Anda di halaman 1dari 30

1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Kecacingan merupakan masalah kesehatan yang tersebar luas didaerah tropis dan
subtropis. Berdasarkan data dari World Health Organization (WHO) pada tahun 2012 lebih
dari 1,5 miliar orang atau 24% dari populasi dunia terinfeksi Soil Transmitted Helminths
(STH). Di Indonesia sendiri prevalensi kecacingan tahun 2012 menunjukkan angka diatas
20% dengan prevalensi tertinggi mencapai 76,67%, infeksi kecacingan ini mengalami
penurunan dimana pada tahun 2011 dilakukan survei di berbagai Provinsi. Diperkirakan lebih
dari 60% anak sekolah dasar di Indonesia menderita suatu infeksi cacing, rendahnya mutu
sanitasi menjadi penyebabnya (Sutanto,dkk, 2008).
Infeksi kecacingan yang disebabkan oleh Soil Transmitted Helminths (STH) merupakan
masalah kesehatan masyarakat Indonesia. Infeksi kecacingan tergolong penyakit necleted
disease yaitu infeksi yang kurang diperhatikan dan penyakitnya bersifat kronis tanpa
menimbulkan gejala klinis yang jelas dan dampak yang ditimbulkannya baru terlihat dalam
jangka panjang seperti kekurangan gizi, gangguan tumbuh kembang dan gangguan
kognitif pada anak. Penyebabnya adalah Ascaris lumbricoides, Ancylostoma duodenale,
Necator americanus, Trichuris trichiura dan Strongyloides stercoralis. Selain itu infeksi
kecacingan dapat meningkatkan kerentanan terhadap penyakit penting lainnya seperti
malaria, TBC, diare dan anemia (Supali, 2008). Penyakit kecacingan atau biasa disebut
cacingan masih dianggap sebagai hal sepele oleh sebagian besar masyarakat Indonesia.
Padahal jika dilihat dampak jangka panjangnya, kecacingan menimbulkan kerugian yang
cukup besar bagi penderita dan keluarganya. Kecacingan dapat menyebabkan anemia, lesu
dan prestasi belajar menurun.
Pengetahuan merupakan salah satu aspek yang mempengaruhi perilaku. Menurut
penelitian yang dilakukan oleh Mardiana (2007), menyatakan bahwa kebersihan perorangan
dan sanitasi lingkungan juga sangat berperan dalam penularan kecacingan. Infeksi cacing pada
manusia dipengaruhi oleh perilaku, lingkungan tempat tinggal, dan manipulasi terhadap
lingkungan, misalnya tidak tersedianya air bersih dan tempat pembuangan tinja yang
memenuhi syarat kesehatan.
2

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Wantini (2011), bertempat di SD


Negeri II Keteguhan Teluk betung Barat diperoleh hasil berupa prevalensi
kecacingan sebesar 47,4% selain itu dari uji pendahuluan yang dilakukan pada tanggal 15
oktober 2014 didapatkan data bahwa sebagian dari anak Sekolah Dasar ini masih
memiliki kebiasaan buang air besar (BAB) di sungai. Maka dari penelitian ini perlu
dilakukan promosi kesehatan guna meningkatkan pengetahuan siswa mengenai
penyakit kecacingan. Tingginya infeksi cacing disebabkan oleh beberapa faktor seperti
rendahnya tingkat sanitasi pribadi (perilaku hidup bersih sehat) seperti kebiasaan cuci
tangan sebelum makan dan setelah buang air besar (BAB), kebersihan kuku, perilaku
jajan di sembarang tempat yang kebersihannya tidak dapat dikontrol, perilaku BAB
tidak di WC yang menyebabkan pencemaran tanah dan lingkungan oleh feses
yang mengandung telur cacing serta ketersediaan sumber air bersih.
Dampak infeksi kecacingan ini banyak dilaporkan oleh peneliti, beberapa yang
dilaporkan yakni anak usia sekolah merupakan golongan yang paling sering terinfeksi cacing
karena sering berhubungan dengan tanah. Salah satu dampak yang dapat ditimbulkan dari
infeksi ini yaitu menurunnya status gizi. Dampak dari kecacingan ini dapat memperburuk
kesehatan masyarakat terutama siswa sekolah yang merupakan sumber daya manusia
dikemudian hari. Mengingat kerugian yang ditimbulkan dari infeksi kecacingan, maka
perlu dilakukan promosi kesehatan tentang infeksi cacing usus Soil Transmitted
Helminth (STH) dalam upaya pencegahan infeksi kecacingan.

1.2. Rumusan Masalah


Apakah ada pengaruh promosi kesehatan terhadap pengetahuan tentang kecacingan
pada siswa-siswi kelas 5 SD Inpres Sinde Kabor Kabupten Sikka?

1.3. Tujuan
1. Tujuan Umum
Mengetahui gambaran pengaruh promosi kesehatan terhadap pengetahuan tentang
kecacingan pada siswa-siswi kelas 5 SD Inpres Sinde Kabor Kabupten Sikka.
2. Tujuan Khusus
- Meningkatnya pengetahuan tentang pengertian penyakit kecacingan
- Meningkatkan pengetahuan tentang penyebab penyakit kecacingan
3

- Meningkatkan pengetahuan tentang faktor yang menyebabkan penyakit kecacingan


- Meningkatkan pengetahuan tentang gejala-gejala penyakit kecacingan
- Meningkatkan pengetahuan tentang pencegahan penyakit kecacingan

1.4. Manfaat
1. Manfaat bagi peserta
Menambah wawasan dan pengetahuan siswa-siswi tentang penyakit kecacingan
2. Manfaat bagi penyelenggara
- Menyelesaikan tugas mini project sebagai tugas dokter internsip
- Berbagi pengetahuan dan mengasah pengetahuan lebih tajam khususnya mengenai penyakit
kecacingan
3. Bagi Instansi Kesehatan
- Mengetahui tingkat pengetahuan masyarakat tentang kecacingan sehingga dapat dilakukan
berbagai upaya pencegahan dan pengobatan kecacingan terutama pada kelompok-
kelompok berisiko tinggi.
4

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Infeksi Kecacingan


Kecacingan merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh parasit berupa
cacing. Cacing umumnya tidak menyebabkan penyakit berat sehingga sering kali
diabaikan walaupun sesungguhnya memberikan gangguan kesehatan. Tetapi dalam
keadaan infeksi berat atau keadaan yang luar biasa, kecacingan cenderung memberikan
analisa keliru ke arah penyakit lain dan tidak jarang dapat berakibat fatal (Ismid et al, 2008).
Definisi infeksi kecacingan menurut WHO (2011) adalah sebagai infestasi satu atau
lebih cacing parasit usus yang terdiri dari golongan nematoda usus. Diantara nematoda
usus ada sejumlah spesies yang penularannya melalui tanah atau biasa disebut dengan
cacing jenis STH (soil transmitted helminths), yaitu cacing gelang (Ascaris
lumbricoides), cacing tambang (Ancylostoma duodenale dan Necator americanus), dan
cacing cambuk (Trichuris trichiura) (Gandahusada, 2006).
Kecacingan ini umumnya ditemukan di daerah tropis dan subtropis dan beriklim
basah dimana hygiene dan sanitasinya buruk. Penyakit ini merupakan penyakit infeksi
paling umum menyerang kelompok masyarakat ekonomi lemah dan ditemukan pada berbagai
golongan usia (WHO, 2011).
2.1.1. Cacing Gelang (Ascaris lumbricoides)
Diseluruh dunia infeksi cacing ini diderita oleh lebih dari 1 miliar orang dengan
angka kematian sekitar 20 ribu jiwa. Askariasis terutama diderita oleh anak-anak
dibawah umur 10 tahun. Askariasis endemik di banyak negara di Asia Tenggara, Afrika
Tengah dan Ameriska Selatan (Soedarto, 2009).
a. Morfologi
Berbentuk gilig (silindris) memanjang, berwarna krem/merah muda
keputihan dan panjangnya dapat mencapai 40 cm. Ukuran cacing betina 20-35 cm,
diameter 3-6 mm dan cacing jantan 15-31 cm dan diameter 2-4 mm. Mulut terdapat
tiga tonjolan bibir berbentuk segitiga (satu tonjolan di bagian dorsal dan dua lainnya di
ventrolateral) dan bagian tengahnya terdapat rongga mulut (buccal cavity) (Ideham B dan
Pusarawati S, 2007).
5

