PENDAHULUAN
1
sosialnya yang cukup berat untuk penderita maupun keluarganya. Kurangnya
prioritas di bidang penelitian medik untuk menemukan obat-obat penyakit SLE
yang baru, aman dan efektif, dibandingkan dengan penyakit lain juga
merupakan masalah tersendiri (Yayasan Lupus Indonesia).
1.3 Tujuan
Agar dapat memahami dan mengetahui tentang penakit SLE khususnya dalam
konsep medis dan konsep dasar keperawatan.
2
BAB II
TINJAUAN TEORI
2.1.1 Pengertian
Lupus Eritematosus Sistemik (SLE) merupakan penyakit rematik
autoimun yang ditandai adanya inflamasi tersebar luas, yang mempengaruhi setiap
organ atau sistem dalam tubuh. Penyakit ini berhubungan dengan deposisi
autoantibodi dan kompleks imun, sehingga mengakibatkan kerusakan jaringan
(Sudoyo Aru, dkk 2009).
Sistemik lupus eritematosus adalah penyakit multisystem yang disebabkan
oleh produksi antibodi dan pelengkap deposit kompleks imun yang menghasilkan
kerusakan jaringan. Potensial terjadinya banyak antibodi yang diproduksi pasien
SLE, perbedaan target organ spesifik pada antibodi dapat disebabkan oleh lebar
spectrum klinis yang dikarakterisktikan dengan remisi dan eksaserbasi (Tutuncu, et
al., 2007)
Penyakit lupus merupakan penyakit autoimun kronis dimana terdapat
kelainan system imun yang menyebabkan peradangan pada beberapa organ dan
sistem tubuh. Mekanisme sistem kekebalan tubuh tidak dapat membedakan antara
jaringan tubuh sendiri dan organism asing (misalnya bakteri, virus) karena
autoantibodi (antibodi yang menyerang jaringan tubuh sendiri) diproduksi tubuh
dalam jumlah besar dan terjadi pengendapan kompleks imun (antibodi yang terikat
pada antigen) di dalam jaringan (Syamsi Dhuha Foundation, 2003, dalam syafi’I,
2012).
Dari 3 definisi di atas dapat diambil kesimpulan bahwa Penyakit Sistemik
Lupus Eritematosus merupakan penyakit autoimun kronis dimana terdapat kelainan
system imun yang menyebabkan peradangan pada beberapa organ dan sistem
tubuh. Kelainan ini disebabkan oleh produksi antibodi dalam jumlah besar sehingga
menyebabkan sistem imun tidak dapat membedakan antara jaringan tubuh sendiri
dan organisme asing.
3
2.1.2 Etiologi
Penyebab dari SLE belum diketahui dengan pasti. Diduga melibatkan interaksi
yang kompleks dan multifaktorial antara bervariasi genetic dan faktor lingkungan:
(Morton, 2012)
1. Faktor genetik
Kejadian SLE yang lebih tinggi pada kembar monozigotik (25%)
dibandingkan dengan kembar dizigotik (3%), peningkatan frekuensi SLE pada
keluarga penderita SLE dibandingkan dengan kontrol sehat dan peningkatan
prevalensi SLE pada kelompok etnik tertentu, menguatkan dugaan bahwa faktor
genetik berperan dalam pathogenesis SLE.
2. Faktor hormonal
SLE merupakan penyakit yang lebih banyak menyerang perempuan.
Serangan pertama kali jarang terjadi pada usia prepubertas dan setelah
menopause.
3. Autoantibodi
Autoantibodi ini ditunjukkan kepada self molekul yang terdapat pada
nucleus, sitoplasma, permukaan sel, dan juga terdapat molekul terlarut seperti
IgG dan faktor koagulasi.
