaya pendisiplinan yang
menjadikan dan melegitimasi wacana anti- komunis yang ‘dinormalisasikan’.
Sampai pada saat wacana anti-komunis telah terbentuk dengan kokoh dan kuat
kemudian digunakan untuk menghilangkan sisi kritis publik agar mudah di
kelola dan dikendalikan karena adanya keseragaman pemahaman, sehingga
rakyat yang sebenarnya sedang dikuasai oleh wacana- wacana pendisiplinan
merasa seolah ‘tidak dikuasai’. Dengan kata lain, pendisiplinan yang
melegitimasi wacana anti-komunis oleh negara melalui TNI merupakan upaya
untuk meng- hilangkan ‘kesadaran masyarakat’

23
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Peristiwa pemberontakan yang dilakukan PKI atau yang lebih dikenal
dengan peristiwa G 30S/PKI, adalah salah satu kontroversi dalam perjalanan
bangsa Indonesia . Peristiwa tersebut menimbulkan korban yang sangat
banyak dari kalangan rakyat biasa yang belum tentu anggota PKI dan hanya 6
korban dari ABRI, Tidak masuk akal. Dengan alasan Kudeta 2 samapai 3 juta
rakyat sipil tewas ditangan militer dan pesuruhanya, dan beralasan takut
dengan idiologi Komunis yang harus tunduk kepada pemimpin, tapi bisa di
ketahu pemerintah Orde baru yang cenderung Neo-Kapitalis yang juga
memusatkan kepemimpinan yang tidak jauh beda dengan Komunis. Memang
ideologi tidak berubah tapi cara Penumpasan PKI mungkin lebih buruk dari
yang di sebut Komunis. Dengan tampa membela satu pihakpun, saya dengan
alasan kemanusiaan beranggapan apa yang disebut Penumpasan PKI itu
bukan cara yang benar, 3 juta Rakyat tidak pantas mati demi Politik.
B. Saran

Peristiwa G30S/PKI dipandang oleh TNI- AD sebagai suatu peristiwa yang


menginjak- injak harga diri dan merusak citra bangsa, khususnya TNI-AD
sebagai satuan keamanan negara. Memori kolektif yang tertanam dalam tubuh
TNI-AD adalah bahwa peristiwa G30S/ PKI merupakan bentuk-bentuk
perlawanan komunis terhadap negara. Hal tersebut terus digaungkan
kemasyarakat dari generasi ke generasi, Memori kolektif ini menjadi dasar
untuk mengonstruksi citra PKI sebagai oposisi negara. Akibat dari memori
kolektif yang ter- bentuk, baik di tingkat prajurit TNI-AD, maupun pada
masyarakat sipil, upaya pember- sihan dan pemberantasan terhadap simpatisan
PKI oleh Militer seolah-olah dibenarkan oleh rakyat Indonesia untuk
menghilangkan jejak PKI dan komunis sebagai musuh negara dan mengancam
kedaulatan dan ideologi negara.

Upaya pemerintah untuk menumpas PKI dilakukan melalui berbagai


strategi, teknik dan wacana-wacana pendisiplinan dan penyera- gaman

24
pemahaman (dalam bentuk pemba- ngunan Monumen Pancasila Sakti,
penuntasan PKI pasca G30S/PKI, dalam pendidikan TNI mulai dari perekrutan
TNI hingga doktrin- doktrin dalam proses pendidikan TNI). Berbagai upaya
ini dilakukan untuk menyatukan pema- haman dan menormalisasikan wacana
anti- komunis di Indonesia.

25

Anda mungkin juga menyukai