Cacing jantan, ujung posterior tajam agak melengkung ke ventral seperti kait,
mempunyai 2 buah copulatory spicule panjangnya 2 mm yang muncul dari orifisium
kloaka dan di sekitar anus terdapat sejumlah papillae. Cacing betina, ujung posterior
tidak melengkung ke arah ventral tetapi lurus. Jangka hidup (life span) cacing dewasa 10 -
12 bulan (Ideham B dan Pusarawati S, 2007).
b. Siklus Hidup
Telur cacing yang telah dibuahi yang keluar bersama tinja penderita, dalam
tanah yang lembap dan suhu yang optimal akan berkembang menjadi telur infektif, yang
mengandung larva cacing. Infeksi terjadi dengan masuknya telur cacing yang
infektif ke dalam mulut melalui makanan atau minuman yang tercemar tanah yang
mengandung tinja penderita askariasis (Soedarto, 2008).
Bentuk infektif ini akan menetas menjadi larva di usus halus, larva tersebut
menembus dinding usus menuju pembuluh darah atau saluran limfa dan dialirkan ke
jantung lalu mengikuti aliran darah ke paru-paru menembus dinding pembuluh darah, lalu
melalui dinding alveolus masuk rongga alveolus, kemudian naik ke trachea melalui
bronchiolus dan broncus. Dari trachea larva menuju ke faring, sehingga
menimbulkan rangsangan batuk, kemudian tertelan masuk ke dalam esofagus lalu
menuju ke usus halus, tumbuh menjadi cacing dewasa. Seekor cacing betina mulai
mampu bertelur, yang jumlah produksi telurnya dapat mencapai 200.000 butir perhari
(Soedarto, 2008).
c. Patologi dan Gejala Klinis
Gejala yang timbul pada penderita dapat disebabkan oleh cacing dewasa dan larva.
Gangguan karena cacing dewasa biasanya ringan, kadang-kadang penderita mengalami
gangguan usus ringan, seperti mual, nafsu makan berkurang, diare atau konstipasi.
Sedangkan gangguan karena larva biasanya terjadi pada saat berada di paru. Pada
orang yang rentan terjadi perdarahan kecil di dinding alveolus dan timbul gangguan
seperti batuk dan eosinofilia. Pada foto thoraks tampak infiltrat yang menghilang
dalam waktu 3 minggu. Keadaan tersebut disebut “Sindrom Loeffler” (Utama, 2009).
Patogenesis A.lumbricoides berhubungan dengan respon imun hospes, efek migrasi
larva, efek mekanis cacing dewasa, dan defisiensi gizi. Larva yang mengalami siklus
dalam jumlah besar akan menyebabkan pneuminitis. Apabila larva menembus
6

jaringan masuk alveoli, larva mampu merusak epitel bronkus (Muslim, 2009). Jumlah
cacing mempengaruhi timbulnya gejala. Adapun berbagai macam gejala yang muncul,
seperti :
- Gejala infeksi cacing yang masih ringan : ditemukannya cacing dalam tinja, batuk
mengeluarkan cacing, nafsu makan berkurang, demam, bunyi mengi saat bernafas
(Wheezing).
- Gejala Infeksi berat : muntah, nafas pendek, perut buncit, usus tersumbat, saluran
empedu tersumbat (Zulkoni, 2010).
d. Diagnosis
Diagonsis dapat ditegakkan dengan mengidentifikasi adanya telur
padafeses dan kadang dapat dijumpai cacing dewasa keluar bersama
feses,muntahan ataupun melalui pemeriksaan radiologi dengan kontras
barium(Soedarmo, 2010).
e. Pencegahan
Melaksanakan prinsip-prinsip kesehatan lingkungan yang baik, misalnya
membuat kakus yang baik untuk menghindari pencemaran tanah dengan tinja
penderita, mencegah masuknya telur cacing yang mencemari makanan atau minuman
dengan selalu memasak makan dan minuman sebelum dimakan atau diminum, serta
menjaga kebersihan perorangan.
Mengobati penderita serta pengobatan massal dengan obat cacing di daerah
endemik dapat memutuskan rantai siklus hidup cacing ini. Pendidikan kesehatan
pada penduduk perlu dilakukan untuk menunjang upaya pencegahan penyebaran dan
pemberantasan askariasis (Soedarto, 2008).

2.1.2. Cacing Tambang ( Ancylostoma duodenale dan Necator americanus)


Ancylostomaduodenale dan Necatoramericanus masih merupakan penyebab
masalah kesehatan masyarakat di Indonesia terutama di daerah subtropik dan tropik. Di
Indonesia angka prevalensi cacing ini masih cukup tinggi seperti yang dilaporkan oleh
Departemen Kesehatan dan beberapa peneliti. Tingginya angka prevalensi ini erat
hubungannya dengan beberapa faktor, yaitu karena Indonesia terletak di daerah iklim tropik
dimana hal ini merupakan tempat yang ideal bagi perkembangan telur cacing, kebiasaan
7

hidup yang kurang sehat seperti kebiasaan buang air besar disembarang tempat dan tanpa
alas kaki, dan juga karena faktor sosial ekonomi (Rampengan, 1997).
a. Morfologi
Cacing dewasa hidup di dalam usus halus manusia, cacing melekat pada mukosa
usus dengan bagian mulutnya yang berkembang dengan baik. Cacing ini berbentuk
silindris dan berwarna putih keabuan. Cacingdewasa jantan berukuran 8 sampai 11 mm
sedangkan betina berukuran10 sampai 13 mm. Cacing N.americanus betina
dapat bertelur ±9000butir/hari sedangkan cacing A.duodenale betina dapat bertelur
±10.000butir/hari. Bentuk badan N.americanus biasanya menyerupai huruf Ssedangkan
A.duodenale menyerupai huruf C. Rongga mulut kedua jeniscacing ini besar.
N.americanus mempunyai benda kitin, sedangkan padaA.duodenale terdapat dua pasang
gigi ( Safar, 2010).
Telur cacing tambang sulit dibedakan, karena itu apabila ditemukan dalam tinja
disebut sebagai telur hookworm atau telur cacing tambang. Telur cacing tambang
besarnya ±60 x 40 mikron, berbentuk oval, dinding tipis dan rata, warna putih. Di dalam
telur terdapat 4-8 sel. Dalam waktu 1-1,5 hari setelah dikeluarkan melalui tinja maka
keluarlah larva rhabditiform. Larva pada stadium rhabditiform dari cacing tambang sulit
dibedakan. Panjangnya 250 mikron, ekor runcing dan mulut terbuka. Larva pada
stadium filariform (Infective larvae) panjangnya 600- 700 mikron, mulut tertutup ekor
runcing dan panjang oesophagus 1/3 dari panjang badan (Ismid et al, 2008).
b. Siklus Hidup
Manusia merupakan satu-satunya hospes untuk Ancylostoma duodenale maupun
Necator americanus. Cacing dewasa habitatnya di daerah jejenum dan duodenum. Telur
yang dihasilkan oleh cacing keluar bersama tinja ke lingkungan luar, dan bila kondisi
lingkungan optimal (lembap, hangat, teduh) larva menetas dalam 1-2 hari. Larva
rhabditiform berkembang di dalam tinja dan atau tanah, dan setelah 5-10 hari larva
selanjutnya menjadi larva filarifom (Ideham B dan Pusarawati S, 2007).
Infeksi pada manusia didapat melalui penetrasi larva filariform yang terdapat
di tanah ke dalam kulit. Setelah masuk ke dalam kulit, pertama-tama larva di bawa
aliran darah vena ke jantung bagian kanan dan kemudian ke paru- paru. Larva menembus
alveoli, bermigrasi melalui bronki ke trakea dan faring, kemudian tertelan sampai ke
8