4. Faktor lingkungan
a) Faktor fisik/kimia
1) Amin aromatic
2) Hydrazine
3) Obat-obatan (prokainamid, hidralazin, klorpromazin, isoniazid, fenitoin,
penisilamin)
b) Faktor makanan
1) Konsumsi lemak jenuh yang berlebihan
2) L- canavanine (kuncup dari elfalfa)
c) Agen infeksi
1) Retrovirus
2) DNA bakteri/endotoksin
4
d) Hormone dan estrogen lingkungan (environmental oestrogen)
1) Terapi sulih (HRT), pil kontrasepsi oral
2) Paparan estrogen prenatal
Sumber: (Sudoyo Aru, hal: 2568)
2.1.3 Klasifikasi
Menurut Hasdianah, dkk (2014), Penyakit Lupus dapat diklasifikasikan
menjadi 3 macam yaitu discoid lupus, sistemic lupus erythematosus, dan lupus
yang diinduksi oleh obat :
1. Discoid Lupus
Lesi berbentuk lingkaran atau cakram dan ditandai oleh batas eritema yang
meninggi, skuama, sumbatan folikuler, dan telangiektasia. Lesi ini timbul di
kulit kepala, telinga, wajah, lengan, punggung, dan dada. Penyakit ini dapat
menimbulkan kecacatan karena lesi ini memperlihatkan atrofi dan jaringan
parut di bagian tengahnya serta hilangnya apendiks kulit secara menetap.
2. Sistemic Lupus Erythematosus
SLE merupakan penyakit radang atau inflamasi multisistem yang disebabkan
oleh banyak faktor dan dikarakterisasi oleh adanya gangguan disregulasi
sistem imun berupa peningkatan sistem imun dan produksi autoantibodi yang
berlebihan. Terbentuknya autoantibodi terhadap dsDNA, berbagai macam
ribonukleoprotein intraseluler, sel-sel darah, dan fosfolipid dapat
menyebabkan kerusakan jaringan melalui mekanisme pengaktivan
komplemen.
3. Lupus yang diinduksi oleh obat
Lupus yang disebabkan oleh induksi obat tertentu khususnya pada asetilator
lambat yang mempunyai gen HLA DR-4 menyebabkan asetilasi obat
menjadi lambat, obat banyak terakumulasi di tubuh sehingga memberikan
kesempatan obat untuk berikatan dengan protein tubuh. Hal ini direspon
sebagai benda asing oleh tubuh sehingga tubuh membentuk kompleks
antibodi antinuklear (ANA) untuk menyerang benda asing tersebut.
5
2.1.4 Manifestasi Klinik
1. Manifestasi klinik secara umum yang sering timbul pada pasien SLE :
a) Rasa lelah
b) Malaise
c) Demam
d) Penurunan nafsu makan
e) Penurunan berat badan
2. Manifestasi klinik pada Muskuloskeletal :
a) Artritis
b) Atralgia
c) Myalgia
3. Manifestasi klinik pada kulit :
a) Timbulnya ruam pada kulit yang khas (berbentuk kupu-kupu)
b) Vaskulitis eritema periungual
c) Livido retikularis
d) Alopesia
e) Ulserasi
f) Fenomena Raynaud
4. Manifestasi klinik pada jantung :
a) Pericarditis
b) Miokarditis
c) Gangguan katup jantung
d) Gejala endokarditis libman sachs
5. Manifestasi klinik pada paru-paru :
a) Pleuritic
b) Efusi pleura
c) Pneumonitis
6. Manifestasi klinik pada gastrointestinal :
a) Mual
b) Diare
c) Dyspepsia
6
d) Vasculitis
e) Perforasi usus
f) Pankreatitis
g) Hepatosplenomegali
7. Manifestasi klinik pada susunan saraf :
a) Neuropati perifer
b) Disfungsi kognitif
c) Psikosis
d) Depresi
e) Kejang
f) Stroke
8. Manifestasi klinik pada hematologik :
a) Anemia
b) Leukopenia
c) Trombositopenia ringan
d) Trombositopenia berat disertai perdarahan dan purpura
2.1.5 Patofisiologi
Penyakit SLE yang terjadi akibat terganggunya regulasi kekebalan yang
menyebabkan peningkatan autoimun yang berlebihan. Gangguan imuno regulasi ini
ditimbulkan oleh kombinasi antara faktor-faktor genetik, hormonal (sebagaimana
terbukti oleh awitan penyakit yang biasanya terjadi selama usia produktif) dan
lingkungan (cahaya matahari, luka bakar termal). Obat-obat tertentu seperti
hidralazin, prokainamid, isoniazid, klopromazin dan beberapa preparat
antikonvulsan di samping makanan seperti kecambah alfalfa turut terlibat dalam
penyakit SLE akibat senyawa kima atau obat-obatan. Pada SLE, peningkatan
produksi autoimun diperkirakan terjadi akibat fungsi sel T-supresor yang abnormal
sehingga timbul penumpukan komples imun dan kerusakan jaringan. Inflamasi
akan menstimulasi antigen yang selanjutnya akan merangsang pembentukan
antibodi tambahan dan siklus tersebut berulang kembali.