usus kecil dan hidup di sana. Mereka melekat di mukosa, mempergunakan struktur
mulut sementara, sebelum struktur mulut permanen yang khas terbentuk. Bentuk
betina mulai mengeluarkan telur kira-kira 5 (lima) bulan setelah permulaan infeksi,
meskipun periode prepaten dapat berlangsung dari 6-10 bulan. Apabila larva
filariform Ancylostoma duodenale tertelan, mereka dapat berkembang menjadi cacing
dewasa dalam usus tanpa melalui siklus paru-paru (Gandahusada, 2003).
c. Patologi dan Gejala Klinis
Gejala-gejala awal setelah penetrasi larva ke kulit seringkali tergantung
darijumlah larva. Dapat timbul rasa gatal yang minimal sampai berat dengan
kemungkinan infeksi sekunder apabila lesi menjadi vesicular dan terbuka karena garukan.
Berkembangnya vesikel dari ruam papula eritematosa disebut sebagai ”ground itch”.
Pneumonitis yang disebabkan karena migrasi larva tergantung daripada jumlah larva
yang ada. Gejala-gejala infeksi pada fase usus disebabkan oleh nekrosis jaringan usus yang
berada dalam mulut cacing dewasa dan kehilangan darah langsung dihisap oleh cacing
dan terjadinya perdarahan terus-menerus di tempat asal perlekatannya, yang kemungkinan
diakibatkan oleh sekresi antikoagulan oleh cacing (Gandahusada, 2006).
Pada infeksi akut dengan banyak cacing, dapat disertai kelemahan, nausea, muntah,
sakit perut, diare dengan tinja hitam atau merah (tergantung jumlah darah yang keluar), lesu
dan pucat. Seperti pada infeksi parasit lainnya, jumlah cacing yang banyak pada anak-anak
dapat menimbulkan gejala sisa serius dan kematian. Pada infeksi kronik, gejala utamanya
adalah anemia defisiensi besi dengan tanda pucat, edema muka dan kaki, lesu dan kadar
hemoglobin ≤ 5g/dL. Dapat dijumpai kardiomegali, serta retardasi mental dan fisik
(Gandahusada, 2003).
d. Diagnosis
Pemeriksaan mikroskopis terhadap tinja dilakukan untuk menemukan telur cacing.
Pemeriksaan darah menunjukkan gambaran Hemoglobin menurun, pada wanita < 11,5 g/dl
dan pada pria < 13,5 g/dl. Diagnosis banding untuk infeksi cacing tambang adalah
penyakit Tuberkulosis, anemia dan penyebab gangguan perut lainnya (Soedarto, 2008).
e. Pencegahan
Pencegahan dapat dilakukan dengan memutus rantai lingkaran hidup cacing
sehingga dapat mencegah perkembangannya menjadi larva infektif,
9

mengobati penderita, memperbaiki cara dan sarana pembuangan feses dan memakai alas
kaki (Soedarmo, 2010).

2.1.3. Cacing Cambuk (Trichuris trichiura)


Infeksi cacing ini lebih sering terjadi di daerah panas, lembab dan sering terlihat
bersama-sama dengan infeksi Ascaris. Jumlah cacing dapat bervariasi, apabila jumlah-
jumlahnya sedikit, pasien biasanya tidak terpengaruh dengan adanya cacing ini (Garcia,
1996). Karena bentuknya mirip cambuk, cacing ini sering disebut cacing cambuk (whip
worm). Nama penyakit yang disebabkan oleh cacing ini adalah Trichuriasis (Soedarto, 2008).
a. Morfologi
Manusia adalah hospes utama cacing Trichuris trichiura. Cacing dewasa
berbentuk cambuk dengan 2/5 bagian posterior tubuhnya tebal dan 3/5 bagian
anterior lebih kecil. Cacing jantan memiliki ukuran lebih pendek (3-4cm) daripada betina
dengan ujung posterior yang melengkung ke ventral. Cacing betina memiliki
ukuran 4-5 cm dengan ujung posterior yang membulat. Memiliki bentuk oesophagus yang
khas (Schistosomaoesophagus). Telur berukuran 30-54 x 23 mikron dengan bentukan
yang khas lonjong seperti tong (barrel shape) dengan dua mucoid plug pada kedua
ujung yang berwarna transparan (Prianto et al., 2006).
Cara infeksi adalah telur yang berisi embrio tertelan manusia, larva aktif akan
keluar di usus halus masuk ke usus besar dan menjadi dewasa dan menetap. Telur yang
infektif akan menjadi larva di usus halus pada manusia. Larva menembus dinding
usus halus menuju pembuluh darah atau saluran limpa kemudian terbawa oleh
darah sampai ke jantung menuju paru-paru (Onggowaluyo, 2002).
b. Siklus Hidup Cacing Cambuk (Trichuris trichiura)
Cacing betina setiap harinya menghasilkan telur 3.000 – 10.000 butir telur yang
dibuahi dikeluarkan dari hospes bersama tinja. Telur menjadi matang dalam waktu 3-6
minggu dalam lingkungan yang sesuai. Telur matang adalah telur yang berisi larva yang
merupakan infektif. Cara infeksi langsung yaitu bisa secara kebetulan hospes menelan
telur matang. Larva keluar melalui dinding telur dan masuk ke dalam usus halus. Sesudah
menjadi dewasa, cacing turun ke usus bagian distal dan masuk ke dalam colon, terutama
sekum, jadi tidak ada siklus paru. Cacing ini dapat hidup beberapa tahun di usus besar
10

hospes (Gandahusada, 2003). Masa pertumbuhan, mulai dari telur yang tertelan sampai
menjadi cacing dewasa yang meletakkan telur ialah kira-kira 30 sampai 90 hari.
Hidupnya mungkin selama beberapa tahun (Brown, 1983).
c. Patologi dan Gejala Klinis
Trichuris trichiura menyebabkan dua proses reaksi pada tubuh, yaitu traumatik
pada tempat perlekatan cacing pada mukosa usus dan sekum dan juga reaksi alergi. Jika
hanya sedikit cacing yang menjadi dewasa kerusakan ringan, tetapi bila banyak dapat
menutup lumen apendiks dan kolon asenden (Ideham B dan Pusarawati S, 2007).
Reaksi alergi juga tergantung dari jumlah cacing. Pada infeksi berat dapat
menyebabkan kolitis, proktitis dan anemia sekunder. Anemia disebabkan kehilangan
darah secara kronis dan desentri yang lama. Gejala umum trikuriasis, rasa sakit pada daerah
epigastrik, abdominal dan lumbal, mual, konstipasi, distensi abdominal dan flatulen. Prolapsus
rekti dapat terjadi pada infeksi berat (Ideham B dan Pusarawati S, 2007).
d. Diagnosis
Pada infeks ringan dengan beberapa ekor cacing, tidak tampak gejala atau keluhan
penderita. Tetapi pada infeksi yang berat, penderita akan mengalami gejala dan keluhan
berupa anemia berat, diare berdarah, nyeri perut, mual dan muntah dan berat badan
menurun (Soedarto, 2008).
Pemeriksaan darah pada infeksi yang berat, Hemoglobin dapat berada dibawah
3 g % dan menunjukkan gambaran eosinofilia (eosinofil > 3 %). Pada pemeriksaan
tinja dapat ditemukan tellur cacing yang khas bentuknya. Pada infeksi berat melalui
pemeriksaan proktoskopi dapat dilihat adanya cacing-cacing dewasa pada kolon atau rektum
penderita (Soedarto, 2008).
e. Pencegahan
Pencegahan dilakukan dengan memperbaiki cara dan sarana pembuanganfeses,
mencegah kontaminasi tangan dan juga makanan dengan tanahyaitu dengan cara
cuci bersih tangan sebelum makan dan sesudah makan,mencuci sayur-sayuran dan
buah-buahan yang ingin dimakan,menghindari pemakaian feses sebagai pupuk dan mengobati
penderita(Soedarmo, 2010).
11

2.1.4. Upaya Pengendalian dan Pemberantasan Infeksi Kecacingan


Adapun yang menjadi upaya pengendalian dan pemberantasan Infeksi kecacingan
adalah memutuskan daur hidup dengan cara :
a. Defekasi jamban, menjaga kebersihan, cukup air bersih di jamban, untuk mandi dan
cuci tangan secara teratur, penyuluhan kepada masyarakat mengenai sanitasi
lingkungan yang baik dan cara menghindari infeksi cacing, dan memberikan
pengobatan massal dengan obat antelmintik yang efektif, terutama pada golongan rawan
(Utama, 2009)
b. Kebersihan perorangan terutama tidak kontak dengan tinja, tidak BAB di tanah,
menggunakan sarung tangan apabila hendak berkebun, mengkonsumsi makanan dan
minuman yang dimasak, pendidikan kesehatan, dan sanitasi lingkungan (Ideham B dan
Pusarawati S, 2008).
c. Mengendalikan ketentuan-ketentuan sanitasi jamban dan pembuangan tinja, menggunakan
pelindung alas kaki, mencuci sayuran yang kemungkinan terkontaminasi larva,
menghindari sayuran lalapan seperti salad, tidak menggunakan tinja sebagai
pupuk, dan perbaikan kondisi sanitasi lingkungan yang buruk (Zaman Viqar, 2008)
Penyuluhan kepada masyarakat penting sekali dan dititikberatkan pada perubahan
kebiasaan dan mengembangkan sanitasi lingkungan yang baik dimana pada pengobatan
massal sulit dilaksanakan mekipun ada obat yang ampuh karena harus di lakukan 3−4 kali
setahun dan harga obat tidak terjangkau. Dengan demikian keadaan endemi dapat
dikurangi sampai angka kesakitan (morbiditas) yang tinggi diturunkan (Utama, 2009).

2.2.Promosi Kesehatan
Promosi kesehatan adalah upaya mempengaruhi masyarakat agar menghentikan perilaku
beresiko tinggi dan menggantikannya dengan perilaku yang aman atau paling tidak beresiko
rendah. Umumnya ada empat faktor yang dapat mempengaruhi masyarakat agar merubah
perilakunya, yaitu:
a. Fasilitasi, yaitu bila perilaku yang baru membuat hidup masyarakat yang melakukannya
menjadi lebih mudah, misalnya adanya sumber air bersih yang lebih dekat;
b. Pengertian yaitu bila perilaku yang baru masuk akal bagi masyarakat dalam konteks
pengetahuan lokal;
12

c. Persetujuan, yaitu bila tokoh panutan (seperti tokoh agama dan tokoh agama) setempat
menyetujui dan mempraktekkan perilaku yang di anjurkan;
d. Kesanggupan untuk mengadakan perubahan secara fisik misalnya kemampuan untuk
membangun jamban dengan teknologi murah namun tepat guna sesuai dengan potensi yang di
miliki.
Program promosi menekankan aspek ”bersama masyarakat”. Maksudnya adalah bersama
dengan masyarakat fasilitator mempelajari aspek-aspek penting dalam kehidupan masyarakat
untuk memahami apa yang mereka kerjakan, perlukan dan inginkan, bersama dengan masyarakat
fasilitator menyediakan alternatif yang menarik untuk perilaku yang beresiko misalnya jamban
keluarga sehingga buang air besar dapat di lakukan dengan aman dan nyaman serta bersama
denganmasyarakat petugas merencanakan program promosi kesehatan dan memantau
dampaknya secara terus-menerus (Depkes RI, 2006).
2.2.1. Metode Promosi Kesehatan
Metode Promosi Kesehatan dapat digolongkan berdasarkan Teknik Komunikasi, Sasaran
yang dicapai dan Indera penerima dari sasaran promosi. Jenis Metode Promosi Kesehatan yakni;
a. Berdasarkan Teknik Komunikasi
- Metode penyuluhan langsung
Dalam hal ini para penyuluh langsung berhadapan atau bertatap muka dengan sasaran.
Termasuk di sini antara lain, kunjungan rumah, pertemuan diskusi, pertemuan di balai
desa, pertemuan di Posyandu, dan lain-lain.
- Metode yang tidak langsung
Dalam hal ini para penyuluh tidak langsung berhadapan secara tatap muka dengan
sasaran, tetapi ia menyampaikan pesannya dengan perantara (media). Umpamanya
publikasi dalam bentuk media cetak, melalui pertunjukan film, dan sebagainya.
b. Berdasarkan Jumlah Sasaran Yang Dicapai
- Pendekatan perorangan
Dalam hal ini para penyuluh berhubungan secara langsung maupun tidak langsung
dengan sasaran secara perorangan, antara lain kunjungan rumah, hubungan telepon, dan
lain-lain;
13

- Pendekatan kelompok
Dalam pendekatan ini petugas promosi berhubungan dengansekolompok sasaran.
Beberapa metode penyuluhan yang masuk dalam ketegori ini antara lain, Pertemuan,
Demostrasi, Diskusi kelompok, Pertemuan, dan lain-lain.
- Pendekatan masal
Petugas Promosi Kesehatan menyampaikan pesannya secara sekaligus kepada sasaran
yang jumlahnya banyak. Beberapa metode yang masuk dalam golongan ini adalah :
pertemuan umum, pertunjukan kesenian, Penyebaran tulisan/poster/media cetak lainnya,
Pemutaran film, dan lain-lain.
c. Berdasarkan Indera Penerima
- Metode melihat atau memperhatikan
Dalam hal ini pesan diterima sasaran melalui indera penglihatan, seperti penempelan
poster, pemasangan gambar/photo, pemasangan koran dinding, pemutaran film.
- Metode pendengaran
Dalam hal ini pesan diterima oleh sasaran melalui indera pendengar, umpamanya :
Penyuluhan lewat radio, Pidato, Ceramah, dan lain-lain.
- Metode kombinasi
Dalam hal ini termasuk Demonstrasi cara (dilihat, didengar, dicium, diraba dan dicoba)
(Notoatmodjo, 2005).
2.2.2. Media Promosi Kesehatan
Media atau alat peraga dalam promosi kesehatan dapat diartikan sebagai alat bantu untuk
promosi kesehatan yang dapat dilihat, didengar, diraba, dirasa atau dicium, untuk memperlancar
komunikasi dan penyebar-luasan informasi.
a. Kegunaan
Biasanya alat peraga digunakan secara kombinasi, misalnya menggunakan papan tulis dengan
photo dan sebagainya. Tetapi dalam menggunakan alat peraga, baik secara kombinasi maupun
tunggal, ada dua hal yang harus diperhatikan, yaitu alat peraga harus mudah dimengerti oleh
masyarakat sasaran dan ide atau gagasan yang terkandung di dalamnya harus dapat diterima
oleh sasaran. Alat peraga yang digunakan secara baik memberikan keuntungan-keuntungan :
14