7
2.1.6 Komplikasi
2.1.7 Penatalaksanaan
Tujuan dari pengobatan SLE adalah untuk mengurangi gejala penyakit,
mencegah terjadinya inflamasi, dan kerusakan jaringan, memperbaiki kualitas
hidup pasien, memperpanjang ketahanan pasien, memonitor manifestasi penyakit,
menghindari penyebaran penyakit, serta memberikan edukasi kepada pasien
tentang manifestasi dan efek samping dari terapi obat yang diberikan. Karena
banyaknya variasi dalam manifestasi klinik setiap individu maka pengobatan yang
dilakukan juga sangat individual tergantung dari manifestasi klinik yang muncul.
Pengobatan SLE meliputi terapi nonfarmakologi dan terapi farmakologi.
1. Terapi nonfarmakologi
Gejala yang sering muncul pada penderita SLE adalah lemah sehingga
diperlukan keseimbangan antara istirahat dan kerja, dan hindari kerja yang
terlalu berlebihan. Penderita SLE sebaiknya menghindari merokok karena
hidrasin dalam tembakau diduga juga merupakan faktor lingkungan yang dapat
memicu terjadinya SLE. Tidak ada diet yang spesifik untuk penderita SLE
(Delafuente, 2002). Tetapi penggunaan minyak ikan pada pasien SLE
mengandung vitamin E 75 IU and 500 IU/kg diet dapat menurunkan produksi
sitokin proinflamasi seperti IL-4, IL-6, TNF-a, IL-10, dan menurunkan kadar
8
antibodi anti- DNA (Venkatraman et al., 1999). Penggunaan sunblock (SPF 15)
dan menggunakan pakaian tertutup untuk penderita SLE sangat disarankan
untuk mengurangi paparan sinar UV yang terdapat pada sinar matahari ketika
akan beraktivitas di luar rumah.
2. Terapi farmakologi
Terapi farmakologi umtuk SLE ditujukan untuk menekan sistem imun dan
mengatasi inflamasi. Umumnya pengobatan SLE tergantung dari tingkat
keparahan dan lamanya pasien menderita SLE serta manifestasi yang timbul
pada setiap pasien.
9
SALURI dapat dilakukan di Pos Pembinaan Terpadu (POSBINDU),
Puskesmas atau di sarana pelayanan kesehatan lainnya dengan cara mengenali
gejala-gejala sebagai berikut:
2.2.1 Pengkajian
1. Anamnesis
Identitas, riwayat kesehatan dan pemeriksaan fisik yang difokuskan pada
gejala yang pernah dialami seperti keluhan mudah lelah, lemah, nyeri, kaku,
demam, panas, anoreksia, dan efek gejala tersebut terhadap gaya hidup serta
citra diri pasien.
10
2. Kulit
Ruam eritematous, plak eritomaous pada kulit kepala, muka atau leher.
3. Kardiovaskuler.
Friction rub pericardium yang menyertai miokarditis dan efusi pleura. Lesi
eritemous papuler dan purpura yang menjadi nekrosis menunjukkan
gangguan vaskuler terjadi di ujung jari tangan, siku, jari kaki, dan
permukaan ekstensor lengan bawah atau sisi lateral tangan.