- Dapat menghindari salah pengertian/pemahaman atau salah tafsir. Dengan contoh yang
telah disebutkan pada bagian atas dapat dilihat bahwa salah tafsir atau salah pengertian
tentang bentuk plengsengan dapat dihindari.
- Dapat memperjelas apa yang diterangkan dan dapat lebih mudah ditangkap.
- Apa yang diterangkan akan lebih lama diingat, terutama hal-hal yang mengesankan.
- Dapat menarik serta memusatkan perhatian.
- Dapat memberi dorongan yang kuat untuk melakukan apa yang dianjurkan.
b. Jenis/Macam Media
Alat-alat peraga dapat dibagi dalam 4 kelompok besar :
1. Benda asli, yaitu benda yang sesungguhnya baik hidup maupun mati.Merupakan alat
peraga yang paling baik karena mudah serta cepat dikenal, mempunyai bentuk serta
ukuran yang tepat. Tetapi alat peraga ini kelemahannya tidak selalu mudah dibawa ke
manamana sebagai alat bantu mengajar. Termasuk dalam macam alat peraga ini antara
lain :
- Benda sesungguhnya, misalnya tinja di kebun, lalat di atas tinja, dsb.Spesimen, yaitu
benda sesungguhnya yang telah diawetkan seperti cacing dalam botol pengawet, dan lain-
lain.
- Sample yaitu contoh benda sesungguhnya untuk diperdagangkan seperti oralit, dan lain-
lain.
2. Benda tiruan, yang ukurannya lain dari benda sesungguhnya. Benda tiruan bisa digunakan
sebagai media atau alat peraga dalam promosi kesehatan. Hal ini dikarena menggunakan
benda asli tidak memungkinkan, misal ukuran benda asli yang terlalu besar, terlalu berat,
dll. Benda tiruan dapat dibuat dari bermacam-macam bahan seperti tanah, kayu, semen,
plastik dan lain-lain.
3. Gambar/Media grafis, seperti poster, leaflet, gambar karikatur, lukisan, dan lain-lain.
Poster adalah sehelai kertas atau papan yang berisikan gambargambar dengan sedikit kata-
kata. Kata-kata dalam poster harus jelas artinya, tepat pesannya dan dapat dengan mudah
dibaca pada jarak kurang lebih 6 meter. Poster biasanya ditempelkan pada suatu tempat
yang mudah dilihat dan banyak dilalui orang misalnya di dinding balai desa, pinggir jalan,
papan pengumuman, dan lainlain. Gambar dalam poster dapat berupa lukisan, ilustrasi,
kartun, gambar atau photo.
15

Poster terutama dibuat untuk mempengaruhi orang banyak, memberikan pesan singkat.
Karena itu cara pembuatannya harus menarik, sederhana dan hanya berisikan satu ide atau
satu kenyataan saja. Poster yang baik adalah poster yang mempunyai daya tinggal lama
dalam ingatan orang yang melihatnya serta dapat mendorong untuk bertindak. Leaflet
adalah selembaran kertas yang berisi tulisan dengan kalimat-kalimat yang singkat, padat,
mudah dimengerti dan gambar-gambar yang sederhana. Ada beberapa yang disajikan
secara berlipat.
Leaflet digunakan untuk memberikan keterangan singkat tentan suatumasalah, misalnya
deskripsi pengolahan air di tingkat rumah tangga, deskripsi tentang diare dan
penecegahannya, dan lain-lain. Leaflet dapat diberikan atau disebarkan pada saat
pertemuanpertemuan dilakukan seperti, pertemuan Posyandu, kunjungan rumah, dan lain-
lain. Leaflet dapat dibuat sendiri dengan perbanyakan sederhana seperti di photo copy.
4. Gambar alat optik, seperti photo, slide, film, dll.
- Photo, sebagai bahan untuk alat peraga, photo digunakan dalam bentuk;
- Album, yaitu merupakan foto-foto yang isinya berurutan, menggambarkan suatu cerita,
kegiatan dan lain-lain. Dikumpulkan dalam sebuah album. Album ini bisa dibawa dan
ditunjukan kepada masyarakat sesuai dengan topik yang sedang di diskusikan.
- Dokumentasi lepasan yaitu photo-photo yang berdiri sendiri dan tidak disimpan dalam
bentuk album. Menggambarkan satu pokok persoalan atau titik perhatian. Photo ini
digunakan biasanya untuk bahan brosur, leaflet, dan lain-lain.
- Slide pada umumnya digunakan dengan sasaran kelompok atau grup. Slide ini sangat
efektif untuk membahas suatu topik tertentu, dan peserta dapat mencermati setiap
materi dengan cara seksama karena slide sifatnya dapat diulang ulang.
- Sementara film lebih kearah sasaran secara masal, sifatnya menghibur namun
bernuansa edukatif.

2.3. Pengetahuan
Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukun
penginderaan terhadap suatu obyek tertentu, pengetahuan terjadi melalui panca indra manusia,
yakni: indra penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan
diperoleh melalui mata dan telinga. Proses yang didasari oleh pengetahuan kesadaran dan sikap
16

positif, maka perilaku tersebut akan bersifat langgeng. Sebaliknya apabila perilaku tersebut tidak
didasari oleh pengetahuan dan kesadaran maka tidak akan berlangsung lama (Notoatmodjo,
2010).
a. Tingkat pengetahuan
Pengetahuan mempunyai 6 tingkatan sebagai berikut
1. Tahu (Know) Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari
sebelumnya. Termasuk kedalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali (recall)
terhadap suatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah
diterima. Oleh sebab itu “tahu” ini merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah. Kata
kerja untuk mengukur bahwa orang tahu tentang apa yang terjadi antara lain menyebutkan,
menguraikan, mengidenfikasi menyatakan dan sebagainya.
2. Memahami (Comprehention) Memahami artinya sebagai suatu kemampuan untuk
menjelaskan 33 secara benar tentang obyek yang diketahui, dan dapatmenginterprestasikan
benar tentang obyek yang diketahui, dan dapat menginterprestasikan materi tersebut secara
benar. Orang yang telah paham terhadap obyek atau materi terus dapat menjelaskan,
menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan dan sebagainya terhadap suatu obyek
yang dipelajari.
3. Aplikasi (Application) Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi
yang telah dipelajari pada situasi ataupun kondisi real (sebenarnya). Aplikasi disini dapat
diartikan sebagai aplikasi atau penggunaan hukum-hukum, rumus, metode, prinsip dan
sebagainya dalam konteks atau situasi yang lain.
4. Analisis (Analysis) Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau
komponen-komponen, tetapi masih didalam struktur organisasi tersebut dan masih ada
kaitannya satu sama lain. Kemampuan analisis dapat dilihat dari pengguna kata kerja, seperti
dapat menggambarkan, membedakan, memisahkan, mengelompokkan, dan sebagainya.
5. Sintesis (Syntesis) Sintesis menunjukkan pada suatu kemampuan untuk meletakkan bagian-
bagian didalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. Dengan kata lain sintesis itu suatu
kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi-formulasi yang ada. Misalnya
dapat menyusun, dapat meringkas, dapat merencanakan dapat menyesuaikan dan 34
sebagainya terhadap suatu teori atau rumusan-rumusan yang telah ada.
17

6. Evaluasi (Evaluation) Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi
atau penilaian terhadap suatu materi atau obyek. Penilaianpenilaian ini didasarkan pada suatu
kriteria yang ditemukan sendiri, atau menggunakan kriteria yang telah ada. (Notoatmodjo,
2010).
b. Proses Adaptasi Perilaku
Penelitian Rogers (1974) yang dikutip Notoatmodjo (2010) mengungkapkan bahwa
perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan langgeng daripada perilaku yang tidak didasari
oleh pengetahuan. Ia mengungkapkan bahwa sebelum orang mengadopsi perilaku baru maka
didasari oleh;
1. Awareness (kesadaran) Subjek tersebut menyadari dalam arti mengetahui stimulus (objek)
terlebih dahulu.
2. Interest (tertarik) Dimana subjek mulai tertarik terhadap stimulus yang sudah diketahui dan
dipahami terlebih dahulu.
3. Evaluation Menimbang-nimbang baik dan tidaknya stimulus yang sudah dilakukan serta
pengaruh terhadap dirinya.
4. Trial Dimana subjek mulai mencoba untuk melakukan perilaku baru yang 35 sudah diketahui
dan dipahami terlebih dahulu.
5. Adaption Dimana subjek telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan, kesadaran dan
sikap terhadap stimulus.
c. Faktor yang mempengaruhi pengetahuan
Faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan menurut Notoatmodjo(2010) adalah:
1. Faktor internal
- Umur
Umur merupakan variabel yang selalu diperhatikan dalam penelitianpenelitian
epidemiologi yang merupakan salah satu hal yang mempengaruhi pengetahuan. Umur
adalah lamanya hidup seseorang dalam tahun yang dihitung sejak dilahirkan. Semakin
tinggi umur seseorang, maka semakin bertambah pula ilmu atau pengetahuan yang dimiliki
karena pengetahuan seseorang diperoleh dari pengalaman sendiri maupun pengalaman
yang diperoleh dari orang lain.
18

- Pendidikan
Pendidikan merupakan proses menumbuh kembangkan seluruh kemampuan dan perilaku
manusia melalui pengetahuan, sehingga dalam pendidikan perlu dipertimbangkan umur
(proses perkembangan klien) dan hubungan dengan proses belajar. Tingkat pendidikan juga
merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi persepsi seseorang atau lebih mudah
menerima ide-ide dan teknologi. Pendidikan 36 meliputi peranan penting dalam
menentukan kualitas manusia dianggap akan memperoleh pengetahuan implikasinya.
Semakin tinggi pendidikan, hidup manusia akan membuahkan pengetahuan yang baik yang
menjadikan hidup yang berkualitas.
- Pekerjaan
Bekerja pada umumnya merupakan kegiatan yang menyita waktu. Bekerja bagi ibu-ibu
akan mempunyai pengaruh terhadap kehidupan keluarga.
2. Faktor Eksternal
- Faktor lingkungan Lingkungan merupakan seluruh kondisi yang ada disekitar manusia dan
pengaruhnya yang dapat mempengaruhi perkembangan dan perilaku orang atau kelompok.
- Sosial budaya Sistem sosial budaya yang ada pada masyarakat dapat mempengaruhi dari
sikap dalam menerima informasi.
19

BAB III
METODE PENELITIAN

3.1. Desain Penelitian


Jenis penelitian yang digunakan adalah eksperimen semu (quasi-
experiment) dengan rancangan pretest-posttest group design. Rancangan ini sangat baik
digunakan untuk evaluasi program pendidikan kesehatan atau pelatihan-pelatihan lainnya
(Notoatmodjo, 2007 b). Rancangan penelitian sebagai beikut;
Pre Test Perlakuan Post Test
P1a Xa P2a
Keterangan :
P1a : pengetahuan atau perilaku sebelum pemberian promosi kesehatan (Pre Test)
Xa : perlakuan (promosi kesehatan)
P2a : Pengetahuan atau perilaku setelah pemberian promosi kesehatan (Post Test)

3.2. Tempat dan Waktu Penelitian


Penelitian dilakukan di SD Inpres Sinde Kabor Kabupaten Sikka pada hari Senin
tanggal 14 Mei 2018.

3.3. Populasi dan Sampel Penelitian


Populasi penelitian ini adalah siswa-siswi SD Inpres Sinde Kabor Kabupaten Sikka, dan
sampel untuk penelitian ini adalah siswa-siswi kelas 5 SD Inpres Sinde Kabor kabupaten Sikka
berjumlah 52 orang.

3.4. Variabel Penelitian


Variabel dalam penelitian ini yakni;
- Variabel independen
Promosi kesehatan tentang penyakit kecacingan
- Variabel dependen
Pengetahuan tentang penyakit kecacingan
20

3.5. Definisi Operasional variabel


Semua konsep yang ada dalam penelitian harus dibuat batasan dalam istilah yang
operasional sehingga tidak ada makna ganda dari istilah yang digunakan dalam
penelitian (Sastroasmoro, 2011).
Tabel 1. Definisi operasional
Variabel Definisi Alat Ukur Hasil Ukur Skala
Pengetahuan Kemampuan siswa Kuesioner 1= buruk (jumlah Ordinal
untuk menjawab benar <50%)
pertanyaan tentang 2= baik (jumlah benar
pengetahuan penyakit >50%)
kecacingan yang
meliputi pengertian,
penyebab,
tanda/gejala, akibat
dan pencegahan.

3.6. Prosedur Penelitian


Pada penelitian diperlukan alur penelitian yang sistematis agar
mempermudah pelaksanaan penelitian. Adapun alur atau prosedur dari penelitian ini;
Pemberian kuesioner (pre-test)

Penyuluhan dengan pemberian materi mengenai penyakit kecacingan

Pemberian kuesioner (post-test) mengenai penyuluhan yang diberikan

Pengolahan data
21

3.7. Pengumpulan Data


Data diperoleh dari pengumpulan data primer yaitu dengan memberikan kuesioner
yang akan diisi oleh siswa-siswi kelas 5 SD Inpres Sinde Kabor Kabupaten Sikka. Kuesioner
diberikan sebanyak dua kali yakni sebelum dilakukan promosi kesehatan tentang
penyakit kecacingan dan sesudah dilakukan promosi kesehatan.

3.8. Pengolahan dan Analisis Data


Data yang diperoleh dari proses pengumpulan akan diolah menggunakan program
SPSS 21.0. for windows. Analisis data yang digunakan berupa analisis univariat. Analisis
univariat digunakan untuk mendeskripsikan karakteristik dari variabel independen dan
dependen. Keseluruhan data yang ada dalam kuesioner akan disajikan dalam bentuk tabel
distribusi frekuensi. Variabel yang dianalisis yaitu mengetahui tingkat pengetahuan siswa-
siswi kelas 5 SD Inpres Sinde Kabor mengenai penyakit kecacingan. (Dahlan, 2011).
22

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil Penelitian


Penelitian mengenai pengaruh promosi kesehatan terhadap pengetahuan tentang
kecacingan pada siswa-siswi di SD Inpres Sinde Kabor Kabupten Sikka telah dilaksanakan
pada tanggal 14 Mei 2018. Penelitian ini menggunakan sampel 52 orang yang
merupakan siswa-siswi kelas 5 SD Inpres Sinde Kabor Kabupten Sikka. Data diperoleh
dengan pengisian kuesioner sebelum dilakukan promosi kesehatan dan setelah dilakukan
promosi kesehatan. Isi kuesioner mencakup data umum (nama, jenis kelamin, usia, nama orang
tua) dan 20 pertanyaan tentang pengetahuan kecacingan.

4.1.1. Karakteristik Responden


a. Distribusi Sebaran Usia Responden
Berdasarkan penelitian tersebut diperoleh rentang usia responden seperti yang terlihat pada
Tabel 2.
Tabel 2. Distribusi Sebaran Responden Berdasarkan Usia siswa-siswi kelas 5 SD
Inpres Sinde Kabor Kabupaten Sikka.