4. Sistem muskuloskeletal.
Pembengkakan sendi, nyeri tekan dan rasa nyeri ketika bergerak, rasa kaku
pada pagi hari.
5. Sistem integumen
Lesi akut pada kulit yang terdiri atas ruam berbentuk kupu-kupu yang
melintang pada pangkal hidung serta pipi. Ulkus oral dapat mengenai
mukosa pipi atau palatum durum.
6. Sistem pernafasan
Pleuritis dan efusi pleura..
7. Sistem vaskuler
Inflamasi pada arteriol terminalis yang menyebabkan lesi eritemous papuler
dan purpura yang menunjukkan gangguan vaskuler terjadi di ujung jari
tangan, siku, jari kaki, dan permukaan ekstensor lengan bawah atau sisi
lateral tangan dan berlanjut nekrosis.
8. Sistem renal
Edema dan hematuria
9. Sistem saraf
Sering terjadi depresi dan psikosis, juga serangan
11
3. Kerusakan integritas kulit b.d lesi pada kulit
4. Kerusakan mobilitas fisik b.d deformitas skeletal
5. Nyeri akut b.d inflamasi dan kerusakan jaringan
6. Retensi urin b.d inhibisi arkus reflex
12
7. Posisikan pasien untuk
memaksimalkan ventilasi
8. Pertahankan posisi pasien
9. Auskultasi TD pada
kedua lengan dan
bandingkan
Kolaborasi
10. Kolaborasikan bersama
Dokter untuk pemberian
bronkodilator bila perlu
2. Ketidakefektifan 1. Circulation status Label NIC: Peripheral
perfusi jaringan 2. Tissue perfusion sensation management:
b.d Friction rub Mendemonstrasikan Obsrevasi/Monitoring
pericardium, lesi status sirkulasi yang 1. Monitor adanya daerah
eritemous ditandai dengan: tertentu yang hanya peka
papuler 1. Tekanan systole terhadap
dan diastole dalam panas/dingin/tajam/tumpul
rentang yang 2. Monitor adanya paretese
diharapkan. 3. Monitor kemampuan
2. Tidak ada tanda- BAB
tanda peningkatan 4. Monitor adanya
tekanan tromboplebitis
intracranial. Edukasi/penyuluhan
Mendemonstrasikan 5. Instruksikan keluarga
kemampuan kognitif untuk mengobservasi kulit
yang ditandai dengan: jika ada lesi atau laserasi
1. Berkomunikasi 6. Diskusikan mengenai
dengan jelas dan penyebab perubahan
sesuai dengan sensasi
kemampuan Tindakan mandiri
keperawatan
13
2. Menunjukkan 7. Gunakan sarung tangan
perhatian, untuk proteksi
konsentrasi dan 8. Batasi gerakan pada
orientasi kepala, leher dan
Mendemonstrasikan punggung
fungsi motori cranial Kolaborasi
yang utuh yaitu dengan 9. Kolaborasikan kepada tim
tingkat kesadaran yang farmakologi untuk
baik dan tidak ada pemberian analgetik
gerakan involunter
3. Kerusakan 1. Tissue integrity : Label NIC: Pressure
integritas kulit skin and management:
b.d lesi pada 2. Hemodyalis access Observasi/monitoring
kulit KH : 1. Monitor kulit akan
1. Integritas kulit adanya kemerahan
yang baik bisa Edukasi/penyuluhan
dipertahankan 2. Anjurkan pasien untuk
2. Perfusi jaringan menggunakan pakaian
baik yang longgar
3. Mempu Tindakan mandiri
melindungi kulit keperawatan
dan 3. Jaga kebersihan kuliat
mempertahankan pasien agar tetap bersih
kelembaban kulit dan kering
dan perawatan 4. Oleskan lotion atau
alami. minyak/baby oil pada
daerah sekitar lesi
5. Memandikan pasien
dengan sabun dan air
hangat
14
4. Kerusakan 1. Joint movements: Label NIC: Exercise
mobilitas fisik active therapy:
b.d deformitas 2. Mobility level Observasi/monitoring