Usia n %
10 10 19,23
11 34 65,38
12 8 15,38

Dari Tabel yang telah disajikan, diperoleh rentang usia responden bahwa sebanyak 10
responden (19,23%) berusia 10 tahun, sebanyak 34 responden (65,38%) berusia 11 tahun,
8 responden (15,38%) berusia 12 tahun. Hal ini menyebutkan bahwa responden
terbanyak dengan usia 11 tahun yakni 34 responden (65,38%).
b. Distribusi Sebaran Jenis Kelamin Responden
Dari hasil kuesioner yang telah dilakukan, diperoleh data distribusi responden
berdasarkan jenis kelamin seperti yang telihat pada Tabel 3.
23

Tabel 3. Distribusi Sebaran Responden Berdasarkan Jenis Kelamin siswa-siswi


kelas 5 SD Inpres Sinde Kabor Kabupaten Sikka.

Jenis Kelamin n %
Laki-laki 26 50
Perempuan 26 50

Berdasarkan karakteristik responden menurut jenis kelamin, jumlah responden laki-laki dan
perempuan masing-masing sama yaitu 26 orang (50%).

4.1.2. Analisis Univariat


a. Pengetahuan tentang Kecacingan Soil Transmitted Helminth (STH) Sebelum
Promosi Kesehatan
Dari hasil kuesioner yang didapat, diperoleh gambaran pengetahuan siswa-siswi kelas 5
SD Inpres Sinde Kabor Kabupaten Sikka sebelum promosi kesehatan seperti yang terlihat
pada Tabel 4.
Tabel 4. Distribusi Frekuensi Pengetahuan tentang Kecacingan pada Siswa-Siswi
Kelas 5 SD Inpres Sinde Kabor Kabupaten Sikka sebelum promosi
kesehatan.

Pengetahuan n %
Baik 19 36,54
Buruk 33 63,46
Total 52 100

Berdasarkan Tabel 4, diperoleh hasil berupa pengetahuan dengan kategori baik


sebanyak 19 responden (36,54%) dan pengetahuan dengan kategori buruk sebanyak
33 responden (63,46%). Nilai terendah untuk skor pengetahuan sebelum dilakukannya
promosi kesehatan yakni 7 dan untuk skor tertinggi yakni 16. Skor maksimal yang dapat
diperoleh oleh masing-masing siswa dari 20 pertanyaan yang diajukan yakni 20.
24

b. Pengetahuan tentang Kecacingan Soil Transmitted Heminth (STH) Sesudah


Promosi Kesehatan
Dari hasil kuesioner mengenai tingkat pengetahuan sesudah promosi kesehatan mengenai
kecacingan, didapatkan bahwa 7 responden memiliki nilai buruk dan 45 responden memiliki
nilai baik, hal ini dapat dilihat pada tabel 5.
Tabel 5. Distribusi Frekuensi Pengetahuan tentang Kecacingan pada Siswa-Siswi
Kelas 5 SD Inpres Sinde Kabor Kabupaten Sikka sesudah promosi
kesehatan.

Pengetahuan n %
Baik 45 86,54
Buruk 7 13,46
Total 52 100

Tabel 5 menunjukkan bahwa pengetahuan siswa mengenai kecacingan dikategorikan baik


untuk seluruh responden setelah dilakukan promosi kesehatan. Nilai terendah yang
diperoleh oleh siswa yakni 14, sementara nilai tertinggi yang diperoleh sebesar 20 dari nilai
maksimal 20.

4.2. Pembahasan
Hasil penelitian pada Tabel 2, menunjukkan adanya perbedaan usia antar
responden walaupun responden diambil dari jenjang kelas yang sama. Sebaran usia responden
dimulai dari usia 10 tahun sebanyak 10 siswa, usia 11 tahun sebanyak 34 siswa, dan usia 12
tahun sebanyak 8 siswa. Dapat dilihat bahwa responden terbanyak dengan usia 11 tahun,
sesuai dengan jenjang kelas 5 SD.
Hasil penelitian pada Tabel 3, menunjukkan bahwa karakteristik responden menurut
jenis kelamin adalah seimbang antara laki-laki dan perempuan.
Berdasarkan Tabel 4, diperoleh angka yang cukup tinggi pada pengetahuan buruk
yaitu sebanyak 33 siswa dan sebanyak 14 siswa berpengatuhan baik. Hasil ini diperoleh
sebelum dilakukan promosi kesehatan. Hasil ini menunjukkan bahwa siswa kelas 5 SD Inpres
Sinde Kabor masih kurang mengetahui tentang penyakit cacingan. Hasil ini didukung oleh
penelitian yang dilakukan oleh Jalaludin (2009) yang meneliti variabel pengetahuan dengan
kejadian STH di Kecamatan Blang Mangat Kota Lhokseumawe pada siswa kelas 5 dan 6 di
25

tiga SD, diperoleh hasil dari 150 siswa yang diuji pengetahuannya, ada sebesar 105 siswa
(70%) yang memiliki pengetahuan buruk.
Kurangnya pengetahuan siswa kelas 5 ini bisa dipengaruhi oleh faktor internal seperti
kurangnya minat siswa untuk mencari tahu informasi tentang penyakit cacingan ini.
Sedangkan dari segi faktor eksternal, keluarga kurang berperan dalam meningkatkan
pengetahuan siswa-siswa ini. Padahal, pengetahuan dapat berasal dari pengalamna atau
informasi yang diperoleh seperti media massa, media elektronik, maupun media cetak.
Dari hasil yang diperoleh melalui wawancara, kurangnya pengetahuan dikarenakan
siswa masih belum tahu serta memahami tentang penyebab, gejala, dampak, cara
penularan, pengobatan dan pencegahan kecacingan. Disamping itu, di SD Inpres Sinde
Kabor, sarana Usaha Kesehatan Sekolah (UKS) tidak berjalan dengan baik.
Sementara pengetahuan siswa setelah dilakukan promosi kesehatan sebagian besar
mengalami peningkatan dan dapat dikatakan sebagian besar baik. Sebanyak 45 siswa
memiliki pengetahuan baik dan hanya 7 siswa dengan pengetahuan kurang. Dengan adanya
promosi kesehatan terjadi penurunan jumlah siswa yang memiliki tingkat pengetahuan
yang kurang. Promosi kesehatan dengan metode ceramah dapat meningkatkan pengetahuan,
hal ini karena metode ceramah dapat merubah perilaku seseorang termasuk pengetahuan. Selain
itu, penelitian sebelumnya membuktikan bahwa metode pendidikan kesehatan dengan ceramah
dapat meningkatkan pengetahuan setelah promosi kesehatan dibandingkan sebelumnya
(Listyowati, 2012).
26

BAB V
SIMPULAN DAN SARAN

5.1. Simpulan
Dari penelitian ini dapat diambil kesimpulan bahwa suatu upaya promosi kesehatan dapat
memberikan perubahan terhadap pengetahuan siswa-siswi kelas 5 SD Inpres Sinde Kabor
Kabupaten Sikka tentang penyakit kecacingan.

5.2. Saran
Saran yang dapat diberikan oleh penulis yaitu;
1. Bagi pemerintah, diharapkan dapat meningkatkkan program promosi kesehatan
mengenai penyakit kecacingan terutama pada siswa sekolah dasar dan kelompok
beresiko tinggi terkena penyakit kecacingan.
2. Bagi institusi kesehatan, perlu ditingkatkan usaha pencegahan dengan berbagai upaya
promosi kesehatan dan dilakukan pengobatan massal terhadap kasus kecacingan Soil
Transmitted Helminth (STH) di daerah dengan kejadian infeksi kecacingan yanng
tinggi.
3. Bagi pihak sekolah, agar dapat memberikan program kesehatan melalui ceramah, diskusi
serta penyuluhan tentang penyakit kecacingan dan meningkatkan kegiatan UKS.
4. Bagi peneliti lain, perlunya dilakukan penelitiian lebih lanjut untuk mengetahui faktor-
faktor yang mempengaruhi pengetahuan dan perilaku dalam upaya pencegahan kecacingan.
27

DAFTAR PUSTAKA

Brown, H. W, Dasar Parasitologi Klinis, Edisi Ke 3, PT Gramedia Jakarta, 1983

Dahlan S. Statistik Untuk Kedokteran dan Kesehatan. Edisi ke-5. Jakarta: Salemba Medika. 2011.
Hlm 21-35.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman umum program nasional pemberantasan


cacingan di era desentralisasi. Jakarta: Depkes RI. 2006.

Gandahusada S. Parasitologi Kedokteran. Edisi Keempat. Jakarta: Fakultas Kedokteran


Universitas Indonesia. 2006. Hlm 7-16.

Ideham, B., dan Pusarawati, S., 2007. Helmintologi Kedokteran. Surabaya: Airlangga University
Press, 77-81, 89-99.

Listyowati D. Pengaruh Intervensi Promosi Kesehatan terhadap Pengetahuan, Sikap, dan Praktek
Cuci Tangan Pakai Sabun pada Siswa SDN Pengasinan IV Kota Bekasi Tahun 2012. (Skripsi).
Jakarta: Universitas Indonesia. 2012.

Mardiana D. Prevalensi Cacing Usus Pada Murid Sekolah Dasar Wajib Belajar Pelayanan
Gerakan Terpadu Pengentasan Kemiskinan Daerah Kumuh Di Wilayah DKI Jakarta. Jurnal
Ekologi Kesehatan.2008.7(2): 25-27.

Margono S. Nematoda Usus Buku Ajar Parasitologi Kedokteran. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.2008. hlm 6-20.

Muslim, H. M., 2009. Parasitologi Untuk Keperawatan. EGC, Jakarta.

Notoatmodjo S. Ilmu Perilaku Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta. 2010. hlm 35-41

Notoatmodjo S. Metodelogi Penelitian Kesehatan.Jakarta: Rineka Cipta. 2007. hlm 27-32.

Notoatmodjo S. Promosi Kesehatan: Teori dan Aplikasi.Jakarta: Rineka Cipta. 2005. hlm 50-60.

Onggowaluyo JS. 2002. Parasitologi Medik I (Helmintologi). EGC : Jakarta.

Prianto J, Thajaya. Atlas Parasitologi Kedokteran. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 2006. Hlm
4-12.

Rosidiana Safar, 2010, Parasitologi Kedokteran : Protozoologi, Helmintologi, Entomologi,


Cetakan I, Yrama Widya, Bandung

Satari H. Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis, edisi ke-2. Jakarta: Ikatan Dokter Anak
Indonesia.2010. hlm 370-384.

Soedarto. (2009). Penyakit Menular Di Indonesia. Jakarta: SagungSeto.


28

Soedarto. 2008. Parasitologi Klinik. Airlangga University Press. Surabaya.

Soedarmo, 2010. Buku Infeksi Dan Pediatri Tropis. Edisi 2. Jakarta:Ikatan Dokter Indonesia.

Supali, T. 2008. Epidemiologi Soil Transmitted Helminths Buku Ajar Parasitologi Kedokteran.
Edisi Keempat. FKUI, Jakarta. Hal 21-24

Sutanto I, Ismid S, Syarifudin P, Saleha S. Parasitologi Kedokteran, edisi ke-4. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. 2008. hlm 6-9.

T.H. Rampengan, I.R. Laurentz. 1997. Penyakit Infeksi Tropis pada Anak. Jakarta: EGC.

Wantini S. Perilaku Anak Terhadap Infeksi Kecacingan Pada Siswa Sekolah Dasar. Jurnal
Kesehatan.2011. 2(2): 341-347.

World Health Organization. Soil Transmitted Helminth Infections. 2013. [diakses 29 April 2018].
Tersedia di http://www.int/mediacentre/factsheets/fs366/e n/.

Zulkoni Akhsin. 2010. Parasitologi. Yogyakarta: Nuha Medika.


29

Lampiran 1

PETUNJUK PENGISIAN KUESIONER


1. Jawablah pertanyaan di bawah ini dengan sebenar-benarnya dan sejujur-jujurnya
2. Jawabablah secara runtut dan jelas
3. Isilah pertanyaan tersebut dengan memberi tanda silang pada angka 1,2 atau 3 sesuai dengan
pilihan anda

I. IDENTITAS RESPONDEN
1. Nomor :
2. Nama :
3. Umur :
4. Tahun :
5. Kelas :
6. Jenis Kelamin
7. Nama Orang Tua
Ayah :
Ibu :
8. Alamat :

II. PERTANYAAN PENGETAHUAN


1) Apakah Adik pernah mendengar penyakit cacingan
1. Tidak 2. Ya
2) Apakah Adik tahu penyakit cacingan
1. Tidak 2. Ya
3) Cacingan adalah Penyakit yang disebabkan oleh masuknya parasit (telur cacing) ke
dalam tubuh
1. Tidak 2. Ya
4) Cacingan adalah penyakit ringan yang tidak menyebabkan kematian dan tidak perlu
diobati
1. Ya 2. Tidak
5) Cacing gelang, cacing tambang, dan cacing cambuk adalah jenis cacing usus yang
ditularkan melalui tanah
1. Tidak 2. Ya
6) Sering bermain-main di tanah tanpa alas kaki adalah penyebab penyakit cacingan
1. Tidak 2. Ya
7) Sering memakan buah-buahan yang tidak dicuci adalah penyebab penyakit cacingan
1. Tidak 2. Ya
8) Tidak mencuci tangan dengan sabun setelah melakukan buang air besar adalah penyebab
penyakit cacingan
1. Tidak 2. Ya
30

9) Kebiasaan buang air besar di kebun, parit (selokan) atau sungai adalah penyebab penyakit
cacingan
1. Tidak 2. Ya
10) Sakit perut, perut buncit, dan diare adalah gejala/tanda-tanda penyakit cacing
1. Tidak 2. Ya
11) Mual, nafsu makan berkurang, dan semangat belajar menurun adalah gejala/tanda-tanda
penyakit cacing
1. Tidak 2. Ya
12) Pilek, batuk, dan demam adalah gejala/tanda-tanda penyakit cacing
1. Ya 2. Tidak
13) Badan panas, dan pusing adalah gejala/tanda-tanda penyakit cacing
1. Ya 2. Tidak
14) Menurut Adik apakah cacingan dapat menyebabkan kematian
1. Tidak 2. Ya
15) Membiasakan diri memakai alas kaki adalah pencegahan penyakit cacing
1. Tidak 2. Ya
16) Memotong kuku secara teratur seminggu sekali adalah pencegahan penyakit cacing
1. Tidak 2. Ya
17) Memakan buah-buahan yang tidak dicuci adalah pencegahan penyakit cacing
1. Ya 2. Tidak
18) Membiasakan Buang Air Besar di kebun, parit (selokan) atau sungai adalah pencegahan
penyakit cacing
1. Ya 2. Tidak
19) Mencuci tangan dengan sabun setelah melakukan Buang Air Besar adalah pencegahan
penyakit cacing
1. Tidak 2. Ya
20) Minum obat cacing secara berkala enam bulan sekali adalah pencegahan penyakit cacing
1. Tidak 2. Ya

Anda mungkin juga menyukai