skeletal 3. Self care : ADLs 1. Monitor vital sign
KH : sebelum/sesudah latihan
1. Klien meningkat dan lihat respon pasien
dalam aktivitas saat latihan
fisik 2. Kaji kemampuan pasien
2. Mengerti tujuan dalam mobilisasi
dari mobilitas fisik Edukasi/penyuluhan
3. Memverbalisasikan 3. Ajarkan pasien atau
perasaan dalam tenaga kesehatan lain
meningkatkan dan tentang teknik ambulasi
kemampuan 4. Ajarkan pasien
berpindah bagaimana merubah
4. Memperagakan posisi dan berikan
penggunaan alat bantuan jika diperlukan
bantu untuk Tindakan mandiri
mobilisasi keperawatan
5. Bantu klien untuk
menggunakan alat bantu
saat berjalan dan cegah
terhadap cedera
6. Latih pasien dalam
pemenuhan kebutuhan
ADLs secara mandiri
sesuai kemampuan
Kolaborasi
7. Konsultasikan dengan
terapi fisik tentang
15
rencana ambulasi sesuai
dengan kebutuhan
5. Nyeri akut b.d 1. Pain level Label NIC: Pain
inflamasi dan 2. Pain control management:
kerusakan 3. Comfort level Observasi/monitoring
jaringan KH : 1. Lakukan pengkajian nyeri
1. Mampu menontrol secara komprehensif
nyeri (PQRST)
2. Melaporkan 2. Kaji tipe dan sumber
bahwa nyeri nyeri
berkurang dengan 3. Observasi reaksi
menggunakan nonverbal dari
manajemen nyeri ketidaknyamanan
3. Mampu mengenali 4. Kaji kultur yang
nyeri mempengaruhi respon
4. Menyatakan rasa nyeri
nyaman setelah 5. Monitor penerimaan
nyeri berkurang pasien tentang
manajemen nyeri
Edukasi/penyuluhan
6. Ajarkan pasien tentang
teknik relaksasi nafas
dalam
Tindakan mandiri
keperawatan
7. Gunakan teknik
komunikasi terapeutik
untuk mengetahui
pengalaman nyeri pasien
8. Kontrol lingkungan yang
dapat mempengaruhi
16
nyeri seperti suhu
ruangan, pencahayaan,
dan kebisingan
9. Kurangi faktor presipitasi
nyeri
10. Pilih dan lakukan
penanganan nyeri
Kolaborasi
11. Kolaborasikan dengan
tim farmakologi untuk
pemberian analgetik
untuk mengurangi nyeri
12. Kolaborasikan dengan
dokter jika ada keluhan
dan tindakan nyeri tidak
berhasil
6. Retensi urin b.d 1. Urinary elimination Label NIC: Urinary
inhibisi arkus 2. Urinary continence Retention Care
refleks KH : Observasi/penyuluhan
1. Kandung kemih 1. Monitor intake dan
kosong secara output
penuh 2. Monitor tanda dan gejala
2. Tidak ada residu retensi urin
urin > 100-200cc 3. Monitor derajat distensi
3. Tidak ada spasme bladder
bladder 4. monitor tanda dan gejala
4. Balance cairan ISK
seimbang.
edukasi/penyuluhan
17
5. Instruksikan pada pasien
dan keluarga untuk
mencatat output urin
6. ajarkan kepada pasien
mengenai tanda dan
gejala infeksi saluran
kemih
tindakan mandiri
keperawatan
7. Kateterisasi bila perlu
8. batasi cairan
9. sediakan privacy untuk
eliminasi
18
2.2.5 Perencanaan Pulang
Menurut Luverne& Barbara, 1988, perencanaan pemulangan pasien
membutuhkan identifikasi kebutuhan spesifik klien. Kelompok perawat
berfokus pada kebutuhan rencana pengajaran yang baik untuk persiapan
pulang klien, yang disingkat dengan METHOD, yaitu:
a. Medication (obat)
Pasien sebaiknya mengetahui obat yang harus dilanjutkan setelah pulang
b. Environment (Lingkungan)
Lingkungan tempat klien akan pulang dari rumah sakit sebaiknya aman.
Pasien juga sebaiknya memiliki fasilitas pelayanan yang dibutuhkan untuk
kontinuitas perawatannya.
c. Treatrment (pengobatan)
Perawat harus memastikan bahwa pengobatan dapat berlanjut setelah klien
pulang, yang dilakukan oleh klien atau anggota keluarga. Jika hal ini tidak
memungkinkan, perencanaan harus dibuat sehingga seseorang dapat
berkunjung ke rumah untuk memberikan keterampilan perawatan.
d. HealthTeaching (Pengajaran Kesehatan)
Klien yang akan pulang sebaiknya diberitahu bagaimana mempertahankan
kesehatan. Termasuk tanda dan gejala yang mengindikasikan kebutuhan
pearwatan kesehatan tambahan.
e. Outpatientreferral
Klien sebaiknya mengenal pelayanan dari rumah sakit atau agen
komunitas lain yang dapat meningkatan perawatan yang kontinu.
f. Diet
Klien sebaiknya diberitahu tentang pembatasan pada dietnya. Ia sebaiknya
mampu memilih diet yang sesuai untuk dirinya.
19
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Lupus eritematosus Sistemik adalah suatu sindrom yang melibatkan banyak
organ dan memberikan gejala klinis yang beragam. Perjalanan penyakit ini dapat
ringan atau berat, secara terus-menerus, dengan kekambuhan yang menimbulkan
kerusakan jaringan akibat proses radang yang ditimbulkannya. Gejala utama Lupus
Eritmatosus Sistemik (LES) adalah kelemahan umum, anoreksia, rasa mual, demam
dan kehilangan berat badan. Penyebab dari penyakit lupus meliputi pengaruh faktor
genetik, lingkungan dan hormonal terhadap respons imun.
Penatalaksanaan ditentukan oleh beratnya penyakit. Luas dan jenis gangguan
organ harus ditentukan secara hati-hati. Dasar terapi adalah kelainan organ yang
sudah terjadi. Adanya infeksi dan proses penyakit bisa dipantau dari pemeriksaan
serologis.
3.2 Saran
a. Perawat bisa mengenal dengan cepat ciri-ciri dari Lupus Erimatosus
Sistemik.
b. Perawat bisa menangani pasien dengan penyakit Lupus Erimatosus
Sistemik dengan cepat, teliti dan terampil.
c. Perawat dapat bekerjasama dengan baik dengan tim kesehatan lain maupun
pasien dalam tahap pengobatan.
20
DAFTAR PUSTAKA
Baughman, Diane C. & JoAnn C. Hacley. 2000. Keperawatan Medical Bedah Buku
Saku dari Brunner & Suddarth. Jakarta: EGC
Brunner & Suddarth. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah volume 3.
Jakarta: EGC
Corwin, Elizabeth J. 2009. Buku Saku Patofisiologi edisi 3 revisi. Jakarta: EGC
Curtis, Glade B. MD, FACOG. 1999. Kehamilan Apa yang Anda Hadapi Minggu
per Minggu. Jakarta: Arcan
Kee, Joyce Lefever. 1997. Buku Saku Pemeriksaan Laboratorium & Diagnostik
Edisi 2. Jakarta: EGC
Lumenta, Nico A. dkk. 2006. Manajemen Hidup Sehat : Kenali Jenis Penyakit dan
Cara Penyembuhannya. Jakarta : PT. Elex Media Komputindo
Price & Wilson. 2003. Patofisiologi Konsep Proses-Proses Penyakit volume 2 Edisi
6. Jakarta: EGC
Rubenstein, David, David Wayne, John Bradley. 2003. Lecture Notes Kedokteran
Klinis Edisi Keenam. Jakarta: Erlangga
Smeltzer & Bare. 2002. Buku Ajar Keperawatann Medikal Bedah. Jakarta: EGC
21